Kedudukan Hukum Anggota DPR Yang Diduga Melakukan Tindak

Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, MKD berwenang untuk menerbitkan surat edaran mengenai anjuran untuk menaati tata tertib serta mencegah pelanggaran kode etik kepada seluruh anggota. Memantau perilaku dan kehadiran anggota dalam rapat. Memberikan rekomendasi kepada pihak terkait untuk mencegah terjadinya pelanggaran kode etik dan menjaga martabat, kehormatan, citra, kredibilitas DPR. Melakukan tindak lanjut atas dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota DPR. memanggil dan memeriksa setiap orang yang terkait tindakan dan atau peristiwa yang patut diduga dilakukan oleh anggota yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih dan atau melanggar ketentuan sebagaiamana dimaksud dalam peraturan DPR tentang Tata Tertib.

B. Kedudukan Hukum Anggota DPR Yang Diduga Melakukan Tindak

Pidana Salah satu kewenangan MKD yang menjadi pokok pembahasan dalam penulisan ini tercantum dalam Pasal 245 ayat 1 Undang-Undang No 42 Tahun 2014 yaitu; Pemangggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapatkan persetujuan tertulis dari MKD. Pada ayat 2 dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana yang dimaksud ayat 1 tidak diberikan oleh MKD paling lama 30 tiga puluh hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dilakukan. Selanjutya, pada ayat 3 menyatakan, ketentuan pada ayat 1 tidak berlaku apabila, tertangkap tangan melakukan tindak pidana, disangka melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup, atau disangka melakukan tindak pidana khusus. Ketentuan dalam Pasal 245 Undang-Undang No 14 Tahun 2014 tersebut tidak terlepas dari putusan Mahkamah konstitusi MK No 73PUU-IX2011, dalam putusan tersebut MK menghapus syarat persetujuan tertulis dari Presiden untuk memeriksa kepala daerah atau wakil kepala daerah dalam tahap penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Keputusan tersebut dibacakan dalam sidang pembacaan uji materi judicial review Pasal 36 Ayat 1 dan Pasal 36 Ayat 2 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 64 Putusan tersebut MK mengakui pentingnya menjaga wibawa dan kehormatan seorang pejabat negara. 65 Namun pengkhususan tersebut tidak boleh sampai pada terhambatnya proses penegakan hukum. Terkait 64 Acha Muhamad Arsad, “Putusan MK No 73PUU-IX2011 Harapan Baruku,” artikel diakses pada 23 Mei 2015 dari, http:hukum.kompasiana.com20130511putusan-mk- no-73puu-ix2011-harapan-baruku-558858.html 65 Pejabat negara adalah pimpinan dan anggota lembaga tinggi negara sebagaimana dimaksudkan UUD 1945 dan pejabat negara yangb ditentukan oleh Undang-Undang. Pejabat Negara terdiri dari; Presiden dan Wakil Presiden, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota MPR, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota DPR, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota BPK, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Hakim Agung dan Hakim MK, Gubernur dan Wakil Gubernur, BupatiWalikota. pengkhususan tersebut menurut Bivitri Susanti ada dua pendekatan yang relevan digunakan yaitu, Forum Priveligiatum dan Parlimentery Priviliges. 66 Forum Privilegiatum adalah hak khusus yang dimiliki oleh pejabat- pejabat tinggi untuk diadili oleh suatu pengadilan yang khusus atau tinggi dan bukan oleh pengadilan negeri. 67 Hak khusus ini mulai ada pada sekitar abad ke-15 untuk bisa membawa pejabat-pejabat negara dan penguasa feodal pada masa itu yang tidak mau dan sangat sulit untuk dibawa ke pengadilan karena merasa kedudukannya lebih tinggi dari pengadilan. Hak khusus ini diadakan untuk pejabat-pejabat tinggi negara agar bersedia masuk ke dalam ranah pengadilan dan di sisi lainnya berguna untuk publik karena bisa membuat penguasa bertanggung jawab di hadapan hukum. Di Belanda forum ini dilaksanakan oleh Hoog Raad Mahkamah Agung sejak 1893. 68 Pada perkembangannya, wewenang Hoog Raad ini kemudian dibawa oleh pemerintahan kolonial ke Indonesia. Setelah kemerdekaan aturan ini terus diadopsi dan dituangkan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat 1949 UUD RIS, maupun Undang-Undang Dasar Sementara 1950 UUDS. Pasal 106 UUDS 1950 menyatakan, Presiden, Wakil Presiden, Menteri-Menteri, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Perwakilan Rakyat, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Mahkamah Agung, Jaksa Agung pada Mahkamah Agung, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota 66 Bivitri Susanti, Mahkamah Kehormatan Dewan Dalam Konteks Negara Hukum, Jakarta, Makalah, 9 Oktober 2014 67 J. C. T. Simorangkir dkk, Kamus Hukum, Jakarta: Aksara Baru, 1983, h. 62-63. 68 Bivitri Susanti, Mahkamah Kehormatan Dewan Dalam Konteks Negara Hukum, Jakarta: Makalah, 9 Oktober 2014, h. 3. Dewan Pengawas Keuangan, Presiden Bank Sirkulasi dan juga pegawai- pegawai, Anggota-anggota Majelis-Majelis Tinggi, dan Pejabat-Pejabat lain yang ditunjuk dengan undang-undang, diadili pada tingkat pertama dan terakhir oleh Mahkamah Agung, begitu pun sesudah mereka berhenti, berkaitan dengan kejahatan dan pelanggaran lain yang ditentukan dengan undang-undang dan yang dilakukannya dalam masa pekerjaannya, kecuali jika ditetapkan lain oleh undang- undang.” Melihat Pasal 106 UUDS 1950 tersebut, Soepomo tidak menjelaskan dari mana asal muasal pasal ini. Ia hanya menyatakan bahwa pasal-pasal UUDS 1950 tersebut diambil dari Konstitusi RIS. 69 Berdasarkan Pasal 106 UUDS 1950 mengenai Forum Privilegiatum ini, Menteri Negara Sultan Hamid, Menteri Luar Negeri Ruslan Abdulgani, Menteri Kehakiman Djodi Gondokusumo pernah diadili dengan mekanisme Forum Privilegiatum. 70 Pada dasarnya, Forum Privilegiatum seharusnya dapat dijadikan sebagai penjaga gawang keadilan terhadap tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa atau para pejabat negara, tetapi mempunyai kesulitan jika diadili dengan pengadilan biasa. 71 Namun pada perkembangan selanjutnya, Forum Privilegiatum kembali tidak diberlakukan seiring dengan diberlakukannya 69 R. Soepomo, Undang-Undang Sementara Republik Indonesia Serikat, Jakarta: Noordhoff-koff, 1954 70 Miftahul Huda, “Forum Privilegiatum,” artikel diakses pada 12 Mei 2015 dari http:www.miftakhulhuda.com201001forum-previlegiatum.html 71 Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, Jakarta:Sinar Grafika, 2011, h. 7. kembali pada UUD 1945 pada tahun 1959 karena dianggap tidak sesuai dengan semangat UUD 1945. 72 Pendekatan kedua dengan menggunakan konsep Parliamentary Privileges, dalam konsep Parliamentary Privileges yang biasa diterapkan parlemen Inggris dan Amerika Serikat mempunyai dua tujuan. Pertama, memberikan imunitas bagi anggota lembaga perwakilan agar tidak dapat dituntut secara perdata di muka hukum karena apa yang dinyatakannya dalam sidang. Tanpa hak imunitas, legislator dapat merasa tidak bebas dalam mengemukakan pendapat dan mendorong perbaikan bagi konstituennya karena selalu terancam digugat secara hukum oleh lawan-lawan politiknya. Esensi kebebasan berbicara inilah satu-satunya alasan yang membuat legislator seakan-akan kebal hukum. Namun mereka tidak sepenuhnya kebal hukum. mereka hanya tidak bisa dihukum atas apa yang diucapkannya di dalam sidang. Namun di luar kapasitas semua sebagai wakil rakyat, legislator tetap sebagai warga negara biasa. Karena itulah, keistimewaan Parliamentary Privileges ataupun hak imunitas hanya berlaku gugatan perdata, khususnya untuk masalah pencemaran nama baik. Kemudian, untuk membatasi kebebasan berbicara tersebut, dibuat pula perangkat peraturan sidang mengenai bahasa yang tidak dapat digunakan di dalam sidang parlemen. Kedua, efektifitas kerja mereka sebagai anggota dewan, bentuknya adalah perlindungan bagi anggota dewan untuk ditahan di dalam kasus perdata 72 Sebastian Pompe, The Indonesian Supreme Court: A Study of institutional Collapse Ithaca, Cornell University,Press 2005, mengutip S.Mertukosumo, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangan Sejak 1942 dn Apa Kemanfaatan Bagi Kita Bangsa Indonesia,Bandung:Kilatmaju,1971 selama masa sidang. Hal yang terpenting dari konsep Parliamentary Privileges, tidak ada pengecualian sama sekali bagi mereka yang melanggar perkara-perkara pidana. Namun pada dasarnya pejabat negara memiliki hak istimewa yang melekat dalam jabatan yang dimilikinya yaitu hak kekebalan hukum, khususnya untuk kasus hukum yang masih memerlukan penyidikan pembuktian. 