Etika Lingkungan Masalah Lingkungan Hidup di GKS ditinjau dari berbagai perspektif

91

4.3.3 Etika Lingkungan

Salah satu tokoh yang membahas etika lingkungan adalah Paul W. Taylor dengan menyebut lingkungan hidup sebagai “ natural world ” atau dunia alami yang mengacu pada seluruh rangkaian dari ekosistem alami di planet ini. 15 Penekananan teori yang ia kemukakan dari pemahamannya adalah mengenai human-centerd dan life-centered . Berdasarkan hasil penelitian, salah satu bentuk kepedulian GKS terhadap lingkungan hidup dilakukan dengan cara melakukan penghijauan melalui menanam pohon umur panjang di lokasi lahan gereja atau pun di kompleks ruman-rumah jemaat dengan istilah hutan gereja dan hutan keluarga. Penanaman pohon-pohon umur panjang ini cukup berhasil, khususnya di jemaat Tanggamadita karena disamping warga jemaat dapat menikmati udara yang sejuk juga sangat membantu warga jemaat dalam penyediaan bahan bangunan dan sebagai penopang ekonomi keluarga ketika hasil dari pohon itu dapat dijual. Berdasarkan kenyataan ini, jika dilihat dari teori etika lingkungan ini, program GKS ini termasuk dalam human-centered , di mana tujuan program ini masih berfokus kepada manusia. Human-centered adalah etika lingkungan hidup yang berpusat pada manusia dengan menekankan pada penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia dalam menghayati keberadaannya di alam sebagai upaya untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik dari segi lingkungan maupun kesehatan sebagai tugas dan 15 Paul W. Taylor, Respect For Nature A Theory of Environmental Ethics. New Jersey:Princeton University Press, 1986, 3. 92 tanggung jawab moral manusia saat ini dan bagi generasi di masa depan. 16 Ketika menyadari bahwa etika lingkungan ini yang dipakai oleh GKS dalam mengatur hubungannya dengan lingkungan, maka hal ini perlu ditinjau kembali. Karena yang hidup di pulau Sumba bukan hanya manusia saja tetapi juga makhluk-makhluk yang lain. Jika ditinjau dari akar permasalahan yang terjadi di Sumba, kerusakan lingkungan hidup diakibatkan oleh manusia. Terutama karena ladang berpindah, penebangan liar, pembakaran padang dan hutan atau pun masalah sampah. Dari semua hasil percakapan dengan beberapa perangkat sinode, penulis menemukan bahwa baik pemahaman maupun semua program yang mereka jalankan bermuara pada human- centered . Salah satu buktinya adalah dengan program penanaman pohon umur panjang melalui kerja sama dengan pemerintah dalam pengadaan anakan. Program ini memang pada awalnya dari pemerintah dengan mencanangkan hutan rakyat, di mana seluruh masyarakat diwajibkan untuk menanam pohon-pohon umur panjang pada lokasi yang disediakan. Lalu kemudian gereja juga mengikuti program ini namun dengan membuat istilah baru yakni hutan gereja dan hutan keluarga. Sejauh ini memang banyak hasil yang diperoleh dari program ini. Hanya saja, pemahaman warga jemaat terutama tentang hutan keluarga pada akhirnya menyimpang. Di mana mereka menanam pohon bukan karena menyadari bahwa lingkungan hidup perlu dilestarikan tetapi hal itu dilakukan supaya pohon itu bisa dijual dan juga sebagai bahan untuk pembangunan rumah. Dari peristiwa ini, maka kesan yang terlihat adalah tanggungjawab untuk melindungi lingkungan, bukanlah suatu bentuk kesadaran untuk 16 Ibid., 11. 93 menunjukkan kepedulian terhadap masalah lingkungan hdiup yang terjadi. Warga jemaat GKS mau menanam pohon karena hal itu membawa keuntungan secara ekonomi dan papan bagi mereka. Karena jika tidak, maka mereka tidak akan bersedia menanam pohon. Jika hal ini, dilihat dari jenis etika lingkungan sebagai life-centered maka ini merupakan aktivitas yang keliru. Karena menurut jenis etika lingkungan ini, penekanannya terletak pada kewajiban dan tanggungjawab dalam menghargai lingkungan dan komunitasnya di alam secara natural. Etika ini lebih lanjut menekankan pentingnya memiliki respek terhadap hewan liar dan tumbuh-tumbuhan di bumi sebagai alasan dari moral yang menentukan relasi antara diri manusia dan dunia yang natural itu sendiri. 17 Karena alam bukan hanya semata-mata sebagai objek yang di eksploitasi dan menjadi bahan konsumsi manusia semata. Tetapi setiap mahkluk hidup di alam memiliki kekayaan dan kebajikan virtue dari keberadan mereka sebagai anggota dari komunitas kehidupan. Pemahaman yang seperti ini masih sangat terbatas di GKS, karena dalam memahami lingkungan hidup masih terbatas pada penghijauan. Hal ini disebabkan karena jenis etika lingkungan yang dianut di GKS masih human-centered . Selain itu, budaya masyarakat Sumba juga sangat mendukung jenis etika lingkungan ini. Salah satu contoh, tindakan membakar padang atau hutan sudah menjadi budaya di Sumba. Pernyataan ini juga diakui oleh sebagian besar perangkat sinode. Di mana ketika membakar padang atau hutan menjadi kenikmatan tersendiri bagi masyarakat Sumba. 18 Alasannya karena masyarakat harus 17 Ibid., 12. 18 Wawancara dengan bapak Yulius Rory Teofilus, koordinator bidang kesaksian dan pelayanan, kantor Sinode, 26 Oktober 2015, pukul 10:20 Wita. 94 mempersiapkan lahan untuk menanam dan atau pun memperluaskan lahan tanpa memikirkan secara lebih kritis tindakan yang memperhatikan lingkungan hidup. Lebih lanjut, pandangan GKS terhadap lingkungan hidup jika dilihat dari pengakuan dari koordinator bidang kesaksian dan pelayanan yang membawahi penanganan masalah lingkungan pada aras sinode, bertentangan dengan prakteknya. Karena penekanannya, alam jangan hanya diperlakukan sebagai objek, sedangkan prakteknya GKS melalui program penghijauan yang dilakukan memperlakukan lingkungan hidup sebagai objek. Karena segala upaya yang dilakukan tersebut, hasilnya bermuara demi pemenuhan kebutuhan manusia. Baik untuk kebutuhan pembangunan maupun ekonomi, sehingga bentuk kepedulian GKS semacam ini belum menjawab permasalahan lingkungan hidup yang terjadi di Sumba, karena segala usaha yang dilakukan itu kembali berfokus untuk memenuhi kebutuhan manusia bukan sebagai life-centered . Hal penting yang ditekankan oleh Taylor dalam memahami dua jenis etika lingkungan adalah supaya kita perlu berhati-hati dalam mengklaim kebenaran dari keduanya. Ketika ada banyak kritik terhadap etika lingkungan yang berpusat pada manusia maka penting juga agar tidak salah mengartikan makna dari etika lingkungan yang berpusat pada kehidupanalam. Karena itu, sebagai dasar pertimbangannya, dikenallah agen moral dan moral sebagai subjek. Manusia memang memiliki kewajiban moral sebagai tugas untuk hidup berdasarkan kemanusiaan kita, sekaligus mempunyai tugas untuk membangun relasi hidup bersama sebagai mahkluk hidup 95 dengan alam liar secara benar pada posisi yang sebenarnya. 19 Penulis melihat bahwa pemahaman seperti ini juga yang harus dikembangkan oleh GKS dalam memahami kembali hubungan manusia dan lingkungan hidup. Tugas kita terhadap bentuk-bentuk kehidupan di bumi selain manusia di dasarkan pada status entitas mereka yang memiliki nilai dan yang melekat pada dirinya. Pemaknaan nilai tersebut bukan hanya berdasarkan pada apa yang manusia pikirkan dan pahami tetapi juga pada nilai yang mereka miliki yang bermanfaat secara keseluruhan bagi kepentingan seluruh alam ciptaan. Oleh karena itu, diperlukan pertimbangan secara teologis guna memahami lingkungan secara lebih mendalam.

4.3.4 Teologi Lingkungan