Jenis pisang yang umumnya digunakan sebagai media dalam kultur jaringan yaitu jenis pisang ambon. Bubur pisang yang biasa digunakan berkisar
150-200 gliter. Data PKBT 2007 menunjukkan bahwa vitamin yang terkandung dalam pisang adalah vitamin A, tiamin vitamin B1, riboflavin vitamin B2,
piridoksin vitamin B6 dan asam askorbat vitamin C Lampiran 2. Sedangkan gula dalam pisang terdiri atas senyawa 4.6 dextrosa, 3.6 levulosa, dan 2
sukrosa. Menurut Arditti dan Ernst 1992 bahwa dalam buah pisang terdapat
hormon auksin dan giberelin. Watimena et al. 1992 juga menyatakan bahwa setiap buah yang masak terdapat hormon auksin di dalamnya. Auksin dalam
kultur jaringan, selain berfungsi untuk merangsang pemanjangan sel juga pembentukan kalus, klorofil, morfogenesis akar dan tunas, serta embriogenesis.
Penanaman Aseptik 1. Eksplan
Eksplan adalah bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan untuk inisiasi suatu kultur. Eksplan yang digunakan harus dalam keadaan aseptik
melalui prosedur sterilisasi dengan berbagai bahan kimia. Dari eksplan aseptik kemudian diperoleh kultur aseptik yaitu kultur dengan hanya satu macam
organisme yang diinginkan Gunawan,1992. Eksplan yang digunakan dapat berukuran sangat kecil seperti kelompok sel
sampai ukuran cukup besar yang sudah membentuk organ. Eksplan yang berukuran besar mudah terkontaminasi, sedangkan eksplan yang berukuran kecil
tingkat pertumbuhannya lebih rendah. Stover dan Simmonds 1987 berpendapat bahwa ukuran eksplan yang baik untuk perbanyakan pisang secara in vitro adalah
berkisar antara 0.2 cm – 0.6 cm. Namun, dalam penelitiannya, Pasaribu 1996 memakai eksplan sucker pisang yang berukuran ± 1.5 cm.
2. Sub kultur
Sub kultur merupakan salah satu kegiatan penting dalam metode kultur jaringan in vitro. Menurut Gunawan 1992 sub kultur adalah pemindahan kultur
aseptik dari satu media kultur ke dalam media kultur yang lain, baik yang sama
maupun berbeda jenis atau komposisi media kulturnya, dengan jangka waktu tertentu. Masa saat kultur aseptik berada di dalam media disebut masa inkubasi.
Setiap masa inkubasi disebut passage. Passage pertama adalah sub kultur pertama dari jaringan yang terbentuk dari eksplan awal. Sedangkan passage kedua berarti
adalah sub kultur kedua, demikian seterusnya. Masa inkubasi tiap kultur berbeda untuk tiap spesies yang berbeda pula. Demikian pula untuk jumlah passage.
Bahan yang diambil dari setiap sub kultur disebut inokulan. Inokulan dapat berupa eksplan maupun tunas steril. Sub kultur eksplan dilakukan dengan
memindahkan eksplan yang diinginkan yang sebelumnya dipotong terlebih dahulu. Yang berarti ukuran eksplan lebih kecil dari sebelumnya, sehingga ruang
untuk tunas baru yang akan terbentuk bertambah. Inilah salah satu tujuan dilakukan sub kultur. Sedangkan sub kultur tunas steril dilakukan dengan
memindahkan tunas yang sebelumnya telah dipotong daunnya. Tujuannya adalah untuk mengurangi resiko kontaminasi pada kultur. Tujuan sub kultur yang lain
adalah untuk pemantapan klon Gunawan, 1992. Beberapa peneliti terdahulu melakukan teknik sub kultur dalam metode
kultur jaringan. Armini 1992 melakukan sub kultur sebanyak dua kali untuk multiplikasi tunas pisang dengan selang antara sub kultur 12 minggu. Herawaty
2000 melakukan sub kultur sebanyak dua kali dengan selang empat minggu terhadap eksplan tunas melon Cucumis melo L.. Hasil penelitian Krisnaningtyas
2003 menunjukkan bahwa perlakuan sub kultur berulang merangsang pertumbuhan dan perkembangan anyelir secara in vitro. Semakin banyak
frekuensi sub kultur dapat meningkatkan jumlah tunas dan tinggi tunas Dianthus caryophyllus L.
Kultur Jaringan In Vitro Pada Pisang
Kultur jaringan in vitro pada pisang saat ini banyak dilakukan. Eksplan ujung tunas shoot tip dapat digunakan sebagai bahan tanaman yang dapat
menghasilkan 8 tunas per 30 hari. Dalam 360 hari dapat diperoleh kurang lebih 1.000.000 tunas Krikorian, 1993. Menurut Strosse et. al. 2004, penerapan
kultur in vitro pada pisang ditujukan untuk perbanyakan tunas dan perlindungan tanaman dari penyakit. Strosse juga menambahkan ukuran optimal eksplan yang
digunakan tergantung dari tujuannya. Untuk perbanyakan cepat, ukuran eksplan 3- 10 mm. sedangkan jika untuk tujuan menghilangkan bakteri ukuran eksplan 0.5-1
mm. Media untuk perbanyakan mikro pisang adalah MS + 30-40 gl sukrosa, 2.25 mgl BA + 0.175 mgl IAA untuk inisiasi tunas, dan pemadat agar 5-8 gl.
Penerapan kultur in vitro pada pisang Rajabulu dewasa ini juga telah banyak dilakukan. Menurut Sukma 1994 perlakuan yang terbaik pada pisang
Rajabulu, dengan eksplan tunas in vitro dari sucker, adalah pada 10.5 mgl BAP + 3.0 mgl IAA yang menghasilkan rata-rata 7.68 tunas. Hasil penelitian Ernawati et
al. 1994, dengan menggunakan eksplan dari sucker pisang Rajabulu, tunas terbanyak yaitu rata-rata 7.17 tunas dihasilkan pada perlakuan 7.0 mgl BAP + 3.0
mgl IAA. Eksplan yang biasa digunakan dalam perbanyakan pisang berasal dari anakan sucker.
Inisiasi tunas pisang Rajabulu tidak sulit. Pada umur 2 minggu setelah inisiasi, eksplan sudah memperlihatkan warna hijau hidup
1
. Namun, hasil percobaan Kasutjianingati 2004 yang sama dengan hasil percobaan Ernawati et
al. 2000 menunjukkan bahwa dormansi apikal pisang RajabuluAAB lebih susah mengalami break dan memerlukan inisiasi lebih lama dibanding pisang masAA,
Ambon KuningAAA dan BaranganAAA. Percobaan Kasutjianingati juga menunjukkan bahwa penggandaan tunas dan kemampuan berakar pisang
RajabuluAAB lebih rendah dibanding pisang masAA, Ambon KuningAAA dan BaranganAAA. Sedangkan kombinasi BAP dan IAA yang dianjurkan untuk
menghasilkan tunas layak pisang RajabuluAAB dan Kepok KuningAAB adalah BAP 5 mgl dan IAA 3 mgl.
Sementara itu, Isnaeni 2008 melaporkan bahwa pada tahap inisiasi tunas pisang Rajabulu, penggunaan Thiadiazuron TDZ memberikan hasil yang lebih
baik bila dibandingkan dengan BAP. Jumlah tunas hidup tertinggi dihasilkan oleh media dengan penambahan TDZ 0.04 mgl. Namun, penggunaan TDZ
berpengaruh lebih buruk pada multiplikasi pisang Rajabulu dibandingkan dengan media MS0.
Sumber:
1
menurut keterangan Laboran PKBT-IPB Sulassih
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Percobaan dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Agustus 2007 dan dilakukan di laboratorium kultur jaringan Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika
PKBT, Kampus IPB Baranang Siang, Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan tanaman yang digunakan adalah tunas sub kultur pisang Rajabulu Cianjur hasil inisiasi dari tim laboratorium PKBT dan Darul Falah. Bahan untuk
media adalah larutan stok untuk media MS, air suling, agar, glukosa, dan senyawa kompleks organik yaitu ekstrak buah pisang pisang Rajabulu. Bahan untuk
pengatur pH HCl KOH, dan ZPT BA 2 ppm dan TDZ 0.4 µM. Alat – alat yang dibutuhkan yakni pisau, blender, timbangan analitik, gelas
ukur, gelas piala, erlenmeyer, pipet, gelas kultur, gelas masak, pengaduk, labu ukur, botol ukur, pipet, autoklaf, oven, kompor, plastik penutup, spatula, karet,
laminar air flow cabinet, pinset, petri dish, botol kultur, bunsen, kompor gas dan kertas label.
Metode Penelitian
Percobaan yang dilakukan menggunakan 4 macam media perlakuan yaitu: P1 kontrol : media MS + vitamin thiamine, nicotine, phyridoxine
P2 : media MS + ekstrak pisang 50 gl
P3 : media MS + ekstrak pisang 100 gl
P4 : media MS + ekstrak pisang 150 gl
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap RAL faktor tunggal, yaitu bahan organik ekstrak buah pisang dengan 4 taraf
konsentrasi yaitu 0 gl, 50 gl, 100 gl, dan 150 gl, sehingga ada 4 macam perlakuan. Setiap perlakuan digunakan 30 ulangan 30 satuan percobaan. Tiga
puluh ulangan ini diambil dari keseluruhan tunas yang diamati sebanyak 44 botol sedang dan 24 botol kecil untuk setiap perlakuannya. Setelah diuji F, dilakukan uji
lanjut Beda Nyata Jujur BNJ pada taraf 5.
Pelaksanaan Sterilisasi peralatan
Alat-alat yang digunakan untuk penanaman harus dalam keadaan steril. Alat-alat logam dan gelas ada yang disterilkan dalam autoklaf, dan ada pula yang
disterilkan dalam oven. Alat-alat tersebut dibungkus dengan kertas kemudian disterilisasi pada suhu 121°C selama 1 jam pada tekanan 17.5 psi jika memakai
autoklaf dan selama 1 jam pada suhu 170°C jika memakai oven. Sterilisasi botol dilakukan setelah botol dicuci terlebih dahulu. Botol kultur steril selanjutnya
disimpan pada tempat yang bersih dan siap digunakan. Alat-alat tanam seperti pinset dan skalpel dapat disterilkan kembali dengan pemanasan di atas api
spiritus, setelah dicelupkan pada alkohol 90 sebelum penanaman dilakukan.
Sterilisasi air suling dan media kultur
Media dan air suling yang digunakan terlebih dahulu disterilkan dalam autoklaf. Air suling disterilisasi dengan menggunakan botol kultur yang berisi 100
ml air suling dan ditutup dengan plastik, dan diautoklaf selama 1 jam pada suhu 121°C dengan tekanan 17.5 psi. Media kultur yang akan digunakan disterilisasi
dalam autoklaf pada suhu dan tekanan yang sama selama 30 menit. Media yang digunakan untuk penanaman disimpan selama satu minggu di ruang kultur untuk
melihat terjadinya kontaminasi atau tidak pada media yang akan digunakan untuk penanaman.
Sterilisasi lingkungan kerja
Lingkungan kerja dalam kultur jaringan terdiri dari lingkungan umum yaitu ruang transfer secara keseluruhan dan lingkungan khusus yaitu lingkungan
di dalam laminar air flow cabinet LAC. Kebersihan lingkungan khusus laminar air flow cabinet dilakukan
dengan menyemprot permukaan tempat kerja dalam laminar air flow cabinet dengan alkohol 90, dan dibersihkan dengan menggunakan tissue, hal ini
dilakukan untuk menghilangkan kotoran yang mungkin menempel pada permukaan dalam LAC tersebut. Sebelum digunakan blower peniup udara dan
lampu ultra violet dalam laminar air flow cabinet dinyalakan selama 0.5-1 jam
untuk membersihkan kontaminan di permukaan tempat kerja. Permukaan tempat kerja dibersihkan kembali dengan alkohol 90 atau dengan lampu ultra violet
selama 0.5-1 jam setelah penanaman selesai dilakukan.
Pembuatan media
Pembuatan media MS0 dilakukan dengan memasukkan larutan stok yang terdiri dari larutan stok A, B, C, D, E, F, vitamin dan larutan Myo-inositol Tabel
lampiran 1 sesuai kebutuhan. Campuran larutan stok tersebut dimasukkan ke dalam labu takar, kemudian ditambahkan air suling sampai tanda tera 1 liter.
Selanjutnya larutan tersebut ditambah 30 gl gula dan diukur keasaman larutan dengan menggunakan pHmeter.
Pemadat agar ditambahkan sebanyak 7 gl setelah dilakukan pengukuran pH. Media MS yang akan digunakan sebagai media perbanyakan ditambahkan 2
ppm BA dan 0.4 µM TDZ.
Pembuatan media perlakuan
Media yang digunakan sebagai perlakuan adalah campuran bahan media MS0 dengan ekstrak buah pisang rajabulu. Konsentrasi pisang yang digunakan
antara lain 50, 100 dan 150 gl. Pisang rajabulu yang digunakan adalah buah pisang rajabulu yang sebelumnya ditimbang lebih dulu setelah dikupas sesuai
dengan kebutuhan. Buah pisang yang telah ditimbang selanjutnya dihancurkan dan diberi air secukupnya, lalu disaring dengan menggunakan kain saring.
Sehingga yang digunakan adalah ekstrak buah pisang hasil saringan tersebut. Pencampuran dilakukan sesuai dengan perlakuan yang ada sehingga
diperoleh 4 macam perlakuan. Bahan media MS0 dan ekstrak buah pisang rajabulu yang telah tercampur diencerkan sampai 1 liter larutan dan ditambahkan
gula sebanyak 30 gl. Larutan media yang telah tercampur dengan sempurna, diukur tingkat keasaman larutannya dengan menggunakan pHmeter. Keasaman
larutan media yang diinginkan adalah 5.6-5.8. Apabila keasaman media yang didapatkan 5.6 maka ke dalam larutan media tersebut ditambahkan beberapa
tetes larutan KOH dengan konsentrasi 1 N dan jika larutan media memiliki
keasaman 5.8 maka ke dalam larutan media tersebut ditambahkan larutan HCl 1N beberapa tetes, sehingga keasaman larutan tersebut media dapat terpenuhi.
Pemadat agar sebanyak 7 gl ditambahkan setelah pH pada larutan media sesuai dengan yang diharapkan. Pemanasan dilakukan sampai larutan media
tersebut mendidih sehingga semua bahan yang ada dalam larutan media tersebut benar-benar terlarut. Larutan media yang telah dipanaskan, dimasukkan ke dalam
botol kultur yang telah diautoklaf masing-masing sebanyak 20 ml, penutupan botol kultur yang telah diisi larutan media dengan menggunakan plastik yang
diikat dengan karet sehingga botol-botol kultur benar-benar tertutup rapat, sehingga tidak ada udara luar yang masuk ke dalam botol kultur.
Botol yang telah terisi larutan media diautoklaf selama 30 menit pada tekanan 17.5 psi dan suhu yang digunakan sebesar 121°C. Media yang sudah
diautoklaf disimpan di tempat yang sejuk selama beberapa saat sebelum media tersebut digunakan untuk penanaman. Penyimpanan ini bertujuan untuk
mengetahui ada tidaknya kontaminasi di dalam media kultur sebelum digunakan untuk menanam eksplan.
Penanaman
Penanaman dilakukan dalam laminar air flow cabinet LAC. LAC disterilkan dengan cara menyalakan lampu UV ultra violet selama 1 jam dan
disemprot alkohol 90 sebelum digunakan. Semua alat yang digunakan dalam penanaman disemprot dengan alkohol 90 terlebih dulu. Botol kultur yang telah
berisi tunas steril hasil subkultur diletakkan dalam rak kultur yang disinari lampu 15 dan 20 watt selama 16 jamhari, intensitas cahaya rata-rata 100 ft-c,
suhu 19-24°C. Tunas steril yang digunakan adalah tunas mikro Rajabulu Cianjur dan
Rajabulu Darul Falah, yang merupakan hasil sub kultur. Untuk sub kultur tunas Rajabulu Cianjur dilakukan dengan menempatkan empat potongan calon tunas
dalam satu botol dalam hal ini botol sedangbotol selai, di mana tiap calon tunas berada pada tepi botolmedia dalam hal ini tiap satu tunas dianggap sebagai satu
satuan percobaan. Cara ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Dengan memakai cara ini, kita akan lebih menghemat tempat botol dan media, serta untuk
memudahkan saat pengamatan. Namun, kelemahannya jika salah satu tunas terkontaminasi maka yang lainnya akan ikut terkontaminasi juga. Oleh karena itu,
untuk sub kultur tunas Rajabulu Darul Falah dilakukan dengan menempatkan satu potongan calon tunas dalam satu botol dalam hal ini botol kecil.
Tunas mikro yang digunakan untuk penelitian berasal dari multiplikasi dengan menggunakan media BT BA-TDZ cair dan media BT padat. Media BT
cair dan padat sama-sama terdiri dari komposisi media MS dengan penambahan hormon auksin BA 0.2 ppm dan sitokinin TDZ 0.4 µM. Perbedaan media BT
cair dan padat hanya terletak pada pemakaian bahan pemadat agar dan ukuran botol yang dipakai, di mana media BT cair menggunakan botol sedang dan BT
padat menggunakan botol kecil. Pada media BT cair, di tengahnya diletakkan kertas saring sebagai tempat berdirinya tunas.
Setelah satu bulan, pada media BT cair dari 27 tunas menjadi 91 tunas, dan pada media BT padat dari 19 tunas menjadi 35 tunas. Selanjutnya tunas-tunas ini
ditanam dalam media perlakuan untuk kemudian diamati perkembangannya.
Pengamatan
Pengamatan dilakukan setiap minggu mulai dari 2 MST hingga 8 MST. Keseluruhan tunas yang diamati sebanyak 176 tunas botol sedang dan 96 tunas
botol kecil. Parameter yang diamati antara lain: 1. Pada 2 MST hingga 8 MST:
a. jumlah tunas b. jumlah daun
c. jumlah akar 2. Pada 8 MST saat aklimatisasi:
a. panjang planlet cm, diukur dari pangkal planlet sampai ujung daun yang terpanjang
b. panjang daun cm, diukur dari pangkal daun hingga ujung daun yang terpanjang
c. panjang akar cm, diukur dari pangkal batang hingga ujung akar yang terpanjang
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Keadaan kultur pada minggu pertama secara keseluruhan dapat tumbuh dengan baik. Pada 2 MST Minggu Setelah Tanam mulai terlihat kultur yang
terkontaminasi, dan terus berlangsung sampai 8 MST, kontaminasi kultur terjadi pada semua perlakuan. Kontaminasi terbanyak diperoleh pada kultur yang
menggunakan konsentrasi ekstrak pisang 100 gl sebagai pengganti vitamin. Kontaminasi tersebut disebabkan oleh cendawan dan bakteri. Cendawan ini pada
awalnya berwarna putih dan lama kelamaan bertambah banyak dan berwarna hitam keabu-abuan. Kontaminasi bakteri dapat diketahui dengan terlihatnya
lapisan seperti lendir di sekitar dan bawah kultur, serta di tepi media. Koloni bakteri ada yang berwarna putih, kuning dan merah muda. Sekitar 8.5 kultur
yang terkontaminasi disebabkan oleh cendawan dan bakteri pada minggu pertama. Diduga bakteri berasal dari bagian dalam kultur atau dari ekstrak pisang.
Kontaminasi pada minggu kedua sebesar 28.1 disebabkan oleh bakteri 13.1 dan cendawan 4. Pada 8 MST kontaminasi yang disebabkan bakteri 10
lebih banyak jika dibandingkan dengan kontaminasi yang disebabkan oleh cendawan 9.4.
Kontaminasi yang terjadi bervariasi. Media P1kontrol lebih sedikit yang terkontaminasi dibandingkan dengan media lain. Saat 2 MST kontaminasi media
P1kontrol sebesar 12.5, media P2 sebesar 28.1, media P3 sebesar 28.1, dan media P4 sebesar 18.8.
Selain kontaminasi, terdapat pula kultur yang mati. Kematian pada kultur diawali dengan proses pencoklatan browning, pencoklatan kemungkinan
disebabkan oleh adanya aktivitas enzim pengoksidasi seperti polifenol oksidase dari dalam yang terbentuk pada eksplan yang terluka.
Kultur yang berhasil tumbuh terlihat hijau, dan mengeluarkan bakal tunas pada 2 MST Gambar 1, yang terus berkembang menjadi tunas. Tunas yang
muncul diawali dengan pembengkakan pangkal tunas dan munculnya bintik tunas. Bintik tunas tersebut terus berkembang dan membentuk kubah, yang selanjutnya
muncul daun primordial.
Gambar 1. Kultur yang berhasil tumbuh terlihat hijau, dan mengeluarkan bakal tunas pada 2 MST Minggu Setelah Tanam.
Pertumbuhan Tunas 1. Jumlah tunas
Tunas baru mulai muncul pada saat 1 MST. Tunas yang muncul merupakan tunas baru selain tunas yang disub kultur, dalam hal ini tunas yang
disub kultur telah bertambah jumlahnya atau dengan kata lain mengalami multiplikasi. Multiplikasi adalah penggandaan atau perbanyakan, yang dalam
percobaan ini adalah tunas. Sebenarnya terdapat permasalahan dalam perbanyakan tunas pisang
Rajabulu. Hasil percobaan Kasutjianingati 2004 yang sama dengan hasil percobaan Ernawati et al. 2000 menunjukkan bahwa dormansi apikal pisang
RajabuluAAB lebih susah mengalami break dan memerlukan inisiasi lebih lama dibanding pisang masAA, Ambon KuningAAA dan BaranganAAA. Percobaan
Kasutjianingati juga menunjukkan bahwa penggandaan tunas dan kemampuan berakar pisang RajabuluAAB lebih rendah dibanding pisang masAA, Ambon
KuningAAA dan BaranganAAA. Menurut Wattimena et al. 1992 bahwa untuk menginduksi tumbuhnya mata tunas yang dorman diperlukan giberelin. Jadi, hal
ini teratasi dengan adanya ekstrak buah pisang. Dalam buah pisang terkandung hormon giberelin Arditti dan Ernst, 1992.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas pisang Rajabulu yang dihasilkan pada pada 8 MST Tabel
1. Hasil percobaan ini berbeda dengan hasil pengamatan Widiastoety dan Surachmat 1994
bahwa penambahan bahan nabati pisang, kentang, tomat,
jagung dan taoge pada media kultur anggrek Dendrobium memberikan hasil yang lebih baik pada pembentukan jumlah tunas anakan yaitu rata-rata 2-3 tunas bila
dibandingkan dengan tanpa penambahan bahan nabati atau kontrol.
Tabel 1. Jumlah Tunas Pisang Rajabulu saat Umur 2-8 MST Minggu Setelah Tanam
Perlakuan 2 MST
3 MST 4 MST
6 MST 8 MST
P1MS+vitamincontrol 2.77 0.34 2.80 1.22
3.20 0.61 3.47 0.67
4.03 0.54 P2MS+ekst. pis. 50gl
1.83 0.21 2.33 1.19
2.63 0.63 2.83 0.70
3.13 0.60 P3MS+ekst. pis. 100gl 1.90 0.21
1.97 1.15 2.20 0.68
2.37 0.77 2.83 0.63
P4MS+ekst. pis. 150gl 2.03 0.23 2.13 1.67
2.33 0.66 2.40 0.75
2.43 0.66 Uji F
tn tn
tn tn
tn Data ditransformasi
Log x x
-0.5
x+0.5
-0.5
x
-0.5
x+0.5
-0.5
Ket: - tn = tidak berbeda nyata pada uji F 5 -
x : x = data asli -
angka dalam kurung = data hasil transformasi
Kultur yang ditanam pada media MS dan ekstrak pisang memproduksi tunas pada 2 MST dan jumlah tunas yang ada terus bertambah setiap minggu
Tabel 1. Gunawan 1992 menyatakan bahwa media MS mengandung 40 mM N dalam bentuk NO
3
dan 29 mM dalam bentuk NH
4 +
. Penggunaan MS tanpa vitamin sintetis dan ekstrak pisang dapat menghasilkan jumlah tunas yang sama
berdasarkan sidik ragam karena diduga pada pisang yang digunakan memiliki kandungan vitamin yang diperlukan untuk pertumbuhan tunas. Menurut Mac
Donald 2002 vitamin pada umumnya dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman, khususnya untuk jaringan tanaman yang sedang aktif tumbuh. Vitamin pada
tanaman diperlukan sebagai katalis dalam berbagai proses metabolik. Tanaman umumnya mendapatkan vitamin dari tanaman itu sendiri tetapi
tidak pada tanaman yang dikulturkan secara in vitro perlu penambahan dari luar. Ekstrak pisang mengandung vitamin seperti vitamin A, tiamin vitamin B1,
riboflavin vitamin B2, pyridoxine vitamin B6, dan ascorbic acid vitamin C PKBT, 2007.
Cara perbanyakan in vitro ditujukan untuk menghasilkan jumlah tunas yang banyak dan berkualitas dalam waktu yang singkat dan biaya yang dapat
ditekan. Penggunaan bahan organik sebagai media tumbuh harus dicari yang konsentrasi optimumnya paling rendah. Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa
konsentrasi ekstrak pisang yang mendukung untuk perkembangan tunas in vitro pisang Rajabulu adalah sebesar 50 gl. Jadi, ekstrak pisang pada konsentrasi ini
dapat digunakan untuk menggantikan fungsi vitamin sintetis yang mahal harganya. Sehingga biaya produksi untuk perbanyakan tunas dapat ditekan.
Diduga vitamin yang terkandung dalam buah pisang mendukung pembentukan tunas. Menurut Arditti dan Ernst 1992 bahwa dalam buah pisang terdapat
hormon auksin dan giberelin. Watimena et al. 1992 juga menyatakan bahwa setiap buah yang masak terdapat hormon auksin di dalamnya. Salah satu peran
auksin dalam kultur jaringan adalah morfogenesis akar dan tunas.
2. Panjang tunas