73 Hak kekebalan hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari atribut jabatan petinggi negara untuk menghindari diri dari konspirasi kejahatan terselubung. Oleh sebab itu, persoalan hak imunitas ini menjadi suatu perdebatan panjang yang patut untuk diperhatikan oleh pembuat undang-undang secara logis-rasional, untung-rugi serta baik buruknya karena ada niat pejabat negara memproteksi diri dari tindakan ancaman hukuman atau dengan kata lain, bersembunyi dibalik hukum untuk melepaskan diri dari perbuatan kejahatan. Hak kekebalan hukum merupakan sesuatu yang sangat sensitif karena jika hak itu hanya memproteksi kepentingan politik, akan menimbulkan berbagai macam preseden negatif publik bahwa DPR sengaja, menciptakan tipologi hukum yang subjektif individualistik hanya untuk menggerogoti dan membohongi rakyat, tetapi bertujuan untuk meluputkan diri mereka dari jerat hukum dan bertindak sewenang-wenang karena diberikan wewenang otoritas 73 Hendaramin Ranadireksa, Aristektur Konstitusi Demokratik, Bandung: Fokus Media, 2007, h. 283. oleh hukum yang dibuatnya sendiri. 74 Secara konstitusional hak imunitas DPR, telah diatur keberadaanya dalam Pasal 20A ayat 3 UUD 1945, yang menyakan bahwa selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain UUD ini, DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas. 75 Lalu bagaimana mekanisme yang harus dilakukan dalam menghadapi anggota DPR ketika ada anggota DPR yang terkena kasus pidana yang memerlukan klarifikasi dan penyelesaian hukum serta bagaimana kedudukan hukum anggota DPR tersebut? Dalam Peraturan DPR RI No 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan menjelaskan mengenai mekanime pemberian persetujuan tertulis terhadap pemeriksaan dan pemanggilan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana. Terkait dengan mekanisme pemberian persetujuan ini terdapat 2 dua cara. Pertama, terkait dengan pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota dewan yang diduga melakukan tindak pidana yang berhubungan dengan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPR. Dalam Pasal 72 Peraturan DPR Tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan menyatakan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang berhubungan 74 H. F. Abraham Amos, Katastropi Hukum Quo Vadis Sistem Peradilan Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007, h.178. 75 Ahmad Aulawi, Perspektif Pelaksanaan Hak Imunitas Anggota Parlemen dan Pelaksanaan di Beberapa Negara, Jurnal Rechtsvinding, Media Pembinaan Hukum Nasional dengan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya harus mendapatkan persetujuan tertulis MKD. Kemudian MKD menerima surat dari pihak penegak hukum tentang pemberitahuan, pemanggilan, dan atau penyidikan kepada angggota atas dugaan melakukan tindak pidana, yang berhubungan dengan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya. Setiap anggota yang mendapat surat pemanggilan dapat memberitahukan kepada MKD tentang isi pemanggilan dari pihak penegak hukum. Berkaitan dengan hal tersebut, MKD harus memproses dan memberikan putusan atas surat permohonan pemanggilan tersebut dalam jangka waktu paling lama 30 tiga puluh hari setelah diterimanya permohonan persetujuan pemanggilan tersebut. Dalam jangka waktu 30 tiga puluh hari tersebut, MKD dapat meminta keterangan dari pihak penegak hukum tentang pemberitahuan, pemanggilan, dan atau penyidikan kepada anggota atas dugaan melakukan tindak pidana, yang berhubungan dengan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya. Kemudian dalam jangka waktu 30 tiga puluh hari tersebut MKD dapat meminta keterangan dari anggota yang diduga melakukan tindak pidana. Apabila MKD tidak memberikan persetujuan atas pemanggilan anggota, surat pemanggilan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum tetap atau batal demi hukum. Sedangkan apabila MKD memutuskan memberikan persetujuan tertulis atas pemanggilan anggota, MKD menerima surat pemberitahuan penggeledahan dan penyitaan dari penegak hukum. Dalam melakukan penggeledahan dan penyitaan ditempat anggota diduga melakukan tindak pidana, penegak hukum didampingi oleh MKD. Kedua, mekanime pemberian persetujuan tertulis terhadap pemeriksaan dan pemanggilan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana diatur dalam Pasal 73 menyatakan pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak berhubungan dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya harus mendapat persetujuan tertulis dari MKD. Kemudian MKD menerima surat dari pihak penegak hukum tentang pemberitahuan, pemanggilan, dan atau penyidikan kepada anggota atas dugaan melakukan tindak pidana yang tidak berhubungan dengan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya. Setiap anggota yang mendapat surat pemanggilan dapat memberitahukan kepada MKD tentang isi pemanggilan tersebut. Selanjutnya, dalam hal persetujuan tertulis tidak diberikan oleh MKD paling lama 30 tiga puluh hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan dapat dilakukan. Dalam jangka waktu 30 tiga puluh hari MKD dapat meminta keterangan dari pihak penegak hukum tentang pemberitahuan, pemanggilan, dan atau penyidikan kepada anggota atas dugaan melakukan tindak pidana. Dalam jangka waktu tersebut MKD dapat meminta keterangan dari anggota yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak berhubungan dengan pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenangnya. Dalam hal MKD memutuskan tidak memberikan persetujuan tertulis atas pemanggilan anggota, surat pemanggilan tidak memiliki kekuatan hukum tetap atau batal demi hukum. Sedangkan apabila MKD memutuskan untuk memberikan persetujuan atas pemanggilan anggota, MKD menerima surat pemberitahuan penggeledahan dan penyitaan dari penegak hukum. Selanjutnya, MKD mendampingi penegak hukum dalam melakukan penggeledahan dan penyitaan di tempat anggota diduga melakukan tindak pidana. Ketentuan mengenai persetujuan tertulis mengenai permintaan keterangan untuk penyidikan tidak berlaku jika anggota tertangkap tangan melakukan tindak pidana, disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup, atau disangka melakukan tindak pidana khusus. Pada proses selanjutnya adalah bagaimana kedudukan hukum anggota DPR tersebut? Ada prosedur tertentu yang harus dilalui. Tindakan yang harus dilakukan ketika anggota DPR dicurigai atau diduga melakukan sesuatu yang tidak terpuji yang tidak sesuai dengan martabat jabatan, adalah yang bersangkutan harus melepaskan jabatannya terlebih dahulu. Tujuan pelepasan jabatan adalah untuk menempatkan Anggota DPR tersebut sebagai warga negara biasa. Dalam kedudukannya sebagai warga negara itulah proses bisa dilakukan. 76 76 Hendaramin Ranadireksa, Aristektur Konstitus … h. 284. Namun di dalam UU No 42 Tahun 2014 tidak mengatur mengenai kedudukan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud di dalam Pasal 245. Dalam arti bahwa kedudukan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana masih aktif menjadi anggota. Akan tetapi dalam UU No 42 Tahun 2014 mengatur mengenai pelepasan jabatan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 244, anggota DPR diberhentikan sementara karena menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 lima tahun, atau menjadi terdakwa dalam perkara pidana khusus. Kemudian dalam hal anggota DPR dinyatakan terbukti bersalah karena melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPR bersangkutan diberhentikan sebagai anggota DPR. Sedangkan apabila dalam hal anggota DPR dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPR yang bersangkutan diaktifkan. Mengenai tata cara pemberhentian sementara diatur dalam Pasal 68 Peraturan DPR No 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan, bahwa, Pimpinan MKD memberitahukan kepada Pimpinan DPR tentang adanya Anggota yang menjadi terdakwa dalam perkara pidana umum yang diancam dengan pidana penjara 5 lima tahun atau lebih atau menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus. Kemudian Pimpinan DPR mengirimkan surat untuk meminta status seorang anggota yang menjadi terdakwa dalam perkara pidana dari pejabat yang berwenang, baik dengan adanya pemberitahuan maupun tanpa adanya pemberitahuan dari pimpinan MKD. Selanjutnya, Pimpinan DPR setelah menerima surat keterangan mengenai status seorang anggota tersebut kemudian diteruskan kepada MKD. Setelah Pimpinan DPR menyerahkan kepada MKD, kemudian melakukan pemeriksaan mengenai status anggota tersebut dan diambil putusan. Dalam hal terkait Putusan status anggota oleh MKD tersebut selanjutnya dilaporkan kepada rapat paripurna untuk mendapat penetapan pemberhentian sementara dan disampaikan kepada partai politik anggota yang bersangkutan paling lambat 14 empat belas hari sejak ditetapkan dalam rapat paripurna. Meskipun anggota diberhentikan sementara, anggota tersebut tetap mendapat hak keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Menurut pandangan penulis seharusnya anggota DPR yang diberhentikan sementara dicabut hak keuangannya sebagai konsekuensi dari pemberhentian sementara tersebut. 59

BAB IV PEMBERIAN IZIN PENYIDIKAN OLEH MAHKAMAH