Penerapan pidana mati dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia

Frasa yang mengawali ketentuan pasal 6 2 UU No. 12 tahun 205 Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik yaitu “Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati..”, mempunyai arti penting khusus yaitu menyetujui adanya penghapusan hukuman mati. Setelah ketentuan pembatasan pada Pasal 6 ayat 2 sampai 5, ketentuan pasal 6 6 UU No. 12 tahun 205 Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik menguatkan penghapusan hukuman mati dengan menyatakan “Tidak ada satupun dalam Pasal ini yang dapat digunakan untuk menunda atau mencegah penghapusan hukuman mati oleh Negara-negara Pihak pada Kovenan ini”. Dengan demikian, walaupun Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik tidak secara khusus memuat larangan hukuman mati, namun ketentuan tersebut memuat dan meminta penghapusannya. Lagi, ketentuan yang tidak melarang namun membatasi hukuman mati tersebut, juga tidak menghapus ketentuan bahwa hak hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

E. Penerapan pidana mati dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia

Wacana hukuman mati bagi koruptor akhir-akhir ini mencuat setelah hakim tindak pidana korupsi menjatuhkan vonis terhadap terdakwa Artalita hanya lima tahun. Hukuman itu tentu merupakan ancaman hukuman maksimum bagi siapa pun yang terbukti melanggar Pasal 5 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan masyarakat yang Universitas Sumatera Utara menyesalkan ancaman itu, seharusnya ditujukan kepada pembuat undang- undang, bukan kepada hakim tipikor atau jaksa penuntut KPK. Dalam undang-undang itu, ancaman hukuman mati hanya ditujukan kepada pelaku tindak pidana korupsi yang melanggar Pasal 2 Ayat 1 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, di mana Ayat 2 pasal itu menetapkan ancaman pidana mati hanya dijatuhkan bila negara dalam keadaan bahaya, terjadi bencana nasional, pengulangan tipikor, atau saat negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Dari sisi hukum internasional, hukuman mati sebenarnya telah diwajibkan untuk dihapuskan di dalam UU nasional masing-masing negara anggota PBB, termasuk Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik 1966 dengan UU No 12 Tahun 1995; hanya pada Pasal 6 Konvenan itu masih dibolehkan dalam tiga keadaan. Pertama, hanya dapat diterapkan terhadap kejahatan yang serius serious crimes. Kedua, tidak dapat diberlakukan UU secara retroaktif. Ketiga, harus atas dasar putusan pengadilan yang telah mendapat kekuatan hukum tetap. Keempat, tidak dapat diterapkan terhadap wanita yang sedang hamil dan anak di bawah usia 18 tahun. Jika pidana mati diterapkan, penerapannya harus mempertimbangkan hak seorang terdakwa pidana mati untuk mendapat pengampunan dan komutasi dengan pidana lainnnya. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Rancangan KUHP 2010 telah memuat jenis pidana mati sebagai pidana kekecualian, bukan termasuk Universitas Sumatera Utara pidana pokok, bahkan diatur kemungkinan penjatuhan pidana mati bersyarat untuk memberi pertobatan agar kelak yang bersangkutan terhindar dari pelaksanaan pidana mati. Ancaman pidana mati juga masih merupakan pidana pokok di dalam KUHP dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, ancaman pidana mati dimasukkan ke dalam empat pasal tentang tindak pidana terorisme. Merujuk dua sisi hukum nasional dan hukum internasional itu, semakin jelas, perkembangan pengaturan pidana mati semakin moderat, berbeda dengan aspirasi sementara masyarakat untuk menerapkan dan tetap menghidupkan ancaman pidana mati terhadap kejahatan serius. UU Pemberantasan Korupsi khusus Pasal 2 Ayat 2 UU No 31 Tahun 1999 yang memuat ancaman pidana mati perlu diubah dan diperjelas dengan ancaman alternatif pidana selain pidana mati, seperti sanksi kerja sosial, sehingga efek jera akan muncul saat yang bersangkutan berada di hadapan publik melakukan pekerjaan di tempat umum. Untuk menambah efek jera, tersangka korupsi seharusnya dikenai pemborgolan dan dengan baju tahanan seperti diterapkan di negeri jiran Malaysia dan Singapura. Tindakan itu tidak dilakukan di Indonesia sehingga tersangka korupsi dapat berjalan bebas layaknya bukan tersangka dan mengunjungi kantor KPK seperti hendak berkantor saja. Penjatuhan pidana mati sudah diberlakukan di China. Namun, penjatuhan pidana mati ini juga masih dinilai kontroversi oleh masyarakat China sendiri. Ada masyarakat yang menyatakan bahwa hukuman mati sangat Universitas Sumatera Utara efektif untuk mengembalikan kerugian negara yang telah dicuri oleh koruptor. Pemerintah Cina bersikap tegas terhadap para koruptor. Maling duit negara di Negeri Tirai Bambu itu dihukum berat, mulai dipenjara seumur hidup hingga dihukum mati. Pemerintah Cina bersungguh-sungguh berupaya memberantas korupsi di negaranya. Salah satu korban terakhir Partai Komunis Cina itu adalah Zhang Kuntong dijatuhi hukuman seumur hidup oleh pengadilan Cina pada Selasa. Korupsi di Cina, menurut koresponden BBC News di Beijing, Duncan Hewitt, begitu merajalela dari tingkatan atas sampai ke bawah. Bahkan, sebuah statistik resmi pemerintah Cina mengungkapkan, kerugian negara akibat korupsi mencapai AS16 miliar sekitar Rp. 120 triliun sampai tahun 1999. Ini belum termasuk kasus korupsi pada skandal penyelundupan senilai AS10 miliar yang melibatkan pejabat-pejabat teras Propinsi Fujian di Tenggara Cina. Sekarang, praktik korupsi yang merajalela di Cina menjadi sasaran incaran kampanye pemerintah Cina dalam dua tahun terakhir ini. Surat kabar resmi Cina, China Daily, mengungkapkan bahwa gerakan pemberantasan korupsi yang dilakukan Cina telah berhasil mengembalikan dana publik sebesar 400 juta yuan atau senilai Rp440 miliar lebih ke kas negara. 91 China mulai tahun 2000 telah melakukan kampanye pemberantasan kasus- kasus tindak pidana korupsi. Kampanye ini diawali dengan melakukan penyelidikan terhadap 10.000 pejabat setingkat kabupaten yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Pada akhir 2000 lalu seperti yang dilansir hukumonline dari China Daily, 91 http:www.hukumonline.comberitabacahol2300cina-hukum-mati-koruptor-bagaimana- indonesia tanggal 12 Juni 2010. Universitas Sumatera Utara Cina telah membongkar jaringan penyelundupan dan korupsi yang melibatkan 100 pejabat Cina di Propinsi Fujian, Cina Tenggara. Sebanyak 84 orang di antaranya terbukti bersalah dan 11 orang dihukum mati. Sejak kasus itu, pengadilan Cina makin marak lagi dengan kasus korupsi lainnya. Pada 9 Maret 2001 misalnya, nasib buruk menimpa Hu Changqing yang dieksekusi mati hanya 24 jam setelah permohonan kasasinya ditolak oleh Mahkamah Agung Cina di Beijing. Hu Changqing adalah Wakil Gubernur Propinsi Jiangxi yang dihukum mati setelah terbukti bersalah menerima suap senilai AS660.000 atau kurang lebih Rp4,95 miliar. Selain itu, Hu menerima sogokan properti senilai AS200.000 Rp1,5 miliar. Hu mungkin tak seberuntung anggota politbiro Chen Xitong yang belum lama ini dijatuhi hukuman penjara 16 tahun karena korupsi senilai AS4 miliar. Tapi yang jelas, Hu terbukti bersalah di pengadilan. Hu Changqing terbukti menerima suap itu sebagai imbalan pemberian lisensi bisnis izin berbisnis bagi anggota Partai Komunis Cina bila akan melakukan kegiatan bisnis serta surat izin pindah bagi warga Cina yang ingin berbisnis di Hongkong. Tindak korupsi ini dilakukan Hu Changqing sejak ia menjabat sebagai pejabat Deputi Biro Negara urusan Agama pejabat eselon satu di Cina. Karena keenakan, aksi korupsi Hu terus berlanjut setelah ia menjabat sebagai Wagub Jiangxi sejak dua tahun lalu. Bahkan, pers Hongkong ramai pula memberitakan, Hu bisa meraup uang pula dengan menjual sampel tulisan tangannya kaligrafi. 92 92 Ibid. Universitas Sumatera Utara Hukuman mati yang dijatuhkan kepada Hu Changqing kemudian dijadikan semacam shock therapy oleh pemimpin-pemimpin Cina. Ini sebagai peringatan bahwa Cina kali ini benar-benar serius memberantas korupsi. Pemberantasan korupsi adalah urusan hidup dan mati partai, demikian semboyan yang terus didengung-dengungkan pemimpin-pemimpin Cina, terutama PM Zhu Rongji, yang di Cina dikenal sebagai salah satu Mr Clean. Pemerintahan Cina ternyata tidak hanya berhenti sekadar gertak sambal saja terhadap para koruptornya. Kampanye pemberantasan korupsi terus dijalankan oleh PM Zhu Rongji. Bahkan gerakan kampanye pemberantasan korupsi tersebut sudah pula menjadi mimpi buruk bagi para pejabat setingkat Dirjen di Cina. Gara-gara menerima suap dan menggelapkan dana publik, Zhang Kuntong, mantan direktur sebuah departemen transportasi di Provinsi Henan, Cina, dijatuhi hukuman seumur hidup. Kuntong mengaku menerima suap satu juta yuan atau sekitar Rp1,1 miliar lebih ketika ia bertugas di Departemen Konstruksi dan Departemen Transportasi pada 1990-an. Ia juga dinyatakan terbukti menyalahgunakan dana publik sebesar 100.000 Yuan ketika bekerja di Departemen Transportasi. Mr Clean Zhu Rongji sendiri mempunyai kemauan yang kuat untuk meneruskan program pemberantasan korupsi ini. Bahkan, dirinya berjanji bahwa tak akan ada satu pejabat pun seberapa pun tinggi jabatannya yang akan diloloskan dari jerat hukum. Apalagi para pejabat tersebut memang benar-benar terlibat dalam tindak penyelundupan yang merongrong negara. 93 93 Ibid. Universitas Sumatera Utara Namun demikian beberapa tahun belakangan ini, beberapa pihak menilai bahwa pidana mati tidak lagi efektif dalam memberantas korupsi. Sanksi sosial dinilai lebih efektif daripada menjatuhkan hanya pidana mati terhadap koruptor, yang terbukti tidak efektif dan mampu mencegah serta memberantas korupsi, seperti telah terjadi di China. Semakin banyak koruptor di China ditembak mati di hadapan publik justru korupsi tidak semakin berkurang. Bahkan, kini China mempelajari sistem pencegahan korupsi yang berhasil dijalankan Pemerintah Korea Selatan. 94 Melihat pemberlakuan pidana mati di China sebagaimana digambarkan di atas, bagaimana dengan Indonesia. Walaupun dalam peraturan perundang- undangan di Indonesia mengakui bahwa penerapan pidana mati dimungkinkan menurut hukum, namun pada hakekatnya filosofi pemidanaan di Indonesia bukan menekankah pada aspek balas dendam sebagaimana berlaku pada penerapan pidana mati. Pidana mati secara teoritis menimbulkan efek jera deterrent efect yang sangat tinggi. Efek jera hukuman mati tersebut merupakan faktor penting dalam menyebabkan orang mengurungkan niatnya untuk melakukan tindak pidana. Hal ini pada gilirannya secara teoritis akan menurunkan angka tindak pidana terkait . Secara logika argumen ini masuk akal, namun tidak terdapat data statistik yang pasti empiris berdasarkan hasil riset yang mendukung kesimpulan tersebut. 95 94 Romli Atmasasmita, Hukuman Mati Untuk Koruptor, Harian Kompas, edisi 31 Juli 2008. 95 Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati, Perbedaaan Pendapat Hakim Konstitusi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2009, hal. 65. Universitas Sumatera Utara Sebagaimana terjadi di China, bahwa sanksi sosial pada akhirnya dianggap lebih efektif untuk menurunkan angka korupsi dibanding dengan pidana mati. Diskursus mengenai pidana mati kembali mencuat setelah Presiden RI, Susilo Bambang Yudoyono melalui jurubicara Kepresidenan, Andi Malaranggeng, mencetuskan wacana atau ide untuk menerapkan pidana mati bagi koruptor. Silakan masyarakat mewacanakan kembali perihal penerapan pidana mati bagi koruptor di Indonesia, begitu kira-kira sentilan Andi dalam sebuah wawancara dengan media massa. Pesan yang ingin disampaikan kurang lebih bahwa pemerintah SBY sangat serius dan tegas dalam upaya pemberantasan korupsi. Menanggapi wacana tersebut, masyarakat hiruk pikuk mengangkat tema ini dalam setiap pembicaraan maupun obrolan ringan sambil minum teh atau kopi. Beberapa media massa baik cetak maupun televisi kembali mengangkat tema pidana mati dalam beberapa acara talk show, laporan khusus maupun diskusinya. Sedemikian antusias masyarakat kita menanggapi tema ini. Sebagai pengingat, sebenarnya pidana mati dalam konteks hukum Indonesia telah dikenal dan diterapkan sejak jaman hindia belanda. Ketika menilik penerapan pidana mati, dalam kurun waktu dari jaman doeloe sampai sekarang memang telah mengalami beberapa perubahan, terutama dalam hal pelaksanaan pidana mati dilakukan. Misalnya dalam ketentuan BAB II Pasal 11 KUHP menyebutkan bahwa pidana mati dilakukan oleh seorang algojo di Universitas Sumatera Utara tempat gantungan. Pelaksanaan pidana mati sebagaimana diatur dalam KUHP ini masih berlaku sebagaimana diatur dalam Perpres RI No. 2 tahun 1964, meskipun cara dan mekanisme pelaksanaan hukuman tidak lagi dengan cara dilakukan oleh seorang algojo di atas tiang gantungan. Pidana mati selain diatur dalam KUHP juga dimuat dalam beberapa Undang-undang, antara lain adalah UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika dan UU No. 15 tahun 2003 Tentang Terorisme. Dalam konteks ini, pelaksanaan pidana mati di Indonesia adalah sah menurut hukum dan tidak melangggar konstitusi. 96 Salah satu pihak yang paling vocal menolak diterapkannya hukuman mati di Indonesia adalah KONTRAS. Sebagaimana dirilis dalam laporannya mengatakan bahwa hukuman mati sebagai ekspresi hukuman paling kejam dan tidak manusiawi. Hukuman mati merupakan jenis pelanggaran hak asasi manusia, yaitu hak untuk hidup right to life, hak ini merupakan jenis hak yang tidak dapat dilanggar, dikurangi atau dibatasi dalam keadaan apapun, baik dalam keadaan darurat, perang maupun ketika seseorang dipidana. Prof. Romli Atmasasmita menolak diberlakukannya hukuman mati terhadap koruptor. Selama ini pidana mati terbukti tidak efektif memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan, lebih baik bagi seorang terpidana korupsi 96 Slamet Hasan, Pidana Mati Untuk Koruptor, diaskes dari situs : http:slameth034.blogdetik.com tanggal 10 Juni 2010. Universitas Sumatera Utara dikenakan hukuman kerja sosial, dengan demikian sang terpidana akan berasa malu jika harus melakukan kerja sosial di depan publik. Demikian pokok pemikiran dari Prof. Romli menanggapi penerapan hukuman mati terhadap koruptor. Demikian pula pendapat Prof. Amin Rais, “Hukuman mati bagi para koruptor itu saya anggap terlalu berat, sebaiknya koruptor itu dikirim ke Pulau Buru saja, Kalau dari sana itu mereka melarikan diri baru ditembak.” 