BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Ketentuan-ketentuan UU No.231997 dan PP No 851999 yang Berkaitan dengan Masalah Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun B3
1. Pengaturan Umum UU No. 231997 yang Berkaitan dengan Pengelolaan Limbah B3
“Lingkungan hidup Indonesia yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa
kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan Karunia dan Rahmat-Nya yang wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar tetap menjadi sumber dan
penunjang hidup bagi rakyat dan bangsa Indonesia serta makhluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup sendiri”. Penjelasan Umum UU
No. 231997. Upaya pembangunan yang berkelanjutan dan pengembangan kemampuan
lingkungan hidupseperti yang dimaksud pasal 1 butir 3 UU No. 231997 didefinisikan, “yakni : ……” upaya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup termasuk sumber daya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin
kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan”. Dari segi aspek kesehatan, pengelolaan lingkungan hidup itu berguna untuk
mencapai suatu keadaan lingkungan hidup yang baik dan memenuhi syarat-syarat
40 42
Zainal Abidin : Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Beracun di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Lhokseumawe. USU e-Repository © 2008.
tersebut telah direspons oleh UU No. 231997 dimana dalam pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa : “Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan
hidupyang baik dan sehat”. Lebih lanjut dalam ayat 2 dan 3 diberikan pula hak untuk memperoleh informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan pengelolaan
lingkungan hidup serta hak untuk berperan di dalamnya. Untuk memperoleh haknya tersebut maka UU No. 231997 memberi kewajiban pada setiap orang untuk ikut
memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup pasal 6 ayat 1 UU No.231997. khusus bagi pelaku usaha danatau kegiatan diwajibkan untukmemberikan informasi
yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup pasal 6 ayat 2 UU No. 231997.
Dalam konteks yang lebih general , pasal 7 ayat 1 dan 2 UU No. 231997 juga memberikan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya bagi seluruh
masyarakat untuk berperan dalam Pengelolaan lingkungan hidup. Partisipasi masyarakat yang berupa hak dan kewajiban untuk berperan dalam pengelolaan
lingkungan hidup itu diatur dan ditentukan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pasal 8 ayat 1, 2 dan 3.
Pemerintah sendiri sebagai pihak yang berkompeten telah dibebankan beberapa kewajiban sebagaimana diatur dalam pasal 10, antara lain dalam huruf c
disebutkan bahwa pemerintah berkewajiban untuk : “mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha dan
pemerintah dalam upaya pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup”.
40
Zainal Abidin : Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Beracun di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Lhokseumawe. USU e-Repository © 2008.
mengembangkan dan meningkatkan kesadaran akan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup antara masyarakat, dunia usaha dan
pemerintah dalam upaya pelestarian dan daya tampung lingkungan hidup. Di sini dapat dilihat bagaimana pentingnya keterlibatan dari berbagai pihak
dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup, yakni : keterlibatan masyarakat, dunia usaha termasuk dalam hal ini pengelolaan Rumah Sakit dan pemerintah sebagai
pihak yang berkompeten untuk mengatur pelaksanaannya. Pengelolaan Limbah B3 merupakan bagian integrasi dari pengelolaan hidup
sekaligus sebagai upaya untuk merealisasikan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
2. Pengaturan Secara Rinci dari UU No. 231997 Atas Masalah Pengelolaan
Limbah B3
Menurut pasal 1 butir 16 dan 18 “Limbah berbahaya dan beracun adalah sisa suatu usaha danatau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya danatau beracun
yang karena sifat danatau konsentrasinya danatau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung danatau merusakkan lingkungan hidup, dan dapat
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya.
Berikut akan dibahas ketentuan-ketentuan UU No. 231997 yang terkait dengan masalah limbah B3
a. Baku Mutu Lingkungan
40
Zainal Abidin : Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Beracun di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Lhokseumawe. USU e-Repository © 2008.
Dalam pasal 14 disebutkan bahwa untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, setiap usaha danatau kegiatan dilarang melanggar baku mutu
lingkungan dan kriteria kerusakan lingkungan hidup. Baku Mutu Lingkungan diperlukan untuk menetapkan apakah telah terjadi kerusakan lingkungan, artinya
apabila keadaan lingkungan telah ada di ambang batas baku mutu lingkungan, maka lingkungan hidup tersebut telah rusak danatau tercemar.
b. Analisa Mengenai Dampak Lingkungan AMDAL AMDAL secara yuridis diartikan sebagai kajian mengenai dampak besar dan
penting usaha danatau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha
danatau kegiatan. Instrumen AMDAL ini sangat berperan dalam pengaturan pengelolaan
limbah B3. dengan adanya instrumen ini, maka hukum memberikan beberapa kewajiban tertentu kepada pelaku usaha danatau kegiatan yang menghasilkan
limbah B3 untuk melakukan pemantauan atau pengeloaan terhadap limbah B3 yang mereka hasilkan. Dengan demikian resiko tercemarnya atau rusaknya lingkungan
dapat diperhitungkan dan kegiatan penanggulangannya dapat segera dilaksanakan. Meskipun demikian, jumlah kegiatan yang wajib AMDAL tidak mencerminkan
keseluruhan jumlah kegiatan pengolah dan penghasil limbah B3. Jumlah kegiatan pengolah dan penghasil limbah B3.
40
Zainal Abidin : Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Beracun di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Lhokseumawe. USU e-Repository © 2008.
Jumlah kegiatan Pengolah dan Penghasil B3 yang terkena AMDAL jauh lebih kecil dari pada jumlah kegitan penghasil dan pengolah yang sebenarnya ada di Indonesia.
Sebaliknya kegiatan-kegiatan
yang berskala kecil yang memproses dan
mengahasilkan limbah B3 dapat luput dari AMDAL jika kegiatan-kegiatan itu tidak memenuhi kriteria yang berdampak penting. Oleh karena itu, pemecahan masalah
terhadap ancaman pencemaran lingkungan akibat limbah B3 yang bersumber dari kegiatan-kegiatan yang luput dari kriteria wajib AMDAL harus dilakukan melalui
Undang-undang yang khusus mengatur tentang pengelolaan limbah B3 sebagaimana halnya rumah sakit.
c. Audit Lingkungan Dalam UU No. 231997 penerapan audit lingkungan diatur dalam pasal 28di
mana disebutkan audit lingkungan ini bersifat suka rela. Namun dalam keadaan tertentu pelaksanaan audit lingkungan oleh badan usaha berdasarkan UU No.
231997 dapat bersifat wajib sebagaimana diatur dalam pasal 29 ayat 1, 2, 3, 4, dan 5.
d. Kewajiban pengelolaan limbah dan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun kewajiban untuk mengelola limbah diatur dalam pasal 16 ayat 1 UU No.
231997 di mana disebutkan bahwa : “ Setiap Penanggung jawab usaha danatau kegiatan, wajib melakukan pengelolaan limbah hasil usaha danatau kegiatan.
Batasan pengertian dari pengelolaan limbah dimuat pada bagian penjelasan pasal 16 ayat 1 yakni :” pengelolaan limbah merupakan rangkaian yang mencakup
40
Zainal Abidin : Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Beracun di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Lhokseumawe. USU e-Repository © 2008.
penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, limbah termasuk penimbunan hasil pengolahan sendiri.
e. Izin Pembuangan Limbah Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa pengelolaan limbah B3 meliputi
beberapa hal, di antaranya membuang limbah B3 itu tidak bisa dilakukan begitu saja tanpa terlebih dahulu memiliki izin dari pejabat pemerintah yang berkompeten.
Ketentuan yang mengatur masalah perizinan ini dimuat dalam pasal 20 ayat 1 yang menyebutkan bahwa :” Tanpa suatu keputusan izin, setiap orang dilarang melakukan
pembuangan limbah ke media lingkungan hidup”. Pembuangan limbah B3 ke media lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat 1 tersebut diatas hanya dapat dilakukan di lokasi pembuangan yang ditetapkan oleh menteri seperti diatur dalam pasal 20 ayat 4 UU No. 231997
f. Pelarangan impor limbah B3 Pasal 21 secara tegas menyebutkan bahwa :” Setiap orang dilarang
melakukan impor limbah B3”, Kebijakan pelarangan impor limbah B3 ini merupakan penjabaran dari sasaran pengelolaan lingkungan hidup terutama yang
dimuat dalam pasal 4 huruf f, yakni :” Terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak usaha danatau kegiatan di luar wilayah negara yang
menyebabkan pencemaran danatau kerusakan lingkungan hidup. g. Ketentuan pidana
sebagai upaya represif, mengingat pentingnya upaya pelestarian dan perlindungan lingkungan hidup, maka UU No. 231997 memuat beberapa ketentuan
40
Zainal Abidin : Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Beracun di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Lhokseumawe. USU e-Repository © 2008.
Hukum Pidana di sini diterapkan dengan tetap memperhatikan azas subsidiaritis, yaitu hukum pidana di daya gunakan apabila sanksi di bidang hukum yang lain
seperti sanksi administrasi, sanksi perdata dan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan hidup tidak lagi efektif atau apabila tingkat kesalahan relatif berat atau
dampak yang ditimbulkannya meresahkan masyarakat. Sehubungan dengan itu pengelolaan limbah B3 apabila tidak dilakukan
secara benar dan baik karena sifatnya akan mengakibatkan pencemaran atau kerusakan yang berat terhadap lingkungan hidup sehingga pada gilirannya akan
meresahkan masyarakat, di sinilah letak pentingnya hukum pidana dalam UU No. 231997, yakni di satu sisi sebagai upaya antisipasi dan di sisi lain sebagai upaya
represif. Hal ini harus benar-benar dipahami dan didasari oleh pelaku usaha danatau kegiatan, khususnya dalam hal ini pihak pengelola rumah sakit sebagai pihak yang
berkompeten.
3. Pengaturan PP No. 851999 Atas Masalah Pengelolaan Limbah B3
Menurut pasal 1 angka 3 PP ini, pengelolaan limbah B3 di defenisikan sebagai :”…. Rangkaian kegiatan yang mencakup reduksi, penyimpanan,
pengumpulan, pengangkutan, pemanfatan , pengelolaan dan penimbunan limbah B3”.
Dari defenisi di atas selanjutnya dapat disimpulkan adanya keterlibatan beberapa pihak yang merupakan subjek pengelolaan limbah B3 sebagaimana diatur
pasal 1 angka 2, yakni :
40
Zainal Abidin : Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Beracun di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Lhokseumawe. USU e-Repository © 2008.
− Penghasil Limbah
− Pengangkut limbah
− Pemanfaatan limbah
− Pengolah limbah
− Penimbun limbah
Dalam PP No. 851999 ini disebutkan bahwa pengelolaan limbah B3 ditujukan untuk : “ mencegah dan menanggulangi pencemaran danatau kerusakan
lingkungan hidup yang diakibatkan limbah B3 serta melakukan pemulihan kualitas lingkungan yang sudah tercemar sehingga sesuai dengan fungsinya kembali” pasal
2 PP No. 851999. Tujuan pengelolaan limbah B3 seperti disebutkan pasal 2 di atas meski lebih
spesifik adanya pencegahan, penanggulangan dan pemulihan kualitas lingkungan dari tujuan yang disebutkan dalam UU No. 231997 namun secara substantif
keduanya bertujuan untuk melindungi lingkungan hidup dari resiko pencemaran limbah B3
1. Peizinan Jika di dalam UU No 231997 ketentuan mengenai perizinan hanya diatur
secara singkat, maka dalam PP No 851999 ini masalah perizinan diatur sedemikian rupa sebagai berikut:
“Setiap badan usaha yang melakukan kegiatan:
40
Zainal Abidin : Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Beracun di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Lhokseumawe. USU e-Repository © 2008.
a. Penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan danatau
penimbunan limbah B3 wajib memiliki izin operasi dari kepala instansi yang bertanggung jawab.
b. Pengangkut limbah B3 wajib memiliki izin pengangkutan dari menteri
Perhubungan setelah mendapat rekomondasi dari kepalainstansi yang bertanggung jawab.
c. Pemanfaatan limbah B3 sebagai kegiatan utama wajib izin pemanfaatan
dari instansi yang berwewenang memberikan izin dari kepala instansi yang bertanggung jawab pasal 40 ayat 1.
2. Pengawasan Ketentuan tentang pelarangan impor limbah B3 seperti yang diatur dalam
pasal 23 UU1997 kembali dimuat dalam pasal ayat 1 PP. No. 851999. hanya saja dalam PP No. 851999 lebih diperinci di mana dalam pasal 53 ayat 5 disebutkan
pula bahwa : “ ….. tata niaga limbah B3 ditetapkan oleh menteri yang ditugasi dalam bidang perdagangan setelah mendapat pertimbangan dari kepala instansi yang
bertanggung jawab”. Menyangkut masalah pengawasan baik menurut pasal 22 UU No. 231997
maupun pasal 47 ayat 1 PP No. 851999, dikoordinir oleh menteri, sedangkan pelaksanaannya diserahkan pada instansi yang bertanggung jawab.
3. Peran Serta Masyarakat
40
Zainal Abidin : Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Beracun di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Lhokseumawe. USU e-Repository © 2008.
Dalam UU No. UU No. 231997 peran masyarakat diatur pada pasal 7 Ayat 1 dan 2 sedangkan dalam PP No 851999 pengaturannya terdapat pada pasal
54 ayat 1 dan 2. Apabila UU No. UU No. 231997 mengklasifikasikan partisipasi masyarakat atas dua bagian, yakni : hak untuk berperan disatu sisi dan kewajiban
untuk berperan di sisi lain, maka PP No. 851999 merangkum hak dan kewajiban tersebut sekaligus dalam satu ketentuan.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa PP No 851999 yang merupakan peraturan pelaksana dari UU No. 231997 telah memenuhi fungsinya sebagai suatu
bentuk peraturan yang menjabarkan peraturan perundang-undangan di atasnya.
Penerapan UU No. 231997 di RSU Daerah CUT MEUTIA LHOKSEUMAWE
Dari hasil penelitian antara lain diketahui bahwa limbah B3 yang dihasilkan oleh RSU adalah limbah yang bersifat infeksius menurut PP No. 851999
langkah pertama yang harus dilakukan dalam rangka pengelolaan limbah B3 adalah mengindentifikasikan limbah dari penghasil tersebut apakah limbah B3 atau tidak.
Tahapan-tahapan yang harus digunakan untuk mengidentifikasikan limbah B3 pengaturannya
Pasal 6 PP No1999. Daftar jenis limbah B3 sebagaimana dimaksud atas selanjutnya dapat
dilihat pengaturannya pada pasal a.
Limbah B3 dari sumber tidakspesifik b.
Limbah B3 dari sumber spesifik
40
Zainal Abidin : Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Beracun di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Lhokseumawe. USU e-Repository © 2008.
c. Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan dan buangan produk yang
tidak memenuhi spesifikasi Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Limbah B3 yang
dihasilkan RSU Daerah Cut Meutia Lhoksumawe merupakan limbah B3 dari spesifik sebab limbah tersebut berasal dari sisa proses suatu kegiatan RSU Daerah
Cut Meutia yang secara spesifik dapat ditentukan berdasarkan kajian limbah. Hal ini mengacu pada apa yang disebutkan dalam penjelasan pasal 7 ayat 1 huruf b
PP No.851999. Kepastian
tentang teridentifikasinya sampah medis RSU sebagai limbah
B3 juga dapat dilihat dari terpenuhinya beberapa kriteria B3 sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat 3 PP No. 851999, antara lain :”…. Limbah tersebut memiliki
karakteristik …..,beracundanatau bersifat danatau menyebabkan infeksi dan bersifat korosif”.
Dengan telah terpenuhinya beberapa unsur dari kedua tahapan diatas maka uji toksikologi tidak lagi perlu dilakukan, sebab sampah medis yang dihasilkan oleh
RSU Daerah Cut Meutia Lhokseumawe menurut PP. No. 851999 di atas telah teridentifikasi sebagai limbah B3.
Oleh karena itu pihak pengelola Rumah sakit 986MENKESPERXI1992 sebagai pihak yang penyehatan lingkungan rumah sakit, tidak saja pengelolaan
limbah bahan 17 ayat 1 No. 231997. Menyangkut
masalahpengelolaan limbah
B3 menurut pasal 17 ayat 2 UU No. 231997 terdapat beberapa kegiatan, yakni : menghasilkan, mengangkut,
40
Zainal Abidin : Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Beracun di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Lhokseumawe. USU e-Repository © 2008.
mengedarkan, menyimpan, menggunakan danatau membuang, sebaliknya menurut PP No 851999 yang merupakan produk hukum yang lebih baru, kegiatan tersebut
lebih kompleks di mana meliputi : −
Reduksi −
Pengemasan −
Penyimpanan −
Pengumpulan −
Pengankutan −
Pemanfaatan −
Pengolahan −
Penimbunan Dari hasil wawancara dan pengamatan di lapangan dapat disimpulkan
bahwa sistem pengelolaan limbah klinis B3 di RSU Daerah Cut Meutia Lhoksumawe dari sejumlah kegiatan dengan keterlibatan beberapa pihak di
dalamnya,
19
Yaitu : −
Penghasil −
Pengumpul −
Pengangkut −
Penimbun
40
Zainal Abidin : Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Beracun di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Lhokseumawe. USU e-Repository © 2008.
Dalam Uraian dibawah ini akan di bahas kegiatan-kegiatan dari masing- masing pihak dalam rangka pengelolaan limbah B3 di RSU Daerah Cut Meutia
Lhoksumawe.
1. Teknik Operasional Pembuangan Limbah B3 Di RSU Daerah Cut Meutis Lhoksumawe
Sistem pembuangan Limbah B3 dilakukan dengan cara terpisah yaitu pembuangan Limbah B3 yang bersifat padat dan limbah B3 yang bersifat cair.
Pembuangan limbah B3 yang bersifat padat dilakukan pengumpulan dari dari tiap- tiap unit kerja yang ada di RSU Daerah Cut Meutia Lhoksumawe oleh petugas
kebersihan yang mana diangkut secara sekaligus tanpa lebih dahulu dilakukan pemisahan antara sampah medis yang bersifat B3 dengan sampah lainnya.
20
Hal ini disebabkan oleh karena kurangnya pengetahuaninformasi petugas kebersihan tentang teknik pemisahan dari pada sampah medis B3 dengan sampah
lainnya.
21
Setelah dikumpulkan dan kemudian diangkut oleh petugas sampah, limbah tersebut dikumpulkan pada suatu tempat dan kemudian diangkut oleh petugas
kebersihan dari Kontraktor Klining Service dan untuk kemudian dibuang ke tempat pembuangan sampah akhir TPA. Tersendiri yang setelah itu dibakar setiap harinya.
Sedangkan limbah B3 yang bersifat cair pembuangan dilakukan hanya melalui got atau parit yang mengalir di dalam RSU Daerah Cut Meutia Lhoksumawe
yang kemudian mengalir keluar got atau parit yang ada di depan RSU Cut Meutia Lhokseumawe di Jalan Raya Medan-Banda Aceh.
40
Zainal Abidin : Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Beracun di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Lhokseumawe. USU e-Repository © 2008.
18
Hasil wawancara dengan Ibu Lindawati, kepala sarana Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Lhokseumawe, pada tanggal 15 Mei 2005.
20
Ibid
21
Saniya, Petugas Kebersihan. 2. Penghasil Limbah B3
Pihak penghasil di sini terdiri dari banyak orang atau petugas rumah sakit, khususnya yang berada langsung di sektor pengobatan, perawatan dan penunjang
diagnostikpelayanan. Dari data yang ada tercatat karyawan yang berhubungan di sektor ini sebagai penghasil limbah B3 berjumlah 400 orang. Jumlah tersebut dengan
perincian sebagai berikut. −
50 orang tenaga dokter baik dokter umum maupun spesialis −
342 orang tenaga paramedis perawat −
8 orang apoteker
23
Limbah yang dihasilkan oleh penghasil, khususnya yang teridentifikasi sebagai limbah B3 yang di hasilkan penghasil harus diawasi tata cara
penampungannya secara ketat dan sungguh-sungguh. Dalam hal ini pihak yang bertanggung jawab atas masalah penampungan tersebut adalah Bagian sarana di
RSU Cut Meutia Lhoksumawe. Dari hasil wawancara diketahui bahwa Kabag Sarana telah mengetahui tentang limbah B3, namun belum memahami
pengelolaannya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
40
Zainal Abidin : Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Beracun di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Lhokseumawe. USU e-Repository © 2008.
Pengetahuan Kepala Bagian Sarana atas masalah pengelolaan limbah B3 cukup penting mengingat ketentuan pasal 6 ayat 2 UU No. 231997 yang
memberikan kewajiban pada usaha danatau kegiatan untuk memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan dimaksud. Tanpa pengetahuan yang
benar mengenai masalah tersebut maka Kepala Bagian Sarana yang dalamhal ini bertindak selaku representasi dari pihak pengelola rumah sakit, tidak akan mampu
untuk memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan limbah B3.
Di sini latar belakang akademis dari kepala Bagian Sarana akan menentukan kemampuan untuk melakukan koordinasi pengelolaan limbah B3 yang
benar dan memenuhi syarat-syarat kesehatan sesuai dengan UU No. 231997, PP No. 851999 dan Permenkes RI No. 472MENKESPER51996.
Berkaitan dengan itu dalam masalah penampungan masih terlihat bahwa limbah B3 yang berasal dari penghasil belum seluruhnya tertampung dalam tempat
khusus yang membedakannya dengan sampah non B3, bahkan limbah B3 tersebut disatukan dengan sampah non medis. Dari hasil pengamatan didapati bahwa tidak
membedakan dan memisahkan limbah B3 dengan sampan non medis. Apabila keadaan tersebut dibiarkan terus menerus maka dikhawatirkan
akan menganggu dan mempengaruhi kegiatan pengelolaan limbah B3 berikutnya, yakni kegiatan pengangkutan sesuai urutan kegiatan yang diatur dalam pasal 17
ayat 2 UU No. 231997.
40
Zainal Abidin : Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Beracun di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Lhokseumawe. USU e-Repository © 2008.
23
Hasil wawancara dengan Ibu Lindawati, Kepala sarana RSUD Cut Meutia Lhokseumawe, pada tanggal 15 Mei 2005.
3. Pengumpul Limbah B3 a. Cara Pengumpulan
Pengumpulan sampah medis B3 adalah kegiatan mengumpulkan limbah B3 dari penghasil limbah B3 dengan maksud menyimpan sementara sebelum
diserahkan kepada pemanfaatan danatau penimbunan limbah B3. pada tahap ini langkah pertama yang harus dilakukan adalah membedakan dan memisahkan
sampah medis dengan limbah biasa sehingga dampak negatif yang mungkin ditimbulkan oleh limbah B3 sebagai sumber infeksi dapat dihindari. Di samping itu
hal tersebut juga akan memudahkan penanganan selanjutnya oleh petugas limbah. Untuk mengumpulkan sampah medis B3 ini maka kalau dipakai kantong
plastik yang telah diikat rapat dan dipastikan tidak bocor, dikumpulkan pada
40
Zainal Abidin : Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Beracun di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Lhokseumawe. USU e-Repository © 2008.
kontainer khusus di depan atau di luar ruangan, untuk selanjutnya diangkut oleh petugas medis B3 ke bak pengumpul.
Dalam kegiatan pengumpulan sampah medis B3 ini perlu diperhatikan ketentuan pasal 40 ayat 1 PP No. 851999 khususnya dalam huruf a di mana
antara lain disebutkan bahwa : “Setiap badan usaha yang melakukan kegiatan : “Penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan pengolahan danatau penimbunan
limbah B3 wajib memiliki izin operasi dari kepala instansi yang bertanggun jawab” Dengan demikian kegiatan pengumpulan limbah B3 wajib memperoleh
izin dari instansi yang bertanggung jawab. Namun di sini perlu di garis bawahi bahwa kegiatan pengumpulan limbah B3 seperti dimaksud dalam ketentuan pasal 40
ayat 1 huruf a di atas hanya ditujukan bagi pelaku usaha danatau kegiatan yang tidak mengolah sendiri limbah B3-nya tetapi menyerahkanya kepada pusat-pusat
pengolahan yang telah mendapat izin dari Bapedal, sebagaimana yang dimuat dalam PP No. 191994. jadi kewajiban untuk memperoleh izin bagi kegiatan pengumpulan
limbah B3 itu tidak berlaku bagi pelaku usaha danatau kegiatan yang mengolah sendiri limbah B3-nya, seperti yang dalam hal ini dilakukan oleh RSU Cut Meutia
Lhokseumawe Sebab instansi yang menyelenggarakan pengangkutan itu bertanggung jawab sendiri
secara langsung. b. Tenaga Pengumpul Limbah B3
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa sampah medis B3 adalah limbah yang infeksius dan berbahaya bagi kesehatan maupun
40
Zainal Abidin : Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Beracun di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Lhokseumawe. USU e-Repository © 2008.
keselamatannya, seperti pakaian atau pelindung kerja yang digunakan sehingga memberi manfaat untuk menghindari terjadinya kecelakaan atau gangguan akibat
limbah B3,. Dari hasil pengamatan terlihat bahwa secara kuantitas petugas pengumpul
sampah medis B3 cukup memadai. Namun dalam pelaksanaan kerjanya belum terlihat adanya perlengkapan perlindungan khusus, seperti masker, sarung tangan,
sepatu dan pakaian khusus.
26
26
Syukri Petugas Kebersihan. Dalam Tabel di bawah ini keadaan tersebut dapat di gambarkan sebagai berikut
Tabel : Jumlah Penggunaan pakaian pelindung petugas Sampah Medis B3 di RSU Cut Meutia Lhokseumawe 2005
No Pakaian Pelindung
Jumlah Orang
Persentase
1. Digunakan 2. Tidak
digunakan 10
100 Jumlah
10 100
Sumber : data Primer 2005
Mengingat resiko kecelakaan kerja yang mungkin ditanggung oleh petugas pengumpul limbah B3 di RSU Cut Meutia Lhokseumawe maka dituntut adanya
kebijakan dan peran aktif dari pihak pengelola RSU Cut Meutia Lhokseumawe
40
Zainal Abidin : Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Beracun di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Lhokseumawe. USU e-Repository © 2008.
Untuk mempersiapkan, menyediakan dan melengkapi petugas pengumpul sampah medis B3 dengan alat-alat perlindungan kerja seperti tersebut diatas.
Dalam persektif UU No. 231997 masalah ini memuat adanya hak akan kewajiban antar pihak, yakni :
1 Hak bagi petugas pengumpul sampah medis B3 Petugas pengumpul sampah medis B3 di RSU Cut Meutia Lhokseumawe
berhak untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat pasal 5 ayat1, serta berhak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peranya dalam
pengelolaan lingkungan pasal 5 ayat 2 2 Kewajiban bagi pihak pengelola RSU Cut Meutia Lhokseumawe
Kewajiban ini mengacu pada ketentuan pasal 6 ayat2 di mana pelaku usaha danatau kegiatan diwajibkan untuk memberikan informasi yang benar dan
akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup atau hal ini pengelolaan limbah B3. Dengan demikian menurut ketentuan-ketentuan UU No. 231997 di atas
pihak pengelola RSU Cut Meutia Lhokseumawe tidak saja berkewajiban untuk mempersiapkan, menyediakan dan memperlengkapi petugas sampah medis B3
dengan alat-alat perlindungan khusus, tetapi juga berkewajiban untuk memberikan penjelasan, penyuluhan, dan pelatihan dalam rangka memberikan informasi
pengelolaan sampah medis B3 yang benar dan akurat, sekaligus merealisir hak kesehatan petugas kesehatan sampah medis B3 seperti dimaksud pasal 5 ayat 1 dan
2 UU No. 231997 di atas.
40
Zainal Abidin : Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Beracun di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Lhokseumawe. USU e-Repository © 2008.
Menurut PP No. 851999 sendiri masalah ini berkaitan dengan hierarki pengelolaan limbah B3 di mana antara lain menuntut digunakan teknologi bersih
Penjelasan Umum PP No. 851999. Jadi jelaslah bahwa baik UU No. 231997 dan PP No. 851999 telah mengisyaratkan perlunya kesadaran dan kesungguhan para
pihak terkait dalam kegiatan pengumpulan sampah medis B3 ini. c. Frekuensi Pengumpul
Frekuensi pengumpul sampah medis RSU Cut Meutia Lhokseumawe didasarkan atas hal-hal sebagai berikut:
1 Waktu pengumpulan Pada umumnya pengumpulan sampah medis B3 di RSU Cut Meutia
Lhoksumawe dilakukan sebanyak satu kali sehari. Khusus bagi tempat yang cukup produktif dalam menghasilkan sampah medis B3, pengumpulan bisa dilakukan
sampai dua kali untuk lebih jelasnya hal tersebut dapat digambarkan dalam tabel berikut :
Tabel 9: Jumlah Pengangkutan Sampah Medis Setiap Harinya Pada UnitRuangan RSU Cut Meutia Lhoksumawe tahun 2005
No Frekuensi Pengangkutan
Jumlah Persentase
1. 2.
Tidak menentu Satu kali atau lebih
16 100
Jumlah 16 100
40
Zainal Abidin : Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Beracun di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Lhokseumawe. USU e-Repository © 2008.
Waktu pengumpulan sampah medis B3 ini sebaiknya sesegera dan sesering mungkin sebab jika lebih sering dikumpulkan maka langkah berikutnya
yakni pengangkutan sebab jika lebih sering dikumpulkan maka langkah berikutnya yakni pengangkutan akan lebih mudah dilaksanakan, sehingga mikroorganisme tidak
sempat berkembang biak didalamnya dan resiko terbakar, terkena racun atau terinfeksi sampah medis B3 dapat dihindarkan baik terhadap petugas rumah sakit
terkait maupun terhadap pasien dan keluarganya. Hal tersebut penting sebab dapat mempengaruhi proses selanjutnya dari
upaya pengelolaan limbah B3 di RSU Cut Meutia Lhokseumawe, sekaligus merupakan bagian dari upaya untuk merealisasikan tujuan pengelolaan limbah B3
seperti dimaksud dalam pasal 2 PP No.851999 yakni antara lain:”… mencegah dan menanggulangi pencemaran danatau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan
oleh limbah B3”. 2 Jenis kegiatan
Dalam kegiatan pengumpulan sampah medis B3 perlu pula dilihat jenis kegiatan yang dilakukan di suatu unitruangan penghasilnya, sebab semakin tinggi
intensitas kegiatan tertentu dilakukan, maka akan semakin sering sampah medis B3 harus dikumpulkan.
3 Pengangkut Limbah B3 Dalam pasal 1 butir 6 PP No. 851999 dapat dilihat pengertian dari
pengangkutan limbah B3 :” Pengangkut limbah B3 adalah suatu kegiatan
40
Zainal Abidin : Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Beracun di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Lhokseumawe. USU e-Repository © 2008.
pemindahan limbah B3 dari penghasil danatau dari pengumpul danatau dari pemanfaat danatau ke pengolah danatau ke penimbun limbah B3”.
Sehubungan dengan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pengangkutan limbah B3 yang dilakukan di RSU Cut Meutia Lhokseumawe adalah suatu kegiatan
pemindahan limbah B3 yang berasal dari penghasil danatau dari pengumpul untuk selanjutnya di proses dalam tahap akhir, yakni pemusnahan ataupun penimbunan.
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa sebagian besar kegiatan pengelolaan limbah B3 di RSU Cut Meutia Lhokseumawe dilakukan dalam
lingkungan internal rumah sakit sehingga kegiatannya berada langsung di bawah koordinasi dan tanggung jawab pihak pengelola rumah sakit. Begitu pula halnya
dengan kegiatan pengangkutan sebagai salah satu unsur dari keseluruhan sistem pengelola limbah B3.
Oleh karena itu ketentuan pasal 40 ayat 1 huruf b PP No. 851999 yang membebankan kewajiban bagi pengangkut limbah B3 untuk memiliki izin
pengangkutan dari menteri Perhubungan setelah mendapat rekomondasi dari kepala instansi yang bertanggung jawab Bapedal, tidak berlaku bagio pengankutan limbah
klinis di RSU Cut Meutia Lhoksumawe, sebab izin tersebut ditujukan bagi pelaku usaha danatau kegiatan yang menyerahkan pengelolaan limbah B3-nya kepada
pihak lain, sebgaimana dimaksud ketentuan pasal 16 ayat2 UU No. 231997 dan PP No. 191994 yang terakhir di ubah dengan No. 851999.
Dengan demikian pihak pengelola rumah sakit harus benar-benar memperhatikan dan mengawasi jalannya sistem pengelolaan limbah B3 di RSU Cut
40
Zainal Abidin : Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Beracun di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Lhokseumawe. USU e-Repository © 2008.
Meutia Lhokseumawe sebab sebagian besar tahapan tersebut berada dalam tanggung jawabnya. Ketentuan mengenai hal tersebut secara tegas disebutkan dalam pasal 17
ayat 1 No. 231997, yakni :”Setiap penanggung jawab usaha danatau kegiatan wajib melakukan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun”.
Dari hasil pengamatan terlihat bahwa pengangkutan limbah B3 di RSU Cut Meutia Lhoksumawe dilakukan dengan menggunakan kereta dorong yang
sebahagiannya tidak tertutup, sedangkan di dalamnya belum ada pemisahan secara khusus antara sampah medis B3 dengan limbah biasa. Jadi baik sampah medis B3
maupun limbah biasa masih diangkut dalam kereta dorong yang sama pada saat yang bersamaan pula.
Kegiatan pengangkutan limbah B3 seperti yang dilaksanakan di RSU Cut Meutia Lhokseumawe di atas, dikhawatirkan akan dapat menimbulkan dampak
negatif terhadap lingkungan hidup pasal 1 butir 20 UU No. 231997, khususnya bagi lingkungan hidup pasal 1 butir20 UU No.231997, khususnya bagi
lingkungan rumah sakit dan lokasi pemukiman penduduk sekitar rumah sakit. Kekhawatiran tersebut didasarkan atas penggunaan kereta dorong limbah yang
sebahagiannya terbuka dan dibawa mengelilingi kompleks rumah sakit sehingga dapat menimbulkan terjadinya perkembangbiakkan dan penyebaran bibit penyakit.
Dalam perspektif UU No. 231997 kekhawatiran itu didasarkan atas sifat, konsentrasi dan jumlah limbah B3 yang secara langsung maupun tidak langsung
dapat mencemarkan danatau merusakkan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain pasal 1 butir 7 UU No.
40
Zainal Abidin : Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Beracun di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Lhokseumawe. USU e-Repository © 2008.
231997. Di samping itu pengangkutan limbah B3 yang dilakukan di RSU Cut Meutia Lhokseumawe tersebut juga bertentangan dengan tujuan dari pengelolaan
limbahB3, khususnya tujuan untuk mencegah terjadinya pencemaran danatau perusakan lingkungan hidup akibat limbah B3, seperti dimaksud pasal 2 PP No.
851999. Selanjutnya hal-hal yang secara khusus segera dibenahi dan dipersiapkan
oleh RSU Cut Meutia Lhokseumawe dalam masalah pengangkutan sampah medis B3 ini adalah
1 Memisahkan sampah medis B3 dengan non medis, hal ini harus didukung pula
pada tahapan sebelumnya yakni pengumpulan, sehingga kegiatan pemisahan dapat berjalan dengan lancar.
2 Menggunakan kereta dorong yang seluruhnya tertutup sehingga resiko
pencemaran lingkungan hidup akibat sampah medis B3 dapat dihindari. 3
Meningkatkan kesadaran dan pemahaman sumber daya manusia yang terkait dalam masalah pengelolaan limbah B3 atas pentingnya arti kegiatan yang
mereka lakukan dan adanya mekanisme hukum yang mengaturnya, yakni UU No. 231997 dan No. 851999.
4 Perlunya peran aktif dari masyarakat pasien, keluarganya maupun para
pengunjung yang bertanggung jawab Bapedal apabila ada hal-hal yang dianggap dapat mengancam kesehatan dan kualitas lingkungan hidup. Peran
aktif masyarakat tersebut dalam pasal 6 ayat 1 UU No. 231997 dijabarkan sebagai :”… kewajiban untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup
40
Zainal Abidin : Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Beracun di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Lhokseumawe. USU e-Repository © 2008.
serta mencegah dan menanggulangi pencemaran danatau perusakan lingkungan hidup”. Lebih jauh penjabaran tentang masalah peran serta pasal 55 ayat 1, 2
dan 3 PP No. 851999. Dengan demikian pihak pengelola RSU Cut Meutia Lhoksumawe dalam
hal ini harus segera mengambil kebijakan pembenahan, antara lain berdasarkan hal- hal tersebut di atas sehingga sistem pengelolaan limbah B3 yang berwawasan
lingkungan hidup dan berorientasi pada peraturan perundang-undangan yang berlaku benar-benar dapat dicapai dan diimplementasikan.
4. Pemusnahan Limbah B3 Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara, diketahui bahwa tahap
akhir dari sistem pengelolaan limbah klinis yang berupa pemusnahan di RSU Cut Meutia Lhokseumawe terdiri atas :
1. Penyerahan wewenang pemusnahan kepada kontraktor klining servis
2. penimbunan yang dilakukan secara internal di lingkungan rumah sakit
Dalam prakteknya kedua hal di atas memiliki keuntungan dan kerugian serta persyaratan hukum masing-masing, oleh karena itu pembahasan atas keduanya
dilakukan secara satu persatu sebagaimana uraian berikut ini : 1. Penyerahan wewenang pemusnahan kepada Kontraktor Klining Service
Dalam perspektif No. 231997 masalah penyerahan wewenang pengelolaan limbah termasuk penimbunanpemusnahan kepada pihak lain dapat
dijadikan sebagai alternatif apabila pelaku usaha danatau kegiatan yang bersangkutan tidak mampu untuk mengelola hasil usaha danatau kegiatannya.
40
Zainal Abidin : Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Beracun di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Lhokseumawe. USU e-Repository © 2008.
ketentuan tentang masalah tersebut diatur dalam pasal 16 ayat 2 UU No.231997 di mana disebutkan :”Penanggung jawab usaha danatau kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 dapat menyerahkan pengelolaan limbah tersebut kepada pihak lain”.
Meskipun ketentuan pasal 16 ayat 2 UU No. 231997 di atas tidak secara defenitif menentukan apakah limbah B3 termasuk dalam kategori limbah sperti
dimaksud dalam pasal itu, namun jika ketentuan pasal 1 butir 16 UU No. 231197 yang menyatakan bahwa :” Limbah adalah hasil usaha danatau kegiatan”, maka
dapat disimpulkan bahwa limbah B3 yang juga merupakan hasil dari suatu usaha danatau kegiatan termasuk dalam kategori limbah seperti dimaksud pasal 16 ayat
2 tersebut. Demikian Pula halnya dengan limbah B3 merupakan hasil dari kegiatan
rumah sakit dapat diserahkan pada pihak lain termasuk kontraktor klining service menyangkut wewenang kontraktor klining service untuk pengelola lingkungan hidup
yang dalam hal ini berupa pengelolaan limbah 33 UU No. 231997 telah mengaturnya dalam pasal 12 ayat 1 dan pasal 13 ayat 1 dimana antara lain
disebutkan adanya pendelegasian wewenang pengelolaan lingkungan hidup dari pusat kepada pemerintah daerah.
Dengan diserahkan proses pemusnahan limbah B3 dari pihak pengelola RSU Cut Meutia Lhokseumawe hanya terbatas pada kegiatan menghasilkan,
mengangkut dan mengumpulkan. Di satu sisi kebijakan ini sangat membantu efektifitas dan efisiensi kerja dari pihak-pihak terkait di RSU Cut Meutia
40
Zainal Abidin : Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Beracun di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Lhokseumawe. USU e-Repository © 2008.
Lhokseumawe, namun disisi lain hal ini berdampak pada rendahnya kesadaran dan tanggung jawab dari pihak-pihak terkait untuk melakukan tindakan khusus sebelum
limbah B3 tersebut diserahkan penanganannya kepada petugas kebersihan. Tindakan khusus dimaksud antara lain : belum adanya pemisahan sampah medis B3 dengan
sampah medis non B3, bahkan sampah medis B3 dan non B3 itu terkadang masih dicampurkan dengan limbah biasa. Di samping itu tindakan khusus yang berupa
sterilisasi disinfeksi terhadap sampah medis B3 juga terlihat belum dilaksanakan. Dalam tabel di bawah ini keadaan di atas dapat digambarkan sebagai berikut :
Tabel : Perlakuan Khusus Sterilisasi dan Desifeksi di UnitRuangan Sebelum Sampah Medis Diangkut Oleh Petugas Kebersihan
Kontraktor Klining Servis Tahun 2005.
No Perlakuan Khusus
Jumlah Persentase
1. 2.
Ada Tidak ada
5 100
Jumlah 5 100 Oleh karena itu di sini pihak pengelola RSU Cut Meutia Lhoksumawe
harus benar-benar memperhatikan dan membenahi masalah ini, sebab meskipun tanggung jawab pemusnahan sudah diserahkan kepada kontraktor klining servis ,
namun jika timbul pencemaran Limbah B3 karena kealpaan pihak RSU Cut Meutia Lhoksumawe maka perbuatan tersebut dapat diancam pidana seperti diatur dalam
pasal 42 dan pasal 44 ayat1 dan pasal 45 UU No. 231997.
40
Zainal Abidin : Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Beracun di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Lhokseumawe. USU e-Repository © 2008.
Dalam hal ini pidana ketentuan yang terkait langsung dengan masalah limbah B3 termasuk sampah medis B3 adalah pasal 44 ayat 1 di mana disebutkan
: Barang siapa yang dengan melanggar ketentuan-ketentuan perundang undangan yang berlaku, karena kealpaan melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 43, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 tiga tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,- seratus juta rupiah.
Selanjutnya dalam ayat 2 disebutkan :”Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat 1 mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana
diancam dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun dan denda paling banyak Rp. 150.000.000,- seratus lima puluh Juta Rupiah.
Oleh karena RSU Cut Meutia Lhokseumawe berbentuk sebagai bentuk hukum, maka ancaman pidana dalam pasal 44 tersebut dapat lebih diperberat lagi
sebagaimana diatur dalam pasal 45 yang menyatakan bahwa :” jika Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan
huku, perseroan, perserikatan, yayasan, atau organisasi lain, ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiga “.
Klasifikasi dari orang-orang yang terlibat dalam ancaman pidana tersebut di atas pengaturannya dapat dilihat pada pasal 46 ayat1 dan 2 UU No, 231997
Yakni: 1
Mereka yang memberi perintah atau bertindak sebagai pemimpin. 2
Mereka yang memiliki hubungan maupun hubungan lain
40
Zainal Abidin : Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Beracun di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Lhokseumawe. USU e-Repository © 2008.
Ketentuan-ketentuan pidana dari UU No. 231997 diatas kembali ditegaskan dalam pasal 63 dari PP No 851999 yang menyatakan bahwa :”Ancaman
pidana dikenakan bagi pelanggar yang melanggar ketentuan yang telah digariskan dalam PP di atas yang mengakibatkan danatau menimbulkan pencemaran danatau
perusakan lingkungan hidup, adapun ancaman pidana yang dimaksud tertuang dalam pasal 41, 42,43,44,45, dan 47 UU No. 2361997 tentang pengelolaan Lingkungan
Hidup”. Dengan demikian dapat dilihat bagaimana sanksi tegas yang akan diterima
oleh pihak pengelola RSU Cut Meutia Lhoksumawe dan petugas-petugas terkait apabila tidak bersungguh-sungguh mengelola sampah medis B3 sampai pada tahap
akhir sekalipun. 2. Penimbunan yang dilakukan secara internal di lingkungan rumah sakit.
Menurut pasal 1 butir 9 No. 851999 bahwa :” Penimbunan limbah B3 adalah suatu kegiatan menempatkan limbah B3 pada suatu fasilitas penimbunan
dengan maksud tidak membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan hidup”. Dari defenisi tentang penimbunan di atas, dapat ditarik 2 unsur penting,
yakni: 1.
Kegiatan menempatkan limbah B3 pada suatu fasilitas penimbun. 2.
Bertujuan untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup. Berkenaan dengan itu pasal 40 ayat 1 huruf a PP No. 851999 antara
lain menyebutkan bahwa :”… Penimbunan limbah B3 wajib memiliki izin operasi dari kepal instansi yang bertanggung jawab :”izin operasi yang dimasudkan pasal 40
40
Zainal Abidin : Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Beracun di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Lhokseumawe. USU e-Repository © 2008.
ayat 1 diatas, berguna untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup tersebut benar-benar terencana dan dapat diwujudkan.
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa penimbunan limbah B3 yang dilakukan di RSU Cut Meutia Lhoksumawe belum memiliki izin seperti diatur
dalam pasal 40 ayat 1 di atas, hal ini disebabkan penimbunan yang dilakukan tidak benar-benar ditujukan untuk limbah B3 tetapi lebih kepada sampah nonmedis
limbah biasa. Penimbunan seperti tersebut di atas dapat terjadi karena belum seluruh sampah medis B3 dan limbah biasa dipisahkan sehingga ketika petugas
penimbun RSU Cut Meutia Lhoksumawe menimbun limbah biasa maka sampah medis B3 ikut ditimbun kedalamnya. Adapun sampah pemisahan sampah medis B3
dan limbah biasa sebagaimana telah disbutkan sebelumnya tidak dilakukan pemisahan.
27
Meskipun penimbunan yang dilakukan oleh petugas RSU Cut Meutia Lhoksumawe sebenarnya ditujukan untuk limbah biasa namun karena di dalamnya
tertimbun pula sampah medis B3 maka menurut UU No. 231997 hal tersebut telah melanggar ketentuan dari pasal 20 ayat 1 yang menyatakan bahwa :”Tanpa suatu
keputusan Izin, setiap dilarang melakukan pembuangan limbah ke media lingkungan hidup”.
27
Ibid Selanjutnya mengenai tata letak dari fasilitas penimbunan, diatur dalam
ayat 4 yang menyebutkan :” Pembuangan limbah ke media lingkungan hidup
40
Zainal Abidin : Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Beracun di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Lhokseumawe. USU e-Repository © 2008.
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 hanya dapat dilakukan di lokasi pembuangan yang ditetapkan Menteri”.
Dari aspek pengelolaan lingkungan Hidup, hal tersebut juga dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pasal
1 butir 12 UU No. 231997, yaitu:” Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya mahkluk hidup zat, energi danatau komponen lain ke dalam
lingkungan oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan
peruntukkannya”. Di samping itu penimbunan tersebut juga bertentangan dengan upaya
pelestarian fungsi lingkungan hidup seperti diatur dalam pasal 1 butir 15 UU No. 231997 yang menyatakan bahwa:” pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah
rangkaian upaya untuk memlihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup”.
Pada butir ke 6 dijelaskan bahwa :” Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung pro kehidupan manusia dan
mahkluk hidup lain”, sedangkan “Daya tampung hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap Zat, energi danatau komponen lain yang masuk
atau dimasukkan ke dalamnya”. pasal 1 butir 8 UU No. 231997. Pelanggaran terhada[p sejumlah ketentuan UU No 231997 diatas dapat
diancam pidana penjara atau denda seperti diatur dalam pasal 43 ayat1 yang antara lain menyebutkan bahwa :
40
Zainal Abidin : Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Beracun di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Lhokseumawe. USU e-Repository © 2008.
Barang siapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sengaja melepaskan atau membuang zat, energi, danatau komponen
lain yang berbahaya dan beracun masuk di atas atau ke dalam tanah……., pada hal mengetahui atau sangat berasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut
dapat menimbulkan pencemaran danatau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain, diancam dengan pidana
penjara paling lama 6 enam tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- tiga ratus juta rupiah.
Sehubungan dengan itu sanksi administratif dapat dikenakan berdasarkan ketentuan dari pasal 62 ayat 2 PP No. 851999 yang menyatakan
bahwa :”Instansi yang bertanggung jawab akan menghentikan sementara kegiatan operasional atau mencabut B3, sampai pihak yang diberi peringatan mematuhi
ketentuan yang telah dilanggarnya”.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN