Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perjanjian menguasai begitu banyak bagian kehidupan manusia, hingga orang tidak mengetahui berapa banyak perjanjian yang telah dibuat setiap harinya. Dalam pengertiannya yang luas, perjanjian adalah kesepakatan yang melandasi hubungan antara 2 dua pihak atau lebih. Dalam hal perjanjian jual-beli pengertiannya adalah kesepakatan yang dibuat oleh 2 dua pihak di mana pihak pertama disebut sebagai penjual dan pihak lainnya sebagai pembeli. Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lainnya atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbulah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. 1 Perjanjian bisa dibuat dalam bentuk lisan maupun tertulis. Perjanjian dalam bentuk tertulis pada dunia bisnis disebut kontrak. Namun sebenarnya kontrak ataupun perjanjian memiliki pengertian yang sama yaitu kesepakatan antara para pihak yang mempunyai akibat hukum yang mengikat. Perjanjian atau kontrak merupakan bagian yang melekat dari transaksi bisnis baik dalam skala besar maupun kecil, baik domestik maupun internasional. 1 R. Subekti, 1996, Hukum Perjanjian, cet. 10, PT. Intermasa, Jakarta, hal.1 selanjutnya disebut Subekti I. 2 Fungsi kontrak sangat penting dalam menjamin bahwa seluruh harapan yang dibentuk dari janji-janji para pihak dapat terlaksana dan dipenuhi. Dalam hal terjadi pelanggaran, maka terdapat kompensasi yang harus dibayar dan konsekuensi hukum yang harus ditanggung. Dalam dunia bisnis, waktu dan kepastian merupakan faktor yang penting. Hukum kontrak dalam hal ini memberikan sarana yang memungkinkan para pihak mengakomodasi seluruh kepentingannya. Kontrak merupakan janji yang mengikat dan janji-janji tersebut menimbulkan harapan-harapan yang layak. Hukum kontrak dalam hal ini merupakan instrumen hukum yang berfungsi untuk menjamin pelaksanaan janji dan harapan itu. 2 Ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian diatur dalam Titel II Pasal 1313 sampai dengan Pasal 1351 Burgerljik Wetboek, Stb, 1847 No. 23 selanjutnya disebut BW. Menurut Pasal 1313 BW, yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perbuatan, dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Terjadinya persesuaian kehendak ini dapat berupa lisan atau tertulis. Dari sini timbul suatu penawaran dan suatu acceptance penerimaan, sehingga menimbulkan suatu persetujuan yang mengakibatkan timbulnya ikatan-ikatan bagi masing-masing pihak. Suatu janji dengan sengaja antara dua pihak tersebut dan kesepakatan untuk saling mengikatkan diri, menimbulkan suatu hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak yang perlu untuk diwujudkan. Hak dan kewajiban yang perlu diwujudkan ini, berupa prestasi yang tersimpul dalam suatu kewajiban untuk 2 Yohanes Sogar Simamora, 2009, Hukum Perjanjian ; Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah, LaksBang Pressindo, Yogyakarta, hal. 32-33. 3 memberikan atau menyerahkan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu Pasal 1234 BW. Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak yang satu dapat menuntut prestasi yang diperjanjikan pada pihak lainnya. Untuk itu para pihak diwajibkan untuk secara efektif berperan dalam mewujudkan apa yang diperjanjikan. Mengingat perjanjian berlaku sebagai undang-undang maka jika salah satu pihak melakukan wanprestasi, maka pihak lainnya dapat menuntut pemenuhan prestasi melalui gugatan dipengadilan. Selanjutnya dalam Pasal 1320 BW disebutkan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian, diperlukan 4 syarat, yaitu adanya sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat perikatan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Pemenuhan persyaratan ini membuat setiap orang dapat membuat perjanjian apa saja. Pasal 1320 BW disebut sebagai ketentuan yang mengatur asas konsesualisme, yaitu perjanjian adalah sah apabila ada kata sepakat mengenai hal- hal yang pokok dari perjanjian. Hal ini berkaitan dengan asas kebebasan berkontrak dalam membuat semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, yang disimpulkan dari Pasal 1338 ayat 1 BW, sehingga perjanjian harus dibuat dengan memenuhi ketentuan Undang-Undang, maka perjanjian tersebut mengikat para pihak yang kemudian menimbulkan hak dan kewajiban di antara pihak-pihak tersebut. Berdasarkan Pasal 1338 ayat 3 BW, salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam menerapkan asas kebebasan berkontrak, adalah itikad baik dari pihak yang membuat perjanjian. Itikad baik dalam tahap pelaksanaan perjanjian 4 adalah kepatutan, yaitu suatu penilaian baik terhadap tindak tanduk suatu pihak dalam melaksanakan apa yang akan diperjanjikan. 3 Asas itikad baik dengan demikian mengandung pengertian, bahwa kebebasan suatu pihak dalam membuat perjanjian tidak dapat diwujudkan sekehendaknya tetapi dibatasi oleh itikad baiknya. 4 Pengaturan itikad baik di Indonesia ditemukan yang dalam Pasal 1338 ayat 3 BW yang menyebutkan bahwa perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik. Ketentuan ini sangat abstrak. Tidak ada pengertian dan tolok ukur itikad baik dalam BW. Oleh karena itu, perlu dicari dan ditelusuri makna dan tolok ukur itikad baik tersebut. Asas iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak didasarkan pada ide bahwa para pihak dalam suatu hubungan hukum harus memiliki sikap yang dikaitkan dengan karakter reciprocal trust dan consideration sesuai dengan tujuan norma hukum. Unsur moral dan postulat masyarakat masuk ke dalam konsep iktikad baik sebagai basis bagi suatu tindakan yang mensyaratkan adanya penghormatan tujuan hukum. 5 Pelaksanaan perjanjian mengacu kepada itikad baik yang objektif. Itikad baik objektif mengacu kepada suatu norma yang objektif. Itikad baik tersebut tidak hanya mengacu kepada iktikad baik para pihak, tetapi harus pula mengacu kepada pengaturan perundang-undangan di Indonesia. Dengan makna 3 Subekti, 2006, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung, hal. 26. Selanjutnya disebut Subekti II. 4 Sutan Remy Sjahdeni, 2008, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, hal. 49. 5 Arthur S. Hartkamp dan Marianne dalam Ridwan Khairandy, 2009, “Makna, Tolok Ukur, Pemahaman dan Sikap Pengadilan di Indonesia terhadap Iktikad Baik dalam Pelaksanaan Kontrak,” Jurnal Hukum, No. Edisi Khusus, Vol. 16, hal. 56-62. Selanjutnya disebut Ridwan Khairandy I 5 yang demikian itu menjadikan standar itikad baik sebagai suatu universal social force yang mengatur hubungan antar sosial mereka, yakni setiap warga negara harus memiliki kewajiban untuk bertindak dengan itikad baik terhadap semua warga negara. 6 Penyamaan perilaku itikad baik dengan ketaatan pada standar objektif membatasi elastisitas konsep itikad baik, mengesampingkan fakta eksternal yang menunjukkan perilaku itikad buruk, dan secara potensial menimbulkan hasil yang tidak adil. Standar pengukuran perilaku dalam pembentukan perjanjian, pelaksanaan perjanjian, atau penegakan hukum perjanjian harus menjadi sesuatu yang elastis. Standar tersebut harus dibuat fleksibel dengan gagasan itikad baik, yang pada hakikatnya suatu konsep yang luas. Gagasan itikad baik merupakan a single mode of analysis comprising a spectrum of related, factual considerations. 7 J.M van Dunn membagi tahapan berkontrak dalam tiga fase, yakni fase pra kontrak, fase pelaksanaan kontrak dan fase pasca kontrak itikad baik sudah harus ada sejak fase pra-kontrak dimana para pihak mulai melakukan negosiasi hingga mencapai kesepakatan dan fase pelaksanaan kontrak 8 Itikad baik pada tahap pra- kontrak merupakan kewajiban untuk memberitahukan atau menjelaskan dan meneliti fakta material bagi para pihak yang berkaitan dengan jual beli tanah yang dinegosiasikan itu. Sehubungan dengan hal itu, putusan-putusan Hoge Raad menyatakan para pihak yang bernegosiasi masing-masing memiliki itikad baik. 9 6 Ibid. 7 Ridwan Khairandy, 2011, “Kebebasan Berkontrak dan Facta Sunt Servanda Versus Itikad Baik: Sikap yang harus diambil Pengadilan,” disampaikan pada, Pidato Pengukuhan dalam Jabatan Guru Besar Hukum kontrak, Universitas Islam Indonesia, tanggal 8 februari, hal. 26-27. Selanjutnya disebut Ridwan Khairandy II. 8 Ibid, hal. 190. 9 Ibid, hal. 190. 6 Itikad baik subjektif dapat dikaitkan dengan hukum benda bezit. Seorang pembeli yang beritikad baik adalah seorang yang membeli barang dengan niat untuk membeli suatu benda yang diinginkan dengan kesadaran bahwa untuk membeli benda tersebut diperlukan pembayaran. Pembeli yang beritikad baik ini adalah seorang pembeli yang jujur. Sebaliknya adalah pembeli yang beritikad buruk atau pembeli yang tidak jujur. Jadi, itikad baik di dalam hukum benda di artikan sebagai kejujuran. Penjual yang beritikad baik atau penjual yang jujur adalah orang yang jujur yang menunjukkan adanya cacat yang melekat pada barang yang dijualnya itu, dalam hal jual beli tanah, penjual jujur menunjukkan cacat mengenai asal usul tanahnya. Dalam hal ini, itikad baik merupakan suatu elemen subjektif. Itikad baik subjektif ini berkaitan dengan sikap batin atau kejiwaan yaitu apakah yang bersangkutan menyadari atau mengetahui bahwa tindakannya bertentangan atau tidak dengan itikad baik atau kejujuran. Pihak yang memiliki itikad baik dalam tahap pra perjanjiankontrak jual beli tanah namun menderita kerugian pada tahap pelaksanaan perjanjiankontrak, hak-haknya patut untuk dilindungi, sehingga janji-janji pra perjanjiankontrak akan berdampak hukum bagi yang melanggarnya, dimana asas itikad baik harus sudah ada sejak pada tahap pra perjanjiankontrak atau pelaksaan kontrak. Sementara itu, masalah jual beli tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat sehari-hari dan itikad baik dalam jual beli merupakan faktor yang penting sehingga pembeli yang beritikad baik akan mendapat perlindungan hukum secara wajar menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan yang tidak beritikad baik tidak perlu mendapat perlindungan hukum. 7 Ada hal-hal yang harus diperhatikan dalam jual beli khususnya jual beli atas tanah, seperti status hukum tanah tersebut apakah sedang dalam sengketa atau tidak dan sedang dijaminkan atau tidak, hal tersebut biasanya tercantum dalam surat pernyataan tidak dalam sengketa yang ditandatangani oleh pihak penjual dan diketahui oleh pejabat daerah setempat dimana objek jual beli itu berada. Itikad baik yang ditunjukkan oleh pihak pembeli yaitu dengan membayar harga yang telah disepakati, dan pihak penjual berkewajiban menyerahkan objek jual beli yang telah dibayar kepada pihak pembeli dalam keadaan tidak sedang dijaminkan ke instansi manapun. Hal ini merupakan salah satu problem hukum apabila penjual tidak memiliki itikad baik yaitu tidak mengatakan yang sebenarnya mengenai obyek tanah yang dijualnya, seperti misalnya tanah sedang dijaminkan tetapi tidak dikatakan secara terus terang atau tanah yang dijual sebenarnya masih dalam sengketa tetapi dikatakan tidak dalam sengketa. Selain itu, bila pembeli atau penjual tidak mempunyai itikad baik akan menyulitkan notaris untuk membuatkan akta jual beli tanahnya mengingat notaris kesulitan dalam menilai itikad baik dari para pihak baik penjual maupun pembeli. Iktikad baik sebernarnya tidak hanya mengacu kepada iktikad baik para pihak, tetapi harus pula mengacu kepada nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, sebab iktikad baik merupakan bagian dari masyarakat. Iktikad baik ini akhirnya mencerminkan standar keadilan atau kepatutan masyarakat. 10 Dengan makna yang demikian itu menjadikan standar iktikad baik sebagai suatu tekanan sosial yang mengatur hubungan antar sosial mereka, yakni setiap warganegara 10 P. van Warmelo, 1976, An Introduction to the Principles of Roman Law, Juta and Co Ltd, Cape Town, hal. 151. 8 harus memiliki kewajiban untuk bertindak dengan iktikad baik terhadap semua warganegara. 25 Ini merupakan konsepsi objektif, yang secara universal diterapkan dalam semua transaksi. Hal ini sesuai dengan Roscoe Pound yang menyatakan jika seseorang bertindak dengan iktikad baik sesuai dengan standar objektif yang didasarkan pada kebiasaan sosial, maka orang lain juga harus bertindak yang serupa terhadap dirinya. 11 Walaupun itikad baik menjadi asas penting dalam hukum kontrak pada berbagai sistem hukum tetapi asas itikad baik tersebut masih menimbulkan sejumlah permasalahan hukum lainnya. Permasalahan hukum tersebut diantaranya berkaitan keabstrakan atau kekaburan makna itikad baik sehingga timbul pengertian itikad baik yang berbeda-beda baik dari perspektif waktu, tempat, dan orangnya. Selain tidak ada makna tunggal itikad baik, dalam praktik praktek timbul pula permasalahan mengenai tolak ukur, dan fungsi itikad baik tersebut. Akibatnya, makna dan tolak ukur serta fungsi itikad baik lebih banyak disandarkan pada sikap atau pandangan hakim yang ditentukan secara kasus per kasus. 12 Permasalahan yang menarik untuk diteliti diantaranya berkaitan dengan kekaburan makna itikad baik sehingga timbul pengertian itikad baik yang berbeda-beda baik dari perspektif waktu, tempat, dan orangnya. Selain tidak ada makna tunggal itikad baik tersebut, timbul pula permasalahan mengenai tolak ukur, dan fungsi itikad baik tersebut. Akibatnya, makna dan tolak ukur serta fungsi itikad baik lebih banyak disandarkan pada sikap atau pandangan hakim 11 Ridwan Khairandy, 2009, “Makna, Tolok Ukur, Pemahaman, dan Sikap Pengadilan di Indonesia terhadap Iktikad Baik dalam Pelaksanaan Kontrak,” Jurnal Hukum No. Edisi Khusus, Vol. 16, hal. 51-71. 12 Budi Untung, 2012, Hukum dan Etika Bisnis, Andi, Yogyakarta, hal.87 9 yang ditentukan secara kasus per kasus. Demikian juga bila dikaitkan dengan perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah yang pada saat ini seringkali penjual maupun pembeli banyak menggunakan penipuan atau itikad buruk pada waktu melakukan transaksi jual beli tanah. Hal ini terjadi mengingat harga tanah semakin hari semakin meningkat pesat sehingga mengundang minat orang untuk meraih keuntungan sesaat yang besar namun dengan cara melakukan penipuan dalam transaski jual beli tanah yang mengabaikan asas itikad baik. Penilaian itikad baik harus memperhatikan kepatutan. Setiap kontrak harus didasarkan pretium iustum yang mengacu kepada reason dan equity yang mensyaratkan adanya keseimbangan antara kerugian dan keuntungan bagi kedua belah pihak dalam kontrak just price. Hal tersebut sejalan dengan tujuan hukum sendiri, yakni merealisasikan keadilan. Isi hukum, termasuk isi kontrak harus memuat nilai-nilai keadilan. Ketentuan Pasal 1342 BW menyebutkan bahwa jika kata-kata dalam suatu kontrak sudah jelas maka tidak lagi diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran. Hal ini mengisyaratkan bahwa apapun kontrak yang dibuat orang hendaknya jelas isinya sehingga memberi kepastian. Hal inilah yang dalam ilmu hukum kontrak disebut dengan asas sens clair atau doktrin kejelasan makna plain meaning rules. 13 Idealnya suatu kontrak tidak memerlukan penafsiran apapun, oleh karena itu kalimat atau kata-kata dalam kontrak seharusnya sudah dengan sendirinya dapat menjelaskan maksud dari klausula-klausula yang ada. Oleh karena itu, jika semuanya sudah jelas ditulis 13 Suhardana, 2008, Contract Drafting: Kerangka Dasar dan Teknik Penyusunan Kontrak, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, hal. 65. 10 dalam kontrak, maka penafsiran kontrak bukan hanya tidak diperlukan, tetapi memang tidak diperbolehkan jika dengan penafsiran tersebut justru akan mempunyai arti yang menyimpang dari yang tersirat tersebut. 14 Berdasarkan penelitian kepustakaan baik melalui perpustakaan- perpustakaan yang ada di Kota Denpasar maupun secara online terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah yaitu : 1. Penelitian Arkie V.Y. Tumbelaka dengan judul ”Kajian Kontrak Baku dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun dalam Perspektif Itikad Baik Kasus Rumah Susun Permata Gandaria Antara Nyonya X dengan Pt. Putra Surya Perkasa”. Magister Hukum Ekonomi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Tahun 2012. Rumusan masalah dari tesis ini adalah sebagai berikut : a. Bagaimanakah perspektif asas itikad baik terhadap kontrak baku khususnya pada perjanjian pengikatan jual beli satuan rumah susun? b. Bagaimanakah asas itikad baik memberikan perlindungan bagi calon pembeli terkait dengan kontrak baku yang terdapat dalam perjanjian pengikatan jual beli satuan rumah susun? Penelitian Arkie V.Y. Tumbelaka dengan penelitian yang akan dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama meneliti tentang itikad baik dalam perjanjian. Perbedaannya jika penelitian Arkie V.Y. Tumbelaka membahas perjanjian pengikatan 14 Bambang Sutiyoso, 2013, “Penafsiran Kontrak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Maknanya bagi Para Pihak yang Bersangkutan,” Jurnal Hukum Iuq Quia Iustum, No.2, Vol.20, hal. 208-209. 11 jual beli tanah satuan rumah susun permata Gandaria, sedangkang pada penelitian yang akan dilakukan membahas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli tanah pada umumnya. 2. Penelitian Erna Widjajati dengan judul ”Itikad Baik dalam Jual Beli Tanah di Indonesia”. Program Magister Hukum, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, Tahun 2010. Rumusan masalah dari tesis ini adalah sebagai berikut : a. Apakah perbuatan penjual yang menyatakan bahwa tanah yang dijualnya kepada pembeli tidak dalam sengketa baik mengenai haknya atau batas-batasnya, namun dalam pelaksanaan perjanjian ternyata tidak sesuai dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum menurut KUH Perdata? b. Apakah penjual memiliki itikad tidak baik dalam perjanjian jual beli tanah tersebut? c. Apakah pengadilan agama memiliki kewenangan untuk meletakkan sita jaminan terhadap tanah yang merupakan harta bersama antara A dengan S? Penelitian Erna Widjajati dengan penelitian yang akan dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama meneliti tentang itikad baik dalam perjanjian. Perbedaannya jika penelitian Erna Widjajati membahas mengenai itikad baik dalam jual beli tanah di Indonesia, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan membahas mengenai asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah. 12 3. Penelitian Bronto Hartono dengan judul “Prinsip Itikad Baik dalam Pelaksanaan Perjanjian Asuransi Jiwa PT.Asuransi Jiwasraya Persero di Regional Office Semarang”. Program Pascasarjana Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro Semarang, Tahun 2013. Rumusan masalah dari tesis ini adalah sebagai berikut : a. Apakah cacat kesehatan tersembunyi merupakan pelanggaran prinsip Utmost Good Faith? b. Bagaimana akibat hukum klaim asuransi, apabila terdapat cacat kesehatan tersembunyi dalam perjanjian asuransi jiwa, jika dihubungkan dengan prinsip Utmost Good Faith? c. Bagaimana penyelesaian sengketa klaim asuransi dalam perjanjian asuransi jiwa yang diketahui terdapat cacat kesehatan tersembunyi? Penelitian Bronto Hartono dengan penelitian yang akan dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama meneliti tentang itikad baik dalam perjanjian. Perbedaannya jika penelitian Bronto Hartono membahas tentang prinsip itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian asuransi jiwa PT. Asuransi Jiwasraya Persero di Regional Office Semarang, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan membahas mengenai asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah. Berdasarkan persamaan dan perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian yang akan dilakukan seperti diuraikan di atas, maka dapat dinyatakan bahwa penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya baik substansi maupun metodologinya. 13 Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ”Asas Itikad Baik dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah”.

1.2 Rumusan Masalah