Asas Itikad Baik Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah.

(1)

TESIS

ASAS ITIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN

PENGIKATAN JUAL BELI HAK ATAS TANAH

NGURAH WAHYU RESTA NIM 1292462008

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(2)

ii

ASAS ITIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN

PENGIKATAN JUAL BELI HAK ATAS TANAH

Tesis ini dibuat untuk memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana

NGURAH WAHYU RESTA NIM 1292462008

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

iii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 31 AGUSTUS 2015

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. I Wayan Wiryawan, SH., MH Dr. I Made Sarjana, SH., MH. NIP. 19550306 198403 1 003 NIP. 19611231 198601 1 001

Mengetahui :

Ketua Program Magister Kenotariatan Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana

Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., M.Hum. Prof. Dr. dr. A.A.Raka Sudewi, Sp.S.(K) NIP. 19640402 198911 2 001 NIP. 195902151985102001


(4)

iv

TESIS INI TELAH DIUJI PADA TANGGAL 14 JANUARI 2016

Panitia Penguji Tesis

Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor: 16/I/MKn/UN14.4/DT/2016

Ketua : Dr. I Wayan Wiryawan, SH, MH Sekretaris : Dr. I Made Sarjana, SH., MH

Anggota : 1. Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH., M.Hum 2. Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., M.Hum 3. Dr. I Ketut Tjukup, SH., MH


(5)

v

PERNYATAAN PLAGIAT

Dengan ini saya menyatakan yang sebenarnya bahwa :

Nama : Ngurah Wahyu Resta

NIM : 1292462008

Program Studi : Kenotariatan

Judul Tesis : Asas Itikad Baik Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah.

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas dari plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 17 Oktober 2015 Yang membuat pernyataan,


(6)

vi

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dengan selesainya tesis ini. Adapun judul tesis ini adalah ”Asas Itikad Baik Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah.” Tesis ini disusun untuk memenuhi kriteria sebagai salah satu syarat meraih gelar Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Banyak kendala yang dihadapi oleh penulis dalam rangka penyusunan tesis ini, yang hanya berkat bantuan berbagai pihak, maka tesis ini selesai pada waktunya. Dalam kesempatan ini penulis dengan tulus menyampaikan terima kasih kepada Dr. I Wayan Wiryawan, SH., MH, selaku pembimbing pertama dan Dr. I Made Sarjana, SH., MH, selaku pembimbing kedua, yang telah memberikan bimbingan dan ide kepada penulis dalam proses penyelesaian tesis ini.

Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Universitas Udayana, kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswi Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana, kepada Prof. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH., atas izin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Magister. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., M.Hum., atas kesempatan dan dukungan yang telah diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana, kepada panitia penguji tesis, Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH., M.Hum, Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., M.Hum, dan Dr. I Ketut Tjukup, SH., MH, yang telah memberikan masukan dan saran kepada penulis dalam proses penyelesaian tesis ini.

Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak dan Ibu dosen pengajar pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana


(7)

vii

atas ilmu yang telah diberikan, rekan-rekan mahasiswa Kenotariatan angkatan VI serta Bapak dan Ibu staf berserta karyawan Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah banyak membantu kelancaran proses administrasi.

Ucapan terima kasih yang sangat dalam penulis ucapkan kepada yang tercinta kedua orang tua, serta teman-teman dan rekan-rekan kerja yang selalu memberikan motivasi dan dukungannya agar tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Akhir kata penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi almamater dan semua pihak yang berkepentingan, serta masyarakat.

Denpasar, 17 Oktober 2015 Penulis,


(8)

viii ABSTRAK

Asas itikad baik dalam perjanjian jual beli merupakan faktor yang sangat penting, sehingga penjual maupun pembeli yang beritikad baik akan mendapat perlindungan hukum secara wajar menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam perjanjian jual beli tanah, penjual berkewajiban untuk memberikan informasi mengenai segala sesuatu yang penting berkenaan dengan tanah yang hendak dijual, yang dapat membantu pembeli untuk mengambil keputusan untuk membeli benda tersebut, sedangkan pembeli berkewajiban untuk memeriksa obyek perjanjian tersebut apakah ada cacat hukumnya atau tidak, apakah tanah tidak berada dalam sengketa, apakah ada rencana pemerintah yang akan berpengaruh terhadap tanah tersebut. Kewajiban untuk memberitahukan dan memeriksa itu harus dilandasi dengan itikad baik.

Berdasarkan hal tersebut penelitian ini bermaksud untuk meneliti permasalahan (1) bagaimanakah mewujudkan asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah? dan (2) bagaimanakah akibat hukum yang terjadi jika tidak merealisasikan asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah?

Jenis penelitian yang digunakan merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep dan pendekatan kasus. Sumber bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari: primer, sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum merupakan teknik studi kepustakaan. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis yuridis, yaitu analisis yang mendasarkan pada teori-teori, konsep dan peraturan perundang-undangan.

Hasil penelitian menunjukkan (1) terwujudnya asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah mengacu kepada isi perjanjian yang rasional dan/atau patut. Itikad baik dalam konteks Pasal 1338 ayat (3) BW (Indonesia) didasarkan pada rasionalitas dan kepatutan. Standar yang dipakai dalam menilai itikad baik dalam pelaksanaan kontrak adalah standar objektif. Dengan standar ini maka perilaku para pihak dalam melaksanakan kontrak dan penilaian terhadap isi kontrak didasarkan pada prinsip rasionalitas dan kepatutan; dan (2) akibat hukum yang terjadi jika tidak merealisasikan asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah maka perjanjian dapat dibatalkan oleh pihak yang merasa dirugikan. Namun pembatalan ini harus dilakukan dengan gugatan melalui peradilan (fiat peradilan). Namun seringkali pengadilan belum memiliki pemahaman yang mendalam dan konsisten tentang makna iktikad baik yang dimaksud Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Pada mulanya peradilan lebih mengkedepankan pacta sunt servanda dan mengesampingkan iktikad baik.


(9)

ix

ABSTRACT

The principle of good faith in the purchase agreement is a very important factor, so the seller or buyer is acting in good faith, will receive equal legal protection in accordance with the prevailing legislation. In a land purchase agreement, the seller is obliged to provide information about everything that is important with regard to the land to be sold, while the buyer is obliged to inspect the land whether there are legal defects or not, whether the land were not in dispute, whether there is a government plan that will affect the land. The obligation to notify and check it should be based on good faith.

Based on those issues this research intends to investigate the problem (1) how to realize the principle of good faith in a binding sale and purchase agreement of land rights? and (2) how the legal consequences occur if does not realize the principle of good faith in a binding sale and purchase agreement of land rights?

The type of research is a normative legal research with statute approach, conceptual approach and case approach. Sources of legal materials in this research consisted of primary, secondary and tertiary legal materials. The technique of collecting legal material used is literature study techniques. The analysis technique used in this research is the juridical analysis, which is the analysis based on theories, concepts and legislation.

The research result indicated (1) the realization of the principle of good faith in a binding sale and purchase agreement of land rights referring to the agreement that rational and/or inappropriate. Good faith in the context of Article 1338 paragraph (3) BW (Indonesia) is based on rationality and appropriateness. The standards used in assessing the good faith in the contract execution is an objective standard. By this standard, the behavior of the parties in carrying out the contract and the assessment of the contents of the contract based on the principle of rationality and appropriateness; and (2) legal consequences occur if it does not realize the principle of good faith in a binding sale and purchase agreement of land rights then the agreement can be canceled by those who feel aggrieved. However, this cancellation should be done with a lawsuit through the courts (judicial fiat). But often the courts do not yet have a deep understanding and consistent for about the meaning of good faith referred to in article 1338 paragraph (3) of the Civil Code. At first the court more highlighting pacta sunt servanda and override good faith.


(10)

x

RINGKASAN

Tesis ini bertujuan untuk menganalisis asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah.

Bab I, menguraikan latar belakang masalah yang dalam hal ini penilaian itikad baik harus memperhatikan kepatutan. Setiap kontrak harus didasarkan pretium iustum yang mengacu kepada reason dan equity yang mensyaratkan adanya keseimbangan antara kerugian dan keuntungan bagi keduabelah pihak dalam kontrak (just price). Hal tersebut sejalan dengan tujuan hukum sendiri, yakni merealisasikan keadilan. Isi hukum, termasuk isi kontrak harus memuat nilai-nilai keadilan. Ketentuan Pasal 1342 BW menyebutkan bahwa jika kata-kata dalam suatu kontrak sudah jelas maka tidak lagi diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran. Hal ini mengisyaratkan bahwa apapun kontrak yang dibuat orang hendaknya jelas isinya sehingga memberi kepastian. Hal inilah yang dalam ilmu hukum kontrak disebut dengan asas sens clair atau doktrin kejelasan makna (plain meaning rules). Idealnya suatu kontrak tidak memerlukan penafsiran apapun, oleh karena itu kalimat atau kata-kata dalam kontrak seharusnya sudah dengan sendirinya dapat menjelaskan maksud dari klausula-klausula yang ada. Oleh karena itu, jika semuanya sudah jelas ditulis dalam kontrak, maka penafsiran kontrak bukan hanya tidak diperlukan, tetapi memang tidak diperbolehkan jika dengan penafsiran tersebut justru akan mempunyai arti yang menyimpang dari yang tersirat tersebut. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pada sub ini juga diuraikan mengenai rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teoritis dan metode penelitian.

Bab II, menguraikan tentang tinjauan umum asas itikad baik dan pengaturannya. Bab ini terdiri dari 3 Sub Bab yaitu Sub Bab pertama tentang Pemikiran Filsafat tentang Itikad Baik, yang terdiri dari Itikad Baik Subjektif; dan Itikad Baik Obyektif. Sub Bab kedua tentang Itikad Baik dalam BW (Indonesia). Sub bab ketiga membahasa tentang Itikad Baik dalam Peralihan Hak Atas Tanah yang terdiri dari Itikad Baik dalam Ketentuan Hukum Adat; Itikad Baik dalam Ketentuan Hukum Agraria; dan Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Bab III merupakan hasil penelitian dan pembahasan rumusan masalah yang pertama, mengenai asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah. Bab ini dibagi menjadi 4 Sub Bab yaitu Sub Bab pertama mengenai Makna Itikad Baik dalam Hukum Perjanjian. Sub Bab kedua membahas Itikad Baik secara Umum dalam Perjanjian sesuai Pasal 1338 BW (Indonesia). Sub bab ketiga mengenai Karakteristik Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah. Sub bab keempat tentang Mewujudkan Asas Itikad Baik dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah.

Bab IV merupakan hasil penelitian dan pembahasan rumusan masalah kedua terkait dengan akibat hukum yang terjadi jika tidak merealisasikan asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah. Bab ini dibagi menjadi 3 Sub Bab yang terdiri dari Sub Bab pertama tentang Akibat Hukum terhadap Penjual sebagai Akibat tidak Adanya Itikad Baik dalam Perjanjian


(11)

xi

Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah. Sub Bab kedua membahas Akibat Hukum tidak Adanya Itikad Baik dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah. Sub Bab ketiga membahas mengenai Itikad Baik Terkait dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah.

Bab V merupakan bab penutup yaitu menguraikan tentang simpulan dan saran dari penulis. Penulis menyimpulkan bahwa (1) Terwujudnya asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah mengacu kepada isi perjanjian yang rasional dan atau patut. Itikad baik dalam konteks Pasal 1338 ayat (3) BW (Indonesia) didasarkan pada rasionalitas dan kepatutan. Standar yang dipakai dalam menilai itikad baik dalam pelaksanaan kontrak adalah standar objektif. Dengan standar ini maka perilaku para pihak dalam melaksanakan kontrak dan penilaian terhadap isi kontrak didasarkan pada prinsip rasionalitas dan kepatutan; dan (2) Akibat hukum yang terjadi jika tidak merealisasikan asas itikad baik dalam perjanjian, maka pengikatan jual beli hak atas tanah maka perjanjian dapat dibatalkan oleh pihak yang merasa dirugikan, namun pembatalan ini harus dilakukan dengan gugatan melalui peradilan (fiat peradilan). Sementara itu saran yang dapat disampaikan mengingat itikad baik dalam perjanjian pada saat ini hanya diatur pada Pasal 1338 ayat (3) BW saja, sehingga timbul berbagai penafsiran yang berbeda-beda. Oleh karenanya disarankan agar segera dibuat peraturan perundang-undangan yang menjabarkan itikad baik tersebut. Mengingat pengadilan belum memiliki pemahaman yang mendalam dan konsisten tentang makna iktikad baik yang dimaksud Pasal 1338 ayat (3) BW. Pada mulanya peradian lebih mengkedepankan facta sunt servanda dan mengesampingkan iktikad baik, maka untuk meningkatkan pemahaman iktikad baik tersebut bagi para hakim, hakim wajib melakukan pendalaman materi melalui publikasi maupun pelatihan di lingkungan peradilan.


(12)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PRASYARAT GELAR ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

LEMBAR PANITIA PENGUJI ... iv

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT... ix

RINGKASAN ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 13

1.3 Tujuan Penelitian ... 13

1.3.1 Tujuan Umum ... 13

1.3.2 Tujuan Khusus ... 13

1.4 Manfaat Penelitian ... 14

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 14

1.4.2 Manfaat Praktis ... 14

1.5 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran ... 15

1.5.1 Landasan Teoritis ... 15

1.5.1.1 Teori Keadilan ... 15

1.5.1.2 Teori Kehendak ... 20

1.5.1.3 Asas Kepatutan ... 22

1.5.1.4 Prinsip Rasionalitas ... 23

1.5.1.5 Konsep Jual Beli ... 25


(13)

xiii

1.6 Metode Penelitian... 42

1.6.1 Jenis Penelitian ... 42

1.6.2 Jenis Pendekatan ... 43

1.6.3 Sumber Bahan Hukum ... 44

1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 46

1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ... 46

BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN PENGATURANNYA ... 48

2.1 Pemikiran Filsafat tentang Itikad Baik ... 48

2.1.1 Itikad Baik Subjektif ... 53

2.1.2 Itikad Baik Obyektif ... 54

2.2 Itikad Baik dalam BW (Indonesia) ... 59

2.3 Itikad Baik dalam Peralihan Hak Atas Tanah ... 65

2.3.1 Itikad Baik dalam Ketentuan Hukum Adat ... 66

2.3.2 Itikad Baik dalam Ketentuan Hukum Agraria ... 73

2.3.3 Ketentuan BW ... 85

BAB III ASAS ITIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI HAK ATAS TANAH ... 90

3.1 Makna Itikad Baik dalam Hukum Perjanjian ... 90

3.2 Itikad Baik secara Umum dalam Perjanjian sesuai Pasal 1338 BW (Indonesia) ... 97

3.3 Karakteristik Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah ... 100

3.4 Mewujudkan Asas Itikad Baik dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah ... 107

BAB IV AKIBAT HUKUM YANG TERJADI JIKA TIDAK MEREALISASIKAN ASAS ITIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI HAK ATAS TANAH ... 122

4.1 Akibat Hukum terhadap Penjual sebagai Akibat tidak Adanya Itikad Baik dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah ... 122


(14)

xiv

4.2 Akibat Hukum terhadap Pembeli sebagai Akibat tidak Adanya Itikad Baik dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas

Tanah ... 148

4.3 Itikad Baik Terkait dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah 152 BAB V PENUTUP ... 164

5.1 Simpulan ... 164

5.2 Saran ... 164


(15)

xv

DAFTAR GAMBAR


(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Perjanjian menguasai begitu banyak bagian kehidupan manusia, hingga orang tidak mengetahui berapa banyak perjanjian yang telah dibuat setiap harinya. Dalam pengertiannya yang luas, perjanjian adalah kesepakatan yang melandasi hubungan antara 2 (dua) pihak atau lebih. Dalam hal perjanjian jual-beli pengertiannya adalah kesepakatan yang dibuat oleh 2 (dua) pihak di mana pihak pertama disebut sebagai penjual dan pihak lainnya sebagai pembeli.

Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lainnya atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbulah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.1

Perjanjian bisa dibuat dalam bentuk lisan maupun tertulis. Perjanjian dalam bentuk tertulis pada dunia bisnis disebut kontrak. Namun sebenarnya kontrak ataupun perjanjian memiliki pengertian yang sama yaitu kesepakatan antara para pihak yang mempunyai akibat hukum yang mengikat.

Perjanjian atau kontrak merupakan bagian yang melekat dari transaksi bisnis baik dalam skala besar maupun kecil, baik domestik maupun internasional.

1

R. Subekti, 1996, Hukum Perjanjian, cet. 10, PT. Intermasa, Jakarta, hal.1 (selanjutnya disebut Subekti I).


(17)

2

Fungsi kontrak sangat penting dalam menjamin bahwa seluruh harapan yang dibentuk dari janji-janji para pihak dapat terlaksana dan dipenuhi. Dalam hal terjadi pelanggaran, maka terdapat kompensasi yang harus dibayar dan konsekuensi hukum yang harus ditanggung. Dalam dunia bisnis, waktu dan kepastian merupakan faktor yang penting. Hukum kontrak dalam hal ini memberikan sarana yang memungkinkan para pihak mengakomodasi seluruh kepentingannya. Kontrak merupakan janji yang mengikat dan janji-janji tersebut menimbulkan harapan-harapan yang layak. Hukum kontrak dalam hal ini merupakan instrumen hukum yang berfungsi untuk menjamin pelaksanaan janji dan harapan itu.2

Ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian diatur dalam Titel II Pasal 1313 sampai dengan Pasal 1351 Burgerljik Wetboek, Stb, 1847 No. 23 (selanjutnya disebut BW). Menurut Pasal 1313 BW, yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perbuatan, dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Terjadinya persesuaian kehendak ini dapat berupa lisan atau tertulis. Dari sini timbul suatu penawaran dan suatu acceptance (penerimaan), sehingga menimbulkan suatu persetujuan yang mengakibatkan timbulnya ikatan-ikatan bagi masing-masing pihak.

Suatu janji dengan sengaja antara dua pihak tersebut dan kesepakatan untuk saling mengikatkan diri, menimbulkan suatu hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak yang perlu untuk diwujudkan. Hak dan kewajiban yang perlu diwujudkan ini, berupa prestasi yang tersimpul dalam suatu kewajiban untuk

2

Yohanes Sogar Simamora, 2009, Hukum Perjanjian ; (Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah),LaksBang Pressindo, Yogyakarta, hal. 32-33.


(18)

3

memberikan atau menyerahkan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW).

Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak yang satu dapat menuntut prestasi yang diperjanjikan pada pihak lainnya. Untuk itu para pihak diwajibkan untuk secara efektif berperan dalam mewujudkan apa yang diperjanjikan. Mengingat perjanjian berlaku sebagai undang-undang maka jika salah satu pihak melakukan wanprestasi, maka pihak lainnya dapat menuntut pemenuhan prestasi melalui gugatan dipengadilan.

Selanjutnya dalam Pasal 1320 BW disebutkan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian, diperlukan 4 syarat, yaitu adanya sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat perikatan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Pemenuhan persyaratan ini membuat setiap orang dapat membuat perjanjian apa saja. Pasal 1320 BW disebut sebagai ketentuan yang mengatur asas konsesualisme, yaitu perjanjian adalah sah apabila ada kata sepakat mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian. Hal ini berkaitan dengan asas kebebasan berkontrak dalam membuat semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, yang disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) BW, sehingga perjanjian harus dibuat dengan memenuhi ketentuan Undang-Undang, maka perjanjian tersebut mengikat para pihak yang kemudian menimbulkan hak dan kewajiban di antara pihak-pihak tersebut.

Berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) BW, salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam menerapkan asas kebebasan berkontrak, adalah itikad baik dari pihak yang membuat perjanjian. Itikad baik dalam tahap pelaksanaan perjanjian


(19)

4

adalah kepatutan, yaitu suatu penilaian baik terhadap tindak tanduk suatu pihak dalam melaksanakan apa yang akan diperjanjikan.3 Asas itikad baik dengan demikian mengandung pengertian, bahwa kebebasan suatu pihak dalam membuat perjanjian tidak dapat diwujudkan sekehendaknya tetapi dibatasi oleh itikad baiknya.4

Pengaturan itikad baik di Indonesia ditemukan yang dalam Pasal 1338 ayat (3) BW yang menyebutkan bahwa perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik. Ketentuan ini sangat abstrak. Tidak ada pengertian dan tolok ukur itikad baik dalam BW. Oleh karena itu, perlu dicari dan ditelusuri makna dan tolok ukur itikad baik tersebut.

Asas iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak didasarkan pada ide bahwa para pihak dalam suatu hubungan hukum harus memiliki sikap yang dikaitkan dengan karakter reciprocal trust dan consideration sesuai dengan tujuan norma hukum. Unsur moral dan postulat masyarakat masuk ke dalam konsep iktikad baik sebagai basis bagi suatu tindakan yang mensyaratkan adanya penghormatan tujuan hukum.5 Pelaksanaan perjanjian mengacu kepada itikad baik yang objektif. Itikad baik objektif mengacu kepada suatu norma yang objektif. Itikad baik tersebut tidak hanya mengacu kepada iktikad baik para pihak, tetapi harus pula mengacu kepada pengaturan perundang-undangan di Indonesia. Dengan makna

3

Subekti, 2006, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung, hal. 26. (Selanjutnya disebut Subekti II).

4

Sutan Remy Sjahdeni, 2008, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, hal. 49.

5

Arthur S. Hartkamp dan Marianne dalam Ridwan Khairandy, 2009, “Makna, Tolok Ukur, Pemahaman dan Sikap Pengadilan di Indonesia terhadap Iktikad Baik dalam Pelaksanaan Kontrak,” Jurnal Hukum, No. Edisi Khusus, Vol. 16, hal. 56-62. (Selanjutnya disebut Ridwan Khairandy I)


(20)

5

yang demikian itu menjadikan standar itikad baik sebagai suatu universal social force yang mengatur hubungan antar sosial mereka, yakni setiap warga negara harus memiliki kewajiban untuk bertindak dengan itikad baik terhadap semua warga negara.6

Penyamaan perilaku itikad baik dengan ketaatan pada standar objektif membatasi elastisitas konsep itikad baik, mengesampingkan fakta eksternal yang menunjukkan perilaku itikad buruk, dan secara potensial menimbulkan hasil yang tidak adil. Standar pengukuran perilaku dalam pembentukan perjanjian, pelaksanaan perjanjian, atau penegakan hukum perjanjian harus menjadi sesuatu yang elastis. Standar tersebut harus dibuat fleksibel dengan gagasan itikad baik, yang pada hakikatnya suatu konsep yang luas. Gagasan itikad baik merupakan a single mode of analysis comprising a spectrum of related, factual considerations.7

J.M van Dunn membagi tahapan berkontrak dalam tiga fase, yakni fase pra kontrak, fase pelaksanaan kontrak dan fase pasca kontrak itikad baik sudah harus ada sejak fase pra-kontrak dimana para pihak mulai melakukan negosiasi hingga mencapai kesepakatan dan fase pelaksanaan kontrak8 Itikad baik pada tahap pra-kontrak merupakan kewajiban untuk memberitahukan atau menjelaskan dan meneliti fakta material bagi para pihak yang berkaitan dengan jual beli tanah yang dinegosiasikan itu. Sehubungan dengan hal itu, putusan-putusan Hoge Raad menyatakan para pihak yang bernegosiasi masing-masing memiliki itikad baik.9

6

Ibid. 7

Ridwan Khairandy, 2011, “Kebebasan Berkontrak dan Facta Sunt Servanda Versus

Itikad Baik: Sikap yang harus diambil Pengadilan,” disampaikan pada, Pidato Pengukuhan dalam Jabatan Guru Besar Hukum kontrak, Universitas Islam Indonesia, tanggal 8 februari, hal. 26-27. (Selanjutnya disebut Ridwan Khairandy II).

8

Ibid, hal. 190. 9


(21)

6

Itikad baik subjektif dapat dikaitkan dengan hukum benda (bezit). Seorang pembeli yang beritikad baik adalah seorang yang membeli barang dengan niat untuk membeli suatu benda yang diinginkan dengan kesadaran bahwa untuk membeli benda tersebut diperlukan pembayaran. Pembeli yang beritikad baik ini adalah seorang pembeli yang jujur. Sebaliknya adalah pembeli yang beritikad buruk atau pembeli yang tidak jujur.

Jadi, itikad baik di dalam hukum benda di artikan sebagai kejujuran. Penjual yang beritikad baik atau penjual yang jujur adalah orang yang jujur yang menunjukkan adanya cacat yang melekat pada barang yang dijualnya itu, dalam hal jual beli tanah, penjual jujur menunjukkan cacat mengenai asal usul tanahnya. Dalam hal ini, itikad baik merupakan suatu elemen subjektif. Itikad baik subjektif ini berkaitan dengan sikap batin atau kejiwaan yaitu apakah yang bersangkutan menyadari atau mengetahui bahwa tindakannya bertentangan atau tidak dengan itikad baik atau kejujuran.

Pihak yang memiliki itikad baik dalam tahap pra perjanjian/kontrak jual beli tanah namun menderita kerugian pada tahap pelaksanaan perjanjian/kontrak, hak-haknya patut untuk dilindungi, sehingga janji-janji pra perjanjian/kontrak akan berdampak hukum bagi yang melanggarnya, dimana asas itikad baik harus sudah ada sejak pada tahap pra perjanjian/kontrak atau pelaksaan kontrak.

Sementara itu, masalah jual beli tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat sehari-hari dan itikad baik dalam jual beli merupakan faktor yang penting sehingga pembeli yang beritikad baik akan mendapat perlindungan hukum secara wajar menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan yang tidak beritikad baik tidak perlu mendapat perlindungan hukum.


(22)

7

Ada hal-hal yang harus diperhatikan dalam jual beli khususnya jual beli atas tanah, seperti status hukum tanah tersebut apakah sedang dalam sengketa atau tidak dan sedang dijaminkan atau tidak, hal tersebut biasanya tercantum dalam surat pernyataan tidak dalam sengketa yang ditandatangani oleh pihak penjual dan diketahui oleh pejabat daerah setempat dimana objek jual beli itu berada. Itikad baik yang ditunjukkan oleh pihak pembeli yaitu dengan membayar harga yang telah disepakati, dan pihak penjual berkewajiban menyerahkan objek jual beli yang telah dibayar kepada pihak pembeli dalam keadaan tidak sedang dijaminkan ke instansi manapun. Hal ini merupakan salah satu problem hukum apabila penjual tidak memiliki itikad baik yaitu tidak mengatakan yang sebenarnya mengenai obyek tanah yang dijualnya, seperti misalnya tanah sedang dijaminkan tetapi tidak dikatakan secara terus terang atau tanah yang dijual sebenarnya masih dalam sengketa tetapi dikatakan tidak dalam sengketa. Selain itu, bila pembeli atau penjual tidak mempunyai itikad baik akan menyulitkan notaris untuk membuatkan akta jual beli tanahnya mengingat notaris kesulitan dalam menilai itikad baik dari para pihak baik penjual maupun pembeli.

Iktikad baik sebernarnya tidak hanya mengacu kepada iktikad baik para pihak, tetapi harus pula mengacu kepada nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, sebab iktikad baik merupakan bagian dari masyarakat. Iktikad baik ini akhirnya mencerminkan standar keadilan atau kepatutan masyarakat.10Dengan makna yang demikian itu menjadikan standar iktikad baik sebagai suatu tekanan sosial yang mengatur hubungan antar sosial mereka, yakni setiap warganegara

10

P. van Warmelo, 1976, An Introduction to the Principles of Roman Law, Juta and Co Ltd, Cape Town, hal. 151.


(23)

8

harus memiliki kewajiban untuk bertindak dengan iktikad baik terhadap semua warganegara.25 Ini merupakan konsepsi objektif, yang secara universal diterapkan dalam semua transaksi. Hal ini sesuai dengan Roscoe Pound yang menyatakan jika seseorang bertindak dengan iktikad baik sesuai dengan standar objektif yang didasarkan pada kebiasaan sosial, maka orang lain juga harus bertindak yang serupa terhadap dirinya.11

Walaupun itikad baik menjadi asas penting dalam hukum kontrak pada berbagai sistem hukum tetapi asas itikad baik tersebut masih menimbulkan sejumlah permasalahan hukum lainnya. Permasalahan hukum tersebut diantaranya berkaitan keabstrakan atau kekaburan makna itikad baik sehingga timbul pengertian itikad baik yang berbeda-beda baik dari perspektif waktu, tempat, dan orangnya. Selain tidak ada makna tunggal itikad baik, dalam praktik (praktek) timbul pula permasalahan mengenai tolak ukur, dan fungsi itikad baik tersebut. Akibatnya, makna dan tolak ukur serta fungsi itikad baik lebih banyak disandarkan pada sikap atau pandangan hakim yang ditentukan secara kasus per kasus.12 Permasalahan yang menarik untuk diteliti diantaranya berkaitan dengan kekaburan makna itikad baik sehingga timbul pengertian itikad baik yang berbeda-beda baik dari perspektif waktu, tempat, dan orangnya. Selain tidak ada makna tunggal itikad baik tersebut, timbul pula permasalahan mengenai tolak ukur, dan fungsi itikad baik tersebut. Akibatnya, makna dan tolak ukur serta fungsi itikad baik lebih banyak disandarkan pada sikap atau pandangan hakim

11

Ridwan Khairandy, 2009, “Makna, Tolok Ukur, Pemahaman, dan Sikap Pengadilan di Indonesia terhadap Iktikad Baik dalam Pelaksanaan Kontrak,” Jurnal Hukum No. Edisi Khusus,

Vol. 16, hal. 51-71. 12


(24)

9

yang ditentukan secara kasus per kasus. Demikian juga bila dikaitkan dengan perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah yang pada saat ini seringkali penjual maupun pembeli banyak menggunakan penipuan atau itikad buruk pada waktu melakukan transaksi jual beli tanah. Hal ini terjadi mengingat harga tanah semakin hari semakin meningkat pesat sehingga mengundang minat orang untuk meraih keuntungan sesaat yang besar namun dengan cara melakukan penipuan dalam transaski jual beli tanah yang mengabaikan asas itikad baik.

Penilaian itikad baik harus memperhatikan kepatutan. Setiap kontrak harus didasarkan pretium iustum yang mengacu kepada reason dan equity yang mensyaratkan adanya keseimbangan antara kerugian dan keuntungan bagi kedua belah pihak dalam kontrak (just price). Hal tersebut sejalan dengan tujuan hukum sendiri, yakni merealisasikan keadilan. Isi hukum, termasuk isi kontrak harus memuat nilai-nilai keadilan.

Ketentuan Pasal 1342 BW menyebutkan bahwa jika kata-kata dalam suatu kontrak sudah jelas maka tidak lagi diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran. Hal ini mengisyaratkan bahwa apapun kontrak yang dibuat orang hendaknya jelas isinya sehingga memberi kepastian. Hal inilah yang dalam ilmu hukum kontrak disebut dengan asas sens clair atau doktrin kejelasan makna (plain meaning rules).13 Idealnya suatu kontrak tidak memerlukan penafsiran apapun, oleh karena itu kalimat atau kata-kata dalam kontrak seharusnya sudah dengan sendirinya dapat menjelaskan maksud dari klausula-klausula yang ada. Oleh karena itu, jika semuanya sudah jelas ditulis

13

Suhardana, 2008, Contract Drafting: Kerangka Dasar dan Teknik Penyusunan Kontrak, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, hal. 65.


(25)

10

dalam kontrak, maka penafsiran kontrak bukan hanya tidak diperlukan, tetapi memang tidak diperbolehkan jika dengan penafsiran tersebut justru akan mempunyai arti yang menyimpang dari yang tersirat tersebut.14

Berdasarkan penelitian kepustakaan baik melalui perpustakaan-perpustakaan yang ada di Kota Denpasar maupun secara online terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah yaitu :

1. Penelitian Arkie V.Y. Tumbelaka dengan judul ”Kajian Kontrak Baku dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun dalam Perspektif Itikad Baik (Kasus Rumah Susun Permata Gandaria Antara Nyonya X dengan Pt. Putra Surya Perkasa)”. Magister Hukum Ekonomi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Tahun 2012. Rumusan masalah dari tesis ini adalah sebagai berikut :

a. Bagaimanakah perspektif asas itikad baik terhadap kontrak baku khususnya pada perjanjian pengikatan jual beli satuan rumah susun? b. Bagaimanakah asas itikad baik memberikan perlindungan bagi calon

pembeli terkait dengan kontrak baku yang terdapat dalam perjanjian pengikatan jual beli satuan rumah susun?

Penelitian Arkie V.Y. Tumbelaka dengan penelitian yang akan dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama meneliti tentang itikad baik dalam perjanjian. Perbedaannya jika penelitian Arkie V.Y. Tumbelaka membahas perjanjian pengikatan

14

Bambang Sutiyoso, 2013, “Penafsiran Kontrak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Maknanya bagi Para Pihak yang Bersangkutan,” Jurnal Hukum Iuq Quia Iustum, No.2, Vol.20, hal. 208-209.


(26)

11

jual beli tanah satuan rumah susun permata Gandaria, sedangkang pada penelitian yang akan dilakukan membahas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli tanah pada umumnya.

2. Penelitian Erna Widjajati dengan judul ”Itikad Baik dalam Jual Beli Tanah di Indonesia”. Program Magister Hukum, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, Tahun 2010. Rumusan masalah dari tesis ini adalah sebagai berikut :

a. Apakah perbuatan penjual yang menyatakan bahwa tanah yang dijualnya kepada pembeli tidak dalam sengketa baik mengenai haknya atau batas-batasnya, namun dalam pelaksanaan perjanjian ternyata tidak sesuai dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum menurut KUH Perdata?

b. Apakah penjual memiliki itikad tidak baik dalam perjanjian jual beli tanah tersebut?

c. Apakah pengadilan agama memiliki kewenangan untuk meletakkan sita jaminan terhadap tanah yang merupakan harta bersama antara A dengan S?

Penelitian Erna Widjajati dengan penelitian yang akan dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama meneliti tentang itikad baik dalam perjanjian. Perbedaannya jika penelitian Erna Widjajati membahas mengenai itikad baik dalam jual beli tanah di Indonesia, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan membahas mengenai asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah.


(27)

12

3. Penelitian Bronto Hartono dengan judul “Prinsip Itikad Baik dalam Pelaksanaan Perjanjian Asuransi Jiwa PT.Asuransi Jiwasraya (Persero) di Regional Office Semarang”. Program Pascasarjana Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro Semarang, Tahun 2013. Rumusan masalah dari tesis ini adalah sebagai berikut :

a. Apakah cacat (kesehatan) tersembunyi merupakan pelanggaran prinsip Utmost Good Faith?

b. Bagaimana akibat hukum klaim asuransi, apabila terdapat cacat (kesehatan) tersembunyi dalam perjanjian asuransi jiwa, jika dihubungkan dengan prinsip Utmost Good Faith?

c. Bagaimana penyelesaian sengketa klaim asuransi dalam perjanjian asuransi jiwa yang diketahui terdapat cacat (kesehatan) tersembunyi? Penelitian Bronto Hartono dengan penelitian yang akan dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama meneliti tentang itikad baik dalam perjanjian. Perbedaannya jika penelitian Bronto Hartono membahas tentang prinsip itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian asuransi jiwa PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) di Regional Office Semarang, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan membahas mengenai asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah.

Berdasarkan persamaan dan perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian yang akan dilakukan seperti diuraikan di atas, maka dapat dinyatakan bahwa penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya baik substansi maupun metodologinya.


(28)

13

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ”Asas Itikad Baik dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah”.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dikemukakan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah mewujudkan asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah?

2. Bagaimanakah akibat hukum yang terjadi jika tidak merealisasikan asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah?

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah: 1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini merupakan upaya peneliti untuk pengembangan ilmu hukum terkait dengan perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah. Berdasarkan hal ini tujuan umum dari penelitian ini adalah “untuk mengetahui dan menganalisis asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah.”

1.3.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana mewujudkan asas itikad dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah.


(29)

14

2. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum yang terjadi jika tidak merealisasikan asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah.

1.4Manfaat Penelitian

Tiap penelitian harus diyakini kegunaannya bagi pemecahan masalah yang diselidiki. Untuk itu perlu dirumuskan secara jelas tujuan penelitian yang bertitik tolak dari permasalahan yang diungkap. Suatu penelitian setidaknya harus mampu memberikan manfaat baik teoritis maupun praktis dalam kehidupan masyarakat. Kegunaan penelitian ini dapat ditinjau dari dua segi yang saling berkaitan yaitu dari segi teoritis dan segi praktis.

1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Hasil penelitian diharapkan bermanfaat bagi pengembangan keilmuan

hukum khususnya hukum perdata dalam hal perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah dan ilmu pengetahuan lainnya.

2. Memberi masukan bagi para pihak yang membutuhkan pengetahuan mengenai asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah.

3. Bermanfaat sebagai bahan kajian awal yang lebih mendalam bagi peneliti lainnya yang akan melakukan kajian atas asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Memberikan masukan bagi para pihak yang terkait atau masyarakat dalam

memaknai asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas


(30)

15

2. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan dapat memberikan informasi dalam memahami asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah.

1.5Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran 1.5.1 Landasan Teoritis

Pada dasarnya yang disebut teori adalah asas, konsep dasar, pendapat yang telah menjadi kebenaran umum. Menurut Kerlinger15 sebuah teori adalah seperangkat konstruk atau konsep, batasan, dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan-hubungan variabel dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi fenomena itu. Sedangkan konsep adalah suatu pemikiran, ide atau gagasan yang menjadi obyek penelitian.

Teori memiliki peranan yang sangat penting untuk memandu penelitian sehingga penelitian yang dilakukan dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Adapun teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Keadilan dan Teori Kehendak, sedangkan asas yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Asas Kepatutan dan Prinsip Rasionalitas serta konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Konsep Jual Beli.

1.5.1.1Teori Keadilan

Transaksi jual beli tanaj mempersyaratkan adanya itikad baik antara penjual dan pembeli. Itikad baik penjual dengan menunjukkan kejujuran mengenai tanah yang dijualnya meskipun ada cacat yang tersembunyi yang

15

Fred N. Kerlinger, 2004, Foundation of Behavioral Research. Holt, Rinehart, hal. 16-17.


(31)

16

mungkin tidak mudah untuk diketahui pembeli, sedangkan itikad baik pembeli ditunjukkan dengan sikap percaya dari pembeli atas penawaran yang diajukan oleh penjual. Adanya itikad baik antara penjual dan pembeli itu dapat mewujudkan keadilan dalam transaksi jual beli tanah yang berarti juga tidak ada pihak baik penjual ataupun pembeli yang dirugikan. Oleh karena itu, Teori Keadilan digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis rumusan masalah yang pertama yaitu cara mewujudkan asas itikad dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah yang berarti juga mewujudkan keadilan diantara pihak penjual dan pembeli..

Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum sebagai “tiga ide dasar hukum” atau “tiga nilai dasar hukum”,16 yang berarti dapat dipersamakan dengan asas hukum. Di antara ketiga asas tersebut yang sering menjadi sorotan utama adalah masalah keadilan, dimana Friedman menyebutkan bahwa : “In terms of law, justice will be judged as how law treats people and how it distributes its benefits and cost,” dan dalam hubungan ini Friedman juga menyatakan bahwa “every function of law, general or specific, is allocative”.17 Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini yang menjadi rujukan pertama baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gerakan perlindungan konsumen oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya.

16

Gustav Radbruch, 1950, Legal Philosophy, in The legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, Translated by Kurt Wilk, Harvard University Press, Massachusetts, hal. 107. Lihat juga Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis),Ghalia Indonesia, Bogor, hal.67.

17

Peter Mahmud Marzuki, 1997, “The Need for the Indonesian Economic Legal Framework”, dalam Jurnal Hukum Ekonomi, Edisi IX, hal. 28.


(32)

17

Secara historis, pada awalnya menurut Gustav Radbruch tujuan kepastian menempati peringkat yang paling atas di antara tujuan yang lain. Namun, setelah melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut Jerman di bawah kekuasaan Nazi melegalisasi praktek-praktek yang tidak berperikemanusiaan selama masa Perang Dunia II dengan jalan membuat hukum yang mensahkan praktek-praktek kekejaman perang pada masa itu, Radbruch pun akhirnya meralat teorinya tersebut di atas dengan menempatkan tujuan keadilan di atas tujuan hukum yang lain. Memanglah demikian bahwa keadilan adalah tujuan hukum yang pertama dan utama, karena hal ini sesuai dengan hakekat atau ontologi hukum itu sendiri.18 Oleh karena itu hukum diciptakan untuk menggapai keadilan melalui peraturan perundang-undangan yang adil sehingga dapat memberi kemanfaatan bagi orang banyak. Dengan demikian dari 3 tujuan hukum, keadilan, kepastian dan kemanfaatan, keadilan didudukan pada urutan yang pertama dan utama.

Keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum juga oleh banyak hakim menyebut sebagai tujuan hukum. Persoalannya, sebagai tujuan hukum, baik Radbruch maupun Achmad Ali mengatakan adanya kesulitan dalam mewujudkan secara bersamaan. Achmad Ali mengatakan, kalau dikatakan tujuan hukum sekaligus mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, apakah hal itu tidak menimbulkan masalah? Dalam kenyataan sering antara tujuan yang satu dan lainnya terjadi benturan. Dicontohkannya, dalam kasus hukum tertentu bila hakim menginginkan putusannya “adil” menurut persepsinya, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, demikian pula sebaliknya.19

18

Achmad Ali,Op.Cit., hal. 69 19

Achmad Ali, 2008, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yasrif Watampone, Jakarta, hal. 95-96.


(33)

18

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa melalui asas prioritas yang kasuistis, tujuan hukum untuk mencapai keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum semua tergantung dari kondisi yang ada atau dihadapi di dalam setiap kasus.

Dalam Teori Keadilan pengertian keadilan memiliki sejarah pemikiran yang panjang. Dapat dikatakan tema keadilan merupakan tema utama dalam hukum semenjak masa Yunani Kuno.20 Memang secara hakiki, dalam diskursus hukum, sifat dari keadilan itu dapat dilihat dalam 2 (dua) arti pokok, yakni dalam arti formal yang menuntut bahwa hukum itu berlaku secara umum, dan dalam arti materil, yang menuntut agar setiap hukum itu harus sesuai dengan cita-cita keadilan masyarakat.21 Namun apabila ditinjau dalam konteks yang lebih luas, pemikiran mengenai keadilan itu berkembang dengan pendekatan yang berbeda-beda, karena perbincangan tentang keadilan yang tertuang dalam banyak buku atau literatur, tidak mungkin tanpa melibatkan tema-tema moral, politik dan teori hukum yang ada. Oleh sebab itu menjelaskan mengenai keadilan secara tunggal hampir-hampir sulit untuk dilakukan.

Pada garis besarnya, pembahasan mengenai keadilan terbagi atas 2 (dua) arus pemikiran, yang pertama adalah keadilan ontologis atau metafisik, sedangkan yang kedua, keadilan yang rasional. Keadilan yang metafisik atau ontologis diwakili oleh Plato, sedangkan keadilan yang rasional diwakili oleh pemikiran Aristoteles. Keadilan yang metafisik, sebagimana diutarakan oleh Plato,

20

E. Fernando M. Manullang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan, Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal.96.

21

Franz Magnis Suseno, 2003, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 81.


(34)

19

menyatakan bahwa sumber keadilan itu asalnya dari inspirasi dan intuisi. Sementara, keadilan yang rasional mengambil sumber pemikirannya dari prinsip-prinsip umum dari rasionalitas tentang keadilan.22

Lebih lanjut, Aristoteles memformulasikan bahwa filsafat hukum membedakan keadilan menjadi 2 (dua) yaitu keadilan distributif dengan keadilan korektif, yang merupakan dasar bagi semua pembahasan teoritis terhadap pokok persoalan keadilan. Keadilan distributif mengacu pada pembagian barang dan jasa kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat, dan perlakuan yang sama terhadap kesederajatan di hadapan hukum (equity before the law)23. Sedangkan keadilan korektif, pada dasarnya merupakan ukuran teknis dan prinsip-prinsip yang mengatur penerapan hukum.

Dengan demikian, jelas sekali bahwa dalam menentukan pengertian keadilan, baik secara formal maupun substansial, dirasakan sangat sulit ditentukan secara definitif. Keadilan itu dapat berubah-ubah isinya, tergantung dari pihak siapa yang menentukan isi keadilan itu, termasuk juga faktor-faktor lainnya yang turut membentuk keadilan itu, seperti tempat maupun waktunya. Seperti halnya John Rawls, yang membangun teorinya secara teliti mengenai keadilan.

Menurut Rawls, keadilan itu tidak saja meliputi konsep moral tentang individunya, tetapi juga mempersoalkan mekanisme dari pencapaian keadilan itu sendiri, termasuk juga bagaimana hukum turut serta mendukung upaya tersebut).24

22

W. Friedman, 1967, Legal Theory, Columbia University Press, New York, hal. 346. 23

Khudzaifah Dimyati, 2005, Teorisasi Hukum: Study Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum Di Indonesia 1945-1990, Muhammadiyah University Press, Surakarta, hal. 54.

24

John Rawls, 2009, Teori Keadilan, terj. Mahendra, Remaja Rosdakarya, Bandung, hal. 11.


(35)

20

Sedangkan keadilan menurut Kelsen, pada dasarnya menyatakan keadilan merupakan nilai yang mengarahkan setiap pihak untuk memberikan perlindungan atas hak-hak yang dijamin oleh hukum (unsur hak) dan perlindungan itu sendiri pada akhirnya harus memberikan manfaat kepada setiap individu (unsur manfaat).25

1.5.1.2Teori Kehendak

Teori kehendak dalam penelitian ini digunakan untuk membahas rumusan masalah yang kedua yaitu akibat hukum jika tidak merealisasikan asas itikad baik dalam perjanjian jual beli tanah yang hingga saat ini belum diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Teori ini dipergunakan untuk membahas rumusan masalah yang kedua yaitu akibat hukum jika tidak merealisasikan asas itikad baik dalam perjanjian jual beli tanah yang hingga saat ini belum diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Tidak adanya itikad baik dari para pihak atau salah satu pihak sebenarnya terjadinya kehendak para pihak adalah semu. Jika saja piha yang bertikad baik mengetahui bahwa pihak lain tidak memiliki itikad baik tentunya tidak ada pertemuan kehendak yang berarti juga tidak terjadainya perjanjian diantara para pihak.

Teori kehendak termasuk salah satu teori hukum kontrak klasik yang berasal dari prinsip private autonomy, kemudian bermakna bahwa kehendak para pihak yang menentukan hubungan hukum kontrak mereka. Prinsip yang demikian

25

Hans Kelsen, 2000, Pengantar Teori Hukum, Penerbit Nusa Media, Bandung, hal, 48-51.


(36)

21

memiliki beberapa konsekuensi sebagai berikut (1) hukum yang berlaku bagi mereka tersebut semata-mata berkaitan dengan maksud yang sebenarnya dari pihak yang berjanji; (2) maksud para pihak harus “bertemu” pada saat sebelum dibuatnya kontrak; (3) hakim tidak memiliki kewenangan untuk mengisi celah dalam suatu kesepakatan dan tidak berdaya menghadapi kemungkinan hal yang tidak terduga; dan (4) pihak yang berjanji bebas mengungkapkan kemauannya.26

Teori kehendak adalah salah satu teori dari hukum kontrak klasik. Menurut teori kehendak suatu kehendak menghadirkan suatu ungkapan kehendak di antara para pihak, yang harus dihormati. Dalam teori kehendak berasumsi bahwa suatu kontrak melibatkan hak dan kewajiban yang dibebankan kepada para pihak. Para pihak dalam suatu perjanjian memiliki hak untuk memenuhi kepentingan pribadinya sehingga melahirkan suatu perikatan. Pertimbangannya ialah bahwa para pihak harus memiliki kebebasan dalam setiap penawaran dan mempertimbangkan kemanfaatannya bagi dirinya.

