Stabilitas Gas Co2 Pada Minuman Berkarbonasi Selama Penyimpanan

STABILITAS GAS CO2 PADA MINUMAN BERKARBONASI
SELAMA PENYIMPANAN

BERLIANA SIMANJUNTAK

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Stabilitas Gas CO2 pada
Minuman Ringan Berkarbonasi Selama Penyimpanan adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2016
Berliana Simanjuntak
NRP 252130135

RINGKASAN
BERLIANA SIMANJUNTAK. Stabilitas Gas CO2 pada Minuman Berkarbonasi
selama Penyimpanan. Dibimbing oleh DEDE R. ADAWIYAH dan EKO HARI
PURNOMO.
Stabilitas suatu produk sering dihubungkan dengan mudah tidaknya produk
tersebut mengalami perubahan fisik dan kimia. Pada produk minuman
berkarbonasi, kestabilan gas CO2 sebagai salah satu faktor mutu produk sangatlah
penting untuk diketahui, karena keberadaan gas CO2 berperan menimbulkan
sensasi rasa menggelitik dimulut ketika meminum minuman berkarbonasi.
Kestabilan gas CO2 juga berhubungan dengan permeabilitas gas dari kemasan
yang dipakai, formulasi produk serta reaksi kimia yang terjadi selama
penyimpanan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa laju perubahan volume
dan kelarutan gas CO2 minuman berkarbonasi selama penyimpanan pada suhu
6⁰C, suhu 25⁰C dan suhu 55⁰C yang dikemas dengan kemasan plastik, gelas dan
kaleng. Serta menentukan waktu paruh produk dengan menggunakan pendekatan

Arrhenius.
Hasil yang didapatkan pada penelitian ini menunjukkan bahwa minuman
berkarbonasi yang dikemasn dalam kemasan plastik mengalami persentase
kehilangan gas CO2 yang paling banyak ketika disimpan pada ketiga suhu
penyimpanan dibandingkan dengan kemasan gelas dan kaleng. Persentasi
penurunan volume gas CO2 pada kemasan plastik pada penyimpanan suhu 6⁰C
adalah 0,002% per hari, pada suhu 25⁰C adalah 0,003% per hari dan pada suhu
55⁰C adalah 0,007% per hari. Sementara persentase penurunan kelarutan gas CO2
yang paling tinggi dialami oleh kemasan kaleng pada penyimpanan suhu 55⁰C
sebesar 0,026% per hari. Sedangkan kedua kemasan yang lain (gelas dan plastik)
yang disimpan pada suhu dan waktu yang sama hanya mengalami penurunan gas
CO2 terlarut sebesar 0,019% per hari. Sehingga waktu paruh (t1/2) produk jika
disimpan pada suhu 25⁰C pada kemasan kaleng adalah 206 hari (7,0 bulan), pada
kemasan gelas adalah 200 hari (6,7 bulan) dan pada kemasan plastik adalah 104
hari (3,5 bulan).
Kata kunci: kelarutan gas, kaleng, gelas, plastik, volume gas

SUMMARY
BERLIANA SIMANJUNTAK. CO2 Stability of Carbonated Soft Drink during
Storage. Supervised by DEDE R. ADAWIYAH and EKO HARI PURNOMO.

Stability of product is a function of its chemical reactiveness. For
carbonated soft drink, stability of CO2 is one of the critical parameter to consider
as it is related to the sensory acceptance due to the presence of CO2 that create a
tingling sensation whenever it is consumed. The stability of this CO2 is also
related to the permeability of its packaging, different ingredients used in the
formulation and the chemical reaction that has happening during storage.
The purpose of this research is to analyse the changes of the volume and
solubility of CO2 in carbonated soft drink stored in 3 different temperatures - 6⁰C,
25⁰C and 55⁰C, using 3 different type of packaging – can, glass and PET bottle.
Later it can then calculate its half-life (t1/2) based on Arrhenius method.
The result measured from this experiment shown that carbonated soft drink
packed in plastic bottle has the highest percentage in losing the carbonation (lost
of CO2 when stored in three different storage temperature compare to can and
glass bottle. The volume of CO2 lost in plastic bottle about 0,002% per day when
the product stored in 6⁰C, 0,003% per day lost in 25⁰C and almost 0,007% per day
in 55⁰C. Other parameter measured int his experiment which is solubility of CO2
shown that plastic bottle has the highest percentage of CO2 solubility when the
product stored in 55⁰C which is 0,026% per day. While glass bottle and can stored
at the same temperature is decreased by 0,019% per day. Thus the half-life (t1/2) of
this carbonated soft drink product when stored in ambient room (25⁰C), packed in

can is 206 days (7.0 month), in glass bottle is 200 days (6.7 month) and in plastic
bottle is 104 days (3.5 month).
Keywords: can, CO2 solubility, glass bottle, gas volume, plastick bottle.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

STABILITAS GAS CO2 PADA MINUMAN BERKARBONASI
SELAMA PENYIMPANAN

BERLIANA SIMANJUNTAK

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesi
pada
Program Studi Teknologi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:

Dr. Elvira Syamsir. MSi

Judul Tesis : Stabilitas gas CO2 pada Minuman Berkarbonasi selama
Penyimpanan
Nama
: Berliana Simanjuntak
NIM
: F252130135


Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dede R, Adawiyah MSi
Ketua

Dr. Eko Hari Purnomo, STP, MSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Magister Profesi Teknologi Pangan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi

Dr. Ir. Dahrul Syah, MscAgr


Tanggal Ujian:
27 Agustus 2016

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Tritunggal dalam Yesus
Kristus atas segala kemurahan dan kesetiaann-Nya sehingga karya ilmiah ini
akirnya bias diselesaikan. Topik yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan
sejak bulan Oktober 2015 – Februari 2016 ini ialah stabilitas gas CO2 pada
minuman berkarbonasi selama Penyimpanan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Dede R, Adawiyah MSi dan
Bapak Dr. Eko Hari Purnomo, STP, MSc selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing penulis dengan sabra dan memberi banyak masukan serta motivasi
pada penulis dalam menyusun tesis ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih
kepada ibu Dr. Elvira Syamsir MSi selaku penguji luar komisi yang telah
menguhi penulis pada ujian tesis dan Ibu Dr Ir Nurheni Sri Palupi, MSi selaku
Ketua Program Studi Magister Profesional Teknologi Pangan. Disamping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada civitas akademika dan Sekretariat

Pascasarjana Magister Profesional Teknologi Pangan, Sdri Beatrix Sibarani dan
Sdri Ernida Syafitri beserta staf analis laboratorium kimia-nya yang telah
membantu selama penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada
orang tua dan ketiga adik saya terkasih atas doanya serta seluruh teman-teman
seangkatan di PS MPTP angkatan IX atas segala dukungannya baik selama
perkuliahan maupun pada saat penyusunan tesis ini.
Semoga karya ilmiah ini bisa memberikan informasi yang baru dan
bermanfaat.

Bogor, Oktober 2016
Berliana Simanjuntak

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi


DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
2
2
2

2 METODE PENELITIAN

Bahan dan Alat
Metode
Prosedur Analisa
Analisa Data

3
3
4
4
5

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Perubahan volume dan kelarutan gas CO2
Kinetika laju perubahan volume dan kelarutan gas CO₂
Pendugaan Waktu Paruh produk

7
7
11
14


4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

16
16
16

DAFTAR PUSTAKA

17

LAMPIRAN

19

RIWAYAT HIDUP

23

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

Permeabilitas terhadap O2, CO2 dan H2O dari beberapa material plastik
Data kelarutan gas CO2 tanpa perlakuan pengocokan hari ke 0
Data kelarutan gas CO2 dengan perlakuan pengocokan hari ke 0
Reaksi Ordo Nol dari masing – masing kemasan untuk parameter
perubahan volume dan kelarutan gas CO2
5 Nilai energi aktivasi minuman berkarbonasi pada ketiga kemasan
6 Waktu paruh (t1/2) produk pada ketiga kemasan berdasarkan parameter
volume gas CO2

8
10
10
13
14
14

DAFTAR GAMBAR
1 Pengukur volume gas Steinfurth Digi Mano
2 Ultrasonic Cleanser UC-10
3 Perubahan volume gas CO2 pada suhu 6⁰C (a), 25⁰C (b) dan 55⁰C (c)
di ketiga kemasan selama penyimpanan
4 Penurunan kelarutan gas CO2 pada suhu 6⁰C (a), 25⁰C (b) dan 55⁰C (c)
di ketiga kemasan selama penyimpanan
5 Kemasan kaleng yang bocor pada suhu 55⁰C selama 2 minggu
6 Kurva penentuan reaksi ordo Nol pada produk yang disimpan di suhu
6⁰C dengan parameter (1) volume dan (b) kelarutan gas CO2 pada 3
kemasan selama penyimpanan.
7 Kurva penentuan reaksi ordo Satu pada produk yang disimpan di suhu
6⁰C dengan parameter (1) volume dan (b) kelarutan gas CO2 pada 3
kemasan selama penyimpanan.
8 Hubungan antara nilai konstanta volume gas CO2 (ln k) dengan suhu
penyimpanan (1/T)
9 Hubungan antara nilai konstanta kelarutan gas CO2 (ln k) dengan suhu
penyimpanan (1/T)

3
3
7
9
10

12

12
14
14

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Data awal hasil pengukuran volume gas CO2 pada suhu 6⁰C
Data awal hasil pengukuran volume gas CO2 pada suhu 25⁰C
Data awal hasil pengukuran volume gas CO2 pada suhu 55⁰C
Data awal hasil pengukuran kelarutan gas CO2 pada suhu 6⁰C
Data awal hasil pengukuran kelarutan gas CO2 pada suhu 25⁰C
Data awal hasil pengukuran kelarutas gas CO2 pada suhu 55⁰C

20
20
21
21
22
22

1 PENDAHULUAN
Minuman berkarbonasi merupakan salah satu produk yang sangat penting
pada pasar minuman global. Pada tahun 2015 konsumsinya tercatat bisa mencapai
226 triliun liter (Statista 2016). Meskipun ada kenaikan BBM yang menyebabkan
berkurangnya daya beli masyarakat, akan tetapi pertumbuhan volume semua
produk minuman berkarbonasi tetap positif selama tahun 2015 di Indonesia
(Euromonitor International 2016).
Untuk memproduksi minuman berkarbonasi, gas CO2 diinjeksikan kedalam
suatu larutan pada wadah tertutup dan bertekanan (Barker, Jefferson dan Judd
2002a). Oleh karena prosesnya yang berada pada kondisi yang tertutup dan
bertekanan inilah maka tekanan di dalam wadah meningkat dan memaksa gas CO2
dalam wadah tersebut larut. Ghose dan Nair (2013) menyebutkan bahwa tekanan
ini dibutuhkan untuk mempertahankan gas CO2 tetap berada dalam larutan (yang
biasanya disebut sebagai Volume Gas minuman berkarbonasi. Dan tekanan ini
menurut Achour (2005) merupakan penentu kualitas sensorinya. Karena dengan
adanya gas CO2 ini dalam larutan, sensasi rasa menggelitik dimulut bisa timbul.
(Liger-Belair et al., 2015)
Gas CO2 memiliki densitas yang lebih berat dari udara yaitu 1,98 kg/m3
pada suhu 25⁰C. Gas ini sangat larut dalam air dan tingkat kelarutannya
bertambah seiring dengan menurunnya suhu (Ashurst 2010). Penurunan suhu dari
25⁰C ke 5⁰C dapat menaikkan jumlah kelarutan gas CO2 sebesar 0.8g/L (Barker,
Jefferson dan Judd 2002). Pada produk minuman berkarbonasi tinggi seperti air
tonik (water tonic) jumlah CO2 yang terlarut didalamnya bisa mencapai 9 g/L
(Descoins et al., 2004).
Produk pangan akan mengalami kerusakan segera setelah diproduksi.
Reaksi kerusakan ini bermula dengan adanya persentuhan dengan udara, oksigen,
uap air, cahaya atau yang diakibatkan oleh perubahan suhu (Arpah 2007). Tiga
faktor utama yang menandakan penurunan mutu pada minuman berkarbonasi
menurut Ashurst (2010) adalah kehilangan gas CO2-nya (loss of carbonation),
oksidasi atau hidrolisis asam dari perisa dan pewarna yang terdapat pada
formulasi produk tersebut serta perubahan warna dan aroma yang disebabkan oleh
cahaya.
Zahrati dan Aridinanti (2013) menemukan bahwa volume gas minuman
berkarbonasi yang diproduksi di perusahaan tersebut sangatlah rendah yaitu
sekitar 2125 mg/L – 2375 mg/L sementara BPOM dalam kategori pangan No.
14.1.4.1 tahun 2015 menyebutkan bahwa kadar CO2 pada minuman kategori ini
berkisar antara 3,000 – 5,890 mg/L. Artinya bahwa produk karbonasi yang ada
dipasaran harus memiliki kadar gas CO2 seperti yang sudah ditetapkan oleh
BPOM tersebut.
Dengan adanya temuan volume gas CO2 yang rendah pada kasus diatas
mendorong penulis melakukan percobaan untuk melihat kestabilan gas CO2
selama penyimpanan sehingga pengaruh suhu dan jenis kemasan terhadap volume
dan kelarutan gas CO2 dapat diketahui.

2
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan diatas, maka perumasan
masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Kestabilan gas CO2 minuman berkarbonasi dipengaruhi oleh suhu, lama
peyimpanan dan jenis kemasan yang diukur menggunakan indikator volume
dan kelarutan gas CO2.
2. Perhitungan waktu paruh produk minuman berkarbonasi dipengaruhi oleh
suhu dan jenis kemasan yang diujikan.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menganalisa laju perubahan volume dan kelarutan
gas CO2 minuman berkarbonasi yang disimpan pada 3 suhu dengan menggunakan
jenis kemasan yang berbeda – beda serta menghitung waktu paruh produk melalui
pendekatan Arrhenius.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat:
1. Memberikan informasi bagi tim R&D di industri minuman mengenai
gambaran laju perubahan gas CO2 yang dihubungkan dengan suhu dan
kemasan.
2. Bermanfaat dalam menentukan jumlah volume gas CO2 awal yang diperlukan
sehingga pada saat produk sudah mencapai waktu kadaluwarsanya, produk
tersebut masih bisa diterima tingkat karbonasinya.
3. Menjadi masukan bagi pembuat peraturan atau asosiasi yang berhubungan
dengan produk minuman ringan tentang standar yang harus ditetapkan untuk
volume gas CO2 pada minuman berkarbonasi.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini hanya mencakup jenis minuman karbonasi
yang diambil dari pasar dan tidak berwarna. Kemasan yang diujikan pada
penelitian ini juga merupakan kemasan yang sudah diproduksi secara massal yang
terdiri dari kemasan kaleng, gelas dan plastik (PET). Variabel yang diukur dan
diamati pada penelitian ini adalah volume gas CO2 dan tingkat kelarutannya pada
suhu yang berbeda. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Analisa Pangan pada
bulan Oktober 2015 – Februari 2016.

