Pidana Mati dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

menggunakan sebelah pedang sebagai isyarat, kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan regunya untuk untuk membidikan senapan pada bagian jantung si terhukum dan dengan menyentakkan pedangnya ke bawah secara cepat maka sebagai tanda peringatan maka penembakan di lakukan. Jika setelah penembakan dilakukan, ternyata terhukum masih belum meninggal dunia maka komandan regu memerintahkan kepada Bintara untuk melepaskan tembakan terakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya pada bagian kepala si terhukum tepat diatas telinganya hingga si terhukum meninggal dunia.

B. Pidana Mati dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

a. Pidana mati dalam persfektif Pancasila Indonesia termasuk salah satu negara yang masih mempertahankan hukuman mati dalam sistem hukum positifnya, 64 bahkan mencantumkannya dalam banyak undang-undang. Hanya saja, sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai HAM, negara Indonesia memberlakukan hukuman mati secara khusus, hati- hati, dan selektif. 65 Penerapan hukuman mati ini secara filosofis diakui dan diakomodasi oleh konsep negara hukum Pancasila, meski nantinya bisa saja hukuman mati bersifat esepsional ataupun pidana bersyarat. 64 .J.E. Sahetapi, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan Berencana, Jakarta: Rajawali, 1982, hal. 75. 65 .Menurut Mardjono Reksodiputro, hukuman mati di Indonesia saat ini masih diperlukan tapi bukan pada pidana pokoknya. “Ia harus menjadi pidana khusus yang diterapkan secara hati-hati, selektif dikhusus pada kasus-kasus berbahaya dan harus ditetapkan bulat oleh majlis hakim”. Lihat Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati; Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, Jakarta: Gramedia Kompas, 2007, hal. 335. Universitas Sumatera Utara Sebagai negara yang berlandaskan pancasila, semua peraturan hukum yang terbit di Indonesia harus berasaskan pacasila, karena nilai-nilai Pancasila merupakan landasan dan sumber utama hukum di Indonesia. Pasal 2, UU No. 10 tahun 2004, menyatakan: Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara. Sebagai landasan hukum yang utama, pancasila dijadikan faktor peninjauan dalam hukum di Indonesia, ia merupakan asas kerohanian negara Indonesia. Asas kerohanian itu meliputi seluruh tertib negara, artinya seluruh tertib hukum sebagai kesatuan dan masyarakat bersangkutan serta harus hidup di dalam masyarakatnya. 66 Pancasila berbasis Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, keadilan sosial yang merupakan satu kesatuan. Ini berarti Ketuhanan itu juga Ketuhanan yang mengandung perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial, maka keadilan sosial yang berdasarkan kerakyatan, kebangsaan, perikemanusiaan dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berbicara mengenai hukuman mati dalam persfektif pancasila, juga masih menuai pro dan kontra sebagaimana pro dan kontra terhadap hukuman mati secara umum. Bagi yang pro dengan penerapan pidana mati, kaitan hukuman mati dengan nilai-nilai pancasila bahwa essensi hukuman mati ini bertujuan melindungi kepentingan individu dan masyarakat dari tindak kejahatan yang membahayakan sendi-sendi dasar kemanusiaan yang dijamin di oleh nilai-nilai pancasila. Argumentasi lebih yang disampaikan adalah, bahwa KUHP yang awalnya 66 Alvi Syahrin, Beberapa Masalah Hukum, PT. Sofmedia, Medan, 2009, hal. 33 Universitas Sumatera Utara merupakan produk Belanda dan telah disesuaikan untuk kepentingan RI, telah disahkan keberlakuannya berdasarkan UU No 1 tahun 1946 dan diperkuat kembali dengan UU No 73 tahun 1958. Jadi KUHP ini telah berlandaskan nilai-nilai pancasila sebagai sumber hukum yang tertinggi di Indonesia. Ancaman Pidana mati dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, tidak hanya berdasarkan KUHP semata UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM juga memuat pidana mati bagi pelanggar HAM berat, hal senada juga tersurat dalam konvensi PBB bahwa pelaku kejahatan HAM berat dapat di pidana mati. selain itu untuk kualifikasi tertentu atas tindak pidana korupsi berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 yang dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juga mengenakan pidana mati untuk pelaku pidana korupsi dengan kualifikasi tertentu. Oleh karena itu, bagi pihak yang pro terhadap pidana mati menyatakan bahwa pidana mati tidak bertentangan dengan nilai- nilai pancasila karena secara jelas hukum positif memberlakukan pidana mati tersebut, dan selanjutnya hukum positif dengan tegas dinyatakan tidak boleh bertentangan dengan pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara Indonesia. Sedangkan bagi pihak yang kontra dengan pidana mati menyatakan bahwa pidana mati bertentangan dengan nilai-nilai pancasila, khususnya nilai- nilai kemanusiaan. Argumentasi yang disampaikan adalah bahwa secara umum tujuan pemidanaan menurut hukum pidana Indonesia adalah bukan sebagai sarana balas dendam, melainkan untuk memberi pelajaran bagi terpidana agar Universitas Sumatera Utara apabila terpidana selesai menjalani hukuman, diharapkan menjadi anggota masyarakat yang baik, bahkan bisa menjadi pola anutan bagi masyarakat sekitarnya. Beberapa ahli hukum berdebat soal hukuman mati dalam sidang uji materi UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika terhadap UUD 1945 di gedung Mahkamah Konstitusi. Para ahli mempertahankan pendapat dan keyakinan masing-masing. Salah satu ahli hukum Indonesia yang hadir pada sidang itu adalah Jacob Elfinus Sahetapy. Beliau sangat prihatin pada komitmen dan integritas para penegak hukum dan ia berpendapat bahwa hukuman mati sangat bertentangan dengan Pancasila. Sahetapy mengingatkan bahwa konstitusi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kultur Indonesia. Karena itu hukuman seumur hidup tanpa remisi jauh lebih baik daripada hukuman mati. Beliau berkeyakinan bahwa hukuman mati tidak akan memberantas peredaran narkotika. Jika Jacob Elfinus Sahetapy begitu tegas mengatakan bahwa hukuman mati sangat bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila, berbeda dengan penegak hukum yang lain. Bismar Siregar hakim yang mendapatkan gelar hakim kontroversial menyatakan bahwa hukuman mati erat kaitannya dengan penegakan keadilan. Menurut beliau, keadilan nilainya jauh lebih tinggi daripada hukum. Hukum hanyalah sarana untuk menegakkan keadilan. Bagi Bismar keadilan hanya bisa ditemukan dalam hati nurani hakim. Kalau seorang hakim memiliki nurani keadilan, maka dia akan mampu melahirkan keputusan yang adil. Menurut Bismar masih banyak putusan hakim yang belum Universitas Sumatera Utara melegakan masyarakat. Persoalannya, mereka tidak konsekuen dengan konsep keadilan. Karena itu, Bismar mengingatkan lagi, hukum hanyalah sarana yang tidak bisa dipakai untuk menegakkan keadilan. Bismar pernah menjatuhkan hukuman yang menggemparkan, ramai diperdebatkan publik. Pada tahun 1976, ketika menjabat Ketua PN Jakarta Timur, Bismar menjatuhkan hukuman mati kepada terdakwa Albert Togas. Dari situlah mencuat polemik tentang hukuman mati. Kasusnya, Albert Togas, karyawan PT Bogasari yang di PHK, membunuh Nurdin Kotto, staf ahli perusahaan tersebut. Padahal selama menganggur, Albert ditolong oleh Nurdin. Namun Albert membunuh Nurdin secara keji. Mayatnya dipotong-potong, dagingnya dicincang, dicuci bersih, lantas dimasukkan ke dalam plastik. Setelah itu, potongan mayatnya dibuang ke sebuah kali di Tanjung Priok. Albert membalas air susu dengan air tuba, kebaikan dibalas dengan kejahatan. Kekejaman itulah yang menurut Bismar membuatnya tidak ragu untuk menjatuhkan hukuman mati. Namun Bismar, atas putusannya, menerima serangan bertubi-tubi dari orang-orang yang menentang hukuman mati. Dia dicap tidak Pancasilais karena dituding menjatuhkan hukuman yang tidak patut dilakukan oleh seorang hakim, merampas nyawa orang. Sedangkan yang berhak melakukan itu hanya Tuhan. Argumentasi yang dikemukakan oleh Bismar terhadap putusannya adalah : “ Boleh saja berbeda pendapat. Tetapi sebagai seorang muslim, saya katakan, hukuman mati itu sah-sah saja. Sebab, ada ayat yang membenarkan hukuman mati. Kalau dalilnya tidak Pancasilais, Pancasila yang mana? Pancasila sejatinya sesuai dengan iman Islam. Berbeda dengan umat Kristiani yang Kitab Perjanjian Baru-nya tidak Universitas Sumatera Utara membolehkan hukuman mati. Tapi dalam Kitab Perjanjian Lama hukuman mati dibolehkan. Jadi, sebetulnya tidak ada pertentangan di antara keduanya”. Dalam deskripsi lebih lanjut mengenai pidana mati, sejarah menemukan berbagai soal. Di negara kita yang menganut pancasila dan UUD 45, hukuman mati itu pernah dipermasalahkan. Dr Gayus Lumbuun, seorang ahli hukum, Asmara Nababan, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi Demos, kemudian almarhum Munir, yang pada saat itu adalah Koordinator Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Imparsial, secara terpisah pada Februari 2003 di Jakarta menggugat penerapan hukuman mati di negara ini. Dr. Gayus Lumbuun pada saat itu menyayangkan Keputusan Presiden Megawati yang menolak grasi terpidana mati. “Keppres itu sebenarnya bertentangan dengan pasal 28 A UUD 1945. Mestinya, Presiden tahu itu. Ganti saja hukuman mati dengan pidana seumur hidup tanpa remisi”. Sementara Asmara Nababan menganggap yang mana para terpidana mati atau keluarganya, bisa mengajukan permohonan uji materiil atau judicial review ke Mahkamah Agung untuk menguji keabsahan hukuman mati. Ia menera sebuah ingatan bahwa Kovenan Hak Sipil dan Politik termasuk protokol kedua tahun 1990 sudah menghapus hukuman mati. Komnas HAM pernah mengajukan usulan ratifikasi, dan dengan tegas menyatakan tidak setuju dengan hukuman mati. Di sana juga Munir menyebutkan bahwa kovenan hak sipil politik, sebelum muncul protokol kedua 1990, hukuman mati memang Universitas Sumatera Utara masih diperbolehkan untuk negara yang belum mencabut ketentuan hukumnya. Tetapi, hukuman mati menurut kovenan itu hanya berlaku untuk kejahatan serius, yakni kejahatan perang. Sedangkan narkotikapsikotropika, kejahatan HAM dan terorisme tidak masuk kategori dimaksud. 67 Dalam perspektif yang lain, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh pada Maret 2007 ketika memberikan keterangan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi, menyampaikan yang mana UUD 1945 membolehkan penjatuhan hukuman mati. Menurut dia, konstitusi yang berlaku di negara kita menyatakan jaminan hak untuk hidup bukan hak mutlak. Ia menyebut yang mana pemaknaan Pasal 28 UUD 1945 tentang hak asasi manusia harus dilengkapi dengan Pasal 28D UUD 1945 yang menyebutkan, dalam pelaksanaan hak dan kebebasan, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Selain itu, pembatasan pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, nilai adat-istiadat dan keamanan, serta ketertiban umum. Berdasarkan deskripsi di atas, masalah hukuman mati dan pancasila masih menjadi kontroversi yang seperti tiada habis-habisnya. b. Pidana mati dalam KUHP Paling tidak terdapat 12 dua belas peraturan perundang-undangan di Indonesia yang masih mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu pidana dalam ketentuan pidananya. Hukuman mati ini dijatuhkan terhadap tindak pidana-tindak 67 Kompas, 17 Februari 2003. Universitas Sumatera Utara pidana, baik yang diatur dalam KUHP maupun dalam UU khusus, yang dianggap akan menimbulkan gangguan yang besar terhadap ketertiban hukum di Indonesia. Hukuman mati di Indonesia diatur dalam pasal 10 KUHP, yang memuat dua macam hukuman, yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan. Hukuman pokok, terdiri dari Hukuman mati, hukuman penjara, hukuman kurungan dan hukuman denda. Hukuman tambahan terdiri dari : Pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu dan pengumuman keputusan hakim. Sedangkan tata cara pelaksanaan hukuman mati diatur dalam UU No. 2PnPs1964 yang masih berlaku sampai saat ini. Didalam KUHP terdapat beberapa pasal yang memuat ancaman hukuman mati, yaitu Pasal 104 tentang kejahatan terhadap keamanan negara makar, Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, Pasal 111 ayat 2 tentang melakukan hubungan dengan negara asing sehingga terjadi perang, Pasal 124 ayat 3 tentang penghianatan di waktu perang, Pasal 124 bis tentang menghasut dan memudahkan terjadinya huruhara, Pasal 140 ayat 3 tentang pembunuhan berencana terhadap kepala negara sahabat, Pasal 149 k ayat 2 dan Pasal 148 o ayat 2 tentang kejahatan penerbangan dan sarana penerbangan, pasal 444 tentang pembajakan di laut yang mengakibatkan kematian dan Pasal 365 ayat 4 tentang pencurian dengan kekerasan secara bersekutu mengakibatkan luka berat atau mati. c. Pidana Mati dalam UU No. 20 tahun 2001 Tentang perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Ancaman hukuman seumur hidup untuk kasus korupsi, sudah dikenal sejak pemberlakuan UU No 31971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Universitas Sumatera Utara Korupsi. UU No 311999 yang menggantikannya membawa kemajuan, yakni sanksi hukuman mati Pasal 2 ayat 2. Pasal 2 dari UU tentang pemberantasan korupsi ini membangun harapan masyarakat terhadap penerapan hukuman mati bagi koruptor, sebagaimana diberlakukan atas kasus-kasus narkotika dan terorisme. Pertimbangannya, tindak pidana korupsi telah menimbulkan dampak sosial yang luas. Lihatlah China, ekonominya melaju pesat beriringan kencangnya pemberantasan korupsi. Dalam kurun waktu lima tahun 2000-2005, belasan koruptor kakap bertitel gubernur, wakil gubernur, wali kota, wakil wali kota, pimpinan partai dan presiden direktur bank telah dieksekusi mati. Di negara ini seseorang cukup mengkorup uang negara setara 4 miliar rupiah dapat dihukum mati. Dengan adanya keterlibatan pejabat publik dan adanya catatan dalam ancaman sanksi maksimal kasus korupsi, bakal tidak mengherankan bila proses penerapan hukuman maksimal hukuman mati pun tidak akan semulus kasus narkotika dan terorisme. Hukuman mati sebagaimana isi dari Pasal 2 2 UU No 311999 yang menyatakan, Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan. Berdasarkan penjelasan UU ini, yang dimaksud keadaan tertentu adalah apabila tindak pidana korupsi dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan Universitas Sumatera Utara tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Batasan keadaan tertentu merupakan salah satu bagian yang mengalami perubahan. Dalam penjelasannya, batasan tersebut dinyatakan sebagai keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. Dari keempat keadaan tertentu itu, hanya keadaan krisis ekonomi dan moneter yang dapat dengan mudah dirasakan. Kendati demikian walau Indonesia mengalami krisis semacam itu pada 1998 hingga tahun 2000, tidak ada tersangka koruptor yang divonis mati. UU No 311999 diubah dengan UU No 202001 tentang Perubahan atas UU No 311999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. d. Pidana mati dalam RUU KUHP Baru 2010 Saat ini Rancangan UndangUndang Hukum Pidana Baru RUU KUHP masih mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu bentuk pemidanaan. Dalam Universitas Sumatera Utara RKUHP Baru, hukuman mati masih termasuk pidana pokok namun bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. 68 Hukuman mati dalam Pasal 66 RUU KUHP Baru 2010 yang menyatakan : “Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.” Penjelasan pasal 66 RUU KUHP Baru 2010 adalah : “Pidana mati dicantumkan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus. Jika dibandingkan dengan jenis pidana yang lain, pidana mati merupakan jenis pidana yang paling berat. Oleh karena itu, harus selalu diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana lainnya yakni pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun.” Penjelasan umum RUU KUHP Baru 2010 menyatakan: “Pidana mati tidak terdapat dalam urutan pidana pokok. Pidana mati ditentukan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benarbenar bersifat khusus. Jenis pidana mati adalah yang paling berat dan harus selalu diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 dua puluh tahun. Pidana mati dapat dijatuhkan pula secara bersyarat, dengan memberikan masa percobaan, sehingga dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan.” 68 Barda Nawawi Arief menyebutkan, bahwa Konsep KUHP yang sedang dipersiapkan oleh Tim Pengkajian Hukum Pidana BPHN Departemen Kehakiman disebut dengan istilah “ Usul Rancangan KUHP Baru “. Di sini tidak digunakan istilah “ KUHP Nasional “ karena setiap undang – undang yang dihasilkan oleh badan pembuat undang – undang di Indonesia di tingkat pusat pada hakikatnya bersifat nasional, sekalipun semula berasal dari zaman kolonial. Penggunaan istilah “KUHP Baru” sekedar untuk menunjukkan adanya perbedaan dengan “KUHP Lama”, yaitu KUHP WvS yang sekarang masih berlaku. Sekiranya Konsep KUHP Baru ini pun nantinya diterima dan dinyatakan berlaku, tentunya akan disebut dengan istilah “KUHP” saja tanpa tambahan kata “Baru”. Lihat Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru , Jakarta : Kencana, 2008, h.95. Universitas Sumatera Utara RUU KUHP Baru menempatkan hukuman pokok dalam rumusan sebagai pidana yang bersifat khusus dan diancamkan secara alternatif. Pidana mati dicantumkan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar - benar bersifat khusus. Jika dibandingkan dengan jenis pidana yang lain, pidana mati merupakan jenis pidana yang paling berat. Pidana mati ini harus selalu diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana lainnya, yakni pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 dua puluh tahun. Pidana mati dapat dijatuhkan pula secara bersyarat, dengan memberikan masa percobaan, sehingga dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan. Pelaksanaan hukuman mati ditentukan dengan beberapa kondisi, yakni: a. Dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak b. Tidak dilaksanakan di muka umum c. Pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh; dan d. Pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden Pelaksanaan hukuman mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 sepuluh tahun dengan syarat-syarat tertentu, yaitu : a reaksi masyarakat tidak terlalu besar; b terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; c kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu Universitas Sumatera Utara penting; dan d ada alasan yang meringankan. Jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 dua puluh tahun dengan Keputusan Menteri. 69 Sementara jika terpidana selama masa percobaan tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung. 70 Dengan ketentuan ini, terdapat kemungkinan bagi hakim untuk menjatuhkan pidana mati bersyarat. Jika dibandingkan dengan ketentuan mengenai hukuman mati dalam KUHP sekarang ini, pengaturan tentang hukuman mati dalam RUU KHUP 2010 lebih rinci dan lengkap. Perubahan mendasar dari ketentuan hukuman mati ini adalah menjadikan hukuman mati sebagai hukuman yang bersifat khusus. Dalam ketentuan ini juga ada kewenangan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mengubah hukuman mati dengan hukuman penjara dalam waktu tertentu, termasuk juga kewenangan untuk mengubah hukuman mati. Pasal 90 RUU KUHP 2010 menyatakan bahwa jika permohonan grasi terpidana mati ditolak oleh Presiden dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 sepuluh tahun bukan karena terpidana melarikan diri, maka pidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden. 71 Ketentuan mengenai hukuman mati ini dirumuskan secara khusus dengan mengupayakan untuk penerapan yang selektif untuk tindak 69 Pasal 89 ayat 1 RUU KUHP 2010 70 Pasal 89 ayat 3 RUU KUHP 2010 71 Pasal 89 ayat 3 RUU KUHP 2010 Universitas Sumatera Utara pidana yang diancam dengan hukuman mati. Namun, sifat khusus untuk penerapan yang selektif ini masih perlu diragukan karena banyaknya tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati dalam RUU KUHP 2010 . Dalam RUU KUHP Baru 2010 , terdapat 15 pasal yang mencantumkan hukuman mati dalam deliknya. Jika diperbandingkan, ancaman hukuman mati dalam KUHP sekarang ini hanya terdapat 16 tindak pidana yang diancam hukuman mati dan sekitar 15 ancaman hukuman mati dalam tindak pidana di luar KUHP. 72 Ancaman pidana mati terhadap beberapa tindak pidana di RUU KUHP Baru juga tidak jelas mengenai indikator penetapannya apakah berdasarkan dampak kejahatan atau lebih dikarenakan melihat tingkat keseriusan kejahatan. Di samping itu juga terlihat tidak adanya konsistensi dalam menentukan kategori penetapan ancaman hukuman mati. Meskipun dinyatakan jenis hukuman mati ini bersifat khusus dan merupakan jenis pidana yang paling berat, tetapi jenis hukuman mati ini tidak mempunyai landasan argumentatif yang memadai sehingga harus dipertahankan dalam RUU KUHP 2010 . Sementara semangat yang akan dibangun adalah menuju pemidanaan yang memberikan pembinaan kepada pelaku dan bukan ditujukan untuk melakukan pembalasan. Satu-satunya argumentasi yang dapat ditemukan adalah ketentuan Pasal 87 RUU KUHP 2010 yang menyatakan bahwa pidana mati secara 72 Penjelasan Pasal 90 RUU KUHP 2010 menyatakan bahwa : Dengan pola pemikiran yang sama dengan Pasal 87 RUU KUHP 2010 , maka dalam hal putusan hakim yang menjatuhkan pidana mati telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan permohonan grasinya ditolak, namun pelaksanaan pidana mati tersebut tertunda selama 10 sepuluh tahun bukan karena terpidana melarikan diri, maka Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia berwenang untuk mengubah putusan pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup. Pasal-pasal dalam KUHP yang diancam dengan hukuman mati di antaranya adalah Pasal 104, 110 ayat 1, 110 ayat 2, 111 ayat 2, 112, 113, 123, 124 ayat 1, 124 bis, 125, 127, 129, 140 ayat 3, 185, 340, 444, 479k ayat 2, dan 479 ayat 2. Universitas Sumatera Utara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Terlebih dalam penjelasan Pasal 88 ayat 4 RUU KUHP 2010 menyatakan bahwa mengingat beratnya pidana mati dan tidak mungkin dapat diperbaiki lagi apabila ada kekeliruan, maka pelaksanaannya baru dapat dilakukan setelah Presiden menolak permohonan grasi orang yang bersangkutan. 73 Perumusan mengenai hukuman mati nampaknya dilakukan dengan keraguan berdasarkan beberapa pengaturan di atas. Pada satu sisi, banyak tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati, sementara di sisi lain adanya kesadaran bahwa pidana mati adalah hukuman yang sangat berat dan tidak mungkin dapat diperbaiki lagi apabila ada kekeliruan. Sementara tujuan pemidanaan adalah lebih berorientasi pada pembinaan dan rehabilitasi pelaku, sehingga tidak mungkin dapat melakukan perbaikan pelaku jika pelaku dijatuhi hukuman mati, meskipun ada kesempatan untuk menjalani hukuman selama 10 sepuluh tahun terlebih dahulu. Mengenai pengaturan dalam hukuman mati juga terdapat ketidakkonsistenan menentukan tentang hukuman mati sebagai bagian dari hukuman pokok atau bukan merupakan pidana pokok. Pasal 66 RUU KUHP 2010 menyatakan bahwa pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus, sementara penjelasan Pasal 89 RUU KUHP 2010 menyatakan bahwa pidana mati bukan sebagai salah satu jenis 73 Dalam penjelasan juga dinyatakan Indonesia sudah mengikuti Konvensi Safeguards Guaranteeing Protection on the Rights of Those Facing the Death Penalty Economic and Social Council Resolution 198450, adopted 25 May 1984. Universitas Sumatera Utara pidana pokok, tetapi sebagai pidana khusus. 74 Ketidakkonsistenan ini akan berimplikasi pada penerapan ketentuan pada Pasal 60 RUU KUHP 2010 yang menyatakan bahwa jika suatu tindak pidana diancam dengan pidana pokok secara alternatif, maka penjatuhan pidana pokok yang lebih ringan harus lebih diutamakan apabila hal itu dipandang telah sesuai dan dapat menunjang tercapainya tujuan pemidanaan. 75 Dikaitkan dengan penerapan hukuman mati dengan tujuan pemidanaan sebagaimana diatur dalam Pasal 54 RUU KUHP 2010 , penerapan hukuman mati ini sangat tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan yang hendak dicapai. Sebagaimana dinyatakan dalam tujuan pemidanaan, yakni tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia, hukuman mati ini justru merendahkan dan menderitakan martabat manusia. Nampak bahwa pencantuman pidana mati ini sebetulnya tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan dimana penghukuman bukan merupakan pembalasan. Ketentuan mengenai hukuman mati ini cenderung melemahkan semangat dari tujuan pemidanaan yang diorientasikan kepada 74 Lebih jauh dalam penjelasan Pasal 89 RUU KUHP 2010 dinyatakan bahwa : Kekhususan ini ditunjukkan bahwa pidana mati diancamkan dan dijatuhkan secara sangat selektif. Dalam hubungan ini, hakim pertama-tama selalu mempertimbangkan secara mendalam apakah dalam kasus yang dihadapi dapat diterapkan pidana alternative “penjara seumur hidup” ataupun “penjara 20 dua puluh tahun”. Dalam hal masih terdapat keraguan mengenai kemungkinan penggunaan salah satu pidana alternatif tersebut untuk kasus yang bersangkutan, maka dalam ketentuan pasal ini dibuka kemungkinan bagi hakim untuk menjatuhkan “pidana mati bersyarat”. 75 Penjelasan Pasal 60 RUU KUHP 2010 : Meskipun hakim mempunyai pilihan dalam menghadapi umusan pidana yang bersifat alternatif, namun dalam melakukan pilihan tersebut hakim senantiasa berorientasi pada tujuan pemidanaan, dengan mendahulukan atau mengutamakan jenis pidana yang lebih ringan apabila hal tersebut telah memenuhi tujuan pemidanaan. Universitas Sumatera Utara rehabilitasi atau pemidanaan narapidana sebagaimana dituntut dalam masyarakat modern. 76 Pengaturan tentang hukuman mati dalam RUU KHUP 2010 memang lebih rinci dan lengkap. Perubahan mendasar dari ketentuan hukuman mati ini adalah menjadikan hukuman mati sebagai hukuman yang bersifat khusus. Dalam ketentuan ini juga ada kewenangan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mengubah hukuman mati dengan hukuman penjara dalam waktu tertentu. e. Pidana Mati dalam Hukum Islam Dalam hukum pidana Islam, tentang sanksi atau hukuman diberikan secara setimpal. Dasarnya adalah Al-Quran surat Al-Maa’idah 5 yang berbunyi : ”Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya At Taurat bahwasanya jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka pun ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan hak kisas nya, maka melepaskan hak itu menjadi penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” Keberadaan pidana mati dalam hukum pidana Islam bila dipandang secara objektif sesungguhnya bertujuan untuk mencapai kemaslahatan umat, karena dengan adanya pidana mati dapat menimbulkan efek jera, selain itu 76 Dalam masyarakat modern, sebagaimana dinyatakan oleh Durkheim, masyarakat modern yang heterogen dan penuh diferensiasi, hukum represif tidak lagi berfungsi secara dominan dimana perannya akan digusur dan banyak digantikan oleh hukum restitutif yang menekankan arti penting restitusi, pemulihan dan kompensasi untuk menjaga kelestarian masyarakat. Lihat : Soetandyo Wignyosoebroto, Perspektif Teoritik Para Perintis Sosiologi Hukum dari Masa Belahan Akhir Abad XIX dan Awal Abad XX, Penataran Pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Kajian Hukum, FH UI, 10 September 1992, hal. 17. Universitas Sumatera Utara dapat dijadikan sebagai pencegah zawajir dari dosa dan kejahatan seperti yang disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah 179 yang berbunyi “Dalam qishâsh itu ada jaminan kelangsungan hidup bagi kalian, wahai orang-orang yang berakal, supaya kalian bertakwa.” Atas dasar tersebut maka pelaksanaan qisash dilakukan secara terbuka, agar masyarakat mengetahui serta berpikir ribuan kali untuk berbuat kejahatan dan fungsi zawajir dapat terlaksana. 77 Sebagaimana telah diketahui, hukuman mati hanya dikenakan terhadap empat tindak pidana hudud, antara lain zina, gangguan keamanan, murtad, pemberontakan, dan satu tindak pidana kisas, yaitu pembunuhan sengaja. Di dalam Islam, konsep atau istilah yang sering diakitkan dengan korupsi karena ditinjau dari perspektif sebagai pengkhianatan atas amanah yang semestinya dipelihara ialah ghulul, yang artinya, ” Mengambil sesuatu dan menyembunyikannya dalam hartanya. ” Dalam sejarah Islam, konsep ghulul muncul karena adanya penggelapan harta rampasan perang sebelum dibagikan, yang didefenisikan sebagai ” pengkhianatan pada harta rampasan perang. ” Di dalam Alquran lihat QS. Ali Imran : 161 tindakan ghulul tersebut dijelaskan dengan sanksi akhirat tanpa memberikan sanksi yang jelas dalam kehidupan di dunia. 77 Pidana Mati dalam Isalam, diakses dari situs : http:ekajazzlover.wordpress.com20090116pidana-mati-dalam-pandangan-hukum-pidana-islam tanggal 10 Juni 2010. Universitas Sumatera Utara Rasulullah memperinci makna ghulul ini meliputi tindakan seseorang yang mengambil sesuatu penghasilan di luar gajinya yang sudah ditetapkan dan orang yang mendapatkan hadiah karena jabatan yang melekat pada dirinya. Di dalam islam dikenal juga istilah risywah yang bermakna al – ju’l yang artinya upah, hadiah, pemberian atau komisi. Sedangkan Risywah secara terminologis adalah tindakan membrikan harta dan yang sejenis untuk membatalkan hak milik pihak lain atau mendapatkan atas hak milik pihak lain. Di samping itu, defenisi lain risywah adalah sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim atau yang lainnya agar orang tersebut mendapatkan kepastian hukum atau sesuatu yang diinginkannya. Rumusan terakhir adalah usaha untuk menyegerakan pengurusan masalah hukum, termasuk pengurusan masalah lainnya tanpa melalui prosedur yang berlau. Dalam bahasa ini, istilah risywah dapat diartikan sebagai sogok. Di dalam alqur’an QS.Al-Anfal:27 dikemukakan jenis korupsi lain yaitu kianat. Di dalamnya dijelaskan tentang larangan mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Amanat sesama manusia di sini dapat meliputi banyak hal, mulai dari amanat politik, ekonomi, bisnis, sosial, dan pergaulan. Selain ketiga istilah tersebut diatas, di dalam Islam terdapat istilah ghasab yang artinya ”mengambil sesuatu dari tangan seseorang dengan jalan paksaan” dan saraqah yaitu ”tindakan mengambil harta pihak lain secara sembunyi – sembunyi tanpa ada pemberian amanat atasnya”, kejahatan ini disinggung dalam QS. Al-Mai’dah:38. Selanjutnya ada konsep yang sering juga Universitas Sumatera Utara dikaitkan dengan korupsi, yaitu intikhab merampas dan ikhtilash mencopet. Dua konsep ini dapat dikatakan korupsi dilihat dari hakikatnya sebagai pemindahan hak secara melawan hukum. Islam tidak secara spesifik membahas jenis hukuman bagi para koruptor, namun demikian para ulama telah sepakat bahwa pengkhianatan dan tindak korupsi tidak dikenai hukuman potong tangan, karena ada syubhat hak terhadap harta yang diambil. Ibnu Majah meriwayatkan dengan isnad-nya dari Ibnu ’abbas, ada seorang budak mencuri harta dari al-khumus yang disimpan di baitul mal. Peristiwa itu dilaporkan kepada Rasulullah saw, dan Rasulullah saw tidak memotong tangannya, kemudian beliau bersabda , ”Harta Allah dicuri dengan yang lain”, Ibnu Mas’ud bertanya kepada Rasulullah Saw, tentang orang yang mencuri harta baitul mal, rasulullah Saw menjawab, ”Biarkanlah ia, tidak seorangpun kecuali ia memiliki hak terhadap harta tersebut harta baitul mal .” Harta yang kedudukannya seperti harta baitul mal, merupakan harta milik umum. Oleh karena itu di dalam harta tersebut terdapat syubhat kepemilikan, karena setiap orang memiliki hak terhadap harta tersebut. Tanpa membedakan lagi, apakah harta itu adalah harta milik umum, atau harta yang kemudian menjadi milik umum, maka pencurinya tidak dikenakan sanksi potong tangan, melainkan hanya dijatuhi ta’zir, sebab hudud tertolak dengan adanya syubhat. Universitas Sumatera Utara Pelaksanaan pidana mati menurut hukum pidana Islam sendiri memang khusus pada kejahatan yang telah ditentukan oleh syarak yaitu hudud dan kisas, namun untuk hukuman takzir telah diberi pengecualian, yaitu memperbolehkan penjatuhan hukuman mati sebagai hukuman takzir manakala kemaslahatan umum menghendaki demikian atau kerusakan yang diakibatkan oleh pelaku tidak bisa ditolak kecuali dengan membunuhnya, seperti menjatuhkan hukum mati kepada mata – mata, penyeru bid’ah pembuat fitnah, dan residivis yang berbahaya. Dari uraian di atas, jelas bahwa hukum pidana Islam menempatkan pidana mati sebagai salah satu bentuk sanksi tegas dalam menegakkan keadilan. Hukum Islam memandang bahwa suatu perbuatan harus diberi balasan yang setimpal, namun tetap memberikan beberapa pengecualian pada qisas apabila keluarga korban memaafkan pembunuhnya, sebagai gantinya harus membayar diyat denda yang besar, yaitu seharga 100 ekor unta tunai. Keadilan dalam pandangan hukum Islam adalah keadilan yang dilandasi pada al-dharuriyyat al-khams sehingga pada akhirnya dapat tercapai kemaslahatan umat. f. Pidana Mati dalam Peraturan Perundang-Undangan lainnya Didalam perkembangannya kemudian, terdapat beberapa UndangUndang yang memuat ancaman hukuman mati, yaitu antara lain UU No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika, UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Universitas Sumatera Utara Pemberantasan Korupsi jo UU No. 1 tahun 2002 tentang tindak pidana korupsi, serta UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Berikut ini kita melihat undang-undang yang memiliki ancaman hukuman mati, adalah : 1. Kitab Undangundang Hukum Pidana KUHP Pasal 104, 111 ayat 2, 124, 140 ayat 3, 340, 365 ayat 4, 444, 124 bis, 127, 129, 368 ayat 2. 2. Kitab Undangundang Hukum Pidana Militer KUHPM Pasal 64, Pasal 65, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 73 Ke1, Ke2, Ke3 dan Ke4, Pasal 74 Ke1 dan Ke2, Pasal 76 1, Pasal 82, Pasal 89 Ke1 dan Ke2, Pasal 109 Ke1 dan Ke2, Pasal 114 ayat 1, Pasal 133 ayat 1 dan 2, Pasal 135 ayat 1 ke1 dan ke2, ayat 2, Pasal 137 ayat 1 dan 2, Pasal 138 ayat 1 dan 2, dan Pasal 142 ayat 2 3. UU No 12 Tahun 1951 Tentang Senjata Api Pasal 1 ayat 1 4. Penetapan Presiden No 5 Tahun 1959 Tentang Wewenang Jaksa AgungJaksa Tentara Agung dalam hal memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang pangan Pasal 234 Pidana Mati Menurut Hukum Pidana Indonesia. 78 5. Perpu No.21 Tahun 1959 Tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana ekonomi Pasal 1 ayat 1 dan 2 6. UU No 11PNPS1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi Pasal 13 ayat 1 dan 2, Pasal 1 ayat 1 78 Syahruddin Husein, Pidana Mati Menurut Hukum Pidana Indonesia, Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, ©2003 Digitized by USU digital library, hal. 9. Universitas Sumatera Utara 7. UU No 31PNPS1964 Tentang KetentuanKetentuan Pokok Tenaga Atom Pasal 23. 8. UU No 4 Tahun 1976 Tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam KUHP bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundangundangan Pidana Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap SaranaPrasarana Penerbangan Pasal 3, Pasal 479 huruf k dan o 9. UU No 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika Pasal 59 ayat 2 10. UU No 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika Pasal 80 ayat 1, 2, 3 Pasal 82 ayat 1, 2, dan 3 11. UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Korupsi Pasal 2 ayat 2 12. UU No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM Pasal 36, 37, 41, 42 ayat 3 13. UU No 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pasal 6, 8, 9, 10, 14, 15, 16. Dalam praktiknya, adanya peraturan perundangundangan yang mengatur mengenai ancaman hukuman mati ini menimbulkan pro kontra dari masyarakat Indonesia, khususnya pemerhati dan lembaga hak asasi manusia yang menentang diberlakukannya hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana. Mereka yang menentang penerapan hukuman mati berpendapat bahwa cara pemidanaan seperti itu melanggar hak asasi manusia HAM. Kalangan ini berargumen bahwa hukuman mati bertentangan dengan Konstitusi dan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta instrumen internasional hak asasi manusia yang sudah diratifikasi Indonesia, seperti Kovenan Universitas Sumatera Utara Internasional Hak Sipil dan Politik dan Konvensi Anti Penyiksaan. Sebaliknya, yang mendukung penerapan hukuman mati berpendapat bahwa hukuman mati dilakukan untuk mencegah perbuatan pidana yang kejam terulang lagi. Pidana mati sebaiknya hanya dijatuhkan untuk tindak pidana-tindak pidana yang jelas-jelas membahayakan masyarakat. Namun, kalangan ini juga menyarankan bahwa hukuman mati harus diterapkan secara selektif dan bukan sebagai legalisasi atas pembalasan dendam.

C. Beberapa Masalah dalam Pelaksanaan Pidana Mati