Sengketa Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Lembaga
Pada 2 Oktober 2009, berkas perkara Chandra Hamzah dikirimkan ke Kejaksaan dan berkas Bibit S Riyanto dikirimkan pada 9 Oktober 2009.
Kemudian, penyidik melakukan penahanan pada 29 Oktober 2009 karena kedua tersangka melakukan tindakan mempersulit jalannya
pemeriksaan dengan menggiring opini publik melalui pernyataan- pernyataan di media serta forum diskusi.
Kasus ini melibatkan petinggi Kepolisian dan KPK sehingga kasus dugaan korupsi pengadaan alat simulator Surat Ijin Mengemudi SIM
yang menyebabkan kerugian Negara mencapai hampir Rp. 100.000.000,00 ini telah menghebohkan masyarakat Indonesia.
Kasus ini pertama kali mencuat saat Bambang Sukotjo, Direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia, membeberkan adanya dugaan suap proyek
pengadaan simulator SIM di Korps Lalu Lintas Korlantas Mabes Polri tahun 2011. Ketegangan antara KPK dan Polri dimulai saat KPK
melakukan penggeledahan digendung Korps Lalu Lintas Korlantas Polri terkait kasus simulator SIM. Sebenarnya baik KPK maupun Polri sudah
sama-sama tahu bahwa masing-masing lembaga penegak hukum tersebut sedang menangani kasus yang sama di Korlantas Polri.
10
Kekisruhan terjadi antara KPK dan Polri terkait siapa yang berwenang melakukan penyelidikan pada kasus korupsi simulator SIM.
Masing-masing pihak mengklaim lebih dulu mengeluarkan surat perintah penyidikan Sprinlid. Polri mengklaim penyelidikan kasus dugaan korupsi
10
http:nasional.news.viva.co.id KPK terima penghitungan kerugian kasus simulator
SIM. Diakses 29 Mei 2015
simulator SIM sesuai dengan sprinlid 55V2012Tipikor tanggal 21 Mei 2012, dimana Polri telah melakukan introgasi dan pengambilan keterangan
dari 33 saksi yang dinilai tahu tentang pengadaan simulator SIM roda 2 dan roda 4. Apabila dilihat dari sprinlid itu, maka otomatis Polri
melakukan penyelidikan lebih dahulu, sebagaimana dikatakan Kabareskim Mabes Polri Komjen Pol Sutarman. Sedangkan untuk penyidikan kasus
ini, Sutarman menyebut 31 Juli 2012 sebagai tanggal permulaan. Padahal, KPK seperti disampaikan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, telah
lebih dulu melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus simulator SIM. KPK telah menyelidik kasus ini sejak 20 Januari 2012 dan menaikan ke
tahap penyidikan 27 Juli 2012. Polri bersikukuh ingin menangani kasus dugaan korupsi simulator
SIM di Korlantas Polri yang juga sudah ditangani KPK, Polri berdalih bisa menangani kasus itu karena adanya Memorandum of Understanding
MoU antara KPK, Polri dan Kejagung. Padahal, beberapa pasal dalam MoU itu malah menguatkan KPK sebagai pihak yang seharusnya
menangani kasus tersebut.
11
Bagaimana sebenarnya bunyi kesepatakan atau MoU antara kedua instansi hukum itu soal penanganan tindak pidana korupsi, jika masing-
masing merasa paling berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan? Kesepakatan itu tertuang dalam Kesepakatan Bersama Antara
Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian Negara Republik Indonesia,
11
http:news.detik.com . Diakses 29 Mei 2015
Kejaksaan Republik Indonesia. Nomor: KEP-049AJ.A032012, nomor: B23III2012, dan nomor: SP3-3901032012 tentang Optimalisasi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berikut kesepakatan dimaksud yang ditanda tangani pada 29 Maret 2012 di Kejagung, yaitu bagian kedua
tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi, Pasal 8 MoU disebutkan: 1. Dalam hal para pihak melakukan penyelidikan pada sasaran
yang sama, untuk menghindari duplikasi penyelidikan, maka penuntutan instansi yang mempunyai kewajiban untuk menindak lanjuti penyelidikan
adalah instansi yang lebih dahulu mengeluarkan surat perintah penyelidikan atau kesepakatan para pihak. 2. Penyidikan yang dilakukan
pihak kejaksaan dan Polri diberitahukan kepada pihak KPK, dan perkembangannya diberitahukan kepada pihak KPK paling lama tiga bulan
sekali; 3. Pihak KPK menerima rekapitulasi penyampaian bulanan atas kegiatan penyidikan yang dilaksanakan oleh kejaksaan dan pihak Polri; 4.
Penyelidikam dan penyidikan tindak pidana korupsi oleh salah satu pihak dapat dialihkan ke pihak lain sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan dengan terlebih dahulu dilakukan gelar perkara yang dihadiri oleh para pihak yang pelaksananya dituangkan dalam berita acara.
12
Jika mengacu pada pasal 8 poin 1 dan 4, maka KPK adalah lembaga yang lebih berhak menangani kasus simulator SIM. Poin 1
menguatkan KPK pada sisi terlebih dahulu memulai penyelidikan kasus. Sedangkan poin 4 menguatkan KPK dengan adanya UU KPK No. 30
12
Riris Nazriyah, Kewenangan KPK dalam Penyidikan Kasus Simulator SIM, Jurnal Hukum Quia Iustum Vol. 19 No. 4 Yogyakarta 2012, h. 604
Tahun 2002 Pasal 50 yang menyebut KPK berhak mengambil alih kasus korupsi yang ditangani lembaga lain.
13
Sedangkan pakar hukum pidana Universitas Indonesia , Gandjar Laksmana Bonaparta menegaskan langkah KPK sudah tepat dalam
menangani kasus simulator SIM. Dalam Pasal 50 ayat 3 Undang-Undang KPK sudah sangat jelas, tidak ada yang multitafsir. Menurutnya
berdasarkan aturan, KPK yang lebih berwenang mengusut kasus tesebut meskipun kedua lembaga sama-sama berdasarkan pada ketentuan hukum.
Aturan perselisihan penanganan kasus korupsi hanya ada dalam Undang- Undang KPK, tidak ditemukan dalam KUHP maupun Undang-Undang
Kepolisian. Bahwa ada asas hukum lex specialis derogat legi generali artinya, hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan hukum yang
umum. Sehingga penerapan KUHP harusnya dikesampingkan dengan adanya UU KPK pada penanganan kasus korupsi simulator SIM tersebut.
Dalam hubungan kewenangan antar lembaga negara terdapat banyak potensi sengketa yang dapat terjadi dan memerlukan perhatian. Potensi
sengketa disebabkan oleh ketidakjelasan peraturan perundang-undangan yang mengatur fungsi, tugas, wewenang suatu lembaga yang
mengakibatkan munculnya beragam penafsiran karena ketidakjelasan peraturan perundang-undangan yang mengatur kelembagaan negara.
14
13
http:www.metrotvnews.com Yusril Kewenangan Polri Lebih Kuat dari KPK. Diakses
29 Mei 2015
14
Lukman Hakim, Sengketa Kewenangan Lembaga Negara dan Penataanya dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional, Surakarta: Yustisia Jurnal Hukum Edisi 80 Mei-Agustus
2010, h.3
Pembahasan konflik antara Polri dan KPK dengan kasus Budi Gunawan yang sebenarnya bukan kasus pertama yang melibatkan dua
nama institusi ini. Sebelumnya diketahui bersama kasus lain yang muncul di tahun-tahun sebelumnya yaitu kasus Susno Duadji dan Djoko Susilo
yang juga mengangkat nama Polri dan KPK menjadi nama institusi yang rentan akan konflik kelembagaan.
Perbedaan konflik KPK dan Polri yang melibatkan nama Budi Gunawan dengan konflik-konflik yang terjadi sebelumnya adalah bahwa
dua konflik sebelum ini dianggap menjadi persoalan masing-masing elit, sedangkan pada konflik terakhir yang melibatkan nama Budi Gunawan
tidak hanya dianggap sebagai persoalan elit tetapi dianggap sebagai persoalan institusi atau lembaga terkait yaitu Polri. Konflik berawal dari
penetapan status “tersangka” Komjen Budi Gunawan yang merupakan Calon Tunggal Kapolri oleh KPK. Konflik ketiga kalinya yang terjadi
antara KPK dan Polri ini dilanjutkan dengan laporan dan penangkapan pimpinan KPK oleh Polri. Kedua pihak dianggap saling menggunakan
wewenangnya kepada pihak lawan dengan membawa dasar hukumnya masing-masing.
Faktanya bahwa seharusnya dalam penegakan hukum, tujuan dan cara merupakan dua hal yang sama penting dan tidak dapat dipisahkan.
Hukum tidak dapat mencapai tujuanya tanpa memperhatikan cara-cara yang benar dan baik dalam pencapaian tujuannya, karena tidak mungkin
tujuan yang baik dapat tercapai dengan cara yang tidak baik. Sejauh ini
tujuan selalu dianggap lebih penting sehingga mengabaikan cara yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut yang seakan-akan
diabaikan oleh KPK dan Polri dalam proses penegakan hukum terkait kasus dalam dua lembaga tersebut sehingga muncul lah pandangan
masyarakat bahwa terdapat pelanggaran etika yang dilakukan baik oleh KPK maupun Polri.
Dari konflik yang telah terjadi antara KPK dan Polri dapat dilihat bahwa kedua lembaga tersebut kurang memperhatikan kultural bangsa dan
koordinasi dalam menjalankan wewenangnya masing-masing. Sehingga yang terjadi adalah persaingan antara KPK dan Polri karena menangani
objek yang sama dengan masing-masing wewenangnya. Hal ini tentu membutuhkan solusi guna menghindari sengketa atau konflik yang sama
terjadi kembali. Solusi yang dapat mencabut akar permasalahan tersebut adalah dengan cara pembatasan masing-masing wewenang lembaga secara
konkrit dan lebih jelas. Disamping itu kedua lembaga harus bertindak sesuai dengan ketentuan undang-undang baik Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang KPK dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia ditambah dengan MoU yang sudah
disepakati oleh kedua lembaga tersebut, serta koordinasi dapat dijalankan dengan baik dan benar.