Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak Indonesia merdeka lebih dari tujuh puluh tahun yang lalu, Indonesia telah mengalami beberapa peristiwa penting terkait bidang kenegaraan. Pergolakan masyarakat di daerah, peralihan pemegang kekuasaan, hingga amandemen Undang-Undang Dasar 1945 selanjutnya disebut UUD 1945 menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah negara ini. Hal ini merupakan bentuk dari dinamisasi masyarakat dan dinamisasi hukum di Indonesia. Salah satu hal yang menonjol dari sudut pandang ketatanegaraan diawali ketika negara ini mengalami gejolak pasca krisis moneter yang mengakibatkan tersingkirnya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan pada tahun 1998. Selama melewati masa transisi yang dipimpin oleh Presiden B.J Habibie selama sekitar dua tahun, tuntutan kebutuhan akan sistem ketatanegaraan yang lebih baik pun mulai berusaha diwujudkan oleh petinggi negeri ini pada waktu itu. Tahun 1999 menjadi tonggak yang menyadarkan bangsa Indonesia bahwa penyaklaran UUD 1945 tidak relevan dalam kehidupan bernegara. Selama empat tahun hingga 2002 Majelis Permusyawaratan Rakyat selanjutnya disebut MPR yang saat itu diketuai oleh Amien Rais dari Fraksi PAN melakukan empat kali perubahan yang amat mendasar terhadap UUD 1945. Reformasi membawa pengaruh yang signifikan terhadap kehidupan ketatanegaraan Indonesia, termasuk terhadap parlemen Indonesia, khususnya Dewan Perwakilan Rakyat selanjutnya disebut DPR. 1 Di bidang legislasi, misalnya, DPR adalah lembaga tertinggi untuk menyusun Undang-Undang. Hal ini diatur dalam Pasal 20 ayat 1 UUD 1945, yang menyatakan bahwa DPR memegang kekuasaan dalam membentuk Undang-Undang. Dengan demikian kedudukan DPR sangat penting dalam susunan ketatanegaraan Indonesia. Hasil perubahan UUD 1945 melahirkan bangunan kelembagaan negara yang satu sama lain dalam posisi setara dengan saling melakukan kontrol cheks and balances, mewujudkan supremasi hukum dan keadilan serta menjamin dan melindungi hak asasi manusia. Kesetaraan atau ketersediaan mekanisme saling kontrol ini, merupakan prinsip dari sebuah negara demokrasi atau negara hukum. 2 Pelbagai perubahan ke hal yang lebih baik antara lain DPR sudah mulai menjadi penyeimbang bagi pemerintah, dalam arti berfungsinya wewenang pengawasan yang diembanya dan bukan hanya sebagai “lembaga stempel” seperti di era sebelumnya. Bahwa tugas pelaksanaan pengawasan DPR adalah terhadap, pelaksanaan Undang-Undang, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, serta kebijakan pemerintah sesuai dengan jiwa UUD 1945, terlebih penting sebagai legislator atau pembuat undang-undang. 1 Sebastian Salang, dkk., Menghindari Jeratan Hukum Bagi Angggota Dewan, Jakarta: Forum Sahabat 2009, h. 21. 2 Titik Triwulan Tutik, Kontruksi Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta:Kencana 2010, h. 1. Selain berkaitan dengan proses legislasi, dalam kewenangannya DPR sebagai penentu dalam bentuk memberi persetujuan terhadap agenda kenegaraan yang meliputi: Menyatakan perang, membuat perdamaian, perjanjian negara lain seperti yang tercantum dalam Pasal 11 ayat 1 UUD 1945, Membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, Pasal 11 ayat 2 UUD 1945, Pengangkatan Hakim Agung, Pasal 24A ayat 3 UUD 1945 serta pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial yang tercantum dalam Pasal 24B ayat 3 UUD 1945. Perubahan lain pasca amandemen UUD 1945 ialah mengenai hak anggota DPR yang menyatakan bahwa, setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas. 3 Sementara itu berkaitan dengan keanggotaan DPR diatur berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang No 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,DPR, dan DPRD menyatakan bahwa susunan DPR terdiri dari anggota partai politik pemenang pemilu, dan anggota ABRI yang diangkat dengan keseluruhan jumlah 500 anggota. Pada perkembangannya pada tahun 2003 Undang-Undang No 4 tahun 1999 tentang MPR, DPR, DPRD diganti dengan Undang-Undang No 22 Tahun 2003 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD karena dianggap tidak sesuai lagi dengan aspirasi rakyat dan perkembangan ketatanegaraan di Indonesia. Dalam Undang-Undang No 22 Tahun 2003 susunan keanggotan berubah, dalam Pasal 16 menyatakan 3 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, PT Grafindo Persada, 2006, h. 105-106. bahwa DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih berdasarkan hasil pemilu. Sementara dalam Pasal 24 mengatakan bahwa Kedudukan DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara. Undang-Undang No 22 Tahun 2003 kemudian diganti dengan Undang-Undang No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD untuk meningkatkan peran dan tanggung jawab lembaga perwakilan rakyat. Berselang 5 tahun, UU No 27 Tahun 2009 kemudian diganti dengan Undang-Undang No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD. Namun, beberapa bulan kemudian UU No 17 Tahun 2014 diganti dengan Undang-Undang No 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD. Sisi yang lain, menguatnya peranan dan wewenang serta kekuasaan legislatif ternyata tidak otomatis menggambarkan semakin menguatnya peranan rakyat. 4 Reformasi kelembagaan pada dasarnya merupakan harapan rakyat guna memastikan kepentingan-kepentingan mereka terakomodasi dalam pelbagai kebijakan negara. 5 Padahal UUD 1945 pasca amandemen ke-1 telah memberikan wewenang yang sangat besar kepada DPR agar menjadi jembatan aspirasi dan kepentingan rakyat yang kokoh. Melalui fungsi strategisnya yakni legislasi, anggaran dan pengawasan yang merupakan bingkai dari peran representasi rakyat. 4 Paimin Napitupulu, Menuju Pemerintahan Perwakilan, Bandung:PT Alumni 2007, h. ix. 5 FORMAPPI, Lembaga Perwakilan Rakyat: Studi dan Analisis sebelum dan setelah perubahan UUD NRI 1945, Jakarta, FORMAPPI, 2005, h. 9. Oleh karena itu untuk melaksanakan fungsi dan wewenangnya tersebut secara optimal, menurut Benny K Harman anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat memandang merasa perlu membentuk alat kelengkapan di DPR yang lebih kredibel yang bisa menjaga kehormatan dan martabat anggota dewan. Oleh karena itu dibentuknya Mahkamah Kehormatan Dewan selanjutnya disebut MKD sebagai pengganti Badan Kehormatan. Peran MKD ke depan diperkuat untuk menjaga integritas lembaga dan anggota DPR dalam melaksanakan fungsi, wewenang dan tugas DPR. 6 Hidayat Nurwahid mengatakan anggota DPR adalah orang yang terhormat, oleh karena itu salah satu langkah yang diwujudkan adalah membentuk Mahkamah Kehormatan Dewan. Menurutnya saat ini anggota DPR terlalu mudah untuk dipanggil untuk permintaan keterangan untuk penyidikan. Ini menimbulkan citra yang buruk di mata publik terhadap parlemen. Problema ketika anggota DPR dipanggil menjadi saksi atau untuk pemeriksaan penyidikan suatu kasus, menurut Hidayat Nurwahid hal seperti itu dapat menimbulkan opini publik yang buruk terhadap anggota DPR. 7 Pada sisi yang lain, menurut penulis kehadiran kewenangan MKD yang tertuang dalam Pasal 245 UU No 42 Tahun 2014 tentang MD3 bahwa 6 Sjafri Ali, “Tokoh Masyarakat Masuk Panel Mahkamah Kehormatan DPR,” artikel diakses pada 18 Mei 2015 dari http:www.pikiran- rakyat.compolitik20140917297262tokoh-masayarakat-masuk-panel-mahkamah- kehormatan-dpr 7 Erdy Nasrul, “DPR Bentuk Mahkamah Kehormatan Dewan,” Artikel diakses Pada 10 November 2014 dari http:m.republika.co.idberitanasionalpolitik140829nb2h4q-dpr- bentuk-mahkamah-kehormatan-dewan pemanggilan dan pemeriksaan anggota DPR untuk penyidikan harus mendapatkan izin tertulis dari MKD tersebut dianggap dapat menghambat proses penegakan hukum dan membuat anggota dewan sulit tersentuh. Selain itu MKD sarat dengan konflik kepentingan. Dengan lahirnya MKD dianggap akan memperlambat proses peradilan karena adanya prosedur birokrasi perijinan, serta menambah biaya penegakan hukum yang secara otomatis terjadi karena rangkaian prosedur yang lebih lama serta tidak sesuai dengan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan dalam proses peradilan pidana, serta bagaimana kedudukan hukum anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 245 tersebut jika ditinjau dari asas persamaan di depan hukum? Dalam konteks kemajuan demokrasi, reformasi kelembagaan parlemen merupakan bagian penting dari proses konsolidasi demokrasi, dimana institusi-institusi kenegaraan ditata sedemikian rupa sehingga memenuhi indikator demokrasi. 8 Inti dari semua ini adalah pelembagaan nilai-nilai demokrasi dalam keseluruhan prosedur dan mekanisme kerja parlemen. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengorganisasian, tata tertib lembaga-lembaga perwakilan, dan regulasi-regulasi terkait dengan kehendak mewujudkan parlemen Indonesia sebagai institusi perwakilan rakyat yang kredibel, akuntabel, transparan, efektif, dan profesional. Oleh karena itu penulis tertarik mengambil judul penelitan mengenai “PROBLEMATIKA PEMBERIAN IZIN PENYIDIKAN OLEH MAHKAMAH KEHORMATAN 8 FORMAPPI, Lembaga Perwakilan Rakyat… h. 9 TERHADAP ANGGOTA DPR YANG DIDUGA MELAKUKAN TINDAK PIDANA.”

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah