Perspektif Fungsi Sosial Gereja

85 lingkungan hidup. Namun di sisi yang lain diakui bahwa terdapat perhatian dan kepedulian GKS terhadap lingkungan hidup tetapi bentuk kepedulian itu jika dikaitkan dengan teologi sosial masih sangat terbatas. Jika diperhatikan lebih jauh, kebanyakan program yang dilakukan GKS mengikuti program pemerintah. GKS sendiri belum mempunyai pemahaman yang mendalam tentang kepedulian terhadap lingkungan hidup. Pada prakteknya fokus dari kebanyakan program diarahkan untuk kepentingan manusia. Dengan demikian, penulis dapat mengatakan bahwa teologi sosial yang ada di GKS masih bersifat antroposentris atau berpusat pada manusia. Sehingga GKS perlu melihat kembali dan memperbaharui teologi sosial yang dibangun supaya diseimbangkan antara perhatian terhadap manusia dan juga lingkungan hidup. Lebih lanjut hal tersebut tentunya dijalankan oleh GKS sebagai salah satu lembaga sosial yang berbasis pada iman Kristen.

4.3.2 Perspektif Fungsi Sosial Gereja

Fungsi sosial gereja dalam pengertian lembaga menuntun gereja untuk bisa menjalankan perannya dengan baik di lingkungan yang lebih luas yakni masyarakat. Gereja tidak hidup sendiri sebagai organisasi ataupun komunitas sosial tetapi ia berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Pada posisi tersebut, terdapat 5 model gereja yang ditawarkan oleh Avery Dulles dalam menjalan fungsi sosialnya dalam masyarakat, 2 diantaranya adalah gereja sebagai institusi dan gereja sebagai pewarta. Gereja sebagai institusi menekankan bahwa gereja dipandang sebagai suatu 86 masyarakat yang cenderung untuk mengutamakan struktur kepemimpinan sebagai elemen formal dalam masyarakat. 7 Pada dasarnya, pandangan ini mau menekankan aspek gereja sebagai sebuah lembaga yang di dalamnya ada struktur organisasi yang jelas dalam pembagian tugas dan kewajiban. Tugas dan tanggung jawab itu adalah untuk mengajar, menguduskan dan memimpin. 8 Tanggung jawab seperti ini berguna untuk menolong gereja dalam menjalankan tugasnya dengan baik secara menyeluruh. Bukan hanya mengajar hal-hal yang menyangkut hubungan manusia dengan sesama manusia atau manusia dengan Tuhan, namun pengajaran itu juga sebenarnya harus mengajarkan bagaimana hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya. Namun kenyataannya dari hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa meskipun bentuk kepedulian GKS terhadap lingkungan hidup sudah dilakukan melalui beberapa program seperti hutan keluarga namun bentuk kepedulian itu masih sangat terbatas. Hal ini terjadi, karena GKS belum memahami secara baik fungsi sosialnya sebagai salah satu lembaga sosial yang harus berperan aktif dalam melihat dan memikirkan masalah- masalah sosial yang terjadi termasuk di dalamnya masalah lingkungan hidup. Berdasarkan hal tersebut, GKS perlu menyadari tanggung jawabnya sebagai institusi. Bahwa GKS memiliki kewenangan untuk mengatur struktur organisasi dengan jelas dan baik guna mengatur dengan lebih strategis dan sistematis baik sturktur orang-orang yang terlibat maupun program yang juga mencakup masalah lingkungan hidup secara utuh. Tetapi kenyataannya, yang menangani setiap bidang pelayanan hanya satu orang yakni koordinator itu sendiri. Oleh karenanya 7 Avery Dulles, Model-model Gereja. Nusa Indah. 1990:Yogyakarta, 35. 8 Ibid., 35. 87 terdapat keterbatasan tenaga di sinode, sehingga hal ini menjadi salah satu penyebab terjadinya ketidak efektifan program yang dilakukan. 