Stabilitas Mikroenkapsulat Minyak Sawit Merah Hasil Pengeringan Lapis Tipis Selama Penyimpanan

(1)

SKRIPSI

STABILITAS MIKROENKAPSULAT MINYAK SAWIT MERAH HASIL PENGERINGAN LAPIS TIPIS SELAMA PENYIMPANAN

Oleh:

SHABRINA NOVIA F24104044

2009

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

STABILITAS MIKROENKAPSULAT MINYAK SAWIT MERAH HASIL PENGERINGAN LAPIS TIPIS SELAMA PENYIMPANAN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh:

SHABRINA NOVIA F24104044

2009

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

STABILITAS MIKROENKAPSULAT MINYAK SAWIT MERAH HASIL PENGERINGAN LAPIS TIPIS SELAMA PENYIMPANAN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh:

SHABRINA NOVIA F24104044

Dilahirkan pada tanggal 26 November 1986 di Palembang Tanggal lulus: 7 Januari 2009

Menyetujui, Bogor, Februari 2009

Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, MS

Dosen Pembimbing I

Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, MSi Nur Wulandari, STP, MSi Dosen Pembimbing II Dosen Pembimbing III

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc


(4)

Shabrina Novia. F24104044. Stabilitas Mikroenkapsulat Minyak Sawit Merah Hasil Pengeringan Lapis Tipis Selama Penyimpanan. Di bawah bimbingan Tien R Muchtadi, Dede R Adawiyah dan Nur Wulandari.

RINGKASAN

Minyak sawit merupakan salah satu minyak nabati utama yang digunakan di seluruh dunia sebagai minyak dan lemak pangan. Minyak sawit memiliki pigmen alami yang berwarna merah. Selama ini pada proses pengolahan, warna merah dalam minyak sawit selalu dihilangkan. Penyebab warna merah tersebut adalah pigmen karotenoid yang sebagian besar terdiri dari beta-karoten. Karotenoid mempunyai aktivitas yang penting bagi kesehatan. Komponen ini memiliki banyak kegunaan bagi kesehatan manusia selain di antaranya komponen vitamin, senyawa antikanker, mencegah penuaan dini dan penyakit kardiovaskuler. Karotenoid mempunyai sifat yang sensitif terhadap beberapa kondisi pengolahan minyak makan secara konvensional yaitu pengolahan suhu tinggi maupun oksidasi.

Proses mikroenkapsulasi adalah salah satu alternatif yang mampu melindungi karotenoid dari kondisi lingkungan. Mikroenkapsulasi merupakan suatu teknik pencampuran bahan atau campuran bahan dengan bahan lain. Bahan yang disalut dapat berupa cairan, padat maupun gas yang dapat disebut sebagi bahan inti atau bahan aktif, sedangkan bahan yang berfungsi sebagai penyalut disebut sebagai dinding atau bahan pembawa.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui stabilitas mikroenkapsulat minyak sawit merah yang diproses dengan teknik pengeringan lapis tipis selama proses penyimpanan beserta penentuan umur simpannya.

Penelitian ini terbagi menjadi tiga tahap yaitu persiapan bahan baku, pengamatan stabilitas mikroenkapsulat selama penyimpanan dan penentuan umur simpan. Tahap persiapan bahan baku terdiri dari karakterisasi minyak sawit kasar, pembuatan minyak sawit merah dan pembuatan mikroenkapsulat minyak sawit merah. Tahap kedua meliputi pengamatan pengaruh RH 93% dan sinar Ultra Violet (UV) selama penyimpanan. Analisis yang dilakukan meliputi penentuan Asam Lemak Bebas (ALB), kadar air, bilangan peroksida, total karoten, warna dan kelarutan. Tahap ketiga penentuan umur simpan menggunakan metode akselerasi dengan pendekatan semi empiris dengan bantuan persamaan Arrhenius. Pada tahap persiapan bahan baku dilakukan karakterisasi terhadap bahan baku yang berupa minyak sawit kasar, yang berwarna kuning jingga kemerah-merahan, didapat ALB 3.84%, kadar air 0.15% dan total karoten minyak sawit kasar sebesar 614 ppm. Kemudian dilakukan pembuatan minyak sawit merah dengan fraksinasi secara bertahap yang bertujuan untuk mendapatkan fraksi olein. Minyak sawit merah yang dihasilkan mempunyai total karoten 627 ppm, ALB 0.36%, dan kadar air 0.12%. Selanjutnya dilakukan pembuatan mikroenkapsulat minyak sawit merah menggunakan formula hasil penelitian Simanjuntak (2007) yang menggunakan bahan penyalut maltodekstrin, gelatin dan Carboxy Methyl Cellulose (CMC).

Pada tahap pengamatan stabilitas mikroenkapsulat terhadap pengaruh RH, dilakukan penyimpanan pada kelembaban 93% sampai berat mikroenkapsulat tidak berubah. Selama proses penyimpanan dilakukan analisis asam lemak bebas


(5)

(ALB), bilangan peroksida, kadar air, total karoten, warna dan kelarutan. Pada hari kelima berat mikroenkapsulat tidak mengalami perubahan dan hari ketujuh mikroenkapsulat mulai berkapang. Penyimpanan pada RH tinggi, menyebabkan kadar air pada mikroenkapsulat meningkat. Pada hari pertama kadar air mikroenkapsulat sebesar 6.6%, pada hari kedua naik menjadi 8.08% dan hari ketiga menjadi 9.01%. Pada hari keempat dan kelima, persentase kadar air mikroenkapsulat tidak jauh berbeda, yakni sebesar 10.11 % dan 10.13%.

Meningkatnya kadar air menyebabkan terjadinya reaksi hidrolisa sehingga asam lemak bebas meningkat. Persentase ALB selama penyimpanan mengalami peningkatan. Pada hari pertama, persentase ALB sebesar 0.18%, pada hari kedua persentase ALB menjadi 0.26% dan pada hari ketiga persentase ALB menjadi 0.34%. Pada hari keempat dan kelima, persentase ALB menjadi 0.44% dan 0.43%. Peningkatan kadar air juga menyebabkan struktur penyalut menjadi terbuka, sehingga memperbesar kontak minyak dengan oksigen dan menimbulkan autooksidasi. Bilangan peroksida mengalami peningkatan selama penyimpanan. Bilangan peroksida pada hari pertama, kedua, dan ketiga masing-masing sebesar 0.9, 1.9 dan 2.9 (mekv/kg), sedangkan pada hari keempat dan kelima, bilangan peroksida pada mikroenkapsulat sebesar 3.9 dan 4 (mekv/kg).

Penurunan karoten terjadi selama proses penyimpanan pada RH 93%. Hasil oksidasi lemak tidak jenuh menyebabkan peningkatan degradasi karoten mikroenkapsulat. Penurunan secara drastis terjadi pada hari pertama, kedua dan ketiga. Hal ini dapat dilihat dari total karoten pada hari pertama kedua dan ketiga masing-masing sebesar 321, 237 dan180 ppm. Sedangkan pada hari keempat dan kelima total karoten pada mikroenkapsulat sebesar 167 ppm dan 149 ppm. Perubahan bentuk fisik menyebabkan perubahan persentase kelarutan. Semakin lama penyimpanan, menyebabkan mikroenkapsulat menggumpal dan susah larut. Pada hari pertama sampai ketiga, persentase kelarutan berturut adalah 83.04%, 81.21% dan 72.27%. Sedangkan pada hari ke empat dan ke lima, persentase kelarutan sebesar 67.32% dan 68.64%

Pada perlakuan pengaruh sinar UV, terdapat tiga perlakuan yang berbeda terhadap mikroenkapsulat yang akan disinar, yang pertama mikroenkapsulat yang tidak dikerok dari plat kaca dan lansung disinar dengan sinar UV mengalami penuruann total karoten 78%. Perlakuan kedua, mikroenkapsulat dikerok dari plat kaca dan tidak diblender mengalami penurunan total karoten 90%. Perlakuan ketiga, mikroenkapsulat dikerok dari plat kaca, dihaluskan menggunakan blender kering mengalami penurunan total karoten 95%. Dari hasil perhitungan anova dan uji Duncan, di dapat bahwa ada perbedaan di antara mikroenkapsulat dengan (p< 0.05). Ini menunjukkan bahwa ukuran partikel mempengaruhi stabilitas mikroenkapsulat terhadap pengaruh sinar UV. Semakin besar ukuran partikel mikroenkapsulat, maka penurunan total karoten semakin kecil

Pada perlakuan pengaruh sinar UV juga dilakukan pengamatan stabilitas mikroenkapsulat minyak sawit merah hasil penelitian Elisabeth (2003) yang menggunakan bahan penyalut natrium casseinat dan laktosa, dan dikeringkan menggunakan spray dryer, yang dibandingkan dengan stabilitas mikroenkapsulat minyak sawit merah hasil penelitian Simanjuntak (2007). Dari hasil pengamatan didapat bahwa terjadi penurunan total karoten sebesar 96% pada mikroenkapsulat minyak sawit merah hasil penelitian Elisabeth (2003), sedangkan pada mikroenkapsulat minyak sawit merah hasil penelitian Simanjuntak (2007)


(6)

mengalami penuruan total karoten masing-masng sebesar 94%. Dari hasil perhitungan anova dan uji Duncan, di dapat bahwa tidak ada perbedaan di antara kedua formula mikroenkapsulat dengan (p> 0.05). Ini menunjukkan bahwa stabilitas mikroenkapsulat formula Elisabeth (2003) dan formula Simanjuntak (2007) tidak berbeda nyata.

Pendugaan umur simpan mikroenkapsulat minyak sawit merah dengan metode Arrhenius dilakukan selama satu bulan berdasarkan parameter mutu bilangan TBA dan total karoten. Berdasarkan parameter mutu bilangan TBA, mikroenkaspsulat minyak sawit merah yang dikemas alumunium laminasi pada suhu 30ºC memiliki umur simpan 41.62 hari atau 1.4 bulan. Sedangkan berdasarkan parameter total karoten, mikroenkapsulat minyak sawit merah memiliki umur simpan 84.06 hari atau 2.8 bulan. Dari dua paremeter, didapat bahwa umur simpan mikroenkapsulat minyak sawit merah adalah 1.4 bulan.


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Palembang, pada tanggal 26 November 1986. Putri ke empat dari empat bersaudara dari pasangan Alm H.Sumarti, SH dan Hj. Kartini Thalib, BA ini mempunyai nama lengkap Shabrina Novia. Penulis mengenyam pendidikan di tempat yang berpindah-pindah, yaitu SD Patra Dharma Bunyu, Kalimantan Timur, SLTPN 1 Cilacap, Jawa Tengah dan SMU YKPP UP II Dumai Riau. Penulis berkesempatan melanjutkan kuliah untuk menuntut ilmu di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI.

Semasa kuliah penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan, di antaranya reporter Koran Kampus (2004-2005), BEM KM IPB Kabinet Pembaharu (2005-2006), dan HIMITEPA (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan) (2006-2007). Penulis juga ikut serta sebagai peserta beberapa kegiatan, antara lain : Round Table Discussion Rusnas Diversifikasi Pangan Pokok (2008), Seminar & Training Hazard Analytical Control Point (HACCP) (2008), Pelatihan jurnalistik SCTV (2007), ESQ training generasi emas BEM se-jadebotabek (2006), dan Popular Scientific Writing (2005). Penulis berkesempatan mengikuti Progam Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Kewirausahaan (2007) dan Progam Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Masyarakat (2008) yang didanai oleh DIKTI. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Teknologi Pengolahan Pangan (2008) dan Praktikum Terpadu Teknologi Pemanggangan (2008).

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis menyusun skripsi setelah melakukan penelitian di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA, dan SEAFAST Center IPB mulai bulan Maret 2008 sampai dengan September 2008, dengan judul ” Stabilitas Mikroenkapsulatat Minyak Sawit Merah Hasil Pengeringan Lapis Tipis Selama Penyimpanan” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, MS, Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, MSi dan Nur Wulandari, STP,MSi. Penelitian ini didanai oleh RUSNAS Industri Kelapa Sawit.


(8)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Dia yang Maha Sempurna, dengan segala kejutan-Nya, cinta-Nya, kekuatan-Nya serta kesabaran-Nya, sehingga penulis dapat melaksanakan amanah yaitu menyelesaikan kuliah di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fateta, IPB dan menyusun skripsi yang berjudul “Stabilitas Mikroenkapsulat Minyak Sawit Merah Hasil Pengeringan Lapis Tipis, Selama Penyimpanan ”. Selama penelitian, penulisan dan penyusunan skripsi ini penulis tidak terlepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ayahanda tercinta, Almarhum H. Sumarti SH, yang telah mengajarkan banyak hal sehingga penulis menjadi seperti ini, atas segala nasihat dan dorongan semangat beliau hingga akhir hayatnya.

2. Ibunda tercinta, Hj Kartini Thalib, BA, yang selalu mengingatkan penulis untuk selalu berusaha dan berserah pada-Nya, atas setiap tetesan keringat dan untaian do’a dalam sujud serta shaumnya.

3. Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, MS dosen pembimbing I yang telah membimbing dan menemani penulis selama berjuang di masa kuliah, saat penelitian hingga penulisan skripsi ini, atas bimbingan, nasihat, motivasi dan pelajaran yang sangat berarti yang tak akan pernah terlupakan. Maaf atas segala kerepotan dan kekecewaan selama ini. Terima kasih untuk segalanya.

4. Dr. Ir. Dede R. Adawiyah selaku dosen pembimbing II, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian ini, terima kasih atas motivasi bimbingan, saran, bantuan dan kesabaran yang telah Ibu berikan selama penulis melakukan penelitian dan penulisan skripsi.

5. Nur Wulandari, STP, MSi selaku dosen pembimbing III, yang telah memberikan kesempatan penulis untuk melakukan penelitian, atas bimbingan, saran, bantuan, selama penulis melakukan penelitian dan penulisan skripsi.


(9)

6. RUSNAS Industri Kelapa Sawit, atas bantuan dana yang telah telah diberikan selama penelitian.

7. PT. Chevron Oil Pasific Indonesia, atas beasiswa yang diberikan selama penulis menempuh kuliah di IPB

8. Seluruh dosen, staf, dan teknisi laboratorium di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah memperkaya pengetahuan dan memperlancar studi penulis.

9. Beginer Subhan SPi, Julius Ramadhan, SE Akt dan M. Agustinus Abdillah, SH. Saudara-saudaraku yang telah memberikan semangat, teladan dan dorongan kepada penulis

10.Bobby Sandra, SE yang telah memberikan waktu, semangat untuk penulis.

11.Pak Ade dan Mbak Yuli, yang telah banyak membantu penulis dan memberikan semangat kepada penulis

12.Teman-teman di laboratorium SEAFAST Center, Auu, Riska, Sisi, Ecy, Sofyan, Lia, mas Ayus, mas Rai, mbak Puspa, mbak Ria, mas Arief, Mansyah, terimakasih atas kerjasamanya dan semangat yang telah diberikan.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca.

Bogor, Februari 2009


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iii

DAFTAR TABEL... v

DAFTAR GAMBAR... vi

DAFTAR LAMPIRAN... vii

I. PENDAHULUAN... 1

A. LATAR BELAKANG... 1

B. TUJUAN ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA... 5

A. TANAMAN KELAPA SAWIT ... 5

B. MINYAK SAWIT ... 6

C. PEMURNIAN MINYAK SAWIT ... 9

D. MINYAK SAWIT ... 11

E. KAROTENOID ... 14

F.MIKROENKAPSULASI... 18

G.THIN LAYER DRYING... 20

F.UMUR SIMPAN ... 21

III. BAHAN DAN METODOLOGI ... 26

A. BAHAN DAN ALAT ... 26

1. Bahan ... 26

2. Alat ... 25

B. METODE PENELITIAN... 26

1. Persiapan bahan baku... 26

2. Uji Stabilitas mikroenkapsulat selama penyimpanan ... 28

C. METODE ANALISIS... 29 1. Bilangan Asam ... 29

2. Bilangan Peroksida ... 30

3. Karoten... 30

4. Kadar Air... 31

5. Kelarutan ... 31

6. Warna Mikroenkapsulat ... 32

7. Warna larutan ... 33

8. Bilangan TBA ... 33

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 36

A. KARAKTERISASI MINYAK SAWIT KASAR ... 36

B. PROSES PEMBUATAN MINYAK SAWIT MERAH DENGAN METODE FRAKSINASI... 37 C. PENGARUH RH TERHADAP MIKROENKAPSULAT


(11)

SKRIPSI

STABILITAS MIKROENKAPSULAT MINYAK SAWIT MERAH HASIL PENGERINGAN LAPIS TIPIS SELAMA PENYIMPANAN

Oleh:

SHABRINA NOVIA F24104044

2009

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

STABILITAS MIKROENKAPSULAT MINYAK SAWIT MERAH HASIL PENGERINGAN LAPIS TIPIS SELAMA PENYIMPANAN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh:

SHABRINA NOVIA F24104044

2009

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(13)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

STABILITAS MIKROENKAPSULAT MINYAK SAWIT MERAH HASIL PENGERINGAN LAPIS TIPIS SELAMA PENYIMPANAN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh:

SHABRINA NOVIA F24104044

Dilahirkan pada tanggal 26 November 1986 di Palembang Tanggal lulus: 7 Januari 2009

Menyetujui, Bogor, Februari 2009

Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, MS

Dosen Pembimbing I

Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, MSi Nur Wulandari, STP, MSi Dosen Pembimbing II Dosen Pembimbing III

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc


(14)

Shabrina Novia. F24104044. Stabilitas Mikroenkapsulat Minyak Sawit Merah Hasil Pengeringan Lapis Tipis Selama Penyimpanan. Di bawah bimbingan Tien R Muchtadi, Dede R Adawiyah dan Nur Wulandari.

RINGKASAN

Minyak sawit merupakan salah satu minyak nabati utama yang digunakan di seluruh dunia sebagai minyak dan lemak pangan. Minyak sawit memiliki pigmen alami yang berwarna merah. Selama ini pada proses pengolahan, warna merah dalam minyak sawit selalu dihilangkan. Penyebab warna merah tersebut adalah pigmen karotenoid yang sebagian besar terdiri dari beta-karoten. Karotenoid mempunyai aktivitas yang penting bagi kesehatan. Komponen ini memiliki banyak kegunaan bagi kesehatan manusia selain di antaranya komponen vitamin, senyawa antikanker, mencegah penuaan dini dan penyakit kardiovaskuler. Karotenoid mempunyai sifat yang sensitif terhadap beberapa kondisi pengolahan minyak makan secara konvensional yaitu pengolahan suhu tinggi maupun oksidasi.

Proses mikroenkapsulasi adalah salah satu alternatif yang mampu melindungi karotenoid dari kondisi lingkungan. Mikroenkapsulasi merupakan suatu teknik pencampuran bahan atau campuran bahan dengan bahan lain. Bahan yang disalut dapat berupa cairan, padat maupun gas yang dapat disebut sebagi bahan inti atau bahan aktif, sedangkan bahan yang berfungsi sebagai penyalut disebut sebagai dinding atau bahan pembawa.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui stabilitas mikroenkapsulat minyak sawit merah yang diproses dengan teknik pengeringan lapis tipis selama proses penyimpanan beserta penentuan umur simpannya.

Penelitian ini terbagi menjadi tiga tahap yaitu persiapan bahan baku, pengamatan stabilitas mikroenkapsulat selama penyimpanan dan penentuan umur simpan. Tahap persiapan bahan baku terdiri dari karakterisasi minyak sawit kasar, pembuatan minyak sawit merah dan pembuatan mikroenkapsulat minyak sawit merah. Tahap kedua meliputi pengamatan pengaruh RH 93% dan sinar Ultra Violet (UV) selama penyimpanan. Analisis yang dilakukan meliputi penentuan Asam Lemak Bebas (ALB), kadar air, bilangan peroksida, total karoten, warna dan kelarutan. Tahap ketiga penentuan umur simpan menggunakan metode akselerasi dengan pendekatan semi empiris dengan bantuan persamaan Arrhenius. Pada tahap persiapan bahan baku dilakukan karakterisasi terhadap bahan baku yang berupa minyak sawit kasar, yang berwarna kuning jingga kemerah-merahan, didapat ALB 3.84%, kadar air 0.15% dan total karoten minyak sawit kasar sebesar 614 ppm. Kemudian dilakukan pembuatan minyak sawit merah dengan fraksinasi secara bertahap yang bertujuan untuk mendapatkan fraksi olein. Minyak sawit merah yang dihasilkan mempunyai total karoten 627 ppm, ALB 0.36%, dan kadar air 0.12%. Selanjutnya dilakukan pembuatan mikroenkapsulat minyak sawit merah menggunakan formula hasil penelitian Simanjuntak (2007) yang menggunakan bahan penyalut maltodekstrin, gelatin dan Carboxy Methyl Cellulose (CMC).

Pada tahap pengamatan stabilitas mikroenkapsulat terhadap pengaruh RH, dilakukan penyimpanan pada kelembaban 93% sampai berat mikroenkapsulat tidak berubah. Selama proses penyimpanan dilakukan analisis asam lemak bebas


(15)

(ALB), bilangan peroksida, kadar air, total karoten, warna dan kelarutan. Pada hari kelima berat mikroenkapsulat tidak mengalami perubahan dan hari ketujuh mikroenkapsulat mulai berkapang. Penyimpanan pada RH tinggi, menyebabkan kadar air pada mikroenkapsulat meningkat. Pada hari pertama kadar air mikroenkapsulat sebesar 6.6%, pada hari kedua naik menjadi 8.08% dan hari ketiga menjadi 9.01%. Pada hari keempat dan kelima, persentase kadar air mikroenkapsulat tidak jauh berbeda, yakni sebesar 10.11 % dan 10.13%.

Meningkatnya kadar air menyebabkan terjadinya reaksi hidrolisa sehingga asam lemak bebas meningkat. Persentase ALB selama penyimpanan mengalami peningkatan. Pada hari pertama, persentase ALB sebesar 0.18%, pada hari kedua persentase ALB menjadi 0.26% dan pada hari ketiga persentase ALB menjadi 0.34%. Pada hari keempat dan kelima, persentase ALB menjadi 0.44% dan 0.43%. Peningkatan kadar air juga menyebabkan struktur penyalut menjadi terbuka, sehingga memperbesar kontak minyak dengan oksigen dan menimbulkan autooksidasi. Bilangan peroksida mengalami peningkatan selama penyimpanan. Bilangan peroksida pada hari pertama, kedua, dan ketiga masing-masing sebesar 0.9, 1.9 dan 2.9 (mekv/kg), sedangkan pada hari keempat dan kelima, bilangan peroksida pada mikroenkapsulat sebesar 3.9 dan 4 (mekv/kg).

Penurunan karoten terjadi selama proses penyimpanan pada RH 93%. Hasil oksidasi lemak tidak jenuh menyebabkan peningkatan degradasi karoten mikroenkapsulat. Penurunan secara drastis terjadi pada hari pertama, kedua dan ketiga. Hal ini dapat dilihat dari total karoten pada hari pertama kedua dan ketiga masing-masing sebesar 321, 237 dan180 ppm. Sedangkan pada hari keempat dan kelima total karoten pada mikroenkapsulat sebesar 167 ppm dan 149 ppm. Perubahan bentuk fisik menyebabkan perubahan persentase kelarutan. Semakin lama penyimpanan, menyebabkan mikroenkapsulat menggumpal dan susah larut. Pada hari pertama sampai ketiga, persentase kelarutan berturut adalah 83.04%, 81.21% dan 72.27%. Sedangkan pada hari ke empat dan ke lima, persentase kelarutan sebesar 67.32% dan 68.64%

Pada perlakuan pengaruh sinar UV, terdapat tiga perlakuan yang berbeda terhadap mikroenkapsulat yang akan disinar, yang pertama mikroenkapsulat yang tidak dikerok dari plat kaca dan lansung disinar dengan sinar UV mengalami penuruann total karoten 78%. Perlakuan kedua, mikroenkapsulat dikerok dari plat kaca dan tidak diblender mengalami penurunan total karoten 90%. Perlakuan ketiga, mikroenkapsulat dikerok dari plat kaca, dihaluskan menggunakan blender kering mengalami penurunan total karoten 95%. Dari hasil perhitungan anova dan uji Duncan, di dapat bahwa ada perbedaan di antara mikroenkapsulat dengan (p< 0.05). Ini menunjukkan bahwa ukuran partikel mempengaruhi stabilitas mikroenkapsulat terhadap pengaruh sinar UV. Semakin besar ukuran partikel mikroenkapsulat, maka penurunan total karoten semakin kecil

Pada perlakuan pengaruh sinar UV juga dilakukan pengamatan stabilitas mikroenkapsulat minyak sawit merah hasil penelitian Elisabeth (2003) yang menggunakan bahan penyalut natrium casseinat dan laktosa, dan dikeringkan menggunakan spray dryer, yang dibandingkan dengan stabilitas mikroenkapsulat minyak sawit merah hasil penelitian Simanjuntak (2007). Dari hasil pengamatan didapat bahwa terjadi penurunan total karoten sebesar 96% pada mikroenkapsulat minyak sawit merah hasil penelitian Elisabeth (2003), sedangkan pada mikroenkapsulat minyak sawit merah hasil penelitian Simanjuntak (2007)


(16)

mengalami penuruan total karoten masing-masng sebesar 94%. Dari hasil perhitungan anova dan uji Duncan, di dapat bahwa tidak ada perbedaan di antara kedua formula mikroenkapsulat dengan (p> 0.05). Ini menunjukkan bahwa stabilitas mikroenkapsulat formula Elisabeth (2003) dan formula Simanjuntak (2007) tidak berbeda nyata.

Pendugaan umur simpan mikroenkapsulat minyak sawit merah dengan metode Arrhenius dilakukan selama satu bulan berdasarkan parameter mutu bilangan TBA dan total karoten. Berdasarkan parameter mutu bilangan TBA, mikroenkaspsulat minyak sawit merah yang dikemas alumunium laminasi pada suhu 30ºC memiliki umur simpan 41.62 hari atau 1.4 bulan. Sedangkan berdasarkan parameter total karoten, mikroenkapsulat minyak sawit merah memiliki umur simpan 84.06 hari atau 2.8 bulan. Dari dua paremeter, didapat bahwa umur simpan mikroenkapsulat minyak sawit merah adalah 1.4 bulan.


(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Palembang, pada tanggal 26 November 1986. Putri ke empat dari empat bersaudara dari pasangan Alm H.Sumarti, SH dan Hj. Kartini Thalib, BA ini mempunyai nama lengkap Shabrina Novia. Penulis mengenyam pendidikan di tempat yang berpindah-pindah, yaitu SD Patra Dharma Bunyu, Kalimantan Timur, SLTPN 1 Cilacap, Jawa Tengah dan SMU YKPP UP II Dumai Riau. Penulis berkesempatan melanjutkan kuliah untuk menuntut ilmu di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI.

Semasa kuliah penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan, di antaranya reporter Koran Kampus (2004-2005), BEM KM IPB Kabinet Pembaharu (2005-2006), dan HIMITEPA (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan) (2006-2007). Penulis juga ikut serta sebagai peserta beberapa kegiatan, antara lain : Round Table Discussion Rusnas Diversifikasi Pangan Pokok (2008), Seminar & Training Hazard Analytical Control Point (HACCP) (2008), Pelatihan jurnalistik SCTV (2007), ESQ training generasi emas BEM se-jadebotabek (2006), dan Popular Scientific Writing (2005). Penulis berkesempatan mengikuti Progam Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Kewirausahaan (2007) dan Progam Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Masyarakat (2008) yang didanai oleh DIKTI. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Teknologi Pengolahan Pangan (2008) dan Praktikum Terpadu Teknologi Pemanggangan (2008).

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis menyusun skripsi setelah melakukan penelitian di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA, dan SEAFAST Center IPB mulai bulan Maret 2008 sampai dengan September 2008, dengan judul ” Stabilitas Mikroenkapsulatat Minyak Sawit Merah Hasil Pengeringan Lapis Tipis Selama Penyimpanan” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, MS, Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, MSi dan Nur Wulandari, STP,MSi. Penelitian ini didanai oleh RUSNAS Industri Kelapa Sawit.


(18)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Dia yang Maha Sempurna, dengan segala kejutan-Nya, cinta-Nya, kekuatan-Nya serta kesabaran-Nya, sehingga penulis dapat melaksanakan amanah yaitu menyelesaikan kuliah di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fateta, IPB dan menyusun skripsi yang berjudul “Stabilitas Mikroenkapsulat Minyak Sawit Merah Hasil Pengeringan Lapis Tipis, Selama Penyimpanan ”. Selama penelitian, penulisan dan penyusunan skripsi ini penulis tidak terlepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ayahanda tercinta, Almarhum H. Sumarti SH, yang telah mengajarkan banyak hal sehingga penulis menjadi seperti ini, atas segala nasihat dan dorongan semangat beliau hingga akhir hayatnya.

2. Ibunda tercinta, Hj Kartini Thalib, BA, yang selalu mengingatkan penulis untuk selalu berusaha dan berserah pada-Nya, atas setiap tetesan keringat dan untaian do’a dalam sujud serta shaumnya.

3. Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, MS dosen pembimbing I yang telah membimbing dan menemani penulis selama berjuang di masa kuliah, saat penelitian hingga penulisan skripsi ini, atas bimbingan, nasihat, motivasi dan pelajaran yang sangat berarti yang tak akan pernah terlupakan. Maaf atas segala kerepotan dan kekecewaan selama ini. Terima kasih untuk segalanya.

4. Dr. Ir. Dede R. Adawiyah selaku dosen pembimbing II, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian ini, terima kasih atas motivasi bimbingan, saran, bantuan dan kesabaran yang telah Ibu berikan selama penulis melakukan penelitian dan penulisan skripsi.

5. Nur Wulandari, STP, MSi selaku dosen pembimbing III, yang telah memberikan kesempatan penulis untuk melakukan penelitian, atas bimbingan, saran, bantuan, selama penulis melakukan penelitian dan penulisan skripsi.


(19)

6. RUSNAS Industri Kelapa Sawit, atas bantuan dana yang telah telah diberikan selama penelitian.

7. PT. Chevron Oil Pasific Indonesia, atas beasiswa yang diberikan selama penulis menempuh kuliah di IPB

8. Seluruh dosen, staf, dan teknisi laboratorium di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah memperkaya pengetahuan dan memperlancar studi penulis.

9. Beginer Subhan SPi, Julius Ramadhan, SE Akt dan M. Agustinus Abdillah, SH. Saudara-saudaraku yang telah memberikan semangat, teladan dan dorongan kepada penulis

10.Bobby Sandra, SE yang telah memberikan waktu, semangat untuk penulis.

11.Pak Ade dan Mbak Yuli, yang telah banyak membantu penulis dan memberikan semangat kepada penulis

12.Teman-teman di laboratorium SEAFAST Center, Auu, Riska, Sisi, Ecy, Sofyan, Lia, mas Ayus, mas Rai, mbak Puspa, mbak Ria, mas Arief, Mansyah, terimakasih atas kerjasamanya dan semangat yang telah diberikan.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca.

Bogor, Februari 2009


(20)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iii

DAFTAR TABEL... v

DAFTAR GAMBAR... vi

DAFTAR LAMPIRAN... vii

I. PENDAHULUAN... 1

A. LATAR BELAKANG... 1

B. TUJUAN ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA... 5

A. TANAMAN KELAPA SAWIT ... 5

B. MINYAK SAWIT ... 6

C. PEMURNIAN MINYAK SAWIT ... 9

D. MINYAK SAWIT ... 11

E. KAROTENOID ... 14

F.MIKROENKAPSULASI... 18

G.THIN LAYER DRYING... 20

F.UMUR SIMPAN ... 21

III. BAHAN DAN METODOLOGI ... 26

A. BAHAN DAN ALAT ... 26

1. Bahan ... 26

2. Alat ... 25

B. METODE PENELITIAN... 26

1. Persiapan bahan baku... 26

2. Uji Stabilitas mikroenkapsulat selama penyimpanan ... 28

C. METODE ANALISIS... 29 1. Bilangan Asam ... 29

2. Bilangan Peroksida ... 30

3. Karoten... 30

4. Kadar Air... 31

5. Kelarutan ... 31

6. Warna Mikroenkapsulat ... 32

7. Warna larutan ... 33

8. Bilangan TBA ... 33

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 36

A. KARAKTERISASI MINYAK SAWIT KASAR ... 36

B. PROSES PEMBUATAN MINYAK SAWIT MERAH DENGAN METODE FRAKSINASI... 37 C. PENGARUH RH TERHADAP MIKROENKAPSULAT


(21)

MINYAK SAWIT MERAH SELAMA PENYIMPANAN... 40

D. PENGARUH UV TERHADAP MIKROENKAPSULAT MINYAK SAWIT MERAH SELAMA PENYIMPANAN... 48

E. PENDUGAAN UMUR SIMPAN... 53 V. KESIMPULAN DAN SARAN... 64

A. KESIMPULAN ... 64

B. SARAN ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 68


(22)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Performa minyak sawit kasar Indonesia (2002-2007) ... 1 Tabel 2. Komposisi asam lemak minyak sawit dan titik cairnya ... 7 Tabel 3. Sifat fisika kimia minyak sawit ... 8 Tabel 4. Perbandingan karakteristik MSM PPKS (1997), Sirajjudin

(2003) dan Puspitasari (2008) ... 12 Tabel 5. Bahan Pangan sumber vitamin A ... 15 Tabel 6. Fraksi karotenoid minyak sawit ... 16 Tabel 7. RE MSM dibandingkan bahan pangan nabati lain ... 17 Tabel 8. Bahan penyalut... 19 Tabel 9. Spesifikasi mutu minyak sawit dan hasil analisis bahan

baku minyak sawit kasar ... 35 Tabel 10. Karakteristik MSM dibandingkan minyak sawit kasar ... 39 Tabel 11. Hasil pengukuran warna bubuk mikroenkapsulat MSM... 47 Tabel 12. Hasil pengukuran warna larutan mikroenkapsulat MSM... 47 Tabel 13. Hasil pengukuran TBA ... 54 Tabel 14. Nilai k dan ln k pada tiga suhu penyimpanan untuk parameter

pengukuran kadar ALB ……….57 Tabel 13. Hasil pengukuran total karoten ... 58


(23)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Tanaman Kelapa Sawit ... 5

Gambar 2. Tandan dan buah kelapa sawit ... 6

Gambar 3. Minyak sawit merah... 12

Gambar 4. Struktur kimia karoten ... 15 Gambar 5. Diagram alir pembuatan mikroenkapsulat minyak sawit

merah... 27

Gambar 6. Minyak sawit merah hasil fraksinasi... 38

Gambar 7. Grafik perubahan kadar air mikroenkapsulat MSM

selama proses penyimpanan... 41

Gambar 8. Grafik pengaruh peningkatan kadar air terhadap ALB

mikroenkapsulat MSM... 41

Gambar 9. Grafik pengaruh peningkatan kadar air terhadap bilangan

peroksida mikroenkapsulat MSM ... 43

Gambar 10. Grafik pengaruh peningkatan kadar air terhadap total

karoten mikroenkapsulat MSM... 44

Gambar 11. Grafik pengaruh peningkatan kadar air terhadap kelarutan

mikroenkapsulat MSM... 46

Gambar 12. Perlakuan penyinaran UV ... 50

Gambar 13. Pengaruh ukuran partikel mikroenkapsulat MSM

terhadap total karoten selama penyinaran UV ... 51

Gambar 14. Total karoten mikroenkapsulat MSM formula Elisabeth

(2007) dan Simanjuntak (2008) ... 52

Gambar 15. Mikroenkapsulat MSM yang dikemas dengan alumunium

foil ... 54

Gambar 16. Grafik hubungan antara waktu penyimpanan dengan TBA ... 55

Gambar 17. Regresi linier peningkatan TBA mikroenkapsulat MSM

pada tiga suhu... 55


(24)

Gambar 19. Grafik hubungan antara waktu penyimpanan dengan total

karoten... 58

Gambar 20. Regresi linier penurunan karoten mikroenkapsulat MSM

pada tiga suhu... 59


(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Hasil pengamatan mikroenkapsulat pada penyimpanan

RH 93 %... 72 Lampiran 2. Total karoten MSM pengaruh UV……….. 72

Lampiran 3. Total karoten mikroenkapsulat pada plat kaca……… 72

Lampiran 4. Total karoten mikroenkapsulat ukuran besar……… 72

Lampiran 5. Total karoten mikroenkaspulat ukuran halus…….…………. 73

Lampiran 6. Hasil analisis sidik ragam pengaruh ukuran partikel

terhadap stabilitas total karoten……… 73

Lampiran 7. Hasil analisis sidik ragam pengaruh formula


(26)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan penghasil minyak sawit kasar terbesar di dunia., yaitu sebesar 16.7 juta ton. Data yang bersumber dari Departemen Pertanian RI (2009), produksi minyak sawit Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Produksi minyak sawit kasar Indonesia dari tahun 1993 -2007 yaitu, pada tahun 1993 sebesar 3.4 juta ton, tahun 2000 sebesar 7 juta ton, tahun 2006 sebesar 16.08 juta ton dan tahun 2007 sebesar 16.7 juta ton. Salah satu faktor yang mendorong peningkatan volume produksi tersebut adalah bertambahnya luas areal perkebunan kelapa sawit.

Kelapa sawit mengandung kurang lebih 80% perikarp dan 20% kernel yang dilapisi kulit yang tipis. Kadar minyak dalam perikarp sekitar 34-40%. Dari kelapa sawit ini dapat dihasilkan dua jenis minyak yang sangat berlainan, yaitu minyak yang berasal dari sabut (mesokarp) kelapa sawit disebut minyak sawit kasar (CPO/Crude Palm Oil) dan minyak yang berasal dari inti kelapa sawit yang dinamakan minyak inti sawit (PKO/Palm Kernel Oil) (Ketaren, 2005) .

Minyak sawit kasar memiliki kandungan karotenoid yang cukup tinggi yaitu berkisar 400-700 µg/g dan lebih dari 80% dalam bentuk α-, -, - karoten (Choo et al., 1989). Komponen ini memiliki banyak kegunaan bagi kesehatan manusia selain komponen vitamin, di antaranya merupakan senyawa antikanker, mencegah penuaan dini dan penyakit kardiovaskuler, serta kegunaan lainnya.

Karotenoid merupakan pigmen alami dalam minyak sawit yang berwarna kuning sampai merah. Karotenoid pada minyak sawit ini merupakan nilai tambah atau keunggulan minyak sawit dibandingkan minyak nabati lainnya. Karotenoid mempunyai aktivitas yang penting bagi kesehatan, namun mempunyai sifat yang sensitif terhadap terhadap beberapa kondisi pengolahan minyak makan secara konvensional yaitu pengolahan suhu tinggi maupun oksidasi. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk melindungi -karoten dari lingkungan sekitarnya yang dapat menyebabkan terjadinya reaksi


(27)

oksidasi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan cara melindunginya dalam matriks polimer yang disebut dengan proses enkapsulasi. Jika matriks yang melindungnya merupakan matriks yang berukuran 0.2 µm sampai beberapa millimeter disebut mikroenkapsulasi.

Teknologi mikroenkapsulasi -karoten minyak sawit merah merupakan salah satu alternatif produk hilir yang diharapkan dapat menggantikan suplai vitamin A. Mikroenkapsulasi merupakan penyalutan secara tipis terhadap inti berbentuk zat padat, cair atau gas oleh suatu penyalut melalui teknik khusus. Mikroenkapsulasi minyak sawit merah bertujuan untuk melindungi karoten yang terdapat pada minyak sawit merah, sehingga dapat diaplikasikan pada produk pangan.

Proses mikroenkapsulasi terdiri dari dua tahap yaitu pencampuran bahan inti dengan larutan membentuk materi pembentuk dinding dan pengeringan atau pendinginan emulsi yang terbentuk. Proses pengeringan memiliki peranan penting dalam proses mikroenkapsulasi. Tujuan pengeringan adalah untuk mempertahankan mutu produk selama penyimpanan karena dengan berkurangnya kadar air maka pertumbuhan mikroba dapat ditekan sehingga kerusakan produk dapat dihindari.

Metode pengeringan pada proses mikroenkapsulasi yang sering dipakai adalah dengan menggunakan alat pengering seperti spray dryer, namun metode ini memiliki berbagai kelemahan seperti rendemen yang rendah, dan tekanan serta suhu yang tinggi. Untuk itu perlu diujikan metode pengeringan lain pada tekanan dan suhu yang lebih rendah yaitu dengan menggunakan metode thin layer drying. Teknik thin layer drying didahului dengan pembuatan lapisan tipis emulsi karoten pada permukaan plat pengering dan dikeringkan secara cepat secara konduksi dan konveksi melalui permukaan plat. Penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Simanjuntak (2007) berhasil mendapatkan formula mikroenkapsulat minyak sawit merah optimum yang terpilih melalui program Design Expert version 7, yang menggunakan komposisi minyak sebanyak 10.64 %, maltodekstrin sebanyak 7.73 %, gelatin sebanyak 2.96%, air sebanyak 77.78% dan CMC sebanyak 0.89 % dengan nilai desirability sebesar 0.622741. Namun, pada penelitian tersebut belum


(28)

diketahui stabilitas mikroenkapsulat minyak sawit merah yang dihasilkan, selama proses penyimpanan. Untuk itu perlu dilaksanakan penelitian lanjutan tentang stabilitas serta pendugaan umur simpan dari produk mikroenkapsulat minyak sawit merah yang telah dihasilkan dengan metode penghasilan lapis tipis tersebut.

B. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui stabilitas mikroenkapsulat minyak sawit merah hasil pengeringan lapis tipis selama penyimpanan. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menentukan umur simpan mikroenkapsulat minyak sawit merah.


(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. TANAMAN KELAPA SAWIT

Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis. Jacq) merupakan tanaman monokotil (berkeping satu) yang termasuk famili Palmae. Nama genus Elaeis berasal dari bahasa Yunani Elaion yang berarti minyak, sedangkan guienensis

berasal dari kata guines, yaitu nama tempat dimana seorang bernama Jacquin menemukan tanaman sawit pertama kali di pantai Guines di Afrika Selatan pada tahun 1973 (Ketaren, 2005). Foto tanaman kelapa sawit pada perkebunan sawit di wilayah Duri (Riau) ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Tanaman Kelapa Sawit di wilayah Duri (Riau)

Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada daerah beriklim tropis dengan curah hujan 2000 mm/tahun dan kisaran suhu 22oC – 32oC. Daerah penanaman kelapa sawit di Indonesia adalah daerah Jawa Barat (Lebak dan Tangerang), Lampung, Riau, Sumatra Barat, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Kalimantan dan Aceh. Negara penghasil kelapa sawit selain Indonesia adalah Malaysia, Amerika Tengah dan Nigeria (Ketaren, 2005).

Menurut Pasaribu (2004) buah kelapa sawit terdiri dari serabut buah (mesokarp) dan inti (kernel). Serabut buah kelapa sawit terdiri dari tiga lapis yaitu lapisan luar atau kulit buah yang disebut perikarp, lapisan sebelah dalam disebut mesokarp atau pulp, dan lapisan paling dalam disebut endokarp. Inti kelapa sawit terdiri dari lapisan biji (testa), endosperm, dan embrio. Mesokarp


(30)

mengandung kadar minyak rata-rata sebanyak 56%, inti (kernel) mengandung minyak sebesar 44%, dan endokarp tidak mengandung minyak. Gambar tandan buah kelapa sawit dari perkebunan kelapa sawit di wilayah Dumai (Riau) dan buah kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 2.

(a) (b)

Gambar 2. (a) Tandan buah kelapa sawit dari perkebuan di wilayah Dumai (Riau) dan (b) Buah kelapa sawit (Anonim, 2008a)

Menurut Ketaren (2005) kriteria kematangan buah kelapa sawit dapat dilihat berdasarkan warna kulit dan bentuk buah. Varietas kelapa sawit berdasarkan warna kulit buah setelah masak yaitu varietas nigrescens

berwarna merah kehitaman, varescens berwarna merah terang dan albenscens

berwarna hitam. Sedangkan berdasarkan bentuk buahnya, varietas kelapa sawit terdiri dari varietas dura (bentuk buah tidak teratur dan tempurung tebal), delidura (penampang bulat dan tempurung tebal), tenera (penampang bulat dan tempurung tipis) serta pisifera (penampang bulat dan inti kecil).

Panen kelapa sawit dilakukan pada saat kadar minyak mesokarp masimum dan kandungan asam lemak bebas minimum. Pembentukan minyak mulai terjadi pada buah berumur 10 minggu dan akan maksimum pada saat buah berumur 16 minggu (tua/matang). Kadar lemak akan menurun sampai umur 20 minggu. Jadi, sebaiknya panen dilakukan pada saat buah berumur 15-16 minggu karena kadar lemak sudah menurun dan tidak terjadi peningkatan asam lemak bebas (Muchtadi, 1992).

B. MINYAK SAWIT

Minyak sawit berasal dari ekstraksi buah tanaman kelapa sawit. Kelapa sawit terdiri dari 80% bagian perikrap (epikarp dan mesokarp)


(31)

dan 20% biji (endokarp dan endosperm). Dari kelapa sawit, dapat diperoleh dua jenis minyak yang berbeda sifatnya, yaitu minyak dari inti (endosperm) sawit disebut dengan minyak inti sawit dan minyak dari sabut (mesokrap) sawit disebut minyak sawit (Ketaren, 2005).

Perbedaan antara minyak sawit dan minyak inti sawit adalah adanya pigmen karotenoid pada minyak sawit sehingga berwarna kuning merah. Komposisi karotenoid yang terdeteksi pada minyak ssawit terdiri dari α-, -, -, karoten dan xantofil, sedangkan minyak inti sawit tidak mengandung karotenoid. Perbedaan lain adalah pada kandungan asam lemaknya. Pada minyak inti sawit terdapat asam lemak kaproat, asam lemak kaprilat dan asam lemak laurat, sedangkan pada minyak sawit ketiga asam lemak tersebut tidak terdapat (Murdiati 1992). Pada suhu di atas 60ºC minyak sawit mencair, sebaliknya minyak inti sawit bersifat cair pada suhu kamar. Perbedaan sifat ini disebabkan oleh perbedaan jenis dan jumlah rantai asam lemak yang membentuk trigliserida dalam kedua minyak tersebut.

Minyak sawit memiliki dua komponen asam lemak yang terbesar yaitu asam palmitat dan asam oleat. Komposisi asam lemak minyak sawit secara lengkap disajikan pada Tabel 1. Pada tabel tersebut terlihat kandungan asam palmitat dalam minyak sawit sebesar 39-45% dan asam oleat sebesar 37-44%. Asam lemak palmitat merupakan asam lemak jenuh rantai panjang yang memiliki titik cair (melting point) yang tinggi, yaitu 64ºC, sehingga pada suhu ruang minyak sawit berbentuk semi padat (Belitz dan Grosh, 1999). Kandungan asam palmitat yang tinggi ini membuat minyak sawit lebih tahan terhadap oksidasi (ketengikan) dibanding jenis minyak lain. Asam oleat merupakan asam lemak tidak jenuh rantai panjang dengan rantai C18 dan memiliki satu ikatan rangkap. Titik cair asam oleat lebih rendah dibanding asam palmitat yaitu 14ºC (Ketaren, 2005).


(32)

Tabel 1. Komposisi asam lemak minyak sawit dan titik cairnya

Sumber : Ketaren (2005)

Selain mengandung asam-asam lemak, minyak sawit juga mengandung lebih kurang 1% komponen minor yang terdiri dari karotenoid, tokoferol, tokotrienol, sterol, fosfolipid, dan glikolipid, terpen dan gugus hidrokarbon alifatik, dan elemen sisa lainnya (Ong et al., 1990). Diantara komponen-komponen minor tersebut, kandungan karotenoid dan tokoferol yang tinggi merupakan keunggulan minyak sawit dibandingkan minyak nabati lainnya, Kandungan karotenoid di dalam sawit berkisar antara 500-700 µg/g dan tokoferol dan tokotrienol berkisar antara 600-1000 µg/g (Choo, 1994).

Sifat fisika dan kimia minyak sawit meliputi warna, bau/flavor, kelarutan, bobot jenis, indeks bias, titik cair, titik didih (boiling point),

bilangan iod, bilangan penyabunan (Ketaren, 2005). Nilai beberapa sifat fisika kimia minyak sawit dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Sifat fisika kimia minyak sawit

Sifat fisika kimia Nilai •Bobot jenis (40ºC)

•Indeks bias •Titik cair (ºC)

(tergantung komponen asam lemak) •Bilangan Iod

•Bilangan penyabunan

0,921 – 0,925 1,453 – 1,485

25 – 50

44 – 58 195 – 205 Sumber : Winarno (1999)

Warna merah pada minyak sawit disebabkan oleh pigmen karotenoid yang larut dalam minyak, sedangkan asam-asam lemak dan trigliserida tidak berwarna. Bau dan flavor terdapat secara alami, bau khas minyak sawit ditimbulkan oleh gugus beta ionone dari karotenoid.

Jenis asam lemak Komposisi (%) Titik Cair (ºC) Asam Kaprat (C 10:0)

Asam Laurat (C 12:0) Asam Miristat (C 14:0) Asam Palmitat (C 16:0) Asam Stearat (C 18:0) Asam Oleat (C 18:1) Asam Linoleat (C 18:2) Asam Linolenat (C 18:3)

1-3 0-1 0.9-1.5 39.2-45.8 3.7-5.1 37.4-44.1 8.7-12.5 0-0.6 31,5 44 58 64 70 14 -11 -9


(33)

Sedangkan, bau yang menyimpang terjadi akibat kerusakan asam-asam lemak berantai pendek yang membentuk asam lemak bebas (Ketaren,

2005).

C. PEMURNIAN MINYAK SAWIT

Pengolahan minyak sawit dari sabut (mesokarp) kelapa sawit menjadi minyak sawit komersial (minyak goreng) secara umum melalui beberapa tahap, yaitu ekstraksi, pemurnian, dan fraksinasi. Ekstraksi adalah suatu cara untuk mendapatkan minyak atau lemak dari bahan yang diduga mengandung minyak atau lemak. Adapun cara ekstraksi antara lain, rendering, mechanical expression, dan solvent extraction. Tahapan proses selanjutnya adalah pemurnian. Pemurnian minyak sawit secara konvensional meliputi, pemisahan gum (degumming), pemisahan asam lemak bebas (deasidifikasi), pemucatan (bleaching), dan penghilanghan bau (deodorisasi). Tahap terakhir yaitu fraksinasi yang merupakan bagian dari pemurnian sawit hasil ekstraksi. Fraksinasi merupakan proses pemisahan fraksi cair (olein) dan fraksi padat (stearin) dari minyak dengan winterisasi, proses pemisahan bagian gliserida jenuh atau bertitik cair tinggi dari trigliserida bertitik cair rendah dengan cara pendinginan (chilling) hingga suhu 5 -7ºC (Ketaren, 2005).

Pada proses pemurnian minyak sawit kadang-kadang satu atau lebih dari tahapan proses tersebut tidak perlu dilakukan, tergantung dari tujuan jenis minyak yang diinginkan. Untuk mendapatkan minyak sawit merah, proses bleaching tidak dilakukan karena proses ini bertujuan untuk menghilangkan zat merah (karotenoid) dari minyak sawit. Helena (2003) melaporkan bahwa sekitar 80% karotenoid hilang selama proses

bleaching. Sedangkan menurut Ketaren (2005), arang aktif (bleaching agent) sebesar 0,1 - 0,2% dari berat minyak dapat menyerap zat warna sebanyak 95-97% dari total zat warna yang terdapat pada minyak sawit. Zat warna yang diserap oleh arang aktif ini dapat dikeluarkan kembali (desorpsi) dari arang aktif dengan cara mekanis dan kimia berupa pelarut yang dapat mengeluarkan kembali karotenoid yang terdapat pada arang aktif, yaitu etanol, heksana, metanol.


(34)

Pengolahan minyak sawit diawali dengan perlakuan pendahuluan. Tujuan dari perlakuan pendahuluan ini adalah untuk menghilangkan kotoran dan memperbaiki stabilitas minyak dengan mengurangi jumlah ion logam terutama besi dan tembaga. Selanjutnya, proses pendahuluan ini ditujukan untuk memudahkan proses pemurnian selanjutnya, dan mengurangi minyak yang hilang pada proses pemurnian, terutama pada proses deasidifikasi (Ketaren, 2005).

Salah satu proses pendahuluan yang banyak digunakan adalah

degumming, yaitu suatu proses pemisahan kotoran dari kulit dan getah atau lendir yang terdapat dalam minyak tanpa mereduksi asam lemak bebas yang ada. Namun, degumming bukan merupakan satu-satunya cara untuk menghilangkan kotoran dalam minyak. Menurut Ketaren (2005) untuk memisahkan kotoran-kotoran yang terdapat dalam minyak yang terdiri dari biji atau partikel jaringan, lendir, dan getah, serat yang berasal dari kulit, abu dan mineral yang terdiri dari Fe, Cu, Mg dan Ca serta air dalam jumlah kecil dapat dipisahkan dengan cara mekanis, yaitu pengendapan, penyaringan dan sentrifusi.

Proses selanjutnya adalah proses pemisahan asam lemak bebas dalam minyak atau deasidifikasi. Deasidifikasi secara kimia dilakukan dengan cara deasidifikasi dengan mereaksikan asam lemak bebas dengan larutan basa atau alkali sehingga membentuk sabun (soap stock). Sabun yang terbentuk dapat membantu pemisahan kotoran dengan cara membentuk emulsi. Sabun atau emulsi yang terbentuk dapat dipisahkan dari minyak dengan cara sentrifusi (Ketaren, 2005). Alkali yang biasa digunakan adalah NaOH, yang dikenal sebagai caustic deasidification. NaOH banyak digunakan oleh industri karena lebih efisien dan murah.

Beberapa bahan kimia dapat diaplikasikan pada proses tersebut, misalnya natrium karbonat, natrium hidroksida, kalium hidroksida, etanol amin serta amonia (Hui, 1996). Efektivitas bahan kimia tersebut dalam proses deasidifikasi minyak sawit sangat dipengaruhi oleh konsentrasi bahan kimia dan suhu yang digunakan selama proses deasidifikasi (Ketaren, 2005).


(35)

Konsentrasi bahan kimia yang digunakan dalam deasidifikasi tergantung pada jumlah asam lemak bebas atau derajat keasaman minyak. Makin besar jumlah asam lemak bebas, makin besar pula konsentrasi bahan kimia yang digunakan. Tetapi, makin besar konsentrasi bahan kimia yang digunakan, maka kemungkinan jumlah trigliserida yang tersabunkan akan semakin besar. Sebaliknya, makin kecil konsentrasi bahan kimia maka makin besar kecenderungan larutan sabun untuk membentuk emulsi dengan trigliserida sehingga mempersulit pemisahan sabun (soap stock) yang juga akan menurunkan rendemen (Hui, 1996).

D. MINYAK SAWIT MERAH

Minyak sawit merah merupakan hasil ekstraksi serabut daging (mesokarp) buah tanaman kelapa sawit (Elaeis guienensis JACQ) yang biasanya disebut minyak sawit mentah atau kasar (Crude Palm Oil, CPO) dan dalam pengolahan selanjutnya warna merah tetap dipertahankan. Secara umum, proses produksi minyak sawit merah prinsipnya sama dengan proses produksi minyak sawit komersial (minyak goreng). Satu hal yang membedakan adalah pada proses produksi minyak sawit merah ini tidak ada tahapan bleaching (pemucatan) sehingga minyak masih tetap berwarna merah. Dibandingkan dengan minyak goreng biasa, minyak sawit merah memiliki aktivitas provitamin A dan vitamin E yang jauh lebih tinggi. Karakter ini membuat minyak sawit merah sangat baik dipandang dari segi nutrisi (Jatmika dan Guritno, 1996). Gambar minyak sawit merah dapat dilihat pada Gambar 3.

Proses pengolahan minyak sawit kaya karotenoid yaitu minyak sawit merah mulai dikembangkan sejak tahun 90-an, sejalan dengan semakin disadarinya peran penting karotenoid bagi kesehatan manusia. Sampai saat ini telah dikembangkan tiga macam proses pengolahan minyak sawit merah yaitu 1) proses menggunakan deasidifikasi kimiawi dipadukan dengan penggunaan deodorizer konvensional untuk menghilangkan bau, 2) proses menggunakan distilasi molekuler, dan 3) proses deasidifikasi kimiawi dengan rotary evaporator untuk menghilangkan bau. Proses


(36)

nomor 1) dan 2) digunakan secara komersial untuk memproduksi minyak sawit merah, sedangkan proses ketiga telah dikembangkan oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan (Jatmika dan Guritno, 1997).

Gambar 3. Minyak Sawit Merah (Anonim, 2008b)

Beberapa penelitian tentang pembuatan minyak sawit merah telah banyak dilakukan di Indonesia. Jatmika dan Guritno (1997), peneliti dari PPKS Medan memproduksi MSM melalui proses degumming dengan asam fosfat 85 % dan deasidifikasi dengan natrium karbonat 20 % pada suhu ruang, kemudian sabun dipisahkan secara penyaringan vakum. Proses yang sama dilakukan oleh Sirajjudin (2003) tetapi pada proses deasidifikasi menggunakan larutan natrium karbonat 10 %. Mas’ud (2007) melakukan penelitian optimasi proses deasidifikasi dan melaporkan bahwa proses deasidifikasi menggunakan NaOH 11,1%, suhu proses 60ºC, dan lama proses selama 25 menit adalah kondisi deasidifikasi yang paling optimal. Puspitasari (2008) melaporkan bahwa proses deadifikasi menggunakan NaOH 11.1% dengan kombinasi lama proses pengadukan 20 menit dan kecepatan pengadukan 60 rpm dipilih sebagai kondisi optimum. Perbandingan karakteristik minyak sawit merah yang dihasilkan oleh Jatmika dan Guritno (PPKS) (1997), Sirajjudin (2003), Mas’ud (2007) dan Puspitasari (2008) dapat dilihat pada Tabel 3.


(37)

Tabel 3. Perbandingan karakteristik MSM PPKS (1997), Sirajjudin (2003), Mas’ud (2007) dan Puspitasari (2008)

PPKS Sirajjudin Mas’ud Puspitasari Parameter

-1997 -2003 -2007 -2008 Asam Lemak Bebas (%) 0,11 0,02 0,17 0,16 Kadar Air (%, b/b) 0,02 0,01 0,07 0,002 Bil. Iod (g I2/100g MSM) 56 55 45,8 45,6 Bil. Peroksida (meq/kg MSM) 6,1 0,86 5,9 5,8 Bil.Penyabunan

(mgKOH/gMSM)

198 197 193,8 193,21

Total Karoten (ppm) 500 650 492 533

Pada umumnya, pemanfaatan minyak sawit masih didominasi untuk produk pangan. Menurut Muchtadi (1997) sektar 90% minyak sawit digunakan untuk produk-produk pangan seperti minyak goreng, minyak salad, margarin, shortening, vanaspati, dan sebagainya, sedangkan sisanya (10%) digunakan untuk produk-produk nonpangan. Berbeda dengan minyak sawit, minyak sawit merah tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai minyak goreng, karena karoten yang terkandung di dalamnya mudah rusak pada suhu tinggi. Minyak ini lebih dianjurkan untuk digunakan sebagai minyak makan dalam menumis sayur, minyak salad, dan bahan fortifikan. Kandungan karoten yang tinggi menyebabkan minyak sawit merah berwarna kemerahan. Olson (1991) menganjurkan diberikannya 7 ml minyak sawit merah setiap hari untuk nutrisi anak-anak prasekolah. Hasil penelitian tehadap anak-anak sekolah di India yang mengkonsumsi makanan kaya beta-karoten dari minyak sawit merah ternyata terjadi peningkatan retinol daam hati dan serum darah (Rukmini, 1994). Tetapi masalahnya adalah rasa dan aroma minyak sawit merah yang kurang enak sehingga tidak disukai oleh balita.

Di Indonesia, pada tahun 1996-1998, PPKS Medan secara intensif melakukan kajian terhadap pengembangan proses, penerimaan konsumen dan ketahanan simpan minyak sawit merah. Namun, sampai saat ini di Indonesia belum ada minyak sawit merah yang dijual secara komersial.


(38)

E. KAROTENOID

1. Struktur dan Sifat Fisika-Kimia Karotenoid

Komponen minor minyak sawit yang sangat penting diperhatikan adalah kandungan karoten. Karotenoid merupakan kelompok pigmen yang berwarna kuning, jingga, merah jingga serta larut dalam minyak (Winarno, 1991). Karotenoid mempunyai struktur dasar delapan satuan isoprenoid yang tersusun seakan-akan dua satuan 20 karbon. Karotenoid dibagi menjadi dua golongan yaitu karoten yang merupakan hidrokarbon dan xantofil yng mengandung oksigen dalam bentuk hidroksil, metoksil, karboksil, keto atau epoksi. Cara penggolongan lainnya, karotenoid dibagi menjadi tiga golongan: (1) asiklik seperti likopen (2) monosiklik seperti -karoten, dan (3) bisiklik seperti α-karoten dan -karoten (deMan, 1997). Dari fungsinya karotenoida dapat dibagi atas dua golongan yaitu yang bersifat nutrisi aktif, seperti beta karoten dan non nutrisi aktif seperti fucosantin, neosantin dan violasantin (Tan, 1990).

Karotenoid termasuk senyawa lipid yang dapat larut dalam senyawa lipid lainnya, sehingga disebut lipofilik, dan pelarut lemak seperti aseton, alkohol, dietil eter, dan kloroform. Karoten larut dalam pelarut non polar seperti eter dan heksan, sedangkan xantofil larut sempurna di pelarut polar seperti alkohol. Karotenoid juga disebut hidrofobik karena tidak dapat larut air. Karotenoid ini tidak tersabunkan dan umumnya berbentuk padat pada suhu ruang (Gross, 1991).

Karotenoid umum yang dikenal sebagai sumber vitamin A adalah beta karoten (100%), alfa karoten (53%) dan gamma karoten. Struktur alpha-karoten, beta-karoten dan gamma karoten dapat dilihat pada Gambar 4.


(39)

Gambar 4. Struktur kimia karoten (Anonim, 2008c) 2. Stabilitas Karotenoid

Menurut Klaui dan Bauernfeind (1981), faktor utama yang mempengaruhi karotenoid selama pengolahan pangan dan penyimpanan adalah oksidasi oleh oksigen udara maupun perubahan struktur oleh panas. Panas akan mendekomposisi karotenoid dan mengakibatkan perubahan stereoisomer. Pemanasan sampai dengan suhu 60oC tidak mengakibatkan terjadinya dekomposisi karotenoid tetapi stereoisomer mengalami perubahan.

Karotenoid lebih tahan disimpan dalam lingkungan asam lemak tidak jenuh jika dibandingkan dengan penyimpanan dalam asam lemak jenuh, karena asam lemak lebih mudah menerima radikal bebas dibandingakan dengan karotenoid. Sehingga apabila ada faktor yang menyebabkan oksidasi, asam lemak akan teroksidasi terlebih dahulu dan karoten akan terlindungi lebih lama (Chichester et al., 1970).

Faktor penting yang mempengaruhi struktur karoten selama pengolahan dan penyimpanan pangan adalah oksidasi oleh oksigen (udara) dan pengaruh panas. Karotenoid memiliki ikatan ganda sehingga sensitif terhadap oksidasi. Oksidasi karoten dipercepat dengan adanya cahaya, logam, panas, peroksida dan bahan pengoksida lainnya (Klaui dan bauerfeind, 1981).


(40)

Sebagian besar sumber vitamin A adalah karoten yang banyak terdapat dalam bahan-bahan nabati sperti pada syuran hijau, buah-buahna bewarna kuning dan merah seta minyak sawit. Tubuh mempunyai kemampuan mengubah sejumlah karoten menjadi vitamin A (retinol), sehingga karoten disebut provitamin A (Winarno,1991). Berbagai bahan pangan sumber karotenoid (vitamin A) yang dibagi dalam tiga kelompok yaitu kandungan vitamin A tinggi, sedang, dan rendah disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Bahan pangan sumber vitamin A Kandungan Tinggi

(RE > 20.000 µg/100 g)

Sedang (RE 1.000 – 20.000

µg/100 g)

Rendah (RE < 1.000

µg/100 g) Minyak sawit Hati kambing /

domba

Roti

Minyak ikan Hati ayam Daging babi, sapi

Ubi Jalar Kentang

Wortel Ikan

Bayam Sumber : Winarno (1991)

Dapat dilihat pada Tabel 4, minyak sawit dikelompokkan dalam kandungan vitamin A tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Choo (1994) bahwa minyak sawit merupakan sumber karotenoid terbesar untuk bahan nabati. Minyak sawit mengandung karotenoid yang terdiri dari α-karoten, -karoten, -karoten, likopen, xantofil, -zeakaroten. Tabel 5. Fraksi karotenoid minyak sawit

Komponen Jumlah (%)

Alfa karoten Beta karoten

Karoten esensial lainya

30-35 60-65 5-10 Sumber : Ketaren (2005)

Menurut Gaziano (1990) karotenoid dapat berperan sebagai antioksidan karena struktur molekulnya mempunyai ikatan ganda yang sangat mudah mengalami oksidasi secara acak menurut kinetika reaksi ordo pertama. Beta karoten sebagai salah satu zat gizi mikro di dalam


(41)

minyak sawit mempunyai beberapa aktivitas biologis yang bermanfaat bagi tubuh., antara lain untuk menanggulangi kebutaan karena xeroftalmia, mengurangi peluang terjadinya penyakit kanker, proses penuaan yang terlalu dini, meningkatkan imunisasi tubuh dan mengurangi terjadinya penyakit degeneratif. Beta karoten juga bersifat antiarterosklerosis. Kemampuan ini menyebabkan beta karoten dapat digunakan untuk mencegah penyakit kardiovaskuler.

Bentuk isomer karoten juga mempengaruhi aktivitas vitamin A. Bentuk trans memiliki derajat aktivitas vitamin A lebih tinggi dari bentuk cis. Secara alami karoten dalam bahan pangan terdapat dalam bentuk all-beta-karoten. Isomerasi dapat saja berlangsung pada suhu kamar, tetapi reaksinya berjalan sangat lambat dan pengaruhnya terhadap aktivitas vitamin A relatif kecil (Klaui dan Bauerfeind,1981).

Turunan vitamin A dikenal juga dengan nama lain, yaitu: akseroftol, asam retinoat, retinal, retinol dan dehidroretinol (Winarno, 1991). Menurut Combs (1992) aktifitas vitamin A dapat dinyatakan dalam International Unit (IU), yang nilainya sebanding (1 IU = 0.3 μg retinol = 0.6 μg -karoten = 0.12 μg provitamin A karotenoid lain). Selain itu, aktifitas vitamin A dalam satuan Retinol Equivalents (RE) lebih banyak digunakan untuk menunjukkan aktivitas vitamin A. -karoten hanya memiliki seperenam aktifitas retinol, sedangkan karotenoid lain hanya seperduabelasnya (1 RE = 1 μg retinol = 6 μg -karoten = 12 μg provitamin A karotenoid lain). Menurut Choo (1994) minyak sawit mempunyai aktivitas provitamin A 15 kali lebih besar dari wortel dan 300 kali lebih besar dari tomat. Perbandingan RE beberapa jenis bahan pangan nabati dengan minyak sawit dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Retinol equivalent (RE) minyak sawit merah dibandingkan dengan bahan pangan nabati lain


(42)

Sumber : Choo (1994)

F. MIKROENKAPSULASI

Mikroenkapsulasi adalah suatu teknologi pembungkusan padatan, cairan atau gas, dengan suatu dinding atau lapisan tipis sehinga dapat menghambat volatilisasi dan melindungi dari kerusakan kimia. Mikroenkapsulasi memberikan perlindungan terhadap reaksi degradasi, mencegah kehilangan flavor dan aroma, mengubah bentuk cair ke padatan sehingga mudah diaplikasikan dan dapat memperpanjang umur simpan (Pegg dan Shahidi, 2007).

Dalam industri pangan, mikroenkapsulasi bertujuan untuk untuk melindungi inti dari dedgradasi dengan mengurangi reaksi inti dengan lingkungan luar, mengurangi evaporasi atau laju transfer inti ke lingkungan luar, modifikasi karakteristik bahan asal dan memudahkan penggunaan bahan (Pegg dan Shahidi, 2007). Mikroenkapsulasi juga bertujuan memberikan perlindungan terhadap zat sebelum dan pada saat diolah atau digunakan sehingga interaksi fisik dan kimia karena pengaruh lingkungan tidak terjadi serta dapat mengkonversi bentuk dari zat cair menjadi zat padat sehingga penangannya menjadi lebih mudah.Matriks pelindung (skin) mampu melindungi inti (core) dari berbagai faktor yang menyebabkan kerusakan selama penyimpanan (Vandeagar, 1974)

Hasil mikroenkapsulasi disebut mikroenkapsulat. Pada mikroenkapsulat dengan ukuran dibawah 5 µm akan terjadi gerak Brown yang kuat sehingga mikroenkapsulat akan sulit dikumpulkan. Struktur dan ukuran mikroenkapsulat tergantung dari teknik pembuatannya, jenis bahan inti, dan polimer yang digunakan (Vandeagar,1974) .

Menurut Pegg dan Shahidi (2007) proses mikroenkapsulasi terdiri dari dua tahap,yaitu tahap pertama pembuatan emulsi bahan inti (core) dengan bahan penyalut seperti polisakarida dan protein, tahap kedua pengeringan atau

Bahan Pangan μg RE/g

Jeruk Pisang Tomat Wortel

Minyak Sawit

8 30 100 2.000 30.000


(43)

pendinginan emulsi. Teknik mikroenkapsulasi dapat berupa spray drying, spray cooling, spray chilling, fluidized bed coating, ekstrusi, ekstrusi sentrifugal, koaservasi, pemisahan suspensi sentrifugal, cocrystallization, dan liposome entrapment.

Pemilihan metode mikroenkapsulasi yang digunakan tergantung dari nilai ekonomis, sensivitas bahan, ukuran mikrokapssul yang diinginkan, sifat-sifat fisika/kimia material inti dan penyalut, serta penerapannya dalam produk (Jackson dan Lee, 1991).

Pada proses mikroenkapsulasi ada dua bahan yang terlibat didalamnya, yaitu inti dan penyalut. Inti adalah zat yang akan disalut. Zat ini umumnya berbentuk padat, gas atau cair yang mempunyai sifat permukaan hidrofil maupun hidrofob. Penyalut adalah zat yang digunakan untuk menyelaputi inti dengan tujuan tertentu (Vandeagar, 1974). Syarat-syarat zat sebagai penyalut yaitu penyalut dapat membentuk lapisan di sekitar inti dengan membentuk ikatan adhesi dengan inti, tercampurkan secara kimia dan tidak bereaksi dengan inti, mempunyai sifat yang sesuai dengan tujuan penyalutan (kuat, fleksibel,impermeable, stabil dan sifat optis tertentu. Tipe bahan penyalut untuk memproduksi mikroenkapsulat dapat dilihat pada Tabel 8.

Keberhasilan suatu proses mikroenkapsulasi dan sifat mikroenkapsulat yang dihasilkan dipengaruhi oleh beberapa parameter seperti bahan inti yang disalut (padat, cair, gas), sifat fisiko-kimia (solubilitas, hidrofobik, hidrofilik) stabilitas terhadap pH dan suhu, bahan penyalut yang digunakan, medium mikroenkapsulasi yang digunakan, prinsip proses mikroenkapsulasi yang digunakan (proses fisika atau kimia), dan tahap mikroenkapsulasi dinding produk mikroenkapsulasi (Vandeagar, 1974).

Tabel 7. Bahan Penyalut

Kelompok Jenis Gum Gum arab, agar, sodium alginate, karagenan


(44)

Karbohidrat Pati, dekstran, sukrosa, sirup jagung

Selulosa CMC, etilselulosa, metal selulosa, asetil selulosa, asetat ptalat selulosa

Pati Lilin,Parafin, tristearin, asam stearat, monogliserida, digliserida, minyak

Material Organik

Kalsium sulfat, silikat

Protein Gluten. Gelatin, kasein, albumin Sumber :(Jakson dan Lee, 1991)

Mikroenkapsulasi pada minyak sawit merah merupakan proses penyalutan minyak sawit merah dengan bahan penyalut khusus yang membuat partikel-partikel minyak sawit dan juga komponen minor seperti karoten yang terdapat dalam minyak menjadi terlindungi oleh lapisan film yang tipis. Β-karoten dari minyak sawit merah yang dimikroenkapsulasi ini merupakan inti yang berbentuk liquid.

Beberapa metode mikroenkapsulasi minyak sawit merah telah diteliti, yaitu teknik koaservasi pemisahan fasa kompleks (Efendi, 1994; Syamsiah, 1996), dehidrasi pada suhu rendah, teknik mikroporous SiO2, serta teknik

orifice process (Syamsiah, 1996). Dari berbagai metode tersebut, teknik mikroporus SiO2 merupakan metode terbaik dibandingkan dengan metode yang lain karena mempunyai total karotenoid yang cukup per mikrokapsulnya yaitu 220 ppm (Syamsiah,1996). Wardayanie (2000) melakukan mikroenkapsulasi minyak sawit dengan tiga teknik, yaitu penyerapan SiO2,

orifice process dan modifikasi orifice process. Mikroenkapsulasi dengan teknik penyerapan SiO2 merupakan teknik terbaik karena mikroenkapsulat ini mempunyai kadar total karoten yang paling besar yaitu 462.09 ppm dan kadar beta karoten sebesar 223 ppm.

Faktor-faktor yang akan mempengaruhi stabilitas mikroenkapsul minyak sawit merah pada proses pengeringan dan proses pemanasan adalah suhu, oksigen,cahaya, kelembapan,dan kandungan asam lemak bebas. Faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi jumlah total karoten, jumlah beta karoten, warna dan kelarutan mikroenkapsul (Vandeagar, 1974).


(45)

G. THIN LAYER DRYING

Proses mikroenkapsulasi terdiri dari 2 tahap yaitu pencampuran bahan inti dengan larutan membentuk materi pembentuk dinding dan pendinginan atau pengeringan emulsi yang terbentuk. Pengeringan merupakan proses pengeluaran air dari bahan hasil pertanian atau bahan pangan (Andarwulan et al., 1989). Tujuan pengeringan adalah untuk mempertahankan mutu produk selama penyimpanan karena dengan berkurangnya kadar air maka pertumbuhan mikroba dapat ditekan sehingga kerusakan produk dapat dihindari.

Teknik pengeringan yang digunakan adalah thin layer drying yang didahului dengan pembuatan lapisan tipis emulsi karoten pada permukaan dan dikeringkan secara cepat secara konduksi dan konveksi melalui permukaan plat (Anonim, 2007). Prinsip pengeringan lapis tipis yaitu proses pengeringan dimana bahan yang akan dikeringkan dibuat dalam bentuk lapisan atau irisan yang tipis dengan menggunakan medium udara panas sehingga efisiensi pengeringan menjadi semakin meningkat karena semakin besar luas permukaan maka kecepatan pengeringan semakin tinggi sehingga dihasilkan produk kering dengan lapisan atau irisan yang tipis. Teknik pengeringan lapis tipis bertujuan untuk menghasilkan bahan pangan cair atau semi cair, sehingga atribut mutu seperti aroma, warna dan gizi dapat dipertahankan.

Thin layer drying merupakan alat pengering yang digunakan untuk bahan pangan cair atau semisolid (misalnya telur dan puree buah atau sayuran). Kelebihan metode thin layer drying berdasarkan penelitian oleh Nurhasanah (2005) yaitu : konsumsi energi yang rendah, efisiensi pengeringan yang tinggi, tidak merusak komponen dari bahan yang sensitif terhadap panas karena menggunakan suhu yang rendah (< 60 oC).

H. UMUR SIMPAN

Umur simpan adalah lamanya masa penyimpanan (pada kondisi penyimpanan yang normal/sesuai) dimana produk masih memilikiatau


(46)

memberikan daya guna seperti yang diharapkan /dijanjikan (Hariyadi, 2004). Umur simpan menurut Institut of Food Technologist (1993) adalah selang waktu antara produksi hingga saat konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi. Sedangkan Floros (1993) mendefinisikan umur simpan sebagai waktu yang diperlukan oleh produk pangan dalam suatu kondisi penyimpanan untuk sampai pada suatu level atau tingkatan degradasi mutu tertentu

Umur simpan suatu produk ditentukan oleh tiga faktor yaitu karakteristik produk, lingkungan dimana produk berada selama penyimpanan dan karakteristik kemasan yang digunakan (ivory). Menurut Desrosier (1970), faktor yang mempengaruhi stabilitas penyimpanan bahan pangan meliputi jenis, dan kualitas bahan baku yang digunakan. Metode, dan keefektifan pengolahan, jenis dan keadaan kemasan, perlakuan mekanis yang dilakukan terhadap produk yang dikemas selama distribusi dan penyimpanan, dan pengaruh yang ditimbulkan oleh suhu dan kelembapan penyimpanan.

Menurut Syarief dan Halid (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang dikemas adalah sebagai berikut:

1. Keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air, cahaya, dan oksigen, serta kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik.

2. Ukuran kemasan dalam hubungan dengan volume

3. Kondisi atsmosfer (terutama suhu dan kelembapan) dimana 4. Kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan

5. Kekuatan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas, dan bau, termasuk perekatan, penutupan dan bagian-bagian yang terlipat.

Syarief dan Halid (1993) menyatakan bahwa penurunan mutu makanan sangat menentukan umur simpannya. Untuk menganalisis penurunan mutu diperlukan beberapa pengamatan terhadap parameter-parameter yang dapat diukur secara kuantitatif dalam bentuk pengukuran kimiawi, organoleptik, uji kadar vitamin C, dan total mikroba. Menurut Desrosier (1970), untuk menetapkan daya simpan suatu bahan pangan diperlukan data yang berkenaan dengan perubahan warna, bau, cita rasa, tekstur zat gizi, kadar air, keapekan


(47)

ketengkan dan seluruh perubahan yang mempengaruhi tingkat penerimaan produk oleh konsumen.

Umur simpan dapat diduga kemudian ditetapkan waktu kadaluarsanya dengan menggunakan dua konsep studi penyimpanan produk pangan yaitu dengan Extended Storage Studies (ESS) dan Accelarated Storage Studies

(ASS) (Floros 1993).

Menurut Hariyadi (2004) umur simpan ditentukan oleh faktor kritis atau parameter mutu yang paling cepat rusak. Penentuan kerusakan factor kritis tersebut dapat dilakukan dengan 1) studi pustaka; 2) penelitian laboratorium; 3) konsultasi atau diskusi dengan ahli; 4) verifikasi dengan uji inkubasi.

ESS atau yang lebih dikenal dengan metode konvensional adalah penentuan tanggal kadaluarsa dengan jalan menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya hingga mencapai tingkat mutu kadaluarsanya. Metode ini akurat tetapi membutuhkan waktu yang sangat lama dan analisa parameter mutu yang relativ banyak. Dewasa ini, metode ESS sering digunakan untuk produk yang mempunyai waktu kadaluarsa kurang dari tiga bulan (Arpah, 2001).

Berbeda halnya dengan metode AAS yang membutuhkan waktu pengujian yang lebih singkat, tetapi tetap memiliki ketetapan dan akurasi yang tinggi. Hal ini disebabkan, metode ASS menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat (accelerated) reaksi deteriorasi (penurunan mutu) produk pangan sehingga kerusakan yang berlangsung dapat diamati dengan cermat dan terukur. Hal ini dapat dilakukan dengan mengontrol semua lingkungan produk dan mengamati parameter perubahan yang berlangsung (Arpah, 2001).

Metode akselerasi pada dasarnya adalah metode kinetik yang disesuaikan untuk produk-produk tertentu. Model-model yang diterapkan pada penelitian akselerasi ini menggunakan dua cara pendekatan yaitu : 1) Pendekatan kadar air kritis dengan bantuan teori difusi, yaitu suatu cara pendekatan yang diterapkan untuk produk kering dengan menggunakan kadar air atau aktifitas air sebagai kriteria kadaluarsa dan 2) Pendekatan semi


(48)

empiris dengan bantuan persamaan Arrhenius, yaitu suatu cara pendekatan yang menggunakan teori kinetika yang ada pada umumnya mempunyai ordo reaksi nol atau satu untuk produk pangan (Arpah, 2001).


(49)

III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT

1. Bahan

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak sawit kasar yang diperoleh dari PT. Sinar Meadow International Jakarta. Bahan-bahan penyalut yang digunakan adalah Carboxy Methyl Cellulose (CMC) (AKULCELL AF, AK 20-2785 Netherland), gelatin dan maltodekstrin dengan DE 10 merk Hi-Cap 100 yang diperoleh dari National Park.

Garam jenuh yang dibutuhkan untuk proses penyimpanan adalah KNO3. Bahan-bahan kimia untuk analisis yang digunakan adalah heksana, KOH, kloroform, asam asetat glasial, kertas Whatman 42, standar beta karoten, NaOH, kalium Iodida, natrium thiosulfat,1-butanol, pereaksi TBA, dan pereaksi Wijs.

2. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah plat kaca dalam ukuran (20 cm x 20 cm x 2 mm), lampu UV, tray dryer, thin layer drying, spray dryer, termometer, homogeniser Ultra Turaks, inkubator, pemanas, chromameter (Minolta CR-200), timbangan analitik, sentrifuse, desikator, spektrofotometer, lovibond tintometer, vorteks, alat-alat gelas dan sudip.

B. METODE PENELITIAN 1. Persiapan Bahan Baku

Persiapan bahan baku meliputi karakterisasi minyak sawit kasar, dan pembuatan minyak sawit merah dengan metode fraksinasi suhu rendah secara bertingkat pada suhu 30oC dan 20oC. Selanjutnya dilakukan analisis mutu dari minyak sawit merah. Analisis yang dilakukan meliputi analisis kadar air, penentuan asam lemak bebas, total karoten, dan warna. Tujuan dari tahap ini adalah untuk mengetahui karakteristik minyak sawit kasar yang selanjutnya akan dibuat minyak sawit merah.


(50)

Setelah mendapatkan minyak sawit merah, dilakukan pembuatan mikroenkapsulat minyak sawit merah menggunakan formulasi terbaik dari hasil penelitian Simanjuntak (2007). Diagram alir pembuatan mikroenkapsulat minyak sawit merah dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 6. Diagram Alir Pembuatan Mikroenkapsulat Minyak Sawit Merah

Pencampuran

Air 77.78 %

Pemanasan hingga suhu 60oC

Pendinginan hingga suhu 45 oC

Homogenisasi 11000 rpm, 1 menit

Penambahan minyak sawit merah 10.64%

Homogenisasi 12000 rpm, 3 menit

Pembentukan lapisan tipis setebal 2 mm pada plat kaca

Pengeringan pada suhu 50oC menggunakan tray dryer

Pengerokan lapisan mikroenkapsulat kering

Maltodekstrin 7.73 % Gelatin 2.96% CMC 0.89%

Mikroenkapsulat minyak sawit merah bubuk Pengecilan ukuran


(51)

Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan mikroenkapsulat minyak sawit merah adalah maltodekstrin, gelatin, CMC, minyak sawit merah dan air. Pertama-tama dilakukan pencampuran maltodekstrin, gelatin, CMC dan air yang ditempatkan pada gelas ukur, kemudian dipanaskan menggunakan hot plate hingga meleleh pada suhu 60oC. Setelah proses pemanasan, dilakukan proses pendinginan hingga suhu 45oC, ditambahkan minyak sawit merah dan dilakukan proses homogenisasi menggunakan homogeniser dengan kecepatan 12000 rpm selama 3 menit. Kemudian emulsi yang terbentuk di cetak pada plat kaca yang berukuran 20x20x2 cm, dan dikeringkan dengan tray dryer pada suhu 50oC. Setelah kering, dilakukan pengerokkan pada lapisan tipis yang terbentuk dengan menggunakan sudip dan dilakukan pengecilan ukuran dengan menggunakan blender. Hasil pengecilan ukuran ini inilah yang menjadi bubuk mikroenkapsulat minyak sawit merah.

3. Uji stabilitas mikroenkapsulat selama penyimpanan a. Stabilitas mikroenkapsulat pada penyimpanan RH 93%

Tahap ini bertujuan untuk mengamati stabilitas mikroenkapsulat selama proses penyimpanan pada kelembaban 93%, sampai berat mikroenkapsulat konstan. Setiap hari sampel akan diambil untuk diamati perubahan-perubahan yang terjadi. Parameter yang diamati adalah kadar air, total karoten, bilangan peroksida, penentuan asam lemak bebas, analisis warna dan kelarutan.

b. Pengamatan pengaruh sinar UV selama penyimpanan

Tahap ini bertujuan untuk mengamati pengaruh sinar UV terhadap perubahan total karoten pada mikroenkapsulat. Pada tahap ini dilakukan penyinaran terhadap mikroenkapsulat minyak sawit merah yang menggunakan bahan penyalut CMC, gelatin dan maltodekstrin, dengan 3 perlakuan, yang pertama mikroenkapsulat yang disinar langung pada plat kaca, yang kedua mirkoenkapsulat yang berbentuk kasar (tidak dihaluskan) dan mikroenkapsulat yang berbentuk halus (berukuran 250µm) karena melalui proses pengahalusan dengan blender. Tahap ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ukuran partikel mikroenkapsulat terhadap sinar UV. Pada tahap kedua dilakukan penyinaran lampu UV pada minyak sawit merah, mikroenkapsulat minyak


(52)

sawit merah hasil penelitian Elisabeth (2003) yang menggunakan bahan penyalut natrium casseinat dan laktosa, dikeringkan dengan spray dryer, dan mikroenkapsulat minyak sawit merah hasil penelitian Simanjuntak (2007) yang menggunakan bahan penyalut CMC, maltodekstrin dan gelatin, dikeringakn dengan metode thin layer drying. Hal ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan mikroenkapsulasi pada minyak sawit merah.

c. Pendugaan umur simpan

Pendugaan umur simpan dilakukan dengan metode ASLT (Accelerated Shelf Life Testing) model persamaan Arhenius. Analisis umur simpan dengan metode ASLT dilakukan dengan menggunakan kemasan metallized plastic

berukuran 9.5 x 4.5 cm dengan berat sampel 5 gram. Produk disimpan dalam inkubator dengan 3 jenis suhu penyimpanan yaitu, 35oC, 45oC, dan 55oC. Pengambilan sampel dilakukan per enam hari selama 30 hari dengan pengujian dua parameter, yaitu nilai TBA (Thiobarbituric acid) dan total karoten.

C. ANALISIS

1. Bilangan Asam, Meode Titrasi (SNI 01-3555 1998)

Sampel minyak ditimbang sebanyak 2 gram dalam erlenmeyer 250 ml. Kemudian ditambahkan alkohol 95% dan dipanaskan sampai mendidih dalam penangas air sambil diaduk. Tambahkan indikator Penolpthalein 1% 1-2 tetes. Kemudian dititrasi dalam keadaan panas dengan NaOH 0,1 N sampai terbentuk warna merah muda yang tidak berubah selama 10 detik. Asam lemak bebas dihitung sebagai asam palmitat dengan rumus sebagai berikut:

As.Lemak Bebas = (titer sampel – titer blanko) x Normalitas NaOH x 2.56 Berat sampel (g)

2. Bilangan Peroksida, Metode Titrasi (AOAC,1990)

Sampel ditimbang sebanyak 5 gram ke dalam erlenmeyer 250ml kemudian ditambahkan sebanyak 30ml pelarut, dikocok sampai semua sampel larut. KI jenuh ditambahkan sebanyak 0.5 ml, didiamkan selama 2


(53)

menit di dalam ruang gelap. Kemudian ditambahkan 30ml air destilata. Kelebihan iod dititer dengan larutan tiosulfat 0.1 N, dengan cara yang sama dibuat penetapan untuk blanko. Bilangan Peroksida dihitung berdasarkan rumus :

Bil.Peroksida = (titer sampel-titer blanko) x NNa2S2O3 x 1000 Berat sampel (g)

3. Karotenoid, Metode Spektrofotometri (PORIM,1995)

Sampel ditimbang sebesar 0.1 gram ke dalam labu takar 25 ml. Kemudian ditepatkan hingga tanda tera dengan heksana. Pengenceran dilakukan apabila absorbansi yang diperoleh nilainya lebih dari 0.700. Absorbansi diukur pada panjang gelombang 446 nm dengan kuvet (lebar 1 cm). Konsentrasi karotenoid dalam sampel minyak sawit dihitung menggunakan panjang gelombang 446 nm menggunakan kuvet 1 cm dengan pelarut heksana.

Karoten (ppm) = 25 x 383 x (As-Ab) 100 x W Keterangan :

W = bobot sampel yang dianalisis (g) As = Absorbansi sampel

Ab = Absorbansi blanko

4. Kadar air, Metode Oven (AOAC, 1995)

Sampel sejumlah 3-5 gram ditimbang dan dimasukkan dalam cawan yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Kemudian sampel dan cawan dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC selama 6 jam. Cawan didinginkan dan ditimbang, kemudian dikeringkan kembali sampai diperoleh bobot tetap. Kadar air sampel dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Kadar air (g/100 g basis basah) = W – (W1 – W2) x 100 W


(1)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Penyimpanan mikroenkapsulat minyak sawit merah pada RH 93% menyebabkan perubahan sifat fisik dan kimia. Penyimpanan pada RH 93%, menyebabkan kadar air pada mikroenkapsulat meningkat. Meningkatnya kadar air menyebabkan terjadinya reaksi hidrolisa sehingga asam lemak bebas meningkat. Peningkatan kadar air juga menyebabkan struktur penyalut menjadi terbuka, sehingga memperbesar kontak minyak dengan oksigen dan menimbulkan autooksidasi. Perubahan fisik yang terjadi pada proses penyimpanan adalah penggumpalan pada mikroenkapsulat, sehingga menyebabkan persentase kelarutan menurun. Peningkatan kadar air pada mikroenkapsulat menyebabkan kualitas warna bubuk dan larutan mikroenkapsulat menurun.

Pada perlakuan pengaruh sinar UV, terdapat tiga perlakuan yang berbeda terhadap mikroenkapsulat yang akan disinar, yaitu perlakuan pertama mikroenkaspulat tidak dikerok dari plat kaca. Perlakuan kedua, mikroenkapsulat dikerok dari plat kaca, kemudian sebanyak 4 gram mikroenkapsulat diletakkan di cawan petri yang berdiameter 11 cm. Perlakuan ketiga, mikroenkapsulat dikerok dari plat kaca, dihaluskan menggunakan blender kering kemudian sebanyak 4 gram mikroenkapsulat diletakkan di cawan petri yang berdiameter 11 cm. Mikroenkapsulat dihaluskan hingga berukuran 250 µm. Dari hasil perhitungan anova dan uji Duncan, di dapat bahwa ada perbedaan di antara mikroenkapsulat dengan (p< 0.05). Ini menunjukkan bahwa ukuran partikel mempengaruhi stabilitas mikroenkapsulat terhadap pengaruh sinar UV. Semakin besar ukuran partikel mikroenkapsulat, maka penurunan total karoten semakin kecil. Hal ini disebabkan, semakin luasnya permukaan mikroenkapsulat, semakin tebal lapisan yang menutupi minyak sawit merah, sehingga dapat memperlambat penetrasi sinar UV.

Mikroenkapsulat formula Elisabeth (2003) dan Simanjuntak (2007) juga mendapat perlakuan pengaruh sinar UV. Dari hasil perhitungan anova dan uji Duncan, didapat bahwa tidak ada perbedaan di antara kedua formula


(2)

mikroenkapsulat dengan (p> 0.05). Ini menunjukkan bahwa stabilitas mikroenkapsulat formula Elisabeth (2007) dan formula Simanjuntak (2007), baik bentuk kasar maupun halus, tidak berbeda nyata. Ini menunjukkan kedua formula mikroenkapsulat minyak sawit merah memiliki stabilitas yang sama terhadap sinar UV.

Pendugaan umur simpan mikroenkapsulat minyak sawit merah dengan metode Arrhenius selama satu bulan berdasarkan parameter mutu bilangan TBA, menunjukkan bahwa mikroenkaspsulat minyak sawit merah yang dikemas alumunium foil di suhu 27ºC memiliki umur simpan 722.37 hari atau 24.07 bulan. Sedangkan berdasarkan parameter total karoten, mikroenkapsulat minyak sawit merah memiliki umur simpan 95.20 hari atau 3.17 bulan. Jadi berdasarkan dua parameter ini, umur simpan mikroenkapsulat minyak sawit merah adalah 24.07 bulan

B. SARAN

Mikroenkapsulat minyak sawit merah dapat dimanfaatkan sebagai alternatif sumber vitamin A dengan mempertimbangkan kemasan yang dapat memperpanjang umur simpan. Perlu dilakukan uji coba aplikasi mikroenkapsulat pada produk pangan dan karakterisasi stabilitas mikroenkapsulat pada produk pangan.


(3)

Lampiran 1. Hasil pengamatan mikroenkapsulat pada penyimpanan RH 93%

Lampiran 2. Total karoten minyak sawit merah pengaruh penyinaran UV No Jam

Total Karoten Ulangan I (ppm)

Total Karoten Ulangan

II (ppm) Rata-rata (ppm)

1 0 578 568 573

2 1 336 228 282

3 2 140 113 127

4 3 101 29 65

5 4 27 15 21

6 5 8 8 8

Penurunan

Karoten 98% 98% 98%

Lampiran 3. Total karoten mikroenkapsulat pada plat kaca pengaruh penyinaran UV No Jam

Total Karoten Ulangan I (ppm)

Total Karoten Ulangan

II (ppm) Rata-rata (ppm)

1 0 245 224 235

2 1 146 151 149

3 2 111 141 126

4 3 102 111 107

5 4 72 75 74

6 5 58 48 53

Penurunan

Karoten 76% 79% 78%

Lampiran 4. Total Karoten mikroenkaspulat ukuran besar pengaruh penyinaran UV No Jam

Total Karoten Ulangan I (ppm)

Total Karoten Ulangan

(ppm) Rata-rata (ppm)

1 0 232 206 219

2 1 120 179 150

3 2 85 118 102

4 3 49 73 61

5 4 25 40 33

6 5 20 25 23

No Hari kadar air (%) ALB (%) Bilangan Peroksida (meq/kg) Total Karoten (ppm) Kelarutan (%)

1 0 4.5 0.13 0.9 351 86.74

2 1 6.6 0.18 0.9 321 83.04

3 2 8.08 0.26 1.9 237 81.21

4 3 9.01 0.34 2.9 180 72.27

5 4 10.11 0.44 3.9 167 67.32


(4)

Lampiran 5. Total Karoten mikroenkapsulat ukura kecil (250mikrometer) pengaruh penyinaran UV

No Jam

Total Karoten Ulangan I (ppm)

Total Karoten Ulangan

II (ppm) Rata-rata (ppm)

1 0 203 206 205

2 1 103 121 112

3 2 73 100 87

4 3 42 81 62

5 4 17 27 22

6 5 12 10 11

Penurunan

Karoten 94% 95% 95%

Lampiran 6a. Hasil analisis sidik ragam pengaruh ukuran partikel terhadap stabilitas karoten

Univariate Analysis of Variance

Between-Subjects Factors

Value Label N

0 3

1 3

2 3

3 3

4 3

JAM

5 3

1 Halus 6

2 Kasar 6

PERLAK UA

3 Plat Kaca 6

Lampiran 6b. Hasil analisis sidik ragam pengaruh ukuran partikel terhadap stabilitas karoten

Uji Duncan

Subset

PERLAKUA N 1 2 3

Halus 6 83.17

Kasar 6 98.00

Plat Kaca 6 124.00

Sig. 1.000 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 85.456.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.


(5)

Lampiran 7a. Hasil analisis sidik ragam pengaruh formula terhadap stabilitas karoten

Univariate Analysis of Variance

Between-Subjects Factors

Value Label N

0 3

1 3

2 3

3 3

4 3

JAM

5 3

1 simanjuntak 6 2

minyak sawit

merah 6 FORMUL

A

3 Elisabeth 6

Lampiran 7b. Hasil analisis sidik ragam pengaruh formula terhadap stabilitas karoten

Uji Duncan

Subset

FORMULA N 1

Simanjuntak 6 83.17

Elisabeth 6 90.00

minyak sawit merah 6 179.33

Sig. .085

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 6923.033.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.


(6)