Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

2 Perceraian dalam bahasa Arabnya disebut “talak” yang artinya lepasnya ikatan atau pembebasan 4 . Menurut istilah perceraian adalah melepas tali perkawinan pada waktu sekarang atau pada waktu yang akan datang 5 . Menurut istilah fiqih, thalaq disebut juga khulu ‟, artinya melepaskan dan menghilangkan, 6 atau membuka sesuatu jika yang minta cerai itu pihak isteri. Perceraian merupakan suatu yang dapat memutuskan pernikahan. Jadi dengan perceraian itu status suami isteri yang mereka dapat melalui perkawinan tidak lagi didapatkan. Khulu‟ adalah suatu perceraian di mana seorang isteri membayar sejumlah uang sebagai iwadh penggangti kepada suaminya. Inipun masih tergantung pada kesediaan suami untuk menerima iwadh, karena tanpa persetujuannya tidak akan terjadi khulu‟. 7 Sebagaimana dalam Hadist yang menceritakan bahwa isteri Tsabit bin Qais datang menemui Rasululah SAW, dan ia mengemukakan alasannya untuk bercerai, maka Rasulullah bertanya apakah engkau bersedia mengembalikkan apa yang telah ia berikan, kemudian ia menjawab “ya”, dan Rasulullah memerintahkan Tsabit bin Qais untuk menerimanya dan menceraikannya. 8 4 Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam 9. Penerjemah Abdul Hayyie Al-Kattani Jakarta: Gema Insani, 2011, h. 318. 5 Sopyan, yayan, Islam Negara, Jakarta: PT. Semesta Rakyat Merdeka, 2012, h. 173. 6 Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam 9. Penerjemah Abdul Hayyie Al-Kattani Jakarta: Gema Insani, 2011, h. 418. 7 Ahmad, Zaini Noeh, Peradilan Agama Islam di Indonesia, Jakarta PT Intermasa, 1979, h. 210. 8 Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Hadis No. 1000, Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Kairo: Dar-el hadith, 1423H. 3 Adapun Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa 9 . Dalam Kompilasi Hukum Islam KHI disebutkan bahwa perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah 10 . Selain itu untuk melakukan perkawinan harus terpenuhi rukun dan syarat perkawinan, sebagaimana dalam KHI Pasal 14 mengatur tentang rukun perkawinan 11 , sedangkan syarat perkawinan itu sendiri diatur dalam Bab II UU No. 1 Tahun 1974. 12 Sedangkan talak dalam KHI adalah ikrar suami di hadapan sidang pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Talak terbagi menjadi talak raj‟i, dan talak ba‟in. Talak raj‟i adalah talak satu atau dua dan boleh rujuk selama masih dalam masa iddah. Sedangkan talak bain itu terbagi dua, yaitu talak bain sughra dan kubra 13 . Talak bain sughra yaitu talak yang berupa talak satu atau dua dan tidak dapat rujuk tetapi dapat menikah kembali dengan akad yang baru, dan talak bain kubra adalah talak yang dijatuhkan ketiga 9 Subekti, R. S. Tjitrosudibio, R. KUHPer dengan tambahan UUPA dan Undang-undang Perkawinan. ,Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2013, h. 537. 10 Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Akademika Presindo, 2010, h. 144. 11 Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Akademika Presindo, 2010, h. 116. 12 Subekti, R. S. Tjitrosudibio, R. KUHPer dengan tambahan UUPA dan Undang-undang Perkawinan. Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2013, h. 539. 13 Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Akademika Presindo, 2010, h. 141. 4 kalinya. 14 Pada talak bain sughra yang mengajukan perceraian ialah dari pihak isteri yang diajukan ke pengadilan yang kemudian apabila gugatannya diterima maka hakim akan memutus perceraian tersebut dan memerintahkan suami untuk menjatuhkan talak ataupun dapat juga pihak isteri harus menyerahkan uang tebusan iwadh agar suami dapat menceraikannya, dalam Islam lebih dikenal khulu ‟. Dalam talak bain sughra suami isteri tidak dapat rujuk selama dalam masa iddah, tetapi apabila mereka ingin kembali harus dengan akad yang baru, sedangkan dalam talak bain kubra suami isteri tidak dapat rujuk selama dalam masa iddah dan juga tidak boleh menikah dengan akad yang baru sampai si isteri itu menikah lagi dengan laki-laki lain dan bercerai, setelah masa iddah dengan laki-laki itu habis maka isteri boleh dinikahi kembali dengan suami pertamanya dengan akad yang baru. Oleh Karena itu khulu‟ adalah perceraian yang terjadi dalam bentuk mengurangi jumlah talak dan tidak dapat dirujuk, 15 Hal ini berdasarkan KHI Pasal 161. Jika seorang isteri tidak mempunyai sesuatu apapun yang dapat digunakan untuk menebus dirinya, atau ia memiliki sesuatu tetapi suami tidak mau menerimanya dan ingin mempertahankannya sebagai isteri, sedangkan masih melakukan penganiayaan, dalam masalah ini Islam telah membentangkan jalan bagi isteri untuk mengadukan kasus tersebut kepada hakim, dan megajukan masalah tersebut dengan jelas dan lengkap dengan bukti-bukti yang ada. 16 14 Ramulyo, M. Idris, Tinjauan Beberapa Pasal UU No. 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Ind-Hillco 1990, h. 80-81. 15 Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, h. 78. 16 Djaelani, Abdul Qadir, Keluarga Sakinah, Surabaya: PT Bina Ilmu,1995, h.327. 5 Berkenaan dengan cerai gugat, gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada pengadilan agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat. Hak untuk memohon memutuskan ikatan perkawinan ini dalam hukum Islam di sebut khulu‟, yaitu perceraian atas keinginan isteri tetapi suami tidak menghendaki. Tentunya dalam mengajukan gugatan itu setidaknya harus terpenuhi satu alasan-alasan perceraian 17 sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan atau Peraturan Pemerintah atau Kompilasi Hukum Islam. Perceraian dengan jalan khulu‟ di pengadilan agama harus disertai adanya alasan perceraian atau pelanggaran taklik talak dari pihak suami. Adapun yang dimaksud taklik talak berarti “penggantungan talak”. Taklik talak menurut pengertian di Indonesia ialah semacam ikrar yang dengan ikrar itu suami menggantungkan terjadinya suatu talak atas isterinya apabila ternyata dikemudian hari melanggar salah satu atau semua yang telah diikrarkannya. 18 Bagi masyarakat Indonesia telah tersedia seperangkat hukum positif yang mengatur perceraian 19 , baik itu yang di lakukan oleh suami atau isteri yang di ajukan ke pengadilan. Dan mengenai uang iwadh dalam KHI di terangkan dalam Pasal 148 20 , yaitu: 17 Nuruddin, Amiur, dan Tarigan, Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1 tahun 1974 Sampai KHI, Jakarta: Prenada Media 2004, h. 232-233. 18 Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000, h. 246. 19 Farida, Anik, Perempuan dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di Berbagai Komunitas dan Adat, Departemen Agama RI Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta 2007,h. 26. 20 Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Akademika Presindo, 2010, h. 148. 6 1. Seorang isteri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khuluk‟, menyanpaikan permohonannya kepada pengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan atau alasan-alasannya. 2. Pengadilan agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil isteri dan suaminya untuk didengar keterangannya masing-masing. 3. Dalam persidangan tersebut pengadilan agama memberikan penjelasan tentang akibat khulu ‟, dan memberikan nasehat-nasehatnya. 4. Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadh atau tebusan, maka pengadilan agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya di depan sidang pengadilan agama. Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi. 5. Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam pasal 131 ayat 5. 6. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya iwadh atau tebusan pengadilan agama memeriksa dan memutusk sebagai perkara biasa. Besarnya uang iwadh diatur dalam Keputusan Menteri Agama No. 441 tahun 2000 yang besarnya adalah Rp. 10.000,00. 21 Namun di Indonesia ini kita ketahui perceraian itu harus dilakukan di depan pengadilan, maka perceraian yang diajukan oleh isteripun harus diputus di depan pengadilan begitupun dengan adanya tebusan uang iwadh itu diserahkan melalui pengadilan tidak langsung kepada suami. Beranjak dari sini maka penulis akan mengangkat permasalahan 21 Keputusan Menteri Agama No. 441 tahun 2000 7 tersebut dalam penulisan skripsi dengan judul “IMPLEMENTASI PEMBAYARAN UANG IWADH DI PENGADILAN AGAMA CIBINONG”. B. Identifikasi Masalah Sebagaimana telah dipaparkan dalam latar belakang di atas maka muncullah permasalahan-permasalahn yang telah ada sebelumnya atau bahkan permasalahan yang baru setelah adanya penelitian-penelitian. Untuk itu dari latar belakang di atas dapat di jabarkan beberapa identifikasi masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana implementasi pembayaran uang iwadh di Pengadilan Agama Cibinong ? 2. Bagaimana pendapat hakim mengenai implementasi pembayaran uang iwadh tersebut ? 3. Siapa saja yang berhak menerima uang iwadh tersebut ? 4. Apakah ada kesepakatan dalam penentuan besarnya uang iwadh tersebut ? 5. Bagaimana persamaan hak-hak suami isteri dalam perkawinan mengenai pembayaran uang iwadh tersebut ? 6. Bagaimana pandangan hukum Islam mengenai implementasi pembayaran uang iwadh dalam cerai gugat di Pengadilan Agama ?

