Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis yaitu :
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam
menambah ilmu pengetahuan pada penegakan hukum positif dalam penanggulangan perilaku anti korupsi pada penyelenggaraan pemerintahan era
kini. 2.
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat memberikan masukan bagi Pemerintah sehingga kebijakan yang diambil agar tetap
mempertimbangkan aspek kejujuran dalam berprofesi mental anti korupsi dalam rangka menciptakan manfaat dan keadilan bagi masyarakat.
D. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh penulis terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan dan secara khusus di
lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai “Urgensi Pidana Mati Terhadap Pelaku Korupsi” belum pernah dilakukan penelitian pada topik dan
permasalahan yang sama. Obyek penelitian yang dilakukan merupakan suatu kajian ilmiah dan belum pernah dianalisis secara komprehensif dalam suatu penelitian
ilmiah sehingga penelitian ini merupakan sesuatu yang baru dan asli sesuai dengan azas-azas keilmuan yang jujur, rasional, obyektif dan terbuka sehingga dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan transparan untuk kritikan yang bersifat membangun sesuai dengan topik dan permasalahan.
Universitas Sumatera Utara
E. Kerangka Teori dan Konsepsi
a. Kerangka Teori Kerangka Teoritis dalam penulisan ilmiah berfungsi sebagai pemandu untuk
mengorganisasi, menjelaskan dan memprediksi fenomena-fenomena dan atau objek masalah yang diteliti dengan cara mengkonstruksi keterkaitan antara konsep secara
deduktif ataupun induktif. Oleh karena objek masalah yang diteliti dalam tesis ini berada dalam ruang lingkup ilmu hukum, maka konsep-konsep yang akan digunakan
sebagai sarana analisis adalah konsep-konsep, asas-asas, dan norma-norma hukum yang dianggap paling relevan.
Sebelum membicarakan lebih jauh mengenai urgensi penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi, maka perlu dikemukakan terlebih dahulu batasan
atau pengertian dari pidana itu sendiri. Menurut Van Hamel, arti dari pidana adalah: Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan
yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar,
yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara.
11
Mengenai pidana yang dapat dijatuhkan, pengaturannya diatur jenisnya dalam
Pasal 10 KUHP yang terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan, pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana
tutupan, sedangkan pidana tambahan terdiri dari pidana tambahan perampasan
11
P.A.F. Lamintang, Hukum Panitensier Indonesia, Bandung: Armico, 1984, hal.47
Universitas Sumatera Utara
barang-barang tertentu, pencabutan hak-hak tertentu dan pengumuman keputusan hakim.
12
Pidana mati ditempatkan sebagai pidana yang terberat karena objek dan sasarannya adalah nyawa seseorang yang merupakan sesuatu yang sangat berharga
dan tidak ternilai harganya, oleh karena itu setiap manusia, selalu berusaha untuk mempertahankan nyawanya untuk tetap hidup. Pidana mati ditujukan untuk
membinasakan penjahat yang dianggap tidak dapat diperbaiki lagi agar kejahatannya tidak ditiru oleh orang lain atau tidak semakin bertambah orang yang dirugikan.
Pidana mati biasanya diancamkan secara selektif dan selalu diikuti dengan ancaman pidana lain sebagai alternatifnya.
Berkenaan dengan pidana mati ini Modderman mengatakan bahwa: Demi ketertiban umum pidana mati dapat dan harus diterapkan, namun penerapan
ini hanya sebagai sarana terakhir dan harus dilihat sebagai wewenang darurat yang dalam keadaan luar biasa dapat diterapkan.
13
Selanjutnya Oemar Seno Adji juga memberikan pendapatnya mengenai penjatuhan pidana mati sebagai berikut :
Selama negara kita masih meneguhkan diri, masih bergulat dengan kehidupan sendiri yang terancam bahaya, selama tata tertib masyarakat di kacaukan dan
dibahayakan oleh anasir-anasir yang tidak mengenal perikemanusiaan ia masih memerlukan pidana mati.
14
12
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hal. 6.
13
J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Jakarta: C.V. Rajawali, hlm. 47.
14
Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Ibid, hlm. 28.
