Teologi Lingkungan Masalah Lingkungan Hidup di GKS ditinjau dari berbagai perspektif

95 dengan alam liar secara benar pada posisi yang sebenarnya. 19 Penulis melihat bahwa pemahaman seperti ini juga yang harus dikembangkan oleh GKS dalam memahami kembali hubungan manusia dan lingkungan hidup. Tugas kita terhadap bentuk-bentuk kehidupan di bumi selain manusia di dasarkan pada status entitas mereka yang memiliki nilai dan yang melekat pada dirinya. Pemaknaan nilai tersebut bukan hanya berdasarkan pada apa yang manusia pikirkan dan pahami tetapi juga pada nilai yang mereka miliki yang bermanfaat secara keseluruhan bagi kepentingan seluruh alam ciptaan. Oleh karena itu, diperlukan pertimbangan secara teologis guna memahami lingkungan secara lebih mendalam.

4.3.4 Teologi Lingkungan

Dasar teologi yang kuat merupakan salah satu hal terpenting dalam gereja. Dasar teologi dapat diibaratkan seperti kompas yang akan mengarahkan segala perhatian dan kegitan gereja pada teologi yang dibangun. Tetapi di GKS, pendasaran teologi mengenai kepedulian terhadap lingkungan hidup masih menjadi perdebatan. Karena berdasarkan apa yang tertuang dalam Garis-garis Besar Keputusan Umum GBKU GKS, dasar teologi GKS dalam memperhatikan lingkungan masih belum jelas. 20 Hal ini tentunya menjadi masalah yang sangat serius, karena GKS secara konkrit mengalami kesulitan saat memberikan pengarahan kepada jemaat. Secara sederhana GKS mungkin dapat menyuarakan dan mengingatkan kepada jemaat bagaimana pentingnya memperhatikan lingkungan, namun jika hal itu 19 Ibid., 13. 20 Majelis Sinode GKS. Garis-Garis Besar Kebijakan Umum Tahun 2014-2018. BPMS GKS. Waingapu: 2014, 18. 96 tidak ditunjang dengan dasar teologi yang komprehensif, maka hal itu pasti hanya akan menjadi himbauan atau bahkan menjadi pilihan bagi warga jemaat dalam melakukannya. Namun, jika ada dasar teologis yang relevan dan cukup kuat maka, tentu akan lebih menolong GKS dalam menentukan sikap, pengajaran dan pengarahan terhadap jemaat untuk memandang lingkungan hidup sebagai sesama yang harus dihargai dan dipelihara bukan sebagai objek yang diperlakukan secara bebas oleh manusia. Karena itu, berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Ketua Umum Sinode, beliau mengatakan bahwa dasar teologi GKS mengenai lingkungan hidup sudah termuat dalam Visi dan Misi GKS. 21 Visi GKS adalah Sumba yang damai sejahtera, adil dan bermartabat serta terpeliharanya keutuhan ciptaan Tuhan. Sedangkan misi GKS adalah membina, memperlengkapi dan memberdayakan pelayan dan warganya sebagai Tubuh Kristus agar mampu mewujudkan Sumba yang damai sejahtera, adil, bermartabat dan hidup sehati sepikir dan memelihara keutuhan ciptaan Tuhan. 22 Berdasarkan visi misi ini penekanannya ada pada tiga kata, yakni keutuhan ciptaan Tuhan , di mana keutuhan ciptaan itu bukan hanya terbatas pada manusia melainkan kepada seluruh ciptaan termasuk di dalamnya lingkungan hidup. Pada pemahaman ini, GKS sudah berusaha melakukan pendasaran teologis mengenai lingkungan hidup. Namun demikian, dalam pemaknaan dan penjabaran visi misi GKS ke dalam program dan tindakan konkret belum terealisasi dengan baik. 21 Wawancara dengan pak Alfred Djama Samani, ketua umum sinode GKS, kantor sinode, 29 Oktober 2015, pukul 09.30 Wita. 22 Majelis Sinode GKS. Garis-Garis Besar Kebijakan Umum Tahun 2014-2018. BPMS GKS. Waingapu: 2014, 20. 97 Jika hal ini dilihat dari teologi penciptaan, penjabaran visi misi GKS juga belum ada dasar Alkitabiahnya. Ketika penekanannya pada keutuhan ciptaan, maka apa yang menjadi dasarnya? Karena dalam teologi penciptaan sendiri ada perdebatan mengenai dasar teologi dari hubungan manusia dan lingkungan hidup. Beberapa teolog memakai Kejadian 1:26-28 karena dalam bagian kitab ini ada perintah untuk menguasai dan menaklukkan. Menurut para teolog ini kedua kata ini tidak boleh diartikan secara negatif atau tindakan yang sewenang-wenang, melainkan harus dilihat sebagai tugas untuk memelihara dan mengurus. Di mana manusia sebagai wakil Allah di dunia harus melaksanakan tanggung jawab itu. Namun demikian, pendapat dari beberapa teolog ini dikritisi oleh Jurgen Moltman. Menurutnya, Kejadian 1 perlu ditafsirkan ulang oleh karena masih ada unsur antroposentris. Di mana manusia yang masih memegang kendali. Padahal menurut Moltman, dalam peristiwa penciptaan yang menjadi mahkota karya penciptaan bukan manusia melainkan Sabat yaitu kegembiraan Allah atas segala karya ciptaan-Nya sendiri yang baik. Penulis sendiri lebih setuju dengan pendapat Jurgen Moltman yakni penting penafsiran kembali Kejadian 1. Karena terjadinya berbagai masalah lingkungan akibat kesalahan menafsirkan Kitab Suci. Dua kata yang diungkapkan sebelumnya yakni menguasai dan menaklukkan sering diartikan salah oleh gereja dan warga jemaat. Akibatnya, manusia sering menganggap diri lebih utama dari pada makhluk ataupun alam itu sendiri. Kehadiran lingkungan hidup dan makhluk lain hanya untuk memenuhi dan melayani kebutuhan manusia. Jika kembali melihat dengan apa yang telah dilakukan GKS, harus diakui bahwa ada kepedulian mengenai lingkungan. Namun makna menjaga keutuhan 98 ciptaan masih abstrak bagi warga jemaat dan gereja. Buktinya, masalah lingkungan hidup baru menjadi pembahasan penting setelah ada masalah lingkungan hidup yang terjadi seperti masalah tambang emas. Karena itu, menurut Soegeng Hardiyanto, teologi tidak boleh dipandang sebagai refleksi iman saja dalam praksis gereja, tetapi juga mendorong praksis gereja itu sendiri dalam konteks konkret. 23 Ini berarti bahwa dasar teologi GKS yang telah tertuang dalam visi misinya harus lebih di dalami dan disederhanakan supaya lebih dipahami dengan baik, lalu kemudian dirancang dalam program secara jelas sehingga bisa dilakukan dengan mudah dan berkelanjutan. Berbeda dengan dua pandangan sebelumnya, Fred Van Dyke lebih melihat kepada nilai intrinsik yang berasal dari dalam di mana dasarnya tetap sama dari Kitab Kejadian 1. Tetapi Dyke menekankan secara umum bahwa dalam peristiwa penciptaan segala sesuatu yang Allah ciptakan itu adalah baik. Hal ini kemudian, menjadi dasar etis untuk membangun nilai-nilai kesadaran dari dalam diri setiap orang percaya sebagai salah satu pemahaman etika terkait dengan lingkungan, 24 dalam posisi penciptaan oleh Allah sebagai nilai intrinsiknya atau intrinsic value . Pendapat Dyke mau menekankan pada kesadaran individu yang pada akhirnya kesadaran itu menghasilkan tindakan etis. 25 Jika pandangan Dyke ini dikaitkan dengan apa yang terjadi di GKS, maka hal ini dapat menjadi pertimbangan penting. Karena salah satu kendala yang dihadapi GKS dalam mewujudkan kepedulian terhadap lingkungan hidup adalah kurangnya kesadaran individu terhadap pentingnya memperhatikan lingkungan hidup. Keadaan 23 Eka Darmaputera via Soegeng Hardiyanto, Pergumulan dalam pengharapan: Teologi Sosial dan Gerakan Keesaan . BPK Gunung Mulia. 1999:Jakarta, 131. 24 Ibid., 50-53. 25 Fred Van Dyke, Heaven and Earth Christian Perspective on Environmental Protection Santa Barbara California: Praeger, 2010, 2. 99 ini juga terkait dengan dasar teologi yang masih samar dan abstrak. Terkait dengan kesadaran individu, salah seorang pendeta juga mengakui hal itu dalam memberdayakan warga jemaatnya untuk menanam pohon umur panjang, 26 sehingga menurut penulis, kesadaran individu juga belum menjadi perhatian bagi GKS. Karena sudah cukup banyak upaya juga yang dilakukan GKS dalam rangka menyadarkan warga jemaat untuk tidak membakar padang, melakukan penebangan liar, ataupun memiliki kebiasaan membuang sampah sembarangan tetapi belum membawa perubahan yang signifikan. Kemudian, berdasarkan penjelasan diatas, penulis setuju dengan pendapat Moltman yang mengusulkan untuk menafsirakan kembali Kejadian 1 sebagai dasar biblis yang baik untuk menolong kita menyadari bahwa manusia bukan fokus dari peristiwa penciptaan itu tetapi yang menjadi pusatnya adalah Sabat dan kesenangan Allah saat melihat bahwa semua yang diciptakan itu baik, sehingga dasar ini paling tidak dapat membantu GKS dalam melihat kembali dasar biblisnya. Karena dari semua bentuk kepedulian GKS terhadap lingkungan masih berfokus pada kepentingan manusia, seperti menanam pohon untuk membangun rumah dan bisa menghasilkan uang. Pemahaman seperti ini juga yang perlu diperbaharui, agar kesadaran warga jemaat dalam menanam pohon bukan karena mau membangun rumah atau untuk dijual tetapi supaya lingkungan hidup yang semakin gersang di Sumba bisa berubah menjadi lebih baik. Dengan demikian, dasar teologi ini secara lebih konkrit dapat menolong GKS dalam menjawab masalah-masalah sosial yang terjadi, termasuk di dalamnya masalah lingkungan hidup sebagai tugas dan tanggungjawabnya. 26 Wawancara dengan ibu Marlin Lomi, sekretaris umum GKS, kantor sinode 26 Oktober 2015, pukul 11.00 Wita. 100 Selain itu, dalam rangka mendukung visi misi tersebut, GKS juga memang sudah menggelar bulan Agustus sebagai bulan kepedulian lingkungan hidup seperti yang dicetuskan oleh pemerintah Sumba Timur. 27 Pada bulan ini, sesuai hasil percakapan dengan bapak Rory dan juga setelah penulis konfirmasi kepada beberapa jemaat, dibuat liturgi khusus yang bertemakan lingkungan hidup. Cara ini sebenarnya memang sudah baik dan GKS sudah menunjukkan bentuk kepeduliannya terhadap lingkungan hidup. Namun dilihat dari penetapan bulan Agustus sebagai bulan peduli lingkungan hidup hal ini kurang tepat, karena pada bulan ini musim kemarau sedang mencapai puncaknya di pulau Sumba. Lebih lanjut menurut ibu sekum, lebih tepat apabila bulan lingkungan hidup diperingati pada bulan November yakni ketika masyarakat sedang mempersiapkan lahannya untuk tanam. 28 Penulis juga lebih setuju dengan penilaian ibu sekum jika dilihat dari segi penghijauannya, mengingat salah satu masalah pokok utama masyarakat Sumba adalah kekeringan, sehingga saat diingatkan mengenai penghijauan di musim seperti itu maka hal itu hanya akan menjadi beban yang membuat warga jemaat enggan melakukannya. Secara teologis, lingkungan hidup dipahami sebagai ciptaan Allah di mana semuanya bersumber dari Alkitab. Berdasarkan pemahaman ini, hubungan antara manusia dan lingkungan hidup sangatlah dekat bahkan saling membutuhkan. Karena itulah, manusia yang diberikan tugas khusus untuk membelihara dan mengusahakan bumi. Pemahaman ini sudah ada di GKS seperti yang termuat dalam Visi misi GKS yakni menjaga keutuhan ciptaan. Hanya saja, ketika hal itu dijabarkan dalam program 27 Wawancara dengan pak Alfred Djama Samani, ketua umum sinode GKS, kantor sinode, 29 Oktober 2015, pukul 09.30 Wita. 28 Wawancara dengan ibu Marlin Lomi, sekretaris umum GKS, kantor sinode 26 Oktober 2015, pukul 11.00 Wita. 101 kerja, seringkali porsi perhatian terhadap lingkungan hidup masih sangat terbatas. Jika ada, jenisnya masih terbatas pada upaya penghijauan. Karena itu, dengan kenyataan seperti ini, pendasaran teologis yang lebih kuat dan dengan cara praktis dalam prakteknya masih harus dikembangkan. Terutama perhatian terhadap lingkungan sebagai satu komunitas ciptaan oleh GKS baik dari aras sinode, klasis dan juga jemaat. Faktor keadaan cuaca dan kondisi di Sumba saat ini yang semakin panas dengan curah hujan yang semakin terbatas sebenarnya merupakan suatu tanda bahwa masalah lingkungan hidup yang terjadi di Sumba semakin meningkat dan memerlukan penanganan yang cepat dan serius. Inilah langkah GKS yang relevan dan tepat yang menunjukkan apa makna dari visi misi GKS dalam hal menjaga keutuhan ciptaan. Segala bentuk usaha GKS sejauh ini memang sudah sangat baik, hanya saja untuk mengubah perilaku manusia yang memiliki kebiasaan yang tidak menghargai lingkungan tentunya membutuhkan usaha yang terus menerus untuk dijalankan. Karena penyebab utama dari kerusakan alam sebenarnya adalah dari perilaku manusia, sehingga perilaku manusianya yang perlu diubah. Untuk mengubahnya, GKS memiliki potensi untuk itu yakni dengan menguatkan dasar teologis yang jelas. Sehingga dari sini, sangat terlihat peran penting dasar teologi yang kuat dan jelas untuk ditetapkan oleh GKS. Jika warga GKS peduli dengan lingkungan hidup dan menginginkan lingkungan hidup yang lebih nyaman dan baik maka harus kembali mengingat tugas dan tanggung jawabnya dan berusaha melakukan itu mulai dari hal-hal kecil. Meskipun sebenarnya yang bertugas menjaga lingkungan hidup bukan hanya warga 102 GKS tetapi semua masyarakat yang ada di Sumba dari berbagai golongan atau pun lapisan. Tetapi paling tidak, melalui apa yang dilakukan GKS, masyarakat umum dapat belajar dan juga menyadari bahwa penting untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. Karena jika lingkungan hidup terancam maka dengan sendirinya kehidupan manusia dan makhluk lain juga ikut terancam. Karena itu, dalam rangka mewujudkan dasar teologi ini, maka dibutuhkan sarana yang efektif untuk mewujudkan itu ditengah-tengah warga GKS. Salah satu sarana yang dipakai adalah mengembangkan pendidikan lingkungan hidup di dalam gereja.

4.3.5 Perspektif Pendidikan Lingkungan Hidup