C. Pembatasan dan Perumusah Masalah

1. Pembatasan Masalah Sebagaimana telah dipaparkan dalam latar belakang dan identifikasi masalah di atas dan untuk mempertajam pembahasan, maka penulis membatasi masalah tentang uang iwadh untuk mengetahui bagimana iplementasi dan pandangan hukum Islam mengenai pembayaran uang iwadh 8 tersebut di Pengadilan Agama Cibinong dalam periode tahun kemarin antara tahun 2012-2015. 2. Perumusan Masalah Di Indonesia perceraian itu harus dilakukan di pengadilan dan suami atau isteri berhak mengajukan perceraian tersebut tentunya dengan alasan- alasan yang di atur dalam KHI Pasal 116 22 jo PP No. 09 tahun 1975 23 agar pemohonan atau gugatan yang diajukan dapat di terima. Namun peraturan di Indonesia tidak mengatur secara rinci mengenai uang iwadh, padahal dalam kasus di Indonesia cerai yang dilakukan oleh pihak isteri semakin banyak yang akan menimbulkan adanya uang iwadh sebagai tebusan. Uang iwadh tersebut hanya diatur mengenai jumlahnya tidak kepada siapa uang iwadh itu berhak diberikan. Tetapi dalam hadist sudah di jelaskan bahwa uang iwadh diserahkan kepada suami tetapi pada praktiknya di pengadilan tidak sepenuhnya dilakukan sebagaimana dalam hadist tersebut. Untuk itu yang menjadi perumusan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah: a. Bagaimana implementasi pembayaran uang iwadh dalam cerai gugat di Pengadilan Agama Cibinong ? b. Bagaimana pandangan hukum Islam mengenai implementasi pembayaran uang iwadh dalam cerai gugat di Pengadilan Agama Cibinong ?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan yang ingin di capai dalam penelitian ini adalah: 22 Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Akademika Presindo, 2010, h. 141. 23 PP No. 09 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan