Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Beracun di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Lhokseumawe

(1)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora Dalam Program Studi Ilmu Hukum

Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatra Utara

Oleh

ZAINAL ABIDIN

037005028/ HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

MEDAN

2006


(2)

PANITIA UJIAN TESIS

Ketua : 1. Prof. Syamsul Arifin,SH,MH.

Anggota 2. Prof. Muhammad Abdul, SH

3. Prof. Dr. Alvi Syahrin,SH,MS

4. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum. 5. Dr. Pendastaren Tarigan, SH,MS.


(3)

Tempat / Tgl. Lahir : Idi Cut, 10 Nopember 1970

Jenis Kelamin : Laki - laki

Agama : Islam

Pekerjaan : Dosen Fakultas Hukum Malikussaleh

Pendidikan :

- Sekolah Dasar Negeri No.1 Idie Rayeuk Tahun 1984

- Sekolah Menengah Pertama Negeri No.1 Darul Aman 1987

- Sekolah Menengah Atas Negeri No.1 Idie Rayeuk Tahun 1990

- D III Pemasaran Fakultas Ekonomi, Unsyiah Tahun 1993

- Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Tahun 1999

- Program Studi Magister Ilmu Hukum sekolah Pascasarjana Universitas


(4)

Pertama-tama penulis memanjatkan Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala Karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar Magister Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.

Adapun tesis ini berjudul “ Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya di Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Lhokseumawe “.

Dalam penyelesaian tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Untuk itu perkenanlah penulis menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian studi ini, yakni :

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (k) selaku Rektor

Universitas Sumateta Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. Chairun Nisa B.,M.Sc selaku Direktur Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, sebagai ketua Program Studi

Magister Ilmu Hukum.

4. Bapak Prof. Syamsul Arifin, SH, M.H, Prof. Dr. Muhammad Abduh,

SH. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS. Selaku pembimbing yang telah membimbing penulis dalam penyusunan tesis ini. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, Hum Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS selaku penguji.

5. Orang tua tercinta, almarhum Tgk. Badaruddin H.Mohd.Thaib, semoga


(5)

atas segala perhatian, kasih sayang serta dukungan moril dan materil kepada penulis.

7. Abang-abang dan kakak dan adik-adikku tercinta di Jakarta, Bagok

Panah, Lhokseumawe dan Banda Aceh yang senantiasa memberi dukungan moril dan materil.

8. Istri dan anak-anakku tercinta, Hayatun Nufus, SE dan Verent Fitri

Shanty, Winda Safrianty, Muhammad Satria Syawal yang penuh kesabaran, pengorbanan, dan kasih sayang menemani penulis dalam suka dan duka.

9. Civitas Akademika Universitas Malikussaleh Lhokseumawe yang telah

memberi kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi S2 ke Universitas Sumatera Utara.

10.Civitas Akademika Universiatas Sumatera Utara di Medan yang telah

banyak membantu dalam proses belajar mengajar di kampus.

11. Rekan-rekan Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara di Medan yang selalu kompak dan penuh keceriaan menjalani hari-hari perkuliahan.

Penulis mengucapkan terimakasih atas bimbingan dan bantuan dari semua pihak.

Medan, Agustus 2006

Penulis

ZAINAL ABIDIN


(6)

JUDUL TESIS : PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DIRUMAH SAKIT UMUM DAERAH CUT MEUTIA LHOKSEUMAWE

NAMA MAHASISWA : ZAINAL ABIDIN NOMOR POKOK : 037005028

PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM

Menyetujui : Komisi Pembimbing

Prof. Syamsul Arifin, SH, MH Ketua

Prof. Muhammad Abduh, SH Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

Prof. Dr.Bismar Nasution, SH, MH Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B,.MSc NIP. 131 570 455 NIP. 130 535 85


(7)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora Dalam Program Studi Ilmu Hukum

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

ZAINAL ABIDIN

037005028/ HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2006


(8)

Prof. Syamsul Arifin, SH, MH. ** Prof. Muhammad Abduh, SH, ** Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS.**

Tujuan Penelitian adalah untuk mengetahui dasar hukum dari masalah Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, menurut Undang-undang No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP No. 85/1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) , serta meneliti penerapannya diRumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Lhokseumawe.

Pada gilirannya, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah Daerah dalam mengkaji penerapan dari peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan masalah limbah B3 terutama penerapannya di lingkungan Rumah Sakit. Khusus bagi Pihak Pengelola Rumah Sakit dan seluruh pihak terkait lainnya, Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan dalam upaya peningkatan kualitas kesehatan lingkungan sakit.

Data Primer dikumpulkan melalui hasil wawancara yang dilakukan terhadap para responden yang terdiri dari : Petugas/ruangan yang menghasilkan Limbah B3 dan petugas limbah. Data sekunder diperoleh daridata yang tersedia di RSUD Cut Meutia Lhokseumawe. Selanjutnya kedua jenis data yang diperoleh dari hasil penelitian tersebut diolah secara manual dan uraian dalam bentuk teks maupun tabel.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa (1). Dasar Hukum masalah Limbah B3 dalam undang-undang No. 23/1997 dapat diklasifikasikan atas 2 kelompok, yakni : pengaturan yang bersifat umum berarti bahwa ketentuan-ketentuan Undang-undang No. 23/1997 tersebut tidak mengatur masalah limbah B3, namun lebih baik menekankan pada hak dan kewajiban dari seluruh komponen masyarakat termasuk Pemerintah dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup yang dalam hal ini berupa upaya pengelolaan Limbah B3. Adapun ketentuan-ketentuan umum dari Undang-undang No 1 23/1997 yang terkait dengan ketentuan-ketentuan umum dari Undang-Undang No123/1997 yang terkait dengan masalah Limbah B3 adalah pasal 1 butir (2) tentang defenisi pengelolaan lingkungan hidup, pasal 5 ayat (1) dan (3) pasal 6 ayat (1) tentang kewajiban setipa orang untuk berperan Dalam pengelolaan Lingkungan Hidup, pasal 7 ayat (1) tentang peran dari masyarakat , pasal 8 ayat (1) samapai (3) tentang pengaturan dari peran dari masyarakat pasal 10 huruf c tentang Kewajiban Pemerintah Dalam pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam ketentuan-ketentuan umum seperti dimaksud di atas, dapat bagaimana pentingnya keterlibatan dan peran serta dari seluruh lapisan masyarakat termasuk Pemerintan dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup. Begitu


(9)

Limbah, pasal 17 tentang Kewajiban pengelolaan Limbah B3, pasal 20 ayat (1) tentang izin pembuangan limbah dan pasal 41 sampai dengan pasal 47 tentang ketentuan Pidana yang berkaitan dengan masalah limbah B3. Peraturan Pemerintah No. 85/1999 sendiri merupakan peraturan pelaksana dari Undang-undang No.23/1997 yang khusus mengatur masalah limbah B3. (2) penerapan Undang-undang No.23 /1997 dan PP No. 85/1999 dalam pengelolaan limbah di RSUD Cut Meutia Lhoksuemawe belum terlaksana dengan baik. Hal tersbeut dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan pengelolaannya dengan pihak-pihak : Penghasil, Pengumpul, Pengangkut, dan Penimbun. Pada pihak penghasil terlihat adanya alat perlindungan khusus seperti masker, sarung tangan, pakaian khusus dan lain-lain . menurut Undang-undang No. 23/1997 masalah tersebut antara lain memuat adanya hak dan kewajiban antar para pihak terkait,yakni : hak Petugas pengumpul unutk memperoleh lingkungan Hidup yang baik dan sehat (pasal 5 ayat 1) serta hak atas informasi lingkungan hidup yang terkait dengan perannya dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup (pasal 5 ayat 2). Sebaliknya Pihak pengelola RSUD Cut Meutia Lhoksuemawe berkewajiban untuk memberikan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan pada Petugas sampah medis B3 sebagai tuntutan realisasi dari ketentuan pasal 6 (2) Undang-undang No. 23/1997 yang mengatur kewajiban untuk memberikan informasi yang benar dan akurat dalam pengelolaan lingkungan hidup atau yang dalam hal ini berupa pengelolaan Limbah B3. menurut PP No.85/1999 sendiri masalah tersebut antara lain terkait dengan tuntutan penggunaan teknologi bersih Pada pihak pengangkut terlihat bahwa sarana pengangkutan limbah B3 belum tertutup seluruhnya sehingga dikhawatirkan akan mencerminkan lingkungan hidup (pasal 1 butir 17 Undang-undang No 23/1997) menurut PP No. 85/1999 pengangkutan seperti dimaksud di atas dianggap bertentanggan dengan upaya pencegahan pencemaran limbah B3 (pasal 2). Tahap akhir atau tahap pemusnahan dilakukan dengan jalan, yakni : pendelegasian wewenang pada Pemerintah Daerah Kota Medan dan penimbunan .. Menurut Undang-undang No. 23/1997dan PPNo. 85/1999 pilihan pertama lebih sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada


(10)

KATA PENGANTAR………... iii

DAFTAR ISI……….. iv

DAFTAR TABEL………... vii

BAB I : PENDAHULUAN………. 1

A. Latar Belakang……… 1

B. Perumusan Masalah……… 9

C. Tujuan Penelitian………... 10

D. Manfaat Penelitian………. 10

E. Keaslian Penelitian……… 11

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA………. 12

A. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun……… 12

B. Pemusnahan Limbah B3 Rumah Sakit……….. 16

C. Kategori Limbah……… 21

D. Penanganan dan Penampungan………. 22

E. Pelaksanaan Pengelolaan……… 23


(11)

Beracun ……… 32

I. Konsep Waste Management Dalam Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun……… 35

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN……… 40

Bentuk Penelitian……… 40

Populasi dan Sampel……….. 40

Metode dan Instrumen……… 40

Tehnik Pengumpul Data……… 40

Analisa Data……….. 40

Kerangka Konseptual………. 41

BAB IV : HASIL PENELITIAN………. 42

A. Ketentuan-ketentuan UU No. 23/1997 dan PP No. 85/1999 yang berkaitan dengan masalah Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan beracun (B3)……… 42


(12)

Masalah Pengelolaan Limbah B3……… 44

3. Pengaturan PP No. 85/1999 Atas Masalah Pengelolaan Limbah B3……….. 49

B. Penerapan UU No. 23/1997 dan PP No. 85/1999 di RSUD Cut Meutia Lhoksuemawe……… 53

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN……… 80

A. Kesimpulan……….. 80

B. Saran………. 81

DAFTAR PUSTAKA


(13)

undangan

Tabel 2 : Jumlah Kontainer Medis Yang Dibutuhkan di Rsu Cut Meutia Lhoksumawe

Tabel 3 : Kualitas Kontainer Limbah di Unti/Ruangan Penghasil Limbah B3 RSU Cut Meutia Lhokseumawe

Tabel 4 : Jumlah Penggunaan Pakaian Pelindung Petugas Limbah B3 RSU Cut Meutia Lhokseumawe

Tabel 5 : Jumlah Pengangkutan Limbah Setiap Harinya Pada Unit /Ruangan RSU Cut Meutia Lhokseumawe

Tabel 6 : Perlakuan khusus (Sterilisasi dan Desifeksi) di unit / Ruang sebelum limbah diangkat oleh petugas


(14)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

Rumah Sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan, tempat berkumpulnya

orang sakit maupun orang sehat, atau dapat menjadi tempat penularan penyakit serta

memungkinkan terjadinya pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan, jadi

untuk menghindari resiko dan gangguan kesehatan maka perlu penyelenggaraan

kesehatan lingkungan rumah sakit sesuai dengan persyaratan kesehatan.

Selanjutnya dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No

IV/MPR/1999-2004 dinyatakan bahwa kehendak Politik (Political Will) Pemerintah

Indonesia dalam upaya pembangunan bidang kesehatan, yaitu :

1. Pemulihan dan rehabilitasi sejak pembuahan dalam kandunagn sampai lanjut

usia.

2. Meningkatkan dan memelihara mutu lembaga dan pelayanan kesehatan

melalui pemberdayaan manusia secara berkelanjutan dan sarana prasarana

dalam bidang Medis, termasuk ketersediaan obat yang dapat dijangkau oleh

masyarakat.1

Oleh karenanya pembangunan di Indonesia berarti menuju kepada perubahan

manusia Indonesia untuk menjadi manusia pembangunan manusia tanggap dan

mudah menyesuaikan diri dengan alam modern, serta mampu menggunakan potensi


(15)

Perubahan terhadap manusia ini dapat dilaksanakan dengan menggunakan

kaidah hukum sebagai salah satu sarananya. Dengan demikian kaidah – kaidah

hukum sebagai alat untuk merekayasa masyarakat mempunyai arti penting, terutama

dalam perbuahan – perubahan yang dikehendaki atau perubahan – perubahan yang

direncanakan. Meskipun demikian keberhasilan perubahan tersebut akan sangat

tergantung pada kemampuan pelopor pembangunan untuk membatasi terjadinya

akibat – akibat sampingan yang mungkin timbul sebagai akibat dari perubahan yang

terjadi. Kemampuan untuk membatasi terjadinya diorganisasi selanjutnya

tergantung suksesnya proses pelembagaan dan unsur – unsur baru yang

menyebabkan terjadinya perubahan – perubahan tersebut.

Diberlakukannya Undang – undang No. 23 Tahun 1997 dimaksudkan pula

untuk perubahan masyarakat dalam tata hidupnya, khususnya dalam bidang

pengelolaan lingkungan hidup dengan segala aspeknya, sesuai dengan apa yang

dikehendaki oleh Pemerintah selaku pelopor pembangunan.

1

BAB IV.F. 1 a. dan b tentang arah kebijakan bidang sosial budaya sub bidang kesehatan dan kesejahteraan sosial dalam Tap MPR tersebut.

Keberadaan Undang–undang itu juga telah memberikan hak kewajiban dan

wewenang kepada manusia Indonesia untuk melakukan pengelolaan lingkungan

hidup.

Selain itu pula setiap orang mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan


(16)

orang yang menjalankan suatu bidang usaha untuk memelihara kelestrian

kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang untuk menunjang

pembangunan yang berkesinambungan.2 Kewajiban mana dicantumkan dalam

setiap izin yang yang dikeluarkan oleh insatansi yang berwenang.

Dilihat dari isi Undang –undang No. 23 tahun 1997 telah meletakkan dasar

yuridis dalam memelihara kelestarian dan kemampuan lingkungan hidup. Sehingga

apabila terjadi kerusakan terhadap lingkungan, maka setiap orang berhak

memberikan reaksi hukum. Reaksihukum ini dapat terjadi karena tergantungnya

lingkungan hidup pada suatu wilayah, baik akibat pencemaran udara, tanah dan air,

maupun gangguan yang berupa ketidak tentraman masyarakat akibat timbulnya

suatu kegiatan yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha dalam industri

pertambangan, perikanan, perhotelan dan sebagainya.

Kesehatan manusia tergantung juga pada lingkungan yang sehat, termasuk air

bersih, pembangunan limbah yang memenuhi syarat kesehatan dan persediaan

pangan sehat yang memadai.3 Saat ini limbah berbahaya yang mempengaruhi

kesehatan manusia dan lingkungan makin meningkatkan jumlahnya. Namun banyak

negara tidak mempunyai keahlian untuk menangani masalah tersebut. Pemerintah

seringkali kekurangan informasi tentang berapa banyak dan jenis pencemaran yang

dikeluarkan dan apa resikonya bagi manusia serta lingkungan.

Salah satu penyebab dari terjadinya pencemaran lingkungan adalah

mengenai limbah B3 yang sangat berhubungan erat dengan aktifitas-aktifitas


(17)

Rumah Sakit, di mana rumah sakit menyediakan fasilitas rawat tinggal dalam

disadari sebagai pelayanan pengobatan dan perawatan. Limbah rumah sakit mulai

disadari sebagai bahan buangan yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan,

lingkungan karena berbagai bahan yang terkandung di dalamnya dapat menimbulkan

dampak kesehatan.

Secara umum limbah rumah sakit ada dua macam yaitu limbah dan limbah

non medis. Limbah disebut juga limbah B3 khusus rumah sakit yang merupakan

limbahindekssius. Pengelolaan limbah yang kurang baik akan memberikan

pengaruh yang negatif terhadap masyarakat dan likungan. Limbah akan menjadi

sumber makanan dan tempat berkembang baiknya meningkatkan kesehatan

lingkungan rumah sakit dengan melakukan penanganan limbah medis dengan baik

dan memenuhi syarat kesehatan, guna menghindari penularan penyakit infeksi di

rumah sakit.

2

Harun.M Husen, Berbagai aspek hukum analisis mengenai dampak lingkungan (Jakarta : 1992), hal. 1


(18)

3

Ibid, Hal 11

B. Perumusan Masalah

Limbah rumah sakit dapat dianggap sebagai mata rantai penyebaran penyakit

menular, limbah bisa menjadi tempat tertimbulnya organisme penyakit. Di samping

itu didalam limbah juga terkandung berbagai bahan kimia beracun dan benda-benda

tajam yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan, debu dalam sampah dapat

menimbulkan gangguan kesehatan, debu dalam sampah jug dapat menimbulkan

pencemaran udara yang akan menyebabkan kuman penaykit dan mengkontaminasi

peralatan medis dan makanan.

Limbah rumah sakit dapat di golongkan antara lain menurut jenis unit

penghasil dalam garis besarnya. Untuk keperluan pengelolaan limbah B3 tiap rumah

sakit dapat menyusun sendiri dan disesuaikan dengan kondisi setempat dan

kemampuan pengelolaan.

Permasalahan yang akan di bahas oleh penulis dalam tesis ini adalah sebagai

berikut :

- Bagaimana penerapan UU No. 23/1997 dan PP No. 85/1999 dalam

pengelolaan limbah B3 di Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia

Lhokseumawe.


(19)

1. Untuk mengetahui pengaturan yuridis masalah limbah B3 di dalam UU No.

23/1997 dan PP No. 85/1999.

2. Untuk mengetahui sejauh mana peranan UU No. 23/1997 dan PP. 85/1999 dalam

limbah B3 di Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Lhokseumawe.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi kepentingan :

1. Secara Teoritis dapat menambah pengetahuan dan sebagai bahan informasi

ataupun sebagai bahan perbandingan bagi peneliti di bidang lingkungan hidup

dan bagi pemerhati lingkungan hidup atau acuan untuk penelitian yang sejenis

bagi pihak-pihak yang terlibat didalamnya (Pemerintah

Daerah/Dinas/Instansi/Badan dan Masyarakat).

2. Praktis

a. Diharapkan berguna sebagai bahan dalam menyusun pelaksanaan

kegiatan penyehatan lingkungan rumah sakit yang merupakan bagian dari

rencana program rumah sakit di Aceh Utara.

b. Sebagai bahan masukan kepada pihak pemerintah daerah kabupaten

tentang mengambil suatu kebijakan yang tepat dan benar, dalam

menangani aspek-aspek yuridis pada masalah-masalah lingkungan hidup


(20)

BAB III

METODE PENELITIAN

Bentuk Penelitian

Bentuk penelitian adalah bentuk deskriptif, yaitu melihat gambaran teknis

tata cara pengolahan limbah dan permasalahannya.

Populasi dan Sampel

Populasi :

- Seluruh limbah yang dihasilkan oleh seluruh ruangan atau unit penghasil

limbah rumah sakit.

- Seluruh petugas sampah dan instalasi ruangan yang menghasilkan limbah di

rumah sakit.

Metode dan Instrumet

Metode dalam penelitian ini adalah wawancara, kuisioner dan

observasiInstrumen dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara /kuisioner

dan checklist

Teknik Pengumpulan data

Data primer di peroleh melalui wawancara dengan petugas unit ruangan

yang menghasilkan limbah, petugas sampah. Data skunder di peroleh dari data

yang tersedia di rumah sakit.


(21)

F. Kerangka Konseptual

Dari aktivitas/kegiatan rumah sakit akan menghasilkan limbah B3

sebagai hasil sampingan dari pengobatan, perawatan dan diagnostic, agar limbah ini

tidak menghasilkan infeksi silang dan merusak lingkungan rumah sakit, maka

pengolahannya harus dilakukan dengan sebaik-baiknya.

Untuk melaksanakan pengolahan limbah B3 terdapat berbagai faktor

yang mempengaruhi dan membentuk suatu stuktur variabel yang berhubungan erat

satu sama lain. Variabel tersebut adalah sebagai berikut :

- Jumlah Pengunjung

- Sarana dan fasilitas yang digunakan

- Tata cara teknis pengelolaan

- Jumlah tenaga atau petugas dan alat perlindungan kerja.


(22)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Ketentuan-ketentuan UU No.23/1997 dan PP No 85/1999 yang Berkaitan dengan Masalah Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) 1. Pengaturan Umum UU No. 23/1997 yang Berkaitan dengan Pengelolaan

Limbah B3

“Lingkungan hidup Indonesia yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa

kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan Karunia dan Rahmat-Nya yang

wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar tetap menjadi sumber dan

penunjang hidup bagi rakyat dan bangsa Indonesia serta makhluk hidup lainnya

demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup sendiri”. (Penjelasan Umum UU

No. 23/1997).

Upaya pembangunan yang berkelanjutan dan pengembangan kemampuan

lingkungan hidupseperti yang dimaksud pasal 1 butir (3) UU No. 23/1997

didefinisikan, “yakni : ……” upaya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan

lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan

hidup termasuk sumber daya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin

kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa

depan”. Dari segi aspek kesehatan, pengelolaan lingkungan hidup itu berguna untuk


(23)

tersebut telah direspons oleh UU No. 23/1997 dimana dalam pasal 5 ayat (1)

disebutkan bahwa : “Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan

hidupyang baik dan sehat”. Lebih lanjut dalam ayat (2) dan (3) diberikan pula hak

untuk memperoleh informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan pengelolaan

lingkungan hidup serta hak untuk berperan di dalamnya. Untuk memperoleh haknya

tersebut maka UU No. 23/1997 memberi kewajiban pada setiap orang untuk ikut

memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup (pasal 6 ayat (1) UU No.23/1997.

khusus bagi pelaku usaha dan/atau kegiatan diwajibkan untukmemberikan informasi

yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup (pasal 6 ayat (2) UU

No. 23/1997).

Dalam konteks yang lebih general , pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 23/1997)

juga memberikan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya bagi seluruh

masyarakat untuk berperan dalam Pengelolaan lingkungan hidup. Partisipasi

masyarakat yang berupa hak dan kewajiban untuk berperan dalam pengelolaan

lingkungan hidup itu diatur dan ditentukan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud

pasal 8 ayat (1), (2) dan (3).

Pemerintah sendiri sebagai pihak yang berkompeten telah dibebankan

beberapa kewajiban sebagaimana diatur dalam pasal 10, antara lain dalam huruf (c)

disebutkan bahwa pemerintah berkewajiban untuk : “mewujudkan, menumbuhkan,

mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha dan

pemerintah dalam upaya pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan


(24)

mengembangkan dan meningkatkan kesadaran akan hak dan tanggung jawab

masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup antara masyarakat, dunia usaha dan

pemerintah dalam upaya pelestarian dan daya tampung lingkungan hidup.

Di sini dapat dilihat bagaimana pentingnya keterlibatan dari berbagai pihak

dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup, yakni : keterlibatan masyarakat, dunia

usaha (termasuk dalam hal ini pengelolaan Rumah Sakit ) dan pemerintah sebagai

pihak yang berkompeten untuk mengatur pelaksanaannya.

Pengelolaan Limbah B3 merupakan bagian integrasi dari pengelolaan hidup

sekaligus sebagai upaya untuk merealisasikan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

2. Pengaturan Secara Rinci dari UU No. 23/1997 Atas Masalah Pengelolaan

Limbah B3

Menurut pasal 1 butir 16 dan 18 “Limbah berbahaya dan beracun adalah sisa

suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun

yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung

maupun tidak langsung dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan dapat

membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta

makhluk hidup lainnya.

Berikut akan dibahas ketentuan-ketentuan UU No. 23/1997 yang terkait

dengan masalah limbah B3


(25)

Dalam pasal 14 disebutkan bahwa untuk menjamin pelestarian fungsi

lingkungan hidup, setiap usaha dan/atau kegiatan dilarang melanggar baku mutu

lingkungan dan kriteria kerusakan lingkungan hidup. Baku Mutu Lingkungan

diperlukan untuk menetapkan apakah telah terjadi kerusakan lingkungan, artinya

apabila keadaan lingkungan telah ada di ambang batas baku mutu lingkungan, maka

lingkungan hidup tersebut telah rusak dan/atau tercemar.

b. Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)

AMDAL secara yuridis diartikan sebagai kajian mengenai dampak besar dan

penting usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang

diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha

dan/atau kegiatan.

Instrumen AMDAL ini sangat berperan dalam pengaturan pengelolaan

limbah B3. dengan adanya instrumen ini, maka hukum memberikan beberapa

kewajiban tertentu kepada pelaku usaha dan/atau kegiatan yang menghasilkan

limbah B3 untuk melakukan pemantauan atau pengeloaan terhadap limbah B3 yang

mereka hasilkan. Dengan demikian resiko tercemarnya atau rusaknya lingkungan

dapat diperhitungkan dan kegiatan penanggulangannya dapat segera dilaksanakan.

Meskipun demikian, jumlah kegiatan yang wajib AMDAL tidak mencerminkan

keseluruhan jumlah kegiatan pengolah dan penghasil limbah B3. Jumlah kegiatan


(26)

Jumlah kegiatan Pengolah dan Penghasil B3 yang terkena AMDAL jauh lebih kecil

dari pada jumlah kegitan penghasil dan pengolah yang sebenarnya ada di Indonesia.

Sebaliknya kegiatan-kegiatan yang berskala kecil yang memproses dan

mengahasilkan limbah B3 dapat luput dari AMDAL jika kegiatan-kegiatan itu tidak

memenuhi kriteria yang berdampak penting. Oleh karena itu, pemecahan masalah

terhadap ancaman pencemaran lingkungan akibat limbah B3 yang bersumber dari

kegiatan-kegiatan yang luput dari kriteria wajib AMDAL harus dilakukan melalui

Undang-undang yang khusus mengatur tentang pengelolaan limbah B3 sebagaimana

halnya rumah sakit.

c. Audit Lingkungan

Dalam UU No. 23/1997 penerapan audit lingkungan diatur dalam pasal 28di

mana disebutkan audit lingkungan ini bersifat suka rela. Namun dalam keadaan

tertentu pelaksanaan audit lingkungan oleh badan usaha berdasarkan UU No.

23/1997 dapat bersifat wajib sebagaimana diatur dalam pasal 29 ayat (1), (2), (3),

(4), dan (5).

d. Kewajiban pengelolaan limbah dan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun

kewajiban untuk mengelola limbah diatur dalam pasal 16 ayat (1) UU No.

23/1997 di mana disebutkan bahwa : “ Setiap Penanggung jawab usaha dan/atau

kegiatan, wajib melakukan pengelolaan limbah hasil usaha dan/atau kegiatan.

Batasan pengertian dari pengelolaan limbah dimuat pada bagian penjelasan


(27)

penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, limbah

termasuk penimbunan hasil pengolahan sendiri.

e. Izin Pembuangan Limbah

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa pengelolaan limbah B3 meliputi

beberapa hal, di antaranya membuang limbah B3 itu tidak bisa dilakukan begitu saja

tanpa terlebih dahulu memiliki izin dari pejabat pemerintah yang berkompeten.

Ketentuan yang mengatur masalah perizinan ini dimuat dalam pasal 20 ayat (1) yang

menyebutkan bahwa :” Tanpa suatu keputusan izin, setiap orang dilarang melakukan

pembuangan limbah ke media lingkungan hidup”.

Pembuangan limbah B3 ke media lingkungan hidup sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) tersebut diatas hanya dapat dilakukan di lokasi pembuangan yang

ditetapkan oleh menteri seperti diatur dalam pasal 20 ayat (4) UU No. 23/1997

f. Pelarangan impor limbah B3

Pasal 21 secara tegas menyebutkan bahwa :” Setiap orang dilarang

melakukan impor limbah B3”, Kebijakan pelarangan impor limbah B3 ini

merupakan penjabaran dari sasaran pengelolaan lingkungan hidup terutama yang

dimuat dalam pasal 4 huruf (f), yakni :” Terlindunginya Negara Kesatuan Republik

Indonesia terhadap dampak usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah negara yang

menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

g. Ketentuan pidana

sebagai upaya represif, mengingat pentingnya upaya pelestarian dan


(28)

Hukum Pidana di sini diterapkan dengan tetap memperhatikan azas subsidiaritis,

yaitu hukum pidana di daya gunakan apabila sanksi di bidang hukum yang lain

seperti sanksi administrasi, sanksi perdata dan alternatif penyelesaian sengketa

lingkungan hidup tidak lagi efektif atau apabila tingkat kesalahan relatif berat atau

dampak yang ditimbulkannya meresahkan masyarakat.

Sehubungan dengan itu pengelolaan limbah B3 apabila tidak dilakukan

secara benar dan baik karena sifatnya akan mengakibatkan pencemaran atau

kerusakan yang berat terhadap lingkungan hidup sehingga pada gilirannya akan

meresahkan masyarakat, di sinilah letak pentingnya hukum pidana dalam UU No.

23/1997, yakni di satu sisi sebagai upaya antisipasi dan di sisi lain sebagai upaya

represif. Hal ini harus benar-benar dipahami dan didasari oleh pelaku usaha dan/atau

kegiatan, khususnya dalam hal ini pihak pengelola rumah sakit sebagai pihak yang

berkompeten.

3. Pengaturan PP No. 85/1999 Atas Masalah Pengelolaan Limbah B3

Menurut pasal 1 angka 3 PP ini, pengelolaan limbah B3 di defenisikan

sebagai :”…. Rangkaian kegiatan yang mencakup reduksi, penyimpanan,

pengumpulan, pengangkutan, pemanfatan , pengelolaan dan penimbunan limbah

B3”.

Dari defenisi di atas selanjutnya dapat disimpulkan adanya keterlibatan

beberapa pihak yang merupakan subjek pengelolaan limbah B3 sebagaimana diatur


(29)

− Penghasil Limbah

− Pengangkut limbah

− Pemanfaatan limbah

− Pengolah limbah

− Penimbun limbah

Dalam PP No. 85/1999 ini disebutkan bahwa pengelolaan limbah B3

ditujukan untuk : “ mencegah dan menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan

lingkungan hidup yang diakibatkan limbah B3 serta melakukan pemulihan kualitas

lingkungan yang sudah tercemar sehingga sesuai dengan fungsinya kembali” (pasal

2 PP No. 85/1999).

Tujuan pengelolaan limbah B3 seperti disebutkan pasal 2 di atas meski lebih

spesifik (adanya pencegahan, penanggulangan dan pemulihan kualitas lingkungan)

dari tujuan yang disebutkan dalam UU No. 23/1997 namun secara substantif

keduanya bertujuan untuk melindungi lingkungan hidup dari resiko pencemaran

limbah B3

1. Peizinan

Jika di dalam UU No 23/1997 ketentuan mengenai perizinan hanya diatur

secara singkat, maka dalam PP No 85/1999 ini masalah perizinan diatur sedemikian

rupa sebagai berikut:


(30)

a.Penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan dan/atau

penimbunan limbah B3 wajib memiliki izin operasi dari kepala instansi

yang bertanggung jawab.

b.Pengangkut limbah B3 wajib memiliki izin pengangkutan dari menteri

Perhubungan setelah mendapat rekomondasi dari kepalainstansi yang

bertanggung jawab.

c.Pemanfaatan limbah B3 sebagai kegiatan utama wajib izin pemanfaatan

dari instansi yang berwewenang memberikan izin dari kepala instansi yang

bertanggung jawab (pasal 40 ayat (1).

2. Pengawasan

Ketentuan tentang pelarangan impor limbah B3 seperti yang diatur dalam

pasal 23 UU/1997 kembali dimuat dalam pasal ayat (1) PP. No. 85/1999. hanya saja

dalam PP No. 85/1999 lebih diperinci di mana dalam pasal 53 ayat (5) disebutkan

pula bahwa : “ ….. tata niaga limbah B3 ditetapkan oleh menteri yang ditugasi dalam

bidang perdagangan setelah mendapat pertimbangan dari kepala instansi yang

bertanggung jawab”.

Menyangkut masalah pengawasan baik menurut pasal 22 UU No. 23/1997

maupun pasal 47 ayat (1) PP No. 85/1999, dikoordinir oleh menteri, sedangkan

pelaksanaannya diserahkan pada instansi yang bertanggung jawab.


(31)

Dalam UU No. UU No. 23/1997 peran masyarakat diatur pada pasal 7

Ayat (1) dan (2) sedangkan dalam PP No 85/1999 pengaturannya terdapat pada pasal

54 ayat (1) dan (2). Apabila UU No. UU No. 23/1997 mengklasifikasikan partisipasi

masyarakat atas dua bagian, yakni : hak untuk berperan disatu sisi dan kewajiban

untuk berperan di sisi lain, maka PP No. 85/1999 merangkum hak dan kewajiban

tersebut sekaligus dalam satu ketentuan.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa PP No 85/1999 yang merupakan

peraturan pelaksana dari UU No. 23/1997 telah memenuhi fungsinya sebagai suatu

bentuk peraturan yang menjabarkan peraturan perundang-undangan di atasnya.

Penerapan UU No. 23/1997 di RSU Daerah CUT MEUTIA LHOKSEUMAWE

Dari hasil penelitian antara lain diketahui bahwa limbah B3 yang

dihasilkan oleh RSU adalah limbah yang bersifat infeksius menurut PP No. 85/1999

langkah pertama yang harus dilakukan dalam rangka pengelolaan limbah B3 adalah

mengindentifikasikan limbah dari penghasil tersebut apakah limbah B3 atau tidak.

Tahapan-tahapan yang harus digunakan untuk mengidentifikasikan limbah B3

pengaturannya

Pasal 6 PP No/1999.

Daftar jenis limbah B3 sebagaimana dimaksud atas selanjutnya dapat

dilihat pengaturannya pada pasal

a. Limbah B3 dari sumber tidakspesifik


(32)

c. Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan dan buangan produk yang

tidak memenuhi spesifikasi

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Limbah B3 yang

dihasilkan RSU Daerah Cut Meutia Lhoksumawe merupakan limbah B3 dari

spesifik sebab limbah tersebut berasal dari sisa proses suatu kegiatan (RSU Daerah

Cut Meutia ) yang secara spesifik dapat ditentukan berdasarkan kajian limbah. Hal

ini mengacu pada apa yang disebutkan dalam penjelasan pasal 7 ayat (1) huruf (b)

PP No.85/1999.

Kepastian tentang teridentifikasinya sampah medis RSU sebagai limbah

B3 juga dapat dilihat dari terpenuhinya beberapa kriteria B3 sebagaimana diatur

dalam pasal 7 ayat (3) PP No. 85/1999, antara lain :”…. Limbah tersebut memiliki

karakteristik …..,beracundan/atau bersifat dan/atau menyebabkan infeksi dan

bersifat korosif”.

Dengan telah terpenuhinya beberapa unsur dari kedua tahapan diatas maka

uji toksikologi tidak lagi perlu dilakukan, sebab sampah medis yang dihasilkan oleh

RSU Daerah Cut Meutia Lhokseumawe menurut PP. No. 85/1999 di atas telah

teridentifikasi sebagai limbah B3.

Oleh karena itu pihak pengelola Rumah sakit 986/MENKES/PER/XI/1992

sebagai pihak yang penyehatan lingkungan rumah sakit, tidak saja pengelolaan

limbah bahan 17 ayat (1) No. 23/1997.

Menyangkut masalahpengelolaan limbah B3 menurut pasal 17 ayat (2) UU


(33)

mengedarkan, menyimpan, menggunakan dan/atau membuang, sebaliknya menurut

PP No 85/1999 yang merupakan produk hukum yang lebih baru, kegiatan tersebut

lebih kompleks di mana meliputi :

− Reduksi

− Pengemasan

− Penyimpanan

− Pengumpulan

− Pengankutan

− Pemanfaatan

− Pengolahan

− Penimbunan

Dari hasil wawancara dan pengamatan di lapangan dapat disimpulkan

bahwa sistem pengelolaan limbah klinis B3 di RSU Daerah Cut Meutia

Lhoksumawe dari sejumlah kegiatan dengan keterlibatan beberapa pihak di

dalamnya,19 Yaitu :

− Penghasil

− Pengumpul

− Pengangkut


(34)

Dalam Uraian dibawah ini akan di bahas kegiatan-kegiatan dari

masing-masing pihak dalam rangka pengelolaan limbah B3 di RSU Daerah Cut Meutia

Lhoksumawe.

1. Teknik Operasional Pembuangan Limbah B3 Di RSU Daerah Cut Meutis

Lhoksumawe

Sistem pembuangan Limbah B3 dilakukan dengan cara terpisah yaitu

pembuangan Limbah B3 yang bersifat padat dan limbah B3 yang bersifat cair.

Pembuangan limbah B3 yang bersifat padat dilakukan pengumpulan dari dari

tiap-tiap unit kerja yang ada di RSU Daerah Cut Meutia Lhoksumawe oleh petugas

kebersihan yang mana diangkut secara sekaligus tanpa lebih dahulu dilakukan

pemisahan antara sampah medis yang bersifat B3 dengan sampah lainnya.20

Hal ini disebabkan oleh karena kurangnya pengetahuan/informasi petugas

kebersihan tentang teknik pemisahan dari pada sampah medis B3 dengan sampah

lainnya.21

Setelah dikumpulkan dan kemudian diangkut oleh petugas sampah,

limbah tersebut dikumpulkan pada suatu tempat dan kemudian diangkut oleh petugas

kebersihan dari Kontraktor Klining Service dan untuk kemudian dibuang ke tempat

pembuangan sampah akhir (TPA). Tersendiri yang setelah itu dibakar setiap harinya.

Sedangkan limbah B3 yang bersifat cair pembuangan dilakukan hanya

melalui got atau parit yang mengalir di dalam RSU Daerah Cut Meutia Lhoksumawe

yang kemudian mengalir keluar got atau parit yang ada di depan RSU Cut Meutia


(35)

18

Hasil wawancara dengan Ibu Lindawati, kepala sarana Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Lhokseumawe, pada tanggal 15 Mei 2005.

20

Ibid

21

Saniya, Petugas Kebersihan.

2. Penghasil Limbah B3

Pihak penghasil di sini terdiri dari banyak orang atau petugas rumah sakit,

khususnya yang berada langsung di sektor pengobatan, perawatan dan penunjang

diagnostik/pelayanan. Dari data yang ada tercatat karyawan yang berhubungan di

sektor ini sebagai penghasil limbah B3 berjumlah 400 orang. Jumlah tersebut dengan

perincian sebagai berikut.

− 50 orang tenaga dokter (baik dokter umum maupun spesialis)

− 342 orang tenaga paramedis perawat

− 8 orang apoteker 23

Limbah yang dihasilkan oleh penghasil, khususnya yang teridentifikasi

sebagai limbah B3 yang di hasilkan penghasil harus diawasi tata cara

penampungannya secara ketat dan sungguh-sungguh. Dalam hal ini pihak yang

bertanggung jawab atas masalah penampungan tersebut adalah Bagian sarana di

RSU Cut Meutia Lhoksumawe. Dari hasil wawancara diketahui bahwa Kabag

Sarana telah mengetahui tentang limbah B3, namun belum memahami


(36)

Pengetahuan Kepala Bagian Sarana atas masalah pengelolaan limbah B3

cukup penting mengingat ketentuan pasal 6 ayat (2) UU No. 23/1997 yang

memberikan kewajiban pada usaha dan/atau kegiatan untuk memberikan informasi

yang benar dan akurat mengenai pengelolaan dimaksud. Tanpa pengetahuan yang

benar mengenai masalah tersebut maka Kepala Bagian Sarana yang dalamhal ini

bertindak selaku representasi dari pihak pengelola rumah sakit, tidak akan mampu

untuk memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan limbah

B3.

Di sini latar belakang akademis dari kepala Bagian Sarana akan

menentukan kemampuan untuk melakukan koordinasi pengelolaan limbah B3 yang

benar dan memenuhi syarat-syarat kesehatan (sesuai dengan UU No. 23/1997, PP

No. 85/1999 dan Permenkes RI No. 472/MENKES/PER/5/1996).

Berkaitan dengan itu dalam masalah penampungan masih terlihat bahwa

limbah B3 yang berasal dari penghasil belum seluruhnya tertampung dalam tempat

khusus yang membedakannya dengan sampah non B3, bahkan limbah B3 tersebut

disatukan dengan sampah non medis. Dari hasil pengamatan didapati bahwa tidak

membedakan dan memisahkan limbah B3 dengan sampan non medis.

Apabila keadaan tersebut dibiarkan terus menerus maka dikhawatirkan

akan menganggu dan mempengaruhi kegiatan pengelolaan limbah B3 berikutnya,

yakni kegiatan pengangkutan (sesuai urutan kegiatan yang diatur dalam pasal 17

ayat (2) UU No. 23/1997.


(37)

23

Hasil wawancara dengan Ibu Lindawati, Kepala sarana RSUD Cut Meutia Lhokseumawe, pada tanggal 15 Mei 2005.

3. Pengumpul Limbah B3

a. Cara Pengumpulan

Pengumpulan sampah medis B3 adalah kegiatan mengumpulkan limbah

B3 dari penghasil limbah B3 dengan maksud menyimpan sementara sebelum

diserahkan kepada pemanfaatan dan/atau penimbunan limbah B3. pada tahap ini

langkah pertama yang harus dilakukan adalah membedakan dan memisahkan

sampah medis dengan limbah biasa sehingga dampak negatif yang mungkin

ditimbulkan oleh limbah B3 sebagai sumber infeksi dapat dihindari. Di samping itu

hal tersebut juga akan memudahkan penanganan selanjutnya oleh petugas limbah.

Untuk mengumpulkan sampah medis B3 ini maka kalau dipakai kantong


(38)

kontainer khusus di depan atau di luar ruangan, untuk selanjutnya diangkut oleh

petugas medis B3 ke bak pengumpul.

Dalam kegiatan pengumpulan sampah medis B3 ini perlu diperhatikan

ketentuan pasal 40 ayat (1) PP No. 85/1999 khususnya dalam huruf (a) di mana

antara lain disebutkan bahwa : “Setiap badan usaha yang melakukan kegiatan :

“Penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan pengolahan dan/atau penimbunan

limbah B3 wajib memiliki izin operasi dari kepala instansi yang bertanggun jawab”

Dengan demikian kegiatan pengumpulan limbah B3 wajib memperoleh

izin dari instansi yang bertanggung jawab. Namun di sini perlu di garis bawahi

bahwa kegiatan pengumpulan limbah B3 seperti dimaksud dalam ketentuan pasal 40

ayat (1) huruf (a) di atas hanya ditujukan bagi pelaku usaha dan/atau kegiatan yang

tidak mengolah sendiri limbah B3-nya tetapi menyerahkanya kepada pusat-pusat

pengolahan yang telah mendapat izin dari Bapedal, sebagaimana yang dimuat dalam

PP No. 19/1994. jadi kewajiban untuk memperoleh izin bagi kegiatan pengumpulan

limbah B3 itu tidak berlaku bagi pelaku usaha dan/atau kegiatan yang mengolah

sendiri limbah B3-nya, seperti yang dalam hal ini dilakukan oleh RSU Cut Meutia

Lhokseumawe

Sebab instansi yang menyelenggarakan pengangkutan itu bertanggung jawab sendiri

secara langsung.

b. Tenaga Pengumpul Limbah B3

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa sampah medis B3


(39)

keselamatannya, seperti pakaian atau pelindung kerja yang digunakan sehingga

memberi manfaat untuk menghindari terjadinya kecelakaan atau gangguan akibat

limbah B3,.

Dari hasil pengamatan terlihat bahwa secara kuantitas petugas pengumpul

sampah medis B3 cukup memadai. Namun dalam pelaksanaan kerjanya belum

terlihat adanya perlengkapan perlindungan khusus, seperti masker, sarung tangan,

sepatu dan pakaian khusus.26

26

Syukri Petugas Kebersihan.

Dalam Tabel di bawah ini keadaan tersebut dapat di gambarkan sebagai berikut

Tabel : Jumlah Penggunaan pakaian pelindung petugas Sampah Medis B3 di RSU Cut Meutia Lhokseumawe 2005

No Pakaian Pelindung Jumlah (Orang)

Persentase (%)

1. Digunakan 0 0

2. Tidak digunakan 10 100

Jumlah 10 100

Sumber : data Primer 2005

Mengingat resiko kecelakaan kerja yang mungkin ditanggung oleh petugas

pengumpul limbah B3 di RSU Cut Meutia Lhokseumawe maka dituntut adanya


(40)

Untuk mempersiapkan, menyediakan dan melengkapi petugas pengumpul sampah

medis B3 dengan alat-alat perlindungan kerja seperti tersebut diatas.

Dalam persektif UU No. 23/1997 masalah ini memuat adanya hak akan

kewajiban antar pihak, yakni :

1) Hak bagi petugas pengumpul sampah medis B3

Petugas pengumpul sampah medis B3 di RSU Cut Meutia Lhokseumawe

berhak untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat (pasal 5 ayat(1),

serta berhak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peranya dalam

pengelolaan lingkungan (pasal 5 ayat (2)

2) Kewajiban bagi pihak pengelola RSU Cut Meutia Lhokseumawe

Kewajiban ini mengacu pada ketentuan pasal 6 ayat(2) di mana pelaku

usaha dan/atau kegiatan diwajibkan untuk memberikan informasi yang benar dan

akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup atau hal ini pengelolaan limbah B3.

Dengan demikian menurut ketentuan-ketentuan UU No. 23/1997 di atas

pihak pengelola RSU Cut Meutia Lhokseumawe tidak saja berkewajiban untuk

mempersiapkan, menyediakan dan memperlengkapi petugas sampah medis B3

dengan alat-alat perlindungan khusus, tetapi juga berkewajiban untuk memberikan

penjelasan, penyuluhan, dan pelatihan dalam rangka memberikan informasi

pengelolaan sampah medis B3 yang benar dan akurat, sekaligus merealisir hak

kesehatan petugas kesehatan sampah medis B3 seperti dimaksud pasal 5 ayat (1) dan


(41)

Menurut PP No. 85/1999 sendiri masalah ini berkaitan dengan hierarki

pengelolaan limbah B3 di mana antara lain menuntut digunakan teknologi bersih

(Penjelasan Umum PP No. 85/1999). Jadi jelaslah bahwa baik UU No. 23/1997 dan

PP No. 85/1999 telah mengisyaratkan perlunya kesadaran dan kesungguhan para

pihak terkait dalam kegiatan pengumpulan sampah medis B3 ini.

c. Frekuensi Pengumpul

Frekuensi pengumpul sampah medis RSU Cut Meutia Lhokseumawe

didasarkan atas hal-hal sebagai berikut:

1) Waktu pengumpulan

Pada umumnya pengumpulan sampah medis B3 di RSU Cut Meutia

Lhoksumawe dilakukan sebanyak satu kali sehari. Khusus bagi tempat yang cukup

produktif dalam menghasilkan sampah medis B3, pengumpulan bisa dilakukan

sampai dua kali untuk lebih jelasnya hal tersebut dapat digambarkan dalam tabel

berikut :

Tabel 9: Jumlah Pengangkutan Sampah Medis Setiap Harinya Pada Unit/Ruangan RSU Cut Meutia Lhoksumawe tahun 2005

No Frekuensi Pengangkutan Jumlah Persentase 1.

2.

Tidak menentu Satu kali atau lebih

0 16

0 100


(42)

Waktu pengumpulan sampah medis B3 ini sebaiknya sesegera dan sesering mungkin sebab jika lebih sering dikumpulkan maka langkah berikutnya

yakni pengangkutan sebab jika lebih sering dikumpulkan maka langkah berikutnya

yakni pengangkutan akan lebih mudah dilaksanakan, sehingga mikroorganisme tidak

sempat berkembang biak didalamnya dan resiko terbakar, terkena racun atau

terinfeksi sampah medis B3 dapat dihindarkan baik terhadap petugas rumah sakit

terkait maupun terhadap pasien dan keluarganya.

Hal tersebut penting sebab dapat mempengaruhi proses selanjutnya dari

upaya pengelolaan limbah B3 di RSU Cut Meutia Lhokseumawe, sekaligus

merupakan bagian dari upaya untuk merealisasikan tujuan pengelolaan limbah B3

seperti dimaksud dalam pasal 2 PP No.85/1999 yakni antara lain:”… mencegah dan

menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan

oleh limbah B3”.

2) Jenis kegiatan

Dalam kegiatan pengumpulan sampah medis B3 perlu pula dilihat jenis

kegiatan yang dilakukan di suatu unit/ruangan penghasilnya, sebab semakin tinggi

intensitas kegiatan tertentu dilakukan, maka akan semakin sering sampah medis B3

harus dikumpulkan.

3) Pengangkut Limbah B3

Dalam pasal 1 butir (6) PP No. 85/1999 dapat dilihat pengertian dari


(43)

pemindahan limbah B3 dari penghasil dan/atau dari pengumpul dan/atau dari

pemanfaat dan/atau ke pengolah dan/atau ke penimbun limbah B3”.

Sehubungan dengan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pengangkutan

limbah B3 yang dilakukan di RSU Cut Meutia Lhokseumawe adalah suatu kegiatan

pemindahan limbah B3 yang berasal dari penghasil dan/atau dari pengumpul untuk

selanjutnya di proses dalam tahap akhir, yakni pemusnahan ataupun penimbunan.

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa sebagian besar kegiatan

pengelolaan limbah B3 di RSU Cut Meutia Lhokseumawe dilakukan dalam

lingkungan internal rumah sakit sehingga kegiatannya berada langsung di bawah

koordinasi dan tanggung jawab pihak pengelola rumah sakit. Begitu pula halnya

dengan kegiatan pengangkutan sebagai salah satu unsur dari keseluruhan sistem

pengelola limbah B3.

Oleh karena itu ketentuan pasal 40 ayat (1) huruf (b) PP No. 85/1999 yang

membebankan kewajiban bagi pengangkut limbah B3 untuk memiliki izin

pengangkutan dari menteri Perhubungan setelah mendapat rekomondasi dari kepala

instansi yang bertanggung jawab (Bapedal), tidak berlaku bagio pengankutan limbah

klinis di RSU Cut Meutia Lhoksumawe, sebab izin tersebut ditujukan bagi pelaku

usaha dan/atau kegiatan yang menyerahkan pengelolaan limbah B3-nya kepada

pihak lain, sebgaimana dimaksud ketentuan pasal 16 ayat(2) UU No. 23/1997 dan

PP No. 19/1994 yang terakhir di ubah dengan No. 85/1999.

Dengan demikian pihak pengelola rumah sakit harus benar-benar


(44)

Meutia Lhokseumawe sebab sebagian besar tahapan tersebut berada dalam tanggung

jawabnya. Ketentuan mengenai hal tersebut secara tegas disebutkan dalam pasal 17

ayat (1) No. 23/1997, yakni :”Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan

wajib melakukan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun”.

Dari hasil pengamatan terlihat bahwa pengangkutan limbah B3 di RSU

Cut Meutia Lhoksumawe dilakukan dengan menggunakan kereta dorong yang

sebahagiannya tidak tertutup, sedangkan di dalamnya belum ada pemisahan secara

khusus antara sampah medis B3 dengan limbah biasa. Jadi baik sampah medis B3

maupun limbah biasa masih diangkut dalam kereta dorong yang sama pada saat yang

bersamaan pula.

Kegiatan pengangkutan limbah B3 seperti yang dilaksanakan di RSU Cut

Meutia Lhokseumawe di atas, dikhawatirkan akan dapat menimbulkan dampak

negatif terhadap lingkungan hidup (pasal 1 butir (20) UU No. 23/1997), khususnya

bagi lingkungan hidup (pasal 1 butir(20) UU No.23/1997), khususnya bagi

lingkungan rumah sakit dan lokasi pemukiman penduduk sekitar rumah sakit.

Kekhawatiran tersebut didasarkan atas penggunaan kereta dorong limbah yang

sebahagiannya terbuka dan dibawa mengelilingi kompleks rumah sakit sehingga

dapat menimbulkan terjadinya perkembangbiakkan dan penyebaran bibit penyakit.

Dalam perspektif UU No. 23/1997 kekhawatiran itu didasarkan atas sifat,

konsentrasi dan jumlah limbah B3 yang secara langsung maupun tidak langsung

dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, kesehatan,


(45)

23/1997). Di samping itu pengangkutan limbah B3 yang dilakukan di RSU Cut

Meutia Lhokseumawe tersebut juga bertentangan dengan tujuan dari pengelolaan

limbahB3, khususnya tujuan untuk mencegah terjadinya pencemaran dan/atau

perusakan lingkungan hidup akibat limbah B3, seperti dimaksud pasal 2 PP No.

85/1999.

Selanjutnya hal-hal yang secara khusus segera dibenahi dan dipersiapkan

oleh RSU Cut Meutia Lhokseumawe dalam masalah pengangkutan sampah medis

B3 ini adalah

1) Memisahkan sampah medis B3 dengan non medis, hal ini harus didukung pula

pada tahapan sebelumnya yakni pengumpulan, sehingga kegiatan pemisahan

dapat berjalan dengan lancar.

2) Menggunakan kereta dorong yang seluruhnya tertutup sehingga resiko

pencemaran lingkungan hidup akibat sampah medis B3 dapat dihindari.

3) Meningkatkan kesadaran dan pemahaman sumber daya manusia yang terkait

dalam masalah pengelolaan limbah B3 atas pentingnya arti kegiatan yang

mereka lakukan dan adanya mekanisme hukum yang mengaturnya, yakni UU

No. 23/1997 dan No. 85/1999.

4) Perlunya peran aktif dari masyarakat (pasien, keluarganya maupun para

pengunjung yang bertanggung jawab (Bapedal) apabila ada hal-hal yang

dianggap dapat mengancam kesehatan dan kualitas lingkungan hidup. Peran

aktif masyarakat tersebut dalam pasal 6 ayat (1) UU No. 23/1997 dijabarkan


(46)

serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan/atau perusakan lingkungan

hidup”. Lebih jauh penjabaran tentang masalah peran serta pasal 55 ayat (1), (2)

dan (3) PP No. 85/1999.

Dengan demikian pihak pengelola RSU Cut Meutia Lhoksumawe dalam

hal ini harus segera mengambil kebijakan pembenahan, antara lain berdasarkan

hal-hal tersebut di atas sehingga sistem pengelolaan limbah B3 yang berwawasan

lingkungan hidup dan berorientasi pada peraturan perundang-undangan yang berlaku

benar-benar dapat dicapai dan diimplementasikan.

4). Pemusnahan Limbah B3

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara, diketahui bahwa tahap

akhir dari sistem pengelolaan limbah klinis yang berupa pemusnahan di RSU Cut

Meutia Lhokseumawe terdiri atas :

1. Penyerahan wewenang pemusnahan kepada kontraktor klining servis

2. penimbunan yang dilakukan secara internal di lingkungan rumah sakit

Dalam prakteknya kedua hal di atas memiliki keuntungan dan kerugian

serta persyaratan hukum masing-masing, oleh karena itu pembahasan atas keduanya

dilakukan secara satu persatu sebagaimana uraian berikut ini :

(1). Penyerahan wewenang pemusnahan kepada Kontraktor Klining Service

Dalam perspektif No. 23/1997 masalah penyerahan wewenang

pengelolaan limbah (termasuk penimbunan/pemusnahan) kepada pihak lain dapat

dijadikan sebagai alternatif apabila pelaku usaha dan/atau kegiatan yang


(47)

ketentuan tentang masalah tersebut diatur dalam pasal 16 ayat (2) UU No.23/1997 di

mana disebutkan :”Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dapat menyerahkan pengelolaan limbah tersebut kepada

pihak lain”.

Meskipun ketentuan pasal 16 ayat (2) UU No. 23/1997 di atas tidak secara

defenitif menentukan apakah limbah B3 termasuk dalam kategori limbah sperti

dimaksud dalam pasal itu, namun jika ketentuan pasal 1 butir (16) UU No. 23/1197

yang menyatakan bahwa :” Limbah adalah hasil usaha dan/atau kegiatan”, maka

dapat disimpulkan bahwa limbah B3 yang juga merupakan hasil dari suatu usaha

dan/atau kegiatan termasuk dalam kategori limbah seperti dimaksud pasal 16 ayat

(2) tersebut.

Demikian Pula halnya dengan limbah B3 merupakan hasil dari kegiatan

rumah sakit dapat diserahkan pada pihak lain termasuk kontraktor klining service

menyangkut wewenang kontraktor klining service untuk pengelola lingkungan hidup

yang dalam hal ini berupa pengelolaan limbah (33) UU No. 23/1997 telah

mengaturnya dalam pasal 12 ayat (1) dan pasal 13 ayat (1) dimana antara lain

disebutkan adanya pendelegasian wewenang pengelolaan lingkungan hidup dari

pusat kepada pemerintah daerah.

Dengan diserahkan proses pemusnahan limbah B3 dari pihak pengelola

RSU Cut Meutia Lhokseumawe hanya terbatas pada kegiatan menghasilkan,

mengangkut dan mengumpulkan. Di satu sisi kebijakan ini sangat membantu


(48)

Lhokseumawe, namun disisi lain hal ini berdampak pada rendahnya kesadaran dan

tanggung jawab dari pihak-pihak terkait untuk melakukan tindakan khusus sebelum

limbah B3 tersebut diserahkan penanganannya kepada petugas kebersihan. Tindakan

khusus dimaksud antara lain : belum adanya pemisahan sampah medis B3 dengan

sampah medis non B3, bahkan sampah medis B3 dan non B3 itu terkadang masih

dicampurkan dengan limbah biasa. Di samping itu tindakan khusus yang berupa

sterilisasi disinfeksi terhadap sampah medis B3 juga terlihat belum dilaksanakan.

Dalam tabel di bawah ini keadaan di atas dapat digambarkan sebagai berikut :

Tabel : Perlakuan Khusus (Sterilisasi dan Desifeksi) di Unit/Ruangan Sebelum Sampah Medis Diangkut Oleh Petugas Kebersihan Kontraktor Klining Servis Tahun 2005.

No Perlakuan Khusus Jumlah Persentase

1.

2.

Ada

Tidak ada

0

5

0

100

Jumlah 5 100

Oleh karena itu di sini pihak pengelola RSU Cut Meutia Lhoksumawe

harus benar-benar memperhatikan dan membenahi masalah ini, sebab meskipun

tanggung jawab pemusnahan sudah diserahkan kepada kontraktor klining servis ,

namun jika timbul pencemaran Limbah B3 karena kealpaan pihak RSU Cut Meutia

Lhoksumawe maka perbuatan tersebut dapat diancam pidana seperti diatur dalam


(49)

Dalam hal ini pidana ketentuan yang terkait langsung dengan masalah

limbah B3 (termasuk sampah medis B3) adalah pasal 44 ayat (1) di mana disebutkan

: Barang siapa yang dengan melanggar ketentuan-ketentuan perundang undangan

yang berlaku, karena kealpaan melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam

pasal 43, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda

paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah).

Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan :”Jika tindak pidana sebagaimana

dimaksud ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana

diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak

Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh Juta Rupiah).

Oleh karena RSU Cut Meutia Lhokseumawe berbentuk sebagai bentuk

hukum, maka ancaman pidana dalam pasal 44 tersebut dapat lebih diperberat lagi

sebagaimana diatur dalam pasal 45 yang menyatakan bahwa :” jika Tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan

huku, perseroan, perserikatan, yayasan, atau organisasi lain, ancaman pidana denda

diperberat dengan sepertiga “.

Klasifikasi dari orang-orang yang terlibat dalam ancaman pidana tersebut

di atas pengaturannya dapat dilihat pada pasal 46 ayat(1) dan (2) UU No, 23/1997

Yakni:

1) Mereka yang memberi perintah atau bertindak sebagai pemimpin.


(50)

Ketentuan-ketentuan pidana dari UU No. 23/1997 diatas kembali

ditegaskan dalam pasal 63 dari PP No 85/1999 yang menyatakan bahwa :”Ancaman

pidana dikenakan bagi pelanggar yang melanggar ketentuan yang telah digariskan

dalam PP di atas yang mengakibatkan dan/atau menimbulkan pencemaran dan/atau

perusakan lingkungan hidup, adapun ancaman pidana yang dimaksud tertuang dalam

pasal 41, 42,43,44,45, dan 47 UU No. 236/1997 tentang pengelolaan Lingkungan

Hidup”.

Dengan demikian dapat dilihat bagaimana sanksi tegas yang akan diterima

oleh pihak pengelola RSU Cut Meutia Lhoksumawe dan petugas-petugas terkait

apabila tidak bersungguh-sungguh mengelola sampah medis B3 sampai pada tahap

akhir sekalipun.

(2). Penimbunan yang dilakukan secara internal di lingkungan rumah sakit.

Menurut pasal 1 butir (9) No. 85/1999 bahwa :” Penimbunan limbah B3

adalah suatu kegiatan menempatkan limbah B3 pada suatu fasilitas penimbunan

dengan maksud tidak membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan hidup”.

Dari defenisi tentang penimbunan di atas, dapat ditarik 2 unsur penting,

yakni:

1. Kegiatan menempatkan limbah B3 pada suatu fasilitas penimbun.

2. Bertujuan untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup.

Berkenaan dengan itu pasal 40 ayat (1) huruf (a) PP No. 85/1999 antara

lain menyebutkan bahwa :”… Penimbunan limbah B3 wajib memiliki izin operasi


(51)

ayat (1) diatas, berguna untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup

tersebut benar-benar terencana dan dapat diwujudkan.

Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa penimbunan limbah B3

yang dilakukan di RSU Cut Meutia Lhoksumawe belum memiliki izin seperti diatur

dalam pasal 40 ayat (1) di atas, hal ini disebabkan penimbunan yang dilakukan tidak

benar-benar ditujukan untuk limbah B3 tetapi lebih kepada sampah nonmedis

(limbah biasa). Penimbunan seperti tersebut di atas dapat terjadi karena belum

seluruh sampah medis B3 dan limbah biasa dipisahkan sehingga ketika petugas

penimbun RSU Cut Meutia Lhoksumawe menimbun limbah biasa maka sampah

medis B3 ikut ditimbun kedalamnya. Adapun sampah pemisahan sampah medis B3

dan limbah biasa sebagaimana telah disbutkan sebelumnya tidak dilakukan

pemisahan.27

Meskipun penimbunan yang dilakukan oleh petugas RSU Cut Meutia

Lhoksumawe sebenarnya ditujukan untuk limbah biasa namun karena di dalamnya

tertimbun pula sampah medis B3 maka menurut UU No. 23/1997 hal tersebut telah

melanggar ketentuan dari pasal 20 ayat (1) yang menyatakan bahwa :”Tanpa suatu

keputusan Izin, setiap dilarang melakukan pembuangan limbah ke media lingkungan

hidup”.

27

Ibid

Selanjutnya mengenai tata letak dari fasilitas penimbunan, diatur dalam


(52)

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di lokasi pembuangan

yang ditetapkan Menteri”.

Dari aspek pengelolaan lingkungan Hidup, hal tersebut juga dapat

menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pasal

1 butir (12) UU No. 23/1997, yaitu:” Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk

atau dimasukkannya mahkluk hidup zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam

lingkungan oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat

tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan

peruntukkannya”.

Di samping itu penimbunan tersebut juga bertentangan dengan upaya

pelestarian fungsi lingkungan hidup seperti diatur dalam pasal 1 butir (15) UU No.

23/1997 yang menyatakan bahwa:” pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah

rangkaian upaya untuk memlihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung

lingkungan hidup”.

Pada butir ke (6) dijelaskan bahwa :” Daya dukung lingkungan hidup

adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung pro kehidupan manusia dan

mahkluk hidup lain”, sedangkan “Daya tampung hidup adalah kemampuan

lingkungan hidup untuk menyerap Zat, energi dan/atau komponen lain yang masuk

atau dimasukkan ke dalamnya”. (pasal 1 butir (8) UU No. 23/1997).

Pelanggaran terhada[p sejumlah ketentuan UU No 23/1997 diatas dapat

diancam pidana penjara atau denda seperti diatur dalam pasal 43 ayat(1) yang antara


(53)

Barang siapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang

berlaku, sengaja melepaskan atau membuang zat, energi, dan/atau komponen

lain yang berbahaya dan beracun masuk di atas atau ke dalam tanah……., pada

hal mengetahui atau sangat berasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut

dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau

membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain, diancam dengan pidana

penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp.

300.000.000,-(tiga ratus juta rupiah).

Sehubungan dengan itu sanksi administratif dapat dikenakan

berdasarkan ketentuan dari pasal 62 ayat (2) PP No. 85/1999 yang menyatakan

bahwa :”Instansi yang bertanggung jawab akan menghentikan sementara kegiatan

operasional atau mencabut B3, sampai pihak yang diberi peringatan mematuhi

ketentuan yang telah dilanggarnya”.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan


(54)

1. UU No.23/1997 sebagai peraturan pokok perundang-undangan lingkungan hidup

tidak seluruhnya merinci limbah B3, namun lebih kepada ketentuan-ketentuan

umum pengelolaan lingkungan hidup. Dari hasil penelitian, pengaturan limbah

B3 di dalam UU No. 23/1997 dapat diklasifikasikan atas 2 kelompok yaitu

pengaturan yang bersifat umum dan yang bersifat khusus. Pengaturan yang

bersifat umum berarti ketentuan UU No. 23/1997 tidak secara langsung

mengatur masalah limbah B3, namun lebih berkaitan dengan masalah hak dan

kewajiban dari seluruh komponen masyarakat dan pemerintah, dalam upaya

pengelolaan lingkungan hidup yang dalam hal ini berupa pengelolaan limbah

B3. sebaliknya pengaturan secara khusus berarti ketentuan UU No. 23/1997

tersebut memang harus ditujukan untuk untuk mengatur limbah B3.

2. Sesuai dengan penelitian ini, ternyata UU No.23/1997 berikut PP No. 85/1999

memang belum diterapkan dengan benar pada pengelolaan limbah B3 di RSU

Daerah Cut Meutia Lhokseumawe. Hal ini terbukti dari belum adanya pemisahan

limbah B3 dengan limbah biasa secara menyeluruh pada pihak penghasil.

Sedangkan pada pihak pengumpul terlihat belum digunakannya peralatan khusus,

seperti pakaian khusus dan lain-lain. Menurut UU No.23/1997 peralatan khusus,

seperti pakaian dan lain-lain. Menurut UU No. 23/1997 masalah tersebut atas

terkait dengan hak dan kewajiban antar para pihak, Yakni : hak petugas

Pengumpul untuk memperoleh lingkungan yang baik dan sehat (pasal 5 ayat (1)

dan hak atas informasi lingkungan yang berkaitan dengan perannya dalam


(55)

Sebaliknya pihak pengelola RSU Daerah Cut Meutia Lhoksumawe berkewajiban

untuk memberikan pendidikan dan pelatihan kepada petugas limbah B3 sebagai

realisasi dari kewajiban untuk memberikan informasi yang benar dan akurat

tentang pengelolaan lingkungan hidup (pasal 6 ayat (2) UU No. 23/1997).

Menurut PP No. 85/1999 masalah ini terkait dengan perlunya penggunaan

teknologi bersih.

Saran

1. Dari hasil penelitian seperti dimuat pada bab sebelumnya terlihat bahwa beberapa

pasal dari UU No. 23/1997 telah dengan tegas mengatur masalah limbah B3,

bahkan pengaturannya di perjelas denganm adanya PP No. 85/1999 telah diatur

pula adanya sanksi pidana yang akan diberikan pada pelaku usaha apabila terjadi

pencemaran limbah B3 akibat kesenjangan ataupun akibat kelalaian. Untuk itu

kalangan dunia usaha yang dalam hal ini direpresentasikan oleh phak Pengelola

RSU Daerah Cut Meutia Lhoksumawe harus benar-benar memperhatikan,

memahami dan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terkait dengan

pengelolaan limbah B3 (termasuk limbah B3) seperti yang diatur dalam UU No.

23/1997 dan PP No. 85/1999 tersebut. Hal ini penting sebab implementasi

pengelolaan limbah B3 yang dilakukan dalam kerangka peraturan


(56)

enforcement) semata-mata, namun yang lebih substansif adalah terwujudnya

lingkungan yang baik dan sehat bagi seluruh masyarakat.

2. Dengan adanya hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa sistem pengelolaan

limbah B3 di RSU Daerah Cut Meutia Lhokseumawe belum benar-benar

menerapkan UU No. 23/1997 dan PP No. 85/1999, maka pihak pengelola RSU

Daerah Cut Meutia Lhokseumawe medan harus segera mengambil kebijakan

untuk membenahi dan meningkatkan pelaksanaan sistem pengelolaan limbah B3.

kebijakan pembenahan seperti dimaksud di atas tidak saja menyangkut

pembenahan atas peralatan-peralatan yang dipergunakan, namun juga harus

mencakup upaya peningkatan kualitas Human Resources khususnya yang terkait

langsung dengan upaya pengelolaan limbah B3. di sini dituntut pula peran serta

masyarakat (pasien, keluarganya, masyarakat sekitarnya atau para pengunjung)

untuk mengawasi jalannya pelaksanaan pengelolaan limbah B3 di RSU Daerah

Cut Meutia Lhokseumawe dan melaporkannya kepada instansi yang bertanggung

jawab apabila menemukan hal-hal yang dianggap dapat mengancam kualitas

lingkungan hidup. Peran serta masyarakat tersebut dapat dilihat pengaturannya

pada pasal 6 ayat (1) UU No. 23/1997 atau pasal 54 ayat (1) dan (2) serta pasal 55

ayat (1), (2) dan (3) PP No. 85/1999. jadi pengelolaan lingkungan hidup yang

dalam hal ini berupa pengolahan limbah B3 tidak hanya melibatkan pemerintah

dan pelaku usaha namun juga menuntut adanya keterlibatan dari seluruh


(57)


(58)

StatusHukumnya), Fakultas Hukum USU, Medan.

Bismar Nasution, Dkk, 2004, Perilaku Hukum dan Moral di Indonesia, Kumpulan

Tulisan 70 Tahun Prof Muhammad Abduh, SH, USU Press.

Ana Nadya Abrar, Mengenal Jurnalisme Lingkungan hidup Penerbit Gadjah Mada

University Press Yogyakarta, 1993.

Budi Utami, Lingkungan, kosorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan Sistem

Informasi Terbuka Penunjang Pembangunan Berwawasan dan Alam di

Indonesia (kophalindo) Jakarta, 1992

Daud Silalahi, Hukum Lingkungan, Alumni Bandung, 1992.

Denis McQuail, Teori Komunikasi massa, suatu pengantar, Edisi II, Erlangga ,1994

Davis, Lee, Devra, The Shotgun Devis of Science and Law : Risk Assesment Of

Judical Review, Colombia Journal Of Environment Law, Vol. 10, 1985.

Departemen Kesehatan RI, Pola Dasar Rumah Sakit Di Indonesia, Jakarta :1994

Departemen Kesehatan RI, Peraturan Menteri Kesehatan RI dan Keputusan Dirjen

PPM dan PLP Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit,

Jakarta 1993.

Dirjen PPM dan PLP, Dijen Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan, Pedoman

Sanitasi Rumah Sakit Di Indonesia, Jakarta :1994.

Dirjen PPM dan PLP, Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit, Jakarta :


(59)

Effendi Uchyana onong, Ilmu, Teori dan filsafat Komunikasi, PT. Cipta Aditya

Bakti Bandung,1993

Emil Salim, Pembangunan Berwawasan Lingkungan, LP3ES, Lembaga Penelitian

Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial Jakarta,1991.

.

Hadi, Longginus, Beberapa Pokok Pikiran terhadap PP. No. 18/1999, Resarch

Division LawOffice Djatmiko, Matgono, Jakarta, 1999.

Hasan Wirsal, Aspek Pencegahan Infeksi Nosokomial, Program Studi S-1 Kesehatan

Masyarakat Fakultas Kedokteran USU, Medan, 1998.

Harun M. Husein, Lingkungan Hidup, masalah pengelolaan dan penegakan Hukum,

Bumi Aksara Jakarta, 1993.

Jakob Oetama, Perspektif Pers Indonesia, LP3ES, Lembaga Penelitian Pendidikan

dan Penerangan Ekonomi dan Sosial Jakarta,1990

Kompas, Izin Impor Hanya Untuk Aki Bekas, Jakarta, Sabtu 27 Mei 1995.

Koesnadi, Hardjosoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Edisi Ketujuh, Gajah Mada

University Press, Yogyakarta 1999.

……….., Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat dalam

Pengelolaan Lingkungan Hidup, Gadjah Mada University Press Yogyakarta,


(60)

Press Yogyakarta, 1991.

………, Hukum Tata Lingkungan, Edisi VII, Cet.14, Gadjah

Mada University Press Yogyakarta, 1997.

Komisi Dunia Lingkungan dan Pembangunan (World Comissin on Envirotment and

Development, Hari Depan Kita Bersama , PT. Gramedia Jakarta, 1988.

Kusnoputranto, haryoto, Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta :

1983.

Lubis, Pandapotan, Teknik Pengelolaan Sampah Padat, Medan:tp.1998

Munadjat Danusaputro, 1981, Hukum Lingkungan, Buku I Umum, Bina Cipta,

Jakarta.

Proyek Pengembangan Tenaga Sanitasi Pusat, Pengembangan Sampah APK-TS,

Departemen Kesehatan P2TK, Proyek Pengembangan Tenaga Sanitasi Pusat,

Jakarta : 1987.

Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jaklarta 1986.

Pusat Pegelolaan Limbah Industri B3, makalah pada seminar tentang Pengelolaan

Limbah Industri, Cileungsi Bogor, 1994.

M.L. Tobing, Ikhtisar Hukum Lingkungan Hidup, Erlangga Jakarta, 1983

Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan Hidup, Binacipta Bandung, 1981.

NHT, siahaan, Ekologi Pembangunan dan Hukum Tata Lingkungan, Erlangga


(61)

Rahmadi, Takdir Pengaturan Hukum tentang Pengelolaan bahan Berbahaya dan

beracun di Indonesia, Disertasi Doktor pada Program pasca

sarjanaUniversitas Airlangga, Surabaya :1997.

Soemartojo, W. Roekmiyati dan Endarwanto, Hestriati, Berbagai Segi Limbah Bahan

Berbahaya dan Beracun dan Pengelolaannya di DKI Jakarta, Lingkungan dan

Pengembangan, Vol 8 : 2, Jakarta 1998.

Syamsul Arifin, 2004, Upaya Penegakan Hukum Lingkungan dalam Mewujudkan

Pembangunan berwawasan Lingkungan di Sumatera Utara, Pustaka Bangsa


(62)

DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CUT MEUTIA LHOKSEUMAWE

NAMA RESPONDEN :

PEKERJAAN :

LOKASI PENELITIAN :

HARI :……… , TANGGAL :……….2005

PEWANCARA

PROGRAM PASCA SARJANA JURUSAN ADMINISTRASI NEGARA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(63)

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CUT MEUTIA LHOKSEUMAWE

NAMA RESPONDEN :……….

PEKERJAAN :………..

LOKASI PENELITIAN : RSUD CUT MEUTIA LHOKSEUMAWE

1.QUESTIONER

1. Apakah Bapak/Ibu mengetahui tentang Limbah B3

a. Ya b. Tidak

2. Apakah Bapak/Ibu mengetahui pengaturan hukum dari limbah yang terkategori

sebagai bahan berbahaya dan beracun (B3)?

a. Ya b. Tidak

3. Apakah Bapak/Ibu mengetahui pengaturan limbah B3 dalam UU No. 23/1997

dan PP No. 85/1999?


(64)

a. Menimbilkan penyakit dan mencemari lingkungan sekitar

b. Mengganggu keindahan dan menimbulkan bau

5 Apakah unit/ruangan tempat Bapak?Ibu bekerja menghasilkan limbah ?

a. Ya b. Tidak

6. Jika ada pemisahan, apakah tempat limbah tersebut dilapisi dengan kantong

plastik?

a. Dilapisi kantong plastik b. tidak dilapisi

7. Jika limbah yang dihasilkan tidak dipisahkan dengan limbah B3, maka

bagaimana cara pemusnahan limbah B3 tersebut?

a. Ditimbun bersama dengan limbah biasa

b. Lain-lain, seperti…………

8. Apakah tempat limbah yang tersedia di unit/ruangan memiliki kapasitas yang

cukup baik secara kualitas maupun secara kuantitas untuk menampung limbah

B3 tersebut ?

a. Ada b. Tidak ada

9. Sebelum limbah B3 diangkut oleh petugas, apakah terlebih dahulu ada perlakuan

khusus terhadap limbah B3 tersebut?


(65)

II . CHECK LIST

1. Unit/ruangan yang diperkirakan menghasilkan limbah B3

Ada Tidak

2. Dampak Limbah yang paling dikhawatirkan

Penyakit dan Pencemaran Tidak indah dan bau

3. Mengetahui adanya UU No 23/1997 dan PP No. 85/1999

Ya Tidak

4. Mengetahui ketentuan hukum tentang limbah yang teridentifikasi sebagai limbah

B3 dalam UU No. 23/1997 dan PP No. 85/1999.

Ya Tidak

5. Tempat/kantong plastik limbah B3:

Ada Tidak Ada

6. Keadaan kontainer limbah B3 yang tersedia:


(66)

8. Pengangkutan limbah dibedakan dengan pengakutan limbah B3

Ya Tidak

9. Limbah B3 yang dihasilkan dari unit/ruangan dimusnahkan melalui:

Incenerator Cara lain

10.Cara terbaik pemusnahan limbah B3


(1)

Otto Soemarwoto, Hukum Lingkungan, Masalah dan Penanggulangannya Rineka Cipta Jakarta,1992

Rahmadi, Takdir Pengaturan Hukum tentang Pengelolaan bahan Berbahaya dan beracun di Indonesia, Disertasi Doktor pada Program pasca sarjanaUniversitas Airlangga, Surabaya :1997.

Soemartojo, W. Roekmiyati dan Endarwanto, Hestriati, Berbagai Segi Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dan Pengelolaannya di DKI Jakarta, Lingkungan dan Pengembangan, Vol 8 : 2, Jakarta 1998.

Syamsul Arifin, 2004, Upaya Penegakan Hukum Lingkungan dalam Mewujudkan Pembangunan berwawasan Lingkungan di Sumatera Utara, Pustaka Bangsa Press, Medan.


(2)

PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CUT MEUTIA LHOKSEUMAWE

NAMA RESPONDEN : PEKERJAAN : LOKASI PENELITIAN :

HARI :……… , TANGGAL :……….2005

PEWANCARA

PROGRAM PASCA SARJANA JURUSAN ADMINISTRASI NEGARA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

INSTRUMENTASI PENELITIAN

PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CUT MEUTIA LHOKSEUMAWE

NAMA RESPONDEN :……….

PEKERJAAN :………..

LOKASI PENELITIAN : RSUD CUT MEUTIA LHOKSEUMAWE

1.QUESTIONER

1. Apakah Bapak/Ibu mengetahui tentang Limbah B3

a. Ya b. Tidak

2. Apakah Bapak/Ibu mengetahui pengaturan hukum dari limbah yang terkategori sebagai bahan berbahaya dan beracun (B3)?

a. Ya b. Tidak

3. Apakah Bapak/Ibu mengetahui pengaturan limbah B3 dalam UU No. 23/1997 dan PP No. 85/1999?


(4)

tidak dikelola dengan baik dan sungguh-sunggu?

a. Menimbilkan penyakit dan mencemari lingkungan sekitar b. Mengganggu keindahan dan menimbulkan bau

5 Apakah unit/ruangan tempat Bapak?Ibu bekerja menghasilkan limbah ?

a. Ya b. Tidak

6. Jika ada pemisahan, apakah tempat limbah tersebut dilapisi dengan kantong plastik?

a. Dilapisi kantong plastik b. tidak dilapisi

7. Jika limbah yang dihasilkan tidak dipisahkan dengan limbah B3, maka bagaimana cara pemusnahan limbah B3 tersebut?

a. Ditimbun bersama dengan limbah biasa b. Lain-lain, seperti…………

8. Apakah tempat limbah yang tersedia di unit/ruangan memiliki kapasitas yang cukup baik secara kualitas maupun secara kuantitas untuk menampung limbah B3 tersebut ?

a. Ada b. Tidak ada

9. Sebelum limbah B3 diangkut oleh petugas, apakah terlebih dahulu ada perlakuan khusus terhadap limbah B3 tersebut?


(5)

10. Berapa Kali sehari dilakukan pengangkutan limbah dari unit/ruangan ini ke tempat ahkir buangan/pemusnahan

a. Satu kali b. Dua kali atau lebih c. Tidak Menentu

II . CHECK LIST

1. Unit/ruangan yang diperkirakan menghasilkan limbah B3 Ada Tidak

2. Dampak Limbah yang paling dikhawatirkan

Penyakit dan Pencemaran Tidak indah dan bau

3. Mengetahui adanya UU No 23/1997 dan PP No. 85/1999 Ya Tidak

4. Mengetahui ketentuan hukum tentang limbah yang teridentifikasi sebagai limbah B3 dalam UU No. 23/1997 dan PP No. 85/1999.

Ya Tidak 5. Tempat/kantong plastik limbah B3:

Ada Tidak Ada 6. Keadaan kontainer limbah B3 yang tersedia:


(6)

Ada Tidak ada 8. Pengangkutan limbah dibedakan dengan pengakutan limbah B3 Ya Tidak

9. Limbah B3 yang dihasilkan dari unit/ruangan dimusnahkan melalui: Incenerator Cara lain

10. Cara terbaik pemusnahan limbah B3