D. Pidana Mati dalam Persfektif Hak Asasi Manusia
Indonesia masih menganut adanya hukuman mati sebagaimana diatur di dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Hingga akhir 2006 terdapat
setidak-tidaknya 10 peraturan perundang-undangan di Indonesia yang masih mengandung ancaman hukuman mati. Beberapa peraturan perundangundangan
yang masih mengatur hukuman mati antara lain Kitab Undang- Undang Hukum Pidana KUHP, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer KUPM,
Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan Undang- Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
82
Walaupun hukuman mati masih diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia, namun dapat dinyatakan telah ada
moratorium selama bertahun-tahun mengingat sedikitnya eksekusi yang dilakukan. Sejak 1945 sampai dengan 2003 tercatat ’hanya’ 15 orang yang
dieksekusi.
83
Jumlah ini kecil bila dibandingkan dengan periode 10 tahun terakhir 1998-2008 yang berjumlah 17 orang. Eksekusi hukuman mati
mempunyai kecenderungan meningkat pada tahun-tahun terakhir. Pada periode Januari-Juli 2008 telah ada 6 terpidana mati yang dieksekusi. Pada periode 18-
82
Praktik Hukuman Mati di Indonesia, diakses dari situs : di_Indonesia.pdf, diakases pada tanggal 17 Mei 2010. Dalam data Kontras terdapat 11 peraturan perundang-undangan. Namun salah
satunya, yaitu UU No. 11Pnps1963 telah dicabut pada 1999.
83
William Schabas, makalah disampaikan dalam seminar internasional, Discussion on Death Penalty- Contemporary Challenges, Delegation of European Commission and Departemen of
Philosofy Faculty of Humanities University of Indonesia, di Hotel Mandarin Jakarta, 14 Desember 2004, hal. 12.
Universitas Sumatera Utara
19 Juli 2008 eksekusi terjadi dengan jarak waktu yang sangat pendek yaitu tidak lebih dari satu jam.
84
Dapat diduga kuat bahwa kembalinya hukuman mati didorong oleh perdagangan obat-obatan terlarang. Dugaan tersebut benar bila kita melihat
data terakhir. Untuk periode 1998- 2008, kasus narkotika dan psikotropika adalah kasus yang paling banyak divonis hukuman mati yaitu sebanyak 68
kasus dan kemudian disusul 32 kasus pembunuhan.
85
Indonesia telah mengesahkan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik pada 2005 tanpa reservasi. Dengan demikian, Indonesia telah menjadi
negara pihak dan terikat secara hukum dengan ketentuan tersebut. Oleh karena Indonesia mengesahkan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik tanpa
reservasi, maka seluruh ketentuan yang termuat di dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik mengikat Indonesia secara hukum.
Indonesia mengesahkan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politi melalui UU No. 12 Tahun 2005. Indonesia tidak melakukan reservasi namun
melakukan deklarasi atas pasal 1 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik lihat pasal 1 UU No. 12 Tahun 2005.
84
Imparsial, ‘Deskripsi data Hukuman Mati Sejak 1998-2008’. Updated hingga Juli 2008. Tulisan diberikan saat datang ke Komnas HAM. Menurut Catatan Imparsial, Tubagus Maulana Yusuf
divoinis mati pada 10 Maret 2008 oleh Pengadilan Negeri rangkasbitung, Lebak, banten. Tubagus dieksekusi pada 18 Juli pukul 23.30. Sementara itu Sumiasih dan Sugeng yang divinis mati oleh
Pengadilan Negeri Surabaya tahun 1988, dieksekusi pada 19 Juli 2008 pukul 00.20 di lapangan Tembak Polda Jawab Timur.
85
Imparsial Deskripsi Data Hukuman Mati sejak 1998-2008, updated hinggal Juli 2008
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan mengenai hukuman mati terdapat dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2005 yang
memuat ketentuan mengenai hak hidup right to life. Ketentuan Pasal 6 UU No. 12 tahun 2005 tersebut memuat ketentuan yang amat penting berkaitan
dengan hak hidup serta hukuman mati. Pasal 6 ayat 1 UU No. 12 tahun 2005 Kovenan Internasional Hak Sipil
dan Politik memuat ketentuan mengenai hak hidup sebagai berikut: ”Setiap manusia mempunyai hak untuk hidup yang melekat pada
dirinya. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang” Every human being
has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No one shall be arbitralily deprived of his life”.
Terlihat dari rumusan tersebut, hak hidup mempunyai kekhususan.
Kekhususan dari hak hidup dapat dilihat dari kata sifat melekat inherent, yang dalam seluruh Kovenan Internasional hak Sipil dan Politik hanya
digunakan dalam ketentuan ini. Istilah ‘inherent’ yang digunakan menekankan sifat melekat hak tersebut pada diri manusia. Kekhususan penting lain dapat
dilihat dalam penggunaan kata keterangan waktu sekarang present tense ‘has’ dan bukan ‘shall have’. Rumusan ini menekankan bahwa hak hidup ada begitu
manusia ada seiring dengan kodrat manusia. Rumusan ini menekankan dan mengakui sifat hak hidup sebagai karunia Tuhan yang bersifat kodrati.
86
86
Nowak, M. 2005, U.N. Covenant on Civil and Political Rights, CCPR Commentary, 2nd revised edition, N.P. Engel, Publishers, hal. 122. dalam Kajian Hukuman Mati Dalam Pandangan Hak
Asasi Manusia Laporan Kajian Sekretaris Subkomisi Pengkajian Dan Penelitian, Roichatul Aswidah, Komnas Ham Indonesia. Pandangan ini menegaskan sifat natural rights hak hidup.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kata melekat inherent dan penekanan sifat kodrati hak hidup dalam ketentuan ini menekankan sifat hak hidup
sebagai karunia Tuhan yang tak dapat dicabut oleh manusia. Selain itu, Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan hak hidup sebagai ‘supreme
human rights”, yaitu bahwa tanpa pemenuhan hak hidup, hak-hak asasi manusian lain tidak akan mempunyai arti apa-apa.
Dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, pengaturan hak hidup menempati pengaturan paling depan dalam ketentuan yang mengatur hak substantif
dimana hak hidup ditempatkan sebagai hak substantif pertama yang diatur baru kemudian disusul oleh hak-hak lainnya. Ketentuan Pasal 4 ayat 2 UU No. 12 Tahun
2005 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik juga memuat ketentuan larangan adanya pengurangan terhadap beberapa hak salah satunya adalah hak hidup right to
life.
87
Dengan demikian, hak hidup termasuk hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun bahkan dalam keadaan darurat yang membahayakan
kehidupan bangsa sekalipun. Bahwa hak hidup merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Pertanyaan apakah pasal 6 UU No. 12 Tahun 2005 Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik melarang hukuman mati juga dapat dilacak
87
Namun demikian ketentuan tentang hak hidup yang termuat dalam Pasal 6 ayat 1 UU No. 12 Tahun 2005 tidak memuat secara eksplisit larangan hukuman mati. Hal ini menimbulkan
pertanyaan apakah Pasal 6 UU No. 12 tahun 2005 Kovenan Internasioal Hak Sipil dan Politik memuat larangan hukuman mati.
Universitas Sumatera Utara
dari kalimat ketiga dalam pasal 6 ayat 1 UU No. 12 tahun 205 Konvenan Internasional Hak sipil da Politik yaitu ‘Tidak seorang pun dapat dirampas hak
hidupnya secara sewenang-wenang”. Frasa ini mencerminkan inti dari kewajiban negara untuk menghormati hak hidup dengan tidak melakukan
intervensi. Namun menurut ahli hukum dan pelapor khusus PBB untuk penyiksaan, Manfred Nowak, kewajiban ini bersifat tidak absolut. Dalam hal
ini hanya ‘pencabutanperampasan hidup secara sewenang-wenang’ yang dipandang melanggar pasal 6 UU No. 12 tahun 205 Konvenan Internasional
Hak sipil da Politik. Bahwa hukuman mati dapat dinyatakan sesuai dengan ketentuan Pasal 6 UU No. 12 tahun 205 Konvenan Internasional Hak sipil da
Politik apabila diatur oleh hukum nasional.
88
Hukum nasional yang memuat ketentuan hukuman mati dengan demikian harus pula memenuhi ketentuan tersebut dan tidak mengandung
unsur-unsur ketidaksahan dan bersifat tidak adil. Dengan demikian, frasa ‘tidak seorang pun dapat dirampas hidupnya secara sewenang-wenang’ dalam pasal 6
UU No. 12 tahun 205 Konvenan Internasional Hak sipil dan Politik menunjukkan adanya maksud bahwa ”sewenang-wenang” bermakna baik .
Selain pasal 6 UU No. 12 tahun 205 Konvenan Internasional Hak sipil da Politik hak hidup, beberapa hak yang juga dilarang untuk dikurangi adalah
88
Sir Nigel Rodley, ‘The United Nation’s Work in the Field of the Death Penalty’ dalam the
Death Penalty Beyond Abolition, Council of Europe Publishing, 2004, hal. 128 16 Ibid, hal. 135 Laporan Kajian Sekretaris Subkomisi Pengkajian Dan Penelitian, Roichatul Aswidah, Komnas Ham
Indonesia
Universitas Sumatera Utara
Pasal 7 hak untuk tidak disiksa, Pasal 8 ayat 1 dan 2hak tidak diperbudak , Pasal 11 hak untuk tidak dipenjara karena semata-mata tidak dapat memenuhi
kewajiban kontraknya, Pasal 15 hak untuk tidak dihukum berdasarkan hukum yang berlaku surut, Pasal 16 hak untuk diakui sebagai pribadi di depan
hukum dan Pasal 18 bebas berpikir, berkeyakinan, beragama tidak sah maupun tidak adil. Ditegaskan pula bahwa frasa tersebut meminta pula tidak
adanya unsur tak dapat dijadikan pegangan dan ketakmasukaakalan. Dengan demikian, sekalipun hukuman mati diperbolehkan asalkan diatur berdasarkan
hukum nasional, namun hukum tersebut haruslah sah, adil, dapat dijadukan pegangan dan masuk akal.
Oleh karena itu, ketentuan tentang hak hidup yang termuat dalam Pasal 6 ayat 1 UU No. 12 tahun 205 Konvenan Internasional Hak sipil dan Politik
tersebut tidak dapat ditafsir begitu saja sebagai larangan hukuman mati. Menurut ketentuan ini, hukuman mati sebagai pencabutan hak hidup masih
diakui adanya, hanya dan hanya jika, diatur melalui hukum nasional yang adil, sah, dapat dipegang dan juga masuk akal. Bahwa Pasal 6 UU No. 12 tahun 205
Konvenan Internasional Hak sipil dan Politik masih mengakui hukuman mati juga mengingat adanya ketentuan-ketentuan yang mengikutinya yang mengatur
pembatasan terhadap hukum mati. Ketentuan-ketentuan yang mengikuti pasal 6 ayat 1, yaitu pasal 6 ayat 2 s.d. 6 UU No. 12 tahun 205 Konvenan
Internasional Hak Sipil dan Politik adalah:
Universitas Sumatera Utara
2 Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap kejahatan yang paling berat
sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan dengan ketentuan Kovenan ini dan Konvensi tentang
Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar putusan akhir yang dijatuhkan oleh pengadilan yang
berwenang competent. 4 Siapapun yang dijatuhi hukum mati mempunyai hak untuk
mendapatkanpengampunan atau keringanan hukuman. Amnesti, pengampunan atau pengurangan hukuman mati dapat diberikan dalam semua kasus.
5 Hukuman mati tidak dapat dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dibawah usia delapan belas tahun, dan tidak dapat dilaksanakan pada
perempuan yang tengah mengandung. 6 Tidak ada satupun dalam Pasal ini yang dapat digunakan untuk menunda
atau mencegah penghapusan hukuman mati oleh Negara-negara Pihak pada Kovenan ini..
89
Ketentuan-ketentuan tersebut tidak melarang hukuman mati, namun meletakkan sejumlah pembatasan pada penerapannya.
90
Akan tetapi, ketentuan- ketentuan tentang pembatasan-pembatasan terhadap hukuman mati tersebut
diawali oleh ketentuan tentang penghapusan hukuman mati.
89
Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, 1966.
90
Baderin, Mashood, A., International Human Rights and Islamic Law, Oxford University Press, 2003
Universitas Sumatera Utara
Frasa yang mengawali ketentuan pasal 6 2 UU No. 12 tahun 205 Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik yaitu “Di negara-negara yang
belum menghapuskan hukuman mati..”, mempunyai arti penting khusus yaitu menyetujui adanya penghapusan hukuman mati. Setelah ketentuan pembatasan
pada Pasal 6 ayat 2 sampai 5, ketentuan pasal 6 6 UU No. 12 tahun 205 Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik menguatkan penghapusan
hukuman mati dengan menyatakan “Tidak ada satupun dalam Pasal ini yang dapat digunakan untuk menunda atau mencegah penghapusan hukuman mati
oleh Negara-negara Pihak pada Kovenan ini”. Dengan demikian, walaupun Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik tidak secara khusus memuat
larangan hukuman mati, namun ketentuan tersebut memuat dan meminta penghapusannya. Lagi, ketentuan yang tidak melarang namun membatasi
hukuman mati tersebut, juga tidak menghapus ketentuan bahwa hak hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
E. Penerapan pidana mati dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia