Efektivitas Penerapan Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 Tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perdata

(1)

TESIS

Oleh

WILLY TANJAYA

107011006/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

WILLY TANJAYA

107011006/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

NOTARIS DALAM BENTUK PERSERIKATAN PERDATA

Nama Mahasiswa : WILLY TANJAYA

Nomor Pokok : 107011006

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Notaris Syafnil Gani, SH, MHum)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum

Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 3. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn


(5)

Nama : WILLY TANJAYA

Nim : 107011006

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : EFEKTIVITAS PENERAPAN PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA NOMOR :

M.HH.01.AH.02.12 TAHUN 2010 TENTANG

PERSYARATAN MENJALANKAN JABATAN

NOTARIS DALAM BENTUK PERSERIKATAN

PERDATA

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :WILLY TANJAYA Nim :107011006


(6)

ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dalam menjalankan jabatan notaris diatur dalam Peraturan Menteri. Tuntutan akan peraturan organik pada pasal tersebut mendesak untuk dikeluarkannya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia nomor M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perdata.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu menggambarkan semua gejala dan fakta serta menganalisa permasalan yang ada. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan dengan melakukan pengkajian dan analisa terhadap keberadaan pasal 20 tentang perserikatan perdata yang ada pada Undang-Undang Jabatan Notaris nomor 30 tahun 2004 serta Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia nomor M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perdata dengan melakukan wawancara kepada narasumber yaitu : Notaris dan Wakil Ketua Majelis Pengawas Pusat Notaris.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Perserikatan perdata tersebut tidak efektif untuk dijalankan karena mengorbankan nilai-nilai kemandirian dan kepercayaan masyarakat terhadap notaris dalam menjaga kerahasiaan serta permasalahan-permasalahan lain seperti kekhawatiran akan dominasi notaris dalam perserikatan, menciptakan perusahaan akta, persaingan tidak sehat antar notaris, pengaturan yang tidak jelas dan lain sebagainya dan hanya memberikan kesempatan pada notaris untuk menjalankan sebatas kantor bersama notaris.

Untuk itu disarankan kepada Ikatan Notaris Indonesia (INI) atau notaris untuk segera menanggapi tentang keberadaan perserikatan perdata notaris tersebut, dan secepatnya mengajukan rancangan perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris agar pasal 20 tentang perserikatan perdata yang ada pada Undang-Undang Jabatan Notaris nomor 30 tahun 2004 dapat segera dihapus serta meminta kepada pemerintah, agar segera mencabut Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia nomor M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perdata.

Kata Kunci : Perserikatan Perdata, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia nomor M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010.


(7)

position is regulated in the Ministerial Regulation. Demand for organic regulation on the article urged for the issuance of Regulation of Minister of Law an Human Right, the Republic of Indonesia No.M.HH.01.AH.02.12/2010 on Requirements for Execution of Notarial Position in the Form of Civil Union.

The purpose of this analytical descriptive study with normative juridical approach was to desribe all phenomena and facts and existing problems and to analyze the existence of article 20 on Civil Union of Law No.30/2004 on Notarial Position and the Regulation of Minister of Law an Human Right, the Republic of Indonesia No.M.HH.01.AH.02.12/2010 on Requirements for Execution of Notarial Position in the Form of Civil Union through the interviews with the resource persons such as notary and the Vice Chairman of Notary Central Supervisory Board.

The result of this study showed that the Civil Union is not effective to be carried out because it sacrifices the values of independence and public confidence of the Notary in maintaining confidentiality and other problems such as the worries about the domination of Notary in the Union, establishing deed-based companies, unfair competition between Notaries, unclear arrangement and so forth and just giving a chance to the Notaries to have a common office.

Indonesian Notary Association or the notaries themselve is suggested to immediately respond the existence of the notary civil union and submit the draft of the changes of Law No.30/2004 on Notarial Position that Article 20 on Civil Union of the Law No.30/2004 can be immediately deleted and call on the government to immediately revoke the Regulation of Minister of Law an Human Right, the Republic of Indonesia No.M.HH.01.AH.02.12/2010 on Requirements for Execution of Notarial Position in the Form of Civil Union.

Keywords : Civil Union, Regulation of Minister of Law an Human Right, the Republic of Indonesia No.M.HH.01.AH.02.12/2010


(8)

satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

Adapun judul tesis ini adalah : “EFEKTIVITAS PENERAPAN PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.HH.01.AH.02.12 TAHUN 2010 TENTANG PERSYARATAN MENJALANKAN JABATAN NOTARIS DALAM BENTUK PERSERIKATAN PERDATA”.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan moril, masukan dan saran, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini tepat pada waktunya. Penulis mengucapkan terima kasih yang tulus khususnya penulis sampaikan kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN., Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum., atas kesediannya membantu dalam rangka memberikan bimbingan dan petunjuk serta arahan kepada penulis demi kesempurnaan penulisan tesis ini. Berkat bimbingan, petunjuk dan arahan yang diberikan sehingga telah diperoleh hasil yang maksimal.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, MKn.,dan Bapak Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn.,selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan, petunjuk, dan arahan yang konstruktif terhadap penyempurnaan penulisan tesis ini sejak tahap kolokium dan seminar hasil, sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih terarah.

Dalam menyelesaikan tugas ini tentunya selalu mendapat segala cobaan dan tantangan namun penulis rela menempatkan semua itu menjadi pelajaran tersendiri dalam hati penulis. Penulis sangat menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh


(9)

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, serta seluruh staf atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan, sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2. BapakProf. Dr. Muhammad Yamin, SH, M.S, C.N selaku Ketua Program

Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penulisan tesis ini.

3. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H, C.N, M.Hum selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penulisan tesis ini.

4. Bapak Winanto Wiryomartani, S.H, M.Hum, selaku Wakil Ketua Majelis Pengawas Pusat Notaris yang telah membantu memberikan data dan pengarahan dalam penulisan tesis ini.

5. Para Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, yang membimbing dan memberikan ilmu pengetahuan kepada saya sehingga dapat menyelesaikan studi, atas jasa dan Budi para Bapak dan Ibu Dosen, saya ucapkan terima kasih.

6. Para Staf Administrasi Program studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (Ibu Fatima, Kak Sari, Kak Winda, Kak Lisa, Bang Aldi, Bang Ken, Kak Afni)


(10)

menyelesaikan penulisan tesis ini.

9. Rekan-rekan pada Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan semua pihak yang ikut membantu, yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan semangat, dorongan, motivasi kepada saya dalam penyelesaian studi pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn) ini.

Akhir Kata kepada semua pihak yang telah mendukung penyelesaian tesis ini saya ucapkan terima kasih, semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua. Amin

Medan, Juni 2012 Hormat Penulis


(11)

Nama : WILLY TANJAYA Tempat/Tanggal Lahir : Medan/ 18 April 1989 Alamat : Jl. Gereja nomor 58-B

Agama : Kristen

II. PENDIDIKAN

1. SD Pangeran Antasari Medan Tamat Tahun 2000 2. SMP Kalam Kudus Medan Tamat Tahun 2003 3. SMA Husni Thamrin Medan Tamat Tahun 2006

4. S1 Hukum Universitas Dharmawangsa Medan Tamat Tahun 2010

5. S1 Sistem Informasi Universitas Prima Indonesia Medan Tamat Tahun 2010 S2 Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Medan Tamat Tahun 2012


(12)

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

BAB I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 14

C. Tujuan Penelitian ... 15

D. Manfaat Penelitian ... 16

E. Keaslian Penelitian... 16

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi... 17

1. Kerangka Teori ... 17

2. Kerangka Konsepsi ... 23

G. Metode Penelitian... 24

1. Sifat dan Jenis Penelitian ... 24

2. Metode Pengumpulan Data ... 25

3. Alat Pengumpulan Data ... 26

4. Teknik Pengumpulan Data ... 27

5. Analisis Data... 27

BAB II . DASAR LAHIRNYA KETENTUAN TENTANG PERSERIKATAN PERDATA NOTARIS ... 29

A. Sejarah Lahirnya Perserikatan Perdata ... 30

1. Perserikatan Perdata ... 30


(13)

BAB III . KEMANDIRIAN DAN ASAS MENJAGA KERAHASIAAN

DALAM KAITANNYA DENGAN PEMBENTUKAN

PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR :

M.HH.01.AH.02.12 TAHUN 2010 TENTANG

PERSYARATAN MENJALANKAN JABATAN NOTARIS

DALAM BENTUK PERSERIKATAN PERDATA... 48

A. Tugas dan Kewajiban Notaris Dalam Kaitannya Dengan Pembentukan Perserikatan Perdata Notaris Menurut Pasal 20 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 ... 53

B. Kemandirian Notaris Dalam Kaitannya Dengan Pembentukan Perserikatan Perdata Notaris... 64

C. Karakteristik Perserikatan Perdata Notaris, Dalam Kaitannya Dengan Kemandirian Notaris ... 74

D. Upaya Dalam Menjamin Kemandirian dan Ketidak Berpihakan Notaris Pada Kantor Bersama Notaris ... 78

BAB IV. EFEKTIVITAS PENERAPAN PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.HH.01.AH.02.12 TAHUN 2010 TENTANG PERSYARATAN MENJALANKAN JABATAN NOTARIS DALAM BENTUK PERSERIKATAN PERDATA .. 86

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 94

A. Kesimpulan ... 94

B. Saran ... 96

DAFTAR PUSTAKA ... 98 LAMPIRAN


(14)

ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dalam menjalankan jabatan notaris diatur dalam Peraturan Menteri. Tuntutan akan peraturan organik pada pasal tersebut mendesak untuk dikeluarkannya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia nomor M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perdata.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu menggambarkan semua gejala dan fakta serta menganalisa permasalan yang ada. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan dengan melakukan pengkajian dan analisa terhadap keberadaan pasal 20 tentang perserikatan perdata yang ada pada Undang-Undang Jabatan Notaris nomor 30 tahun 2004 serta Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia nomor M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perdata dengan melakukan wawancara kepada narasumber yaitu : Notaris dan Wakil Ketua Majelis Pengawas Pusat Notaris.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Perserikatan perdata tersebut tidak efektif untuk dijalankan karena mengorbankan nilai-nilai kemandirian dan kepercayaan masyarakat terhadap notaris dalam menjaga kerahasiaan serta permasalahan-permasalahan lain seperti kekhawatiran akan dominasi notaris dalam perserikatan, menciptakan perusahaan akta, persaingan tidak sehat antar notaris, pengaturan yang tidak jelas dan lain sebagainya dan hanya memberikan kesempatan pada notaris untuk menjalankan sebatas kantor bersama notaris.

Untuk itu disarankan kepada Ikatan Notaris Indonesia (INI) atau notaris untuk segera menanggapi tentang keberadaan perserikatan perdata notaris tersebut, dan secepatnya mengajukan rancangan perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris agar pasal 20 tentang perserikatan perdata yang ada pada Undang-Undang Jabatan Notaris nomor 30 tahun 2004 dapat segera dihapus serta meminta kepada pemerintah, agar segera mencabut Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia nomor M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perdata.

Kata Kunci : Perserikatan Perdata, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia nomor M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010.


(15)

position is regulated in the Ministerial Regulation. Demand for organic regulation on the article urged for the issuance of Regulation of Minister of Law an Human Right, the Republic of Indonesia No.M.HH.01.AH.02.12/2010 on Requirements for Execution of Notarial Position in the Form of Civil Union.

The purpose of this analytical descriptive study with normative juridical approach was to desribe all phenomena and facts and existing problems and to analyze the existence of article 20 on Civil Union of Law No.30/2004 on Notarial Position and the Regulation of Minister of Law an Human Right, the Republic of Indonesia No.M.HH.01.AH.02.12/2010 on Requirements for Execution of Notarial Position in the Form of Civil Union through the interviews with the resource persons such as notary and the Vice Chairman of Notary Central Supervisory Board.

The result of this study showed that the Civil Union is not effective to be carried out because it sacrifices the values of independence and public confidence of the Notary in maintaining confidentiality and other problems such as the worries about the domination of Notary in the Union, establishing deed-based companies, unfair competition between Notaries, unclear arrangement and so forth and just giving a chance to the Notaries to have a common office.

Indonesian Notary Association or the notaries themselve is suggested to immediately respond the existence of the notary civil union and submit the draft of the changes of Law No.30/2004 on Notarial Position that Article 20 on Civil Union of the Law No.30/2004 can be immediately deleted and call on the government to immediately revoke the Regulation of Minister of Law an Human Right, the Republic of Indonesia No.M.HH.01.AH.02.12/2010 on Requirements for Execution of Notarial Position in the Form of Civil Union.

Keywords : Civil Union, Regulation of Minister of Law an Human Right, the Republic of Indonesia No.M.HH.01.AH.02.12/2010


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perserikatan Perdata sebagai wadah kerjasama antar notaris dalam menjalankan jabatannya diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Keberadaan pasal ini diharapkan memberi solusi terhadap semakin banyaknya lulusan Magister Kenotariatan yang mengajukan pengangkatan menjadi notaris yang tidak diimbangi dengan kebijakan formasi, serta berusaha memberikan suatu wadah kerjasama bagi para notaris.

Dalam kepustakaan ilmu hukum, istilah perserikatan bukanlah istilah tunggal, karena ada istilah pendampingnya yaitu perseroan dan persekutuan. Ketiga istilah ini sering digunakan untuk menerjemahkan istilah bahasa Belanda: maatschap, vennoot schap.

Batasan yuridis tentang perserikatan perdata dimuat dalam Pasal 1618 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dirumuskan sebagai berikut “Perserikatan adalah suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu ke dalam perserikatan, dengan maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya.”

Menurut R. Subekti sebagaimana dikutip oleh Chaidir Ali, istilah maat atau


(17)

perkataan perserikatan atauvennootschap adalah sama dengan makna dari perkataan Indonesia ‘perserikatan’.

Makna yang sama terkandung di dalam istilah ‘partnership’ dalam bahasa Inggris. Istilah ‘perserikatan’ dipandang lebih tepat daripada istilah ‘perseroan’ karena istilah ‘perseroan’ menimbulkan dugaan seolah-olah dalam bentuk kerja sama yang dibicarakan itu dikeluarkan sero atau saham, padahal pengeluaran sero atau saham ini tidak perlu.1

Dalam tulisan ini akan digunakan terminologi ‘perserikatan perdata’ yang mengacu pada terminologi yang digunakan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Pada intinya perserikatan perdata itu tidak berbeda dengan perserikatan atau perkumpulan biasa. Keduanya didirikan untuk tercapainya sekedar tujuan tertentu, akan tetapi pada perserikatan biasa tidak harus ada tujuan mendapatkan keuntungan yang harus pula dibagi antara para anggotanya.2 Perserikatan perdata merupakan bentuk kerja sama yang paling sederhana untuk bersama-sama mencari keuntungan. Undang-undang menganggap perseroan-perseroan (vennoot schapen) yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang sebagai suatu bentuk istimewa dari perserikatan (maatschap). Apabila aturan-aturan tentang perserikatan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dibandingkan dengan aturan-aturan yang terdapat pada perseroan firma di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, maka dapat

1Chaidir Ali,Badan Hukum¸(Bandung:Alumni, 1987), hal.136-137.

2R.Soekardono,Hukum Dagang Indonesia,Jilid I (Bagian Kedua), (Jakarta:Rajawali Pers, 1991), hal.33


(18)

ditarik kesimpulan bahwa perserikatan perdata ialah suatu perserikatan yang bertujuan mencari keuntungan dengan sesuatu pekerjaan atau jabatan dengan atau tidak memakai nama bersama. Jadi perserikatan perdata tidak menjalankan tindakan-tindakan perusahaan. Contoh perserikatan perdata dapat dilihat pada perserikatan para advokat, kerja sama antara 2 (dua) orang arsitek atau lebih, dan lain-lain.3

Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdiri atas suatu bagian umum dan khusus, bagian umum memuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan pada umumnya, bagian khusus memuat peraturan-peraturan mengenai perjanjian yang dipakai dalam masyarakat dan yang sudah mempunyai nama tertentu, misalnya jual beli, sewa menyewa, perjanjian perburuhan, maatschap, pemberian (schenking) dan sebagainya4.

Menurut R.Subekti dan Tjitrosoedibio perserikatan diartikan sebagai kerjasama antara beberapa orang untuk mencari keuntungan, tanpa bentuk badan hukum: terhadap pihak ketiga masing-masing menanggung sendiri-sendiri perbuatannya ke dalam mereka memperhitungkan laba rugi yang dibaginya menurut perjanjian perserikatan.5

Apabila kita memperhatikan ketentuan Pasal 1620 dan 1623 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maka dapat dilihat 3 macam bentuk perserikatan perdata, yaitu :

3Chaidir Ali,Op.cit., hal.138-139.

4Subekti,Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1980, hal. 127. 5R.Subekti dan Tjitrosoedibio,Kamus Hukum, Pradnya Paramita, 1996, hal.73.


(19)

a. Perserikatan umum (algehele maatschap) yaitu perserikatan yang tidak mengadakan perincian, baik seluruhnya ataupun sebagian harta kekayaan tertentu yang dimasukkan oleh para teman serikat (pesero/teman serikat).

b. Perserikatan khusus (bijzondere maatschap) yaitu perserikatan yang inbreng

(pemasukan)nya dari para teman serikat ditentukan secara terperinci baik seluruhnya maupun sebagian.

c. Perserikatan keuntungan (algehele maatschap van winst) sebagai pengecualian dari perserikatan umum. Ini karena ketentuan pasal 1621 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak memperkenankan perserikatan umum, kecuali jika pemasukan dari para teman serikat itu masing-masing seluruhnya berupa tenaga kerja yang dapat menimbulkan keuntungan yang dapat dibagi-bagi di antara mereka. Jadi inilah yang dimaksud dengan perserikatan keuntungan sebagai pengecualian dari perserikatan umum itu.

Dalam perserikatan perdata tidak ada ketentuan berapa besarnya modal atau kekayaan bersama itu. Ada yang memasukkan uang, ada yang memasukkan barang, bahkan ada pula yang hanya memasukkan tenaganya saja. Keahlian sebagai notaris dapat menjadi modal bagi para notaris untuk membuka kantor bersama. Hal ini dikarenakan keahlian sebagai notaris merupakan suatu keterampilan yang khusus dan spesifik sehingga dapat memberikan manfaat bagi perserikatan perdata. Pemasukan keahlian dalam perserikatan perdata sejalan dengan pemikiran yang melatarbelakangi dibuatnya ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004. Banyaknya notaris yang lulus setiap tahun tidak selaras dengan kemampuan pendanaan yang


(20)

mereka miliki sehingga notaris-notaris yang sudah diangkat tersebut belum bisa langsung melayani masyarakat karena ia tidak mampu menyewa gedung dan membiayai kantornya. Oleh karena itu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 mengakomodir pasal 20 dengan mengizinkan para notaris membentuk perserikatan perdata dengan syarat tidak mengorbankan kemandirian dan ketidakberpihakan. Yang bergabung hanyalah gedung dan kantornya, baik itu administrasi kantor maupun administrasi keuangan, selebihnya menjadi tanggung jawab notaris masing-masing.6

Fungsi utama dari jabatan Notaris adalah pelayanan kepada masyarakat terhadap kebutuhan atas akta otentik yang merupakan alat bukti terkuat dan terpenuh, oleh karena itu prinsip kemandirian, ketidakberpihakan dan kewajiban menjaga kerahasiaan adalah prinsip utama yang wajib dipegang teguh oleh notaris dalam menjalankan jabatannya.

Kemandirian dan ketidakberpihakan seorang notaris dalam menjalankan jabatannya sudah menjadi etika profesi yang harus selalu dipegang teguh oleh notaris. Etika, hukum, dan tanggung jawab memiliki keterkaitan yang sangat erat sekali, dan apabila terlanggar akan mengakibatkan malpraktek. Tidak dipenuhinya salah satu unsur tersebut akan membawa dampak terjadinya misconduct yang kemungkinan akan banyak melanggar aturan hukum dan mengakibatkan terjadinya suatu beban tanggung jawab baik pidana, perdata maupun administratif.7

6Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia,Jati Diri Notaris Indonesia, (Jakarta:PT. Gramedia Pustaka, 2008), hal.116.

7Ignatius Ridwan Widyadharma,Etika Profesi Hukum, (Semarang:Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1996), hal.73


(21)

Didalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris perserikatan perdata dimungkinkan untuk dilakukan sebagaimana yang diatur dalam pasal 20 yaitu :

(1) Notaris dalam menjalankan jabatannya dalam bentuk perserikatan perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian dan ketidakberpihakan dalam menjalankan jabatannya.

(2) Bentuk perserikatan perdata sebagai dimaksud pada ayat (1) diatur oleh para notaris berdasarkan ketentuan peraturan Perundang-undangan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dalam menjalankan jabatan notaris sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Dengan pertimbangan bahwa perserikatan perdata akan membantu notaris-notaris yang baru dari sisi kebutuhan anggaran dalam mendirikan kantor baru, juga sebagai jalan keluar dari semakin banyaknya jumlah notaris di Indonesia8.

Tuntutan akan peraturan organik pada pasal tersebut mendesak untuk dikeluarkannya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia nomor M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perdata, memberikan pengaturan terhadap para notaris dalam melakukan tatacara pembentukan perserikatan perdata.

8Merupakan salah satu ide pro perserikatan perdata yang berkembang dalam Rapat Panitia Kerja Komisi II DPR tentang UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS pada tanggal 6 s/d 9 September 2004, di Jakarta.


(22)

Peraturan Menteri tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris dalam Bentuk Perserikatan Perdata (selanjutnya akan disebut “Peraturan Menteri”) memuat ketentuan sebagai berikut.

a. Pengertian-pengertian atau definisi-definisi pada ketentuan umum; Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri tersebut,

Perserikatan Perdata Notaris adalah: “Perjanjian kerjasama para notaris dalam menjalankan jabatan masing-masing sebagai notaris dengan memasukkan semua keperluan untuk mendirikan dan mengurus serta bergabung dalam satu kantor bersama notaris.9” Dari ketentuan ini dapat kita lihat bahwa dalam perserikatan perdata Notaris, yang bergabung hanyalah keperluan untuk mendirikan dan mengurus kantor, sedangkan para Notaris bekerja menjalankan jabatannya secara masing-masing.

b. Tujuan Pendirian dan Perserikatan Perdata Notaris ;

Dalam Peraturan Menteri tersebut tujuan Perserikatan Perdata Notaris dirumuskan sebagai berikut:

1. meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dibidang kenotariatan; 2. meningkatkan pengetahuan dan keahlian Teman Serikat Notaris; dan 3. efisiensi biaya pengurusan kantor10.

9Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia nomor

M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perdata, ps 1 angka 1.


(23)

Akan tetapi yang menjadi tujuan dari pada point 2 pasal tersebut menimbulkan kontradiksi dalam implementasinya, karena notaris adalah jabatan yang profesional dan mandiri, dimana menekankan notaris harus telah menguasai bidang-bidang tentang notaris sebelum ia diangkat sumpahnya, karena bidang pekerjaan notaris adalah sama, sehingga menempatkan para notaris tersebut pada tempat yang sederajat. Tujuan dari pada notaris adalah memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat yang tidak boleh melakukan kesalahan terhadap akta yang dibuatnya, tujuan pada poin 2 pasal tersebut seolah-olah memberikan kesempatan kepada notaris yang belum matang untuk berkarir dan membuka kantornya dan melayani masyarakat sehingga masih diragukan atas produk-produk serta pelayanan hukum yang dihasilkan notaris tersebut yang masih memerlukan peningkatan pengetahuan dan keahlian pada teman-teman serikat lainnya.

c. Pendirian Perserikatan Perdata Notaris ;

Adapun persyaratan pendirian Perserikatan Perdata Notaris telah dirumuskan sebagai berikut :

1. Perserikatan didirikan oleh 2 (dua) atau lebih notaris berdasarkan perjanjian yang dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia; 2. Dalam hal terdapat teman serikat dalam Perserikatan yang mempunyai

hubungan: a) perkawinan ;


(24)

b) darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah, atau garis ke samping sampai derajat kedua, dan/atau;

c) semenda

maka harus ada teman serikat lainnya yang tidak mempunyai hubungan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan/atau huruf c11.

Akan tetapi dalam hal menjalankan perserikatan perdata notaris tersebut perlu adanya pertimbangan terlebih dahulu sebelum menjalankannya, Adapun pertimbangan untuk tidak memperkenankan para notaris mengadakan perserikatan perdata antara lain seperti yang dikemukakan Lumban Tobing :

Bahwa perserikatan sedemikian tidak menguntungkan bagi masyarakat umum, oleh karena hal itu berarti mengurangi persaingan dan pilihan masyarakat tentang notaris yang dikehendakinya, lebih-lebih di tempat-tempat dimana hanya ada beberapa notaris. Selain dari itu adanya perserikatan diantara para notaris akan menyebabkan kurang terjaminnya kewajiban merahasiakan yang dibebankan kepada para notaris. Sebaliknya dapat juga dikemukakan alasan untuk memperkenankan para notaris mengadakan persekutuan didalam menjalankan jabatan mereka sebagai notaris, yakni bagi para notaris yang telah agak lanjut usianya dalam hal mana tentunya mereka menginginkan dapat mengurangi kesibukan mereka sebagai notaris. Akan tetapi tidak boleh dilupakan, bahwa walaupun hal tersebut merupakan alasan yang kuat, namun di dalam mempertimbangkannya harus diutamakan kepentingan umum, untuk mana notaris di angkat.12

Kekhawatiran Lumban Tobing didasarkan pada sumpah jabatan Notaris yang antara lain adalah menjamin kerahasiaan terhadap akta-akta yang dibuat oleh atau dihadapannya sebagai Pejabat Umum, dengan perserikatan perdata kerahasiaan tersebut sangat riskan untuk dipertahankan, disamping itu belum jelasnya konsep

11Ibid, pasal 4.

12G.H.S. Lumban Tobing,Peraturan Jabatan Notaris,Erlangga, Jakarta. Cetakan ke empat.1996, hal.107.


(25)

pemikiran perserikatan perdata yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris serta Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia nomor M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perdata memberikan polemik tersendiri dikalangan notaris yang memicu persepsi-persepsi berbeda di antara mereka, sebahagian notaris mengatakan hal tersebut adalah suatu kebijakan yang baik di bidang kenotariatan dan sebahagian lagi mengatakan hal tersebut adalah hal yang tidak baik untuk diterapkan.

Notaris dapat dimintakan pertanggung jawaban berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Menurut Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Jabatan Notaris, yakni : sebelum seorang notaris melaksanakan jabatannya, terlebih dahulu wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya dihadapan Menteri atau Pejabat yang ditunjuk. Antara lain sumpah tersebut berbunyi seperti yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (2) yakni :

Saya bersumpah/berjanji :

“Bahwa saya akan patuh dan setia kepada Negara Republik Indonesia, Pancasila dan Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris serta peraturan perundang-undangan lainnya. Bahwa saya akan menjalankan jabatan saya dengan amanah, jujur, seksama, mandiri, dan tidak berpihak.

Bahwa saya akan menjaga sikap, tingkah laku saya, dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan Kode Etik Profesi, kehormatan martabat, dan tanggung jawab saya sebagai notaris.

Bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya.

Bahwa saya untuk dapat diangkat dalam jabatan ini, baik secara langsung, dengan nama atau dalih apapun, tidak pernah dan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapapun.”


(26)

Disaming itu notaris juga tunduk pada ketentuan pasal 16 ayat (1) huruf e, yang menyatakan dalam menjalankan jabatannya, notaris antara lain berkewajiban :

“Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali Undang-Undang menentukan lain”.

Di negara Belanda sendiri konsep perserikatan sudah dipraktekkan kurang lebih sekitar 25 tahun yang lalu, namun sistem hukum disana telah sangat siap mengantisipasi segala kemungkinan penyelewengan yang mungkin terjadi pada perserikatan perdata dengan melakukan modifikasi dan pembaharuan dalam pelaksanaannya, akan tetapi perserikatan perdata dimaksud masih sangat diragukan untuk dijalankan di Indonesia terlihat dengan adanya beberapa komentar kritis menyangkut perserikatan perdata ini antara lain seperti yang diungkapkan Herlien Budiono13:

“Bahwa kehadiran assosiasi notaris di Indonesia adalah suatu dilema, disatu pihak ia ingin meningkatkan kualitas pelayanan notaris yang lebih baik, namun di segi lain kita belum siap dengan disiplin, nilai moral dan etika profesi yang tinggi dikhawatirkan jangan-jangan asosiasi notaris berubah menjadi perusahaan akta notaris”.

Dalam bagian lain Herlien Budiono menjelaskan tentang praktek penyelenggaraan kegiatan notaris di Belanda dalam hubungannya dengan perserikatan perdata ini yaitu para notaris dapat membuka kantor bersama baik dengan kandidat notaris, maupun bekerja sama dengan kantor advokat. Sehingga apa

13Burhanuddin Hussaini,Lembaga Notaris di Indonesia Dalam Krisis, Media Notariat Edisi Januari - Maret 2004 Tahun XIX, Artikel 9 Hal. 71.


(27)

yang dimaksudkan sebagai perserikatan perdata di Belanda agak berbeda dengan apa yang diamanatkan dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia nomor M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perdata.

Adapun faktor-faktor lain yang dapat menjadi pertimbangan untuk tidak menjalankan perserikatan perdata antara lain pada hal pengurusan dan / atau pembagian keuntungan serta kerugian dan pertanggung jawaban menyangkut kemungkinan kesalahan akta yang dibuatnya.

Perbuatan pengurusan (beheer) yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang hukum perdata, adalah tiap-tiap perbuatan yang perlu atau termasuk golongan perbuatan yang biasa dilakukan untuk mengurus/memelihara perserikatan perdata. Pengurus pada perserikatan perdata biasanya adalah sekutu sendiri, disebut pengurus sekutu. Kalau diantara para sekutu tidak ada yang dianggap cakap atau mereka tidak merasa cakap untuk menjadi pengurus, maka para sekutu dapat menetapkan orang luar yang cakap sebagai pengurus. Jadi, disini ada pengurus bukan sekutu. Apabila tidak ada pengangkatan pengurus, maka yang berlaku adalah pasal 1639 sub 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang mengandung ketentuan yang sangat penting, yaitu bahwa para sekutu dianggap saling memberikan kuasa untuk melakukan pengurusan bagi kawannya, jadi semacam pemberian kuasa secara diam-diam. pemberian kuasa itu tidak berdasar Bab XVI, buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Sementara, pada jabatan notaris, tugas utamanya adalah pelayanan kepada masyarakat dengan membuat akta oleh atau dihadapannya demi terwujudnya


(28)

kepastian hukum dan hal semacam kepengurusan tersebut tidak efektif untuk dijalankan karena menutup kesempatan kepada masyarakat untuk memilih sendiri notaris yang dipercayainya.

Tuntutan adanya jaminan kepastian hukum bagi masyarakat mengharuskan Notaris pada posisi jabatan yangIndependenatau tidak terikat oleh siapapun. Dengan demikian, Perserikatan Perdata Notaris tidak mengenal anggapan saling memberikan kuasa untuk melakukan pengurusan bagi teman serikatnya. Para Notaris tetaplah bertindak untuk diri sendiri sesuai dengan jabatannya yangIndependen.

Menurut Pasal 1633 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, cara membagi keuntungan dan kerugian itu sebaiknya diatur dalam perjanjian mendirikan perserikatan perdata, dengan cara tidak boleh memberikan seluruh keuntungan kepada seorang sekutu saja (Pasal 1635 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), sebab ini melanggar “mengejar keuntungan bersama”. Tetapi sebaliknya undang-undang memperbolehkan pembebanan seluruh kerugian kepada seorang sekutu saja (Pasal 1635 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

Kalau dalam perjanjian tidak ada aturan tentang cara membagi keuntungan dan kerugian, maka berlakulah Pasal 1633 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menetapkan bahwa pembagian itu harus dilakukan menurut asas “keseimbangan pemasukan”, dengan pengertian bahwa pemasukan yang berupa tenaga kerja hanya dipersamakan dengan pemasukan uang atau benda yang terkecil (Pasal 1633 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).


(29)

Sementara dalam perserikatan perdata Notaris, tidak mengenal cara pembagian keuntungan sebagaimana dimaktub diatas. Sebab, dikarenakan Jabatan notaris merupakan profesi luhur yang mempunyai kewenangan yang sama, sehingga menempatkan para notaris dalam posisi sederajat. Tentunya para notaris akan mendapatkan Honorarium langsung dari klien masing-masing dan mempertanggung jawabkan pekerjaannya masing-masing.

Dari kesinambungan-kesinambungan di atas nampak adanya persepsi yang lain menyangkut arti dari perserikatan perdata, padahal makna yang jelas menyangkut arti perserikatan sangat penting bagi para notaris dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai Pejabat Umum agar tidak merugikan kepentingan masyarakat banyak yang membutuhkan jasa notaris.

Berdasarkan temuan-temuan tersebut memandang perlu meneliti dan mengkaji secara ilmiah persoalan ini mengenai Efektivitas Penerapan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perdata.

B. Perumusan masalah

Berdasarkan Latar Belakang permasalahan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Apa yang menjadi dasar lahirnya kententuan tentang perserikatan perdata notaris?


(30)

2. Apakah Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perdata dapat mempertahankan kemandirian dan kewajiban merahasiakan yang diwajibkan terhadap notaris?

3. Apakah Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perdata efektif untuk diterapkan?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui apa yang menjadi dasar lahirnya kententuan tentang perserikatan perdata notaris

b. Untuk mengetahui dan mengkaji apakah Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perdata tetap dapat mempertahankan kemandirian dan kewajiban merahasiakan yang diwajibkan terhadap notaris

c. Untuk mengetahui Apakah Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 tentang


(31)

Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perdata efektif untuk diterapkan

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini akan memberikan manfaat dalam dunia pendidikan kenotariatan yaitu :

1. Dari segi Praktis, bagi Notaris, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dalam rangka mengetahui Efektif atau tidaknya Penerapan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perdata.

2. Dari segi Teoritis, bagi akademisi penelitian ini diharapkan memberi manfaat teoritis berupa sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya bidang ilmu kenotariatan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di Kepustakaan Universitas Sumatera Utara dan Kepustakaan Sekolah Pascasarjana, maka penelitian dengan judul “EFEKTIVITAS PENERAPAN PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.HH.01.AH.02.12 TAHUN 2010 TENTANG PERSYARATAN


(32)

MENJALANKAN JABATAN NOTARIS DALAM BENTUK PERSERIKATAN PERDATA”, belum pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya.

Dengan demikian, maka penelitian ini dapat dijamin keasliannya dan dapat dipertanggung jawabkan dari segi isinya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran14.

Menurut M. Solly Lubis menyebutkan bahwa landasan teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang merupakan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan15.

Menurut Mukti Fajar teori adalah suatu penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena atau teori juga merupakan simpulan dari rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum16. Sedangkan suatu kerangka teori bertujuan menyajikan cara-cara bagaimana

14Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1986, hal.6. 15M.Solly Lubis,Filsafat Ilmu Dan Penelitian, Bandung, Mandar Maju, 1994, hal.80. 16Mukti Fajaret al.,Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta, PT. Pustaka Pelajar, 2010, hal.134.


(33)

mengorganisasi dan menginterpretasi hasil-hasil penelitian dan menghubungkan dengan hasil-hasil penelitian yang terdahulu17.

Tanggung jawab (responsibility) merupakan suatu refleksi tingkah laku manusia. Penampilan tingkah laku manusia terkait dengan kontrol jiwanya, merupakan bagian dari bentuk pertimbangan intelektualnya atau mentalnya. Bilamana suatu keputusan telah diambil atau ditolak, sudah merupakan bagian dari tanggung jawab dan akibat pilihannya. Tidak ada alasan lain mengapa hal itu dilakukan atau ditinggalkan. Keputusan tersebut dianggap telah dipimpin oleh kesadaran intelektualnya atau secara profesional.18Tanggung jawab dalam arti hukum adalah tanggung jawab yang benar-benar terkait dengan hak dan kewajibannya, bukan dalam arti tanggung jawab yang dikaitkan dengan gejolak jiwa sesaat atau yang tidak disadari akibatnya.

Dalam memberikan pelayanannya, profesional itu berarti bertanggung jawab kepada diri sendiri dan kepada masyarakat. Bertanggung jawab kepada diri sendiri, artinya dia bekerja karena integritas moral, intelektual dan profesional sebagai bagian dari kehidupannya dalam memberikan pelayanan sebagai bagian dari kehidupannya. Dalam memberikan pelayanan, seorang profesional selalu mempertahankan cita-cita luhur profesi sesuai dengan tuntutan kewajiban hati nuraninya, bukan karena sekedar hobi belaka. Bertanggung jawab kepada masyarakat, artinya kesediaan memberikan pelayanan sebaik mungkin tanpa membedakan antara pelayanan bayaran

17Burhan Ashshofa,Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, 1996, hal.19. 18Masyhur Efendi,Dimensi / Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional Dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 121.


(34)

dan pelayanan cuma-cuma serta menghasilkan layanan yang bermutu, yang berdampak positif bagi masyarakat.

Pelayanan yang diberikan tidak semata-mata bermotif mencari keuntungan, melainkan juga pengabdian kepada sesama manusia. berani bertanggung jawab menanggung segala resiko yang timbul akibat dari pelayanannya itu. Kelalaian dalam melaksanakan profesi menimbulkan dampak yang membahayakan atau mungkin merugikan diri sendiri, orang lain dan berdosa kepada Tuhan.19

Dalam menjalankan jabatan notaris, notaris mempunyai tanggung jawab moral terhadap profesinya. Menurut Paul F. Camanisch sebagaimana dikutip oleh K. Bertens menyatakan bahwa profesi adalah suatu masyarakat moral (moral community) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama. Kelompok profesi memiliki kekuasaan sendiri dan tanggung jawab khusus. Sebagai profesi, kelompok ini mempunyai acuan yang disebut Kode Etik Profesi.20Kode Etik tersebut secara faktual merupakan norma-norma atau ketentuan, yang ditetapkan dan diterima oleh seluruh anggota kelompok profesi.

Oleh karena itu dalam meneliti tentang efektivitas penerapan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perdata menggunakan teori sebagai pisau analisis untuk menjelaskan permasalahan yang ada yaitu dengan teori dari Hans kelsen

19Abdul kadir Muhammad,Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 60. 20E. Sumaryono,Etika Profesi Hukum: Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, Kanisivs, Yogyakarta, 1995, hlm. 147.


(35)

tentang tanggung jawab hukum. Satu konsep yang berhubungan dengan konsep tanggung jawab hukum. Bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, subyek berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan atas profesinya.21

Menurut Hans Kelsen:22

Kegagalan untuk melakukan kehati-hatian yang diharuskan oleh hukum di sebut “kekhilapan” (negligence); dan kekhilapan biasanya dipandang sebagai satu jenis lain dari “kesalahan” (culpa), walaupun tidak sekeras kesalahan yang terpenuhi karena mengantisipasi dan menghendaki, dengan atau tanpa maksud jahat, akibat yang membahayakan.

Jabatan notaris merupakan jabatan yang mandiri dan merupakan jabatan kepercayaan yang harus selaras dengan mereka yang menjalankan tugas jabatan notaris sebagai orang yang dapat dipercaya. Notaris sebagai jabatan yang mandiri berarti menempatkan para notaris dalam posisi yang sederajat, karena notaris tidak mengenal adanya pembagian keahlian sehingga ia mampu menjalankan tugas jabatannya sendiri-sendiri tanpa ada bantuan ataupun intervensi dari pihak lain.

Notaris sebagai jabatan kepercayaan berarti bertanggung jawab untuk menyimpan rahasia mengenai akta yang dibuatnya dan keterangan/pernyataan para pihak yang diperoleh dalam pembuatan akta, kecuali undang-undang

21 Hans Kelsen (Ahli Bahasa oleh Somardi), General Theory Of law and State, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Jakarta, BEE Media Indonesia, 2007, hal, 81.


(36)

memerintahkannya untuk membuka rahasia dan memberikan keterangan/pernyataan tersebut kepada pihak yang memintanya.

Hal tersebut di atas merupakan hak ingkar notaris yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 16 ayat (1) huruf e Undang-Undang Jabatan Notaris. Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Jabatan Notaris mengenai sumpah notaris menyatakan : Bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya. Sedangkan Pasal 16 ayat (1) huruf e Undang-Undang Jabatan Notaris menyatakan: Notaris berkewajiban merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain.

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia nomor M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris dalam Bentuk Perserikatan Perdata tidak mengatur secara terperinci bagaimana cara menjaga kemandirian dan menjaga kepercayaan yang ditekankan terhadap seorang notaris, bagaimana cara merahasiakan isi akta dan segala yang ada didalam akta tersebut jika berserikat dan bagaimana melakukan pengurusan terhadap perserikatan, walaupun para notaris tersebut sudah berbentuk sebagai suatu perserikatan, tetapi di antara notaris tersebut, tetap tidak boleh saling bekerja sama dalam hal menjalankan jabatannya serta tidak diperbolehkan untuk membeberkan isi akta dan rahasia klien yang dipercayakan kepadanya yang diragukan sukar untuk dijalankan jika notaris tersebut berserikat, yang dapat dilakukan seharusnya hanyalah sebatas kantor


(37)

bersama notaris tanpa adanya intervensi kepengurusan, pembagian keuntungan dan lain sebagainya.

Perserikatan antar para notaris sangat sukar untuk dijalankan dikarenakan pada prinsipnya notaris adalah suatu profesi jabatan yang mandiri yang berarti independen, bekerja secara sendiri-sendiri, dan juga harus menjaga kepercayaan kliennya untuk merahasiakan segala perbuatan hukum yang dilakukan klien notaris tersebut, seorang notaris yang tidak dapat membatasi dirinya untuk melakukan kewajiban tersebut maka akibatnya di dalam praktek dia akan mengalami kehilangan kepercayaan publik dan ia tidak lagi dianggap sebagai orang kepercayaan.

Dengan diberlakukannya perserikatan perdata notaris tersebut maka akan berdampak mengurangi persaingan dan pilihan masyarakat tentang notaris yang dikehendakinya, lebih-lebih di tempat-tempat dimana hanya ada beberapa notaris. Selain dari itu adanya perserikatan diantara para notaris akan menyebabkan kurang terjaminnya kewajiban merahasiakan yang dibebankan kepada para notaris tersebut serta dikhawatirkan akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat di antara para notaris, karena bila beberapa notaris yang berserikat tersebut memiliki hubungan kekeluargaan maka akan terjadi dominasi kepengurusan yang tidak terputus dikhawatirkan juga para notaris yang sudah pensiun sekalipun dapat menjalankan perannya dibalik layar dengan membawa nama perserikatan, segala pelanggaran yang dilakukan notaris terhadap hal-hal tersebut dibebankan kepada jabatan notaris itu sendiri.


(38)

2. Kerangka Konsepsi

a. Perserikatan Perdata notaris adalah,

“Perjanjian kerjasama para notaris yang bersatu dalam kantor bersama akan tetapi bersentuhan dengan pengurusan, pertanggung jawaban, maupun pembagian keuntungan dan kerugian sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

b. Kantor bersama notaris adalah,

“Notaris bersama-sama dalam satu kantor, tidak bersentuhan dengan pengurusan, pertanggung jawaban, maupun pembagian keuntungan dan kerugian seperti dalam perserikatan perdata yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. c. Rahasia Jabatan notaris adalah

“kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu yang menyangkut isi akta ataupun hal-hal yang disampaikan klien kepada notaris tetapi tidak dimuat dalam akta yakni untuk hal-hal yang diketahuinya karena jabatannya (uit hoofde van Zijn ambt) termasuk sampai kepada siapa klien yang datang kepadanya”

d. Formasi notaris adalah

“penentuan jumlah notaris di suatu wilayah kerja” e. Kemandirian notaris adalah

“Sikap mandiri dan profesional seorang notaris dalam menjalankan profesinya sesuai dengan Undang-Undang dan kode etik, serta mampu menjalankan jabatannya dan tanggung jawab pekerjaannya secara sendiri-sendiri tanpa adanya intervensi dari pihak manapun”


(39)

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Penelitian dalam bahasa Inggris disebut research, adalah suatu aktivitas “pencarian kembali” pada kebenaran (truth)23. Pencarian kebenaran yang dimaksudkan adalah upaya-upaya manusia untuk memahami dunia dengan segala rahasia yang terkandung didalamnya untuk mendapat solusi atau jalan keluar dari setiap masalah yang dihadapinya24.

Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian ini, maka sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis, maksudnya adalah “mengambarkan semua gejala dan fakta yang ada dilapangan serta mengkaitkan dan menganalisa semua gejala dan fakta tersebut dengan permasalahan yang ada dalam penelitian dan kemudian disesuaikan25” Dalam Hal ini diarahkan untuk menelaah dan menjelaskan serta menganalisa teori hukum yang bersifat umum dan peraturan perundang-undangan dan peraturan-peraturan lainnya yang berlaku mengenai perserikatan perdata notaris, sehingga diharapkan dapat diperoleh penjelasan tentang bagaimana tanggung jawab dan tatacara menjalankan perserikatan perdata notaris yang baik dan sebagai hasilnya diharapkan dapat menjelaskan bagaimana kedudukan notaris dalam pelaksanaan perserikatan perdata notaris di Indonesia.

Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian hukum normatif, yaitu meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma26. Soerjono

23Sutandyo Wigyosubroto,Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika masalahnya, Huma, 2002, hal. 39.

24Mukti Fajar et al.,Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Loc.Cit, hal. 20. 25Winarto Surakhmad,Dasar dan Teknik Research, Bandung, Tarsito, 1978, hal. 132. 26Mukti Fajar et al.,Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Loc.Cit, hal. 34.


(40)

Soekanto dan Sri Mamudji27memberikan pendapat penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan (data sekunder) yang mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah.

Dilihat dari pendekatannya, maka penelitian ini menggunakan pendekatan analitis yuridis (law Analytical Approach) yaitu pendekatan ini dilakukan dengan mencari makna pada istilah-istilah hukum yang terdapat di dalam perundang-undangan dan peraturan-peraturan lainnya, dengan begitu peneliti memperoleh pengertian atau makna baru dari istilah-istilah hukum dan menguji penerapannya secara praktis dan menganalisa peraturan-peraturan hukum tersebut. Pendekatan analitis ini digunakan oleh peneliti dalam rangka melihat efektivitas penerapan perserikatan perdata notaris dengan pertimbangan Kitab Undang-Undang hukum Perdata dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia nomor M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perdata.

2. Metode Pengumpulan Data

Dalam Penelitian Hukum Normatif atau kepustakaan, teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan non hukum.

27Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo, 2010, hal. 15.


(41)

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni : 1). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2). Undang-Undang nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

3). Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia nomor M.HH.01.AH.02.12 Tahun 2010 tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perdata.

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti : wawancara dengan nara sumber, hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah dari kalangan hukum, yang terkait dengan masalah penelitian.

c. Bahan non hukum adalah bahan pendukung diluar bidang hukum seperti kamus ensiklopedi atau majalah yang terkait dengan masalah penelitian ini.

3. Alat Pengumpulan Data

Alat Pengumpulan data dalam penelitian ini yang dipergunakan adalah dengan cara : a. Wawancara yaitu menghimpun data dengan melakukan wawancara yang

menggunakan pedoman wawancara untuk mendapatkan data sekunder dari nara sumber yang telah ditentukan yaitu :

1). Notaris sebanyak 2 (dua) orang.


(42)

b. Studi dokumen, yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum.

4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang akurat dan relevan, dilaksanakan 2 (dua) tahap penelitian antara lain :

a. Penelitian Lapangan

Dilakukan penelitian ke lapangan untuk memperoleh bahan hukum sekunder dengan melalui pengumpulan data yang merupakan bahan penelitian.

b. Penelitian Kepustakaan.

Penelitian Kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data primer baik yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Setelah di inventarisir dilakukan penelaahan untuk membuat intisari dari setiap peraturan yang bersangkutan.

5. Analisis Data

Analisis data merupakan kegiatan dalam penelitian berupa melakukan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu dengan teori-teori yang telah didapatkan sebelumnya. Secara sederhana analisis data ini disebut sebagai kegiatan memberikan telaah, yang dapat berarti menentang, mengkritik, mendukung, menambah, atau memberi komentar dan kemudian membuat suatu kesimpulan terhadap hasil penelitian dengan pikiran sendiri dan dibantu dengan teori yang telah dikuasainya28. Analisa data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan


(43)

kedalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar29.

Analisis data pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif, yaitu dari data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis kemudian dianalisa secara kualitatif untuk mencapai kejelasan terhadap masalah yang akan dibahas. Analisis data kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang nyata, diteliti dan dipelajari secara utuh.

Pengertian analisis disini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan penginterpretasian secara logis, sistematis. Logis sistematis menunjukan cara berfikir deduktif-induktif dan mengikuti tata tertib dalam penulisan laporan penelitian ilmiah. Setelah analisis data selesai maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif, yaitu dengan menuturkan dan mengambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti.30

29Burhan Bungi,Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 53.

30H.B. Sutopo,Metodologi Penelitian Hukum Kualitatif Bagian II, UNS Press, Surakarta, 1998, hal. 37.


(44)

BAB II

DASAR LAHIRNYA KENTENTUAN TENTANG PERSERIKATAN PERDATA NOTARIS

Perserikatan Perdata diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menurut pasal 1618 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Persekutuan Perdata merupakan “suatu perjanjian dimana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu kedalam persekutuan dengan maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya.” Menurut pasal tersebut syarat Persekutuan Perdata adalah adanya pemasukan sesuatu kedalam persekutuan (inbreng), dan ada pula pembagian keuntungan dari hasil pemasukan tersebut, suatu Perserikatan Perdata dibuat berdasarkan perjanjian oleh para pihak yang mendirikannya. Dalam perjanjian itu para pihak berjanji memasukan sesuatu (modal) kedalam persekutuan, dan hasil dari usaha yang dijalankan (keuntungan) kemudian dibagi diantara para pihak sesuai perjanjian.

Undang-undang tidak menentukan mengenai cara pendirian perserikatan, sehingga perjanjian perserikatan bentuknya bebas. Tetapi dalam praktek, hal ini dilakukan dengan akta otentik ataupun akta dibawah tangan. Juga tidak ada ketentuan yang mengharuskan pendaftaran dan pengumuman bagi perserikatan, hal ini sesuai dengan sifat maatschap yang tidak menghendaki adanya publikasi (terang-terangkan).


(45)

Perjanjian untuk mendirikan perserikatan, disamping harus memenuhi ketentuan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, juga harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. tidak dilarang oleh hukum;

b. tidak bertentangan dengan tatasusila dan ketertiban umum; dan

c. harus merupakan kepentingan bersama yang dikejar, yaitu keuntungan.

A. Sejarah Lahirnya Perserikatan Perdata 1. Perserikatan Perdata

Maatschap atau Perserikatan Perdata, adalah kumpulan dari orang-orang yang biasanya memiliki profesi yang sama dan berkeinginan untuk berhimpun dengan menggunakan nama bersama. Perserikatan Perdata sebenarnya adalah bentuk umum dari Firma dan Perseroan Komanditer (Comanditaire Venootschap).

Dimana sebenarnya aturan dari perserikatan perdata, Firma dan Comanditaire Venootschap pada dasarnya sama, namun ada hal-hal yang membedakan di antara ketiganya. Perserikatan ini diatur dalam bab ke VIII bagian pertama dari buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.

Di Inggris perserikatan perdata dikenal dengan istilah Hukum Persekutuan dengan namacompany lawyakni adalah himpunan hukum atau ilmu hukum mengenai bentuk-bentuk kerjasama, baik yang berstatus badan hukum (partnership) ataupun yang tidak berstatus badan hukum (corporation)


(46)

Di Belanda istilah Hukum Persekutuan dikenal dengan nama

Vennotschapsretchts yang lebih sederhana sekedar terbatas pada NV, Firma dan CV yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, sedangkan Perserikatan Perdata (maatschap) yang dianggap sebagai induknya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Pengertian Perserikatan Perdata pada pasal 1618 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah perjanjian antara dua orang atau lebih mengikat diri untuk memasukkan sesuatu (inbreng) ke dalam persekutuan dengan maksud membagi keuntungan yang diperoleh karenanya.

Unsur-unsurnya ialah :

1. Adanya suatu perjanjian kerjasama antara dua orang atau lebih

2. masing-masing pihak harus memasukkan sesuatu ke dalam persekutuan (inbreng) 3. bermaksud membagi keuntungan bersama

Angela Schneeman mendefinisikan partnership sebagai suatu asosiasi yang terdiri dari dua orang atau lebih melakukan kepemilikan bersama suatu bisnis untuk mendapatkan keuntungan. Partnership dapat juga diartikan sebagai suatu perjanjian (agreement) diantara dua orang atau lebih untuk memasukkan uang, tenaga kerja, dan keahlian ke dalam suatu perusahaan, untuk mendapatkan keuntungan yang dibagi bersama sesuai dengan bagian atau proporsi yang telah disepakati bersama.

Di Inggris, menurut Pasal 1 Partnership Act 1890 perserikatan perdata adalah hubungan antara orang yang menjalankan kegiatan bisnis dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan (partnership is relation which subsists between persons carrying a business in common with a view to profit).


(47)

Di Malaysia, perserikatan perdata ini dikenal dengan istilah ‘perkongsian”.

Perkongsianmenurut Seksysen 3 (1) AktaPerkongsian(Partnership Act) 1961 (yang telah diperbaharui pada 1974) adalah “perhubungan yang wujud antara orang-orang yang menjalankan perniagaan” (the relation which subsist between persons carrying on business in common with a view of profit).31

Dari perserikatan perdata baik yang dianut di Inggris, Amerika Serikat, dan Malaysia dapat ditarik beberapa unsur yang melekat dalam persekutuan perdata yakni:32

1. Ketentuan di atas secara tegas tidak memasukkan persekutuan perdata sebagai perusahaan yang terdaftar berdasarkan ketentuan perundang-undangan perusahaan;

2. Persekutuan perdata merupakan hubungan kontraktual; 3. Persekutuan itu menjalankan suatu kegiatan bisnis;

4. Persekutuan didirikan dan dijalankan dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan.

Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa perserikatan perdata baik dalam sistem hukum Indonesia maupun dalam sistem common law memiliki kesamaan, Kesamaan itu terletak pada hubungan para sekutu didasarkan perjanjian. Dengan perkataan lain, persekutuan perdata tunduk pada hukum perjanjian.

Orang (person) yang melakukan kerjasama di dalam persekutuan tersebut dapat berupa perorangan, perserikatan perdata, perusahaan yang berbadan hukum, atau bentuk persekutuan lainnya.

31Shaik Mohd. Noor Alam S.M. Hussain,Undang-Undang Komersil Malaysia(Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2000), hlm 248. Lihat juga Lee Mei Pheng,General Principles of Malaysian Law(Selangor Darul Ehasan: Fajar Bakti Sdn. Bhd, 2002), Hal 382.


(48)

Makna bisnis (business) di dalam definisi persekutuan di atas mencakup setiap aktivitas atau kegiatan dalam bidang perdagangan dan pekerjaan (occupation) atau profesi (profession). Dengan demikian, perserikatan perdata dapat merupakan suatu wadah untuk menjalankan kegiatan yang bersifat komersial dan profesi seperti pengacara (advokat) dan akuntan.

Dari makna perserikatan perdata di atas, jelas bahwa jumlah sekutu dalam perserikatan perdata minimal ada dua orang. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak menyebutkan berapa jumlah maksimal sekutu dalam perserikatan. Di dalam Akta Perkongsian Malaysia diatur jumlah maksimal sekutu (pekongsi) dalam perserikatan perdata. Seksysen 14 dan 47 (2) Akta Perkongsian menentukan bahwa, jumlah maksimum bagi sekutu adalah dua puluh orang, dan bagi perserikatan menjalankan profesi maksimum tiga puluh orang dengan syarat profesi itu hendaklah sesuatu yang lazimnya tidak dijalankan oleh “syarikat” atau badan perniagaan yang diatur berdasarkan AktaSyarikat.33

Mengenai pembubaran perserikatan, Pasal 1646 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur bahwa suatu perserikatan hanya dapat berakhir apabila: 1. Lewatnya waktu untuk mana perserikatan telah diadakan ;

2. Musnahnya barang atau diselesaikannya perbuatan yang menjadi pokok Perserikatan ;

3. Atas kehendak semata-mata dari beberapa orang sekutu ;

4. Jika salah seorang sekutu meninggal atau ditaruh di bawah pengampuan atau dinyatakan pailit.

Untuk perserikatan yang didirikan untuk waktu yang tidak tertentu, maka pembubarannya berlaku pasal 1649 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu


(49)

dengan kehendak beberapa atau seorang sekutu. Pembubaran dilakukan dengan suatu pemberitahuan penghentian pada seluruh sekutu lainnya. Pemberitahuan penghentian ini harus dilakukan dengan itikad baik, dan tidak dilakukan dengan secara tidak memberikan waktu.

Menurut pandangan klasik, Burgelijke Maatschap atau lebih popular disebut

Maatschap/Perserikatan Perdata merupakan bentuk genus (umum) dari Persekutuan Firma (VoF) dan Persekutuan Komanditer (Comanditaire Venootschap). Bahkan menurut pandangan klasik, tadinya Maatschap/Perserikatan tersebut merupakan bentuk genus pula dari Perseroan Terbatas. Hanya saja, karena saat ini tentang Perseroan Terbatas sudah jauh berkembang, maka ada pendapat yang mengatakan Perseroan Terbatas bukan lagi termasuk bentukspecies(khusus) dariMaatschap.34

Menurut kepustakaan, Maatschap itu bersifat 2 (dua) muka, yaitu bisa untuk kegiatan yang bersifat komersial atau bisa pula untuk kegiatan non komersial termasuk dalam hal ini untuk perserikatan-perserikatan menjalankan profesi. Dalam praktek dewasa ini, yang paling banyak dipakai justru untuk non profit kegiatan profesi itu, misalnya persekutuan diantara para lawyer dan notaris yang biasa dikenal sebagai “associated” atau “partner” (rekan) atau “compagnon” yang disingkat “Co”.35

34Rudhi Prasetya,Maatschap, Firma, dan Persekutuan Komanditer, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hal.2


(50)

2. Jenis-jenis Perserikatan Perdata

1) Perserikatan Perdata Umum (Pasal 1622 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) Perserikatan Perdata umum meliputi apa saja yang akan diperoleh para sekutu sebagai hasil usaha mereka selama perserikatan berdiri. Perserikatan jenis ini usahanya bisa bermacam-macam (tidak terbatas) yang penting inbrengnya ditentukan secara jelas/terperinci.

2) Perserikatan Perdata Khusus (Pasal 1623 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) Perserikatan Perdata khusus (bijzondere maatschap) adalah perserikatan yang gerak usahanya ditentukan secara khusus, bisa hanya mengenai barang-barang tertentu saja, atau pemakaiannya, atau hasil yang akan didapat dari barang-barang itu, atau mengenai suatu usaha tertentu atau penyelenggaraan suatu perusahaan atau pekerjaan tetap. Jadi, penentuannya ditekankan pada jenis usaha yang dikelola oleh perserikatan baik dalam bentuk umum ataupun khusus, bukan pada inbrengnya.

Mengenaiinbreng, baik pada perserikatan umum maupun perserikatan khusus harus ditentukan secara jelas/terperinci. Kedua perserikatan ini dibolehkan. Yang tidak dibolehkan adalah perserikatan yang sangat umum yang inbrengnya tidak diatur secara terperinci seperti yang disinggung oleh Pasal 1621 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Perserikatan termasuk salah satu jenis permitraan (partnership) yang dikenal dalam hukum Perusahaan di Indonesia disamping bentuk lainnya seperti


(51)

Perserikatan merupakan bentuk usaha yang biasa dipergunakan oleh para Konsultan, Ahli Hukum, Dokter, Arsitek dan profesi-profesi sejenis lainnya.

Perserikatan perdata merupakan bentuk permitraan yang paling sederhana karena:36

a. Dalam hal modal, tidak ada ketentuan tentang besarnya modal, seperti yang berlaku dalam Perseroan Terbatas (PT) yang menetapkan besar modal minimal ;

b. Dalam rangka memasukkan sesuatu dalam persekutuan atau maatschap, selain berbentuk uang atau barang, boleh menyumbangkan tenaga saja;

c. Lapangan kerjanya tidak dibatasi, juga bisa dalam bidang perdagangan;

d. Tidak ada pengumuman kepada pihak ketiga seperti yang dilakukan dalam Firma

B. Perserikatan Perdata sebagai Hal Baru dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

1. Perserikatan Perdata Notaris

Setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang diundangkan pada tanggal 6 Oktober 2004, kebijakan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia di bidang kenotariatan mengalami perubahan. Kebijakan kenotariatan yang sebelumnya didasarkan pada Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M-01.HT.03.01 Tahun 2003 tentang Kenotarisan, telah diubah dan disempurnakan dengan Peraturan Menteri Hukum dan


(52)

Hak Asasi Manusia Nomor M.01.HT.03.01 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Perpindahan dan Pemberhentian Notaris.

Salah satu kebijakan yang baru dikeluarkan bagi Notaris adalah sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang menetapkan bahwa Notaris dapat menjalankan jabatannya dalam bentuk perserikatan perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian dan ketidakberpihakan dalam menjalankan jabatannya. Selanjutnya disebutkan bahwa bentuk perserikatan perdata yang akan digunakan diatur oleh para Notaris berdasarkan peraturan perundang-undangan, sedangkan ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dalam menjalankan jabatan Notaris diatur dalam Peraturan Menteri.

Sebelum ada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004, Notaris tunduk pada Stbl.Nomor 3 Tahun 1860 tentang Peraturan Jabatan Notaris. Pada Pasal 12 Peraturan Jabatan Notaris terdapat larangan bagi notaris untuk mengadakan perserikatan. Adapun pertimbangan untuk tidak memperkenankan para notaris untuk mengadakan perserikatan adalah karena perserikatan tidak menguntungkan bagi masyarakat umum. Dikatakan tidak menguntungkan karena perserikatan akan mengurangi persaingan dan pilihan masyarakat terhadap notaris yang dikehendakinya. Selain itu dikhawatirkan perserikatan semacam ini akan menyebabkan kurang terjaminnya kewajiban merahasiakan yang dibebankan kepada para notaris.37


(53)

Saat ini jumlah notaris sangatlah banyak (sampai dengan akhir Juni 2011 jumlah notaris di Indonesia tercatat sudah mencapai angka 12.350 orang)38, sehingga diperlukan pemikiran baru untuk mengatasi membludaknya jumlah notaris yang ada.

Berdasarkan perintah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tersebut, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia yang berperan sebagai regulator merancang Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris dalam Bentuk Perserikatan Perdata.

Rancangan Peraturan Menteri tersebut disusun oleh suatu tim yang terdiri dari unsur dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia yang terdiri dari Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum dan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, unsur ahli/akademisi, organisasi Notaris, dan Majelis Pengawas Notaris. Saat ini Tim tersebut sudah menyelesaikan Peraturan Menteri tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris dalam Bentuk Perserikatan Perdata dan Peraturan Menteri ini sudah disyahkan oleh Patrialis Akbar yang pada saat itu menjabat selaku Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

Peraturan Menteri tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris dalam Bentuk Perserikatan Perdata tersebut diundangkan di Jakarta, tepatnya pada tanggal 08 Pebruari 2010 (selanjutnya akan disebut “Peraturan Menteri”) memuat ketentuan sebagai berikut :

38

Abdul Bari Azed, “Kebijakan Pemerintah di Bidang Kenotariatan”,


(54)

Pengertian-pengertian atau definisi-definisi yang terdapat pada ketentuan umum Peraturan Menteri tersebut ialah;

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri, Perserikatan Perdata Notaris adalah: “Perjanjian kerjasama para Notaris dalam menjalankan jabatan masing-masing sebagai Notaris dengan memasukkan semua keperluan untuk mendirikan dan mengurus serta bergabung dalam satu kantor bersama.

Menurut ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Tujuan Perserikatan meliputi : a. meningkatkan pelayanan kepada masyarakat di bidang kenotariatan ;

b. meningkatkan pengetahuan dan keahlian teman serikat ; dan c. efisiensi biaya pengurusan kantor.

Dalam hal yang menjadi tujuan dalam pasal 2 huruf b pendirian perserikatan perdata tersebut, yakni ” meningkatkan pengetahuan dan keahlian teman serikat ” dikaji berdasarkan prinsip kemandirian maka hal tersebut bertolak belakang dengan apa yang sudah menjadi kewajiban seorang notaris, terlebih-lebih calon notaris tersebut telah sudah melewati masa magang selama 1 tahun, seharusnya calon notaris harus sudah memiliki bekal yang cukup dan telah matang dalam pengetahuan yang seharusnya sudah dimilikinya pada saat proses perkuliahan Magister Kenotariatan dan masa magang selama 1 tahun, bukan meningkatkan pengetahuan dan keahlian pada saat telah berserikat, tujuan tersebut seolah-olah mengizinkan calon notaris yang belum matang dalam berkarir untuk menjadi seorang notaris dan melayani masyarakat, hal tersebut berindikasi terhadap kesalahan-kesalahan yang mungkin akan dibuat dalam aktanya dan minimnya pengetahuan untuk memberikan sosialisasi


(55)

hukum kepada masyarakat sehingga akan membuat citra buruk bagi dunia kenotariatan.

Menurut Pasal 1633 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, cara membagi keuntungan dan kerugian itu sebaiknya diatur dalam perjanjian mendirikan perserikatan perdata, dengan cara tidak boleh memberikan seluruh keuntungan kepada seorang sekutu saja (Pasal 1635 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), sebab ini melanggar “mengejar keuntungan bersama”. Tetapi sebaliknya undang-undang memperbolehkan pembebanan seluruh kerugian kepada seorang sekutu saja (Pasal 1635 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

Kalau dalam perjanjian tidak ada aturan tentang cara membagi keuntungan dan kerugian, maka berlakulah Pasal 1633 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menetapkan bahwa pembagian itu harus dilakukan menurut asas “keseimbangan pemasukan”, dengan pengertian bahwa pemasukan yang berupa tenaga kerja hanya dipersamakan dengan pemasukan uang atau benda yang terkecil (Pasal 1633 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

Sementara dalam dunia kenotariatan, tidak mengenal cara pembagian keuntungan menurut ketentuan sebagaimana termaktub diatas. Sebab, dikarenakan Jabatan Notaris merupakan Profesi Luhur yang mempunyai kewenangan yang sama, sehingga menempatkan para notaris dalam posisi sederajat. Tentunya para notaris akan mendapatkan Honorarium langsung dari kliennya masing-masing. Dengan demikian, penerapan perserikatan perdata Notaris tidak lebih kepada kantor bersama.


(56)

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menyusun penjelasan pasal demi pasal suatu Undang-Undang, yaitu:

1. Tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh. 2. Tidak memperluas atau menambah norma yang ada dalam batang tubuh.

3. Tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam batang tubuh.

4. Tidak mengulangi uraian kata, istilah, atau pengertian yang telah dimuat di dalam ketentuan umum.

Akan tetapi, pembentuk Undang-Undang Jabatan Notaris telah membuat suatu aturan yang bertentangan antara batang tubuh dan penjelasan. Dimana dalam batang tubuh Pasal 20 ayat (1) menyatakan perserikatan perdata, yang semestinya harus mengikuti aturan yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tapi dalam penjelasannya mengatakan maksud dari perserikatan perdata tersebut hanya berupa kantor bersama. Tentunya juga telah terjadi penambahan norma baru yang dimana antara batang tubuh dan penjelasan mempunyai konsep hukum yang berbeda.

Dengan demikian, penjelasan semestinya sebagai sarana untuk memperjelas norma batang tubuh, tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dijelaskan.

Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah melalui pengurus pusatnya Maferdy Yulius, sebagai ketua tim revisi Undang-Undang Jabatan Notaris dan sekretarisnya Otty Hari Chandra Ubayani menyatakan bahwa kami ingin agar Undang-Undang Jabatan Notaris bisa mencegah monopoli notaris agar tercipta keadilan dan


(57)

pemerataan rezeki. Coba lihat pasal 20 yang membolehkan notaris membuat perserikatan perdata sehingga bisa melakukan semacam monopoli terhadap klien. Notaris-notaris yang sudah pensiun bisa saja tetap menguasai klien-kilennya melalui perserikatan perdata. Mereka yang sudah pensiun itu akan mewariskan kliennya kepada orang-orangnya atau keluarganya, sehingga nanti terjadi semacam "dinasti notaris". Akibatnya notaris yang lain tidak kebagian rezeki. Pasal 20 Undang-Undang Jabatan Notaris antara lain menyatakan bahwa notaris dalam menjalankan jabatannya (dalam bekerja) boleh membuat perserikatan perdata atau perkumpulan. Pasal 20 ini telah diusulkan Ikatan Notaris Indonesia untuk dikuatkan di dalam Rancangan perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris. Kami tidak setuju karena akan merugikan notaris lain. Misalnya ada notaris yang sudah masuk waktu pensiun dan ingin tetap menguasai "ladang rezeki"nya, maka ia akan membuat perkumpulan itu dengan notaris lain yang belum pensiun. Bisa saja Ia membuat perkumpulan notaris dengan anaknya, istrinya, keponakannya atau mantan assistennya. Dengan demikian, boleh dibilang, pasal ini akan membuat notaris yang seperti ini berkuasa sampai akhir hayatnya dengan menciptakan oligarki kepemimpinan. Sementara itu notaris lainnya gigit jari. Masalah-masalah inilah yang mestinya jadi fokus perhatian dalam revisi Undang-Undang Jabatan Notaris. Di dalam agenda Rancangan perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris yang dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat dan usulan-usulan Ikatan Notaris Indonesia, kami tidak melihat perhatian terhadap masalah kelangsungan hajat hidup para notaris yang seharusnya dilindungi. Kami tidak melihat ada upaya melindungi notaris dari


(58)

monopoli atau oligarki notaris yang ingin menguasai sendiri "ladang pekerjaan" yang seharusnya untuk orang banyak sebagaimana yang diakomodir pada pasal 20 Undang-Undang Jabatan Notaris.39

Dalam hal lain yang menjadi tujuan Perserikatan tersebut sedikit menimbulkan polemik tersendiri, sebagaimana yang diungkapkan Herlin Budiono40: “Bahwa kehadiran asosiasi notaris di Indonesia adalah suatu dilema, disatu pihak ia ingin meningkatkan kualitas pelayanan notaris yang lebih baik, namun di segi lain kita belum siap dengan disiplin, nilai moral dan etika profesi yang tinggi dikhawatirkan jangan-jangan asosiasi notaris berubah menjadi perusahaan akta notaris”.

Adapun pendapat lain mengatakan seperti yang dikemukakan Menurut G.H.S.Lumban Tobing41:

Bahwa persekutuan sedemikian tidak menguntungkan bagi masyarakat umum, oleh karena hal itu berarti mengurangi persaingan dan pilihan masyarakat tentang notaris yang dikehendakinya, lebih-lebih di tempat-tempat dimana hanya ada beberapa notaris. Selain dari itu adanya persekutuan diantara para notaris akan menyebabkan kurang terjaminnya kewajiban merahasiakan yang dibebankan kepada para notaris.

Menurut G.H.S.Lumban Tobing, adanya persyaratan untuk terlebih dahulu menjalani suatu masa magang sebelum seseorang diangkat sebagai notaris adalah penting karena selama masa magang itulah sebenarnya seorang notaris dapat

39Maferdy Yulius dan Otty Hari Chandra Ubayani,Revisi Undang-Undang Jabatan Notaris Utamakan Pemerataan Rezeki,

http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:zns4RiIgYyIJ:medianotaris.com/revisi_uujn_ utamakan_pemerataan_rezeki_berita111.html%3Flang%3Den+perserikatan+perdata+notaris&cd=30& hl=id&ct=clnk&gl=id,diakses pada tanggal 15 Mei 2012.

40 Burhanuddin Hussaini,Loc Cit,Hal. 71.


(1)

penjelasan-penjelasan mengenai pengaturan peraturan tersebut dan bentuk paling sesuai jika hendak melakukan suatu terobosan sebagai jalan keluar mengantisipasi membludaknya jumlah notaris adalah dengan memberikan kewenangan sebatas kantor bersama notaris dengan tetap memerlukan peran aktif Majelis Pengawas Notaris yang memiliki fungsi pembinaan serta pengawasan.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Adjie, Habib.,Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Bandung: PT.Refika Aditama, 2008.

___________,Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2009.

___________, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris. Bandung: PT. Refika Aditama, 2008.

Algra, H.R.W. Gokkel, N.E. dkk,Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, Belanda-Indonesia, Bina Cipta, Jakarta, 1983.

Ali, Chaidir,Badan Hukum¸ (Bandung:Alumni, 1987).

Andasasmita, Komar., (a), Notaris I Peraturan Jabatan, Kode Etik dan Asosiasi Notaris/Notariat, (Bandung:Ikatan Notaris Indonesia Daerah Jawa Barat, 1991).

____________, (b),Notaris Selayang Pandang,(Bandung:Alumni,1983).

A. Partanto, Pius., M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Arloka, Surabaya, 1994.

Ashshofa, Burhan.,Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, 1996.

Budiono, Herlien., Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2010.

Bungi, Burhan., Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

Efendi, Masyhur., Dimensi / Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional Dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994.

Echols, John, M., dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, PT.Gramedia, Jakarta, 1989.


(3)

Fajar, Mukti.,et al.,Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta, PT. Pustaka Pelajar, 2010.

Fatahna, Muchlis., dan Joko Purwanto, Notaris Bicara Soal Kenegaraan, cet.2 (Jakarta: Watampone Press,2003).

Ghofur Anshori, Abdul., Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan Etika. 2009. Yogyakarta: UII Press.

Hussaini, Burhanuddin.,Lembaga Notaris di Indonesia Dalam Krisis, Media Notariat Edisi Januari - Maret 2004 Tahun XIX, Artikel 9.

Kansil, C.S.T.,Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum,Jakarta: Pratnya Paramita, 2003. Kelsen, Hans., (Ahli Bahasa oleh Somardi),General Theory Of law and State, Teori

Umum Hukum dan Negara, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Jakarta, BEE Media Indonesia, 2007.

Kelly, David, et.al,Business Law, (London, Cavendish Publishing Limited, 2002). K. Lubis, Suhrawardi .,Etika Profesi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika,1994). Muhamad, Abdulkadir.,Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. Mohd. Noor Alam S.M, Hussain, Shaik.,Undang-Undang Komersil Malaysia(Kuala

Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2000).

Natsir Said. M.,Hukum perusahaan di Indonesia. Bandung : Alumni, 1987.

Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, Jati Diri Notaris Indonesia, (Jakarta:PT. Gramedia Pustaka, 2008).

Prasetya, Rudhi., Maatschap, Firma, dan Persekutuan Komanditer, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002).

Rai Widjaya, I.G., Hukum Perusahaan, (Jakarta: Kesaint Blanc, 2005).

Ridwan Widyadharma, Ignatius., Etika Profesi Hukum, (Semarang:Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1996).

R. Tyler, Tom., why People obey the law, (Chealsea, Michigan : Printed in the United Stated of America by Book Crafters Inc, 1990, hlm.178, seperti dikutip


(4)

oleh Muhammad Yamin,Gadai Tanah sebagai Lembaga Pembiayaan Rakyat Kecil, Penerbit: Pustaka Bangsa Press, Medan, 2004.

Saleh, Ismail., Membangun Citra Profesional Notaris Indonesia, Pengarahan/ceramah Umum Menteri Kehakiman Republik Indonesia pada Upgrading/Refresing Course Notaris se-Indonesia Bandung, 1993.

Salman, Otje., Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2000.

Soekardono, R.,Hukum Dagang Indonesia, Jilid I (Bagian Kedua), (Jakarta:Rajawali Pers, 1991).

Soekanto, Soerjono.,Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1986.

_____________, dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo, 2010.

_____________, dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali, Jakarta, 1980.

______________, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Cetakan Kelima, Jakarta, 1988.

______________,Sosiologi hukum dalam masyarakat,Rajawali Pers, Jakarta, 1987. ______________,Pengantar Penelitian hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1986. ______________,Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum,CV. Rajawali, Jakarta,

1982.

Solly Lubis, M.,Filsafat Ilmu Dan Penelitian, Bandung, Mandar Maju, 1994. Subekti,Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1980.

Subekti R., dan Tjitrosoedibio,Kamus Hukum, Pradnya Paramita, 1996.

Sumaryono, E., Etika Profesi Hukum: Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, Kanisivs, Yogyakarta, 1995.

Sunggono, Bambang., Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 1998.


(5)

Supriadi. 2008.Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika.

Surakhmad, Winarto.,Dasar dan Teknik Research, Bandung, Tarsito, 1978.

Sutopo, H.B., Metodologi Penelitian Hukum Kualitatif Bagian II, UNS Press, Surakarta, 1998.

Thong Kie, Tan.,Studi Notariat & Serba Serbi Praktek Notaris. Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2007.

Tobing, Lumban., Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta. Cetakan ke empat.1996.

Utrecht. E, dalam Ridwan. HR. 2006.Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.

_________, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cetakan keenam, ichtiar, Jakarta, 1963.

Vollmar, H.F.A.,Pengantar Studi Hukum Perdata. Jakarta: CV. Rajawali, 1984. Wigyosubroto, Sutandyo., Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika masalahnya,

Huma, 2002.

Winata, Adi., Istilah Hukum Latin Indonesia, Alih Bahasa, PT. Intermasa, Jakarta, 1997.

B. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia nomor : M.HH.01.AH.02.12. Tahun 2010 tentang persyaratan menjalankan jabatan notaris dalam bentuk perserikatan perdata


(6)

C. Website

Bari Azed, Abdul., “Kebijakan Pemerintah di Bidang Kenotariatan”,

http://www.firstadvice-online.com/main.php?page=kategoridet&id=60, Maferdy Yulius dan Otty Hari Chandra Ubayani,Revisi Undang-Undang Jabatan

Notaris Utamakan Pemerataan Rezeki,

http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:zns4RiIgYyIJ:media notaris.com/revisi_uujn_utamakan_pemerataan_rezeki_berita111.html%3Flan g%3Den+perserikatan+perdata+notaris&cd=30&hl=id&ct=clnk&gl=id


Dokumen yang terkait

Undang-undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia - [PERATURAN]

0 4 29

PELAKSANAAN PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT BAGI NARAPIDANABERDASARKAN PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI Pelaksanaan Pemberian Pembebasan Bersyarat Bagi Narapidanaberdasarkan Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.01.

0 1 23

TINJAUAN YURIDIS HAK ASASI MANUSIA TERHADAP PENERAPAN HUKUMAN MATI DI INDONESIA (STUDI HUKUM TERHADAP UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA).

0 0 6

PERBANDINGAN HUKUM MENGENAI MAATSCHAP KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN PERSERIKATAN PERDATA UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS SERTA IMPLEMENTASINYA PADA NOTARIS.

0 0 8

IMPLEMENTASI PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS MELALUI NOTARIS MENURUT PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN PERMOHON

0 0 20

PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGAMBILAN, PERUMUSAN, DAN IDENTIFIKASI TERAAN SIDIK JARI

0 0 14

PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

0 1 20

PERSYARATAN PELAMAR CPNS TAHUN 2010 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

0 1 6

IMPLEMENTASI PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS MELALUI NOTARIS MENURUT PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN PERMOHON

0 0 13

BAB IV PENUTUP A. SIMPULAN - IMPLEMENTASI PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS MELALUI NOTARIS MENURUT PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG

0 0 7