9 Selain itu, dalam rangka berpikir jangka panjang terkait lingkungan hidup, gereja seharusnya mengadakan kerja sama dengan lembaga-lembaga atau orang-orang yang memiliki kompetensi di bidang lingkungan hidup. Demikian halnya dengan tugas menguduskan dan memimpin, bahwa gereja perlu melakukan tugas pemulihan kembali hubungan yang rusak di antara manusia dan lingkungan hidupnya dan menguduskan. Sekaligus gereja juga harus memimpin warganya untuk memahami tugas panggilannya di tengah dunia untuk menghadirkan damai sejahtera baik di antara sesama manusia maupun dengan lingkungan hidupnya. Selanjutnya, jika dihubungkan dengan model gereja sebagai pewarta yang menekankan pada SabdaFirman Tuhan yakni bahwa gereja dikumpulkan dan dibentuk oleh Sabda Allah. Misi gereja adalah mewartakan apa yang sudah didengar, diimani dan yang sudah diserahkan kepadanya untuk diwartakan. 10 Model ini juga dapat menjadi dasar bagi GKS untuk mengembangkan dasar teologinya. Di mana GKS juga terbentuk karena pewartaan Firman Tuhan. Oleh sebab itu, dasar pengajaran kepada umat juga adalah Firman Tuhan. Selain itu, penekanan dari model gereja ini adalah bahwa apa yang sudah di didengar, diimani dan diserahkan harus diwartakan. Artinya bahwa GKS harus mewartakan apa yang sudah didengar, diimani dan diserahkan kepadanya. Pewartaan itu tentunya bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan sesamanya manusia tetapi juga manusia diberikan tanggung jawab untuk mengelola lingkungan hidupnya. Karena lingkungan 9 Wawancara dengan bapak Yulius Rory Teofilus, koordinator bidang kesaksian dan pelayanan, kantor Sinode, 26 Oktober 2015, pukul 10:20 Wita. 10 Avery Dulles, Model-model Gereja. Nusa Indah. 1990:Yogyakarta, 73. 88 hidup sebenarnya merupakan rumah bagi semua makhluk. Pewartaan itu harus dilakukan terus menerus supaya warga GKS menyadari tanggung jawabnya dan mengerjakan tanggung jawab itu dengan baik. Lebih lanjut, semua tanggung jawab gereja ini dapat terealisasi dengan baik tergantung pada pemimpin-pemimpin gereja dalam hal ini para pendeta yang melayani di setiap jemaat. Karena merekalah yang memegang peranan penting dalam mengambil kebijakan atau pun dalam memutuskan segala sesuatu yang terkait dengan pelayanan. Jika para pelayan kurang memahami tanggung jawab gereja seperti ini, maka gereja juga akan mengalami kesulitan untuk melaksanakan fungsi sosialnya dalam masyarakat. Di GKS, sampai saat ini jumlah pendeta yang melayani di jemaat ada 191 orang. Para pendeta ini tersebar di seluruh wilayah Sumba yang terdiri dari 4 kabupaten yakni Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat dan Sumba Barat Daya. Pendeta yang melayani di GKS berasal dari berbagai sekolah Teologi yang ada di Indonesia, seperti UKAW Kupang, UKSW Salatiga, UKDW Yogyakarta, INTIM Makassar, STT Jakarta, atau pun dari STT Lewa milik GKS sendiri. 11 Latar belakang pendidikan para pendeta yang melayani di GKS ini sangat mempengaruhi gaya kepemimpinan dari masing-masing. Menurut tanggapan dari beberapa anggota jemaat mengenai para pelayan di GKS ada perbedaan yang cukup signifikan antara lulusan dari Jawa dibandingkan yang lain. Hal itu nampak dari cara bersosialisasi, berkhotbah ataupun isi khotbah dan juga dalam menyikapi masalah- masalah sosial. Mereka merasa bahwa lulusan dari Jawa lebih terbuka dan tidak kaku 11 Badan Pelaksana Majelis Sinode GKS. Laporan Sidang Sinode ke-41. Ramuk. 12-15 Juli 2014. 89 dalam menjalin hubungan dengan orang lain. 12 Sikap-sikap seperti ini yang pada akhirnya memudahkan para pelayan untuk mempengaruhi warganya dalam hal mengubah kebiasaan-kebiasaan yang kurang baik. Karena para pelayan lebih leluasa menyampaikan hal-hal apa yang perlu diperhatikan dan dilakukan demi kebaikkan bersama. Termasuk di dalamnya yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup. Jika hal ini dihubungkan dengan pelaksanaan keputusan sinode tahun 2010 yang sudah termuat dalam GBKU GKS, maka dapat dilihat bahwa pelaksanaan keputusan khususnya yang terkait dengan lingkungan hidup masih sangat kurang. Bahkan ada banyak jemaat yang tidak melaksanakannya sehingga belum ada perubahan signifikan yang terjadi. Hanya beberapa jemaat yang benar-benar melaksanakan keputusan itu. Hal ini tentunya memiliki kaitan dengan pola kepemimpinan pendeta jemaat yang bertugas untuk memberikan arahan dan bimbingan kepada warga jemaatnya, seperti salah satu model gereja yakni sebagai institusi. Jika pendeta jemaat tersebut melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik dan menaruh perhatian yang serius pada masalah lingkungan hidup maka usaha itu akan ada hasilnya. Seperti misalnya pengalaman seorang pendeta yang sudah melaksanakan salah satu bentuk kepedulian GKS terhadap lingkungan hidup melalui penghijauan di sekitar kompleks gereja dan sekitar rumah jemaat. Usaha ini membuahkan hasil yang cukup besar, karena dari hasil penanam pohon-pohon umur panjang tersebut sudah mendirikan satu pastori di salah satu cabang dan 50 rumah warga jemaat. 13 12 Ibu Yohana Dada Gole dan bapak Nengi Paranggih, warga jemaat Kambajawa dan Jemaat Nggongi, 2 November 2015. 13 Wawancara dengan ibu Marlin Lomi, sekretaris umum GKS, kantor sinode 26 Oktober 2015, pukul 11.00 Wita. 90 Menurut pengakuan beliau, hasil yang dicapai ini tidak diperoleh dalam waktu yang singkat, karena untuk melakukan penyadaran kepada warga jemaat itu sangat sulit karena membutuhkan proses yang cukup panjang, sehingga sampai saat ini, khususnya di jemaat Tangga Madita ini menjadi percontohan bagi jemaat-jemaat lain mengenai pentingnya menanam pohon demi menjaga kelestarian lingkungan hidup. 14 Tindakan konkrit yang demikian seharusnya baik bagi pendeta-pendeta jemaat di GKS untuk dicontohi dalam membina warganya agar melakukan penanam pohon umur panjang. Meski pun, tantangannya adalah harus menghadapi berbagai sikap dari warga yang tidak menyambut baik program itu dan juga membutuhkan waktu yang lama. Namun usaha dan ketekunannya selama ini, membuktikan bahwa kesadaran pribadi itu bisa terjadi. Sehingga ini juga memungkinkan warga jemaat GKS secara keseluruhan untuk melakukannya. Kegiatan ini tentunya memerlukan dukungan dengan cara menciptakan kerja sama yang baik antara sinode, klasis dan jemaat. Apabila jemaat-jemaat belum melakukan tanggung jawab itu, maka pihak klasis atau sinode bertugas untuk mengingatkan atau pun menolong jemaat yang mengalami kesulitan melakukan penyadaran melalui sosialisasi atau cara praktis seperti langkah-langkah dan pemahaman etis yang dapat secara universal diterima dan dilakukan. 14 Wawancara dengan ibu Marlin Lomi, sekretaris umum GKS, kantor sinode 26 Oktober 2015, pukul 11.00 Wita. 91

4.3.3 Etika Lingkungan