Universitas Sumatera Utara
Wirjono Prodjodikoro mengemukakan pendapatnya mengenai tujuan penjatuhan pidana mati sebagai berikut:
Tujuan menjatuhkan dan menjalankan hukuman mati selalu diarahkan kepada khalayak ramai agar mereka dengan ancaman hukuman mati akan takut
melakukan perbuatan-perbuatan kejam yang akan mengakibatkan mereka dihukum mati. Berhubungan dengan inilah zaman dahulu hukuman mati
dilaksanakan di muka umum.
15
Adapun pengertian korupsi itu sendiri dapat dilihat dari beberapa pendapat
antara lain menurut Andi Hamzah dinyatakan sebagai berikut: Korupsi ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap,
tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.
16
Pengertian tindak pidana korupsi dapat dilihat dalam rumusan Pasal 2
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 jo UU No. 31 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa:
1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling sedikit
Rp.200.000.000,- dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- satu milyar rupiah.
2. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat
1 dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Selain yang diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 jo UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pengertian
15
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Eresco, 1989, hlm. 9.
16
Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Jakarta: Gramedia, 1984, hlm. 9.
Universitas Sumatera Utara
tindak pidana korupsi juga diatur dalam Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15 dan Pasal 16
Undang-Undang Nomor Nomor 20 tahun 2001 jo UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berkenaan dengan tindak pidana korupsi, Muladi dan Barda Nawawi Arief berpendapat:
Tindak pidana korupsi termasuk jenis tindak pidana yang penanggulangannya sangat diprioritaskan, namun diakui termasuk jenis perkara yang sulit
penanggulangannya atau pemberantasannya. Kongres PBB Ke-VI mengenai The Prevention of Crime and The Treatment of Effenders pada tahun 1980
mengklasifikasikan jenis tindak pidana korupsi sebagai tipe tindak pidana yang sukar dijangkau oleh hukum offences beyond the reach of the law.
17
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menggantikan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi memiliki landasan hukum yang kuat karena
sudah diatur dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor Nomor 20 tahun 2001 jo UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana sudah penulis sebutkan sebelumnya.
Adapun penjelasan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan:
Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi palaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana
tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadinya bencana alam nasional,
17
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1992, hlm. 134.
Universitas Sumatera Utara
sebagai penanggulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
18
Penjatuhan pidana yang tegas khususnya pidana mati bagi pelaku tindak
pidana korupsi harus menjadi prioritas utama dalam rangka penyelesaian kasus-kasus korupsi sehingga tidak berlarut-larut yang akan menimbulkan ketidakpercayaan
masyarakat terhadap aparat-aparatnya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ramelan selaku mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus sebagai
berikut : Sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianut dalam negara demokrasi dimana
supremasi hukum senantiasa dikedepankan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka konsepsi dalam penanganan perkara tindak pidana
korupsi adalah menggunakan asas-asas kepastian hukum dimaksudkan agar penanganan suatu perkara tidak berlarut-larut, transparansi terbuka
penanganannya, tidak ditutup-tutupi dan bukan karena rekayasa.
19
Penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana sudah diatur dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor Nomor 20 tahun 2001 jo UU
No. 31 Tahun 1999 tentunya merupakan dasar hukum yang kuat bagi aparat penegak hukum khususnya hakim dalam menjatuhkan pidana mati bagi koruptor-koruptor
yang melanggar ketentuan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor Nomor 20 tahun 2001 jo UU No. 31 Tahun 1999.
Kekeliruan dalam menderivasikan nilai-nilai Pancasila dan tujuan yang dicita- citakan bangsa Indonesia pada masa Orde Baru terjadi tanpa hambatan. Model
18
Indonesia, Op. Cit., Penjelasan Pasal 2 ayat 1.
19
Ramelan, Profesionalisme Jaksa Menyongsong Penegakan Hukum Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Menyongsong
Pemberlakuan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang Baru di Fakultas Hukum Universitas Tri Sakti, Jakarta: 22 Agustus 1999, hlm. 22.
Universitas Sumatera Utara
penataan oleh hukum mengikuti cara sentralisme dan regimentasi, yang secara sepihak memaksakan kehendak dan tidak toleran terhadap orang lain serta tidak
menerima perbedaan atau pluralisme sebagai berkah dan kekayaan. Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, yang terkandung dalam nilai-nilai dasar hukum nasional, merupakan
nilai sentral dan menjiwai nilai-nilai yang lain. Hal ini mengisyaratkan bahwa hukum nasional mengenal adanya hukum Tuhan, hukum kodrat dan hukum susila.
Berpangkal dari keyakinan dan kebenaran bahwa manusia ciptaan Tuhan, dan Tuhan memberikan aturan-aturan bagi ciptaan-Nya, maka sudah semestinya hukum kodrat
dan hukum susila tidak bertentangan dengan hukum Tuhan. Ketiga macam hukum ini tidak berdiri sendiri ataupun terpisah satu sama lain.
20
Republik Indonesia tidak mengenal doktrin pemisahan antara agama dan negara. Karena doktrin semacam ini sangat bertentangan dengan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Adapun lima unsur utama itu bertumpu pada suatu prinsip yang sangat mendasar bagi segenap bangsa Indonesia yaitu sila pertama dari
Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena sila pertama ini menurut Hazairin mempunyai ”posisi yang istimewa”, ia ”terletak diluar ciptaan akal budi manusia”.
Dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, inilah maka negara hukum Pancasila memiliki bukan hanya suatu ciri tertentu tetapi ciri yang paling khusus dari semua
konsep negara hukum. Sila pertama merupakan pula dasar kerohanian dan dasar moral bagi Bangsa Indonesia dalam bernegara dan bermasyarakat, artinya,
penyelenggaraan kehidupan bernegara dan bermasyarakat wajib memperhatikan dan
20
Alvi Syahrin, Beberapa Masalah Hukum, PT. Softmedia, 2009 hal.6.
Universitas Sumatera Utara
mengimplementasikan petunjuk-petunjuk Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu dan dengan empat sila lainnya setiap orang yang
arif dan bijaksana akan melihat banyak persamaan antara konsep nomokrasi Islam dengan konsep Negara Hukum Pancasila. Persamaan itu antara lain tercermin dari
lima sila atau Pancasila yang sudah menjadi Asas Bangsa dan Negara Indonesia.
21
b. Kerangka Konsep Sebagai acuan pokok untuk mengorganisasi dan menganalisa masalah tesis
ini, penulis mengunakan konsep yang termuat dalam Teori penghukuman yang akan mendeskripsikan tujuan diberlakukannya hukuman kepada penjahat atas kejahatan
yang dilakukannya. Demikian dengan tindak pidana korupsi yang meupakan kejahatan. Berkaitan dengan urgensi dan efektifitas pidana mati terhadap
pemberantasan tindak pidana korupsi Indonesia akan dilihat dari teori penghukuman sebagaimana telah disebutkan di atas.
Apabila berbicara mengenai penghukuman, maka pertanyaan yang kerapkali muncul adalah apakah tujuan hukuman itu dan siapakah yang berhak menjatuhkan
hukuman. Pada umumnya telah disepakati bahwa yang berhak menghukum adalah di dalam tangan negara pemerintah., yang oleh Hazewinkel-Suringa dilukiskan
sebagai berikut :
22
21
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini,
Jakarta,Prenada Media,2003Hal. 99.
2222
R. Soesilo dalam Syahruddin Husein, Kejahatan dalam Masyarakat dan Upaya Penanggulangannya”, USU Digital Library, 2003, hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjaga supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap dihormati. Tapi kadang-kadang
sebaliknya, pemerintah negara menjatuhkan hukuman, dan karena menjatuhkan hukuman itu maka pribadi manusia tersebut oleh pemerintah
negara sendiri diserang, misalnya yang bersangkutan dipenjarakan. Jadi pada satu pihak pemerintah negara membela dan melindungi pribadi manusia
terhadap serangan siapapun juga, sedangkan dipihak lain pemerintah negara menyerang pribadi manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu.
Orang berusaha untuk menunjukkan alasan apakah yang dapat dipakai untuk
membenarkan penghukuman oleh karena menghukum itu dilakukan terhadap manusia-manusia yang juga mempunyai hak hidup, hak kemerdekaan bahkan
mempunyai hak pembelaan dari negara itu juga yang menghukumnya. Maka oleh karena itu muncullah berbagai teori hukuman, yang pada garis besarnya dapat dibagai
atas tiga golongan : a. Teori absolut atau teori pembalasan
b. Teori relatif atau teori tujuan c. Teori gabungan
a. Teori absolut Tokoh-tokoh yang terkenal yang mengemukakan teori pembalasan ini antara
lain adalah Kant dan Hegel. Mereka beranggapan bahwa hukuman itu adalah suatu konsekwensi daripada dilakukannya suatu kejahatan. Sebab melakukan kejahatan,
maka akibatnya harus dihukum. Hukuman itu bersifat mutlak bagi yang melakukan kejahatan. Semua perbuatan yang temyata berlawanan dengan keadilan, harus
menerima pembalasan. Apakah hukuman itu bermanfaat bagi masyarakat, bukanlah hal yang menjadi pertimbangan, tapi hukuman harus dijatuhkan.
Universitas Sumatera Utara
Untuk menghindari hukuman ganas, maka Leo Polak menentukan tiga syarat yang harus dipenuhi dalam menjatuhkan hukuman, yaitu :
23
1. Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum obyektif
2. Hukuman hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Hukuman tidak boleh dijatuhkan dengan suatu maksud prevensi
3. Beratnya hukuman harus seimbang dengan beratnya delik. Hal ini perlu supaya penjahat tidak dihukum secara tidak adil.
Gerson W. Bawengan dalam bukunya Pengantar Psychologi Kriminil menyatakan bahwa ia menolak teori absolut atau teori pembalasan itu yang
dikemukakan dalam bentuk apapun, berdasarkan tiga unsur, yaitu :
24
1. Tak ada yang absolut didunia ini, kecuali Tuhan Yang Maha Esa. 2. Pembalasan adalah realisasi daripada emosi, memberikan pemuasan emosionil
kepada pemegang kekuasaan dan merangsang ke arah sifat-sifat sadistis, sentimentil. Oleh karena itu kepada para penonjol teori pembalasan itu, dapatlah
diterka bahwa mereka memiliki sifat-sifat sadistis. Dan kerena itu pula ajaran mereka lebih condong untuk dinamai teori sadisme.
3. Tujuan hukuman dalam teori itu adalah hukuman itu sendiri. Dengan dernikian teori itu mengalami suatu jalan buntu, oleh karena tujuannya hanya sampai pada
23
Ibid, hal. 5.
24
Ibid, hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
hukuman itu sendiri. adalah suatu tujuan yang tak bertujuan, sebab dipengaruhi dan disertai nafsu membalas.
b. Teori relatif atau teori tujuan Para penganjur teori relatif tidak melihat hukuman itu sebagai pembalasan,
dan karena itu tidak mengakui bahwa hukuman itu sendirilah yanag menjadi tujuan penghukuman, melainkan hukuman itu adalah suatu cara untuk mencapai tujuan yang
lain daripada penghukuman itu sendiri. Hukuman, dengan demikian mempunyai tujuan, yaitu untuk melindungi ketertiban. Para pengajar teori relatif itu menunjukkan
tujuan hukuman sebagai usaha untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum. Menghindarkan, agar umumnya orang tidak melakukan pelanggaran bahkan
ditujukan pula bagi terhukum agar tidak mengulangi pelanggaran. Dengan demikian maka hukuman itu mempunyai dua sifat, yaitu sifat prevensi umum dan sifat prevensi
khusus. Dengan prevensi umum, orang akan menahan diri untuk tidak melakukan kejahatan. Dan dengan prevensi khusus para penganjurnya menitikberatkan bahwa
hukuman itu bertujuan untuk mencegah orang yang telah dijatuhi hukuman, tidak mengulangi lagi perbuatannya. Selanjutnyaa bagi mereka yang hendak melakukan
pelanggaran akan mengurungkan maksudnya sehingga pelanggaran tidak dilaksanakan.
c. Teori Gabungan Menurut teori gabungan hukuman hendaknya didasarkan atas tujuan
pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara
Universitas Sumatera Utara
kombinasi dengan menitikberatkan pada saiah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur yang lain maupun pada semua unsur yang telah ada.
Kebijakan penaggulangan kejahatan atau yang biasa disebut dengan istilah ‘politik kriminal dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas. Menurut G. Peter
Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan : a. penerapan hukum pidana
b. pencegahan tanpa pidana c. mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat
mass media. Dengan demikian upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat
dibagi dua, yaitu lewat jalur penal hukum pidana dan lewat jalur non penal bukandiluar hukum pidana. Dalam pembagian GP. Hoefnagels tersebut diatas
upaya-upaya yang disebut dalam b dan c dapat dimasukkan dalam kelompok upaya non penal. Secara kasar dapatlah dibedakan, bahwa upaya penanggulangan
kejahatan lewat jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat represif sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non penal lebih menitikberatkan pada sifat
preventif sebelum kejahatan terjadi.
F. Metode Penelitian