97 Hukuman mati bagi koruptor sendiri diatur dalam UU No. 20 tahun 2001 tetang perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Pasal 2 Ayat 2 menyebutkan : “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan“. Sementara Pasal 1 UU No. 20 tahun 2001 tetang perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi berbunyi : “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 satu miliar rupiah” Dengan demikian penerapan hukuman mati terhadap koruptor sebenarnya sudah diatur dan sangat dimungkinkan untuk dilakukan, meskipun sangat sulit dalam prakteknya. Pelaksanaan hukuman mati bagi kasus korupsi dapat dilaksanakan dalam hal perbuatan pidana korupsi tersebut dilakukan jika 97 Hukuman Mati Untuk Koruptor, diakses dari situs : http:www.eramuslim.com, tanggal 2 Juni 2010. Universitas Sumatera Utara Negara dalam keadaan darurat maupun bencana alam. Penulis sendiri setuju dengan penerapan hukuman mati apabila pelaksanaan hukuman mati tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku juga harus dilakukan secara selektif dan hati-hati. Indonesia sendiri filosopi pemidanaan adalah dititik beratkan pada usaha rehabilitas dan reintegrasi sosial bagi pelaku tindak pidana. Hal ini tidak dimungkin dalam penerapan pidana mati. Pidana mati pelaksanaannya bersifat irreversibel tidak dapat dikembalikan kepada keadaan semula, sehingga pemberlakuannya seharusnya didasarkan pada dan riset serta pertimbangan yang sangat mendalam. Tidaklah bertanggung jawab melaksanakan pidana mati berdasarkan spekulasi semata. Ketiadaan riset yang mendukung tentang efektifitas hukuman mati dalam mengurangi tindak pidana melalui efek jera yang ditimbulkannya merupakan alasan yang sangat kuat untuk menghapuskan pidana mati bagi pihak yang kontra dengan pemberlakuan pidana mati. 98 Filosopi Pemidanaan di Indonesia pada hakekatnya adalah upaya untuk menyadarkan kembali narapidana agar menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan damai. Filosopi tersebut bermakna bahwa yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat 98 Ibid. Universitas Sumatera Utara menyebabkan narapidana melakukan tindak pidana, bukan memberantas orangnyanarapidana yang bersangkutan. Oleh karena itu, berdasarkan pembahasan di atas, penulis berpendapat bahwa hukuman mati itu sangat relatif sifatnya dalam hal pemberantasan korupsi walaupun dimungkin dengan pertimbangan yang sangat hati-hati. Yang terpenting dalam pemberantasan korupsi di Indonesia bukan masalah ancaman pidana setinggi-tingginya, tetapi bagaimana memelihara dan mempertahankan agar pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan dijalankan secara konsisten. Juga tidak ada perlakuan berbeda berdasarkan status sosial dan ekonomi terpidana, termasuk sejak yang bersangkutan dalam masa penahanan sampai menjalani pidananya, seperti adanya rumah tahanan dan LP layaknya hotel berbintang empat. Pengawasan ekstra ketat selama masa penahanan dan masa pelaksanaan pidana menjadi masalah penting di Indonesia terutama bagi pelaku kejahatan serius seperti pelaku tindak pidana korupsi. Universitas Sumatera Utara B A B IV KESIMPULAN DAN SARAN