Keanekaragaman Dan Kelimpahan Kumbang Antena Panjang (Coleoptera:Cerambycidae) Di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Jawa Barat

KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN KUMBANG
ANTENA PANJANG (COLEOPTERA:CERAMBYCIDAE) DI
HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, JAWA BARAT

MIHWAN SATARAL

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keanekaragaman dan
Kelimpahan Kumbang Antena Panjang (Coleoptera:Cerambycidae) di Hutan
Pendidikan Gunung Walat, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor,

Oktober 2015

Mihwan Sataral
NIM G352130211

RINGKASAN
MIHWAN SATARAL. Keanekaragaman dan Kelimpahan Kumbang Antena
Panjang (Coleoptera:Cerambycidae) di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Jawa
Barat. Dibimbing oleh TRI ATMOWIDI dan WORO A NOERDJITO.
Kumbang antena panjang (Coleoptera: Cerambycidae) adalah serangga
penting dalam ekosistem hutan karena ketergantungan mereka pada sumber
makanan di berbagai jenis pohon. Dalam ekosistem, kumbang antena panjang
memiliki peran penting dalam siklus nutrisi. Beberapa spesies kumbang antena
panjang berperan sebagai polinator. Larva kumbang antena panjang, hidup
sebagai pengebor kayu, yang cenderung memilih kayu mati atau kering yang
sedang melapuk, dan beberapa spesies diketahui sebagai hama. Kumbang antena
panjang juga dapat berperan sebagai indikator suatu kawasan hutan. Hutan

Pendidikan Gunung Walat memiliki berbagai jenis tegakan pohon, diantaranya
Agathis, pinus, dan puspa. Dalam penelitian ini dipelajari keanekaragaman,
kelimpahan, dan kesamaan komunitas kumbang antena panjang berdasarkan tipe
habitat di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Jawa Barat.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2014 – April 2015 di
lima tipe habitat hutan, yaitu hutan puspa, hutan Agathis, hutan pinus, hutan
campuran, dan hutan alami. Koleksi kumbang dilakukan pada bulan September
dan Oktober 2014 dengan menggunakan perangkap cabang berdaun segar dari
tumbuhan nangka (Artocarpus trap) yang diikatkan di pohon setinggi 1,5 m dari
permukaan tanah. Setiap lokasi penelitian dipasang 10 perangkap dengan jarak
antar perangkap sekitar 100 m. Koleksi sampel dilakukan pada hari ke-4, 8, 12, 16,
dan 20 pada bulan September dan ke-4, 8, 12, dan 16 pada bulan Oktober, setelah
pemasangan perangkap dengan cara memukul (beating) perangkap.
Spesimen kumbang diidentifikasi di Laboratorium Entomologi LIPI
Cibinong, kemudian diverifikasi dengan spesimen koleksi di Museum Zologicum
Bogoriense. Data kumbang dianalisis, meliputi indeks keanekaragaman ShannonWiener (H’), indeks kemerataan (E) menggunakan program R versi 3.1.3 dan
indeks kesamaan Bray-Curtis menggunakan program PAST (Paleontological
Statistics) versi 2.17c. Kurva akumulasi spesies yang diperoleh berdasarkan
jumlah koleksi menggunakan program EstimateS versi 9 dengan tingkat
kepercayaan 95%.

Total jumlah individu kumbang yang didapatkan sebanyak 2065 individu,
terdiri dari 7 tribe, 12 genus, dan 16 spesies. Jumlah individu kumbang tertinggi
terdapat di hutan Agathis (655 individu), diikuti hutan campuran (416 individu),
hutan alami (386 individu), hutan pinus (364 individu), dan hutan puspa (244
individu). Beberapa spesies memiliki jumlah individu tinggi, yaitu Sybra binotata
(1247 individu), Ropica strandi (249 individu), Acalolepta rusticatrix (178
individu), Sybra fuscotriangularis (146 individu), dan Pterolophia melanura (129
individu).
Keanekaragaman kumbang tertinggi ditemukan pada habitat hutan alami
(H' = 1,80), diikuti hutan pinus (H'= 1,62), hutan campuran (H'= 1,267), hutan
puspa (H'= 1,028), dan hutan Agathis (H'= 0.556). Nilai indeks kemerataan
spesies tertinggi ditemukan pada habitat hutan alami (E= 0,750), diikuti hutan
pinus (E= 0,703), hutan campuran (E= 0,509), hutan puspa (E= 0,428), dan hutan

Agathis (E= 0,232). Kesamaan komunitas kumbang antena panjang antar habitat
berdasarkan indeks kesamaan Bray-Curtis, didapatkan nilai tertinggi (0,75) yaitu
antara habitat hutan alami dan hutan pinus.
Jumlah individu yang didapatkan pada koleksi bulan September tertinggi
pada koleksi hari ke-8 dan rendah pada koleksi hari ke-20. Pada koleksi bulan
Oktober, jumlah individu tertinggi dikoleksi pada hari ke-8 dan rendah pada

koleksi pada hari ke-16. Kumbang C. montanus, R. strandi, S. fuscotriangularis,
M. javanicus, N. notatus, dan E. artocarpi merupakan spesies endemik di pulau
Jawa. Kumbang Ropica marmorata merupakan catatan baru (new record)
mengenai distribusinya di pulau Jawa.
Kata kunci: Keanekaragaman, kelimpahan, kumbang antena panjang, Gunung
Walat

SUMMARY
MIHWAN SATARAL. Diversity and Abundance of Longhorn Beetle (Coleoptera
: Cerambycidae) in Gunung Walat Education Forest, West Java. Supervised by
TRI ATMOWIDI and WORO A NOERDJITO.
Longhorn beetles are important insect in forest ecosystem due to their
dependence on food sources in various species of trees. In natural ecosystems,
longhorn beetle have an important role in nutrient cycling and some species role
as pollinators. Larvae of longhorn beetles are wood borer and tend to choose dead
or decaying wood and some species are known as pests. The longhorn beetles can
be used as indicator of forest conditions. Gunung Walat Education Forest have
various of trees species, included Agathis, pine, and Schima. The aims of this
research were to study the diversity and abundance of longhorn beetles
communities in different types of plantation forest at Gunung Walat Education

Forest, West Java.
The study was conducted on September 2014 – April 2015 in five types of
forest, i.e. Schima forest, Agathis forest, pine forest, mixed forest, and natural
forest in Gunung Walat Education Forest, West Java. Longhorn beetles were
collected in September and October 2014, using branch of jackfruit (Artocarpus
trap) with fresh leaves that tied up to tree trunk as high as 1.5 m from the ground.
In each type of forest was set up 10 traps and the distance between the trap was
approximately 100 m. Collection of longhorn beetles were conducted on days 4, 8,
12, 16, and 20, respectively in September and days 4, 8, 12, and 16 respectively in
October, after traps setup by using beating method.
The beetle specimens were identified in the Laboratory of Entomology,
Indonesian Institute of Science (LIPI) Cibinong and were verified with the
specimen references in Museum Zoologicum Bogoriense. Data of longhorn
beetles were analyzed using Shannon-Wiener index (H'), evenness index (E)
using R program version 3.1.3 and Bray-Curtis similarity index by using PAST
program version 2.17c. The species accumulation curve was contructed based on
time of collections by using EstimateS 9, with 95% confidence level.
A total of 2065 individuals were found from this study, consisted of 7 tribes,
12 genera, and 16 species. The highest number of individuals was found in
Agathis forest (655 individuals), followed by mixed forest (416 individuals),

natural forest (386 individuals), pine forest (364 individuals), and Schima forest
(244 individuals). Some species have a high abundance, i.e. Sybra binotata (1247
individuals), Ropica strandi (249 individuals), Acalolepta rusticatrix (178
individuals), Sybra fuscotriangularis (146 individuals), and Pterolophia melanura
(129 individuals).
The highest diversity of longhorn beetle was in natural forest (H'=1.80),
followed by pine forest (H'=1.62), mixed forest (H'=1.267), Schima forest
(H'=1.028), and Agathis forest (H'=0.556). The evenness of beetles was highest in
natural forest (E= 0.750), followed by pine forest (E= 0.703), mixed forest (E=
0.509), Schima forest (E= 0.428), and Agathis forest (E= 0.232). Based on the
Bray-Curtis similarity index, similarity of longhorn beetles was highest between
natural forest and pine forest (0,75).

The number of individuals collected in September, was highest in day 8 and
lowest in day 20. In October, the number of individuals was highest in day 8 and
lowest in day 16. Beetles, Cleptometopus montanus, Ropica strandi, Sybra
fuscotriangularis, Myagrus javanicus, Notomulciber notatus, and Exocentrus
artocarpi are endemic species in Java and Ropica marmorata is a new record of
distribution in Java island.
Keywords: Diversity, abundance, longhorn beetles, Gunung Walat


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN KUMBANG
ANTENA PANJANG (COLEOPTERA:CERAMBYCIDAE) DI
HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, JAWA BARAT

MIHWAN SATARAL

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains

pada
Program Studi Biosains Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Rika Raffiudin, MSi

Judul Tesis : Keanekaragaman dan Kelimpahan Kumbang Antena Panjang
(Coleoptera : Cerambycidae) di Hutan Pendidikan Gunung Walat,
Jawa Barat.
Nama
: Mihwan Sataral
NIM
: G352130211

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing


Dr Tri Atmowidi, MSi
Ketua

Prof Dr Woro A. Noerdjito
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Biosains Hewan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir RR Dyah Perwitasari, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 10 Agustus 2015


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Keanekaragaman dan Kelimpahan
Kumbang Antena Panjang (Coleoptera:Cerambycidae) di Hutan Pendidikan
Gunung Walat, Jawa Barat berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan sejak
bulan September 2014. Penelitian ini terlaksana atas bantuan dana dari Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI)
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Tri Atmowidi dan Prof Dr
Woro Anggraitoningsih Noerdjito selaku pembimbing yang telah banyak
memberikan saran, nasihat serta bimbingan selama penelitian di lapangan dan
penulisan tesis. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada:
1. Rektor Universitas Tadulako, Dekan Fakultas MIPA, dan Ketua Jurusan
Biologi Fakultas MIPA UNTAD yang telah memberikan rekomendasi untuk
melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).
2. Institut Pertanian Bogor Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor (IPB) atas izin untuk melanjutkan studi pada Mayor Biosains
Hewan.
3. Ketua Program Studi Biosains Hewan, staf pengajar serta laboran atas segala

ilmu, bimbingan dan fasilitas yang telah diberikan selama studi.
4. Direktur Eksekutif dan Staf Hutan Pendidikan Gunung Walat Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB) atas izin dan fasilitas yang diberikan
selama melaksanakan penelitian.
5. Kepala Divisi Zoologi, Peneliti dan Staf di Laboratorium Entomologi,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong yang telah
menyediakan fasilitas dan membantu dalam proses identifikasi spesimen.
Terimakasih penulis sampaikan kepada Endang Prasetyawati
Wahyunungsih SSi, Rizaldi SPd MSi, Andi Dewi Riska, Matius Paundanan SSi
dan Rahmat Pangestu SSi yang telah membantu dalam proses koleksi sampel di
lapangan, serta teman-teman BSH angkatan 2013 atas kerjasama dan persahabatan
selama ini. Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada teman-teman Himpunan
Mahasiswa Pascasarjana Sulawesi Tengah atas bantuan dan kerjasamanya.
Ungkapan terimakasih dan kecintaan kepada ayah, ibu, istri, kakak dan
seluruh keluarga atas segala do’a, dukungan dan kasih sayang yang telah
diberikan. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Bogor,

Oktober 2015
Mihwan Sataral

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
2
2
2
2

METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Pengumpulan Spesimen Kumbang
Preservasi dan Identifikasi Spesimen Kumbang
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Keanekaragaman dan Kelimpahan Kumbang Antena Panjang

3
3
4
5
5
6
6
6

Pembahasan
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

11
14
14
19
30

DAFTAR TABEL
1 Jumlah spesies dan individu kumbang antena panjang yang ditemukan
di hutan pinus (HPi), Agathis (HAg), puspa (HPu), campuran (HCa),
dan hutan alami (HAl).
2 Matriks kesamaan komunitas kumbang antena panjang antara habitat
hutan pinus (HPi), hutan Agathis (HAg), hutan puspa (HPu), hutan
campuran (HCa), dan hutan alami (HAl) berdasarkan indeks BrayCurtis menggunakan metode Bray-Curtis distance.

7

9

DAFTAR GAMBAR
1. Lokasi pengambilan sampel kumbang antena panjang di Hutan
Pendidikan Gunung Walat; hutan pinus (A), hutan puspa (B), hutan
Agathis (C), hutan campuran (D), dan hutan alami (E).
2. Desain pemasangan Artocarpus trap yang digunakan untuk
pengumpulan spesimen kumbang.
= Perangkap, AT = Artocarpus
trap, 1-10 menunjukan nomor perangkap
3. Perangkap cabang tumbuhan nangka Artocarpus trap yang diikatkan
pada pohon (a) dan pengumpulan spesimen kumbang dengan metode
beating (b).
4. Kumbang antena panjang yang terkoleksi di HPGW: Ropica
marmorata (a), R. strandi (b), R. honesta (c), Sybra binotata (d), S.
fuscotriangulaaris (e), Apomecynini sp. (f), P. melanura (g), P.
uniformis (h), N. notatus (i), G. sticticollis (j), A. rusticatrix (k), P.
bipuncatus (l), E. luscus (m), M. javanicus (n), E. artocarpi (o), dan C.
montanus (p).
5. Dendogram kesamaan komunitas kumbang antena panjang pada habitat
hutan pinus (HPi), hutan Agathis (HAg), hutan puspa (HPu), hutan
campuran (HCa) dan hutan alami (HAl) berdasarkan matriks BrayCurtis menggunakan metode pair-group average.
6. Jumlah individu kumbang antena panjang yang didapatkan pada habitat
hutan pinus (HPi), hutan Agathis (HAg), hutan puspa (HPu), hutan
campuran (HCa), dan hutan alami (HAl) berdasarkan waktu koleksi;
koleksi bulan September (a), dan koleksi bulan Oktober (b).
7. Jumlah spesies kumbang antena panjang yang didapatkan pada habitat
hutan pinus (HPi), hutan Agathis (HAg), hutan puspa (HPu), hutan
campuran (HCa), dan hutan alami (HAl) berdasarkan waktu koleksi;
koleksi bulan September (a) dan koleksi bulan Oktober (b).
8. Kurva akumulasi spesies kumbang antena panjang pada keseluruhan
habitat setiap koleksi berdasarkan data observasi dan estimasi Jacknife2.

4

5

5

8

9

10

11

12

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

7
8
9

Kunci determinasi subordo dan famili dari ordo Coleoptera
Karakter subordo kumbang; (a) Adephaga, (b) Polyphaga.
Karakter famili kumbang; (a) Curculionoidea, (b) Chrysomeloidea.
Karakter famili kumbang; (a) Chrysomelidae, (b) Cerambycidae.
Kunci determinasi untuk subfamili dari famili Cerambycidae.
Sketsa karakter morfologi subfamili Lamiinae dalam famili
Cerambycidae; Necydalinae (a), Parandrinae (b), Prioninae (c),
Dorcasominae (d), Lepturinae (e), Spondylidinae (f), Cerambycinae
(g), dan Lamiinae (h), menggunakan software Snapstouch
(http://www.snapstouch.com/Sketch.aspx). Sumber gambar: Slipinski
dan Escalona 2013; Nearns et al. 2015).
Deskripsi morfologi kumbang antena panjang.
Kunci determinasi tribe dan spesies dari subfamili Lamiinae.
Morfologi tribe dari subfamili Lamiinae; Apomecynini (a),
Pteropliini (b), Gnomini (c), Agapanthiini (d), Monochamini (e),
Homonoeini (f), dan Pogonocherini (g).

19
19
19
20
20

21
22
26

27

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Serangga mempunyai peran penting dalam menjaga keseimbangan hutan
dan dapat digunakan sebagai indikator kondisi ekosistem hutan. Pembukaan hutan
untuk lahan pertanian atau keperluan lainnya menyebabkan penurunan
kelimpahan dan keragaman spesies hutan (Sutrisno 2010). Kumbang merupakan
kelompok serangga yang berperan penting dalam struktur trofik (Dagobert et al.
2008).
Kumbang antena panjang famili Cerambycidae merupakan salah satu
kelompok kumbang yang paling beragam dengan lebih dari 35.000 spesies. Di
Indonesia, sekitar 800 spesies kumbang antena panjang telah dilaporkan dari
hutan dataran rendah di Kalimantan Timur (Makihara et al. 1999), 128 spesies
dari Taman Nasional Gunung Halimun (Makihara et al. 2002), 178 spesies
tersimpan di Museum Zoologicum Bogoriense (Makihara dan Noerdjito 2004), 38
spesies dari Taman Nasional Gunung Ciremai (Noerdjito 2008), 13 spesies dari
Kebun Raya Bogor (Noerdjito 2010), 38 spesies didapatkan dari bagian selatan
Gunung Salak (Noerdjito 2012), dan 72 spesies dari perkebunanan masyarakat
dan hutan karet di Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi (Fahri 2013).
Sebagian besar larva spesies kumbang antena panjang hidup sebagai
pengebor kayu, yang cenderung memilih kayu mati atau kering yang sedang
melapuk (Hanks 1999; Noerdjito 2010; Raje et al. 2012). Kumbang dewasa
merupakan pemakan nektar, pucuk daun, dan kulit kayu (Noerdjito 2011).
Beberapa jenis kumbang ini hidup pada kayu tanaman industri, sehingga dianggap
sebagai hama (Noerdjito 2010). Beberapa spesies kumbang ini juga mempunyai
tumbuhan inang spesifik, namun beberapa spesies dapat hidup pada berbagai
tumbuhan (Waqa-Sakiti et al. 2013). Kumbang antena panjang menggunakan
reseptor penciuman untuk menemukan tanaman inang yang cocok (Linsley 1959;
Goldsmith et al. 2007).
Kumbang antena panjang berperan penting dalam proses dekomposisi dan
siklus hara untuk keseimbangan ekosistem hutan (Nieto dan Alexander 2010).
Beberapa spesies kumbang ini berperan sebagai polinator (Gutowski 1990;
Hawkeswood dan Turner 2007). Populasi spesies kumbang ini bervariasi,
tergantung tipe hutan (Maeto et al. 2002; Ohsawa 2004) dan luasan hutan (Pavuk
dan Wadsworth 2013). Kehidupan kumbang antena panjang sangat tergantung
pada tumbuhan, sehingga kumbang ini dapat dipakai sebagai indikator suatu
kawasan hutan (Ohsawa 2010; Noerdjito 2011; Lachat et al. 2012).
Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) merupakan hutan pendidikan
yang dikelola oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) sejak tahun 1969 sesuai Surat
Keputusan dari Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 1973,
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian, IPB mendapatkan hak
pengelolaan sepenuhnya atas HPGW (Damayanti 2003). HPGW merupakan salah
satu hutan pendidikan yang memiliki tujuan edukasi khusus, namun kini telah
memiliki tujuan yang luas. Selain tujuan pelestarian hutan, HPGW menghasilkan
hasil hutan bukan kayu.

2
Hutan Pendidikan Gunung Walat terletak pada ketinggian 500-700 mdpl
dengan kondisi topografi bergunung (98 ha), berbukit (42 ha), bergelombang (23
ha), berombak (9 ha), dan datar (4 ha) dengan luas total area saat ini sekitar 349
ha (Syaufina et al. 2007). Vegetasi di kawasan ini didominasi oleh beberapa jenis
pohon yang sebagian besar adalah hutan tanaman yang ditanam sejak tahun 1958,
yaitu Agathis (Agathis loranthifolia), tusam (Pinus merkusii), puspa (Schima
walichii) (Roslinda 2002; Haneda dan Firmansyah 2012). Jenis pohon yang ada di
kawasan ini memberikan kontribusi terhadap kehidupan hewan termasuk serangga.
Sejauh ini, penelitian mengenai kumbang antena panjang di HPGW belum
pernah dilakukan. Beberapa penelitian mengenai serangga yang telah dilakukan di
HPGW yaitu keanekaragaman jenis lebah (Purawidjaja dan Muntasib 1989) dan
keanekaragaman arthropoda tanah (Syaufina et al. 2007). Kumbang antena
panjang dapat berperan sebagai indikator suatu kawasan hutan dan juga sebagai
hama bagi tanaman industri. Oleh karena itu, perlu adanya kajian mengenai
keanekaragaman dan kelimpahan kumbang antena panjang di HPGW.

Perumusan Masalah
Hutan Pendidikan Gunung Walat merupakan salah satu hutan pendidikan
yang memiliki berbagai tipe hutan. Variasi tipe habitat yang terdapat di HPGW
berpengaruh terhadap keberadaan kumbang antena panjang. Kumbang antena
panjang adalah spesies penting dalam ekosistem hutan karena sumber pakan
kumbang ini tergantung pada berbagai jenis pohon. Pengaruh tipe terhadap
keanekaragaman dan kelimpahan kumbang antena panjang dipelajari dalam
penelitian ini

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keanekaragaman dan
kelimpahan kumbang antena panjang pada habitat hutan pinus, hutan Agathis,
hutan puspa, hutan campuran, dan hutan alami di Hutan Pendidikan Gunung
Walat.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan data awal mengenai
keanekaragaman dan kelimpahan kumbang antena panjang pada beberapa tipe
habitat. Pengaruh tipe hutan terhadap populasi kumbang antena panjang juga
dapat diketahui. Data yang didapatkan juga diharapkan dapat digunakan sebagai
dasar dalam usaha konservasi kumbang antena panjang dan habitatnya.

3

METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2014 – April 2015.
Pengambilan sampel kumbang dilakukan di lima tipe habitat di Hutan Pendidikan
Gunung Walat Kabupaten Sukabumi (Gambar 1).

D

A
E

B

C

Gambar 1 Lokasi pengambilan sampel kumbang antena panjang di Hutan
Pendidikan Gunung Walat; hutan pinus (A), hutan puspa (B), hutan
Agathis (C), hutan campuran (D), dan hutan alami (E).

Penentuan lokasi penelitian berdasarkan tipe habitat, yaitu hutan puspa,
hutan Agathis, hutan pinus, hutan campuran (puspa, pinus dan Agathis) dan hutan
alami. Deskripsi masing-masing lokasi penelitian sebagai berikut:
Hutan puspa didominasi oleh pohon puspa, terletak pada koordinat 06o54’768”
LS dan 106 o49’141” BT, dengan ketinggian tempat 578 m dpl. Lokasi ini banyak
ditemukan berbagai spesies tumbuhan bawah.
Hutan Agathis didominasi oleh pohon Agathis, terletak pada koordinat 06o55’047”
LS dan 106o49’432” BT, dengan ketinggian tempat 576 m dpl, tumbuhan bawah
didominasi oleh paku-pakuan (Polypodiaceae).
Hutan pinus didominasi oleh pohon pinus, terletak pada koordinat 06 o54’936” LS
dan 106o49’711” BT, dengan ketinggian tempat 669 m dpl. Sebagian wilayahnya
jarang ditumbuhi tumbuhan bawah, kecuali pada daerah yang berbatasan langsung
dengan hutan alami.

4
Hutan campuran ditemukan berbagai jenis pohon yang dominan, diantaranya
puspa, pinus, dan Agathis, terletak pada koordinat 06 o54'566” LS dan
106o49’101” BT, dengan ketinggian tempat 689 m dpl. Daerah ini banyak
ditemukan berbagai spesies tumbuhan bawah.
Hutan alami merupakan kawasan hutan yang tumbuh secara alami, banyak
ditemukan berbagai jenis pohon dengan tingkat penutupan tajuk cukup tinggi.
Daerah ini terletak pada koordinat 06o54'931” LS dan 106 o49’860” BT, dengan
ketinggian tempat 591 m dpl.

Pengumpulan Spesimen Kumbang
Kumbang antena panjang dikumpulkan dengan menggunakan perangkap
cabang berdaun segar dari tumbuhan nangka (Artocarpus heterophyllus) yang
disebut Artocarpus trap (Noerdjito 2008). Perangkap ini berupa cabang berdaun
segar A. heterophyllus dan diikatkan di pohon dengan ketinggian 1-1,5 m dari
permukaan tanah (Gambar 3a). Setiap lokasi penelitian dipasang sebanyak 10
perangkap di sepanjang jalur dengan jarak antar perangkap sekitar 100 m (Gambar
2). Koleksi sampel dilakukan setiap 4 hari setelah perangkap dipasangkan sampai
daun perangkap rontok. Pemasangan perangkap dilakukan dua kali ulangan
(September dan Oktober) sehingga total perangkap yang digunakan adalah 100
perangkap. Koleksi kumbang pada bulan September dilakukan pada hari ke-4, ke8, ke-12, ke-16, dan ke-20, sedangkan pada bulan Oktober dilakukan pada hari ke4, ke-8, ke12, dan ke-16. Koleksi kumbang dilakukan dengan cara memukul
(beating) perangkap yang di bawahnya terdapat penadah berupa kain putih
berukuran 150 cm x 100 cm (Gambar 3b). Kumbang yang didapatkan dimasukan
ke dalam botol yang di dalamnya terdapat kapas yang ditetesi cairan etil asetat,
setelah itu kumbang disimpan ke dalam kertas papilot untuk koleksi kering.

AT 3

AT 1

100 m

AT 2

Gambar 2

AT 5

AT 4

AT 7

AT 6

AT 9

AT 8

AT 10

Desain pemasangan Artocarpus trap yang digunakan untuk
pengumpulan spesimen kumbang. = Perangkap, AT = Artocarpus
trap, 1-10 menunjukan nomor perangkap

5

b

a

Gambar 3 Perangkap cabang tumbuhan nangka Artocarpus trap yang diikatkan
pada pohon (a) dan pengumpulan spesimen kumbang dengan metode
beating (b).
Preservasi dan Indentifikasi Spesimen Kumbang
Proses pinning dilakukan khusus kumbang yang ukuran tubuhnya lebih dari
10 mm, dengan cara menusukan jarum serangga ke bagian kanan elitra. Kumbang
yang berukuran kurang dari 10 mm ditempelkan pada kertas tebal berbentuk
segitiga memanjang. Spesimen kemudian diberi label dengan keterangan meliputi
lokasi, titik koordinat, waktu koleksi, dan nama kolektor. Spesimen kumbang
kemudian dimasukan ke dalam oven selama 1 minggu dan freezer selama 1
minggu. Identifikasi berdasarkan karakter morfologi pada tingkat subordo hingga
famili (Lampiran 1, 2, 3, dan 4) merujuk pada referensi (Lawrence dan Ślipiński
2013). Identifikasi karakter morfologi serta pembuatan kunci determinasi tingkat
subfamil, tribe dan spesies (Lampiran 5, 6, 8, dan 9) merujuk pada referensi
Cherepanov (1990), Slipinski dan Escalona (2013), dan Nearns et al. (2015).
Distribusi spesies kumbang antena panjang merujuk pada Makihara (1999),
Makihara et al. (2002), Makihara dan Noerdjito (2004), Heffern (2013), dan
Bezark (2015). Hasil identifikasi kemudian diverfikasi dengan spesimen koleksi
di Museum Zologicum Bogoriense. Penulisan istilah morfologi kumbang merujuk
pada Sosromarsono et al. (2010).
Analisis Data
Keseluruhan spesies kumbang yang ditemukan dihitung jumlah individu dan
spesiesnya. Data kumbang dianalisis, dengan indeks keanekaragaman ShannonWiener (H’), indeks kemerataan (E) menggunakan program R versi 3.1.3
(https://www.r-project.org) dan indeks kesamaan Bray-Curtis menggunakan
program PAST versi 2.17c (http://folk.uio.no/ohammer/past). Kurva akumulasi
spesies dikontruksi berdasarkan jumlah individu yang terkoleksi menggunakan
program EstimateS versi 9 (http://viceroy.eeb.uconn.edu/estimates/) dengan
tingkat kepercayaan 95%.

6

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Keanekaragaman dan Kelimpahan Kumbang Antena Panjang
Jumlah individu kumbang antena panjang yang didapatkan di lokasi
penelitian sebanyak 2065 individu, yang termasuk dalam 7 tribe, 12 genus, dan 16
spesies (Tabel 1; Gambar 4; Lampiran 4). Jumlah individu tertinggi dikoleksi dari
hutan Agathis (655 individu), diikuti hutan campuran (416 individu), hutan alami
(386 individu), hutan pinus (364 individu), dan hutan puspa (244 individu).
Komposisi spesies kumbang antena panjang yang ditemukan pada masing-masing
habitat bervariasi. Tiga spesies hanya ditemukan di hutan alami dan enam spesies
ditemukan di semua tipe habitat. Nilai indeks keanekaragaman dan kemerataan
tertinggi terdapat di hutan alami (H=1,800; 0,750), diikuti hutan pinus (H=1,620;
E=0,703), hutan campuran (H=1,267: E=0,509), hutan puspa (H=1,028; E=0,428),
dan hutan Agathis (H=0,556; E=0,232) (Tabel 1).
Tabel 1 Jumlah spesies dan individu kumbang antena panjang yang ditemukan di
hutan pinus (HPi), Agathis (HAg), puspa (HPu), campuran (HCa), dan
hutan alami (HAl).
Subfamili/Tribe/Spesies
Lamiinae
Agapanthiini
Cleptometopus montanus
Apomecynini
Ropica strandi
Ropica honesta
Ropica marmorata
Sybra binotata
Sybra fuscotriangularis
Apomecynini sp.
Gnomini
Gnoma sticticollis
Homonoeini
Notomulciber notatus
Monochamini
Acalolepta rusticatrix
Myagrus javanicus
Epepeotes luscus
Pelargoderus bipunctatus
Pogonocherini
Exocentrus artocarpi
Pteropliini
Pterolophia melanura
Pterolophia uniformis
Jumlah individu
Jumlah spesies
Indeks keanekaragaman (H')
Indeks kemerataan (E)

Habitat
HPu

Jumlah

Persentase
(%)

0

2

0.10

16
1
1
256
60
0

126
0
0
78
43
1

249
3
2
1247
146
1

12.06
0.15
0.10
60.39
7.07
0.05

0

0

1

1

0.05

1

1

3

0

6

0.29

34
0
3
3

38
0
1
2

7
0
0
1

55
0
3
1

44
2
1
0

178
2
8
7

8.62
0.10
0.39
0.34

6

2

0

5

6

19

0.92

31
11
364
10
1.623
0.705

21
9
655
11
0.556
0.232

15
8
244
11
1.028
0.429

14
1
416
12
1.264
0.527

47
37
386
11
1.8
0.751

128
66
2065

6.20
3.20

HPi

Hag

HCa

HAl

0

1

1

0

87
0
0
155
33
0

3
0
0
575
2
0

17
2
1
183
8
0

0

0

1

7

(d)
(a)

(e)

(e)

(i)

(m)

(b)

(c)

(f)

(g)

(d)

(h)

(f)

(g)

(h)

(j)

(k)

(l)

(n)

(o)

(p)

Gambar 4 Kumbang antena panjang yang terkoleksi di HPGW: Ropica
marmorata (a), R. strandi (b), R. honesta (c), Sybra binotata (d), S.
fuscotriangulaaris (e), Apomecynini sp. (f), P. melanura (g), P.
uniformis (h), N. notatus (i), G. sticticollis (j), A. rusticatrix (k), P.
bipuncatus (l), E. luscus (m), M. javanicus (n), E. artocarpi (o), dan
C. montanus (p).

8
Kesamaan komunitas kumbang antena panjang berdasarkan indeks
kesamaan Bray-Curtis, tertinggi (0,75) antara habitat hutan alami - hutan pinus,
diikuti antara hutan puspa - hutan campuran (0,71) (Tabel 2).
Tabel 2 Matriks kesamaan komunitas kumbang antena panjang antara habitat
hutan pinus (HPi), hutan Agathis (HAg), hutan puspa (HPu), hutan
campuran (HCa), dan hutan alami (HAl) berdasarkan indeks Bray-Curtis
menggunakan metode Bray-Curtis distance.
Matriks kesamaan komunitas
Habitat
HPi
HAg
HPu
HCa
Hal
HPi
HAg
0,45
HPu
0,70
0,49
HCa
0,67
0,60
0,71
HAl
0,75
0,30
0,42
0,50
Berdasarkan dendogram yang dibentuk, terdapat 3 kelompok komunitas
kumbang yaitu hutan puspa – hutan campuran, hutan alami- hutan pinus, dan
hutan Agathis (Gambar 5). Terdapat kemiripan komunitas kumbang antena
panjang antara hutan alami - hutan pinus (75%) dan hutan campuran - hutan
puspa (71%).
Similarity
0.95

0.90

0.85

0.80

0.75

0.70

0.65

0.60

0.55

0.50

0.45

HPu
HCa
HAl
HPi
HAg

Gambar 5 Dendogram kesamaan komunitas kumbang antena panjang antara
habitat hutan pinus (HPi), hutan Agathis (HAg), hutan puspa (HPu),
hutan campuran (HCa) dan hutan alami (HAl) berdasarkan matriks
Bray-Curtis menggunakan metode pair-group average.
Kelimpahan individu kumbang antena panjang pada masing-masing habitat
berbeda. Jumlah individu tertingi terdapat pada hutan Agathis dan terendah pada
hutan puspa (Tabel 2). Beberapa spesies memiliki jumlah individu yang tinggi,
yaitu S. binotata (1247 individu), R. strandi (249 individu), A. rusticatrix (178
individu), S. fuscotriangularis (146 individu), dan P. melanura (129 individu).
Jumlah individu yang didapatkan berdasarkan waktu koleksi bervariasi pada
masing-masing habitat. Pada koleksi bulan September (Gambar 6a), jumlah

9
individu tertinggi pada koleksi hari ke-8 (473 individu) dan terendah pada hari ke20 (189 individu). Koleksi bulan Oktober (Gambar 6b), jumlah individu tertinggi
pada hari ke-8 (253 individu) dan terendah pada hari ke-16 (81 individu). Jumlah
spesies kumbang yang didapatkan pada masing-masing waktu koleksi bervariasi
(Gambar 7).
HAl

500

HCa
HPu

450

Jumlah individu

400

HAg

350

HPi

300

Total

250
200
150
100
50
0
4

8

12

16

20

Hari koleksi
(a)

HAl
HCa
HPu
HAg
HPi
Total

300

Jumlah individu

250
200
150
100
50
0
4

8

12

16

Hari koleksi
(b)

Gambar 6 Jumlah individu kumbang antena panjang yang didapatkan pada
habitat hutan pinus (HPi), hutan Agathis (HAg), hutan puspa (HPu),
hutan campuran (HCa), dan hutan alami (HAl) berdasarkan waktu
koleksi; koleksi bulan September (a) dan koleksi bulan Oktober (b).

10
14

HAl
HCa

12

Hasil

HPi

Jumlah spesies

10

HPu
HAg

8

Total

6
4
2
0
4

8

12
Hari koleksi
(a)

16

20

HAl

Jumlah spesies

9

HCa

8

HPi

7

HPu
HAg

6

Total

5
4
3
2
1
0
4

8

12

16

Hari koleksi
(b)

Gambar 7 Jumlah spesies kumbang antena panjang yang didapatkan pada habitat
hutan pinus (HPi), hutan Agathis (HAg), hutan puspa (HPu), hutan
campuran (HCa), dan hutan alami (HAl) berdasarkan waktu koleksi;
koleksi bulan September (a) dan koleksi bulan Oktober (b).
Berdasarkan kurva akumulasi spesies berupa nilai estimasi S observasi (16
spesies) dan estimasi Jacknife-2, jumlah spesies yang dikumpulkan dari semua
habitat mencapai 81,5% dari keseluruhan spesies yang ada (19,64 spesies)
(Gambar 8).

11
25

Jumlah spesies

20

19.64
16

15

S observasi
Estimasi
Jacknife-2

10
5
0
1

2

3

4

5

6

7

8

9

Jumlah koleksi

Gambar 8 Kurva akumulasi spesies kumbang antena panjang pada keseluruhan
habitat setiap koleksi berdasarkan data observasi dan estimasi
Jacknife-2.

Pembahasan
Semua spesies kumbang yang ditemukan termasuk dalam subfamili
Lamiinae. Sub famili Lamiinae merupakan kelompok terbesar dari famili
Cerambycidae (Hanks 1999; Noerdjito et al. 2002) yaitu sekitar 35.000 spesies
dari famili Cerambycidae (Noerdjito et al. 2011) dan sekitar 20.000 spesies
diantaranya dari subfamili Lamiinae (Slipinski dan Escalona 2013). Kumbang
antena panjang yang ditemukan di Gunung Halimun (Makihara et al. 2002),
Gunung Ciremai (Noerdjito 2008), Kebun Raya Bogor (Noerdjito 2010), Gunung
Slamet (Noerdjito 2011) dan Gunung Salak (Noerdjito 2012) umumnya
merupakan spesies dari subfamili Lamiinae dan sebagian besar spesies dari
kelompok ini aktif pada siang hari (Noerdjito 2008).
Tingginya keanekaragaman kumbang antena panjang di hutan alami terkait
struktur vegetasi dengan berbagai jenis tumbuhan. Hal ini berbeda dengan hutan
Agathis yang cenderung monokultur dan tumbuhan bawah didominasi oleh pakupakuan. Hasil penelitian ini mendukung laporan Keszthelyi (2015) bahwa
keanekaragaman kumbang antena panjang lebih tinggi pada hutan yang memiliki
jenis pohon yang beragam dibandingkan dengan hutan monokultur. Keberadaan
kumbang antena panjang dipengaruhi oleh jenis tumbuhan (Ohsawa 2004; 2010).
Meng et al. (2013) melaporkan bahwa terdapat korelasi positif antara jumlah
spesies kumbang antena panjang dengan jumlah jenis tumbuhan yang
mencerminkan ketersediaan berbagai jenis kayu mati. Hutan pinus memiliki nilai
indeks keanekaragaman yang tinggi setelah hutan alami. Hasil ini sesuai dengan
penelitian Peris-Felipo et al. (2011) bahwa keanekaragaman kumbang antena

12
panjang lebih tinggi di hutan pinus dibandingkan dengan hutan Quercus, hutan
campuran, dan vegetasi semak belukar. Vance et al. (2003) melaporkan bahwa
hutan pinus berpotensi menjaga keanekaragaman kumbang antena panjang.
Tingginya keanekaragaman kumbang di hutan pinus dalam penelitian ini karena
lokasi hutan pinus berdekatan dengan hutan alami yang banyak ditemukan
berbagai spesies tumbuhan bawah.
Kelimpahan individu yang diperoleh pada masing-masing habitat berbeda.
Jumlah individu tertingi terdapat pada hutan Agathis dan terendah pada hutan
puspa. Perbedaan tersebut diduga karena adanya perbedaan karakteristik habitat.
Alekseev (2007) melaporkan kelimpahan kumbang antena panjang juga
dipengaruhi oleh hutan monokultur. Spesies kumbang yang ditemukan dengan
jumlah individu tinggi (S.binotata, S. fuscotriangularis, dan R. strandi),
merupakan spesies yang berukuran kecil (10 mm di Kebun Raya Bogor (KRB) ditemukan
dalam populasi tinggi, yaitu A. rusticatrix dan P. melanura.
Kumbang A. rusticatrix memiliki banyak tanaman inang, seperti Artocarpus
integra, Ficus elastica, Hevea brasiliensis, Ricinus communis, Theobroma cacao,
Manihot utilissima, Jatropha curcas, Moringa ooleifera, dan Solanum
melanogena, (Makihara 1999; Makihara et al. 2002). Selain itu, P. melanura juga
memiliki banyak tanaman inang, antara lain Theobroma, Coffea, Tectona, Ficus
rempelas, Mangifera indica, Pinus caribaea, dan Acacia mangium (Makihara
1999; Makihara et al. 2002). Kumbang P. uniformis juga ditemukan di berbagai
tipe habitat, namun kelimpahan individunya tidak tinggi. Dari keseluruhan spesies
yang didapatkan, S. binotata memiliki jumlah individu tertinggi (1247 individu)
dibandingkan dengan spesies lainnya. Kelimpahan spesies tersebut yang tinggi di
hutan Agathis, diduga karena ketersedian sumber makanan cukup banyak. Kondisi
vegetasi di hutan Agathis didominasi tumbuhan bawah, yaitu paku-pakuan dan
anggrek tanah. Beberapa kumbang antena panjang juga menyerang tumbuhan
paku-pakuan (Kirk 1977) dan anggrek (Chen et al. 2001). Balick et al. (1978)
juga melaporkan bahwa tumbuhan paku (Pteridium aquilinum) merupakan
tanaman inang kumbang Sybra sp.
Beberapa spesies kumbang antena panjang yang ditemukan di HPGW
berbeda dengan daerah lain di Pulau Jawa. Kumbang R. honesta, R. marmorata,
N. notatus, dan E. artocarpi hanya ditemukan di HPGW. Diduga spesies-spesies
ini hanya terdistribusi pada ketinggian kurang dari 1000 m dpl. Ketinggian tempat
mempengaruhi keberadaan spesies kumbang antena panjang (Gobbi et al. 2012).
Kumbang R. honesta pernah dilaporkan di Banyumas Jawa Tengah pada tahun
1922 (Makihara dan Noerdjito 2004), Borneo, Sumatra, Jawa, Papua New Guinea,

13
Filipina, Taiwan, dan China (Heffern 2013). Kumbang E. artocarpi dilaporkan di
Semarang pada tahun 1931 (Fisher 1934) dan kumbang ini hanya terdistribusi di
Jawa (Bezark 2015). Kumbang N. notatus dilaporkan di Nusakambangan pada
tahun 1927 (Fisher 1936), dan kumbang ini hanya terdistribusi di Jawa (Bezark
2015). Kumbang R. marmorata pernah dilaporkan di Sumatra (Breuning 1939),
Kalimantan Timur (Noerdjito et al. 2009), dan di Batanghari, Jambi (Fahri 2013).
Sebelumnya tidak ada informasi mengenai distribusi R. marmorata di pulau Jawa.
Kumbang R. marmorata yang ditemukan dalam penelitian ini merupakan catatan
baru (new record) tentang distribusinya di Jawa, yang sebelumnya hanya
dilaporkan di Sumatra dan Kalimantan.
Spesies yang umum ditemukan di Jawa, yaitu A. rusticatrix, E. luscus, dan P.
melanura. Ketiga spesies ini umum ditemukan di berbagai tipe habitat (Noerdjito
et al. 2009). Kumbang A. rusticatrix terdistribusi di Borneo, Sumatra, Jawa,
Sulawesi, Filipina, Taiwan (Heffern 2013), dan India (Mathew et al. 2004; Mitra
2013). Kumbang E. luscus terdistribusi di India, Kepulauan Nikobar, Thailand,
Vietnam, Laos, Malaysia, Borneo, China, Sumatra, Jawa (Hayashi 1976),
Myanmar, Laos, Kepulauan Mentawai, Sumbawa, dan Flores (Makihara 1999).
Kumbang P. melanura terdistribusi di Borneo, Jawa, Sumatra, Malaysia, dan
Vietnam (Makihara 1999; Makihara et al. 2002). Spesies yang penyebarannya
hanya di daerah Jawa, yaitu C. montanus, R. strandi, S. fuscotriangularis, M.
javanicus, N. notatus, dan E. artocarpi.
Analisis kesamaan komunitas berdasarkan indeks kesamaan Bray-Curtis
menunjukkan adanya kemiripan komunitas kumbang antena panjang antara
habitat hutan alami dan hutan pinus terkait komposisi dan kelimpahan individu
yang ditemukan di kedua habitat tersebut. Selain itu, pada habitat hutan campuran
memiliki kemiripan dengan hutan puspa. Berdasarkan posisinya, hutan alami
berdekatan dengan hutan pinus, sedangkan hutan campuran berdekatan dengan
hutan puspa. Kemiripan komunitas kumbang antena diduga karena adanya
kemiripan karakteristik habitat, sehingga kelimpahan spesies juga memiliki
kemiripan. Kondisi vegetasi di setiap area sangat berbengaruh terhadap komposisi
jenis kumbang antena panjang (Noerdjito 2010).
Perbedaan jumlah individu dan jumlah spesies berdasarkan hari koleksi
pada bulan September dan Oktober diduga berkaitan dengan tingkat kelayuan
daun A. heterophyllus yang mengeluarkan senyawa kimia. Fahri (2013)
melaporkan bahwa jumlah individu kumbang antena panjang yang terkoleksi
dengan menggunakan Artocarpus trap tertinggi pada koleksi hari ke-7.
Artocarpus trap merupakan perangkap yang paling efektif untuk koleksi kumbang
antena panjang (Noerdjito 2008). Makihara (1999) juga melaporkan bahwa dari
279 spesies kumbang antena panjang dari sub famili Lamiinae yang ditemukan di
Kalimantan Timur, 38 spesies hidup pada tumbuhan Artocarpus. Kehadiran
spesies kumbang pada perangkap Artocarpus terkait proses oviposisi. Beberapa
spesies kumbang ini menyukai kayu mati, sedang melapuk, atau cukup kering
(Noerdjito et al. 2009), tetapi ada juga yang menyukai kayu segar (Ohsawa 2008).
Total spesies yang dikumpulkan berdasarkan jumlah observasi masih
kurang dibandingkan dengan estimasi Jacknife-2. Dengan demikian, belum
optimal jumlah spesies kumbang antena panjang yang dikumpulkan. Hal ini
diduga karena jumlah koleksi dan jenis perangkap yang digunakan untuk koleksi
koleksi kumbang antena panjang belum maksimal. Yaherwandi (2009)

14
melaporkan bahwa adanya perbedaan jumlah spesies Hymenoptera parasitoid
hasil observasi dan estimasi Jacknife-2 disebabkan karena jumlah sampel per
ekosistem dan alat yang digunakan untuk koleksi serangga belum optimal. Namun
demikian, jumlah spesies yang dikumpulkan di semua tipe habitat mencapai
81,5% dari jumlah spesies berdasarkan estimasi Jacknife-2.

SIMPULAN
Sebanyak 16 spesies kumbang antena panjang yang termasuk dalam 7 tribe
dan 12 genus ditemukan di HPGW, yaitu C. montanus, R. strandi, R. honesta, R.
marmorata, S. binotata, S. fuscotriangularis, Apomecynini sp., G. sticticollis, N.
notatus, A. rusticatrix, M. javanicus, E. luscus, P. bipuncatus, E. artocarpi, P.
melanura, dan P. uniformis. Indeks keanekaragaman dan kemerataan kumbang
antena panjang tertinggi terdapat pada hutan alami, diikuti hutan pinus, hutan
campuran, hutan
puspa, dan hutan Agathis. Kumbang S.binotata, S.
fuscotriangularis, R. strandi, A. rusticatrix, dan P. melanura ditemukan pada
semua habitat dan memiliki kelimpahan tertinggi dibandingkan dengan spesiesspesies lainnya. Kemiripan komunitas kumbang antena panjang tertinggi antara
hutan alami - hutan pinus (75%). Kumbang C. montanus, R. strandi, S.
fuscotriangularis, M. javanicus, N. notatus, dan E. artocarpi hanya terdistribusi di
daerah Jawa. Kumbang Ropica marmorata merupakan catatan baru (new record)
mengenai distribusinya di pulau Jawa.

DAFTAR PUSTAKA
Alekseev VI. 2007. Longhorn beetles (Coleoptera: Cerambycidae) of Kaliningrad
Region. Acta Biol. 7(1):37-62.
Balick MJ, Furth DG, Driver GC. 1978. Biochemical and evolutionary aspects of
arthropod predation on ferns. Oecologia. 35(1):55-89. doi :
10.1007/bf00345541
Bezark LG. 2015. A photographic catalog of the Cerambycidae of the new world.
version
March
2015.
[Internet].
Tersedia
pada
:
https://apps2.cdfa.ca.gov/publicApps/plant/bycidDB/
Breuning S. 1939. Neue Lamiinae (Cerambycidae, Coleoptera) Aus dem Museo
Civico di Storia Naturale in Genua. Mem Della Soc Entomol Ital. 18: 53-79.
Chen H, Ota A, Fonash GE. 2001. Infestation of Sybra alternans (Cerambycidae:
Coleoptera) in a Hawaii banana plantation. Proc Hawai Entomol Soc.
35:119-122.
Cherepanov AI. 1990. Cerambycidae of Northern Asia volume 3 Lamiinae.
Zolotarenko GS, editor. New Delhi (IN) : Oxonian Pr.
Dagobert KK, Klimaszewski J, Mamadou D, Daouda A, Mamadou D. 2008.
Comparing beetle abundance and diversity values along a land use gradient
in tropical Africa (Oumé, Ivory Coast). J Zool Stud. 47(4): 429-437.

15
Damayanti EK. 2003. Pengelolaan hutan secara lestari berbasiskan tumbuhan
obat : Studi kasus di Hutan Pendidikan Gunung Walat, IPB [tesis]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Fahri. 2013. Keanekaragaman dan kelimpahan kumbang cerambycid (Coleoptera :
Cerambycidae) pada empat tipe penggunaan lahan di Provinsi Jambi [thesis].
Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Fisher WS. 1934. New species of Cerambycidae (Col.) from Java. Proc Roy
Entomol Soc London. 3(2):35-42. doi: 10.1111/j.1365-3113.1934.tb01540.x
Fisher WS. 1936. Fauna Javanica. new Cerambycidae from Java. J Tijdschr
Entomol. 79:169-198.
Gobbi M, Priore C, Tattoni C, Lencioni V. 2012. Surprising longhorned beetle
(Coleoptera, Cerambycidae) richness along an Italian alpine valley. ZooKeys.
208:27-39. doi: 10.3897/zookeys.208.3193
Goldsmith S, Gillespie H, Weatherby C. 2007. Restoration of Hawaiian montane
wet forest: endemic longhorned beetles (Cerambycidae: Plagithmysus) in
koa (Fabaceae: Acacia koa) plantations and in intact forest. The
Southwestern Nat. 52(3):356–363.
Gutowski JM. 1990. Pollination of the orchid Dactylorhiza fuchsii by longhorn
beetles in primeval forests of Northeastern Poland. Biol Conserv. 51(4):287297. doi:10.1016/0006-3207(90)90114-5
Haneda NF, Firmansyah A. 2012. Keanekaragaman rayap tanah di Hutan
Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi. J Silv Trop. 3(2):92-96.
Hanks LM. 1999. Influence of the larval host plant on reproductive strategies of
Cerambycid beetles. Annu Rev Entomol. 44(1):483-505. doi:
10.1146/annurev.ento.44.1.483
Hawkeswood TJ, Turner JR. 2007. Record of pollination of Lomatia silaifolia
(Sm.) R.Br. (Proteaceae) by the longicorn beetle Uracanthus triangularis
(Hope, 1833)(Coleoptera: Cerambycidae). Calodema Supplementary Paper.
53:1-3
Hayashi M. 1976. On some longicorn beetles from Malaysia with descriptions of
six new species (Col: Ceramb). Bull of Jap Entomol Acad. 9(2):24-41.
Heffern DJ. 2013. A Catalog and bibliography of longhorned beetles from Borneo
(Coleoptera : Cerambycidae, Disteniidae and Vesperidae ) [bibliography].
Elcetronic Version 2013.1.
Keszthelyi S. 2015. Diversity and seasonal patterns of longhorn beetles
(Coleoptera:Cerambycidae) in the Zselic region, Hungary. North-Western J
Zoo. 11(1):62-69.
Kirk AA. 1977. The insect fauna of the weed Pteridium aquilinum (L.) Kuhn
(Polypodiaceae) in Papua New Guinea: a potential source of biological
control agents. Aust J Entomol. 16(4):403-409. doi:10.1111/j.14406055.1977.tb00129.x
Lachat T, Wermelingera B, Gossnerb MM, Busslerc H, Isacssond G, Müllerb J.
2012. Saproxylic beetles as indicator species for dead-wood amount and
temperature in European beech forests. Ecol Indic 23:323-331. doi:
10.1016/j.ecolind.2012.04.013
Lawrence JF, Ślipiński A. 2013. Australian beetles volume 1: morphology,
classification and keys. Melbourne (AU) : CSIRO Publishing.

16
Linsley EG. 1959. Ecology of Cerambycidae. Annu Rev Entomol. 4(1):99-139.
doi: 10.1146/annurev.en.04.010159.000531
Maeto K, Sato S, Miyata H. 2002. Species diversity of longicorn beetles in humid
warmtemperate forests: The Impact of forest management practices on oldgrowth forest species in southwestern Japan. Biodiv Conserv. 11(11):19191937. doi : 10.1023/A:1020849012649
Makihara H, Noerdjito WA, Sugiharto. 2002. Longicorn beetles from Gunung
Halimun National Park, West Java, Indonesia from 1997-2002 (Coleoptera,
Disteniidae and Cerambycidae). Bull FFPRI. 1(3):189-223.
Makihara H, Noerdjito WA. 2004. Longicorn beetles of Museum Zoologicum
Bogoriense, identified by Dr. E.F. Gilmour, 1963 (Coleoptera: Disteniidae
and Cerambycidae). Bull FFPRI. 3(1): 49-98.
Makihara H. 1999. Atlas of longicorn beetles in Bukit Soeharto Education Forest,
Mulawarman University, East Kalimantan, Indonesia. PUSREHUT Special
Publication. 7:1-40.
Mathew G, Chandran R, Brijesh CM, Shamsudeen RSM. 2004. Insect fauna of
shendurny wildlife sanctuary, Kerala. J Zoos Print. 19(1):1321-1327.
Meng LZ, Martin K, Weigel A, Yang XD. 2013. Tree diversity mediates the
distribution of longhorn beetles (Coleoptera: Cerambycidae) in a changing
tropical landscap (Southern Yunnan, SW China). PLoS ONE. 8(9):1-10.
doi : doi:10.1371/journal.pone.0075481
Mitra B. 2013. New records of longicorn beetle borers (Lamiinae: Cerambycidae:
Coleoptera) from little Nicobar Island, Indian Ocean. J Andaman Sci Assoc.
18 (1): 123-124.
Nearns EH, Lord NP, Lingafelter SW, Santos-Silva A, Miller KB, Zaspel JM.
2015. Longicorn ID: Tool for diagnosing Cerambycoid families, subfamilies,
and tribes. The University of New Mexico, Purdue University, and USDA
APHIS PPQ identification technology program (ITP) [Internet]. Tersedia
pada: http://cerambycids.com/longicornid/
Nieto A, Alexander KNA. 2010. European red list of saproxylic beetles.
Luxembourg (LU): European Union Pr.
Noerdjito WA, Makihara H, Kahono S. 2002. Fauna of Cerambycid beetles from
Gunung Halimun National Park. in : Osaki M, Iwakuma T, Kohyama T,
Hatano R, Yonebayashi K, Tachibana H, Takahashi H, Shinano T, Higashi
S, Simbolon H et al. Proceedings of the International Symposium on Land
Management and Biodiversity in Southeast Asia. [Bali, 17-20 September
2002. Indonesia (ID). hlm: 195-201
Noerdjito WA, Makihara H, Sugiharto. 2009. Evaluation of various forest
conditions based on longhorn beetles (Coleoptera: Cerambycidae) as bioindicators in East Kalimantan. in: Fukuyama K, Oka T, editor. Proceedings
of International seminar on CDM Plantation and Biodiversity. [Tsubaka, 24
February 2009]. Japan (JP): FFPRI. hlm 31-39.
Noerdjito WA. 2008. Struktur komunitas fauna kumbang antena panjang
(Coleoptera ; Cerambycidae) di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai.
J Biol Indon. 4(5):371-384.
Noerdjito WA. 2010. Arti Kebun Raya Bogor bagi kehidupan kumbang antena
panjang (Coleoptera, Cerambicidae). J Biol Indon. 6(2):289-292.

17
Noerdjito WA. 2011. Evaluasi kondisi hutan berdasarkan keragaman kumbang
antena panjang (Coleoptera: Cerambycidae) di kawasan Gunung Slamet.
Berita Biologi. 10(4):521-531.
Noerdjito WA, Aswari P, Peggie D. 2011. Fauna serangga Gunung Ciremai.
Peggie D, editor. Jakarta (ID) : LIPI Pr.
Noerdjito WA. 2012. Dampak kegiatan manusia terhadap keragaman dan pola
distribusi kumbang antena panjang (Coleoptera : Cerambycidae) di Gunung
Salak, Jawa Barat. J Biol Indon. 8(1):57-69.
Ohsawa M. 2004. Species richness of Cerambycidae in larch plantations and
natural broad-leaved forests of the central mountainous region of Japan.
Forest Ecol Manag. 189(1-3):375-385. doi:10.1016/j.foreco.2003.09.007
Ohsawa M. 2008. Diffe