Potensi Nilai Ekonomi Total Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi Jawa Barat

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perubahan penggunaan lahan dalam dekade terakhir sangat cepat, terutama dari lahan hutan menjadi lahan untuk kepentingan bukan hutan. Perubahan ini berdampak pada penurunan kualitas lingkungan. Padahal, hutan memiliki manfaat ekonomi, ekologi, dan sosial. Manfaat ekonomi hutan dalam menghasilkan kayu dan bukan kayu, manfaat ekologi hutan, seperti: fungsi hutan untuk mengendalikan erosi, memelihara kesuburan tanah, menjaga tata air, serta fungsi hutan dalam konservasi tanah dan air, dan manfaat sosial dalam menyediakan lapangan kerja.

Fakta yang terjadi di lapangan menunjukkan orientasi pemanfaatan hutan hanya sebagai penghasil kayu yang hanya akan menghilangkan sebagian besar manfaat bukan kayu yang dapat dihasilkan. Oleh sebab itu, paradigma pengelolaan hutan perlu diubah dari semula berbasis kayu (timber based management), menjadi pengelolaan berbasis sumberdaya hutan (forest resource based management). Guna meyakinkan pentingnya sumberdaya hutan, maka diperlukan perhitungan nilai ekonomi total sumberdaya hutan. Berdasarkan perhitungan tersebut dapat diketahui total nilai ekonomi dari sumberdaya hutan. Selanjutnya dengan informasi tersebut dapat dihitung alokasi investasi (asset) untuk tujuan pengelolaan hutan ataupun kompensasi yang harus dibayar oleh pembuat kerusakan lingkungan.

Perhitungan nilai ekonomi (economic valuation) merupakan suatu upaya untuk mengkuantifikasikan manfaat barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu sumberdaya alam, dalam hal ini adalah sumberdaya hutan. Salah satu pendekatan dalam valuasi ekonomi adalah melalui perhitungan nilai ekonomi total (TEV). Nilai ekonomi total sumberdaya hutan dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu: use-value (UV) dan non-use value (NUV). Use-value

diartikan sebagai nilai yang dapat diciptakan oleh kegunaan saat ini, baik yang bersifat langsung (direct use value-DUV) maupun tidak langsung (indirect use value-IUV). Nilai selanjutnya adalah non-use value, yang diartikan sebagai nilai


(2)

yang diciptakan oleh keinginan orang untuk mendapatkan manfaat di masa datang atas sumberdaya hutan.

1.2 Perumusan Masalah

Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) pada umumnya merupakan bagian penting dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimandiri, hal ini karena terdapat titik tertinggi dari DAS tersebut terletak di sebelah tengah punggung bukit HPGW sehingga menjadi wilayah hulu dari DAS Cimandiri. Manfaat positif kelestarian hutan di daerah ini akan dirasakan oleh seluruh stakeholder, mulai dari pengelola HPGW hingga masyarakat di daerah hilir, yaitu: Desa Hegarmanah, Cicantayan, Sekarwangi, Batununggal, dan beberapa wilayah lainnya di Sukabumi. Begitu pula sebaliknya, jika terjadi kerusakan hutan di daerah hulu, maka masyarakat di daerah hilir juga akan terkena dampak negatifnya. Sehingga diperlukan kesadaran dan kerjasama yang baik dari seluruh stakeholder untuk dapat berperan aktif dalam menjaga kelestarian Hutan Pendidikan Gunung Walat. Kelestarian hutan dan terhindarnya degradasi lingkungan dapat tercipta apabila persepsi dan pemahaman masyarakat mengenai keberadaan hutan adalah baik. Sarwono (1999) menyatakan bahwa persepsi mempengaruhi keberadaan prilaku seseorang terhadap lingkungannya. Seseorang yang mempunyai persepsi yang benar terhadap lingkungan, kemungkinan besar orang tersebut akan berprilaku positif terhadap upaya-upaya pelestarian lingkungan. Oleh karena itu, persepsi dan pemahaman masyarakat sekitar hutan khususnya Desa Hegarmanah atas manfaat hutan pendidikan penting untuk diketahui dan perlu dilakukan analisis terhadap persepsi tersebut.

Mayoritas masyarakat cenderung hanya melihat dan menghargai manfaat hutan dari sisi ekonomi (tangible) saja, sedangkan manfaat hutan dari segi ekologi (intangible) cenderung diabaikan. Kecenderungan ini mengakibatkan pemanfaatan hutan secara eksploitatif demi untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek. Jika hal ini berlanjut, maka dalam jangka panjang akan menyebabkan degradasi lingkungan.

Valuasi ekonomi sumberdaya hutan merupakan suatu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat dan seluruh stakeholder


(3)

diharapkan masyarakat akan lebih mengetahui informasi dan nilai manfaat hutan dari sisi ekonomi dan ekologi, sehingga masyarakat akan lebih menghargai keberadaan hutan dan selalu ingin dalam upaya kelestarian lingkungan. Valuasi ekonomi sumberdaya hutan dalam penelitian ini dilakukan dengan mengkuantifikasikan secara ekonomi barang dan jasa yang dihasilkan oleh hutan yang sekiranya memiliki nilai ekonomi tinggi, dan menyatakan nilainya dalam bentuk nilai uang (money terms). Hasil valuasi selanjutnya juga dapat digunakan sebagai acuan pembayaran jasa lingkungan mata air Cimandiri.

Berdasarkan uraian di atas, secara lebih jelas dapat dirumuskan tiga permasalahan pokok sebagai berikut:

1. Apa saja sumberdaya HPGW yang dimanfaatkan oleh pihak pengelola HPGW dan masyarakat sekitar HPGW?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Willingness toPay (WTP) masyarakat sekitar hutan pendidikan terhadap mata air HPGW?

3. Berapa Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) sumberdaya HPGW? 1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi sumberdaya HPGW yang dimanfaatkan pihak pengelola dan masyarakat desa sekitar HPGW.

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi Willingness toPay (WTP) masyarakat sekitar hutan pendidikan terhadap mata air HPGW.

3. Menghitung valuasi ekonomi total Hutan Pendidikan Gunung Walat. 1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian tentang nilai ekonomi total yang dihasilkan oleh HPGW dapat bermanfaat untuk berbagai pihak, sebagai berikut:

1. Akademisi dan peneliti, penelitian ini diharapkan menjadi pelengkap khasanah keilmuan ekonomi sumberdaya hutan.

2. Pemda sebagai bahan acuan dalam penerapan kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan.

3. Masyarakat setempat untuk menambah pengetahuan mengenai nilai ekonomi lingkungan.


(4)

4. Pengelola HPGW, sebagai bahan acuan dalam pengelolaan sumberdaya hutan di HPGW.

1.5 Batasan Penelitian

Batasan-batasan dan asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Responden memahami pilihan-pilihan yang ditawarkan pada mereka dan cukup tahu kondisi lingkungan hutan pendidikan yang dinilai;

2. Persepsi atau penilaian responden terhadap keberadaan hutan pendidikan merupakan kesungguhan yang akan mereka lakukan jika pasar untuk barang lingkungan itu benar-benar ada;

3. Manfaat langsung yang dihitung dalam penelitian ini adalah kayu damar (Agathis loranthifolia), pinus (Pinus merkusii), dan puspa (Schima wallichii), kayu bakar, dan non-kayu (getah damar dan pinus);

4. Manfaat tidak langsung yang dihitung dalam penelitian ini adalah manfaat hutan sebagai pengendali erosi, penyerap karbon, dan manfaat keanekaragaman hayati;

5. Biaya pemulihan ekologi hutan yang dilakukan oleh Lembaga Sumber Daya Alam (2009) dapat digunakan untuk memperkirakan biaya pemulihan ekologi hutan akibat degradasi dan deforestasi di wilayah HPGW apabila tidak ada hutan;

6. Nilai keanekaragaman hayati hutan sekunder yang terdapat dalam penelitian Wildayana (1999) dapat digunakan untuk memperkirakan nilai keanekaragaman hayati hutan sekunder di wilayah HPGW;

7. Masyarakat desa sekitar HPGW difokuskan di Desa Hegarmanah karena memiliki interaksi secara langsung dengan HPGW.


(5)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Nilai Sumberdaya Hutan

Nilai merupakan persepsi manusia tentang makna suatu objek (sumberdaya hutan) bagi individu tertentu pada tempat dan waktu tertentu. Oleh karena itu akan terjadi keragaman nilai sumberdaya hutan berdasarkan pada persepsi dan lokasi masyarakat yang berbeda-beda. Nilai sumberdaya hutan sendiri bersumber dari berbagai manfaat yang diperoleh masyarakat. Masyarakat yang menerima manfaat secara langsung akan memiliki persepsi yang positif terhadap nilai sumberdaya hutan tersebut. Hal tersebut mungkin berbeda dengan persepsi masyarakat yang tinggal jauh dari hutan dan tidak menerima manfaat secara langsung (Bahruni 1999).

Nilai sumberdaya hutan ini dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa kelompok. Davis dan Johnson (1987) mengklasifikasi nilai berdasarkan cara penilaian atau penentuan besar nilai dilakukan, yaitu: (1) nilai pasar, nilai yang ditetapkan melalui transaksi pasar, (2) nilai kegunaan, nilai yang diperoleh dari penggunaan sumberdaya tersebut oleh individu tertentu, dan (3) nilai sosial, nilai yang ditetapkan melalui peraturan, hukum, ataupun perwakilan masyarakat. Sedangkan Pearce (1992) dalam Munasinghe (1993) membuat klasifikasi nilai manfaat yang menggambarkan Nilai Ekonomi Total (Total Ekonomic Value) berdasarkan cara atau proses manfaat tersebut diperoleh.

Menurut Fauzi (2006), sumberdaya didefinisikan sebagai suatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi. Sumberdaya itu sendiri memilki dua aspek yaitu aspek teknis yang memungkinkan bagaimana sumberdaya dimanfaatkan dan aspek kelembagaan yang menentukan siapa yang mengendalikan sumberdaya dan bagaimana teknologi digunakan. Dapat juga dikatakan bahwa sumberdaya adalah komponen dari ekosistem yang menyediakan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kebutuhan manusia. Barang dan jasa yang dihasilkan tersebut seperti ikan, kayu, air bahkan pencemaran sekalipun dapat dihitung ekonominya karena diasumsikan bahwa pasar itu eksis (market based), sehingga transaksi barang dan jasa tersebut dapat dilakukan.


(6)

Menurut Fauzi (2006), sumberdaya alam selain menghasilkan barang dan jasa yang dapat dikonsumsi baik langsung maupun tidak langsung juga dapat menghasilkan jasa-jasa lingkungan yang memberikan manfaat dalam bentuk lain, misalnya manfaat amenity, seperti: keindahan, ketenangan, dan sebagainya. Manfaat tersebut sering kita sebut sebagai manfaat fungsi ekologis yang sering tidak terkuantifikasikan dalam perhitungan menyeluruh terhadap nilai sumberdaya tersebut.

Penggunaan metode analisis biaya dan manfaat (cost-benefit analysis) yang konvensional sering tidak mampu menjawab permasalahan dalam menentukan nilai sumberdaya karena konsep biaya dan manfaat sering tidak memasukkan manfaat ekologis di dalam analisisnya (Fauzi 2006). Oleh karena itu lahirlah pemikiran konsep valuasi ekonomi, khususnya valuasi non-pasar (non-market valuation).

2.2 Metode Penilaian Sumberdaya Hutan

Penilaian sumberdaya hutan merupakan studi tentang metodologi dan konsep penentuan nilai dari sumberdaya hutan. Seperti telah dijelaskan di muka, langkah pertama untuk memperoleh nilai dari sumberdaya hutan adalah dengan melakukan identifikasi terhadap berbagai jenis manfaat yang dihasilkan dari sumberdaya hutan. Keberadaan setiap jenis manfaat ini merupakan indikator adanya nilai yang menjadi sasaran penilaian. Setiap indikator nilai (komponen sumberdaya hutan) ini dapat berupa barang hasil hutan, jasa dari fungsi ekosistem hutan maupun atribut yang melekat pada hutan tersebut dalam hubungannya dengan sosial budaya masyarakat (Bahruni 1999).

Langkah kedua dalam penilaian sumberdaya hutan ini adalah melakukan identifikasi kondisi biofisik hutan dan sosial budaya masyarakat karena proses pembentukan nilai sumberdaya hutan berdasarkan pada persepsi individu/masyarakat dan kualitas serta kuantitas komponen sumberdaya hutan melalui proses penilaian biofisik dan sosial budaya yaitu kuantifikasi setiap indikator nilai berupa barang hasil hutan, jasa fungsi ekosistem hutan serta atribut hutan kaitannya dengan budaya setempat. Atas dasar kuantifikasi indikator nilai tersebut dilakukan penilaian ekonomi manfaat hutan, berdasarkan metode penilaian tertentu pada setiap klasifikasi nilai (Bahruni 1999).


(7)

Metode penilaian manfaat hutan pada dasarnya dibagi dalam dua kelompok yaitu metode atas dasar pasar dan metode pendekatan terhadap pasar yaitu pendekatan terhadap kesedian membayar. Metode pendekatan terhadap pasar ini oleh beberapa ahli ekonomi telah dikembangkan dan diaplikasikan untuk menilai manfaat hutan yang tidak memiliki harga pasar dalam satuan moneter. Metode ini mencoba untuk menggambarkan permintaan konsumen, sebagai contoh kesediaan membayar konsumen (willingness to pay-WTP) terhadap manfaat hutan yang tidak memiliki harga pasar dalam satuan moneter, atau kesediaan menerima konsumen (willingness to accept-WTA) terhadap kompensasi yang diberikan kepada konsumen untuk manfaat yang hilang dalam satuan moneter (Bahruni 1999).

Konsep dasar bagi semua teknik penilaian ekonomi adalah kesediaan membayar dari individu untuk sumberdaya alam atau jasa lingkungan yang diperolehnya (Pearce dan Moran 1994, Munasinghe 1993; Hufschmidt et al. 1983) atau kesediaan untuk menerima kompensasi akibat kerusakan lingkungan di sekitarnya (Pearce dan Moran 1994; Hufschmidt et al. 1983).

2.3 Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam Terpulihkan

Valuasi ekonomi penggunaan sumberdaya alam hingga saat ini telah berkembang pesat. Dalam konteks ilmu ekonomi sumberdaya dan lingkungan, perhitungan-perhitungan tentang biaya lingkungan sudah cukup banyak berkembang (Djijono 2002). Anwar (1996) dalam Supriyanto (2002), menjelaskan beberapa metode penilaian barang dan jasa lingkungan, sebagai berikut:

2.3.1 Penilaian Berdasarkan Prilaku Ekonomi yang Diamati

1. Pendekatan perubahan dalam produktivitas, yang mengukur sampai dimana perubahan atribut lingkungan (seperti: pencemaran, erosi tanah, dan lain-lain) mempengaruhi produktivitas faktor produksi.

2. Pendekatan kehilangan pendapatan (lost or earning income) yang menilai perubahan yang terjadi dalam penghasilan (pendapatan) tenaga kerja yang disebabkan oleh dampak dari degradasi lingkungan. Pencemaran misalnya sering menyebabkan meningkatnya pengeluaran untuk keperluan medis (kesehatan).


(8)

3. Pendekatan efektivitas biaya (cost-effectiveness), digunakan untuk menentukan biaya yang paling murah dari sekian alternatif biaya yang mungkin, dengan tujuan memperbaiki lingkungan.

4. Pendekatan biaya penggantian (replacement-cost), untuk menentukan biaya yang harus ditanggung masyarakat untuk mengganti aset yang telah rusak atau menyusut jumlahnya. Biaya penggantian digunakan sebagai pendekatan nilai dari manfaat untuk menghindari kerusakan yang terjadi atau yang akan terjadi di masa depan.

5. Pendekatan kompensasi (compensation approach), digunakan untuk mencoba menaksir biaya relokasi dari aset fisik atau individual yang terkena oleh dampak degradasi lingkungan atau perubahan lainnya dalam lingkungan. 6. Pendekatan perbedaan upah (wage-differential), yang dalam pelaksanaannya

harus memperhatikan kepada perubahan tingkat upah yang disebabkan oleh perubahan sifat-sifat lingkungan yang berkaitan dengan suatu tugas pekerjaan tertentu. Diasumsikan bahwa pasar tenaga kerja adalah kompetitif, sehingga tingkat upah akan sama dengan nilai produktivitas marginalnya dari tenaga kerja, sedangkan penawaran tenaga kerja berbeda menurut sifat setiap jenis pekerjaan tertentu.

2.3.2 Penilaian Berdasarkan Nilai Pengganti (Surrogate Value)

1. Pendekatan melalui property value, dilakukan dengan mencoba menduga perubahan-perubahan nilai sumberdaya lahan sebagai suatu fungsi parameter, termasuk perubahan sifat-sifat lingkungan, seperti erosi tanah, pencemaran, penggunaan air, dan lain-lain.

2. Pendekatan biaya perjalanan (travel cost), yang mencoba menduga kesediaan/keinginan membayar (willingness to pay) untuk menggunakan sumberdaya tertentu sebagai fungsi dari pengeluaran yang harus ditanggung dalam menggunakannya.

2.3.3 Penilaian Berdasarkan Respon yang Dapat Dibangkitkan (Elicited Responses)

Elicited Responses merupakan penilaian yang digunakan untuk menentukan nilai manfaat berdasarkan data secara langsung yang dapat dibangkitkan dari berbagai pengguna jasa dari suatu sumberdaya tertentu. Data non-market dapat


(9)

diperoleh melalui survei wawancara dengan kuisioner, permainan melalui alternatif penawaran (bidding game), dan melalui pemilihan (votting).

2.4 Kesediaan Membayar

Kesediaan membayar atau menerima merefleksikan preferensi individu terhadap perubahan suatu lingkungan dari keadaan awal (Q0) menjadi kondisi lingkungan yang lebih baik (Q1). Kesediaan membayar tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk fungsi sebagai berikut (Pearce dan Moran 1994).

WTPi= f (Q1 – Q0, Pown, Psub, Si, Ei) Keterangan:

WTPi = Kesediaan membayar rumah tangga ke i,

Pown = Harga dari penggunaan sumberdaya lingkungan,

Psub = Harga substitusi untuk penggunaan sumberdaya lingkungan, Si = Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga ke i,

Ei = Galat acak.

Kesediaan membayar seseorang untuk membayar sejumlah barang menggambarkan manfaat marginal pada tingkat konsumsi tertentu. Dengan melihat jumlah yang dikonsumsi dan kesediaan membayar maka dapat dilihat kurva fungsi manfaat marginal barang atau jasa tersebut. Kurva ini biasa disebut dengan kurva permintaan Marshal seperti yang disajikan pada Gambar 1 (Hufschmidt et al. 1983), kurva tersebut menggambarkan jumlah barang atau jasa yang akan dibeli oleh konsumen dalam suatu pasar selama periode waktu tertentu pada berbagai harga. Kelebihan dari kurva Marshal ini adalah dapat diestimasi secara langsung dan digunakan untuk mengukur kesejahteraan melalui surplus konsumen.

Surplus konsumen merupakan selisih antara kesediaan untuk membayar dengan jumlah yang akan dibayar oleh konsumen untuk suatu produk. Ini menunjukkan bahwa konsumen menerima atau mendapat nilai lebih dari harga yang dibayarnya. Surplus konsumen mencerminkan manfaat yang diperoleh karena konsumen dapat membeli semua unit barang pada tingkat yang lebih rendah. Dalam Gambar 1, besarnya surplus konsumen adalah luas bidang yang terletak antara kurva permintaan dengan garis harga.


(10)

P

P*

0

M

Q*

Kurva Permintaan

Surplus Konsumen

Jumlah yang dibayar konsumen Garis Harga

Gambar 1. Kurva permintaan individu

Pendekatan yang didasarkan pada kurva permintaan dapat dibagi menjadi dua yaitu: permintaan diukur dengan mengamati preferensi individu pada barang atau jasa lingkungan melalui kuisioner dan permintaan dinyatakan dengan mengamati pembayaran individu terhadap barang atau jasa lingkungan yang diamati melalui pasar (Agustono 1996).

Teknik penilaian yang didasarkan pada permintaan individu dengan menggunakan pendekatan kesediaan membayar pada dasarnya sama dengan kesediaan membayar sekelompok individu pada berbagai manfaat (Darusman 1993). Teknik ini telah digunakan antara lain dalam menentukan nilai air untuk rumah tangga dan pertanian (Darusman 1995), permintaan air (Widiarti 1996), permintaan rekreasi (Darusman 1993; Darusman dan Bahruni 1993).


(11)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasidan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) dan Desa Hegarmanah, Kecamatan Cicantayan dan Cibadak, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Pelaksanaan penelitian dilakukan dari pertengahan bulan Februari 2011 sampai pertengahan bulan April 2011.

3.2 Bahan dan Alat Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner. Alat yang digunakan, yaitu: SPSS 16.0 for windows, Microsoft Excel, kompas, meteran, kamera, dan alat tulis.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dapat digolongkan menjadi data primer dan sekunder. Data primer merupakan hasil kuisioner dan wawancara dengan penduduk sekitar HPGW sedangkan data sekunder dikumpulkan dari instansi pemerintah seperti kantor kelurahan Desa Hegarmanah dan studi literatur.

Data yang dikumpulkan dikelompokkan menjadi data biofisik dan data sosial ekonomi. Data biofisik dikumpulkan dari hasil publikasi TIF Master Georg August University Göttingen tahun 2010 untuk analisis potensi kayu.

Data sosial ekonomi yang dikumpulkan antara lain adalah data kependudukan, tingkat pendapatan, jumlah kebutuhan air rumah tangga, dan data sosial ekonomi lainnya terutama yang berkaitan dengan persepsi terhadap lingkungan serta nilai yang ingin dikeluarkan (willingness to pay). Pengumpulan data ini dimaksudkan untuk mengetahui besarnya manfaat lingkungan dalam satuan moneter dari beberapa alternatif.

3.4 Metode Penentuan Responden

Metode pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah metode non-probability sampling yaitu Haphazard sampling atau accidental atau

convenience. Metode tersebut merupakan suatu metode pengembilan sampel secara nyaman yang dilakukan dengan memilih sampel bebas, dimana responden


(12)

yang mudah ditemui/dijangkau akan dijadikan sebagai sampel dengan tetap mempertahankan kelayakan dan ketepatan sampel yang dipilih (Jogianto 2008). Responden yang dipilih pada penelitian ini merupakan responden yang berusia 17 tahun keatas yang bersedia untuk mengikuti proses wawancara.

Berdasarkan data kependudukan Desa Hegarmanah pada bulan Maret tahun 2011, jumlah penduduknya adalah 2479 Kepala Keluarga (KK) maka jumlah sampel yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 50 KK. Penetapan jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini telah memenuhi kaidah pengambilan sampel secara statistik yaitu minimal sebanyak 30 data/sampel dimana data tersebut mendekati sebaran normal.

3.5MetodePengolahan Data dan Analisis Data

Metode pengolahan data sumberdaya hutan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Penentuan nilai ekonomi dan metode penilaian

No. Nilai Ekonomi Metode Penilaian

1 Nilai Guna Langsung

a. Nilai Kayu Log Penilaian Berdasarkan Harga Pasar b. Nilai Getah Kopal Penilaian Berdasarkan Harga Pasar c. Nilai Getah Pinus Penilaian Berdasarkan Harga Pasar d. Nilai Pendidikan Lingkungan Penilaian Berdasarkan Harga Pasar e. Nilai Kayu Bakar Penilaian Berdasarkan Harga Pasar

f. Nilai Air Pendekatan CVM

2 Nilai Guna Tidak Langsung

a. Nilai Penyerap Karbon Penilaian Berdasarkan Harga Pasar b. Nilai Pencegah Erosi Pendekatan Biaya Pengganti c. Nilai Keanekaragaman Hayati Pendekatan Biaya Pengganti 3 Nilai Bukan Guna

a. Nilai Keberadaan Pendekatan Biaya Pengganti b. Nilai Warisan Penilaian Berdasarkan Harga Pasar

Analisis penilaian ekonomi barang dan jasa dilakukan dua tahap, yaitu: analisis biofisik dan sosial ekonomi. Tahap pertama adalah analisis hasil inventarisasi hutan dari 3 wilayah, yaitu: Cimenyan, Tangkalak, dan Cikatomas. Analisis ini dimaksudkan untuk menduga potensi kayu di HPGW. Kemudian, analisis data produksi kopal dan getah pinus. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui besarnya manfaat pengelolaan kopal dan getah pinus. Setelah itu, perhitungan manfaat biofisik dalam nilai rupiah.


(13)

Tahap kedua adalah analisis sosial ekonomi dengan metode pendekatan preferensi dan pendekatan biaya pengganti. Metode tersebut digunakan untuk menentukan nilai ekonomi dari manfaat lingkungan dengan mengukur nilai produktivitas manfaat air. Manfaat ekonomi dari aspek penilaian preferensi didasarkan pada penilaian responden yang bertempat tinggal di sekitar HPGW.

3.6 ValuasiEkonomi Hutan Pendidikan Gunung Walat 3.6.1 NilaiGuna Kayu Log (NKL)

Luas areal HPGW dibagi menjadi 3 bagian, yaitu: blok Cimenyan, Tangkalak, dan Cikatomas. Nilai kayu (NKL) dihitung berdasarkan harga kayu log di tingkat industri dan pasar lokal per jenis kayu (Rp/m3) dikali dengan potensi areal setiap blok. Kemudian dijumlahkan setiap NKL per blok untuk mengetahui NKL seluruhnya dengan rumus:

NKL = ∑ (PKLij x HKLij) ...(1)

PKL = ∑ (PKHij x LAij) ...(2) Keterangan:

NKL = Nilai total kayu log (Rp)

PKLij = Potensi kayu log jenis ke-i di areal HPGW j (m3)

HKLij = Harga kayu log per kubik jenis ke-i di lokasi HPGW j (Rp/m3) PKHij = Potensi kayu log per hektar jenis ke-i, di areal HPGW j (m3/ha) LAj = Luas areal HPGW ke-j (ha)

i = Jenis kayu

j = Areal HPGW (ha)

3.6.2 Nilai Guna GetahAgathis dan Pinus

Nilai kopal dan getah pinus diduga dari pendekatan harga pasar dengan rumus sebagai berikut:

NGi = Mi x HGi...(3) Keterangan:

NGi = Nilai getah ke-i (Rp)

Mi = Jumlah getah yang dikumpulkan ke-i (kg) HGi = Harga getah ke-i (Rp/kg)


(14)

3.6.3 NilaiPendidikan Lingkungan

Nilai ekonomi pendidikan lingkungan diduga melalui pendekatan langsung (harga pasar) yaitu laporan keuangan HPGW tahun 2010 dengan persamaan sebagai berikut:

NPL = P ...(4) Keterangan:

NPL = Nilai pendidikan lingkungan (Rp/tahun) P = Pemasukan kas (Rp/tahun)

3.6.4 Nilai Guna Kayu Bakar

Harga (biaya pengganti) kayu bakar dapat diduga melalui pendekatan harga pasar di daerah Sukabumi dengan rumus:

NKB = RRKB x FKBB x PPKB x P...(5)

Keterangan:

NKB = Nilai kayu bakar (Rp/tahun)

RRKB = Rata-rata kumpul kayu bakar (m3/hari/orang) FKBB = Frekuensi kumpul kayu bakar per tahun PPKB = Populasi pemakai kayu bakar (orang) P = Harga (Rp)

3.6.5 Nilai Ekonomi Air

3.6.5.1Analisis Nilai WTP (Willingness to Pay)Pemanfaat Air dari HPGW Nilai WTP dari pengguna air DAS Cimandiri dianalisis dengan menggunakan CVM (Contingent Valuation Method), tahap-tahap yang akan dilakukan, sebagai berikut:

1. Membuat Pasar Hipotetik

Dalam penelitian ini pasar hipotetik akan dibentuk atas dasar terjadinya peningkatan kebutuhan air dari HPGW oleh masyarakat sekitar sebagai sumber air rumah tangga. Dalam upaya pembuatan jaringan-jaringan saluran air minum dan pelestarian lingkungan DAS diperlukan anggaran agar upaya tersebut dapat dilaksanakan. Salah satu sumber dana yang dapat digunakan adalah dengan adanya pembayaran jasa lingkungan. Selanjutnya, pasar hipotetik akan dituangkan dalam bentuk skenario, sebagai berikut :


(15)

“DAS Cimandiri merupakan DAS yang terletak di Gunung Walat, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. DAS Cimandiri memiliki sub-DAS, seperti: Cipeureu, Citangkalak, Cikabayan, Cikatomas, dan Legok Pusar. Keberadaannya menghasilkan sumber air yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar, seperti: air untuk kebutuhan rumah tangga, air irigasi, dan perkebunan. Saat ini kebutuhan air untuk rumah tangga dirasakan semakin meningkat sehingga pihak pengelola HPGW berencana membuat jaringan-jaringan saluran air minum kepada masyarakat sekitar. Namun hal tersebut memerlukan partisipasi aktif dari para pemanfaat air yang berasal dari HPGW dengan adanya pembayaran jasa lingkungan. Selanjutnya dana tersebut akan dialokasikan sebagai dana untuk biaya alat-alat pembuatan jaringan-jaringan saluran air minum, pengeluaran gaji pekerja

pembuatan saluran air minum, dan pemeliharaan jaringan air minum.”

2. Mendapatkan Penawaran Besarnya Nilai WTP

Untuk mendapatkan nilai penawaran pada penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode dichcotomous choice (model referendum), yaitu: menawarkan kepada responden jumlah uang tertentu dan menanyakan apakah responden bersedia membayar atau tidak sejumlah uang tersebut dalam pembuatan saluran air minum. Besarnya nilai WTP yang diajukan kepada responden dalam penelitian ini ditetapkan acuan nilai/harga dari perusahaan air minum sejenis. Metode ini memberikan kemudahan kepada responden dalam memahami maksud dan tujuan penelitian. Selain itu, dengan menggunakan metode ini responden yang cenderung bersedia membayar dan responden yang cenderung tidak bersedia membayar akan lebih mudah diklasifikasi.

3. Memperkirakan Nilai Rata-rata WTP

WTP dapat diduga dengan menggunakan nilai rata-rata dari penjumlahan keseluruhan nilai WTP dibagi dengan jumlah responden. Dugaan rataan WTP dihitung dengan rumus :

EWTP = (∑ Wi)/n...(6) Keterangan:

EWTP = Dugaan rataan WTP Wi = Nilai WTP ke-i n = Jumlah responden


(16)

i = Responden ke-i yang bersedia membayar (i= 1, 2,…, n) 4. Memperkirakan Kurva WTP

Pendugaan kurva WTP dilakukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

WTP = f (KA, JPA, JKA, JRSA, TP, RPDT)...(7) Keterangan:

WTP = Nilai WTP responden (Rp)

KA = Kualitas air (bernilai 1 jika sangat jernih, bernilai 2 jika jernih, bernilai 3 jika biasa, dan bernilai 4 jika kotor)

JPA = Jumlah pengguna air (orang) JKA = Jumlah konsumsi air (liter)

JRSA = Jarak antara responden dengan sumber mata air HPGW (meter) TP = Tingkat pendidikan (tahun)

RPDT = Rata-rata pendapatan per bulan (Rp/bulan)

5. Menjumlahkan Data

Setelah menduga nilai tengah WTP maka selanjutnya diduga nilai total WTP dari masyarakat dengan menggunakan rumus :

TWTP = ∑ WTPi (ni/N) x P.......(8) Keterangan:

TWTP = Total WTP

WTPi = WTP individu sampel ke-i

ni = Jumlah sampel ke-i yang bersedia membayar sebesar WTP N = Jumlah sampel

P = Jumlah populasi

i = Respoden ke-i yang bersedia membayar ( i = 1, 2,…, n) 6. Evaluasi Penggunaan CVM

Pada tahap ini dilakukan penilaian sejauh mana penggunaan CVM telah berhasil diaplikasikan. Evaluasi penggunaan CVM dapat dilakukan dengan menggunakan koefisien determinasi (R2) dari analisis regresi. Dengan melihat besarnya R2, tingkat reabilitas dari penggunaan CVM dapat dilihat.

3.6.5.2Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Besarnya Nilai WTP Pemanfaat Air HPGW

Analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap besarnya nilai WTP pemanfaat air HPGW dilakukan dengan menggunakan regresi linier berganda. Persamaan regresi besarnya nilai WTP dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


(17)

WTP = β0 + β1KA + β2JPA + β3JKA + β4JRSA + β5TP + β6RPDT...(9) Keterangan:

WTP = Nilai WTP responden (Rp)

β0 = Intersept

β1,., β6 = Koefisien regresi

KA = Kualitas air (bernilai 1 jika sangat jernih, bernilai 2 jika jernih, bernilai 3 jika biasa, dan bernilai 4 jika kotor)

JPA = Jumlah pengguna air (orang) JKA = Jumlah konsumsi air (liter)

JRSA = Jarak antara responden dengan sumber mata air HPGW (meter) TP = Tingkat pendidikan (tahun)

RPDT = Rata-rata pendapatan per bulan (Rp/bulan) i = Responden ke-i (i = 1, 2,…, n)

ε = Galat atau error

Variabel-variabel tersebut diduga mempengaruhi nilai WTP responden dalam upaya penyediaan saluran air minum dari HPGW.

3.6.6 Nilai Penyerap Karbon

Untuk menentukan nilai/harga dari penyerapan karbon di lokasi penelitian didasarkan pada analisis manfaat dan biaya, dengan rumus:

NPK = VB x BJ x CO x nC...(10) Keterangan:

NPK = Nilai penyerap karbon (Rp) VB = Volume biomassa (m3) BJ = Berat jenis kayu (kg/m3)

CO = Kandungan karbon dalam kayu (kg) nC = Harga karbon (Rp/ton)

3.6.7 Nilai Pencegah Erosi

Penentuan nilai pencegah erosi dilakukan dengan pendekatan biaya pengganti, yaitu biaya yang harus dikorbankan untuk mencegah erosi dengan rumus:

NPE = (BLP + BLNP) x L...(11) Keterangan:

NPE = Nilai pencegah erosi (Rp/tahun) BLP = Biaya untuk lahan pertanian (Rp/ha) BLNP = Biaya untuk lahan non-pertanian (Rp/ha) L = Luas areal (ha)


(18)

3.6.8 NilaiKeanekaragaman Hayati

Nilai keanekaragaman hayati dihitung berdasarkan pada biaya pengganti dengan rumus sebagai berikut:

NB = NKH x L...(12)

Keterangan:

NB = Nilai keanekaragaman hayati (Rp/tahun)

NKH = Nilai keanekaragaman hayati per hektar (Rp/ha/tahun) L = Luas areal (ha)

3.6.9 Nilai Keberadaan

Dalam menentukan nilai keberadaan, dilakukan berdasarkan biaya pengganti dengan rumus:

NK = BPE x L...(13) Keterangan:

NK = Nilai keberadaan (Rp/tahun)

BPE = Biaya pemulihan ekologi (Rp/ha/tahun) L = Luas areal (ha)

3.6.10 Nilai Warisan

Nilai warisan diduga melalui pendekatan langsung (harga pasar) dengan rumus sebagai berikut:

NW = VBi x HBi...(14) Keterangan:

NW = Nilai warisan (Rp/tahun)

VBi = Volume bibit alam jenis ke-i (batang) HBi = Harga bibit alam jenis ke-i (Rp/batang)


(19)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Sejarah Gunung Walat

Pembangunan Hutan Pendidikan Kehutanan berawal pada tahun 1959, ketika Fakultas Kehutanan IPB masih merupakan Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Indonesia. Tahun 1959 dibangun Hutan Percobaan di Darmaga seluas 50 ha, yang diikuti dengan pembangunan Kampus Kehutanan di Darmaga. Fakultas Kehutanan idealnya dikelilingi oleh hutan agar kegiatan belajar mengajar dapat berjalan dengan baik, terutama dalam rangka lebih memahami model pengelolaan hutan lestari di lapangan. Hutan percobaan seluas 50 ha tersebut dirasakan kurang mencukupi, sehingga pada tahun 1960 mulai membangun Hutan Pendidikan di Pasir Madang, seluas 500 ha, setelah ditanam seluas 50 ha, lahan tersebut diambil alih oleh PT. Tjengkeh Indonesia.

Tahun 1961 dilakukan penjajakan ke Pemerintah Daerah Jawa Barat untuk dapat mengelola kawasan hutan di Komplek Hutan Gunung Walat. Tahun 1963 berdiri Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, bersamaan dengan berdirinya Institut Pertanian Bogor sebagai wujud pengembangan pendidikan tinggi pertanian Universitas Indonesia menjadi Lembaga Pendidikan Tinggi Pertanian yang mandiri. Tahun 1967 dilakukan penjajakan kerjasama oleh IPB kepada Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat dan Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian untuk mengusahakan areal Gunung Walat menjadi Hutan Pendidikan. Hasil dari usaha tersebut pada tahun 1968 Komplek Hutan Pendidikan Gunung Walat mulai dibina oleh Fakultas Kehutanan IPB.

Surat Keputusan Kepala Jawatan Kehutanan Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 7041/IV/69 diterbitkan tanggal 14 Oktober 1969 yang menyatakan bahwa Komplek Hutan Gunung Walat seluas 359 ha ditunjuk sebagai Hutan Pendidikan yang pengelolaannya diserahkan kepada IPB. Tahun 1973 diterbitkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Kehutanan No. 291/DS/73 tertanggal 24 Januari 1973 tentang Pengelolaan Hutan Pendidikan Gunung Walat. Tertanggal 19 februari 1973 dilakukan penandatanganan Surat Perjanjian Pinjam Pakai Tanah Hutan Gunung Walat sebagai Hutan Pendidikan oleh Kepala Dinas Kehutanan


(20)

Jawa Barat dengan Rektor IPB. Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 008/Kpts/DII/73 maka kemudian IPB mendapat hak pakai atas Komplek Hutan Pendidikan Gunung Walat. Tahun 1992 Menteri Kehutanan menerbitkan Surat Keputusan No. 687/kpts-II/92 tentang penunjukan Komplek Hutan Gunung Walat di Daerah Tingkat II Sukabumi Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat seluas 359 ha menjadi Hutan Pendidikan.

Menteri Kehutanan menerbitkan Surat Keputusan No. 188/Menhut-II/2005 tertanggal 8 Juli 2005, tentang penunjukan dan penetapan kawasan Hutan Produksi Terbatas Komplek Hutan Pendidikan Gunung Walat seluas 359 ha sebagai Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDK) untuk Hutan Pendidikan dan Latihan Gunung Walat Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor untuk jangka waktu 20 tahun. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor diberi hak pengelolaan penuh terhadap kawasan Hutan Pendidikan dan Latihan Gunung Walat.

4.2 Letak dan Posisi Geografis

Hutan Pendidikan Gunung Walat terletak 2,4 km dari poros jalan Sukabumi-Bogor (Desa Segog). Berjarak 46 km dari Simpang Ciawi dan 12 km dari Sukabumi. HPGW memiliki luas 359 ha, yang secara geografis terletak pada koordinat 6053’35” - 6055’10” LS dan 106047’50” - 106051’30” BT. Administrasi kehutanan areal HPGW termasuk BKPH Gede Barat, KPH Sukabumi, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, sedangkan secara administrasi pemerintahan termasuk dalam wilayah Kecamatan Cicantayan dan Cibadak, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Desa-desa yang terletak dan berdekatan dengan HPGW adalah Desa Batununggal dan Sekarwangi (di Bagian Utara), Desa Cicantayan, Desa Cijati (di Bagian Timur), Desa Hegarmanah (di Bagian Selatan). Hutan Pendidikan Gunung Walat dibagi kedalam 3 blok, yaitu: blok Cikatomas (120 ha) terletak di bagian Timur, blok Cimenyan (125 ha) terletak dibagian Barat dan blok Tangkalak/Seseupan (114 ha) di bagian Tengah dan Selatan.

4.3 Jenis Tanah dan Topografi

Berdasarkan peta tanah Gunung Walat skala 1:10.000 tahun 1981, jenis tanah Gunung Walat, yaitu: keluarga tropophumult tipik (latosol merah


(21)

kekuningan), tropodult (latosol coklat), dystropept tipik (podsolik merah kekuningan), dan troporpent lipik (latosol). Keadaan ini menunjukkan bahwa tanah di Hutan Gunung Walat bersifat heterogen. Tanah latosol merah kekuningan adalah jenis tanah yang terbanyak di daerah berbatu hanya terdapat tanah latosol dan di daerah lembah terdapat tanah podsolik.

Hutan Pendidikan Gunung Walat terletak pada ketinggian 460 – 715 mdpl dengan topografi yang bervariasi dari landai sampai bergelombang. HPGW merupakan bagian dari pegunungan yang berderet dari Timur ke Barat. Bagian selatan merupakan daerah yang bergelombang mengikuti punggung-punggung bukit yang memanjang dan melandai dari Utara ke Selatan, di bagian tengah terdapat puncak dengan ketinggian 676 m di atas permukaan laut, sedangkan ke bagian Utara mempunyai topografi yang semakin curam. Punggung bukit kawasan ini terdapat dua patok triangulasi KN 2.212 (670 mdpl) dan KN 2.213 (720 mdpl). Kondisi topografi agak curam berkisar 15 – 25% sampai sangat curam (>40%).

4.4 Iklim dan Hidrologi

Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, daerah Gunung Walat mempunyai tipe iklim B (basah) dengan nilai Q = 14,3% - 33% dengan banyaknya curah hujan tahunan berkisar antara 1.600 – 4.400 mm (menurut data curah hujan Gunung Walat dari tahun 1980 hingga tahun 1992). Daerah Gunung Walat memiliki suhu minimum 190C untuk malam hari dan suhu maksimum pada siang hari 290C.

Areal Hutan Pendidikan Gunung Walat beriklim basah yang dapat dikembangkan menjadi objek studi hutan tropika basah yang cukup representatif. HPGW merupakan sumber air bersih yang penting bagi masyarakat sekitarnya terutama di bagian Selatan yang memiliki sejumlah sungai kecil yang airnya sebagian besar mengalir sepanjang tahun, beberapa aliran sungai yang umumnya mengalir ke arah Selatan, yaitu: anak Sungai Cipeureu, Citangkalak, Cikabayan, Cikatomas, dan Legok Pusar. Kawasan HPGW termasuk ke dalam sistem pengelolaan DAS Cimandiri.


(22)

4.5 Geologi

Kandungan batu alam di HPGW terdiri dari batuan sedimen vulkanik berwarna hijau semu abu-abu yang membentuk seri lapisan yang sangat tebal. Tebal setiap lapisan berkisar antara beberapa centimeter hingga kurang dari 35 cm. Gunung Walat terdiri dari lapisan tufa dasit yang pada horizon tertentu diselingi dengan batuan batuan tufa andesit yang merupakan bagian dari formasi breksi tua yang berumur Meosin. Keadaan Gunung Walat merupakan pulau Meosin di tengah-tengah formasi batuan vulkanik kuarter yang berasal dari Gunung Salak dan Gunung Gede. Gunung Walat dan sekitarnya dibangun oleh batuan sedimen tersier bawah (oligosen) yang disebut formasi Walat. Formasi Walat terutama disusun oleh batu pasir kuarsa yang berlapiskan silang konglomerat kerakal kuarsa lempung, lignit lapisan-lapisan arang tipis. Semakin ke atas ukuran butiran bertambah dan tersingkap di Gunung Walat (dekat Cibadak) serta daerah sekitarnya. Pasir dari formasi ini dapat digunakan untuk pembuatan gelas dan diperkiraan tebalnya antara 1.000 meter hingga 1.373 meter.

4.6 Keadaan Vegetasi

Hutan Gunung Walat pada mulanya berupa lahan kosong, dan sejak tahun 1951 dilakukan penanaman dengan jenis tanaman Agathis loranthifolia. Tahun 1973 penutupan lahan telah mencapai 53%, dan pada tahun 1980 telah mencapai 100%. Tegakan HPGW terdiri dari Agathis loranthifolia, Pinus merkusii,

Swietenia macrophylla, Dalbergia lantifolia, Schima Wallichii, Gliricidae sp.,

Altingia excelsa, Paraserianthes falcataria, Shorea sp., dan Acacia mangium. Tahun 2005 ditemukan 44 jenis tumbuhan potensial termasuk 2 jenis rotan dan 13 jenis bambu. Jumlah tumbuhan obat sebanyak 68 jenis.

Potensi hutan tanaman berdasarkan hasil inventarisasi hutan tahun 2010 yang dilakukan oleh Universitas Gottingen (TIF) adalah sebanyak 11.381 m3 kayu

Agathis loranthifolia (damar), kayu Pinus merkusii (pinus) 62.782 m3, kayu

Schima wallichii (puspa) 5.943 m3, tanaman campuran (mix plantation) sebanyak 19.809 m3 dan hutan sekunder (secondary forest) sebanyak 826 m3. HPGW juga memiliki lebih dari 100 pohon plus damar, pinus, maesopsis/kayu afrika sebagai sumber benih dan bibit unggul.


(23)

4.7 Fauna

Areal HPGW memilki beraneka ragam jenis satwa liar yang meliputi jenis-jenis mamalia, reptilia, burung, dan ikan. Jenis mamalia yang ada yaitu babi hutan (Sus scrofa), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), kelinci liar (Nesolangus sp.), meong congkok (Felis bengalensis), tupai (Callociurus sp.).

4.8 Kondisi Umum Desa Hegarmanah 4.8.1 Letak dan batas

Desa Hegarmanah memiliki luas 1.488,13 ha yang terletak di bagian selatan HPGW termasuk dalam wilayah Kecamatan Cicantayan, Kabupaten Sukabumi, yang mengalami pemekaran wilayah. Secara geografis, Desa Hegarmanah terletak dalam koordinat 6,570 LS dan 106,410 BT. Adapun batas-batas Desa Hegarmanah adalah sebagai berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Batununggal, Kecamatan Cibadak; 2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Bojongkembar, Kecamatan

Cikembar;

3. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Cicantayan dan Sukadamai, Kecamatan Cicantayan;

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sukamulya dan Desa Sekarwangi, Kecamatan Cikembar.

4.8.2 Kondisi fisk wilayah

Topografi Desa Hegarmanah memiliki bentang alam yang bervariasi mulai datar sampai pegunungan, dengan presentase masing-masing yaitu dataran rendah 29,96%, berbukit 1,83%, dan dataran tinggi atau pegunungan 68,16%. Sebagian lahan desa berupa perbukitan dan pegunungan dengan luas 1,042,33 ha dan sisanya berupa dataran seluas 446 ha. Ketinggian tempat terletak pada 600 - 700 mdpl.

4.8.3 Tata GunaLahan dan Struktur Pemilikan Lahan

Fungsi utama lahan yang ada di Desa Hegarmanah adalah sebagai lahan pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Penggunaan lahan secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 2.


(24)

Tabel 2. Tata guna lahan di Desa Hegarmanah

No. Pola penggunaan lahan Luas (ha) Persentase (%)

1 Fasilitas umum 18,6 1,25

2 Pemukiman 26 1,75

3 Pertanian/palawija 24 1,61

4 Perkebunan rakyat 783,028 52,62

5 Peternakan 25 1,68

6 Perikanan 1,5 0,1

7 Hutan 359 24,12

8 Perkebunan swasta 130 8,74

9 Persawahan 121 8,13

Total 1488,13 100

Sumber : Potensi Desa Hegarmanah Tahun 2011 4.8.4 Kependudukan

Jumlah penduduk Desa Hegarmanah sampai bulan Maret 2011 adalah 8.314 jiwa terdiri dari (49,89%) 4.148 jiwa laki-laki dan (50,1%) 4.215 jiwa perempuan dengan jumlah kepala keluarga (KK) 2479.

4.8.5 Mata Pencaharian

Sebagian penduduk bermatapencaharian dibidang pertanian baik sebagai petani maupun sebagai buruh tani sebesar 33,71%. Ada juga yang bekerja sebagai pekerja, pedagang, pegawai negeri, pensiunan. Gambaran penduduk Desa Hegarmanah berdasarkan jenis pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Distribusi matapencaharian penduduk Desa Hegarmanah

Sumber : Potensi Desa Hegarmanah Tahun 2011 4.8.6 Pendidikan

Sarana pendidikan formal tingkat TK/PAUD berjumlah 15 unit, SD/MI 5 unit, SLTP/Sederajat 2 unit, SLTA/Sederajat 1 unit. Jumlah peserta didik sampai Maret 2011 dapat dilihat pada Tabel 4.

No. Jenis matapencaharian Jumlah (orang) Persentase (%)

1 Pegawai negeri 24 0,55

2 Petani/buruh tani 1472 33,71

3 Pekerja/karyawan 364 8,34

4 Pensiunan 15 0,34

5 Pedagang 250 5,72

6 Buruh 350 8,01

7 Usaha lain 552 12,64

8 Pelajar dan mahasiswa 1340 30,68


(25)

Tabel 4. Jumlah peserta didik di Desa Hegarmanah

Sumber : Potensi Desa Hegarmanah Tahun 2011 4.9 Karakteristik Responden

Karakteristik umum responden di Desa Hegarmanah berdasarkan survei terhadap 50 responden. Karakteristik umum responden ini dijelaskan dari beberapa kriteria seperti yang dijelaskan di bawah ini.

4.9.1 Jenis kelamin responden

Sebagian reponden yang masuk dalam survei adalah laki-laki yaitu berjumlah 27 orang (54%), sedangkan yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 23 orang (46%). Dominasi responden responden laki-laki karena pemimpin dan pengambil keputusan dalam sebuah keluarga pada umumnya adalah laki-laki sehingga dalam penelitian ini kepala keluarga (laki-laki) sangat berperan dalam pengambilan keputusan dalam menjawab pertanyaan yang dilakukan pada saat survei. Perbandingan persentase jenis kelamin responden disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin.

No. Jenis Jumlah (orang) Persentase (%)

1 TK/PAUD 275 20,52

2 SD/MI 550 41,04

3 SLTP/sederajat 270 20,15

4 SLTA/sederajat 210 15,67

5 Perguruan tinggi 35 2,61

Total 1340 100

54% 46%

Jenis Kelamin

Laki-laki Perempuan


(26)

4.9.2 Tingkat usia

Tingkat usia responden cukup bervariasi dengan distribusi usia antara 21 tahun sampai 83 tahun. Sebanyak 21 persen responden atau sebanyak 10 orang berada pada kisaran usia 21 - 29 tahun. Sebanyak 30 persen responden atau sebanyak 15 orang berusia 30 – 38 tahun. Perbandingan persentase tingkat usia responden dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Karakteristik responden berdasarkan tingkat usia.

4.9.3 Status perkawinan

Pada penelitian ini sebagian besar responden yaitu sebanyak 4 persen atau 2 orang memiliki status pernikahan belum menikah. Sedangkan sisanya, sebesar 96 persen responden sudah menikah. Perbandingan persentase status pernikahan responden Desa Hegarmanah ditampilkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Karakteristik responden berdasarkan status pernikahan. 20%

30% 14%

24%

8% 2% 2%

Tingkat Usia

21-29 30-38 39-47 48-56 57-65 66-74 75-83

96% 4%

Status Perkawinan

Sudah menikah Belum Menikah


(27)

4.9.4 Jumlah tanggungan

Jumlah tanggungan yang dimaksudkan pada penelitian ini mencakup keluarga inti (anak dan istri/suami) serta tambahan tanggungan bukan keluarga inti yang tinggal di rumah responden maupun tidak tetapi kebutuhannya dibiayai responden. Persentase jumlah tanggungan responden disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Karakterisitik responden berdasarkan jumlah tanggungan.

4.9.5 Tingkatpendidikan formal terakhir

Tingkat pendidikan terakhir responden bervariasi mulai dari tidak sekolah sampai ke jenjang perguruan tinggi. Sebanyak 5 orang (10%) responden tidak sekolah, sabanyak 31 orang responden (62%) menamatkan pendidikannya sampai Sekolah Dasar (SD), sejumlah 6 orang responden (12%) tamatan Sekolah Menengah Pertama (SMP), sejumlah 5 orang responden (10%) tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA), dan sejumlah 3 orang responden (6%) menamatkan pendidikannya sampai Perguruan Tinggi. Perbandingan persentase tingkat pendidikan terakhir responden dapat dilihat pada Gambar 6.

10%

48% 34%

4% 4%

Jumlah Tanggungan

1-2 orang 3-4 orang 5-6 orang 7-8 orang 9-10 orang


(28)

Gambar 6. Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan.

4.9.6 Jenis pekerjaan

Jenis pekerjaan di Desa Hegarmanah bervariasi mulai dari Ibu Rumah Tangga (IRT), wirausaha, buruh, wiraswasta, pegawai negeri, dan petani. Perbandingan persentase jumlah responden pada setiap jenis pekerjaan dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Karakteristik responden berdasarkan jenis pekerjaan. 10%

62% 12%

10% 6%

Tingkat Pendidikan

Tidak Sekolah SD

SMP SMA

Perguruan Tinggi

28%

18% 28%

8%

2% 16%

Jenis Pekerjaan

IRT Wirausaha Buruh Wiraswasta PNS Petani


(29)

4.9.7 Rata-rata pendapatan

Tingkat rata-rata pendapatan responden dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini.

Tabel 5. Tingkat rata-rata pendapatan responden

Rata-rata pendapatan Persentase (%) Jumlah responden

Rp. 150.000 - Rp. 900.000 68 34

Rp. 900.001 - Rp. 1.600.000 20 10

Rp. 1.600.001 - Rp. 2.300.000 4 2

Rp. 2.300.001 - Rp. 3.000.000 2 1

Rp. 3.000.001 - Rp. 3.700.000 2 1

Rp. 3.700.001 - Rp. 4.400.000 2 1

Rp. 4.400.001 - Rp. 5.100.000 2 1

Total 100 50

Sumber: Data sekunder diolah (2011)

Berikut persentase rata-rata pendapatan rumah tangga responden di Desa Hegarmanah dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendapatan 68%

20%

4% 2% 2% 2%

2% Tingkat Pendapatan

Rp. 150.000 - Rp. 900.000 Rp. 900.001 - Rp. 1.600.000 Rp. 1.600.001 - Rp. 2.300.000 Rp. 2.300.001 - Rp. 3.000.000 Rp. 3.000.001 - Rp. 3.700.000 Rp. 3.700.001 - Rp. 4.400.000 Rp. 4.400.001 - Rp. 5.100.000


(30)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Identifikasi Manfaat HPGW

Manfaat langsung HPGW yang berhasil diidentifikasi adalah manfaat langsung, yaitu: getah pinus, getah kopal, pendidikan lingkungan (kunjungan), kayu bakar, dan air. Saat ini pengelola HPGW memanfaatkan getah pinus, getah kopal, pendidikan lingkungan (kunjungan), dan air. Sedangkan masyarakat sekitar HPGW khususnya Desa Hegarmanah memanfaatkan kayu bakar dan air untuk keperluan sehari-hari.

Manfaat tidak langsung yang berhasil diidentifikasi adalah peranan HPGW sebagai penyerap karbon, pencegah erosi, dan keanekaragaman hayati (biodiversity) yang sangat penting bagi kehidupan.

Manfaat bukan kegunaan (non use-value) yang berhasil diidentifikasi adalah manfaat keberadaan dari sebuah ekosistem HPGW yang didalamya terdapat proses ekologis dari komponen biofisik. Kemudian manfaat bukan guna lainnya adalah nilai warisan yang memiliki wujud dari nilai bibit alami yang dapat diwarisi ke generasi/kepengurusan HPGW berikutnya.

5.2 AnalisisWTP terhadap Mata Air HPGW

Pada penelitian ini responden yang diwawancara sebanyak 50 responden dimana mereka diminta pendapatnya mengenai kesediaan untuk melakukan pembayaran jasa lingkungan, selain tentang persepsi terhadap adanya penetapan kebijaksanaan pembayaran jasa lingkungan sebagai upaya konservasi mata air dari HPGW. Hal tersebut disebabkan karena terdapat beberapa beberapa responden yang setuju dilakukan upaya konservasi namun tidak bersedia membayar pembayaran jasa lingkungan. Alasan responden yang menjawab bahwa mereka setuju dengan upaya konservasi yang akan dilakukan namun tidak bersedia untuk membayar adalah responden merasa bahwa mereka tidak mempunyai uang lebih untuk jasa lingkungan yang mereka terima dan mereka beranggapan bahwa hal ini merupakan tanggung jawab pemerintah untuk


(31)

memberikan sedikit anggaran pemerintah untuk melestarikan kualitas dan kuantitas mata air dari HPGW.

Berdasarkan pendapat responden mengenai kesediaannya untuk membayar jasa lingkungan terdapat 41 responden (82%). Sedangkan 9 responden (18%) tidak bersedia membayar jasa lingkungan. Alasan responden yang bersedia membayar jasa lingkungan adalah adanya upaya konservasi di mata air dari HPGW maka mereka dapat memanfaatkan jasa lingkungan yang disediakan oleh mata air tersebut sampai generasi mendatang.

Pendekatan CVM dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisis WTP responden terhadap pembayaran jasa lingkungan yang akan diterapkan di mata air dari HPGW. Hasil pelaksanaan CVM adalah sebagai berikut:

1. Membangun pasar hipotesis (setting-up the hypothetical market)

Berdasarkan pasar hipotesis yang telah dibangun pada saat penelitian yaitu situasi hipotetik yang menggambarkan keadaan lingkungan mata air dari HPGW pada masa mendatang akan mengalami penurunan kualitas dan kuantitas sehingga akan dilakukan suatu instrumen ekonomi berupa pembayaran jasa lingkungan untuk menanggulangi penurunan tersebut, maka responden memperoleh gambaran tentang situasi hipotetik yang dibangun mengenai upaya perbaikan kualitas dan kuantitas mata air dari HPGW.

2. Memperoleh nilai WTP (obtaining bids)

Berdasarkan skenario yang ditawarkan pada responden dalam bentuk kuisioner, diperoleh jawaban pilihan responden terhadap tawaran nilai atas kesediaan mereka untuk membayar sejumlah uang untuk ikut andil dalam pembayaran jasa lingkungan.

3. Menghitung dugaan nilai WTP (estimating mean WTP/EWTP)

Dugaan nilai WTP (EWTP) responden dihitung berdasarkan data distribusi WTP responden. Data distribusi WTP responden dapat dilihat pada Tabel 6.


(32)

Tabel 6. Distribusi WTP responden masyarakat Desa Hegarmanah

No. Kelas WTP (Rp/KK/lt)

Frekuensi (Responden)

Frekuensi

Relatif Jumlah (Rp/lt)

1 0,20 2 0,05 0,01

2 0,30 1 0,02 0,01

3 0,40 3 0,07 0,03

4 0,50 2 0,05 0,02

5 0,70 2 0,05 0,03

6 0,90 1 0,02 0,02

7 1,00 2 0,05 0,05

8 1,10 1 0,02 0,03

9 1,40 2 0,05 0,07

10 1,60 1 0,02 0,04

11 2,30 1 0,02 0,06

12 2,50 2 0,05 0,12

13 2,70 1 0,02 0,07

14 2,90 1 0,02 0,07

15 3,60 1 0,02 0,09

16 9,20 1 0,02 0,22

17 13,20 1 0,02 0,32

18 42,10 1 0,02 1,03

19 47,40 3 0,07 3,47

20 52,60 3 0,07 3,85

21 60,50 1 0,02 1,48

22 63,20 1 0,02 1,54

23 78,90 6 0,15 11,55

24 105,30 1 0,02 2,57

Total 41 1,000 26,73

Sumber: Data Primer Diolah (2011)

Kelas WTP responden dengan menentukan terlebih dahulu nilai terkecil sampai nilai terbesar WTP yang ditawarkan responden. Dengan demikian dapat diperoleh nilai rataan WTP (EWTP) sebesar Rp 26,69/KK/liter.

4. Memperkirakan kurva WTP (estimating bid curve)

Kurva WTP responden berdasarkan nilai WTP responden terhadap jumlah responden yang memilih nilai WTP tersebut. Gambar 9 dibawah ini menjelaskan kurva permintaan WTP terhadap pembayaran jasa lingkungan.


(33)

Gambar 9. Kurva permintaan WTP terhadap pembayaran jasa lingkungan Berdasarkan dugaan kurva permintaan WTP dapat dihitung surplus konsumen yang akan diperoleh masyarakat. Surplus konsumen adalah kelebihan yang diterima responden karena nilai WTP yang diinginkan lebih tinggi daripada nilai WTP rata-ratanya. Perhitungan surplus konsumen dapat didasarkan pada rumus:

SK = ∑ (WTPi – P) dimana WTPi > P...(15) Keterangan:

SK = Surplus konsumen WTPi = WTP responden ke-i P = WTP rata-rata

Sehingga surplus konsumen responden terhadap pembayaran jasa lingkungan mata air HPGW adalah sebesar Rp 16,44/KK/liter.

5. WTP agregat atau total WTP (TWTP)

Nilai total (TWTP) responden dihitung dengan menggunakan rumus (8). Dari kelas WTP dikalikan dengan frekuensi relatif (ni/N) kemudian dikalikan dengan populasi dari tiap kelas WTP. Hasil perkalian tersebut kemudian dijumlahkan sehingga didapatkan total WTP (Rp/liter) oleh responden. Hasil perhitungan TWTP dapat dilihat pada Tabel 7.

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00

0 10 20 30 40 50

WT

P

(Rupi

a

h/l

it

er

)

Jumlah Responden (Orang)

WTP


(34)

Tabel 7. Total WTP responden masyarakat terhadap mata air dari HPGW

No. Kelas WTP (Rp/KK/lt)

Frekuensi

(Responden) Populasi Jumlah (Rp/lt)

1 0,20 2 120,93 24,19

2 0,30 1 60,46 18,14

3 0,40 3 181,39 72,56

4 0,50 2 120,93 60,46

5 0,70 2 120,93 84,65

6 0,90 1 60,46 54,42

7 1,00 2 120,93 120,93

8 1,10 1 60,46 66,51

9 1,40 2 120,93 169,30

10 1,60 1 60,46 96,74

11 2,30 1 60,46 139,07

12 2,50 2 120,93 302,32

13 2,70 1 60,46 163,25

14 2,90 1 60,46 175,34

15 3,60 1 60,46 217,67

16 9,20 1 60,46 556,26

17 13,20 1 60,46 798,12

18 42,10 1 60,46 2545,51

19 47,40 3 181,39 8597,90

20 52,60 3 181,39 9541,13

21 60,50 1 60,46 3658,04

22 63,20 1 60,46 3821,29

23 78,90 6 362,78 28623,38

24 105,30 1 60,46 6366,80

Total 41 2479 66.273,95

Sumber: Data Primer Diolah (2011)

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai total WTP dari populasi adalah sebesar Rp 66.273/liter.

6. Evaluasi pelaksanaan CVM

Berdasarkan hasil analisis regresi berganda diperoleh nilai R2 sama dengan 26,9 persen. Penelitian ini berkaitan dengan benda-benda lingkungan yang dapat mentolerir nilai R2 sampai dengan 15 persen (Mitchell dan Carson, 1989 diacu

dalam Hanley dan Spash, 1993), hal ini karena penelitian ini tentang lingkungan berhubungan dengan prilaku manusia sehingga nilai R2 tidak harus besar. Oleh


(35)

karena itu, hasil pelaksanaan CVM dalam penelitian ini masih dapat diyakini kebenaran dan keandalannya.

5.3 AnalisisFaktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai WTP

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP maka telah ditetapkan 6 variabel independen yang mempengaruhi variabel dependen yaitu kualitas air (KA), tingkat pendidikan (TP), jumlah kebutuhan air (JKA), jumlah pengguna air (JPA), jarak rumah ke sumber air (JRSA), dan rata-rata pendapatan (RPDT). Namun setelah diuji oleh beberapa pengujian parameter maka didapatkan dua variabel yaitu variabel tingkat pendidikan dan jarak rumah ke sumber air. Hasil analisis nilai WTP responden dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP

Variabel Koefisien Sig Korelasi

Constant 34,244 0,235 (-)

KA -1,239 0,864 Tidak Berpengaruh Nyata TP -3,416 0,036 Berpengaruh Nyata** JKA -0,018 0,158 Tidak Berpengaruh Nyata JRSA 0.010 0,008 Berpengaruh Nyata* RPDT 0,0000017 0,755 Tidak Berpengaruh Nyata JPA 0.164 0,960 Tidak Berpengaruh Nyata

R2 26,90%

F-Statistik 2,084 0,081

Keterangan: * pada taraf kepercayaan 99 persen ** pada taraf kepercayaan 95 persen

Model yang dihasilkan dalam penelitian ini cukup baik. Hal ini ditunjukkan oleh R2 sebesar 26,9 persen yang berarti 26,9 persen keragaman WTP responden dapat diterangkan oleh keragaman variabel-variabel penjelas yang terdapat dalam model, sedangkan sisanya 73,1 persen diterangkan oleh variabel lain yang tidak terdapat dalam model. Nilai Fhitung sebesar 2,084 dengan nilai Sig sebesar 0,081. Dalam hal ini menunjukkan variabel-variabel penjelas dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap nilai WTP responden terhadap

pembayaran jasa lingkungan yang akan dilakukan pada taraf α = 5 persen. Model yang dihasilkan ini telah diuji multikoliniear, normalitas, dan heteroskedastitas dari hasil ketiganya tidak diperoleh suatu pelanggaran.

Model yang dihasilkan dalam analisis ini adalah: WTPi = 34,244 – 3,416 TP + 0,010 JRSA.


(36)

Pada model tersebut variabel yang berpengaruh nyata pada taraf 95 persen adalah variabel tingkat pendidikan, sedangkan variabel jarak rumah ke sumber air berpengaruh nyata pada taraf 99 persen. Variabel tingkat pendidikan memiliki nilai Sig sebesar 0,036 yang artinya bahwa variabel ini berpengaruh nyata

terhadap nilai WTP responden pada taraf α = 5 persen. Nilai koefisien bertanda negatif (-) berarti bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka justru akan cenderung semakin rendah nilai WTP yang akan dikeluarkan oleh responden. Hal ini disebabkan karena responden yang berpendidikan tinggi berpendapat bahwa kelestarian mata air yang berada di Hutan Pendidikan Gunung Walat menjadi tanggung jawab pemerintah. Selain itu fasilitas pengairan yang saat ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan.

Variabel jarak rumah ke sumber air memiliki Sig sebesar 0.008 yang artinya

bahwa variabel ini berpengaruh nyata terhadap nilai WTP responden pada taraf α

1 persen. Nilai koefisien bertanda positif (+) berarti bahwa semakin jauh responden dengan mata air dari HPGW maka akan semakin besar nilai WTP yang akan dikeluarkan oleh responden. Hal ini disebabkan karena responden lebih memilih menjaga mata air dari HPGW dibandingkan memperoleh jasa lingkungan di alternatif pengganti mata air tersebut.

5.4 Analisis nilai ekonomi kayu

Untuk menghitung nilai ekonomi kayu dari tegakan di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) digunakan metode pendekatan langsung yaitu menggunakan nilai pasar yang berlaku. Potensi HPGW diperkirakan rata-rata 549,5 m3/ha, dengan hasil inventarisasi hutan seperti yang disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil Inventarisasi HPGW tahun 2010

No. Tegakan Luas (ha) Volume (m3/ha)

1 Damar (Agathis loranthifolia) 125 713

2 Pinus (Pinus merkusii) 100 647

3 Puspa (Schima wallichii) 125 308

Rata-rata 549,5

Sumber: TIF Master Universitas Gottingen (2010)

Nilai ekonomi kayu diperoleh dengan menghitung perkiraan pendapatan dari hasil hutan kayu merupakan output pengusahaan hutan yang berupa kayu bulat dikalikan dengan harga jualnya. Dalam analisis ini jenis kayu yang dinilai


(37)

adalah pinus, damar, dan puspa yang dihargai dengan harga kayu di tegakan. Harga kayu di tegakan dihitung setelah dikurangi biaya operasional (biaya tebang dan biaya transportasi dari lokasi tebangan ke pabrik), maka didapatkan harga tegakan sebesar Rp 400.000/m3 untuk semua jenis kayu. Hal ini berdasarkan harga pasar lokal untuk tahun 2011 di daerah Sukabumi khususnya di Pabrik Penggergajian Hamid yang terletak di sekitar HPGW. Luasan jenis damar adalah 125 ha, puspa 125 ha, dan pinus 100 ha. Dengan asumsi bahwa HPGW adalah hutan tanaman dengan rotasi tanam 30 tahun, maka diperoleh nilai kayu yang ada adalah Rp2.034.904.167/tahun. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Nilai kayu pada berbagai jenis kayu di HPGW

No. Jenis Kayu Luas

(ha)

Harga (Rp/m3)

Volume (m3/ha)

Nilai Total (Rp/tahun) 1 Damar (Agathis loranthifolia) 125 400.000 713 950.666.667 2 Pinus (Pinus merkusii) 100 400.000 647 690.133.333 3 Puspa (Schima wallichii) 125 400.000 308 410.666.667

Retribusi 16.562.500

Total 2.034.904.167

Sumber: Data primer diolah (2011)

Nilai kayu tersebut hanya sebagai informasi dan bahan pertimbangan dalam pengelolaan sumberdaya HPGW karena terkait kebijakan HPGW yang tidak menebang pohon.

5.5 Analisis nilaiekonomi kayu bakar 5.5.1 Konsumsi kayu bakar

Masyarakat Desa Hegarmanah sebagian besar adalah petani dan buruh tani. Konsumsi energi utama rumah tangga adalah kayu bakar. Kayu bakar terutama digunakan untuk keperluan memasak nasi, sayur, lauk pauk, dan air. Proses menyalakan kayu menjadi bara api, biasanya dibantu minyak tanah. Mahalnya minyak tanah menyebabkan masyarakat hanya menggunakan daun kelapa atau pelepah bambu untuk menyalakan kayu menjadi api. Proses menyalakan kayu menjadi api tidak membutuhkan waktu lama karena kayu yang digunakan umumnya memiliki kadar air yang rendah. Menurut Budiyanto (2009), konsumsi kayu bakar tidak hanya dikonsumsi oleh rumah tangga tetapi industri rumah


(38)

tangga (gula aren, tape, arang, dan batu bata di Desa Cicantayan). Konsumsi kayu bakar yang digunakan rumah tangga dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Konsusmsi kayu bakar rumah tangga

Sumber: Data primer diolah (2011)

5.5.2 Nilaimanfaat kayu bakar

Nilai manfaat kayu bakar dihitung melalui pendekatan nilai pasar. Total konsumsi adalah 354 orang/tahun dengan harga pasar Rp 80.000/m3 maka didapatkan nilai total kayu bakar adalah Rp 106.147.776/tahun

5.5 Nilai ekonomi getah

Getah yang dihasilkan dari HPGW terdiri atas getah pinus dan getah damar. Getah tersebut merupakan salah satu andalan pendapatan HPGW. Kegiatan pemanfaatan getah tersebut memberdayakan 45 – 50 orang masyarakat sebagai penyadap. Keterlibatan penyadap ini turut memberikan kontribusi signifikan terhadap iklim sosial yang makin kondusif di HPGW.

Untuk menghitung nilai komoditas getah pinus dan damar digunakan pendekatan nilai pasar, karena getah tersebut bisa langsung diperjualbelikan. Umumnya getah pinus disalurkan ke pabrik getah seperti PGT Sindang Wangi di Bandung, sedangkan getah damar dijual ke pasar bebas. Hasil analisis nilai getah pinus dan damar dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Nilai getah pinus dan damar

No. Komoditas getah Pendapatan (Rp/tahun) 1 Pinus (Pinus merkusii) 996.692.500

2 Kopal (Agathis loranthifolia) 468.645.000

Piutang 123.000.000

Total 1.588.337.500

Sumber: Laporan keuangan HPGW (2011)

No. Dusun Rata-rata Volume

(m3/bulan)

Jumlah Pengguna (orang)

Total Volume

(m3/bulan)

1 Nanggerang 0,2982 87 25,9434

2 Cipeureu 0,6034 58 34,9972

3 Citalahap 0,3766 45 16,947

4 Sampay 0,2387 50 11,935

5 Sindang 0,1379 60 8,274

6 Bojongwaru 0,2772 45 12,474


(39)

Berdasarkan Tabel 13 nilai ekonomi getah pinus adalah Rp 996.692.500 /tahun, sedangkan getah kopal Rp 468.645.000/tahun. Kemudian piutang perusahaan penerima getah sebesar Rp 123.000.000 pada tahun 2011. Dengan demikian total nilai ekonomi getah di HPGW adalah Rp 1.588.337.500/tahun.

5.6 Nilai EkonomiPendidikan Lingkungan

Pendidikan Lingkungan (environmental edication) adalah suatu proses untuk membangun populasi manusia di dunia yang sadar dan peduli terhadap lingkungan total (keseluruhan) dan segala masalah yang berkaitan dengannya dan masyarakat yang memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap, dan tingkah laku, motivasi, serta komitmen untuk bekerjasama, baik secara individu maupun kolektif, untuk dapat memecahkan masalah lingkungan saat ini, dan mencegah timbulnya masalah baru (Unesco 1978).

Nilai ekonomi hutan sebagai sarana pendidikan lingkungan didapatkan dari laporan keuangan pengelola HPGW pada tahun 2011 sebesar Rp 900.848.800/tahun. Kegiatan pendidikan lingkungan seperti kunjungan universitas lain, outbond, pertemuan perusahaan, dan kegiatan dalam bidang lingkungan lainnya.

5.7 Nilai Ekonomi Air

Penilaian ekonomi air rumah tangga menggunakan metode CVM dengan menanyakan kepada responden dalam kesediaannya membayar (willingness to pay/WTP).Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai total WTP dari populasi adalah sebesar Rp 66.273/liter. Banyaknya kebutuhan air Desa Hegarmanah adalah 14.4600,57 liter. Nilai ekonomi air didapatkan dengan mengalikan nilai total WTP dengan jumlah kebutuhan air Desa Hegarmanah, maka diperoleh nilai ekonomi air sebesar Rp 958.345.356/bulan atau sebesar Rp 11.500.144.267/tahun.

5.8 Nilai Ekonomi Pencegah Erosi

Nilai ekonomi hutan sebagai pencegah erosi dihitung berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Morgan dan Arens (1989) dalam Yakin (2004), dampak erosi pada lahan kering untuk usaha tani (on-site) dan luar usaha tani ( off-site) di Pulau Jawa cukup besar. Dengan mengasumsikan bahwa dampak erosi lahan kering di Pulau Jawa sama dengan dampak erosi apabila terjadi di daerah Gunung Walat, hasil perhitungan menunjukkan bahwa biaya yang berkaitan


(40)

dengan lahan kering untuk usaha tani (on-site costs) per hektar berkisar 68 US$, dan biaya terhadap luar usahatani (off-site costs) mencapai 5-19 US$ per tahun (World Bank, 1990) dalam (Yakin, 2004). Nilai tersebut berlaku pada tahun 1990, sehingga nilai saat ini untuk on-site costs per hektar berkisar 135 US$, dan biaya terhadap off-site costs mencapai 10 – 38 US$ karena pengaruh inflasi dengan asumsi sebesar 6,5% per tahun. Nilai ekonomi hutan sebagai pencegah erosi dengan menggunakan nilai 1 US$ = Rp 9.000, maka diperoleh biaya:

1. On-site costs = Rp 9.000 x 135 US$ = Rp 1.215.000 2. Off-site costs = Rp 9.000 x 24 US$ = Rp 216.000

Dari perhitungan di atas, maka diperoleh biaya pencegahan erosi apabila ada HPGW adalah sebesar Rp 1.431.000/ha/tahun. Dengan demikian, nilai ekonomi pencegah erosi dari HPGW adalah sebesar Rp 513.729.000/tahun dalam luasan sebesar 359 hektar.

Nilai ekonomi ini dapat dibenarkan, karena menurut beberapa keterangan masyarakat dan sejarah berdirinya HPGW, sebelum adanya HPGW (sebelum sekitar 1960-an) lahan yang ada berupa tanah kosong dan gersang. Banyak masyarakat dan mahasiswa kehutanan yang menanam pohon untuk menutupi kekosongan dan kegersangan lahan yang ada.

5.9 Nilai Ekonomi Penyerap Karbon

Besarnya kemampuan hutan sebagai penyerap karbon dicerminkan oleh besarnya volume biomassa dari hutan tersebut. Perhitungan nilai hutan sebagai penyerap karbon berdasarkan informasi nilai karbon untuk seluruh areal pada setiap tahunnya digunakan standar sebagai berikut:

1. 1 ton karbon bernilai 10 US$ (ITTO & FRIM, 1994);

2. Berat jenis kayu tropika alam adalah rata-rata 560 kg/m3 (ITTO & FRIM, 1994, digunakan World Bank, 1992);

3. Berat karbon dalam 1 kg kayu kering adalah sekitar 0,5 kg (ITTO & FRIM, 1994);

4. 1 m3 biomassa = 0,28 ton karbon (Roslan & Woon, 1993).

Nilai ekonomi hutan sebagai penyerap karbon dihitung berdasarkan biomassa yang masih utuh (belum membusuk/terurai). Karena HPGW merupakan areal yang kayunya tidak ditebang maka diasumsikan biomassa kayu tetap berada di hutan kecuali kayu yang digunakan masyarakat untuk kayu bakar.


(41)

Berdasarkan umur pohon-pohon yang ada di HPGW dapat diasumsikan pula bahwa HPGW telah mencapai kondisi hutan primer, yang menurut Brown dan Pearce (1994) mengandung karbon 283 tonC/ha. Potensi kayu yang ada di HPGW adalah 528 m3/ha, dan kayu bakar masyarakat 5,27 m3/ha maka kandungan karbon yang ada di HPGW adalah 146,36 tonC/ha. Dengan demikian nilai serapan karbon yang ada di HPGW sebesar Rp 472.889.160/tahun. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4.

5.10 NilaiKeanekaragaman Hayati

Manfaat pilihan Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) dalam penelitian ini dihitung berdasarkan nilai manfaat keanekaragaman hayati (biodiversity) yang ada. Berdasarkan keadaan alamiahnya, HPGW termasuk ke dalam hutan sekunder, artinya sudah ada campur tangan manusia dalam pengelolaan hutan. Nilai manfaat keanekaragaman hayati hutan sekunder adalah sebesar US $ 32,5/ha/tahun apabila keberadaan hutan tersebut secara ekologis penting dan tetap terpelihara relatif alami (Ministry of State for Population and Environment, 1993)

dalam (Wildayana 1999). Dengan asumsi inflasi sebesar 6,5% per tahun, nilai manfaat keanekaragaman hayati adalah US S 100/ha/tahun. Nilai ekonomi manfaat diperoleh dengan mengalikan keanekaragaman hayati per hektar per tahun dengan seluruh luasan HPGW yang ada. Menggunakan nilai kurs 1 US $ = Rp 9.000, maka diperoleh nilai ekonomi manfaat keanekaragaman hayati sebesar Rp 3.231.000.000/tahun atau sebesar Rp 9.000.000/ha/tahun.

5.11 Nilai keberadaan

Nilai keberadaan Hutan Pendidikan Gunung Walat dihitung berdasarkan pendekatan biaya pengganti, untuk menentukan biaya yang harus ditanggung masyarakat untuk mengganti aset yang telah rusak atau menyusut jumlahnya. Biaya penggantian digunakan sebagai pendekatan nilai dari manfaat untuk menghindari kerusakan yang terjadi atau yang akan terjadi di masa depan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Lembaga Sumber Daya Alam (2009), biaya pemulihan ekologi hutan per hektar per tahun sebesar Rp 101.165.000 sehingga untuk melakukan pemulihan ekologi hutan seluas 359 Ha adalah sebesar Rp 36.318.235.000/tahun. Rincian biaya total pemulihan ekologi per hektar per tahun dapat dilihat pada Tabel 13.


(42)

Tabel 13. Biaya total pemulihan ekologi hutan per hektar per tahun

Sumber: Lembaga Sumber Daya Alam (2009)

5.12 Nilai warisan

Nilai warisan yang diduga adalah melalui pendekatan nilai yang berasal dari bibit alami di HPGW karena nilai warisan adalah nilai yang dapat diberikan oleh pengelola HPGW terhadap sumberdaya alam yang ada di HPGW, agar tetap utuh untuk diberikan kepada generasi akan datang/kepengurusan pengelola HPGW berikutnya.

Bibit alami yang akan dinilai dalam penelitian ini adalah bibit/anakan agathis (Agathis loranthifolia), pinus (Pinus merkusii), dan puspa (Schima wallichii). Diperkirakan potensi bibit/anakan adalah 200 batang per hektar yang layak dijadikan bibit alami (Roslinda 2002).