2 METODE PENELITIAN
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah produk minuman
berkarbonasi dengan merk X. Varian yang dipilih adalah varian yang tidak
mengandung pewarna, dikemas dalam kemasan kaleng (250ml), gelas (200ml)
dan plastik jenis PET (250ml). Untuk analisa kelarutan gas CO2, bahan kimia
yang digunakan adalah NaOH 0.01N, indicator pp (penopthalein) yang dipakai
pada saat uji titrasi.
Alat – alat yang dipergunakan pada penelitian ini adalah; alat pengukur
tekanan gas CO2 dengan merk Steinfurth Digi Mano, Ultrasonic Cleaner UC-10,
Termometer, Erlenmeyer, Pipet tetes, Pipet volume, Titrimeter (buret) dan Gelas
ukur.
Alat pengukur tekanan gas CO2 ini dilengkapi dengan pengukur tekanan (pressure
gauge) digital, penusuk tutup kemasan (piercing device) sehingga bisa langsung
diketahui berapa besar tekanan gas dalam kemasan yang diukur.

Gambar 1. Pengukur volume gas Steinfurth Digi Mano
Alat Ultrasonic Cleaner UC-10 pada gambar 4 bertujuan untuk
menghilangkan buih – buih yang muncul pada produk ketika melakukan
pengukuran volume gas CO2. Sehingga ketika melanjutkan pengukuran untuk
parameter kelarutan gas CO2, angka yang didapatkan dengan uji titrasi bisa lebih
akurat.

Gambar 2. Ultrasonic Cleanar UC-10

4
Metode
Produk yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari 2 kode produksi
yang berbeda. Produk – produk tersebut ditempatkan di tiga suhu pernyimpanan
yaitu 6⁰C, 25⁰C dan 55⁰C. Sebelum produk dimasukkan ke dalam ruang
penyimpanan, masing – masing produk dianalisa volume dan jumlah kelarutan
gas CO2nya sebagai data awal.
Adapun frekuensi pengambilan sampel untuk dianalisa adalah sebagai
berikut:
1. Produk di suhu 6⁰C diambil setiap 30 hari sekali selama 120 hari
penyimpanan.
2. Produk di suhu 25⁰C diambil setiap 14 hari sekali selama 126 hari
penyimpanan.
3. Produk di suhu 55⁰C diambil setiap 2 hari sekali selama 18 hari
penyimpanan.
Pada penelitian ini, masing – masing produk dari 2 kode produksi yang berbeda
dianalisa 2 kali (duplo) baik untuk pengukuran volume gas maupun kelarutan gas
CO2.
Prosedur Analisa
Metode analisa yang dilakukan pada kedua variabel ini adalah:
1. Volume gas CO2
Untuk pengukuran parameter volume gas CO2, produk dalam kemasan
terlebih dahulu dikocok (sebanyak 10 – 15 kali) sehingga semua gas CO2 yang
ada pada produk tersebut naik ke permukaan larutan. Kemudian produk
tersebut diletakkan dibawah alat penusuk (piercing device) dan ditekan
sedemikian rupa sehingga gas – gas CO2 yang berada pada bagian permukaan
larutan (headspace) kemasan bergerak keluar dan pressure gauge pada alat
pengukur muncul dengan angka tertentu. Angka yang muncul pada alat
tersebut kemudian dikalikan dengan 1.98 g/L dan dicatat sebagai besaran
volume gas CO2. Liciardello, Coriolani dan Muratore (2010) menyebutkan
bahwa 1 GV = 1.98 g/L . Angka ini dipakai sebagai acuan konversi tekanan ke
volume gas CO2 ).
2. Kelarutan gas CO2 (metode titrimetri - buret)
Dengan menggunakan sampel yang sama (setelah dikocok) pada pengukuran
volume gas CO2, diambil larutan produk sebanyak 10ml kemudian ditetesi
dengan indikator phenoptalein. Jika tidak terjadi perubahan warna pada
larutan yang ditetesi phenoptalein, maka itu berarti produk tersebut
mengandung gas CO2. Kemudian larutan tersebut dititrasi dengan
menggunakan larutan NaOH 0.01N. Proses titrasi dihentikan jika terjadi
perubahan warna menjadi merah muda. Kemudian dicatat jumlah (ml)
titrannya hasil titrasi dan dengan menggunakan persamaan berikut, dapat
diketahui berapa kelarutan gas CO2nya.
….….... persamaan (1)

dimana:
CO2 (mg/l)
ml titran (ml)
N titran
ml sampel

= konsentrasi CO2 terlarut dalam air
= volume titran NaOH yang terpakai
= Normalitas NaOH 0.01N
= volume cairan sampel yang digunakan
Analisa Data

Data yang didapat dari pengujian tersebut dibuat dalam bentuk grafik yang
menunjukkan hubungan antara volume dan kelarutan gas CO2 dengan waktu
penyimpanan pada suhu dan kemasan yag berbeda.
Dari grafik hubungan antara volume dan kelarutan gas CO2 kemudian
dilanjutkan dengan:
1. Merumuskan kinetika laju penurunan konsentrasi gas CO2 (volume dan
kelarutannya) dengan persaman ordo reaksi nol dan satu yang kemudian
dipilih berdasarkan nilai slope ya
Persamaan reaksi ordo Nol
………………….persamaan (2)
Persamaan reaksi ordo Satu
………………….persamaan (3)
dimana:
A = nilai mutu yang tersisa setelah waktu t
Ao = nilai mutu awal
t = waktu penyimpanan (dalam hari, bulan atau tahun)
k = konstanta laju rekasi ordo Nol atau Satu
2. Merumuskan perhitungan umur simpan produk melalui pendekatan
Arrhenius dengan persamaan berikut.
…………………….persamaan (4)

………..……….…..persamaan (5)
dimana:
k = konstanta penurunan suhu
ko = konstanta (tidak bergantung pada suhu)

6
Ea = energy aktivasi (kal/mol)
T = suhu mutlak (K)
R = konstanta gas (1.986 kal/mol K)
Nilai k0 menunjukkan konstanta penurunan mutu yang disimpan pada suhu
normal, k menyatakan penurunan mutu dari salah satu kondisi yang
digunakan, sedangkan Ea/R merupakan gradient yang diperoleh dari plot
Arrhenius. Berdasarkan perhitungan dengan rumus tersebut, diperoleh
nilai k.
3. Dikarenakan pada penelitian ini tidak ada data untuk batas kritis produk,
maka selanjutnya pendugaan umur simpan produk dihitung dengan
menggunakan pendekatan waktu paruh (t1/2) melalui persamaan ini.

t1/2 = [Ao] / 2k

…………………...persamaan (6)

dimana:
t1/2 = waktu paruh
Ao = nilai mutu awal
k = konstanta laju reaksi orde nol

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Penurunan volume dan kelarutan gas CO2
Secara umum dari gambar 3 dapat dilihat bahwa parameter volume gas CO2
pada kemasan kaleng, gelas dan plastik mengalami penurunan pada ketiga suhu
penyimpanan. Sampai akhir masa penyimpanan 120 hari pada suhu 6⁰C, produk
mengalami penurunan sebesar 9% (kemasan kaleng), 7% (kemasan gelas) dan
22% (kemasan plastik). Begitu juga dengan produk pada suhu 25⁰C turun sebesar
15% (kemasan kaleng), 11% (kemasan gelas) dan 38% (kemasan plastik) sampai
126 hari penyimpanan. Sedangkan produk yang disimpan selama 18 hari pada
suhu 55⁰C juga turun sebesar 16% (kemasan kaleng), 35% (kemasan gelas) dan
47% (kemasan plastik) sampai 18 hari penyimpanan.
KALENG

GELAS

PLASTIK

a)

KALENG

b)

GELAS

120

110
% volume gas CO

110

100
90
80
70
60

100

50

90
80
70
60
50

0

30
60
90
Lama penyimpanan (hari)
KALENG

% volume gas CO

% volume gas CO

120

120

GELAS

0

14

PLASTIK

28 42 56 70 84 98
Lama penyimpanan (hari)

112 126

c)

120
110
100
90
80
70
60
50
40
0

4
8
12
Lama Penyimpanan (hari)

16

Gambar 3. Penurunan volume gas CO2 pada suhu 6⁰C (a), 25⁰C (b) dan 55⁰C (c)
pada kemasan kaleng, gelas dan plastik selama penyimpanan.
Dari gambar 3 diatas juga terlihat bahwa secara umum kehilangan gas CO2
yang paling besar terjadi pada kemasan kaleng. Hal tersebut berhubungan dengan
permeabilitas gas dari pengemas yang dipakai. Zeman dan Kubik (2007)
menyatakan bahwa koefisien permeabilitas pengemas dipengaruhi oleh struktur
kimia kemasan serta metode persiapan dan kondisi proses pembuatan kemasan
tersebut. Permeabilitas gas dan uap air dipengaruhi pula oleh bentuk dan ukuran
pengemasnya, interaksi dengan polimer serta pengaruh suhu dan tekanan pada
saat proses produksi. Kemasan plastik mempunyai barier yang kurang bagus
terhadap gas maupun uap air (Steen dan Ashurst (2006) sehingga CO2 bisa keluar

8
(dan mengakibatkan level karbonasi pada produk minuman berkarbonat menjadi
berkurang) dan oksigen bisa masuk seiring dengan waktu. Migrasi ini bisa terjadi
dari kemasan ke dalam larutan ataupun sebaliknya. Siracusa (2012) menyatakan
bahwa material pada kemasan plastik berbeda dengan material yang digunakan
pada kemasan gelas atau kaleng, sehingga kemasan plastik memiliki pori-pori
yang tidak dimiliki oleh kemasan gelas atau kaleng. Pori-pori ini menyebabkan
molekul-molekul yang kecil seperti gas, uap air dan aroma yang terdapat pada
bahan pangan bisa bermigrasi. Dengan demikian perpindahan molekul pada
kemasan ini berbeda-beda sesuai dengan kemampuan permeabilitasnya.
Sebagai gambaran, tabel 1 memperlihatkan data permeabilitas beberapa
kemasan yang terbuat dari material plastik yang diadaptasi dari Massey. L 2003.
Kemasan plastik minuman berkarbonat yang terbuat dari PET dengan
permeabilitas terhadap gas CO2 sekitar 1,2 cm/Hg pada suhu 23⁰C
Tabel 1. Permeabilitas terhadap O2, CO2 dan H2O dari beberapa material plastic
Permeabilitas
terhadap
LDPE
HDPE
PP
PET
EVOH (32% C2H4)

O₂

CO₂

H₂O

cmHg-1
23⁰C, 0% RH

cmHg-1
23⁰C, 0% RH

g cm cm-2/sec
23⁰C, 0% RH

15 - 30
5-17
9-16
0,14
0,0015

60-160
150
30-50
1,2
0,018

5-10
1,8-3,5
4-10
4-6b
17,5a

Sumber: Masey L. 2003.
a
40⁰C, 90% RH
b
23⁰C, 50% RH
Disisi lain, difusi gas – gas yang terjadi pada produk minuman berkarbonat
yang dikemas dalam kemasan plastik juga sangat tergantung pada keefektifan
proses penutupannya (Roberston 2010) dan Coles, McDowell dan Kirwan (2003)
menekankan juga perlunya kontrol terhadap tekanan selama proses pengisian..
Dari studi yang dilakukan oleh Glevitzky, Bruturean dan Perju (2005)
menyebutkan bahwa 30% kehilangan gas CO2 pada plastik (PET) terdistribusi
melalui tutup botol (erat tidaknya penutup – capping - pada saat proses pengisian)
dan 60% melalui dinding botol (tergantung dari ketebalan kemasan yang dipakai).
Dan dari gambar 3 juga dapat dilihat bahwa semakin tinggi suhu
penyimpanan maka semakin besar persentase penurunan volume gas CO2. Trend
yang sama didapatkan juga oleh Carrieri, De Bonis dan Ruocco (2012) sehingga
disimpulkan bahwa dengan kenaikan suhu sebanyak 4 kali lipat dari 10⁰C akan
menyebabkan kehilangan gas CO2 sebesar 83%.
Pada suhu 55C terjadi variasi volume gas CO2 selama penyimpanan seperti
yang dapat dilihat pada gambar 3c. Hal tersebut menurut Kilcast dan
Subramaniam (2011), kemungkinan besar disebabkan adanya kebocoran (leakage)
pada jarak antara tutup botol (cap) dengan tubuh botolnya (body).
Innovasi yang dilakukan oleh Coca-Cola Company untuk mempertahankan
gas CO2 pada saat proses pengisian dan penyegelan adalah dengan menggunakan
karbonator dimana dengan adanya alat ini dapat dipastikan lama waktu kemasan

dibiarkan terbuka tidak lebih dari satu detik, sehingga jumlah gas CO2 yang
masuk disetiap kemasan sama. (Coca-Cola Amatil Indonesia 2015).
Untuk parameter kelarutan gas CO2, terjadi kecenderungan penurunan yang
hampir sama dengan parameter volume gas CO2 seperti yang dapat dilihat pada
gambar 4. Selama 120 hari penyimpanan, kelarutan gas CO2 pada kemasan kaleng
di suhu 6⁰C turun sebesar 14%, kemasan gelas dan kemasan plastik sebesar 17%.
Sedangkan pada suhu 25⁰C yang disimpan selama 126 hari, kemasan kaleng turun
sebesar 19%, kemasan gelas 15% dan kemasan plastik 22%. Sementara pada suhu
55⁰C yang disimpan selama 18 hari kemasan kaleng turun paling banyak yaitu
46%, kemasan gelas dan plastik turun sebesar 35%. Semakin tinggi suhu, maka
kelarutan gas CO2 semakin berkurang oleh karena kelarutan CO2 dalam air
tergantung dari suhu air dan tekanan gas (Steen dan Ashurst 2006).
Penurunan kelarutan gas CO2 memiliki kecenderungan yang berbeda dengan
volume gas CO2. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, besarnya penurunan
volume gas CO2 sangat ditentukan oleh kemasan yang digunakan. Sedangkan
pada parameter kelarutan gas CO2, kecenderungan penurunan pada suhu 6⁰C
hampir sama pada semua kemasan. Pada suhu 25⁰C, kemasan gelas terlihat
mampu mempertahankan kelarutan gas CO2 sampai hari ke 56, akan tetapi
selanjutnya mengalami penurunan sehingga konsentrasi CO2 terlarutnya sama
dengan kemasan lain. Pada suhu 55⁰C, terlihat fenomena yang berlawanan dengan
volume gas CO2 dimana penurunan kelarutan gas CO2 paling besar terjadi pada
kemasan kaleng, sedangkan pada kemasan plastik dan gelas menunjukkan
kecenderungan penurunan kelarutan gas CO2 yang hampir sama.
KALENG

GELAS

PLASTIK

a)

KALENG

% kelarutan gas CO

100
95
90
85
80
75
70
0

30

60
90
Lama penyimpanan (hari)
110
% kellarutan gas CO

% kelarutan gas CO

105

0

120

KALENG

GELAS

PLASTIK

GELAS

14

28 42 56 70 84
Lama penyimpanan (hari)

PLASTIK

98

112 126

c)

100
90
80
70
60
50
0

4

8

b)

110
105
100
95
90
85
80
75
70
65
60

12

16

Lama Penyimpanan (hari)

Gambar 4. Penurunan kelarutan gas CO2 pada suhu 6⁰C (a), 25⁰C (b) dan 55⁰C
pada kemasan kaleng, gelas dan plastik selama penyimpanan.

10
Fenomena kontradiktif yang ditemukan pada parameter kelarutan gas CO2
dalam penelitian ini belum diketahui penyebab pastinya apakah disebabkan karena
perlakuan yang diberikan kepada kemasan berupa guncangan (kocokan) yang
dialami oleh produk sehingga memaksa gas – gas CO2 pada headspace kemasan
keluar ataukah adanya pengaruh lain seperti perbedaan jumlah volume gas awal
dari masing – masing kemasan yang diukur (yang berasal dari pabrik).
Hal lain yang menjadi perhatian pada saat melakukan penelitian ini adalah
produk dalam kemasan kaleng yang disimpan pada suhu 55⁰C selama 2 minggu
pertama ditemukan dalam kondisi yang sudah meledak (bocor dan mengeluarkan
gas) seperti yang diperlihatkan pada gambar 7.

Gambar 5. Kemasan kaleng yang bocor pada suhu 55⁰C selama 2 minggu.
Akibat kejadian ini pengamatan harus diulang kembali (sampel yang dipakai
dibeli dengan batch baru yang berbeda dari batch awal kemasan kaleng pada suhu
6⁰C, 25⁰C dan yang berbeda juga dengan kedua kemasan lainnya). Disamping itu
dengan adanya kejadian ini, maka diputuskan untuk mengurangi interval waktu
pengamatan pada suhu 55⁰C baik pada kemasan kaleng sendiri maupun kemasan
botol dan plastik dari setiap 1 minggu selama 1 bulan menjadi setiap 2 hari selama
18 hari. Walaupun produk sudah diganti dan tidak terjadi kebocoran yang sama
seperti pada penelitian pertama, hasil yang didapatkan memperlihatkan
kecenderungan yang berbeda/kontradiktif dengan parameter volume gas CO₂.
Kemudian untuk mencari penyebab lain dari kencenderungan yang
kontradiktif ini, dilakukan kembali pengukuran terhadap kelarutan gas CO₂ dari
produk yang dibeli dengan batch baru yang berbeda dari batch awal yang dipakai
pada penelitian sebelumnya. Pengukuran dilakukan juga pada masing – masing
kemasan akan tetapi hanya pada hari ke 0 saja. Pada analisa ini produk tidak
diberikan perlakuan guncangan (dikocok) melainkan langsung melakukan
pengukuran kelarutan gas CO₂ dengan prosedur yang sama melalui titrasi pada ke
tiga kemasan.
Dari hasil analisa titrasi yang dilakukan pada produk yang lebih baru tersebut,
didapatkan data kelarutan gas CO₂ tanpa perlakuan pengocokan seperti pada tabel
2 berikut.

Tabel 2. Data kelarutan gas CO2 tanpa perlakuan pengocokan hari ke 0
SAMPEL
1
2
Rata -rata

KALENG
1555,90
1412,00
1483,95

GELAS
1214,14
1349,04
1281,59

PLASTIK
1465,96
1313,07
1389,52

Pengukuran ini dipakai sebagai acuan awal dari data kelarutan gas CO₂ pada
produk tanpa perlakuan pengocokan pada hari ke 0 dengan tujuan bisa digunakan
untuk membandingkan nilai yang didapat dengan data awal kelarutan gas CO2
yang diukur setelah produk mengalami pengocokan pada hari ke 0 seperti yang
terdapat pada tabel 3.
Tabel 3. Data kelarutan gas CO2 dengan perlakuan pengocokan hari ke 0
SAMPEL
1
2
Rata -rata

KALENG
1309,15
1431,80
1370,48

GELAS
1150,05
1183,88
1166,96

PLASTIK
1242,73
1341,80
1292,27

Dari kedua hasil ini dapat dilihat bahwa nilai kelarutan gas CO₂ tanpa
perlakuan pengocokan lebih tinggi sedikit dibandingkan dengan nilai kelarutan
gas CO₂ dengan perlakuan pengocokan pada kemasan kaleng. Perlu diketahui
bahwa nilai kelarutan gas CO2 tanpa perlakuan pengocokan ini bisa dianggap
sebagai nilai yang diproduksi langsung dari produsen. Perbedaan nilai ini sendiri
dapat disimpulkan bahwa fluktuasi dari produksi sangat mempengaruhi nilai atau
trend selama penyimpanan.
Selain nilai kelarutan gas CO₂ awal yang tidak sama dari produsen dan
mengingat kejadian yang terjadi pada penelitan awal seperti yang ditunjukkan
pada gambar 7, maka kemungkinan adanya seaming yang tidak erat pada bagian
atas kaleng selama penyimpanan (pada suhu 55⁰C) bisa mengakibatkan kebocoran
yang halus walaupun tidak meledak pada gambar 7. Kebocoran halus ini
mempengaruhi nilai yang didapatkan dari analisa baik pada parameter volume dan
kelarutan gas CO2 yang akibatnya muncul fenomena yang kontradiktif seperti
grafik produk kemasan kaleng pada gambar 4.

Kinetika laju perubahan volume dan kelarutan gas CO2
Reaksi kimia pada umumnya dipengaruhi oleh suhu dan model Arrhenius
mensimulasikan percepatan kerusakan produk pada kondisi penyimpanan suhu
atau kelembaban ruang penyimpanan yang lebih tinggi. Biasanya produk pangan
dengan kemasan akhir disimpan pada minimal 3 suhu penyimpanan ekstrim.
Dengan metode ini dapat ditentukan konstanta laju reaksi (k) pada suhu
penyimpanan yang diinginkan (Kusnandar, 2012). Dalam hal ini suhu yang paling
rendah dijadikan suhu acuan karena perubahan reaksi pada produk lebih lambat.

12
Laju reaksi kimia yang dapat memicu kerusakan produk pangan umumnya
mengikuti laju reaksi Ordo 0 dan Ordo 1. Sebelum menentukan orde reaksi yang
akan dipilih, terlebih dahulu data hasil penelitian diplotkan pada grafik hubungan
antara lama penyimpanan (hari) dan persentasi penurunan nilai mutu/hari
pengamatan (k). Sumbu x menyatakan lama penyimpanan (hari) dan sumbu y
menyatakan persentasi penurunan nilai mutu pada setiap pengamatan.
Pada Ordo 0, plot dilakukan antara rataan persentasi hasil pengamatan dan
waktu penyimpnaan, sedangkan untuk Ordo 1, nilai rataan persentasi hasil
pengamatan terlebih dahulu dibuah dalam bentuk lon (ln) lalu diplotkan dengan
waktu penyimpanan.

Kaleng

Gelas

a)

Plastik

KALENG

b)

PLASTIK

105
% kelarutan gas CO

120

% volume gas CO

GELAS

100

110
y = -0,0701x + 101,88
R² = 0,8211

100
90

y = -0,0825x + 100,97
R² = 0,9448

80

y = -0,2091x + 104,46
R² = 0,8591

70
60

y = -0,1374x + 101,26
R² = 0,9678

95
y = -0,125x + 100,6
R² = 0,9809

90
85

y = -0,1403x + 99,942
R² = 0,9982

80
75
70

50
0

30
60
90
Lama penyimpanan (hari)

0

120

30

60

90

120

Lama Penyimpanan (hari)

Gambar 6: Kurva penentuan reaksi orde nol pada produk yang disimpan di suhu
6⁰C dengan parameter volume (a) dan kelarutan (b) gas CO2 pada
kemasan kaleng, gelas dan plastik selama penyimpanan

Kaleng

Gelas

Plastik

a)

KALENG

% volume gas CO

110
y = 101,95e-7E-04x
R² = 0,8222

100
90

101,06e-9E-04x

y=
R² = 0,9416

80

y = 105,32e-0,002x
R² = 0,842

70
60
50
0

30

60

90

Lama penyimpanan (hari)

120

% kelarutan gas CO

120

105

GELAS

b)

PLASTIK

y = 101,52e-0,001x
R² = 0,9594

100
95
90

y = 100,14e-0,002x
R² = 0,9985

85

y = 100,76e-0,001x
R² = 0,9805

80
75
70
0

30
60
90
Lama Penyimpanan (hari)

Gambar 7. Kurva penentuan reaksi orde satu pada produk yang disimpan disuhu
6⁰C dengan parameter (a) volume dan (b) kelarutan gas CO2 pada 3
kemasan selama penyimpanan.
Kemudian dari masing – masing Ordo tersebut ditentukan regresi linearnya
seperti yang ditunjukkan pada gambar gambar 6 dan 7 dimana diambil contoh dari
salah satu produk yang disimpan pada suhu 6⁰C untuk kedua parameter yang

120

diujikan. Dari persamaan regresi linear y = ax + b pada masing – masing
parameter, didapatkan nilai k dan R². Jika pada kurva yang diplotkan nilai R²nya
lebih mendekati 1, maka reaksi yang terjadi mengikuti reaksi ordo 0. Dalam
penelitian ini, meskipun dari rataan hasil persentase volume dan kelarutan gas
CO2 ada beberapa data yang mengikuti reaksi Ordo 1, akan tetapi data yang
mendekati Ordo 0 lebih banyak didapatkan, sehingga untuk plot Arrheniusnya
dipilih ordo reaksi Ordo 0.
Setelah ordo reaksi ditentukan berdasarkan regresi linear pada gambar 6 dan
7, nilai – nilai k dan R² yang didapatkan pada Ordo 0 kemudian ditabulasikan
seperti pada tabel 4 yang selanjutkan dipakai pada plot persamaan Arrhenius.
Tabel 4. Reaksi ordo Nol dari masing – masing kemasan untuk parameter
perubahan volume dan kelarutan gas CO2
Suhu
(⁰C)
6

25

55

Kemasan

Volume gas CO2

Kelarutan gas CO2

nilai k



nilai k



Kaleng
Gelas
Plastik
Kaleng
Gelas
Plastik
Kaleng

0,0825
0,0701
0,2091
0,1365
0,1722
0,3420
1,1403

0,9448
0,8211
0,8591
0,8223
0,6055
0,9150
0,7877

0,1250
0,1374
0,1403
0,1315
0,1768
0,1652
2,6433

0,9809
0,9678
0,9982
0,7996
0,7874
0,8825
0,7465

Gelas

1,8441

0,5552

2,2366

0,7228

Plastik

2,7222

0,7064

2,3986

0,7480

Selanjutnya untuk mengetahui kestabilan produk minuman berkarbonasi
selama penyimpanan pada penelitian ini, hasil dari pengujian pada masing –
masing parameter volume dan kelarutan gas CO₂ dilanjutkan dengan mencari
hubungan nilai ln k dan 1/T dengan menggunakan data dari tabel 4.
Dan hubungan antara nilai konstanta volume dan kelarutan gas CO2 (ln k)
dengan suhu penyimpanan (1/T) dalam derajat Kelvin pada setiap kemasan
digambarkan seperti pada gambar 8 dan gambar 9.

14

0

0,003

0,0031

-1
-2

0,0033

0,0034

0,0035

0,0036

0,0037

y = -5548,7x + 14,358
R² = 0,9637

-3

ln k

0,0032

-4
-5
-6

y = -5692,7x + 13,386
R² = 0,9602

-7

y = -5500,9x + 12,896
R² = 0,9035

-8

1/T
Kaleng

Gelas

Plastik

Gambar 8. Hubungan antara nilai konstanta volume gas CO2 (ln k) dengan suhu
penyimpanan (1/T) untuk tiga jenis kemasan yang berbeda.

10,6
y = -661,8x + 11,979
R² = 0,9999

10,4

ln k

10,2
10,0
9,8
9,6

y = -1938,6x + 16,304
R² = 0,8501

y = -502x + 11,343
R² = 0,9123

9,4
9,2
0,003

0,0031

0,0032

0,0033

0,0034

0,0035

0,0036

0,0037

1/T
Kaleng

Gelas

Plastik

Gambar 9. Hubungan antara nilai konstanta kelarutan gas CO2 (ln k) dengan
suhu penyimpanan (1/T) untuk tiga jenis kemasan yang berbeda
Dari kedua persamaan yang dihasilkan pada gambar 8 dan gambar 9, dapat
diketahui nilai energi aktivasi pada masing – masing kemasan. Nilai energi
aktivasi ini dihasilkan dari perkalian antara nilai a (dari persamaan y = ax + b
pada gambar 8 dan gambar 9 dengan nilai konstanta gas (R)).
Untuk parameter volume gas CO2, kemasan kaleng memiliki energi aktivasi
sebesar 45,735 kJ/mol, kemasan gelas 47,323 kJ/mol dan kemasan plastik
46,133 kJ/mol seperti pada tabel 3. Energi aktivasi yang didapatkan pada
penelitian ini lebih tepatnya disebut sebagai stabilitas gas CO₂. Sedangkan untuk
parameter kelarutan gas CO₂ kemasan kaleng menghasilkan energi aktivasi
sebesar 16,117 kJ/mol, kemasan gelas 4,174 kJ/mol dan kemasan plastik 5,502
kJ/mol. Dari rerataan data yang didapatkan selama penelitian (seperti pada gambar
4) dan juga fenomena kemasan yang bocor pada saat disimpan selama 2 minggu
disuhu inkubator (55²C) yang tidak diketahui penyebabnya serta hasil energi
aktivasi yang tinggi dibandingkan dengan kedua kemasan yang lain maka
parameter kelarutan gas CO2 tidak dipakai dalam penentuan waktu paruh produk
minuman berkarbonasi.

Tabel 4. Nilai energi aktivasi minuman berkarbonasi pada ketiga kemasan.
Kemasan
Kaleng
Gelas
Plastik

Volume gas CO
(kJ/mol)
45,735
47,329
46,133

Kelarutan gas CO
(kJ/mol)
16,117
4,174
5,502

Pendugaan waktu paruh produk
Waktu paruh (t1/2) adalah waktu yang dibutuhkan agar konsentrasi gas CO2
pada produk yang digunakan dalam penelitian ini berkurang menjadi setengah
(1/2) dari konsentrasi semula. Nilai k yang sudah didapat dari persamaan
Arrhenius, kemudian digunakan untuk mendapatkan waktu paruh (t1/2) produk
dengan menggunakan persamaan waktu paruh (pada persamaan 5). Waktu paruh
masing – masing produk pada berbagai suhu penyimpanan ditabulasikan seperti
pada tabel 4 berikut ini.
Dari pengertian waktu paruh dan dari data hasil perhitungan (tabel 4) waktu
paruh menggunakan persaman 5 dapat dijelaskan bahwa kemasan kaleng jika
disimpan pada suhu 5⁰C akan mengalami penurunan volume gas CO² sebesar
50% dari jumlah awalnya setelah 778 hari. Begitu juga dengan kemasan gelas,
volume gas CO₂nya akan berkurang sebanyak 50% setelah 792 hari. Sedangkan
kemasan plastik mengalami penurunan volume gas CO2 sebanyak 50% setelah
399 hari. Demikian seterusnya sesuai dengan suhu yang disebutkan pada table 4.
Tabel 5. Waktu paruh (t1/2) produk pada ketiga kemasan berdasarkan parameter
volume gas CO2
SUHU
⁰C
5
10
15
20
25
30
35

KALENG

GELAS

t1/2
A₀
1.581
1.581
1.581
1.581
1.581
1.581
1.581

ko
0.0010
0.0014
0.0020
0.0028
0.0038
0.0052
0.0070

(hari)
778
548
391
282
206
152
113

PLASTIK

t1/2
A₀
1.319
1.319
1.319
1.319
1.319
1.319
1.319

ko
0.0008
0.0012
0.0017
0.0024
0.0033
0.0045
0.0061

(hari)
792
552
389
278
200
146
108

t1/2
A₀
2.946
2.946
2.946
2.946
2.946
2.946
2.946

ko
0.0037
0.0053
0.0074
0.0103
0.0141
0.0192
0.0258

(hari)
399
280
199
144
104
77
57

16

4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari data awal pengukuran volume gas CO2 didapat bahwa kemasan plastik
memiliki volume gas CO2 yang lebih tinggi dibandingkan dengan kemasan gelas
dan kaleng. Selama penyimpanan, penurunan volume dan kelarutan gas CO2
terjadi pada semua kemasan baik kemasan baik pada suhu dingin (6⁰C), suhu
ruang (25⁰C) maupun pada suhu inkubator (55⁰C). Semakin tinggi suhu
penyimpanannya maka semakin besar dan cepat gas CO2 yang hilang dari
kemasan yang diujikan. Berdasarkan volume gas CO₂, maka pendugaan waktu
paruh (t1/2) produk yang dikemas pada kemasan kaleng dan disimpan pada suhu
ruang (25⁰C) adalah 206 hari (7,0 bulan), sedangkan untuk kemasan gelas dan
plastik pada suhu yang sama berturut – turut adalah 200 (6,7 bulan) hari dan 104
hari (3,5 bulan).
Disamping itu, untuk parameter kelarutan gas CO2 dengan atau tanpa
perlakuan pada hari ke 0 tidak ditemukan perbedaan yang jelas yang dialami
disetiap kemasan yang diukur. Fluktuasi nilai awal didapatkan dari produsen yang
mengakibatkan sulit menentukan apakah penurunan selalu terjadi selama
penyimpanan atau tidak.

Saran
1. Untuk melihat kestabilan gas CO₂ selama penyimpanan, sebaiknya suhu
penyimpanan minuman berkarbonasi tidak lebih dari 50⁰C dikarenakan
fenomena yang terjadi pada kemasan kaleng pada saat penelitian ini
dilakukan.
2. Parameter kelarutan gas CO2 sebaiknya tidak perlu diukur dikarenakan data
yang didapatkan dengan atau tanpa perlakuan pengocokan tidak menunjukkan
nilai yang signifikan yang bisa dijadikan menjadi suatu kesimpulan.
3. Untuk para produser minuman berkarbonat, jika ingin mengetahui kelarutan
gas CO2, sebaiknya analisa titrasi dilakukan pada produk langsung tanpa
melakukan pengocokan terlebih dahulu.
4. Perlu adanya peninjauan kembali mengenai standar volume gas CO2 pada
minuman ringan berkarbonasi karena dari data awal produk yang diukur nilai
volume gas CO²nya banyak yang tidak sesuai dengan standard (dibawah).

DAFTAR PUSTAKA
Achour M. 2005. A new method to assess the quality of food products during
storage. Journal of Food Engineering 75 (2005) 500-564. Alain Savry, Tunisia.
Arpah M. 2007. Penetapan kadaluarsa pangan. Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Ashurst PR. 2010. Carbonated Beverages. Elsevier Inc.
Barker GS, Jefferson B, Judd SJ. 2002. Domestic carbonation process
optimization.Cranfield University, UK. Journal of Food Engineering, 52, 405412.
Barker GS, Jefferson B, Judd SJ. 2002a. The control of bubble size in carbonated
beverages. Chemical engineering science, 57, 565-573.
[BPOM] Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2015. Peraturan Kepala BPOM
tentang Kategori Pangan [internet]. [diacu 2015 Juni 15]. Tersedia dari:
http://www.pom.go.id/
Carrieri G, De-Bonis MV, Ruocco G. 2012. Modelling and experimental
validation of mass transfer from carbonated beverages in polyethylene
terepththalate bottles. Journal of Food Engineering 108 (2012) 570-578. Italy.
[CCA] Coca-Cola Amatil Indonesia. 2015. A-Z tentang produk kami. [internet].
[diacu 2015 Juni 16]. Tersedia dari http://coca-colaamatil.co.id/
Coles R, McDowel D, Kirwan MJ. 2013. Food packaging technology. Blacwell
Publishing Ltd.
Descoins C, Mathlouthi M, Moual ML, Hennequin J. 2004. Carbonation
monitoring of beverage in a laboratory scale unit with online measurement of
dissolved CO2. A paper in Food Chemistry. Elsevier accepted 25 November
2004.
Euromonitor International. 2016. Soft Drinks in Indonesia. [internet]. [diacu 2016
Juli 8]. Tersedia dari: http://euromonitor.com/soft-drinks-in-indonesia/report.
Ghose P, Nair P. 2013. Packaging of carbonated beverages. International Journal
of Agriculture and Food Science Technology. ISSN 2249-3050, vol ke-4,
number 5 (2013), pp. 421-430. Research India Publication.
Glevitzky, M, Bruturean GA, Perju D. 2005. Studies regarding the variation of
carbon dioxide in certain carbonated beverages stored in polyethylene
terepththalate bottles. Politehnica University of Timisoara, Department of
Chemical Engineering. Romania Scientific Bulletin volume 50 (64), 1-2, 2005.
Kicast D, Subramaniam P. 2011. Food and beverage stability and shelflife.
Woodhead Publishing Ltd.
Kusnandar F. 2012. Pendugaan Umur Simpan Produk Pangan dengan Metode
Accelerated Shelf-life Testing (ASLT). Artikel dalam Food Review Indonesia.
Licciardello F, Coriolani C, Muratore G. 2010. Improvement of CO2 retention of
PET bottles for carbonated soft drinks. Special issue in Italian Journal of Food
Science.
Liger-Belair G, Sternenberg G, Brunner S, Robillard B, Cilindre C. 2015. Bubble
dynamics in various commercial sparkling bottled waters. Journal of Food
Engineering 163 (2015) 60-70. France.
Massey L. 2003. Permeability Properties of Plastics and Elastomers, Ed ke-2,New
York: Plastic Design Library.

18
Profaizer M. 2007. Shelflife of PET bottles estimated via a finite elements.
Method simulation of carbon dioxide and oxygen permeability. Journal of
Italian Food and Beverage Technology – XLVII April edition.
Robertson GL. 2005. Food Packaging. Chapter 16. Shelf life of Packaged Food:
Its measurement and estimation. Marcel Dekker, New York.
Robertson GL. 2010. Food Packaging. Principles and practice. Ed ke-3, CRC
Press. Taylor and Francis group, New York.
Siracusa V. 2012. Food Packaging Permeabiliity Behaviour: A report.
Department of Industrial and Mechanical Engineerinng, University f Catania.
International Journal of Polymer Science. Vol 2012, Article ID 302029, DOI:
10.1155/2012/302029. Hindawi Publishing Corporation. Received 25 Nov
2011; Accepted 16 Feb 2012.
Statista. 2016. The Statistics Portal – global consumption of packed beverages by
beverage type 2015 [internet]. [diacu 2016 Juni 14]. Tersedia dari:
http://www.statista.com.
Shin J, Selke SEE. 2014. Food Processing, Principles and Application. Ed ke-2
chapter 11. Food Packaging, Wiley Blackwell.
Steen D, Ashurst PR. 2006. Carbonated Soft Drinks: Formulation and
Manufacture. Blackwell publ.
Wujie, Zhufei, Xujing. 2011. The influence of Water Quality on Food Quality and
the Treatment of Water for Food Processing. 3rd International Conference on
Environmental Science and Information Application Technology (ESIAT
2011). Procedia Environmental Sciences 10 (2011) 2671-2676.
Zahrati Z, Aridinanti L. 2013. Penerapan Metode DMAIC di PT. Coca-Cola
Bottling Indonesia Jawa Timur.
Zeman S, Kubik L. 2007. Permeability of Polymeric Packaging Materials
Department of Animal Husbandry and Food Production Mechanization.
Department of Physics of Slovak University of Agriculture in Nitra. Technical
Sciences. Techn, Sc, No. 10. Y2007.

LAMPIRAN

20

Lampiran 1 Data awal hasil pengukuran volume gas CO2 pada suhu 6⁰C
Lama
KALENG
GELAS
PLASTIK
Penyimpanan
(hari)
Sample 1
Sample 2
Sample 1
Sample 2
Sample 1
Sample 2
Nomor batch BKS522:37 BKS501:50 BKS812:46 BKS822:15 SB3C17:43 BKS207:47
Kode
2-Aug-16
12-Aug-16 8-Aug-16
8-Aug-16
30-Jan-16
21-Feb-16
Produksi
0
1.803
1.805
1.552
1.523
2.614
2.817
30
1.787
1.787
1.616
1.503
2.707
2.763
60
1.757
1.757
1.565
1.488
2.606
2.613
90
1.682
1.674
1.481
1.441
2.509
2.483
120
1.682
1.589
1.426
1.424
2.161
2.076

Lampiran 2 Data awal hasil pengukuran volume gas CO2 pada suhu 25⁰C

Lama
KALENG
GELAS
PLASTIK
Penyimpanan
Sample 1
Sample 2
Sample 1
Sample 2
Sample 1
Sample 2
(hari)
Nomor batch BKS522:37 BKS501:50 BKS812:46 BKS822:15 SB3C17:43 BKS207:47
Kode
2-Aug-16
12-Aug-16 8-Aug-16
8-Aug-16
30-Jan-16
30-Jan-16
Produksi
0
1.632
1.530
1.315
1.322
2.553
3.338
14
1.611
1.548
1.443
1.496
2.493
3.263
28
1.584
1.513
1.316
1.638
2.314
3.173
42
1.540
1.514
1.345
1.319
2.145
2.928
56
1.534
1.529
1.230
1.233
1.947
2.320
70
1.628
1.418
1.213
1.087
1.873
2.261
84
1.420
1.251
1.112
1.203
1.801
2.058
98
1.335
1.495
1.115
1.325
1.783
1.997
112
1.247
1.450
1.132
1.228
1.787
1.988
126
1.268
1.424
1.080
1.261
1.732
1.895

Lampiran 3 Data awal hasil pengukuran volume gas CO2 pada suhu 55⁰C

Lama
KALENG
GELAS
PLASTIK
Penyimpanan
Sample 1
Sample 2
Sample 1
Sample 2
Sample 1
Sample 2
(hari)
Nomor batch BKS516:19 BKS514:56 BKS812:46 BKS822:15 BKS207:45 BKS207:40
Kode
10-Jun-16
10-Jun-16
8-Aug-16
8-Aug-16
21-Feb-16 21-Feb-16
Produksi
0
2.442
2.365
1.795
1.235
3.895
3.396
2
2.434
2.362
1.289
0.611
3.939
3.166
4
2.433
2.355
1.559
1.435
2.384
2.434
6
2.468
2.388
1.410
1.103
2.186
2.149
8
2.458
2.339
1.513
1.462
2.157
2.164
10
2.376
2.375
1.792
1.671
2.184
2.185
12
2.148
2.215
0.825
1.126
1.885
1.546
14
2.168
2.058
0.565
0.922
2.046
1.973
16
2.112
1.811
1.316
1.118
2.017
1.998
18
2.104
1.938
0.836
1.133
1.928
1.964

Lampiran 4 Data awal hasil pengukuran kelarutan gas CO2 pada suhu 6⁰C
Lama
KALENG
GELAS
PLASTIK
Penyimpanan
(hari)
Sample 1
Sample 2
Sample 1
Sample 2
Sample 1
Sample 2
Nomor batch BKS522:37 BKS501:50 BKS812:46 BKS822:15 SB3C17:43 BKS207:47
Kode
2-Aug-16 12-Aug-16 8-Aug-16
8-Aug-16
30-Jan-16
21-Feb-16
Produksi
0
1068.53
1068.53
987.53
987.53
1060.14
1057.02
30
1039.25
1053.89
966.06
973.38
1009.98
1017.30
60
995.34
995.34
922.15
922.15
973.38
966.06
90
944.11
944.11
888.56
888.56
919.38
919.38
120
919.38
919.38
824.53
824.53
875.60
890.19

22
Lampiran 5 Data awal hasil pengukuran kelarutan gas CO2 pada suhu 25⁰C

Lama
KALENG
GELAS
PLASTIK
Penyimpanan
Sample 1
Sample 2
Sample 1
Sample 2
Sample 1
Sample 2
(hari)
Nomor batch BKS522:37 BKS501:50 BKS812:46 BKS822:15 SB3C17:43 BKS207:47
Kode
2-Aug-16
12-Aug-16 8-Aug-16
8-Aug-16
30-Jan-16
21-Feb-16
Produksi
0
1068.53
1061.21
928.54
928.54
1045.52
1053.89
14
1017.30
1009.98
995.34
958.75
1024.61
1024.61
28
1001.65
1030.90
994.34
979.72
1023.59
1052.83
42
1024.61
1024.61
987.03
957.79
1030.90
1023.59
56
993.35
993.35
950.47
950.47
987.03
994.34
70
994.34
994.34
855.43
848.11
950.47
965.10
84
986.05
986.05
868.31
861.01
985.05
963.16
98
971.43
964.13
802.63
817.23
919.38
919.38
112
868.31
861.01
795.34
809.93
868.31
868.31
126
861.01
861.01
788.04
788.04
809.93
817.23

Lampiran 6 Data awal hasil pengukuran kelarutan gas CO2 pada suhu 55⁰C
Lama
KALENG
GELAS
PLASTIK
Penyimpanan
Sample 1
Sample 2
Sample 1
Sample 2
Sample 1
Sample 2
(hari)
Nomor batch BKS516:19 BKS514:56 BKS812:46 BKS822:15 BKS207:45 BKS207:40
Kode
10-Jun-16
10-Jun-16
8-Aug-16
8-Aug-16
21-Feb-15 21-Feb-15
Produksi
0
1309.15
1431.80
1150.05
1183.88
1242.73
1341.80
2
1435.69
1398.10
849.39
804.29
965.89
909.52
4
1038.21
957.78
1111.33
1056.49
1206.37
1100.36
6
965.10
884.67
884.67
866.40
1045.52
976.07
8
797.74
709.91
746.51
739.19
797.74
775.78
10
812.37
863.61
885.59
827.01
944.11
841.65
12
805.05
783.10
805.06
805.06
848.97
863.60
14
729.67
744.26
678.59
729.67
780.75
831.82
16
766.15
729.67
788.04
780.75
824.53
817.23
18
744.26
729.67
773.45
758.85
846.41
831.82

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Balige pada tanggal 25 September 1977 sebagai anak
sulung dari pasangan Hisar Simanjuntak dan Hilderia Siahaan.
Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Teknologi Hasil Pertanian,
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, lulus pada tahun 2000. Dan pada
tahun 2013