Latar Belakang Terbentuknya Undang-Undang No 42 Tahun 2014

15

BAB II SEJARAH TERBENTUKNYA UNDANG-UNDANG NO 14

TAHUN 2014 TENTANG MPR, DPR, DPD, DPRD

A. Latar Belakang Terbentuknya Undang-Undang No 42 Tahun 2014

Pembukaan UUD 1945 tersirat suatu makna, bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum. 12 Hal ini tertulis dalam Pembukaan UUD 1945 Aline ke IV yang berbunyi sebagai berikut: “…untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…” Diembannya tugas negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan umum tersebut maka pembentukan berbagai peraturan di Negara Indonesia menjadi sangat penting, oleh karena campur tangan negara dalam mengurusi kesejahteraan rakyat dalam bidang hukum, politik, ekonomi, budaya, 12 Penjelasan mengenai negara hukum serta perbedaan rechtstaat dan rule of law akan dijelaskan kemudian. lingkungan hidup serta pertahanan dan keamanan yang diselenggarakan dengan proses legislasi. 13 Ide negara berdasarkan hukum sesungguhnya telah lama dikembangkan oleh oleh para filsuf dari zaman yunani kuno. Plato, karya awalnya Politea the Republic berpendapat bahwa adalah mungkin mewujudkan negara ideal untuk mencapai kebaikan yang berintikan kebaikan. 14 Gasasan yang dikemukakan Plato tersebut berasal dari bentuk keprihatinannya yang melihat kondisi kota Athena pada waktu itu. Pada zaman itu Raja yang berkuasa di kota Athena merupakan penguasa yang lalim dan sewenang-wenang. Dalam gagasan negara ideal Plato, penguasa yang memerintah seharusnya memiliki moralitas yang baik dan terpuji serta memiliki kebajikan dan segala macam pengetahuan, terutama ilmu pemerintahan. Dalam karya Plato yang lain Politicos, Plato sudah memberikan perhatian yang cukup penting terhadap hukum sebagai instrumen penyelenggaraan negara. Namun, fungsi dan kedudukan hukum dalam gagasan Plato belum sama seperti dalam ide negara hukum di zaman modern. 15 Kedudukan dan fungsi hukum sangat penting baru tampak dalam karya Plato yang berikutnya, Nomoi. Plato dalam karyanya itu, ia sudah memberikan perhatian dan arti penting terhadap hukum, Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang baik harus diatur 13 Maria Farida Indrayanti, Ilmu Perundang-Undangan, Yogyakarta: Kanisius, 2007, h. 1. 14 Jimliy Ashhiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta: Sinar Grafika 2012, h. 129. 15 Hotma P Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, dan Asas-Asas umum Pemerintahan Yang Baik, Jakarta: Erlangga, 2010, h. 14. oleh hukum. Cita Plato dalam Nomoi kemudian ditegaskan oleh muridnya Aristoteles dalam karyanya Politica, menurut Aristoteles, suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. oleh sebab itu supremasi hukum diterima oleh Aristoteles sebagai tanda negara yang baik dan bukan semata-mata sebagai keperluan yang selayaknya. 16 Aristoteles adalah filsuf terakhir yang membicarakan ide negara hukum sehingga ia dianggap sebagai penutup diskursus mengenai ide negara hukum klasik. Setelah zaman Aristoteles, ide negara hukum tidak lagi pernah diperbincangkan serta tidak mendapat perhatian dari filsuf selama beberapa abab setelahnya. Barulah pada abad ke-17 dan 18, ide negara hukum kembali diperbincangkan di Eropa Barat. 17 Konsep negara hukum modern di Eropa Kontinental dikembangkan dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu Rechtstaat antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Labant, Julius Stahl. Adapun dalam tradisi Anglo Saxon konsep negara hukum dikembangkan dengan sebutan The Rule of Law yang dipelopori oleh A. V Dicey. Selain itu, konsep negara hukum juga terkait dengan istilah Nomokrasi yang berarti penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan negara adalah hukum. Menurut Stahl, konsep negara hukum yang disebut dengan istilah rechtstaat mencakup empat elemen penting yaitu, pembagian kekuasaan, perlindungan hak asasi manusia, pemerintah 16 Azhary, Negara Hukum Indonesia-Analisis Yurudis Normatif tentang Unsur- Unsurnya, Jakarta:UI Press, 1995, h. 20. 17 Hotma P Sibuea, Asas Negara Hukum …h. 19. berdasarkan undang-undang, peradilan tata usaha negara. Adapun A.V Dicey menyebutkan tiga ciri penting rule of law yaitu, supremasi hukum, persamaan di depan hukum, dan asas legalitas. 18 Prinsip-prinsip negara hukum selalu berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat dan negara. Perkembangan negara hukum modern melahirkan prinsip-prinsip penting untuk mewujudkan negara hukum. Prinsip- prinsip terebut sebagai berikut: 19 1. Supremasi Hukum. 2. Persamaan Di Depan Hukum. 3. Pembatasan Kekuasaan. 4. Organ-Organ Penunjang yang Independen. 5. Peradilan Tata Usaha Negara 6. Perlindungan Hak Asasi Manusia 7. Peradilan yang merdeka. 8. Bersifat Demokratis Delapan Ciri negara hukum modern yang penulis kemukakan di atas, terdapat salah satu prinsip penting sebagai salah satu ciri pokok negara hukum yaitu pembatasan kekuasaan. 20 Dalam konsep ini kekuasaan dibagi 18 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, Jakarta: Mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, h. 122. 19 Jimliy Ashhiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Amandemen Hukum Tata Negara, Jakarta: Sekertaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006 h. 131. 20 Beberapa literatur menerjemahkan konsep trias politica sebagai pemisahan kekuasaan. Lihat Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca berdasarkan fungsinya. Pembagian tersebut menunjukan perbedaan antara fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Konsep klasik yang diterapkan dibanyak negara ini dikenal sebagai trias politica, atau pemisahan kekuasaan. Konsep mengenai trias politica bermula dalam tulisan John Locke, Second Treaties of Civil Government yang berpendapat bahwa kekuasaan untuk menetapkan aturan hukum tidak boleh dipegang sendiri oleh mereka yang menerapkannya. John Locke mambagi kekusaan negara dalam tiga fungsi yaitu, legislatif, eksekutif dan federatif. Oleh sarjana hukum Prancis, Baron de Montesquieu dalam bukunya L’Esprit des Lois yang merupakan karya utama Montesqueiu, karya tersebut merupakan salah satu karya yang paling tajam dan paling berpengaruh di antara karya-karya zaman pencerahan. 21 Karya tersebut ditulis berdasarkan penelitiannya terhadap sistem konstitusi Inggris, pemikiran John Locke itu diteruskannya dengan mengembangkan konsep trias politica yang membagi kekuasaan menjadi tiga cabang kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pandangan Montesquieu inilah kemudian dijadikan rujukan doktrin saparation of power. 22 Amandemen Jakarta: Sekertaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, h. 34., sedangkan literatur lain menyebutkan dengan istilah pembagian kekuasaan, lihat, Moh Kusnardi dan Harmaili Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet ke-6 Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1985, h. 181. 21 Franz Magnis-Seseno, Demokrasi: Klasik dan Modern, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, h. 80. 22 Jimliy Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Press, 2009, h.283. Bidang legislatif dan eksekutif, pendapat kedua sarjana ini tampaknya mirip. Akan tetapi, dalam bidang yang ketiga, pendapat mereka berbeda. John Locke mengutamakan fungsi federatif. John Locke lebih melihatnya dari hubungan dengan negara lain sebab kekuasaan yudikatif sudah termasuk dalam kekuasaan federatif. Sementara Montesquieu mengutamakan fungsi yudikatif, Montesquieu lebih melihat pembagian atau pemisahan kekuasaan itu dari hak asasi manusia setiap warga negara. Sebaliknya Montesquieu mengatakan bahwa fungsi hubungan luar negeri merupakan bagian dari fungsi eksekutif sementara kekuasaan yudikatif itu harus terpisah dari kekuasaan lain agar dapat berdiri sendiri tanpa memihak pihak manapun. 