Untuk penilaian ekonomi bibit alami ini digunakan metode pendekatan langsung (nilai pasar). Biaya yang dikeluarkan pengelola berupa polybag, pupuk, dan upah adalah Rp 900 per bibit, dimana upah untuk masyarakat yang mengerjakan adalah Rp 400 per bibit. Harga jual bibit alami ini berkisar antara Rp 2.500 – Rp 4.500 per polybag.

Dengan menganggap produksi bibit anakan adalah 200 batang per hektar, maka potensi bibit alami adalah 200 x 359 = 71.800 batang per tahun. Biaya yang harus dikeluarkan untuk 71.800 batang adalah sebesar Rp 64.620.000. bila rata-rata harga bibit adalah Rp 4.000, berarti nilai warisan dari bibit alami adalah Rp 4.000 x 71.800 - Rp 64.620.000 = Rp 222.580.000 per tahun. Dimana kontribusi yang bisa diberikan kepada masyarakat yang mengerjakannya adalah Rp 28.720.000 per tahun.

No. Rincian Biaya Jumlah (Rp) Penelitian

1 Biaya pembuatan reservoir 40.500.000 (-)

2 Pengatur tata air 22.810.000 Maman (1999)

3 Pembentukan tanah 500.000 Maman et al (1998)

4 Pendaur ulang unsur hara 4.610.000 Pangestu dan Ahmad (1998)

5 Pengurai limbah 435.000 Pangestu dan Ahmad (1998)

6 Pelepasan karbon 32.310.000 Winda (2003)


(1)

58

D. Kesediaan Masyarakat untuk Melakukan Pembayaran Jasa Lingkungan dari Sumber Air

1. Apakah Saudara setuju jika dilakukan suatu upaya perbaikan kualitas dan kuantitas air di mata air Cipereu?

a) Setuju b) Tidak

2. Berapa besar uang (dalam rupiah/bulan) yang ingin dan bisa Saudara berikan kepada lembaga yang Saudara percayai sebesar air yang Saudara gunakan?

a) 15000 d) 30000

b) 20000 e) 35000

c) 25000 f) lainnya,

3. Berikan alasan mengapa Saudara memberikan imbalan tersebut? 4. Ada beberapa alasan mengapa beberapa orang tidak berkenaan untuk

membayar sedikitpun dalam upaya perlindungan sumber air untuk mencegah terjadinya kekurangan dan penurunan mutu air di masa mendatang. Dapatkah Saudara menjelaskan mengapa Saudara tidak berkenaan untuk memberikan imbalan?

a) Saya tidak punya uang lebih / saya tidak mampu membayar b) Perubahan kualitas / kuantitas terlalu kecil untuk dianggap

penting

c) Saya pikir masalah tersebut bukan prioritas d) Saya tidak terlalu tertarik dengan masalah ini e) Saya perlu lebih banyak informasi / waktu untuk

menjawab pertanyaan ini

f) Saya puas dengan keadaan sekarang / nanti

g) Saya pikir itu adalah tanggung jawab pemerintah untuk membayar biaya perlindungan terhadap sumber air h) Saya tidak mau membayar air lebih mahal

i) Saya tidak peduli dengan kondisi sekarang / nanti

j) Saya tidak percaya bahwa lembaga-lembaga pelaksanaan Program akan mampu mengimplementasikan program tersebut Air yang Saudara gunakan saat ini berasal dari DAS Cipeureu yang mencakup wilayah HPGW (Hutan Pendidikan Gunung Walat). Sumber air yang Saudara manfaatkan saat ini masih mampu memberikan pasokan air yang memadai. Namun demikian, ada faktor yang mengancam ketersedian pasokan air di masa mendatang. Misalnya, Pengelola HPGW mengalami kerugian dari pendapatan getah kopal dan pinus sehingga terpaksa menebang pohon-pohon yang ada untuk mendapatkan penghasilan tambahan.

Jumlah dan kualitas air ditentukan oleh kondisi yang terjadi pada sumber airnya. Adanya penebangan akan menyebabkan air hujan tidak diserap karena hilangnya pohon-pohon sehingga mata air yang Saudara gunakan nampaknya akan berkurang persediaan airnya di masa mendatang.

Jika tidak segera dihentikan penebangan tersebut, nampaknya akan terjadi kekurangan persediaan air di masa mendatang. Hal ini berarti Saudara terpaksa harus berlangganan dengan PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) sehingga Saudara pun pada gilirannya akan mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk membayar air yang Saudara gunakan saat ini. Salah satu yang dapat dicoba adalah mencegah hal ini terjadi adalah melestarikan pohon-pohon tersebut agar jumlah dan kualitas air tidak memburuk dengan memberikan bibit agar kelestarian air tetap terjaga hingga generasi selanjutnya.

Angaplah bahwa Saudara sebagai pemanfaat air setempat harus membayar untuk upaya melestarikan pohon-pohon tersebut dengan memberikan bibit.


(2)

59

E. Kesediaan Masyarakat untuk memberikan bibit untuk melestarikan HPGW

1. Apakah Saudara setuju jika dilakukan suatu upaya melestarikan pohon Kopal dan Pinus?

b) Setuju b) Tidak

2. Berapa besar jumlah bibit yang ingin dan bisa Saudara berikan kepada pengelola HPGW?

d) 10 d) 50

e) 30 e) 90

f) 70 f) lainnya,

3. Berikan alasan mengapa Saudara memberikan bibit tersebut?

4. Ada beberapa alasan mengapa beberapa orang tidak berkenaan untuk memberikan sedikitpun dalam upaya perlindungan sumber air untuk mencegah terjadinya kekurangan dan penurunan mutu air di masa mendatang. Dapatkah Saudara menjelaskan mengapa Saudara tidak berkenaan untuk memberikan bibit?

a) Saya tidak punya uang lebih / saya tidak mampu membayar b) Perubahan kualitas / kuantitas terlalu kecil untuk dianggap

penting

c) Saya pikir masalah tersebut bukan prioritas d) Saya tidak terlalu tertarik dengan masalah ini e) Saya perlu lebih banyak informasi / waktu untuk

Menjawab pertanyaan ini

f) Saya puas dengan keadaan sekarang / nanti

g) Saya pikir itu adalah tanggung jawab pemerintah untuk Membayar biaya perlindungan terhadap sumber air h) Saya tidak mau membayar getah lebih mahal i) Saya tidak peduli dengan kondisi sekarang / nanti Tanggal Pengisian Kuisioner :

Waktu Pengisian Kuisioner : Tanda Tangan

Sumber air yang Saudara manfaatkan saat ini adalah air dari mata air Cipeureu yang merupakan bagian dari DAS Cipeureu yang memiliki debit air sebesar 4 lt/detik. Sumber air yang Saudara manfaatkan saat ini masih mampu memberikan pasokan air yang memadai. Namun demikian, ada faktor yang mengancam ketersedian pasokan air di masa mendatang. Pertama, adalah pertumbuhan penduduk di Desa Hegarmanah yang semakin meningkat sehingga kebutuhan pasokan airpun akan semakin meningkat pula.

Pihak pengelola HPGW akan berencana membuat jaringan saluran air minum untuk memenuhi kebutuhan air rumah tangga. Namun upaya tersebut diperlukan anggaran. Salah satu sumber dana yang dapat digunakan adalah dengan adanya pembayaran jasa lingkungan. Selanjutnya dana tersebut akan dialokasikan sebagai dana untuk biaya alat-alat pembuatan jaringan-jaringan saluran air minum, pengeluaran gaji pekerja pembuatan saluran air minum, dan pemeliharaan jaringan air minum.

Anggaplah bahwa Saudara sebagai pemanfaat sumber air setempat ikut berlangganan dengan pengelola HPGW.


(3)

(4)

(5)

RINGKASAN

BAYU ADIRIANTO. Potensi Nilai Ekonomi Total Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi Jawa Barat. Dibimbing oleh BUDI PRIHANTO dan HANDIAN PURWAWANGSA.

Penilaian ekonomi sumberdaya hutan merupakan suatu upaya untuk mengkuantifikasi manfaat barang dan jasa yang dihasilkan oleh hutan, baik yang memiliki harga pasar (tangible), maupun yang tidak memiliki harga pasar

(intangible). Dalam penelitian ini dilakukan penilaian hutan melalui pendekatan

nilai total ekonomi (TEV) yang menilai manfaat hutan pendidikan mulai dari manfaat kegunaan (use value) hingga manfaat bukan kegunaan (non use value).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi manfaat sumberdaya Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi Willingness to Pay (WTP) masyarakat sekitar hutan pendidikan terhadap mata air HPGW serta menghitung nilai ekonomi total sumberdaya HPGW. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: metode nilai pasar, metode biaya penggantian, dan metode pendekatan

Contingent Valuation Method (CVM).

Sumberdaya HPGW dalam penelitian ini antara lain: manfaat langsung, seperti kayu, kayu bakar, getah kopal dan pinus, pendidikan lingkungan, dan air. Sementara manfaat tidak langsung, seperti pencegah erosi, penyerap karbon, dan keanekaragaman hayati. Sedangkan manfaat bukan kegunaan adalah manfaat keberadaan dan manfaat warisan.

Berdasarkan hasil regresi terhadap keinginan membayar (WTP) masyarakat terhadap mata air HPGW, diketahui faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap WTP adalah pendidikan dan jarak.

Berdasarkan perhitungan diperoleh nilai ekonomi total HPGW adalah Rp 56.888.815.670//tahun, yang terdiri dari nilai ekonomi langsung sebesar Rp 16.130.382.510/tahun, nilai ekonomi manfaat tidak langsung sebesar Rp 4.217.618.160/tahun, nilai ekonomi manfaat keberadaan Rp 36.318.235.000/tahun, dan nilai ekonomi manfaat warisan Rp 222.580.000/tahun.

Kata kunci: Potensi, Penilaian, Total Economic Value (TEV), Willingness to Pay


(6)

SUMMARY

BAYU ADIRIANTO. Potential Total Economic Value of Gunung Walat Educational Forest Sukabumi Jawa Barat. Under Supervision of BUDI PRIHANTO and HANDIAN PURWAWANGSA.

Economic valuation of forest resources is an attempt to quantify the benefits of goods and service produced by forest, whether they have a market price (tangible), and who have no market price (intangible). In this reasearch, economic valuation is carried out through the approach total economic value, which assess the benefits of forests ranging from the benefits of utility (use value) to the benefits not use (non use value).

The purpose of this reasearch is to identify the forest resources of Gunung Walat Educational Forest (GWEF), to analize the factors of Willingness to Pay (WTP) of people around the educational forest towards the spring resource of GWEF, and to calculate the total economic value of forest resources of the GWEF. Methods/approaches used in this study include: the market value method, the replacement cost method, and survey techniques Contingent Valuation Method

(CVM).

Forest resource of GWEF in this research include: the direct use value, such as wood, firewood, resin of copal and pine, education environment, and water. Then, the benefits of indirect use value, like the prevention of runoff, carbon stock, and biodiversity value. Whereas, the benefits of non use value include existence value and buquest value.

Based on the result of the regression of Willingness to Pay (WTP) for community benefit being, known factor that real impact on people’s WTP spring resource in the GWEF education and distance.

Based on calculation obtained the total economic value of GWEF is Rp 56.888.815.670/year, which consists of the direct benefits of economic value accounting to Rp 16.130.382.510/year, the economic value of indirect benefits 4.217.618.160/year, the economic value of the benefits of the existence of Rp 36.318.235.000/year, and the economic value of the benefits of inheritance Rp 222.580.000/year.

Key words: Potential, Valuation, Total Economic Value (TEV), Willingness to Pay