Stabilitas bakteri asam laktat selama pembuatan dan penyimpanan keju lunak susu kambing

(1)

STABILITAS BAKTERI ASAM LAKTAT

SELAMA PEMBUATAN DAN PENYIMPANAN

KEJU LUNAK SUSU KAMBING

SKRIPSI

WIDYA EKA PRAYITNO

F 24061476

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

STABILITY OF LACTIC ACID BACTERIA

DURING PROCESSING AND STORAGE OF GOAT MILK SOFT CHEESE

Widya Eka Prayitno, Feri Kusnandar, and Winiati P. Rahayu

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, Bogor 16680.

ABSTRACT

The use of goat milk is limited as a healthy drink in Indonesia. One of the factors that limits the consumption of goat milk is the goaty smell. The aim of this research was to apply LAB Lactobacillus acidophilus and Lactobacillus casei in production of goat milk soft cheese in order to estimate the stability of these LAB during processing and storage. The Lactobacillus acidophilus FNCC-0051 and Lactobacillus casei FNCC-0090 were used in this study. This research was divided into four steps i.e. 1) preparation of microbial starter, 2) production of goat milk cheese and analysis of chemical and microbiological changes in each step of production, 3) stability analysis of LAB (chemical and microbiological analysis, and sensory analysis after storage for two months), 4) analysis for the selected goat milk cheese including nutrition and metal analyses. The goat milk cheeses had white color, soft, and crumbly. LAB in the cheese product reached 109cfu/gram and could be maintained for two months at 5 oC. The result of sensory analysis showed panelists liked goat milk cheeses, especially in term of its aroma. LAB could be applied in production of goat milk soft cheese and reached 109 cfu/gram after storage. The cheese had sour aroma that could cover the goaty smell.


(3)

WIDYA EKA PRAYITNO. F24061476. Stabilitas Bakteri Asam Laktat selama Pembuatan dan Penyimpanan Keju Lunak Susu Kambing. Di bawah bimbingan Feri Kusnandar dan Winiati P. Rahayu. 2011.

RINGKASAN

Susu kambing saat ini mulai banyak dimanfaatkan di Indonesia. Walaupun demikian, pemanfaatannya masih terbatas dan lebih diarahkan sebagai produk kesehatan dalam bentuk susu segar atau susu pasteurisasi. Padahal susu kambing dapat diolah menjadi berbagai produk olahan susu seperti susu fermentasi, yoghurt, keju, susu bubuk, dodol, dan ice cream. Salah satu produk olahan susu adalah keju yang memiliki masa simpan lebih lama daripada produk olahan susu lainnya.

Salah satu inovasi produk keju adalah keju probiotik yang harus memiliki viabilitas kultur dalam jumlah tinggi. Viabilitas dan stabilitas probiotik harus terjaga, baik selama proses pembuatan maupun penyimpanan agar ketika dikonsumsi dapat memberi manfaat kesehatan.

Penelitian ini bertujuan mengaplikasikan bakteri asam laktat Lactobacillus acidophilus dan Lactobacillus casei pada pembuatan keju lunak susu kambing untuk diketahui viabilitasnya selama proses pembuatan dan stabilitasnya selama penyimpanan. BAL komersial yang digunakan pada penelitian ini adalah Lactobacillus acidophilus FNCC-0051 dan Lactobacillus casei FNCC-0090. Sudah cukup banyak galur dari kedua spesies tersebut yang terbukti memiliki aktivitas probiotik.

Kegiatan penelitian ini dilakukan dalam empat tahap. Tahap pertama adalah pemeliharaan BAL dan pembuatan kultur kerja. Tahap kedua adalah pembuatan keju susu kambing dengan pengamatan perubahan kimiawi dan mikrobiologi di setiap tahapan proses. Tahap ketiga adalah uji stabilitas BAL selama penyimpanan dengan pengamatan kimiawi dan mikrobiologi, dan pada masa penyimpanan 8 minggu diuji sifat sensorinya. Kemudian, tahap keempat adalah uji kandungan nutrisi dan uji cemaran logam bagi keju terpilih.

Keju yang dihasilkan pada penelitian ini berwarna putih, lunak, dan mudah rapuh. Hasil penelitian menunjukkan viabilitas BAL selama proses pembuatan mencapai 109 cfu/gram pada produk akhir. Stabilitas BAL tetap pada angka 109 cfu/gram selama penyimpanan 8 minggu. Hasil uji sensori menunjukkan kecenderungan kesukaan panelis terhadap keju lunak susu kambing, terutama terhadap aromanya. Uji kandungan nutrisi menunjukkan kandungan nutrisi yang tidak jauh berbeda dengan keju susu kambing komersial yang diteliti oleh Park (1990). Cemaran logam tidak terdeteksi pada keju lunak susu kambing, kecuali logam Cu dan Zn. Kandungan logam Cu dan Zn yang terseteksi tidak melebihi batas maksimum menurut SNI 01-2980-1992 untuk keju cedar olahan.


(4)

STABILITAS BAKTERI ASAM LAKTAT

SELAMA PEMBUATAN DAN PENYIMPANAN

KEJU LUNAK SUSU KAMBING

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh

WIDYA EKA PRAYITNO

F 24061476

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(5)

Judul Skripsi : Stabilitas Bakteri Asam Laktat selama Pembuatan dan Penyimpanan

Keju Lunak Susu Kambing

Nama

: Widya Eka Prayitno

NIM

: F24061476

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

(Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc)

(Prof. Dr. Winiati P. Rahayu)

NIP 19680526 199303 1 004

NIP 19560813 198201 2 001

Mengetahui:

Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Dahrul Syah)

NIP 19650814 199002 1 001


(6)

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Stabilitas Bakteri Asam Laktat selama Pembuatan dan Penyimpanan Keju Lunak Susu Kambing adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, 21 Januari 2011 Yang membuat pernyataan

Widya Eka Prayitno F 24061476


(7)

iv

BIODATA PENULIS

Widya Eka Prayitno. Lahir di Jakarta, 10 Januari 1988 dari ayah Suprayitno dan ibu Supriyati Ningsih, sebagai putri pertama dari tiga bersaudara. Penulis menamatkan SMA pada tahun 2006 dari SMA Negeri 40, Jakarta dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Penulis memilih Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif mengikuti berbagai kegiatan kepanitiaan, diantaranya pada kegiatan “Musyawarah Kerja Nasional Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia (MUKERNAS HMPPI) β007” dan “Seminar & Training HACCP VI” pada tahun β008, serta beberapa kegiatan lainnya. Pada tahun 2009 penulis mendapat dana hibah untuk usaha jasa boga yang berbasis mi jagung dari Program Pengembangan Kewirausahaan Mahasiswa yang diadakan oleh Direktorat Pengembangan Karir dan Hubungan Alumni (DPKHA) IPB. Penulis memperoleh beasiswa selama kuliah di IPB, yaitu beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) pada tahun 2008-2010.


(8)

v

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadapan Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penelitian dengan judul Stabilitas Bakteri Asam Laktat selama Pembuatan dan Penyimpanan Keju Lunak Susu Kambing dilaksanakan di Bogor sejak bulan April sampai Oktober 2010.

Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak dan Mama atas segala doa, dukungan, dan dorongan sehingga penulis terpacu dalam menyelesaikan penelitian ini.

2. Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc sebagai dosen pembimbing pertama atas bimbingannya selama penulis menimba ilmu di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan.

3. Prof. Dr. Winiati P. Rahayu sebagai dosen pembimbing kedua yang telah memberi bimbingan dan saran selama penulis melakukan kegiatan penelitian hingga penyusunan skripsi.

4. Dr. Ir. Joko Hermanianto atas segala saran yang membangun sehingga skripsi ini dapat menjadi karya tulis yang lebih baik.

5. Triana Setyawardhani, SPt, MP sebagai rekan dalam proyek yang berjudul “Stabilisasi (γ0 Hari) BAL pada Pembuatan Keju Probiotik Susu Kambing” sekaligus yang membimbing penulis selama kegiatan penelitian.

6. Mbak Ari, Bu Sari, Pak Taufik, Mbak Wid, Bu Nur, dan Mbak Dhen atas bantuannya selama penulis meneliti di Lab PAU.

7. Pak Rozak, Pak Wahid, Pak Sobirin, Mas Aldi, dan Bu Sri atas bantuannya.

8. Sandra (atas dukungannya yang sangat besar), Oxyana, Widi, Awal (atas kesediaannya menemani lembur), Ami, Kandi, Dion, Neng, Ipit, Wina, dan Septi, serta keluarga besar ITP 43. 9. Teman-teman satu kos: Rina, Zaki, Rara, Fini, Inggit, Bina, dan Yane atas segala bantuan serta

tempat berbagi suka dan duka.

10. Para pegawai di Kantinku atas kesediaannya mengantar penulis membeli susu kambing.

11. Pemilik dan pegawai Fitri Fotokopi di Kantin Sapta FATETA atas kebaikan dan bantuannya kepada penulis.

12. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Semoga tulisan ini bermanfaat dan berkontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, terutama di bidang pangan.

Bogor, 21 Januari 2011 Widya Eka Prayitno


(9)

vi

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR……… v

DAFTAR TABEL……….. vii

DAFTAR GAMBAR………. viii

DAFTAR LAMPIRAN……….. ix

PENDAHULUAN……….. 1

A. LATAR BELAKANG………... 1

B. TUJUAN PENELITIAN……… 2

C. MANFAAT PENELITIAN……… 2

TINJAUAN PUSTAKA………. 3

A. SUSU KAMBING………. 3

B. KEJU………... 4

C. PRINSIP PEMBUATAN KEJU……… 5

D. BAKTERI ASAM LAKTAT………. 6

E. CEMARAN LOGAM PADA KEJU………... 7

METODE PENELITIAN………... 9

A. BAHAN DAN ALAT……… 9

B. METODE PENELITIAN………... 9

HASIL DAN PEMBAHASAN……….. 22

A. MIKROBA PADA SUSU DAN KULTUR STARTER………... 22

B. PEMBUATAN KEJU... 22

C. STABILITAS BAL SELAMA PENYIMPANAN KEJU... 27

D. MUTU SENSORI KEJU... 29

E. KANDUNGAN NUTRISI KEJU... 30

F. CEMARAN LOGAM PADA KEJU………... 32

SIMPULAN DAN SARAN………... 35

A. SIMPULAN……….. 35

B. SARAN……….. 35

DAFTAR PUSTAKA……… 36


(10)

vii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komposisi kimia susu kambing (jenis PE dan Jamnapari) dan susu

sapi (jenis Friesian) serta perbandingannya dengan SNI susu segar... 3 Tabel 2. Analisis pada setiap tahapan penelitian………... 15 Tabel 3. Jumlah ALT dan BAL di tiap tahapan proses pembuatan keju... 26 Tabel 4. Rata-rata penilaian kesukaan panelis terhadap keju lunak susu

kambing………... 29

Tabel 5. Komposisi kimia susu kambing PE dan keju susu kambing (berat

basah)………. 31

Tabel 6. Kandungan cemaran logam pada susu kambing dan produk keju... 33


(11)

viii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Tahapan penelitian dalam pengembangan produk keju lunak susu

kambing………. 10

Gambar 2. Diagram alir pembuatan kultur kerja dengan modifikasi metode Daulay (1991)………... 11

Gambar 3. Diagram alir pembuatan keju lunak susu kambing dengan modifikasi metode Daulay (1991)... 12