Subekti mengungkapkan bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian. Kontrak atau perjanjian semata-mata adalah suatu pernyataan kehendak dari dua atau lebih individu. Pernyataan ini merupakan suatu syarat yang harus ada. Tanpa adanya pernyataan ini maka kontrak yang dibuat tidak dapat ada. Para pihak membuat kontrak dengan beberapa kehendak yaitu :

a. Kebutuhan terhadap janji atau janji-janji;

b. Kebutuhan terhadap janji atau janji-janji antara dua atau lebih; c. Pihak dalam suatu perjanjian;

d. Kebutuhan terhadap janji-janji yang dimuat dalam bentuk kewajiban, dan; e. Kebutuhan terhadap kewajiban bagi penegakkan hukum.27

Perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah sebenarnya mencantumkan janji-janji antara pihak penjual dengan pihak pembeli melalui klausula-klausula

26

Ridwan Khairandy, 2011, “Landasan Filosofis Kekuatan Mengikatnya Kontrak”, Jurnal Hukum No. Edisi Khusus Vol. 18, hal. 46.

27


(37)

22

hak dan kewajiban para pihak. Kehendak para pihak yang disebutkan dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah ini harus dinyatakan oleh para pihak. Suatu pernyataan kehendak antara pihak penjual dengan pihak pembeli merupakan suatu syarat yang harus ada. Tanpa adanya pernyataan ini maka perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah yang dibuat tidak akan pernah ada. Teori kehendak dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah adalah sebagai teori yang menegaskan bahwa terdapat kebebasan bagi para pihak untuk mewujudkan kehendaknya yang dinyatakan dalam transaksi hukum dua belah pihak yaitu dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah.

1.5.1.3Asas Kepatutan

Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 BW berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya Suatu perjanjian dilaksanakan dengan terlebih dahulu harus menetapkan secara tegas dan cermat apa yang menjadi isi dari perjanjian tersebut. Dengan demikian dapat diketahui hal-hal yang menjadi hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Akan tetapi dalam kenyataannya seseorang dalam mengadakan kontrak tidak mengatur maupun menetapkan secara teliti mengenai hak dan kewajiban mereka. Biasanya para pihak hanya menyebutkan hal-hal yang pokok dan penting saja.28

Berdasarkan Pasal 1339 BW, satu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan (diwajibkan) oleh kepatutan,

28


(38)

23

kebiasaan, dan undang- undang. Dengan kata lain, setiap perjanjian dilengkapi dengan aturan yang terdapat dalam undang-undang, adat kebiasaan. Sedangkan kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh keputusan (norma kepatutan) juga harus diindahkan. Dalam Pasal 1339 BW inilah,dapat diketahui bahwa kepatutan dan adat kebiasaan ditunjuk sebagai norma di samping undang-undang yang ikut berperan dalam menentukan hak dan kewajiban kedua belah pihak.

Kepatutan dalam perjanjian berkaitan dengan kesesuaian dan keselarasan antara perjanjian dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Kepatutan dengan acuan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan tersebut merupakan bagian tidak terpisahkan pula dengan prinsip itikad baik dan prinsip kehati-hatian. Itikad baik dalam pengertian yang sangat subyektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang, yaitu apa yang terletak pada seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Sedangkan itikad baik dalam pengertian obyektif yaitu bahwa pelaksanaan suatu perjanjian itu harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa-apa yang dirasa sesuai dengan yang patut dalam masyarakat.29 Berdasarkan uraian ini dapat disimpulkan dalam perjanjian terdapat asas kekuatan mengikat, yaitu terikatnya para pihak pada perjanjian tidak terbatas pada hal yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap unsur-unsur lain sepanjang sesuai dengan kebiasaan dan kepatutan serta moral.

1.5.1.4Prinsip Rasionalitas

Prinsip rasionalitas pertama kali diperkenalkan oleh John Rawl. Rawls menawarkan suatu penyelesaian terkait dengan problematika keadilan dengan

29

Purwahid Patrik, 2006, Asas lktikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, hal. 36.


(39)

24

membangun teori keadilan berbasis kontrak.30 Menurutnya suatu teori keadilan yang memadai harus dibentuk dengan pendekatan kontrak, dimana asas-asas keadilan yang dipilih merupakan hasil kesepakatan bersama dari semua individu yang bebas rasional dan sederajat. Hanya melalui pendekatan kontrak sebuah teori keadilan mampu menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara adil bagi semua orang. Oleh karenanya dengan tegas Rawls menyatakan, suatu konsep keadilan yang baik haruslah bersifat kontraktual. Setiap konsep keadilan yang tidak berbasis kontraktual harus dikesampingkan demi kepentingan keadilan itu sendiri. Dalam konteks ini Rawls menyebut “justice as fairness” yang ditandai dengan adanya prinsip rasionalitas, kebebasan dan kesamaan.31 Oleh karena itu diperlukan prinsip-prinsip keadilan yang lebih mengutamakan asas hak daripada asas manfaat. Prinsip keadilan distributif dirumuskan oleh Rawls, sebagai berikut:32

a. The greatest equal principle, bahwa setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Ini merupakan hak yang paling mendasar (hak asasi) yang harus dimiliki setiap orang. Dengan kata lain, hanya dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang maka keadilan akan terwujud (prinsip kesamaan hak).

b. Prinsip ketidaksamaan, yang menyatakan bahwa situasi perbedaan (sosial ekonomi) harus diberikan aturan sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah (paling tidak

30

Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 40.

31 Ibid. 32


(40)

25

mendapat peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapatan dan prioritas). Rumusan prinsip kedua ini sesungguhnya merupakan gabungan dari dua prinsip, yaitu prinsip perbedaan (the different principle) dan prinsip persamaan yang adil atas kesempatan (the principle of fair equality ofopportunity.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulakn bahwa keadilan hanya dapat dicapai apabila pelaksanaan hak dan kewajiban antara masing-masing bank tersebut di atas dengan debitur telah didistribusikan secara adil. Tanpa keadilan maka hubungan antara para pihak dalam perjanjian kredit tidak akan memenuhi konsep justice asfairness yang ditandai oleh prinsip rasionalitas, kebebasan dan kesamaan.

1.5.1.5Konsep Jual Beli

Dalam Teori Jual Beli, jual beli merupakan salah satu jenis perjanjian atau persetujuan khusus yang ada dalam BW mulai Pasal 1457 BW sampai dengan Pasal 1540 BW. Sedangkan untuk definisi dari jual beli sendiri disebutkan dalam Pasal 1457 BW.33

Jadi perjanjian jual beli adalah perjanjian atau persetujuan dua pihak yaitu pihak penjual dan pihak pembeli. Dimana si penjual berjanji akan menyerahkan hak sesuatu barang kepada si pembeli, sedangkan si pembeli akan membayar harga barang tersebut sesuai dengan harga yang sudah disepakati bersama antara penjual dan pembeli.

33

Salim, H. S., Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal. 49.


(41)

26

Dari pengertian jual beli yang diberikan oleh Pasal 1457 BW tersebut, persetujuan jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban :

a. Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.

b. Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada penjual.

Pengertian lain mengenai jual beli ini adalah perjanjian timbal balik dalam pihak yang satu (penjual), berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak yang lainnya (pembeli) berjanji untuk membayar harga barang yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.34

Disamping jual beli yang diatur oleh BW (yang tertulis) di dalam pergaulan masyarakat di Indonesia juga dikenal suatu pengertian jual beli yang diatur oleh Hukum Adat (yang tidak tertulis).

Menurut Hukum Adat, jual beli dilakukan secara terang dan tunai. Terang artinya bahwa jual beli dilakukan di hadapan Kepala Adat dan Tunai artinya bahwa jual beli itu dianggap telah dilaksanakan secara tunai, walaupun ada harga yang belum dibayar (masih berhutang). Jadi menurut Hukum Adat yangdinamakan jual beli itu bukanlah persetujuan belaka yang dilakukan antara kedua belah pihak, melainkan suatu penyerahan barang oleh si penjual kepada si pembeli dengan maksud memindahkan hak milik untuk selama-lamanya, dengan pembayaran harga pembelian. Maka selama penyerahan belum terjadi, belumlah

34


(42)

27

ada terjadi jual beli dan belum dapat dikatakan, bahwa barangnya adalah milik si pembeli.35

Unsur pokok perjanjian jual beli adalah barang dan harga sesuai dengan asas konsensualisme yang menjiwai hukum perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya “sepakat” mengenai barang dari harga, maka lahirlah jual beli yang sah dan mengikat. Perjanjian jual beli, dianggap sudah berlangsung antara pihak penjual dan pembeli, apabila mereka telah menyetujui dan sepakat tentang “keadaan benda dan barang tersebut”, sekalipun barangnya belum diserahkan dan harganya belum dibayar (Pasal 1458 BW). Pasal 1458 BW ini merupakan asas konsensualisme dari jual beli yang dirumuskan dalam Pasal 1457 BW.

Dengan demikian maka berdasarkan Pasal 1457 BW dan Pasal 1458 BW pengertian jual beli yang dianut oleh BW adalah harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

1. Persetujuan/kata sepakat

2. Kewajiban menyerahkan barang

3. Kewajiban menyerahkan uang dari harga barang.

Apabila diteliti unsur-unsur tersebut sifatnya terbatas, sehingga berdasarkan unsur-unsur tersebut dapat dikatakan jual beli menurut BW hanya mempunyai sifat ”obligatoir” (mengikat), tidak juga mempunyai ”zakelijke werking,” artinya tidak berdaya langsung mengenai kedudukan barangnya.36

35

A. B Loebis, 1976, Jual Beli Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, hal. 5.

36

Djoko Prakoso dan Bambang Riyani Lany, 1987, Dasar Hukum Persetujuan Tertentu Di Indonesia, Jakarta, hal. 3


(43)

28

Hak dan kewajiban para pihak yang dimaksud sebenarnya adalah hak dan kewajiban si penjual yang merupakan kebalikan dari hak dan kewajiban si pembeli. Perihal kewajiban yang utama terdapat pada Pasal 1474 BW, yaitu ia mempunyai kewajiban utama yaitu menyerahkan barangnya dan menanggung. Sedangkan dalam Pasal 1516 BW, adalah memberikan hak kepada pembeli untuk menangguhkan atau menunda pembayaran sebagai akibat gangguan yang dialami oleh pembeli atas barang yang dibelinya.

1. Kewajiban pihak penjual

Dalam sistematika BW, kewajiban si penjual diatur dalam Buku III, Bab Kelima, Bagian Kedua mulai dari Pasal 1473 BW sampai dengan Pasal 1512 BW. Menurut BW, bagi pihak penjual ada dua kewajiban, yaitu :

a. Kewajiban menyerahkan barangnya

Kewajiban penjual dalam penyerahan barang yang diartikan sebagai suatu penyerahan pemegangan barang secara nyata, sekaligus juga dengan hak milik atas barang-barang yang diperjualbelikan. Kewajiban menyerahkan hak milik, meliputi perbuatan yang menurut hukum diperlakukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan itu dari si penjual kepada si pembeli.

BW, mengenal 3 (tiga) macam barang, yaitu : barang bergerak, barang tetap dan barang tak bertubuh, sehingga menurut BW, terdapat tiga macam penyerahan hak milik yang masingmasing barang itu :

1) Barang bergerak

Untuk barang bergerak cukup dengan menyerahkan kekuasaan atas barang itu. Dalam Pasal 612 BW disebutkan : “penyerahan kebendaan


(44)

29

bergerak, terkecuali yang tidak bertubuh dilakukan dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana kebendaan itu berada. Penyerahan tak perlu dilakukan apabila. Kebendaan yang harus diserahkan dengan alas an hak lain telah dikuasai oleh orang yang hendak menerimanya.”

2) Barang tetap (tak bergerak)

Untuk barang tetap (tak bergerak) penyerahan dilakukan dengan perbuatan yang dinamakan “nama”melalui pegawai kadaster yang juga dinamakan pegawai balik nama atau pegawai penyimpanan hipotik, yaitu Pasal 616 BW: ”Penyerahan atau penunjukan akan kebendaan tak bergerak dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan dengan cara seperti ditentukan dalam Pasal 620 BW.” Pasal 620 BW: “dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan termuat dalam tiga Pasal lalu, pengumuman tersebut di atas dilakukan dengan memindahkan sebuah salinan otentik yang lengkap dari salinan akta otentik atau keputusan yang bersangkutan ke Kantor penyimpanan hipotik, yang mana dalam lingkungannya barang-barang tak bergerak yang harus diserahkan berada dan dengan membukukannya dalam register. Bersama-sama dengan pemindahan tersebut, pihak yang berkepentingan harus menyampaikan juga kepada penyimpan hipotik, sebuah salinan otentik yang kedua atau sebuah petikan dari akta atau Keputusan itu agar penyimpan mencatat dari register yang bersangkutan”.


(45)

30

3) Barang tak bertubuh

Barang tak bertubuh penyerahan dilakukan dengan perbuatan yang dinamakan “cessie” sebagaimana diatur dalam Pasal 613 BW yang berbunyi : “penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan membuat sebuah akta otentik atau di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain. Penyerahan tiaptiap piutang surat bawa, dilakukan dengan menyerahkan surat itu; penyerahan piutang karena surat tunjuk, dilakukan dengan menyerahkan surat disertai dengan endorsement’.

Sehingga berdasarkan BW, hak milik belum berpindah dengan perjanjian jual beli. Hak milik baru berpindah dengan levering atau penyerahan. Maka dalam BW, levering merupakan suatu perbuatan hukum guna memindahkan hak milik yang caranya tergantung dari macam barang yang dipindahkan, seperti diterangkan di atas.

b. Kewajiban menanggungnya

Kewajiban kedua dari penjual adalah menanggung, bahwa si pembeli tidak akan diganggu dalam menikmati barang yang ia sudah beli dan sudah di terimanya.

Menurut Pasal 1491 BW, penanggungan yang menjadi kewajiban si penjual terhadap si pembeli adalah:

1) Kewajiban menanggung kenikmatan dengan tentram

2) Kewajiban menanggung terhadap cacat-cacat yang tersembunyi. 2. Kewajiban pihak pembeli

Sebenarnya hanya ada satu kewajiban si pembeli, yaitu untuk membayar harga barang yang dibelinya seperti yang disebutkan dalam Pasal


(46)

31

1513 BW yaitu: kewajiban utama si pembeli ialah membayar harga pembelian, pada waktu dan di tempat sebagaimana di tetapkan menurut perjanjian.

“Harga” tersebut harus berupa sejumlah uang. Meskipun mengenai hal ini tidak ditetapkan dalam suatu Pasal Undang-undang namun sudah dengan sendirinya termaktub di dalam pengertian jual beli, oleh karena bila tidak maka akan merubah perjanjian itu sendiri. Misalnya apabila harga itu berupa barang maka perjanjiannya adalah “tukar menukar” atau apabila harganya adalah jasa maka perjanjiannya adalah perjanjian kerja.

Dalam perjanjian “jual beli” sudah termaktub pengertian bahwa disatu pihak ada barang dan dipihak lain ada uang. Tergantung macamnya uang tidak harus dalam bentuk rupiah karena terjadinya di Indonesia tetapi para pihak bisa menentukan lain.

Harga itu harus ditetapkan oleh kedua belah pihak, namun diperkenankan untuk menyerahkan kepada perkiraan atau penentuan seorang pihak ketiga. Dalam hal yang demikian, maka jika pihak yang ketiga ini tidak mampu untuk perkiraan tersebut atau menentukannya, maka tidaklah terjadi suatu pembelian (Pasal 1465 BW).

Hal ini berarti, bahwa perjanjian jual beli yang harganya harus ditetapkan oleh pihak ketiga itu pada hakekatnya adealah suatu perjanjian dengan “syarat tangguh”, karena perjanjian baru akan jadi kalau harga itu sudah ditetapkan oleh orang tersebut. Jika pada waktu membuat perjanjian tidak ditetapkan tentang tempat dan waktu pembayaran, maka si pembeli


(47)

32

harus membayar di tempat dan pada waktu di mana penyerahan (levering) barangnya dilakukan (Pasal 1514 BW).

Transaksi jual beli menurut hukum perdata menganut asas konsensualitas, yang berarti kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini adalah suatu asas dalam perjanjian yang timbul sejak tercapainya kesepakatan. Perjanjian itu sudah sah apabila telah tercapai mengenai hal-hal yang pokok, yakni adanya kesepakatan, kedua belah belah pihak cakap, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Dalam hal ini tidak diperlukan suatu formalitas.37

Perjanjian pengikatan jual beli sebenarnya tidak ada perbedaan dengan perjanjian pada umumnya. Hanya saja perjanjian pengikatan jual beli merupakan perjanjian yang lahir akibat adanya sifat terbuka dari Buku III BW, yang memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada subyek hukum untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja dan berbentuk apa saja, asalkan tidak melanggar peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan.38

Perjanjian pengikatan jual beli lahir sebagai akibat terhambatnya atau terdapatnya beberapa persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang yang berkaitan dengan jual beli hak atas tanah yang akhirnya agak menghambat penyelesaian transaksi dalam jual beli hak atas tanah. Persyaratan tersebut ada yang lahir dari peraturan perundang-undangan yang ada dan ada pula yang timbul sebagai kesepakatan para pihak yang akan melakukan jual beli hak atas tanah. Persyaratan yang timbul dari undang-undang misalnya jual beli harus telah lunas baru Akta Jual Beli (AJB) dapat ditandatangani. Pada umumnya persyaratan yang

37

R. Subekti, 1982, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, hal. 15. (Selanjutnya disebut Subekti III).

38

Muchtar Rudianto, 2010, Perjanjian Pengikatan Jual-Beli Sebagai Perjanjian Pendahuluan, Rajawali Press, Jakarta, hal.38


(48)

33

sering timbul adalah persyaratan yang lahir kesepakatan para pihak yang akan melakukan jual beli, misalnya pada waktu akan melakukan jual beli, pihak pembeli menginginkan adanya sertipikat hak atas tanah yang akan dibelinya sedangkan hak atas tanah yang akan dijual belum mempunyai sertipikat, dan di sisi lain misalnya, pihak pembeli belum mampu untuk membayar semua harga hak atas tanah secara lunas, sehingga baru dibayar setengah dari harga yang disepakati.39

Pengertian Perjanjian pengikatan jual beli dapat kita lihat dengan cara memisahkan kata dari Perjanjian pengikatan jual beli menjadi perjanjian dan pengikatan jual beli. Perjanjian pengertiannya dapat dilihat pada sub bab sebelumnya, sedangkan Pengikatan Jual Beli pengertiannya menurut R. Subekti40 dalam bukunya adalah perjanjian antar pihak penjual dan pihak pembeli sebelum dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk jual beli tersebut antara lain adalah sertifikat belum ada karena masih dalam proses, belum terjadinya pelunasan harga. Sedang menurut Herlien Budiono, perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas.41

Dari pengertian yang diterangkan di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian perjanjian pengikatan jual beli merupakan sebuah penjanjian pendahuluan yang dibuat sebelum dilaksanakannya perjanjian utama atau perjanjian pokoknya. Sebagaimana telah diterangkan tentang pengertiannya, maka kedudukan perjanjian pengikatan jual beli yang sebagai perjanjian pendahuluan

39 Ibid. 40

R. Subekti I, Op.Cit, hal.75. 41

Herlien Budiono, 2004, “Pengikat Jual Beli Dan Kuasa Mutlak” Artikel Majalah Renvoi, edisi Tahun I, No 10, Bulan Maret, hal. 57.


(1)

84 tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum dibukukan, dan lain sebagainya.131 Alat bukti tertulis tersebut merupakan salah satu syarat yang sangat penting untuk pendaftaran hak-hak atas tanah yang berasal dari konversi dari hak-hak-hak-hak lama. Selanjutnya di dalam Pasal 60 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang ketentuan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 disebutkan bahwa :

“Alat bukti tertulis mengenai kepemilikan tanah, berupa alat bukti untuk pendaftaran hak baru dan pendaftaran hak-hak lama sebagaimana dimaksud masing-masing dalam Pasal 23 dan Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997”.

Dengan demikian, alat bukti tertulis yang dimaksud berdasarkan Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Jo Pasal 60 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria /Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 merupakan bukti tertulis yang diperlukan dalam proses pendaftaran tanah hak-hak lama. Untuk hak-hak lama atas tanah apabila pemegang hak tidak dapat menyediakan bukti kepemilikan hak atas tanah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, baik yang berupa bukti tertulis maupun bentuk lain yang dapat dipercaya. Dalam hal demikian pembuktian hak dapat

131

Muhammad Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, 2008, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung, hal. 126.


(2)

85 dilakukan tidak berdasarkan bukti kepemilikan akan tetapi berdasarkan bukti penguasaan fisik yang telah dilakukan pemohon dan pendahulunya selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut, sedangkan untuk alat bukti tertulis pendaftaran tanah hak baru yang berasal dari tanah Negara diatur dalam Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Baik bukti-bukti lama maupun bukti baru yang pada akhirnya bertujuan untuk penerbitan sertipikat bukti hak atas tanah yang memiliki kekuatan otentik.132

Hal ini juga diatur dalam Pasal 61 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang menyatakan bahwa dalam hal kepemilikan atas sebidang tanah tidak dapat dibuktikan dengan alat pembuktian, maka penguasaan secara fisik atas bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh yang bersangkutan dan para pendahulu-pendahulunya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dapat digunakan sebagai dasar untuk pembukuan tanah tersebut sebagai milik yang bersangkutan.

2.3.3 Ketentuan BW

Asas itikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) BW yang berbunyi ”Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas itikad baik merupakan asas dimana para pihak dalam kontrak harus melaksanakan substansi kontrak berdasarakan kepercayaan atau keyakinan teguh atau kemauan baik dari para pihak.

132


(3)

86 Asas itikad baik dibagi menjadi dua, yaitu itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Dalam itikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek, sedang itikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan. Asas itikad baik merupakan asas dimana para pihak dalam kontrak harus melaksanakan substansi kontrak berdasarakan kepercayaan atau keyakinan teguh atau kemauan baik dari para pihak. Itikad baik dalam kontrak merupakan lembaga hukum yang berasal dari hukum Romawi yang kemudian diserap oleh Civil law. Dalam perkembangannya diserap pula dalam hukum kontrak di beberapa negara yang menganut Common La w System, seperti Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, dan Kanada. Amerika Serikat telah menerima asas itikad baik dalam

Uniform Commercial Code (UCC) maupun dalam putusan pengadilan. UCC

menentukan : ”Every contract or duty within this Act imposes an obligation of

good faith in its perfomances adn enforcement

BW mempergunakan istilah itikad baik dalam dua pengertian, pengertian yang pertama adalah itikad baik dalam pengertian subyektif, di dalam bahasa Indonesia disebut dengan kejujuran, pengertian tersebut terdapat dalam Pasal 530 BW yang mengatur mengenai kedudukan berkuasa (bezit). Itikad baik dalam arti subyektif merupakan sikap bathin atau suatu keadaan jiwa.133

Itikad baik yang berarti kejujuran ini juga diatur dalam Pasal 1386 BW dalam pasal tersebut diatur ”Pembayaran yang dengan itikad baik dilakukan kepada seseorang yang memegang surat piutangnya adalah sah” Pengertian itikad

133

Siti Ismijati Jenie, 2007, “Itikad Baik Perkembangan dari Asas Hukum Khusus Menjadi Asas Hukum Umum di Indonesia”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta, www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=927, diakses tanggal 11 Juni 2015.


(4)

87 baik yang kedua adalah itikad baik dalam arti obyektif. Didalam bahasa Indonesia itikad baik dalam pengertian ini disebut juga dengan istilah kepatutan. Obyektif disini menunjuk kepada kenyataan bahwa perilaku para pihak itu harus sesuai dengan anggapn umum tentang itikad baik dan tidak semata-mata pada anggapan para pihak sendiri.134

Sampai saat ini tidak ada makna tunggal itikad baik dan masih menjadi perdebatan mengenai bagaimana sebenarnya makna itikad baik tersebut. Amerika Serikat telah sejak lama menerima doktrin itikad baik dalam kontrak yang terefleksi dalam Uniform Commercial Codes (UCC), Restatement of Contract, maupun putusan-putusan pengadilan. Hakim-hakim di Selandia Baru, Kanada, Australia belum begitu lama mengenal doktrin itikad baik sebagai bagian hukum mereka. Walaupun itikad baik menjadi asas penting dalam hukum kontrak di berbagai sistem hukum, namun asas itikad baik tersebut masih menimbulkan permasalahan berkaitan dengan keabstrakan makna itikad baik, sehingga timbul pengertian itikad baik yang berbeda-beda baik dari persepektif waktu, tempat serta subyeknya.

Menurut ketentuan dari Pasal 1457 BW, yang dimaksud dengan jual beli adalah :

”Suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan hak atas suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar hargayang telah dijanjikan”.

Sedangkan menurut Pasal 1320 BW untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 4 syarat, yaitu :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

134 Ibid.


(5)

88 c. Suatu hal tertentu.

d. Suatu sebab yang halal

Dalam hal jual beli tanah, jual beli telah dianggap terjadi walaupun tanah belumdiserahkan atau harganya belum dibayar. Untuk pemindahan hak itu masih diperlukan suatu perbuatan hukum lain berupa penyerahkan yang caranya ditetapkan dengan suatu peraturan lain lagi.

Penyerahan hak itu dalam istiliah hukumnya biasa disebut Juridische

levering(penyerahan menurut hukum) yang harus dilakukan dengan akta dimuka

dan oleh Pejabat Balik Nama berdasarkan ordonansi Balik Nama Stbid No. 27 Tahun 1834.135 Untuk terjadinya perjanjian jual-beli ini cukup jika kedua belah pihak sudah mencapai persetujuan tentang barang dan harga sebagaimana diatur dalam Pasal 1458 BW yang berbunyi:

“Jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang barang tersebut dan harganya, meskipun barang itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar”. Jadi suatu persetujuan jual beli itu baru terjadi, jika antara kedua pihak itu terdapat kata sepakat tentang benda dan harganya. Mengenai benda setidaknya harus ditentukan macamnya (kualitas) dahulu. Mengenai harganya mesti ditentukan dengan uang, sebab kalau pembayaran itu dilakukan dengan benda lain, maka undang-undang menetapkan bahwa hal itu dinamakan penukaran. Untuk sahnya persetujuan jual beli itu tidak diperlukan bahwa benda itu telah diserahkan atau harga itu telah dibayar. Perbuatan-perbuatan ini akibat dari terjadinya persetujuan itu, dan dapat dilakukan kemudian.136

135

K.Wantjik Saleh, Op.Cit, hal. 31. 136

Subekti, 1981, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, hal. 69. . (Selanjutnya disebut Subekti IV)


(6)

89 Menurut undang-undang, sejalan saat ditutupnya perjanjian risiko mengenai barangnya sudah beralih kepada si pembeli, artinya jika barang itu rusak hingga tidak dapat diserahkan kepada pembeli, maka orang ini harus tetap membayar harganya. Sampai pada waktu penyerahannya itu si penjual harus merawatnya dengan baik. Jika si penjual melalaikan kewajibannya, misalnya pada waktu yang telah ditentukan belum menyerahkan barangnya, maka mulai saat itu ia memikul risiko terhadap barang itu dan dapat dituntut untuk memberikan pembayaran kerugian atau pembeli dapat menuntut pembatalan perjanjian.137

Sebaliknya jika si pembeli tidak membayar harga barang pada waktu yang ditentukan si penjual dapat menuntut pembayaran itu yang jika ada alasan dapat disertai dengan tuntutan kerugian ataupun ia dapat menuntut pembatalan perjanjian dengan pemberian kerugian juga barang yang belum dibayar itu dapat diminta kembali. Jual beli yang diatur dalam BW ini bersifat obligatoir, yanq artinya bahwa perjanjian jual be1i baru meletakkan hak dan kewajiban timbal balik antara kedua belah pihak penjual dan pembeli, yaitu meletakkan kepada penjual kewajiban untuk menyerahkan hak milik atas barang yang dijualnya sekaligus memberikan kepadanya hak untuk mendapat pembayaran harga yang telah disetujui dan disisi lain meletakkan kewajiban kepada pembeli untuk membayar harga barang sesuai imbalan haknya untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang yang dibelinya atau dengan perkataan lain bahwa jual beli yang dianut Hukum Perdata jual beli belum memisahkan hak milik.138

137

Sudaryo Soimin, 1994, Status Tanah Dan Pembebasan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 94- 95.

138 Ibid.