23 Sebab, gagasan tentang kemerdekaan yudikatif lahir bersamaan dengan gagasan negara demokrasi dan negara hukum. 24 Pembahasan yang berkembang selanjutnya cenderung berkaitan dengan penerapan konsep pemisahan kekuasaan yang dikembangkan oleh Montesquieu, dalam penyelenggraaan negara. Sir Ivor Jennings melalui teori dalam bukunya The Law and the Constitution menyanggah konsep pemisahan kekuasaan dalam trias politica dengan mendasarkan pada kenyataan di Inggris bahwa lembaga eksekutif turut serta dalam proses pembuatan undang- undang. 25 Jennings berpendapat, pelaksanaan trias politica secara konsekuen 23 Azhary, Negara Hukum Indonesia-Analisis Yurudis … h. 94. 24 Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta: Rajawali Press, 2012, h. 88. 25 Moh Kusnardi dan Harmaili Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet ke-6 Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1985, h. 143. seperti diungkapkan Montesquieu amat sulit diwujudkan dalam penyelenggaraan negara. Kenyataan menunjukkan bahwa pemisahan kekuasaan dilakukan hanya secara formil, artinya tidak dipertahankan secara tegas dalam konsep ini. Sehingga menurut Jenings konsep tersebut lebih tepat dinamakan pembagian kekuasaan distribution of power. 26 Jennings menggambarkan, apabila pembuatan undang-undang dalam suatu negara dilakukan oleh lembaga legislatif dan eksekutif maka konstitusi negara tersebut menganut asas pembagian kekuasaan. 27 Sementara itu Artur Mass justru menggunakan istilah division of power untuk menyebut pembagian kekuasaan. Mass kemudian membagi lagi terminologi tersebut menjadi dua, yaitu: 1 capital divission of power untuk menyebut pembagian kekuasaan yang bersifat fungsional serta mengandung pengertian pembagian kekuasaan yang bersifat horizontal; dan 2 territorial divisson of power yang bermakna pembagian kekuasaan secara vertikal serta menyebut pembagian kekuasaan yang bersifat kewilayahan atau kedaerahan. 28 Karena itu, doktrin pemisahan kekuasaan dapat dipahami sebagai doktrin yang terbatas, yang membagi kekuasaan negara menjadi tiga cabang kekuasaan. Kekuasaan legislatif bertugas membuat undang-undang, 26 Jennings mengatakan bahwa pemisahan kekuasaan saparation of power dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu: 1 materiil, yaitu pemisahan kekuasaan yang dipertahankan dengan tegas dalam tugas-tugas kenegaraan yang secara karakteristik memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu dalam tiga bagian legislatif, eksekutif dan yudikatif; 2 formil, yaitu apabila pemisahan kekuasaan tidak dipertahankan dengan tegas sehingga lebih tepat disebut pembagian kekuasaan, ibid. 27 Moh Kusnardi dan Harmaili Ibrahim, Pengantar Hukum.. h. 143. 28 Ibid. Kekuasaan eksekutif menjalankan undang-undang dan kekuasaan yudikatif menafsirkan atau mengadili pelanggar undang-undang. Seiring berkembangnya ide-ide mengenai kenegaraan, konsep trias politica dirasakan tidak lagi relevan mengingat tidak mungkinnya mempertahankan eksklusivitas setiap organ dalam menjalankan fungsinya masing-masing secara terpisah. Kenyataannya menunjukan bahwa hubungan antar cabang itu pada praktiknya harus saling bersentuhan. Kedudukan ketiga organ tersebut pun sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip check and balances. 29 Perjalanan lahirnya peraturan perangkat kelembagaan politik dalam konteks demokratisasi, dalam rangka usaha menciptakan check and balances. Check and balances mempunyai arti mendasar dalam hubungan antar kelembagaan negara. Misalnya, untuk legislasi, check and balances mempunyai lima fungsi. 30 Pertama, sebagai fungsi penyelenggara pemerintahan, dimana eksekutif dan legislatif mempunyai tugas dan tanggung jawab yang saling terkait dan saling memerlukan konsultasi sehingga terkadang tampak tumpang tindih. Namun disinilah fungsi check and balances agar tidak ada satu lembaga negara yang dominan tanpa kontrol dari lembaga lain. Kedua, sebagai fungsi pembagi kekuasaan dalam lembaga legislatif sendiri, dimana melalui sistem pemerintahan yang dianut, seperti Presidensial di Indonesia, diharapkan terjadi kontrol secara internal. Ketiga, fungsi 29 Jimliy Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga … h. v. 30 Nurliah Nurdin, Komparasi Sistem Presidensial Indonesia dan Amerika Serikat, Jakarta: MIPI, 2012, h. 248. hierarkis antara pemerintah pusat dan daerah. Keempat, sebagai fungsi akuntabiltas perwakilan dengan pemilihnya. Kelima, sebagai fungsi kehadiran pemilih untuk menyuarakan aspirasinya. Pada dasarnya prinsip check and balances ini untuk membatasi kesewenang-wenangan dalam konsep pembagian kekuasaan. Dengan adanya prinsip check and balances ini maka kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi, bahkan dikontrol dengan sebaik- baiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan dapat dicegah dengan sebaik- baiknya. 31 Hal yang terpenting dalam ide negara hukum bahwa setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum. Hal ini berhubungan dengan adagium yang dikemukakan oleh Mochtar Kusuma Atmadja, hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman. Oleh sebab itu pembentukan hukum sangat penting. Pembentukan hukum secara bersamaan merupakan penerapan hukum. 32 Eugen Ehrlich menganjurkan agar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terdapat keseimbangan antara keinginan pembaruan hukum melalui perundang-undangan dengan kesadaran untuk memperhatikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. 33 Hukum itu tidak boleh statis, tetapi harus dinamis, harus selalu diadakan perubahan sejalan dengan perkembangan zaman dan dinamika kehidupan bermasyarakat 31 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Rajawali Pres, 2002, h. 115. 32 Hans Kelsen, Teori Umum Hukum dan Negara diterjemahkan dari General Theory of Law and State, New York: Russel and Russel, 1971, h. 192. 33 Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Jakarta: Kencana, 2003, h. 19. dan bernegara. Apabila hukum hendak diganti dengan hukum yang baru maka diperlukan beberapa syarat agar hukum baru dapat berlaku secara efektif, syarat tersebut antar lain, hukum yang dibuat itu harus bersifat tetap, tidak bersifat ad hoc. Kemudian hukum yang baru tidak saling bertentangan satu sama lain, dan hukum yang baru itu harus tertulis dan dibuat oleh instansi yang berwenang. 34 Jika didengar secara sekilas penyataan “hukum sebagai produk politik,” dalam pandangan awam bisa dipersoalkan, sebab pernyataan tersebut memosisikan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan yang ditentukan oleh politik. Apalagi dalam tatanan ide atau cita hukum, lebih-lebih di negara yang menganut supremasi hukum, politik harus diposisikan sebagai variable yang terpengaruh oleh hukum. Mana yang benar dari kedua pernyataan tersebut? 35 Secara metedologi ilmiah sebenarnya tidak ada yang salah dari pernyataan tersebut, semuanya benar tergantung pada asumsi yang dipergunakan. Asumsi bahwa setiap produk hukum merupakan produk keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi dikalangan para politisi. Meskipun dari sudut pandang das sollen ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, namun secara das sein bahwa hukum yang dalam kenyataannya ditentukan oleh konfigurasi politik yang melatar belakanginya. 36 34 Ibid. h. 4. 35 Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia Jakarta: Rajawali Press, 2011, h. 4. 36 Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum … h.64. Dasar keberadaan Undang-Undang No 42 Tahun 2014 MPR, DPR, DPD, DPRD, bahwa Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 mengamanatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat yang di dalam pelaksanaannya menganut prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Untuk melaksanakan prinsip dari kedaulatan rakyat tersebut, perlu diwujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, lembaga perwakilan daerah yang mampu mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi serta dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Karena itu salah satu hal penting dari amandemen UUD 1945 adalah penataan kembali sistem perwakilan. 37 Sejalan dengan perkembangan kehidupan ketatanegaraan dan politik bangsa di Indonesia, telah dibentuk Undang-Undang No 22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, DPRD, yang dimaksudkan sebagai upaya penataan susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD, DPRD. Dalam perkembangannya Undang-Undang No 22 Tahun 2003 diubah dengan Undang-Undang No 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD. Frasa “Susunan dan Kedudukan” pada undang-undang sebelumnya dihapuskan. Penghapusan tersebut dimaksudkan untuk tidak membatasi pengaturan yang hanya terbatas pada materi muatan susunan dan kedudukan saja, tetapi juga mengatur hal-hal lain yang sifatnya lebih luas. Hal 37 Sebastian Salang, dkk., Menghindari Jeratan Hukum Bagi Anggota Dewan, Jakarta: Forum Sahabat, 2009, h. 62. ini dilakukan dalam upaya pengefektifan kelembagaan MPR, DPR, DPD, DPRD. Meskipun telah menjalankan fungsi legislasi secara optimal, DPR tetap saja tidak sepi dari kesan atau penilaian yang kurang bagi berbagai kalangan. Sejumlah produk legislasi DPR dianggap kurang sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Produk legislasi yang berupa undang-undang terkesan tidak serius dirancang dan dibahas, sebaliknya berdasarkan kepentingan kelompok dan kompromi politik. 38 Keberagaman kepentingan yang mengikuti anggota DPR akan makin bertambah rumit dengan satu kenyataan lain berupa kepentingan pribadi dari anggota DPR. Tidak dinafikan sama sekali, seorang anggota DPR memburu kepentingan-kepentingan diri dari peran dan status politik yang tengah disandangnya itu. 39 Kesan atau penilaian lainnya adalah DPR periode 2009-2014 kurang maksimal dalam menjalankan fungsi legislasi, dengan tidak tercapainya Program Legislasi Nasional Prolegnas. Konstruksi prosedural politik yang menghambat pelaksanaan kewenangan perwakilan politik, di tengah desakan tuntutan politik demokratisasi, juga menempatkan peran kenegaraan MPR dan DPD yang juga terjebak pada seremoni prosedural pelaksanaan fungsi-fungsinya. Kendala seperti ini membutuhkan transformasi alat kelengkapan dan reposisi fraksi atau pengelompokan keanggotaannya agar dapat secara maksimal mendorong 38 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang atas Perubahan Undang-Undang No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD, h. 5. 39 Sebastian Salang, Menghindari…. h. 10. peran kelembagaannya yang produktif bagi produktivitas peranannya dalam agenda nasional. Ruang lingkup pembaruan politik yang sangat terbatas bagi dukungan subtansial pelaksanaan fungsi-fungsi kelembagaan perwakilan politik, baik menyangkut MPR, DPR, DPD, DPRD, dianggap membuktikan titik lemah dari kelembagaan perwakilan politik tersebut. Bahkan, dalam konteks DPRD, baik ditingkat provinsi maupun kabupaten atau kota, sejak awal ketentuan dalam Undang-Undang No 27 Tahun 2009 diletakkan pada bagian birokrasi pemerintah daerah, dan bukan sebagai badan legislatif di daerah, serta sejalan dengan ketentuan yang ada pada Undang-Undang No 32 Tahun 2004. Sehingga campur tangan pemerintah pusat secara berlebihan tehadap politik pelaksanaan hak-hak keanggotaan dan kelembagaan DPRD sukar dihindarkan. Dalam rangka penguatan fungsi legislasi, DPR sebagai pelaksanaan amandemen UUD 1945, perlu pula diatur lebih lanjut mengenai penguatan peran DPR dalam proses perancangan, pembentukan, sekaligus pembahasan rancangan undang-undang. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjawab kritik bahwa DPR bekerja kurang maksimal dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Harapannya adalah agar DPR dapat menghasilkan produk-produk legislasi yang berkualitas serta berorientasi pada kebutuhan rakyat dan bangsa. Berkaitan dengan fungsi legislasi, kedudukan DPD perlu ditempatkan secara tepat dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, pemekaran, penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, serta perimbangan keuangan anatara pusat dan daerah sebagaimana diamanatkan dalam pasal 22 D ayat 2 Undang-Undang Dasar. Hal penting lainnya yang menjadi perhatian adalah keberadaan sistem pendukung yang menunjang fungsi serta tugas wewenang MPR, DPR, DPD, DPRD. Perlunya dukungan yang kuat, tidak terbatas pada dukungan sarana, prasarana dan anggaran, tetapi ada dukungan keahlian. Dengan demikian perlu adanya penataan kelembagaan Sekertariat Jenderal di MPR, DPR, DPD dan sekertariat di DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten atau Kota. Hal ini diwujudkan dalam pengadaan sumber daya manusia, alokasi anggaran, sekaligus pertanggungjawaban publik unit pendukung dalam menjalankan tugasnya. Untuk itu, beberapa masalah yang menjadi kendala baik secara teknis maupun subtantif dari dua tingkatan pembenahan kelembagaan politik perwakilan, merupakan muatan dari revisi Undang-Undang No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD. Berdasarkan pertimbangan tersebut, perlu dibentuk Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, DPRD guna meningkatkan peran dan tanggung jawab lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan rakyat daerah untuk mengembangkan kehidupan demokrasi, menjamin keterwakilan rakyat dan daerah dalam melaksanakan tugas dan wewenang lembaga, serta mengembangkan mekanisme check and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif. Selain itu juga untuk meningkatkan kualitas, produktivitas, dan kinerja anggota permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Pada prosesnya perubahan atas Undang-Undang No 27 Tahun 2009 menjadi Undang-Undang No 17 Tahun 2014 tentang MD3 disahkan pada pada tanggal 8 juli 2014. Setelah Undang-Undang No 17 Tahun 2014 ini disahkan, kembali diubah menjadi Undang-Undang No 42 Tahun 2014 tentang MD3 pada 5 Desember 2014. Dalam sidang paripurna perubahan undang-undang tersebut dihadiri oleh 281 dari 555 anggota dewan dan dipimpin langsung oleh ketua DPR, Setya Novanto. 40 Namun, perubahan tersebut sarat dengan kepentingan politik. Perubahan tersebut diantaranya menyepakati delapan poin pasal dalam Undang-Undang MD3 terkait dengan kewenangan DPR, Pemilihan Pimpinan Komisi, Tugas Komisi, Pemilihan Pimpinan Badan Legislasi, Pimpinan Badan Anggaran, Pimpinan Mahakamah Kehormatan Dewan, Pemilihan Pimpinan BURT. Ketentuan tersebut tercantum dalam pasal tersebut yaitu Pasal 17 ayat 3, 4, 5, dan 6, Pasal 97, Pasal 98 ayat 7, 8, 9, Pasal 104, Pasal 109, Pasal 115, Pasal 121 dan Pasal 152. Sementara, terdapat penambahan pasal sisipan antara pasal 425 dan 426 yaitu Pasal 425A. 40 Julkifli Marbun, “Tanpa Interupsi Paripurna Sahkan revisi Undang-Undang MD3 Menjadi Undang- Undang”, artikel diakses pada 20 April 2015 dari http:m.republika.co.idberitanasionalpolitik141205ng46tg-tanpa-interupsi-paripurna- sahkan-revisi-uu-md3-undangundang Mengutip dari pernyataannya Satjipto Rahardjo bahwa setiap produk hukum bukan sesuatu yang mutlak sempurna. 41 Revisi peraturan perundang- undangan seperti ini lazim dilakukan untuk dua tujuan utama, yaitu: untuk menyesuaikan tuntutan dan kebutuhan baru karena perkembangan masyarakat dan zaman; dan memperbaiki atau menyempurnakan kekurangan dan kelemahan peraturan perundang-undangan terkait. 42

B. Perdebatan Dalam Pembentukan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014