Gambar 4. Alat pemotong keju………... 13 Gambar 5. Curd………... 23

Gambar 6. Curd setelah tahap pemanasan………... 24

Gambar 7. Keju lunak susu kambing………... 24

Gambar 8. Nilai pH di tiap tahapan proses pembuatan keju………... 25

Gambar 9. Nilai pH keju selama penyimpanan 8 minggu………... 27

Gambar 10. Jumlah BAL pada keju dari tiga perlakuan selama penyimpanan 8 minggu... 28


(12)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Kuisioner seleksi panelis (Form 1)………... 41

Lampiran 2. Kuisioner seleksi panelis (Form 2)………... 42

Lampiran 3. Kuisioner uji rating hedonik atribut aroma... 43

Lampiran 4. Kuisioner uji rating hedonik atribut rasa…………... 44

Lampiran 5. Kuisioner uji rating hedonik atribut aftertaste……... 45

Lampiran 6. Proses penyaringan (a) dan whey yang tertampung (b)... 46

Lampiran 7. Nilai pH keju selama penyimpanan………... 47

Lampiran 8. Hasil uji statistik ANOVA terhadap penurunan pH keju selama penyimpanan... 48

Lampiran 9. Hasil uji statistik ANOVA untuk pengaruh jenis BAL terhadap penurunan nilai pH keju selama penyimpanan………... 49

Lampiran 10. Jumlah BAL (a) dan angka lempeng total (b) pada keju selama penyimpanan………... 50

Lampiran 11. Hasil uji statistik ANOVA terhadap jumlah BAL (a) dan angka lempeng total (b) keju selama penyimpanan... 51

Lampiran 12. Hasil uji statistik ANOVA untuk pengaruh jenis BAL terhadap jumlah BAL (a) dan angka lempeng total (b) keju selama penyimpanan... 52

Lampiran 13. Hasil penilaian kesukaan terhadap aroma (a), rasa (b), dan aftertaste (c) dari tiga keju lunak susu kambing (dengan bakteri berbeda) dan keju feta………... 53

Lampiran 14. Hasil pengolahan data atribut aroma keju lunak susu kambing menggunakan ANOVA……... 54

Lampiran 15. Hasil pengolahan data atribut rasa (a) dan aftertaste (b) keju lunak susu kambing menggunakan ANOVA……….. 55

Lampiran 16. Rekapitulasi data analisis kandungan nutrisi keju lunak susu kambing (basis basah)………... 56

Lampiran 17. Rekapitulasi data rendemen keju lunak susu kambing………... 57 Lampiran 18. Rekapitulasi data analisis kandungan As pada keju lunak susu kambing………... 58

Lampiran 19. Rekapitulasi data analisis kandungan Pb pada keju lunak susu kambing…... 59

Lampiran 20. Rekapitulasi data analisis kandungan Cu pada keju lunak susu kambing………... 60

Lampiran 21. Rekapitulasi data analisis kandungan Zn pada keju lunak susu kambing………... 61

Lampiran 22. Rekapitulasi data analisis kandungan Hg pada keju lunak susu kambing………... 62

Lampiran 23 Rekapitulasi data analisis kandungan Sn pada keju lunak susu kambing…... 63


(13)

PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Susu kambing saat ini mulai banyak dimanfaatkan di Indonesia. Walaupun demikian, pemanfaatannya masih terbatas dan lebih diarahkan sebagai produk kesehatan dalam bentuk susu segar atau susu pasteurisasi. Hal itu dikarenakan susu kambing banyak memiliki globula lemak yang berukuran lebih kecil daripada susu sapi (Silanikove et al. 2010), sehingga lebih mudah dicerna dan dapat dikonsumsi oleh orang yang sakit atau dalam masa penyembuhan.

Konsumsi susu kambing sebenarnya tidak hanya diperuntukkan bagi orang yang sedang sakit. Susu kambing dapat dikonsumsi oleh semua kalangan, termasuk oleh bayi sebagai pengganti ASI. Hanya saja, sampai saat ini, aroma khas dari susu kambing (prengus) tetap menjadi faktor yang membatasi konsumsinya. Aroma tersebut ditimbulkan oleh kandungan asam lemak rantai sedang (asam kaproat, asam kaprilat, dan asam kaprat) yang lebih tinggi pada susu kambing (Silanikove et al. 2010). Selain itu, timbulnya aroma prengus juga dapat disebabkan oleh pakan dan lingkungan kandang. Sudah banyak cara yang dilakukan untuk meminimalisir aroma prengus dari susu kambing, misalnya dengan selalu menjaga kebersihan kandang.

Susu kambing, seperti juga jenis susu lainnya, dapat diolah menjadi berbagai produk olahan susu seperti susu fermentasi, yoghurt, keju, susu bubuk, dodol, dan ice cream. Pengolahan susu kambing menjadi produk olahan susu diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan nilai konsumsi susu kambing tanpa mengurangi manfaat yang dikandungnya.

Salah satu produk olahan susu adalah keju. Keju dihasilkan dari penirisan (cairan) setelah terjadinya koagulasi susu segar, krim, susu skim, dadih atau campurannya (Scott 1986). Keju memiliki masa simpan lebih lama daripada produk olahan susu lainnya.

Keju bukan produk yang umum dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, namun memiliki potensi untuk dikembangkan. Awalnya, produk keju di pasaran Indonesia merupakan produk impor untuk memenuhi kebutuhan kalangan tertentu. Namun, saat ini keju sudah menjadi jenis makanan yang umum di kalangan masyarakat Indonesia. Keju biasanya dikonsumsi sebagai pelengkap dan penambah cita rasa dari makanan, misalnya sebagai isi, taburan, atau olesan. Berkembangnya jenis pangan keju tampaknya memicu beberapa industri pangan berbasis susu di Indonesia untuk memproduksi keju, mulai dari keju segar hingga keju olahan.

Keju yang dibuat di Indonesia dalam skala industri masih menggunakan bahan baku susu sapi. Hal itu dikarenakan produksi susu dari jenis ruminansia lain masih terbatas. Produksi susu kambing sendiri baru ditingkatkan sekitar tahun 2000 di Indonesia (Sodiq dan Abidin 2008). Peningkatan produksi susu kambing perlu ditunjang dengan inovasi pengembangan produk olahannya. Hal tersebut perlu dilakukan agar semakin menggeliatkan produksi susu kambing di Indonesia.

Salah satu inovasi produk keju adalah keju probiotik. Menurut Stanton (1998), dalam rangka untuk mengembangkan jenis pangan probiotik, beberapa peneliti dan perusahaan melakukan penelitian untuk mengembangkan produk keju yang dapat menjaga viabilitas kultur probiotik dalam jumlah tinggi. Viabilitas dan stabilitas probiotik harus terjaga, baik selama proses pembuatan maupun penyimpanan agar ketika dikonsumsi dapat memberi manfaat kesehatan.


(14)

2

Pembuatan keju pada penelitian ini menggunakan bakteri asam laktat (BAL) Lactobacillus acidophilus dan Lactobacillus casei komersial. Sudah cukup banyak galur dari kedua spesies tersebut yang terbukti memiliki aktivitas probiotik. Stabilitas Lactobacillus acidophilus dan Lactobacillus casei selama proses pembuatan dan penyimpanan keju diuji dalam penelitian ini. Kemudian, jika nanti sudah ada uji yang menyatakan bahwa kedua BAL yang digunakan pada penelitian ini juga memiliki aktivitas probiotik, keju yang dihasilkan dapat menjadi salah satu rekomendasi pengembangan keju probiotik berbasis susu kambing di Indonesia.

B.

TUJUAN PENELITIAN

1. Mengaplikasikan BAL Lactobacillus acidophilus dan Lactobacillus casei pada pembuatan keju lunak susu kambing.

2. Mengetahui viabilitas BAL selama proses pembuatan keju lunak susu kambing serta stabilitas BAL selama penyimpanannya.

3.

Mengetahui nilai nutrisi serta mutu sensori keju lunak susu kambing.

C.

MANFAAT PENELITIAN

Manfaat dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi mengenai aplikasi BAL Lactobacillus acidophilus dan Lactobacillus casei pada proses pembuatan keju susu kambing serta data stabilitas BAL selama pembuatan dan penyimpanan keju susu kambing, sehingga dapat menjadi rekomendasi pengembangan keju probiotik berbasis susu kambing.


(15)

TINJAUAN PUSTAKA

A.

SUSU KAMBING

Perkembangan populasi ternak kambing meningkat dalam beberapa tahun terakhir (2001-2006). Pada tahun 2001 jumlahnya 12.46 juta ekor dan meningkat menjadi 13.18 juta ekor pada tahun 2006. Peternakan kambing dengan tujuan utama sebagai penghasil susu mulai dikembangkan di Indonesia pada awal tahun 2000 (Sodiq dan Abidin 2008). Salah satu bangsa kambing yang dikembangkan sebagai penghasil susu di Indonesia adalah kambing Peranakan Etawah (PE). Kambing PE merupakan hasil persilangan antara kambing Kacang lokal dan kambing Jamnapari yang dibawa ke Indonesia dari India pada masa kolonial Belanda (Budisatria et al. 2010). Produksi susu kambing PE adalah 0.45-2.2 liter/ekor/hari dengan panjang masa laktasi sangat beragam, yaitu 92-256 hari dengan rataan 156 hari. Dengan pengelolaan yang baik, induk kambing PE mampu berproduksi hingga 200 hari dalam satu tahun (Sodiq dan Abidin 2008).

Secara kimia, susu merupakan emulsi lemak dalam air yang mengandung gula, garam-garam mineral, dan protein dalam bentuk suspensi koloidal. Susu memiliki komponen utama berupa air, lemak, protein (kasein, albumin, dan globulin), laktosa (gula susu), dan abu. Komponen susu selain air merupakan total solid (TS) dan “total solid” tanpa komponen lemak merupakan solid non fat (SNF) (Rahman et al. 1992). Komposisi kimia susu kambing tidak jauh berbeda dengan susu sapi (Tabel 1). Susu kambing juga mengandung asam-asam lemak kaproat, kaprilat, dan kaprat dalam jumlah yang relatif banyak (Daulay 1991).

Tabel 1. Komposisi kimia susu kambing (jenis PE dan Jamnapari) dan susu sapi (jenis Friesian) serta perbandingannya dengan SNI susu segar

Parameter (%)

Susu kambing PEa

Susu kambing Jamnaparib

Susu sapi Friesianc

Susu segard

lemak 6.10±0.64 4.31 3.40 minimal 3.0

protein 2.97±0.37 3.74 3.15 minimal 2.7

laktosa - 4.72 4.60 -

abu 0.72±0.13 0.82 0.73 -

Sumber: aHidayat (2009); bJenness (1980); cScott (1986); dBSN (1998a)

Susu, baik susu kambing maupun susu sapi, dipertimbangkan sebagai bahan pangan yang penting. Susu kaya akan kandungan nutrisi esensial, seperti mineral, vitamin, dan protein yang mudah dicerna dengan komposisi asam amino yang seimbang, dimana semua komponen tersebut penting dalam mendukung sifat fungsional di dalam tubuh (Silanikove et al. 2010).

Konsumsi susu kambing diasosiasikan dengan beberapa manfaat kesehatan di luar nilai nutrisi sebenarnya. Susu kambing kaya akan globula lemak yang berukuran lebih kecil daripada globula lemak susu sapi sehingga lebih mudah dicerna. Selain itu, kandungan asam lemak rantai sedang yang banyak terdapat pada susu kambing diketahui memiliki sifat antibakteri, antivirus, dapat mencegah larutnya deposit kolesterol ke dalam darah, dan dapat diserap dengan cepat di


(16)

4

usus (Shingfield et al. 2008). Susu kambing dapat dikonsumsi oleh bayi karena tidak menimbulkan alergi. Kandungan αs1-kasein yang sedikit pada susu kambing dipertimbangkan sebagai penyebab lebih rendahnya alergenisitas terhadap susu kambing dibandingkan susu sapi, namun hal tersebut masih perlu diteliti lebih lanjut (Silanikove et al. 2010).

Komposisi kandungan nutrisi susu kambing juga berpengaruh pada teknologi pengolahan susu kambing. Silanikove et al. (2010) menyatakan bahwa persentase total lemak dalam susu kambing tidak jauh berbeda dengan susu sapi. Dua hal yang membedakannya, dan menjadi karakteristik yang berpengaruh penting bagi pengolahan susu kambing adalah ukuran globula lemak dan komposisi asam lemak. Pada kedua jenis susu, ukuran globula lemak berkisar antara 1-10 μm, namun jumlah globula lemak yang berukuran lebih kecil dari 5 μm lebih banyak terdapat pada susu kambing (sekitar 80%) dibandingkan pada susu sapi (sekitar 60%). Susu kambing mengandung asam lemak rantai sedang, yaitu asam kaproat (C6:0), asam kaprilat (C8:0), dan asam kaprat (C10:0), dalam jumlah yang lebih banyak, dimana sebagian dari asam lemak tersebut bertanggung jawab terhadap munculnya karakteristik aroma prengus atau goaty.

Persentase kasein dalam total protein susu kambing adalah 71-78%, lebih rendah dari susu sapi yang berkisar antara 75-85% (Loewenstein 1982 diacu dalam Zeng 1996). Selain kandungan kasein yang lebih rendah dari susu sapi, yang menjadi faktor utama dalam keterbatasan pemanfaatan susu kambing secara teknologi adalah komposisi dari kaseinnya. Kasein susu kambing memiliki proporsi αs1-kasein yang lebih rendah dan proporsi -kasein yang lebih tinggi daripada susu sapi (Thomann 2008). Rendahnya kandungan αs1-kasein pada susu kambing menyebabkan keju yang terbuat dari susu kambing memiliki tekstur yang lebih lunak daripada keju susu sapi (Jenness 1980).

B.

KEJU

Food and Agricultural Organization (FAO) melalui „Code of Principle‟ mendefinisikan keju sebagai produk segar ataupun hasil pemeraman yang dihasilkan dari penirisan (cairan) setelah terjadinya koagulasi susu segar, krim, susu skim, dadih atau campurannya (Scott 1986). Komponen dalam susu yang penting dalam proses pembuatan keju adalah kasein. Dibandingkan dengan albumin dan globulin yang dapat terdenaturasi oleh panas, kasein lebih stabil terhadap panas namun peka terhadap pH, enzim, dan kandungan kalsium (Rahman et al. 1992).

Keju mengandung nutrisi susu yang tidak larut air, diantaranya protein kasein terkoagulasi, mineral-mineral koloid, lemak, dan vitamin larut lemak. Nutrisi yang terkandung di dalam keju dipengaruhi oleh jenis susu yang digunakan (jenis hewan penghasil susunya, masa laktasi, berlemak tinggi, berlemak rendah, skim), cara pembuatannya, dan derajat pematangan (untuk jenis keju yang dimatangkan atau diperam) (O‟Brien dan O‟Connor β004).

Keju memiliki masa simpan yang lebih lama daripada susu dan produk olahan susu lainnya. Masa simpan keju bervariasi mulai dari beberapa hari hingga beberapa tahun. Kombinasi faktor yang bertanggung jawab dalam memelihara kualitas keju diantaranya adalah ketiadaan gula (laktosa), pH, asam laktat, garam, kondisi anaerobik, dan perlindungan dari “kulit” keju (Walstra et al. 1999)

Keju merupakan produk olahan susu yang memiliki banyak variasi. Berdasarkan kadar air, keju dibagi dalam tiga tipe, yaitu keju keras (20-42%), keju semi keras atau semi lunak (45-55%), dan keju lunak (> 55%). Semua keju jenis tersebut dikonsumsi setelah diperam selama waktu tertentu, sedangkan keju segar (> 70%) dikonsumsi langsung setelah penyaringan dan pemisahan dari whey (Heller et al. 2008). Pengelompokan keju berdasarkan kadar air


(17)

5

dikarenakan kadar air dapat menentukan konsistensi atau kekompakan keju, sehingga memudahkan dalam mengelompokkan keju yang memiliki karakteristik serupa (Farkye 2004).

Perbedaan keju keras dan keju lunak terletak pada persentase kadar air keju. Istilah keju lunak digunakan untuk mendeskripsikan keju yang terasa lunak ketika disentuh dan dapat dengan mudah ditekan oleh jari, sedangkan istilah keju keras digunakan untuk mendeskripsikan keju yang kaku dan membutuhkan tekanan tertentu untuk dapat membaginya menjadi beberapa bagian (Farkye 2004). Keju keras umumnya melalui proses penekanan untuk membentuk partikel-partikel curd yang longgar menjadi massa yang lebih kompak dan mendorong whey keluar lebih banyak, sedangkan keju lunak umumnya melalui proses penekanan hingga kondisi tertentu (Daulay 1991). Penekanan pada keju lunak lebih diarahkan untuk memberi bentuk dan struktur keju yang kompak.

Pembuatan keju merupakan proses yang rumit, meliputi banyak tahapan proses dan beberapa perubahan biokimia. Semua variable tersebut mempengaruhi rendemen, komposisi, dan mutu dari keju serta produk sampingannya (terutama whey). Selain itu, cara pembuatan juga dapat berpengaruh pada biaya produksi (tenaga kerja, peralatan, product loss, dan lain-lain). Oleh karena itu, optimasi dalam pembuatan keju merupakan hal yang tidak mudah (Walstra et al. 1999). Akan tetapi, saat ini teknologi pembuatan keju sudah semakin berkembang, dimana faktor ekonomi merupakan salah satu faktor utama yang mendorong perkembangan teknologi pembuatan keju (Farkye 2004).

C.

PRINSIP PEMBUATAN KEJU

Prinsip pembuatan keju adalah koagulasi protein susu, terutama kasein. Kasein merupakan jenis protein terpenting dalam susu dan terdapat dalam bentuk kalsium kaseinat (Rahman et al. 1992). Koagulasi atau penggumpalan susu adalah perubahan bentuk dari susu cair menjadi padatan (curd). Proses koagulasi atau penggumpalan kasein di dalam susu dapat disebabkan oleh asam, enzim proteolitik, perlakuan panas, atau kombinasi dari ketiganya (Walstra et al. 1999)

Bahan penggumpal enzimatik yang umumnya digunakan dalam proses pembuatan keju adalah rennet. Rennet merupakan enzim yang diperoleh dari abomasum anak sapi yang masih menyusu pada induknya (Rahman et al. 1992). Enzim terpenting dalam rennet adalah khimosin. Khimosin tidak dapat menghidrolisis imunoglobulin dari kolostrum. Itulah sebabnya anak sapi yang baru lahir memproduksi khimosin dalam lambungnya, bukan pepsin yang umumnya terdapat di dalam lambung (Walstra et al. 1999). Selain rennet anak sapi (rennet hewan), terdapat pula rennet mikroba dan rennet tanaman.

Rennet ditambahkan untuk menggumpalkan protein susu, terutama kasein, sehingga terbentuk suatu matriks yang disebut curd. Pembentukan curd pada pembuatan keju umumnya menggunakan koagulan enzim. Enzim yang bersifat proteolitik dapat memecah protein-protein dalam susu sehingga menjadi tidak larut dan membentuk suatu gumpalan massa yang di dalamnya terperangkap komponen-komponen susu lainnya (Daulay 1991).

Hampir 80% protein susu adalah kasein. Kasein tersusun dari unsur-unsur αs1-, αs2-, -, κ-, dan -kasein, kesemuanya menunjukkan perbedaan dalam struktur rantai polipeptidanya. Pada susu dengan pH normal, kasein terikat bersama membentuk partikel berbentuk bola yang disebut misel (Banks 1998). κ-kasein berada di permukaan misel dan berfungsi menstabilkan serta mencegah penggabungan misel oleh Ca2+.


(18)

6

κ-kasein adalah satu-satunya kasein yang dihidrolisis selama koagulasi oleh rennet yang terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama merupakan hidrolisis κ-kasein pada ikatan Phe105-Met106 menghasilkan para- κ-kasein dan makropeptida. Makropeptida yang mengandung sekitar 30% κ-kasein berdifusi ke dalam fase cair. Hilangnya makropeptida menyebabkan tegangan permukaan dan stabilitas koloid misel menurun sehingga dapat terkoagulasi oleh Ca2+. Peristiwa tersebut merupakan tahap kedua dari kerja rennet (McSweeney 2007).

Susu yang ditambahkan rennet dan dibiarkan beberapa lama akan membentuk curd. Curd terbentuk karena misel-misel yang tergabung satu sama lain, sehingga terjadi ikatan yang kuat diantara dua misel yang berdekatan karena penggabungan tersebut. Curd tersebut memiliki pori-pori, yang berukuran beberapa mikrometer persegi, dan jaringannya sangat tidak teratur (Walstra et al. 1999).

Curd cenderung mengalami sineresis, yaitu suatu kontraksi untuk mengeluarkan cairan yang disebut whey. Sineresis sangat penting dalam proses pembuatan keju dan merupakan penentu utama kandungan air pada produk keju. Pori-pori di antara partikel curd cukup luas untuk keluarnya whey. Sineresis disebabkan oleh partikel curd yang pada prinsipnya dapat membentuk ikatan dengan partikel curd lainnya, yang akan memicu terbentunya kumpulan partikel yang lebih kompak. Hal ini dikarenakan partikel curd memiliki sisi aktif di seluruh permukaannya, namun tidak dapat menjangkau satu sama lain karena tertahan dalam jaringan curd. Pemutusan ikatan serta pembentukan ikatan baru antar partikel curd dapat menyulut terjadinya sineresis. Pemotongan curd serta pengepresan juga dapat mempengaruhi sineresis (Walstra et al. 1999).

Curd yang telah mengalami sineresis dan terpisah dari whey selanjutnya disebut keju segar. Keju segar yang terbentuk mengandung lemak, bakteri, koloid kalsium-fosfat, dan partikel-partikel lainnya. Selain itu, keju segar tersebut juga mengandung air dan bahan-bahan yang terlarut di dalam air (Daulay 1991).

Keju segar dapat langsung dikonsumsi setelah pembuatan dan umumnya memiliki masa simpan yang terbatas, sekitar 2 minggu pada penyimpanan di dalam refrigerator (5°C). Selain itu, keju segar dapat ditambahkan garam untuk memperpanjang masa simpan, memberi flavor, serta membentuk konsistensi. Keju segar juga dapat diolah lebih lanjut dengan proses penekanan, sehingga mendorong whey keluar lebih banyak dan membentuk struktur keju yang lebih padat karena butiran curd yang menjadi lekat satu sama lain. Selanjutnya, keju dapat diperam sehingga terjadi perubahan komposisi mikrobiologi, biokimia, kimia dan fisik yang dapat berpengaruh pada komponen flavor dan tekstur keju (Walstra et al. 1999).

D.

BAKTERI ASAM LAKTAT

Deskripsi umum dari bakteri asam laktat (BAL) adalah sekelompok bakteri Gram-positif, tidak membentuk spora, dan bakteri berbentuk kokus atau batang yang tidak menggunakan O2 dalam proses respirasinya, serta yang memproduksi asam laktat sebagai produk utama selama fermentasi karbohidrat (Axelsson 1998). BAL merupakan mikroba yang paling banyak digunakan sebagai starter pada produk susu fermentasi, salah satunya sebagai starter keju. Starter merupakan kultur aktif dari mikroba non-patogen yang ditumbuhkan dalam susu atau whey yang berperan dalam pembentukan karakteristik-karakteristik dan mutu-mutu tertentu pada berbagai jenis produk susu (Daulay 1991).

BAL dapat memproduksi asam, terutama asam laktat melalui fermentasi laktosa. Asam yang dihasilkan oleh BAL dapat memberi cita rasa asam yang segar pada keju, membantu proses


(19)

7

penggumpalan oleh rennet, dan membentuk karakteristik tekstur spesifik selama pembuatan keju. Hal ini disebabkan oleh asam yang dapat menciutkan curd sehingga memaksa whey keluar lebih banyak. Galur BAL yang umum digunakan sebagai starter keju berasal dari genus Streptococcus, Leuconostoc, dan Lactobacillus. BAL yang digunakan sebagai starter diharapkan dapat mengasamkan susu dengan cepat dan membentuk senyawa-senyawa cita rasa yang diinginkan (Daulay 1991).

Lactobacillus merupakan bakteri Gram-positif berbentuk batang. Secara morfologi, bentuk mereka beragam, ada yang berbentuk batang lurus yang tipis dan panjang, batang bengkok, dan batang pendek serta hampir berbentuk batang kokus (Vedamuthu 2006). Spesies Lactobacillus yang sudah banyak dimanfaatkan dalam produk berbasis susu diantaranya Lactobacillus acidophilus dan Lactobacillus casei.

Lactobacillus acidophilus merupakan bakteri berbentuk batang, Gram positif, non-motil, dan tidak membentuk spora. Bakteri tersebut dapat memproduksi asam laktat sebesar 0.3-1.9%, memiliki suhu pertumbuhan optimal 35-45 oC, tetapi pada suhu kurang lebih 15 oC tidak terjadi pertumbuhan. Lactobacillus acidophilus bersifat homofermentatif, yaitu hanya memproduksi asam laktat sebagai satu-satunya produk hasil fermentasi glukosa melalui jalur Embden-Meyerhof. Dalam teorinya, fermentasi homolaktat menghasilkan 2 mol asam laktat dan 2 ATP bersih per mol glukosa (Axelsson 1998).

Lactobacillus acidophilus ditemukan di dalam usus manusia dan hewan. Bakteri ini memiliki karakteristik yang diperlukan untuk bertahan pada kondisi lingkungan usus, yaitu toleransi terhadap pH rendah dan toksisitas garam empedu. Lactobacillus acidophilus tumbuh lambat di dalam susu, namun memproduksi asam laktat dalam jumlah tinggi. Bakteri ini digunakan dalam pembuatan susu acidophilus, yang merupakan produk olahan susu dengan keasaman tinggi (Vedamuthu 2006).

Lactobacillus casei merupakan bakteri berbentuk batang, Gram positif, bersifat anaerob

fakultatif, non-motil, dan tidak dapat membentuk spora. Seperti BAL lainnya, Lactobacillus casei toleran terhadap asam dengan asam laktat sebagai produk metabolisme utama. Lactobacillus casei bersifat heterofermentatif dan dapat tumbuh pada suhu 15 oC (Axelsson 1998). Sebagai bakteri heterofermentatif, Lactobacillus casei juga menghasilkan etanol, asam asetat dan CO2 selain asam laktat dari proses fermentasi glukosa melalui jalur 6-phosphogluconate/phosphoketolase. Produk-produk tambahan tersebut dihasilkan jika tidak ada penerima elektron yang tersedia. Dalam teorinya, fermentasi heterolaktat menghasilkan 1 mol untuk masing asam laktat, etanol, dan CO2 serta 1 ATP bersih per mol glukosa (Axelsson 1998).

E.

CEMARAN LOGAM PADA KEJU

Kandungan logam pada keju dapat berupa mineral makro maupun mikro. Keberadaannya di dalam keju dapat berasal dari susu atau kontaminasi selama pembuatan keju. Logam yang terkandung pada susu pun dapat berupa mineral esensial atau sejumlah kecil kontaminan logam. Kandungan mineral esensial dan kontaminan logam yang terdapat pada susu bergantung pada sejumlah faktor, seperti karakteristik genetik dari hewan asal, masa laktasi, kondisi lingkungan, dan jenis pakan (rumput), sedangkan untuk produk turunan susu juga bergantung pada teknologi pembuatan produk-produk tersebut (Gambelli 1999). Berdasarkan SNI 01-2980-1992 tentang keju cedar olahan, terdapat beberapa cemaran logam yang diduga terkandung dalam keju cedar olahan, yaitu arsen (As), timbal (Pb), tembaga (Cu), seng (Zn), merkuri (Hg), dan timah (Sn).


(20)

8

Kandungan logam As pada produk susu dan olahannya merupakan kontaminasi dari lingkungan. Logam As merupakan logam berat yang pada bidang pertanian umumnya digunakan sebagai insektisida. As biasanya mencemari lingkungan dalam bentuk debu yang beterbangan di udara (pencemaran udara) (Darmono 1995).

Logam Pb banyak dimanfaatkan oleh pabrik-pabrik yang memproduksi aki/baterai, produksi logam, dan pabrik kimia (Darmono 1995). Kontaminasi Pb ke tumbuhan atau tanaman paling banyak berasal dari debu atau aerosol di udara daripada asupan yang dibawa oleh akar (Chamberlain 1983 diacu dalam McLaughlin et al. 1999).

Logam Cu dan Zn merupakan mikromineral esensial bagi makhluk hidup karena memiliki bermacam-macam fungsi secara biokimia. Walaupun demikian, keduanya dapat menjadi racun jika diasup dalam jumlah berlebih (Mendil 2006). Logam Cu dan Zn dalam dosis tertentu dibutuhkan sebagai unsur nutrisi tambahan pada hewan. Keduanya juga dimanfaatkan dalam bidang pertanian sebagai pembasmi hama (Darmono 1995).

Keberadaan logam Hg, baik pada susu kambing maupun keju merupakan kontaminasi dari lingkungan. Pengguna logam Hg terbanyak adalah pabrik alat-alat listrik. Pada bidang pertanian, Hg dimanfaatkan sebagai fungisida. Selain itu, Hg juga digunakan sebagai campuran cat yang digunakan untuk mengecat di daerah yang memiliki kelembaban tinggi sehingga dapat mencegah timbulnya jamur. Logam Hg, dan juga logam As serta logam Pb, merupakan kelompok logam yang mudah menguap dan larut dalam air (bentuk ion) (Darmono 1995).

Logam Sn umumnya ditemukan pada makanan dalam kaleng, namun toksisitasnya tidak seberbahaya logam berat lainnya (Khansari et al. 2005). Logam Sn (timah) digunakan sebagai pelapis sehingga dapat menurunkan tingkat korosi dari logam besi pada kaleng. Keberadaan Sn yang terdeteksi pada makanan dalam kaleng menandakan dapat terjadinya korosi pada kaleng, yang tentunya dapat berefek pada makanan (Tarley 2001).


(21)

METODE PENELITIAN

A.

BAHAN DAN ALAT

Bahan baku utama dalam penelitian ini adalah susu kambing jenis Peranakan Etawah (PE). Susu kambing PE diperoleh dari Koperasi Daya Mitra Primata, desa Cikarawang, Bogor. Susu kambing yang digunakan pada penelitian ini merupakan susu segar yang diperoleh dari pemerahan di pagi hari. Susu dikemas dalam plastik HDPE selama pengangkutan dari tempat pemerahan ke tempat produksi keju.

Bahan-bahan lain yang digunakan dalam proses pembuatan keju pada penelitian ini diantaranya rennet komersial dalam bentuk cair, kultur BAL komersial Lactobacillus acidophilus FNCC-0051 dan Lactobacillus casei FNCC-0090. Bahan-bahan yang diperlukan untuk analisis adalah de Mann Rogosa Sharp Agar (MRSA), de Mann Rogossa Sharp Broth (MRSB), Plate Count Agar (PCA), akuades, Na2SO3, alkohol 70%, bufer pH 4 dan pH 7, K2SO4, HgO, H2SO4, NaOH-Na2SO3, H3BO3, HCl 0,02 N, indikator merah metil, indikator metil biru, dan heksana.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya wadah untuk membuat keju dan alat-alat untuk analisis, yaitu pH meter, mikropipet, bunsen, jarum ose, inkubator 37 oC, perangkat kjeldhal, desikator, perangkat soxlet, tanur, dan alat-alat gelas.

B.

METODE PENELITIAN

Kegiatan penelitian ini dilakukan dalam empat tahap (Gambar 1). Tahap pertama adalah pemeliharaan BAL dan pembuatan kultur kerja. Sebelum dilakukan pembuatan kultur kerja, terlebih dahulu dilakukan penentuan waktu inkubasi kultur kerja. Tahap kedua adalah pembuatan keju lunak susu kambing dengan pengamatan perubahan kimiawi dan mikrobiologi di setiap tahapan proses. Sebelum dilakukan pembuatan keju, terlebih dahulu dilakukan penentuan waktu inkubasi susu dengan kultur kerja dan waktu inkubasi susu terfermentasi dengan rennet. Tahap ketiga adalah uji stabilitas BAL selama penyimpanan dengan pengamatan kimiawi dan mikrobiologi, dan pada masa penyimpanan 8 minggu diuji sifat sensorinya. Kemudian, tahap keempat adalah uji kandungan nutrisi dan uji cemaran logam bagi keju terpilih.

1.

Pemeliharaan Kultur Bakteri Asam Laktat (Hidayat 2009)

Tahap pemeliharaan kultur BAL dilakukan untuk mempertahankan aktivitas kultur BAL. Kultur BAL Lactobacillus acidophilus dan Lactobacillus casei diaktifkan melalui penyegaran dengan cara ditumbuhkan di dalam media de Mann Rogossa Sharp Broth (MRSB) dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam. Kultur BAL perlu disegarkan hingga berumur 24 jam sebelum diinokulasikan ke susu kambing sebagai starter. Setelah itu, dengan menggunakan jarum ose, dilakukan pengambilan kultur BAL dari media MRSB. Jarum ose tersebut kemudian ditusukkan ke MRSA chalk semi solid dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam. Dari tahapan ini diperoleh kultur stok. Kultur stok dapat disimpan pada suhu refrigerator (5 oC) dan dapat digunakan selama 8 minggu. Penyegaran kultur stok dapat dilakukan dengan menumbuhkannya pada media MRSA chalk semi solid baru.


(22)

10

Gambar 1. Tahapan penelitian dalam pengembangan produk keju lunak susu kambing

2.

Penentuan Waktu Inkubasi Kultur Kerja

Susu untuk pembuatan kultur kerja ditambahkan MRSB (berisi kultur BAL) sebanyak 5%. Penentuan lama waktu inkubasi kultur kerja didasarkan pada jumlah BAL di dalam kultur kerja. Pertambahan jumlah BAL mengindikasikan BAL telah beradaptasi dengan lingkungan media susu sehingga dapat beraktivitas dan tumbuh di dalam media susu. Pengujian jumlah BAL dilakukan setiap selang 2 jam selama inkubasi.

3.

Pembuatan Kultur Kerja (Daulay 1991)

Ada tiga jenis kultur kerja yang dibuat, yaitu masing-masing menggunakan BAL Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus casei, dan kombinasi keduanya. Kultur BAL diambil dari kultur stok MRSA chalk semi solid dengan menggunakan jarum ose. Kemudian, jarum ose dicelup-celupkan ke dalam media MRSB. Kultur BAL di dalam MRSB diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 oC. Lalu, kultur BAL dalam MRSB

Tahap I

Tahap III Tahap II

Tahap IV

Penentuan waktu inkubasi susu dengan kultur kerja dan waktu inkubasi susu terfermentasi dengan rennet

Penyiapan kultur

Pembuatan keju

Penyimpanan keju

Analisis kandungan nutrisi dan cemaran logam

Analisis pH, analisis BAL, dan analisis angka lempeng total selama penyimpanan serta uji sensori setelah masa simpan 8 minggu

Analisis pH, analisis BAL, dan analisis angka lempeng total di setiap tahapan proses Analisis pH dan

analisis BAL

Keju terpilih Kultur kerja Pemeliharaan

kultur Kultur stok

Penentuan waktu inkubasi kultur kerja


(23)

11

sebanyak 5% (v/v) ditambahkan ke dalam susu kambing untuk membuat kultur kerja. Prosedur pembuatan kultur kerja mengikuti prosedur Daulay (1991) dengan modifikasi pada tahapan pemanasan susu. Pemanasan dilakukan pada suhu 100 oC selama 30 menit. Tahapan pembuatan kultur kerja dapat dilihat pada Gambar 2.

Keterangan: *Berdasarkan uji waktu inkubasi

Gambar 2. Diagram alir pembuatan kultur kerja dengan modifikasi metode Daulay (1991)

Susu yang dibuat sebagai kultur kerja dipanaskan terlebih dahulu pada suhu 100 oC selama 30 menit untuk membunuh mikroba patogen. Tujuan pembuatan kultur kerja adalah agar starter dapat beradaptasi pada lingkungan yang baru, yaitu susu kambing, sehingga dapat langsung beraktivitas ketika ditambahkan ke susu kambing untuk pembuatan keju. Jumlah starter yang ditambahkan untuk membuat kultur kerja umumnya berkisar antara 0.05% (v/v) hingga 4% (v/v), atau bahkan hingga 5% (v/v). Semakin banyak starter yang diinokulasikan, periode inkubasi semakin singkat. Pada penelitian ini, jumlah starter yang ditambahkan untuk membuat kultur kerja adalah sebanyak 5% (v/v).

4.

Penentuan Waktu Inkubasi Susu dengan Kultur Kerja

Susu untuk pembuatan keju ditambahkan kultur kerja 5% (v/v). BAL dalam kultur kerja dapat mengubah laktosa dalam susu menjadi asam laktat, sehingga pH turun dan dapat mengaktifkan enzim khimosin dalam rennet yang digunakan untuk menggumpalkan susu. Penurunan nilai pH yang diinginkan adalah hingga pH 6.3 karena umumnya enzim khimosin mengkoagulasi susu pada pH 6.0-6.4 di dua tahap reaksi (Rahman et al. 1992). Pengujian penurunan nilai pH dilakukan setiap selang 1 jam selama inkubasi.

5.

Penentuan Waktu Inkubasi Susu Terfermentasi dengan Rennet

Penentuan lama waktu inkubasi dengan rennet didasarkan pada kesiapan curd yang terbentuk untuk dipotong. Curd yang siap dipotong dapat diketahui dengan cara penekanan curd oleh jari, sendok, atau alat lain yang serupa. Jika pada saat curd ditekan terjadi belahan yang tajam dan rata dengan whey yang berwarna hijau kekuningan pada dasar belahan, maka curd siap dipotong. Namun, jika belahan curd tidak teratur dan whey yang Dipanaskan pada suhu 100oC selama 30 menit Susu kambing segar

Didinginkan sampai suhu 37oC

Diinkubasi 37 oC/4 jam *

Kultur kerja Inokulum BAL:

1. 5% (v/v) L. acidophilus 2. 5% (v/v) L. casei

3. 2.5% (v/v) L. acidophilus dan 2.5% (v/v) L. casei


(24)

12

terdapat pada dasar belahan berwarna putih, maka curd masih terlalu lunak dan belum dapat dipotong (Daulay 1991). Pengujian dilakukan setiap selang 30 menit selama inkubasi.

6.

Pembuatan Keju

Proses pembuatan keju mengikuti prosedur Daulay (1991) dengan modifikasi pada tahapan pemanasan susu. Pemanasan dilakukan pada suhu 85 oC selama 30 menit. Ada tiga jenis keju lunak susu kambing yang dibuat, masing-masing menggunakan kultur kerja yang berbeda. Tiap jenis keju dibuat dalam dua ulangan. Proses pembuatan keju dapat dilihat pada Gambar 3.

Keterangan: *Berdasarkan uji waktu inkubasi

Gambar 3. Diagram alir pembuatan keju lunak susu kambing dengan modifikasi metode Daulay (1991)

Dipanaskan pada suhu 85 oC/30 menit

Didinginkan sampai suhu 37 oC

Diinkubasi 37 oC/6 jam*

Dipotong-potong Dipanaskan pada suhu 40 oC/30 menit Diinkubasi 37 oC/2 jam*

Susu kambing segar

Rennet komersial 0.06 ml/L Curd

Kultur kerja 5% (v/v)

Disaring

Fresh cheese Whey Garam dapur

2% (b/b)

Diaduk

Dikemas dalam wadah


(25)

13

a.

Persiapan Susu

Susu kambing yang tiba dari peternakan dituang ke dalam panci bertutup dan

dipanaskan pada suhu 85 oC selama 30 menit untuk membunuh mikroba patogen.

b.

Penambahan Starter

Susu yang telah dipanasi kemudian didinginkan hingga suhu 37 oC, lalu ditambahkan kultur kerja 5% (v/v). Setelah itu, susu diinkubasi pada suhu 37 oC selama 6 jam hingga pH susu turun menjadi 6.3, yang merupakan pH target untuk penambahan rennet.

c.

Penambahan Rennet

Susu yang telah diinkubasi dengan starter kemudian ditambah rennet. Rennet ditambahkan untuk menggumpalkan protein susu sehingga curd terbentuk. Rennet yang digunakan pada penelitian ini merupakan rennet hewan komersial dan telah memiliki takaran dalam penggunaanya. Sebanyak satu sendok teh atau sekitar 0.35 ml rennet hewan komersial dapat digunakan untuk menggumpalkan enam liter susu. Pada penelitian ini, rennet yang ditambahkan sebanyak 0.06 ml/L dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 2 jam.

d.

Pemotongan Curd

Curd kemudian dipotong-potong menjadi bentuk kubus dan didiamkan selama 15 menit agar terjadi sineresis whey. Alat pemotong keju disebut cheeseharp. Pada penelitian ini digunakan alat pemotong keju yang dibuat sendiri dengan meniru bentuk cheeseharp pada umumnya (Gambar 4).


(26)

14

e.

Pemanasan

Pemanasan dilakukan pada suhu 40 oC selama 30 menit. Pemanasan bertujuan mendorong whey keluar lebih banyak, sedangkan curd mengerut. Pemanasan pada suhu tersebut untuk mencegah hilangnya BAL karena BAL umumnya mati pada suhu tinggi.

f.

Penyaringan

Penyaringan dilakukan hingga whey terpisah dan menyisakan suatu matriks yang disebut keju segar. Selama penyaringan, curd ditekan-tekan untuk mendorong whey keluar lebih banyak.

g.

Penggaraman

Keju segar yang sudah terpisah dari whey ditambahkan garam sebanyak 2% (b/b), kemudian diaduk hingga merata.

h.

Pengemasan Keju

Proses pengepresan tidak dilakukan pada penelitian ini karena keju yang dibuat adalah keju lunak. Setelah penggaraman, keju langsung dikemas dalam wadah kotak plastik bertutup dengan ukuran 5 x 18 cm. Selama proses pengemasan, keju ditekan-tekan untuk lebih mengompakkan teksturnya sehingga menjadi lebih padat. kemudian, keju disimpan di dalam wadah dan disimpan pada suhu 5 oC di dalam refrigerator. Penyimpanan pada suhu 5 oC umum dilakukan pada produk yang mengandung BAL untuk menurunkan aktivitas metabolisme mikroba di dalam produk.

7.

Penyimpanan Keju

Setelah proses pembuatan keju selesai, keju disimpan dalam refrigerator pada suhu 5 o

C selama 8 minggu untuk mengetahui stabilitas BAL di dalam keju. Pengamatan dilakukan setiap minggu pada bulan pertama dan setiap 2 minggu di bulan kedua.

8.

Analisis

Kegiatan analisis selama penelitian dilakukan mulai dari tahap pertama hingga tahap keempat (Tabel 2).


(27)

15

Tabel 2. Analisis pada setiap tahapan penelitian

Tahap Tahapan/fase Analisis

I  kultur kerja pH dan BAL

II  susu segar pH dan angka lempeng total

 susu setelah pemanasan pH dan angka lempeng total  susu terfermentasi pH, BAL, dan, angka lempeng total

curd pH, BAL, dan, angka lempeng total

whey pH, BAL, dan, angka lempeng total

 keju segar pH, BAL, dan, angka lempeng total

III  keju yang disimpan* pH, BAL, dan, angka lempeng total  keju setelah disimpan 8 minggu sensori (hedonik)

IV  keju terpilih kandungan nutrisi dan cemaran logam

Keterangan:

Tahap I-IV untuk keju dengan BAL Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus casei, dan campuran. Tahap II dan IV untuk keju dengan BAL Lactobacillus acidophilus.

*analisis tiap minggu di bulan pertama dan tiap 2 minggu di bulan kedua.

a.

Analisis pH (AOAC 1995)

Susu diambil sebanyak 10 ml dan dapat langsung diukur dengan pH meter. Untuk sampel curd dan keju, diambil sebanyak 10 gram dan ditambahkan aquades 10 ml, dihomogenisasi, kemudian pH diukur dengan menggunakan pH meter.

b.

Analisis Bakteri Asam Laktat (Burns et al. 2008)

Analisis BAL mengikuti metode yang digunakan oleh Burns et al. (2008) dengan modifikasi pada cara homogenisasi. Sampel curd atau keju sebanyak 20 g dimasukkan ke dalam 180 ml larutan natrium sitrat steril 2% (b/v), lalu dihomogenkan. Pada penelitian ini, curd atau keju dalam larutan natrium sitrat dihomogenkan dengan cara diremas-remas. Homogenat diambil sebanyak 1 ml dan dilakukan pengenceran desimal hingga 1:108. Sampel dari tiga pengenceran tertinggi dipipet sebanyak 1 ml secara aseptis dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril lalu dituang agar MRSA, setelah itu diinkubasi pada suhu 37 oC selama 48 jam. Penghitungan total BAL berdasarkan metode BAM (2001).

c.

Analisis Angka Lempeng Total (BAM 2001)

Sampel yang telah dihomogenkan dalam larutan natrium sitrat steril diencerkan secara desimal hingga 1:108. Sampel dari tiga pengenceran tertinggi dipipet sebanyak 1 ml secara aseptis dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril lalu dituang agar Standard Plate Count, setelah itu diinkubasi pada suhu 37 oC selama 48 jam. Penghitungan total mikroba berdasarkan metode BAM (2001).


(28)

16

d.

Uji Tingkat Kesukaan Skala Hedonik (Setyaningsih et al. 2010)

Pengujian sampel keju dilakukan oleh panelis yang telah diseleksi kesukaannya terhadap produk berbahan susu, terutama keju, dan memiliki intensitas konsumsi keju sebanyak satu kali atau lebih dalam 1 minggu. Seleksi panelis dilakukan dengan pengisian kuisioner. Contoh kuisioner seleksi panelis dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2.

Kuisioner terdiri dari dua formulir untuk dua tahap seleksi. Formulir pertama untuk seleksi kesukaan terhadap produk olahan susu dan diberikan kepada 30 calon panelis. Calon panelis berasal dari kalangan mahasiswa berusia antara 20-23 tahun. Kemudian, dari seleksi pertama, terpilih 21 calon panelis dan mereka diberi formulir kedua untuk seleksi kesukaan terhadap keju. Selanjutnya, terpilih 9 orang sebagai panelis uji sensori keju lunak susu kambing.

Analisis sensori dilakukan dengan uji tingkat kesukaan skala hedonik menggunakan skala garis. Skala garis dibuat sepanjang 15 cm, dimana ujung paling kiri (titik nol) menunjukkan “sangat tidak suka” sedangkan ujung paling kanan menunjukkan “sangat suka”. Panelis diminta menandai skala garis yang mewakili intensitas atribut sampel. Atribut yang dinilai oleh panelis dari produk keju adalah kesukaan terhadap aroma, rasa, dan aftertaste. Contoh kuisioner uji rating dapat dilihat pada Lampiran 3, Lampiran 4, dan Lampiran 5.

Uji hedonik dengan skala garis menghasilkan data interval, yaitu dengan cara mengkonversi tanda pada skala garis ke dalam bentuk angka menggunakan penggaris (satuan cm). Dengan demikian, data yang diperoleh dapat diolah secara statistik, yaitu dengan ANOVA, karena data interval dipertimbangkan sebagai data kuantitatif sejati.

Sampel terdiri atas tiga keju lunak susu kambing yang dihasilkan pada penelitian ini dan satu keju susu kambing komersial jenis keju feta. Menurut Abd El-Salam et al. (1993), keju feta merupakan salah satu jenis keju dari susu kambing atau susu domba yang proses pengawetannya dengan direndam dalam larutan garam 6-8% (b/v) selama 10-15 hari.

Sampel disajikan di atas piring kecil dan disajikan bersama carier selada. Tiap sampel diberi kode tiga digit angka acak dan kode yang diberikan berbeda untuk tiap sampel. Bubuk kopi disediakan sebagai penetral setelah melakukan evaluasi sensori untuk atribut aroma, serta segelas air minum sebagai penetral setelah melakukan evaluasi sensori untuk atribut rasa dan aftertaste. Panelis diminta untuk menentukan tingkat kesukaan mereka pada tiap sampel keju dengan tidak membandingkan antar sampel.

e.

Analisis Kandungan Nutrisi

Setelah 8 minggu masa simpan, diperoleh keju terpilih dari tiga perlakuan. Parameter bagi keju terpilih pada penelitian ini adalah memilki tekstur yang lebih kompak dan tidak mengeluarkan whey selama masa simpan. Analisis kandungan nutrisi meliputi analisis kadar air, analisis kadar abu, analisis protein, analisis lemak, dan karbohidrat by difference.


(29)

17

Analisis Kadar Air (BSN 1992)

Analisis kadar air dilakukan dengan metode oven. Keju ditimbang sebanyak 2 g dan ditempatkan dalam cawan alumunium yang telah dikeringkan dalam oven 110 oC selama 30 menit dan diketahui beratnya. Sampel keju dikeringkan dalam oven pada suhu 110 oC semalaman. Setelah itu, sampel dalam cawan didinginkan di dalam desikator. Lalu, cawan berisi sampel ditimbang. Kadar air bahan dapat dihitung dengan persamaan (1.1).

(1.1)

Keterangan:

a= bobot bahan awal (g) b= bobot setelah dikeringkan (g)

Analisis Kadar Abu (BSN 1992

)

Pengukuran kadar abu dilakukan dengan metode pengabuan kering menggunakan tanur. Sejumlah 4 g keju dimasukkan ke dalam cawan porselen yang telah dikeringkan dan telah diketahui beratnya. Mula-mula sampel diarangkan pada hot plate untuk menguapkan sebanyak mungkin zat organik yang ada (sampai sampel tidak berasap lagi). Selanjutnya, cawan dipindahkan ke dalam tanur dan diabukan pada suhu 550 oC selama 8 jam. Setelah itu, cawan berisi abu dikeluarkan dari dalam tanur, didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Kadar abu bahan dapat dihitung dengan persamaan (1.2).

(1.2)

Analisis Kadar Protein (AOAC 1995)

Metode yang digunakan adalah metode mikro Kjeldahl. Sampel keju ditimbang sebanyak 0.1 g dan ditambahkan 1 g K2SO4, 40 mg HgO, dan 20 ml H2SO4, kemudian sampel didihkan sampai larutan menjadi jernih (sekitar 1 jam). Larutan jernih ini dipindahkan ke dalam alat destilasi. Labu Kjeldahl dicuci dengan air (1-2 ml), kemudian air pencucinya dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan 8-10 ml larutan NaOH-Na2S2O3. Di bawah kondensor, diletakkan erlenmeyer yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (campuran metil merah 2% dalam alkohol dan metil biru 2% dalam alkohol dengan perbandingan 1:2). Ujung tabung kondensor harus terendam dalam larutan H3BO3. Isi erlenmeyer diencerkan sampai 50 ml, lalu dititrasi dengan HCl 0,02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Blanko dipersiapkan dengan cara yang sama menggunakan aquades. Kadar protein bahan dapat dihitung dengan persamaan (1.3).

Kadar air (g/100 g)

a - b a

x 100

Kadar abu (g/100 g) =

bobot abu (g) bobot sampel (g)


(30)

18

(1.3)

Kadar protein (%) = %N x Faktor konversi Keterangan:

N HCl = 0.0281 N

Faktor konversi = 6.38 (untuk produk susu)

Analisis Kadar Lemak (BSN 1992)

Pengukuran kadar lemak menggunakan metode ekstraksi Soxhlet dengan melalui tahapan hidrolisis sampel. Sebanyak 5 g sampel keju ditimbang dalam gelas piala, lalu ditambah 30 ml HCl 25% dan 20 ml air. Gelas piala ditutup dengan kaca arloji dan sampel keju di dalamnya dididihkan selama 15 menit di ruang asam. Sampel disaring dengan kertas saring dalam keadaan panas dan dicuci dengan air panas sampai tidak asam lagi. Kertas saring berikut isinya dikeringkan pada suhu 110°C semalaman.

Labu lemak dikeringkan di dalam oven, lalu didinginkan di dalam desikator dan ditimbang. Kertas saring kering berisi sampel dimasukkan ke dalam selongsong kertas saring yang dialasi dengan kapas. Kemudian, selongsong ditutup dengan kapas dan diletakkan dalam alat ekstraksi Soxhlet. Kondensor dipasang di atasnya dan labu lemak di bawahnya. Pelarut heksana dituangkan ke dalam labu lemak tersebut dan dilakukan refluks selama 6 jam. Setelah itu pelarut yang ada di labu lemak didestilasi dan ditampung. Labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven bersuhu 110 oC lalu dikeringkan sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator, kemudian labu beserta lemak ditimbang. Kadar lemak bahan dapat dihitung dengan persamaan (1.4).

(1.4)

Karbohidrat By Difference

Nilai kandungan karbohidrat biasanya diberikan sebagai karbohidrat total by difference. Nilai tersebut diperoleh dari hasil pengurangan angka 100 dengan persentase komponen lain (air, abu, lemak, dan protein).

f.

Analisis Cemaran Logam

Cemaran logam yang harus dibatasi pada keju berdasarkan SNI 01-2980-1992 untuk keju cedar olahan meliputi arsen (As), timbal (Pb), tembaga (Cu), seng (Zn), raksa (Hg), dan timah (Sn).

Kadar lemak (g/100 g) =

lemak hasil ekstraksi (g) bobot sampel (g)

x 100% (ml HCl sampel– ml HCl blanko) x N HCl x 14,007 x 100 %N =


(31)

19

Analisis Kadar Arsen (As) dengan Metode AAS (BSN 1998b)

Analisis arsen (As) dilakukan menggunakan spektrofotometer serapan atom (Atomic Absorption Spectrofotometer/AAS). Prinsip analisis kadar arsen dengan metode AAS adalah destruksi sampel dengan asam menjadi larutan arsen. Larutan As5+ direduksi dengan KI menjadi As3+ dan direaksikan dengan NaBH4 atau SnCl2 sehingga terbentuk AsH3 yang kemudian dibaca dengan AAS pada panjang gelombang 193.7 nm.

Tahap persiapan sampel dilakukan dengan metode pengabuan menggunakan ”microwave digestion”. Sampel ditimbang sebanyak 0.5 g dan dimasukkan ke dalam tabung destruksi, ditambah 8 ml HNO3 dan 2 ml H2O2. Tabung ditutup dan dimasukkan ke dalam ”microwave digestion”. Sampel didestruksi selama 45 menit. Setelah selesai dan didinginkan, larutan destruksi dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml dan ditambah air suling hingga tanda tera.

Selanjutnya, dilakukan analisis sampel hasil pengabuan basah menggunakan AAS dengan terlebih dahulu dilakukan pengaturan alat berdasarkan instruksi kerja dan penyiapan bahan-bahan yang diperlukan. Sebanyak 25 ml larutan dari persiapan sampel di atas dipipet, ditambahkan 2 ml HCl 8 M dan 0.1 ml KI 20%, kemudian dibiarkan minimal 2 menit. Setelah itu, larutan dituang ke dalam tabung (auto sampler). Deret standar arsen 10, 20, 30, 40, dan 50 ppb serta blanko dituangkan ke dalam 6 tabung (auto sampler). Buchner serta tombol pengatur aliran pereaksi dan sampel dinyalakan. Nilai absorbansi tertinggi dari standar dan sampel dengan blanko dibaca sebagai koreksi. Kemudian, kurva standar dengan sumbu Y sebagai absorbansi dan sumbu X dibuat sebagai konsentrasi (ppb). Kadar arsen dalam sampel dapat dihitung dengan persamaan (1.5).

(1.5)

Keterangan: v = volume larutan abu FP = Faktor pengenceran

Analisis Cemaran Logam Timbal (Pb), Tembaga (Cu), Seng (Zn),

dan Timah (Sn) dengan Metode AAS (BSN 1998c)

Analisis timbal (Pb), tembaga (Cu), seng (Zn), dan timah (Sn) dilakukan dengan metode pengabuan basah, kemudian dilanjutkan dengan analisis sampel hasil pengabuan basah menggunakan spektrofotometer serapan atom (Atomic Absorption Spectrofotometer).

Sebanyak 5 gram sampel keju ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu destruksi. Kemudian ditambahkan 25 ml H2SO4 18N, 20 ml HNO3 7N, 1 ml larutan natrium molibdat 2%, dan 5-6 butir batu didih. Labu destruksi dihubungkan dengan pendingin dan dipanaskan selama 1 jam. Pemanasan dihentikan dan dibiarkan selama 15 menit. Sebanyak 20 ml HNO3-HClO4 (1:1) ditambahkan melalui pendingin. Aliran air pada pendingin dihentikan dan dipanaskan dengan panas tinggi hingga timbul uap putih. Pemanasan dilanjutkan selama 10 menit, kemudian didinginkan. Kadar As (ppb) =

Kadar As dari kurva kalibrasi (ppb) x v (ml) x FP Bobot sampel (gram)


(32)

20

Dengan hati-hati ditambahkan 10 ml air melalui pendingin sambil labu digoyang-goyangkan. Dididihkan lagi selama 10 menit. Pemanas dimatikan dan cuci pendingin dengan 15 ml air suling sebanyak 3 kali, didinginkan sampai suhu kamar. Secara kuantitatif, larutan destruksi sampel dipindahkan ke dalam labu ukur 100 ml, diencerkan dengan air suling sampai tanda garis. Blanko dikerjakan dengan pemakaian pereaksi seperti yang digunakan pada sampel.

Deret standar disiapkan. Absorbansi larutan standar, blanko, dan sampel dibaca dengan mengggunakan spektrofotometer serapan atom pada panjang gelombang 213.9 nm untuk seng, 235.4 nm untuk timah, 283.3 nm untuk timbal, dan 324.7 nm untuk tembaga. Kurva kalibrasi dibuat dengan sumbu Y sebagai absorbansi dan sumbu X sebagai konsentrasi (dalam ppm). Kandungan logam pada keju dihitung dengan persamaan (1.6).

(1.6)

Keterangan: v = volume larutan abu FP = Faktor pengenceran

Analisis Cemaran Logam Raksa (Hg) dengan Metode AAS (BSN

1998c)

Analisis raksa (Hg) dilakukan dengan metode pengabuan basah, kemudian dilanjutkan dengan analisis sampel hasil pengabuan basah menggunakan spektrofotometer serapan atom (Atomic Absorption Spectrofotometer). Prinsip analisis cemaran logam raksa (Hg) adalah mereaksikan senyawa raksa dengan NaBH4 atau SnCl2 dalam keadaan asam guna membentuk gas atomik Hg dan diikuti dengan pembacaan absorbansi menggunakan spektrofotometer serapan atom tanpa nyala dengan panjang gelombang 253.7 nm.

Sebanyak 5 gram sampel keju ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu destruksi. Kemudian ditambahkan 25 ml H2SO4 18N, 20 ml HNO3 7N, 1 ml larutan natrium molibdat 2%, dan 5-6 butir batu didih. Labu destruksi dihubungkan dengan pendingin dan dipanaskan selama 1 jam. Pemanasan dihentikan dan dibiarkan selama 15 menit. Sebanyak 20 ml HNO3-HClO4 (1:1) ditambahkan melalui pendingin. Aliran air pada pendingin dihentikan dan dipanaskan dengan panas tinggi hingga timbul uap putih. Pemanasan dilanjutkan selama 10 menit, kemudian didinginkan. Dengan hati-hati ditambahkan 10 ml air melalui pendingin sambil labu digoyang-goyangkan. Dididihkan lagi selama 10 menit. Pemanas dimatikan dan cuci pendingin dengan 15 ml air suling sebanyak 3 kali, didinginkan sampai suhu kamar. Secara kuantitatif, larutan destruksi sampel dipindahkan ke dalam labu ukur 100 ml, diencerkan dengan air suling ampai tanda garis. Blanko dikerjakan dengan pemakaian pereaksi seperti yang digunakan pada sampel.

Deret standar disiapkan. Sebanyak 20 ml larutan pereduksi (larutan NaBH4 atau SnCl2) ditambahkan ke dalam larutan deret standar, larutan destruksi, dan larutan blanko. Absorbansi larutan standar, blanko, dan sampel dibaca dengan mengggunakan spektrofotometer serapan atom tanpa nyala pada panjang gelombang Kadar logam (ppm) =

Kadar logam dari kurva kalibrasi (ppm) x v (ml) x FP Bobot sampel (gram)


(33)

21

253.7 nm. Kurva kalibrasi dibuat dengan sumbu Y sebagai absorbansi dan sumbu X sebagai konsentrasi (dalam ppm). Kandungan raksa (Hg) pada keju dihitung dengan persamaan (1.7).

(1.7)

Keterangan: v = volume larutan abu FP = Faktor pengenceran Kadar Hg (ppm) =

Kadar Hg dari kurva kalibrasi (ppm) x v (ml) x FP Bobot sampel (gram)


(34)

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

MIKROBA PADA SUSU DAN KULTUR STARTER

Rata-rata angka lempeng total pada susu kambing segar adalah 4.5x105 cfu/ml. Nilai tersebut memenuhi persyaratan SNI untuk TPC susu segar, yaitu maksimal 106 cfu/ml (BSN 1998a). Susu yang diperah secara aseptis melalui ambing yang sehat tidaklah steril, namun mengandung sejumlah kecil mikroba, yang disebut „komensal ambing‟, yang umumnya didominasi oleh mikrokoki dan streptokoki (Varnam dan Sutherland 1994). Menurut Daulay (1991), kelompok mikroba yang terdapat dalam pasokan susu mentah diantaranya koliform, bakteri batang pembentuk spora (Bacillus), Gram negatif bentuk batang, Gram positif bentuk batang, dan kamir serta kapang. Lalu, mikroba-mikroba patogen yang terdapat dalam susu diantaranya Mycobacterium tuberculosis, Brucella melitensis, Staphylococcus aureus, Clostridium botulinum, Bacillus anthracis, Salmonella spp., Shigella spp., dan Escherichia spp. Brucella melitensis merupakan bakteri yang lebih sering ditemukan pada susu kambing.

Menurut Daulay (1991), kultur starter merupakan kultur aktif dari mikroba bukan patogen yang ditumbuhkan di dalam susu atau whey, yang berperan dalam pembentukan karakteristik dan mutu tertentu pada berbagai jenis produk susu. Jumlah awal mikroba starter pada kultur kerja setelah diinkubasi selama 4 jam perlu diketahui sebelum kultur kerja ditambahkan ke dalam susu kambing. Dari hasil uji penentuan waktu inkubasi diketahui bahwa rata-rata jumlah awal BAL pada kultur kerja berkisar antara 108 dan 109 cfu/ml. Hanya kultur kerja dengan starter Lactobacillus casei yang tidak dapat mencapai jumlah 109 cfu/ml setelah diinkubasi selama 4 jam.

B.

PEMBUATAN KEJU

Susu kambing yang telah dipanasi diberi kultur kerja dan diinkubasi pada suhu 37 oC. Selama inkubasi, laktosa di dalam susu kambing difementasi oleh BAL menjadi asam laktat. Menurut Scott (1986), kandungan laktosa pada susu kambing sekitar 4.6%. Terbentuknya asam laktat ditandai dengan terjadinya penurunan pH. Nilai pH susu kambing yang terukur pada penelitian ini berkisar antara 6.5–6.8, dengan rata-rata pengukuran 6.6. Menurut Daulay (1991), keasaman susu normal (keasaman susu natural) yang disebabkan oleh komponen kimia berkisar antara pH 6.4-6.8. Penurunan pH ditargetkan hingga mencapai pH 6.3, yaitu nilai pH untuk penambahan rennet.

Umumnya, kuantitas rennet yang ditambahkan sebanyak 10-45 ml untuk 100 liter susu (Daulay 1991). Untuk rennet komersial, jumlah rennet yang digunakan tergantung pada jenis dan merek rennet yang digunakan. Rennet yang digunakan pada penelitian ini merupakan rennet komersial dan jumlah yang ditambahkan untuk pembuatan keju adalah 0.06 ml/L. Jika jumlah rennet yang ditambahkan lebih dari 0.06 ml/L, proses koagulasi berlangsung lebih cepat namun keju yang dihasilkan berasa pahit. Hal tersebut dikarenakan aktivitas proteolitik yang berlebih dapat menyebabkan lebih banyak protein yang dipecah sehingga dapat terbentuk peptida yang menyebabkan rasa pahit pada keju.

Koagulasi protein susu, terutama kasein, oleh enzim proteolitik terjadi pada pH yang lebih tinggi (5.8–6.6) dibandingkan dengan koagulasi oleh asam yang terjadi pada pH 4.6–5.0 (Daulay 1991). Oleh karena itu, produk keju tidak terlalu asam seperti produk fermentasi pada


(35)

23

umumnya. Pada penelitian ini, rennet ditambahkan ketika pH susu mencapai 6.3. Walaupun begitu, koagulasi kasein tidak hanya dipengaruhi oleh pH, tetapi juga oleh keberadaan ion Ca2+.

Susu yang telah ditambah rennet kemudian diinkubasi kembali pada suhu 37 oC selama 2 jam. Selama inkubasi dengan rennet, susu harus dijaga agar tidak terguncang sehingga curd yang terbentuk tidak terpecah-pecah atau hancur. Konsistensi curd dapat dijadikan tolok ukur untuk memperkirakan konsistensi keju yang akan terbentuk. Curd yang lemah dan terpecah-pecah akan menghasilkan tekstur keju yang lemah pula. Curd yang terbentuk pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5. Curd yang terbentuk kompak dan tidak terpecah-pecah serta tidak hancur ketika diciduk dengan sendok. Whey yang bewarna hijau kekuningan terlihat di dasar bekas cidukan curd.

Gambar 5. Curd

Curd yang terbentuk kemudian dipotong-potong agar luas permukaannya meningkat, sehingga proses pengeluaran whey lebih efektif serta terjadi pindah panas yang seragam dan merata pada proses pemasakan di tahap selanjutnya. Pemotongan harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak banyak lemak yang terlepas dari curd dan lolos bersama whey. Setelah dipotong, potongan curd didiamkan selama 10-15 menit agar sebagian whey keluar.

Potongan curd dipanaskan pada suhu 40 oC selama 30 menit. Pemanasan pada suhu tersebut untuk mencegah hilangnya BAL karena BAL umumnya mati pada suhu tinggi. Selama pemanasan, terjadi pengerutan matriks protein sehingga whey terdorong keluar lebih banyak (Daulay 1991). Potongan curd yang mengerut lama-lama tenggelam dalam whey dan terkumpul di dasar wadah. Ketika diciduk, tampak potongan curd dengan permukaan yang agak keras sehingga tidak mudah hancur (Gambar 6).

Proses penyaringan dilakukan dengan peralatan modifikasi yang terdiri dari kain blacu, corong, dan erlenmeyer (Lampiran 6). Whey yang berwarna hijau kekuningan tertampung di dalam erlenmeyer (Lampiran 6), sementara keju segar tertinggal di kain blacu. Keju segar yang tersaring berwarna putih dengan aroma asam yang segar. Proses penyaringan dilakukan semalaman di dalam refrigerator pada suhu 5 °C untuk menghambat aktivitas fermentasi BAL.

Penggaraman dilakukan dengan penambahan garam 2% (b/b) secara langsung pada keju segar. Keju segar kemudian diaduk agar garam tercampur merata. Pada penelitian ini, jika pemisahan whey berlangsung baik, keju segar yang diaduk dapat disatukan kembali dan dibentuk serta tidak ada yang menempel di wadah atau alat pengaduk. Sebaliknya, jika penirisan whey


(36)

24

tidak berlangsung sempurna, ada bagian-bagian keju segar yang menempel di wadah atau alat pengaduk.

Gambar 6. Curd setelah tahap pemanasan

Keju yang dihasilkan pada penelitian ini berwarna putih (yang merupakan tipikal keju dari susu kambing), memiliki konsistensi agak lunak, dan mudah rapuh (Gambar 7). Keju lunak susu kambing memiliki warna lebih putih daripada keju susu sapi. Hal itu dikarenakan susu kambing kekurangan -karoten yang seluruhnya telah diubah menjadi retinol (Raynal-Ljutovac et al. 2008). Pada keju juga terbentuk aroma masam, karena pemakaian bakteri Lactobacillus acidophilus dan Lactobacillus casei yang umum digunakan dalam pembuatan susu masam. Aroma masam yang terbentuk dapat menutupi aroma khas pada susu kambing.

Gambar 7. Keju lunak susu kambing

Tekstur keju yang lunak disebabkan oleh tidak dilakukannya proses pengepresan keju. Pengepresan tidak hanya dilakukan untuk mendorong keluarnya cairan (whey), tetapi juga diperlukan untuk mendapatkan tektur keju yang kompak dan rapat (Walstra et al. 1999). Oleh sebab itu, keju yang dihasilkan pada penelitian ini mudah rapuh.

Kekompakan matriks keju tergantung pada kemampuan kasein untuk merangkul dan mendekap komponen-komponen susu lainnya seperti lemak, air, garam-garam, laktosa, dan protein whey (Daulay 1991). Tidak dilakukannya tahap standardisasi rasio kasein dan lemak


(37)

25

pada susu kambing juga dapat menjadi salah satu penyebab tekstur keju menjadi lunak. Untuk keju cedar, misalnya, standardisasi susu untuk rasio kasein dan lemak adalah 0.67:0.72 (Kelly 2009).

Selama proses pembuatan keju, dilakukan analisis stabilitas BAL dengan parameter nilai pH, jumlah BAL, dan angka lempeng total. Data stabilitas BAL selama proses pembuatan diperoleh dari produksi keju dengan bakteri Lactobacillus acidophilus. Ketahanan bakteri Lactobacillus casei selama proses pembuatan diperkirakan tidak jauh berbeda. Hal tersebut dibuktikan dari tingginya jumlah BAL pada keju dengan Lactobacillus casei selama masa penyimpanan.

Nilai pH diukur mulai dari susu kambing segar sampai produk keju yang dihasilkan. Nilai pH awal susu kambing perlu diketahui untuk menentukan lama inkubasi susu kambing dengan starter hingga mencapai pH 6.3 (pH untuk penambahan rennet). Berdasarkan uji penentuan waktu inkubasi, diketahui bahwa nilai pH turun 0.1 unit setiap 2 jam.

Kecepatan penurunan pH tergantung pada jenis BAL yang digunakan. Pada penelitian ini, pH dari susu yang difermentasi oleh Lactobacillus acidophilus lebih cepat turun daripada susu yang difermentasi oleh Lactobacillus casei. Waktu yang diperlukan susu yang difermentasi oleh Lactobacillus acidophilus untuk mencapai pH 6.3 berkisar antara 4-6 jam, tergantung pH awal susu kambing, sedangkan susu yang difermentasi oleh Lactobacillus casei berkisar antara 6-7 jam. Hal itu disebabkan oleh perbedaan sifat fermentasi asam laktat diantara kedua jenis bakteri tersebut. Lactobacillus acidophilus bersifat homofermentatif sedangkan Lactobacillus casei bersifat heterofermentatif. Bakteri yang bersifat homofermentatif umumnya lebih cepat dalam menurunkan pH.

Hasil penelitian menunjukkan terjadi penurunan nilai pH, mulai dari susu segar sampai menjadi produk keju, yang mengindikasikan terjadi pertumbuhan dan aktivitas metabolisme dari BAL yang digunakan. Penurunan nilai pH dikarenakan aktivitas fermentasi laktosa menjadi asam laktat oleh BAL. Nilai pH yang diukur pada tiap tahapan produksi dapat dilihat pada Gambar 8. Data nilai pH tersebut diperoleh dari produksi keju dengan bakteri Lactobacillus acidophilus.

Gambar 8. Nilai pH di tiap tahapan proses pembuatan keju

Nilai pH dijadikan indikator dalam penambahan rennet karena kerja enzim dipengaruhi oleh pH. Enzim khimosin dalam rennet akan mengkoagulasi susu pada pH 6.0-6.4 di dua tahap

Keterangan

a: susu segar b: susu terfermentasi c: curd

d: whey e: keju segar


(38)

26

reaksi (Rahman et al. 1992). Pada penelitian ini, nilai pH susu terfermentasi untuk penambahan rennet adalah 6.3. Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk penurunan pH dari 6.6 menjadi 6.30 adalah 6 jam.

Pengukuran pH curd dan whey dilakukan sebelum proses pemanasan, sedangkan pengukuran pH keju segar dilakukan setelah tahap penyaringan. Penurunan nilai pH yang besar pada keju segar (dari pH 6.1 pada curd menjadi 5.7 pada keju segar) disebabkan oleh proses pemanasan curd. Pemanasan pada suhu 40 °C diperkirakan dapat merangsang pertumbuhan BAL dan meningkatkan aktivitas BAL dalam proses fermentasi laktosa.

Data nilai pH selama proses pembuatan keju didukung oleh data analisis jumlah BAL dan angka lempeng total. Analisis angka lempeng total mulai dilakukan dari susu segar, sedangkan analisis jumlah BAL mulai dilakukan dari tahap susu setelah difermentasi oleh kultur kerja. Data stabilitas BAL selama pembuatan keju dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Jumlah ALT dan BAL di tiap tahapan proses pembuatan keju

Tahapan proses ALT (log10) BAL (log10)

susu segara 5.87 -

susu setelah pemanasan (85 oC, 30 menit)a < 1.40 -

susu terfermentasi sampai pH 6,3b 8.56 8.46

curd b 8.89 8.87

wheyb 8.62 8.47

keju segarb 9.95 9.94

Keterangan: a (cfu/ml) b (cfu/gram)

Uji angka lempeng total juga dilakukan pada susu kambing yang telah dipanasi untuk mengetahui kecukupan pemanasan. Pemanasan bertujuan membunuh mikroba patogen dan mikroba lain yang terdapat dalam susu kambing, sehingga yang diharapkan tumbuh pada susu sampai menjadi produk keju hanya mikroba starter.

Jumlah BAL selama proses pembuatan keju mencapai 108 cfu/gram dan setelah tahap penyaringan mencapai 109 cfu/gram. Bentuk koloni BAL yang tumbuh pada media MRSA berbentuk cakram miring atau seperti bintang, berwarna putih susu, dan permukaannya tampak licin. Selain itu, koloni BAL juga mengeluarkan aroma masam sebagai hasil metabolisme zat-zat yang terkandung dalam media MRSA.

Bila ditinjau dari kemungkinan pemanfaatan sebagai pangan probiotik, jumlah sel probiotik dalam bahan pangan sebaiknya pada kisaran 106cfu/gram dan direkomendasikan untuk mengonsumsi 108-109 cfu dalam setiap porsi untuk memperoleh manfaat kesehatan (Araújo et al. 2010). Jumlah BAL yang terperangkap dalam matriks curd yang terbentuk setelah penambahan rennet mencapai 108 cfu/gram. Begitu juga dengan kandungan BAL dalam whey yang terbuang (108 cfu/ml). Oleh karena itu, baik keju maupun whey yang dihasilkan memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi produk pangan probiotik jika sudah ada bukti yang menunjukkan bahwa kedua starter yang digunakan memiliki aktivitas probiotik.


(1)

58

Lampiran 18. Rekapitulasi data analisis kandungan As pada keju lunak susu

kambing

Larutan standar As konsentrasi (ppb) Absorbansi

1 10.000 0.0698

2 20.000 0.1281

3 30.000 0.1900

4 40.000 0.2480

5 50.000 0.2922

Ulangan pengukuran

Bobot sampel

(g)

Volume

(ml) FP Abs

Konsentrasi As* (ppb)

Kadar As

(ppb) Rata-rata

1 0.5034 50.00 1.0 -0.0061 -3.9821 -429.2241

-410.3140

2 0.5087 50.00 1.0 -0.0080 -4.3214 -391.4039

Keterangan:

*konsentrasi As yang didapat dari kurva larutan standar As Kadar As (ppb) = -410.3140


(2)

59

Lampiran 19. Rekapitulasi data analisis kandungan Pb pada keju lunak susu

kambing

Larutan standar Pb konsentrasi (ppm) Absorbansi

1 1.0 0.0196

2 2.0 0.0378

3 3.0 0.0562

4 4.0 0.0715

5 5.0 0.0914

Ulangan pengukuran

Bobot sampel (g)

Volume

(ml) FP Abs

Konsentrasi Pb* (ppm)

Kadar Pb

(ppm) Rata-rata

1 1.0000 1.00 1.00 -0.0016 -0.2092 -0.2092

-0.2262

2 1.0000 1.00 1.00 -0.0022 -0.2431 -0.2431

3 1.0000 1.00 1.00 -0.0019 -0.2262 -0.2262

Keterangan:

*konsentrasi Pb yang didapat dari kurva larutan standar Pb Kadar Pb (ppm) = -0.2262


(3)

60

Lampiran 20. Rekapitulasi data analisis kandungan Cu pada keju lunak susu

kambing

Larutan standar Cu konsentrasi (ppm) Absorbansi

1 0.2 0.0263

2 0.4 0.0503

3 0.8 0.0972

4 1.2 0.1450

5 1.6 0.1892

Ulangan pengukuran

Bobot sampel (g)

Volume

(ml) FP Abs

Konsentrasi Cu* (ppm)

Kadar Cu

(ppm) Rata-rata

1 2.2987 100 1.00 0.0397 0.3097 13.4728

13.5294

2 2.2987 100 1.00 0.0400 0.3123 13.5859

Keterangan:


(4)

61

Lampiran 21. Rekapitulasi data analisis kandungan Zn pada keju lunak susu

kambing

Larutan standar Zn konsentrasi (ppm) Absorbansi

1 0.1 0.0488

2 0.2 0.0998

3 0.4 0.1810

4 0.8 0.3308

5 1.0 0.3890

6 1.2 0.4710

Ulangan pengukuran

Bobot sampel (g)

Volume

(ml) FP Abs

Konsentrasi Zn* (ppm)

Kadar Zn

(ppm) Rata-rata

1 2.2987 100 1.00 0.2070 0.4931 21.4513

21.5609

2 2.2987 100 1.00 0.2084 0.4968 21.6122

3 2.2987 100 1.00 0.2090 0.4984 21.6818

4 2.2987 100 1.00 0.2074 0.4941 21.4948

5 2.2987 100 1.00 0.2080 0.4957 21.5644

Keterangan:


(5)

62

Lampiran 22. Rekapitulasi data analisis kandungan Hg pada keju lunak susu

kambing

Larutan standar Hg konsentrasi (ppm) Absorbansi

1 2.0 0.0663

2 4.0 0.1406

3 6.0 0.2226

4 8.0 0.2914

5 10.0 0.3695

Ulangan pengukuran

Bobot sampel (g)

Volume

(ml) FP Abs

Konsentrasi Hg* (ppb)

Kadar Hg

(ppb) Rata-rata

1 1.0000 100 10.0 -0.0073 -0.1993 -1.9933

-1.9524

2 1.0000 100 10.0 -0.0059 -0.1611 -1.6111

3 1.0000 100 10.0 -0.0079 -0.2157 -2.1572

4 1.0000 100 10.0 -0.0075 -0.2048 -2.0480

*konsentrasi Hg yang didapat dari kurva larutan standar Hg Kadar Hg (ppb) = -1.9524


(6)

63

Lampiran 23. Rekapitulasi data analisis kandungan Sn pada keju lunak susu

kambing

Larutan standar Sn konsentrasi (ppm) Absorbansi

1 10.0 0.0148

2 25.0 0.0351

3 50.0 0.0687

4 75.0 0.1018

5 100.0 0.1384

Ulangan pengukuran

Bobot sampel (g)

Volume

(ml) FP Abs

Konsentrasi Sn* (ppm)

Kadar Sn

(ppm) Rata-rata

1 1.0000 1.00 1.00 -0.0069 -5.6068 -5.6068

-6.1927

2 1.0000 1.00 1.00 -0.0080 -6.4124 -6.4124

3 1.0000 1.00 1.00 -0.0082 -6.5588 -6.5588

Keterangan:

*konsentrasi Sn yang didapat dari kurva larutan standar Sn Kadar Sn (ppm) = -6.1927