PEWARISAN KETAHANAN CABAI Capsicum annuum L. TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA

IV. PEWARISAN KETAHANAN CABAI Capsicum annuum L. TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA

YANG DISEBABKAN OLEH Colletotrichum acutatum ABSTRAK Antraknosa merupakan salah satu penyakit cabai paling utama di Indonesia. Colletotrichum acutatum dilaporkan merupakan spesies predominan pada cabai di Asia, termasuk di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari kendali genetik pewarisan sifat ketahanan cabai Capsicum annuum L. terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum. Set populasi dibentuk dari persilangan antara tetua tahan C-15 dan tetua rentan C-2 dan C-19. Dua puluh buah cabai yang sudah tua tetapi masih hijau dari masing-masing tanaman diinokulasi dengan C. acutatum isolat PYK 04 dan BGR 027. Kejadian penyakit diamati lima hari setelah inokulasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum dikendalikan oleh banyak gen dan tidak ada efek maternal. Gen pengendali ketahanan adalah resesif. Derajat dominansi dikategorikan sebagai resesif parsial. Aksi gen pengendali ketahanan terhadap antraknosa adalah aditif dan dominan, ragam aditif lebih besar dibandingkan ragam dominan. Nilai heritabilitas arti luas tergolong tinggi sedangkan heritabilitas arti sempit tergolong sedang. Seleksi untuk perakitan cabai unggul tahan C. acutatum sebaiknya dilakukan pada generasi lanjut, misalkan menggunakan metode bulk atau single seed descent SSD Kata kunci: pewarisan, antraknosa, ketahanan, cabai, Colletotrichum acutatum PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum acutatum pada cabai dilaporkan merupakan salah satu penyakit yang sangat merusak pada cabai, karena dapat menyerang buah masih hijau maupun masak. Varietas yang tahan terhadap antraknosa belum banyak dikembangkan. Ada tiga alasan utama kesulitan dalam merakit varietas tahan terhadap antraknosa yaitu kesulitan dalam metode skrening yang digunakan, tidak ada sumber gen ketahanan terhadap antraknosa dan informasi tentang pewarisan yang masih beragam Yoon 2003. Metode mikro injeksi telah dikembangkan sebagai metode inokulasi dan beberapa sumber genetik ketahanan terhadap antraknosa telah diidentifikasi menggunakan metode inokulasi tersebut AVRDC 1998. Gen-gen pengendali 52 sifat ketahanan tersebut dapat ditemukan pada berbagai spesies cabai seperti Capsicum chinense, C. Baccatum, C. tovarii, C. frutescence, dan C. annuum Sastrosumarjo 2003. AVRDC 1998 melaporkan bahwa persilangan interspesifik antara C. annuum dan C. baccatum serta C. annuum dan C. chinense telah dilakukan menggunakan metode penyelamatan embrio dalam rangka perakitan varietas tahan terhadap penyakit antraknosa. Akan tetapi pewarisan sifat menggunakan populasi hasil persilangan interspesifik antara tetua tahan dan tetua rentan secara konvensional sering tidak memuaskan sebagai akibat kendala berpasangan pada saat meiosis F1. Analisis pewarisan studi kendali genetik dari suatu karakter sangat penting dalam program pemuliaan, khususnya pemuliaan ketahanan terhadap suatu penyakit. Meskipun hasilnya masih bervariasi, hingga saat ini beberapa penelitian tentang gen pengendali ketahanan terhadap antraknosa telah dilakukan. Cheema 1984 menyatakan bahwa ketahanan terhadap antraknosa adalah bersifat aditif dan resesif. Amilin et al. 1995 menyatakan bahwa sifat ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. gloesporioides pada persilangan interspesifik antara C. annuum dengan C. frustescens adalah dikendalikan oleh satu gen dengan aksi gen resesif. Hal yang sama dilaporkan oleh Pakdeevaraporn et al. 2005, bahwa persilangan interspesifik antara C. annuum dengan C. chinense PBC 932 mengindikasikan ketahanan terhadap antraknosa dikendalikan oleh satu gen resesif. Sementara menurut Park et al. 1990 bahwa gen ketahanan terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. gloesporioides bersifat dominan parsial dan poligenik; Wusani 2004 menyatakan bahwa ketahanan terhadap antraknosa dikendalikan oleh gen dominan dan bersifat poligenik; Sanjaya, Herison dan Suryotomo 2001 menyatakan bahwa pewarisan ketahanan terhadap antraknosa C. gloesporioides pada persilangan C. annuum dan C. chinense bersifat aditif dan poligenik dengan tujuh gen yang terlibat dalam pengendalian karakter ketahanan tersebut. Beberapa peneliti melaporkan bahwa varietas yang sama dapat menampakkan derajat ketahanan yang berbeda Cheema et al. 1984; Park et al. 1990. Di lapang, kultivar cabai yang dibudidayakan menunjukkan ekspresi yang selalu berubah dan tingkat resistensi parsial yang tidak stabil Park 2005. 53 Berdasarkan hal tersebut, maka studi tentang pewarisan ketahanan cabai terhadap penyakit antraknosa masih perlu dilakukan, guna menentukan strategi program pemuliaan yang efektif dan efisien untuk memperoleh varietas cabai berdaya hasil tinggi tahan penyakit antraknosa. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kendali genetik pewarisan sifat ketahanan cabai C. annuum L. terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan sejak bulan Januari 2006 sampai Mei 2007. Pembentukan populasi dan penanaman tujuh populasi cabai dilakukan di Cibeureum, Darmaga Bogor. Kegiatan pemurnian, perbanyakan dan pemeliharaan biakan cendawan dilakukan di Laboratorium Klinik Tanaman Departemen Proteksi Tanaman IPB. Kegiatan skrining ketahanan cabai terhadap C. acutatum dilaksanakan di Laboratorium Pendidikan Pemuliaan Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB. Metode Penelitian Bahan Bahan tanaman yang digunakan adalah C-15 sebagai tetua tahan, C-2 dan C-19 sebagai tetua rentan berdasarkan percobaan pada bab III. Isolat yang digunakan adalah biakan murni C. acutatum PYK 04 dan BGR 027, koleksi Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB. Metode Materi kegenetikaan yang dibentuk adalah set populasi atau generasi hasil persilangan antara tetua tahan P 1 dan tetua rentan P 2 mencakup turunan pertama F 1 , turunan pertama resiprokal F 1R , turunan kedua F 2 , silang balik ke 54 tetua tahan BC P1 , silang balik ke tetua rentan BC P2 mengikuti skema persilangan pada Gambar 14. Set populasi tersebut ditanam sebanyak masing- masing 10 tanaman P 1 , P 2 , dan F 1 , masing-masing 20 tanaman BC P1 dan BC P2 , serta 200 tanaman F 2 . Dua puluh buah cabai yang sudah tua tetapi masih hijau dari masing-masing tanaman diinokulasi dengan inokulum C. acutatum untuk mengetahui ada tidaknya efek maternal, aksi gen pengendali, jumlah gen pengendali, nilai duga heritabilitas arti sempit dan heritabilitas arti luas. Metode inokulasi dan pengamatan yang dilakukan sama dengan percobaan pada bab III. Total buah yang diinokulasi adalah 5 400 buah. Gambar 14. Skema Persilangan antara Genotipe Tahan P 1 dan Genotipe Rentan P 2 Penyakit Antraknosa dalam Pembuatan Mapping Population Analisis Data 1. Efek maternal Ada tidaknya efek maternal yang mengendalikan ketahanan terhadap antraknosa pada tanaman cabai ditentukan berdasarkan uji beda nilai tengah uji t pada taraf 5 terhadap nilai tengah F 1 dibandingkan dengan F 1 resiprokalnya. Uji t menurut Steel dan Torrie 1981 adalah sebagai berikut: t = R F R F F F R F F n S n S X X 1 2 1 1 2 1 1 1 + − Keterangan : R F F X X 1 1 , = nilai tengah populasi F 1 dan F 1R 2 1 2 1 , R F F S S = ragam populasi F 1 dan F 1R n F1 , n F1R = jumlah individu dalam populasi F 1 dan F 1R P 1 P 2 X F 1 P 2 X P 1 X F 2 BC P2 BC P1 P 2 P 1 X F 1R ⊗ ♀ ♀ ♂ ♂ 55 Jika kedua nilai tengah berbeda nyata, maka berarti ada efek maternal dalam pewarisan sifat yang ditelaah. Jika ragam populasi F 1 dan F 1R juga homogen, maka populasi kedua famili tersebut dapat digabungkan dalam analisis selanjutnya. Kehomogenan ragam diuji dengan uji F Steel dan Torrie, 1981. F hit = S 2 besar S 2 kecil dibandingkan dengan nilai F tabel 0.025, n-1 . Bila F hit F tab maka ragam kedua populasi adalah homogen.

2. Derajat dominansi

Derajat dominansi dihitung untuk menduga aksi gen yang mengendalikan ketahanan terhadap antraknosa pada cabai. Derajat dominansi dihitung berdasarkan rumus pendugaan potensi rasio hp yang dikemukakan oleh Petr dan Frey 1966 : F1 - MP hp = ---------- HP – MP Keterangan : hp = potensi rasio F1 = rata-rata nilai F1 HP = rata-rata nilai tetua tahan MP = nilai tengan kedua tetua Berdasarkan nilai potensi rasio, derajat dominansi diklasifikasikan sebagai berikut: hp = : tidak ada dominansi hp = 1 atau hp = -1 : dominan atau resesif penuh 0 hp 1 : dominan parsial -1 hp 0 : resesif parsial hp 1 atau hp -1 : overdominansi

3. Pendugaan faktor efektif

Jumlah faktor efektif pengendali ketahanan diduga berdasarkan pada sebaran frekuensi populasi F 2 . Frekuensi F 2 diuji apakah mengikuti sebaran normal atau tidak. Uji normalitas sebaran frekuensi F 2 dilakukan dengan menggunakan metode Shapiro dan Wilk 1965. Jika sebaran frekuensi F 2 membentuk sebaran terusan satu puncak dan menyebar normal, maka sifat yang ditelaah dikendalikan oleh banyak gen minor poligenik. Banyaknya pasang alel pengendali karakter secara sederhana dapat 56 ditentukan dengan rumus P = 2n + 1, akan tetapi rumus ini hanya dapat digunakan apabila banyaknya kelas fenotipe dalam populasi bersegregasi F 2 dapat diamati dengan baik. Jika banyaknya kelas fenotipe tidak dapat diamati dengan baik, maka disarankan menggunakan perhitungan pendugaan jumlah gen dengan cara Lande 1981, sebagai berikut: P 1 - P 2 2 n = -------------------------------- 82V F2 - V BCP1 + V BCP2 Keterangan : n = jumlah faktor efektif gen pengendali P 1 = rata-rata P 1 P 2 = rata-rata P 2 V F2 = ragam populasi F 2 V BCP1 = ragam populasi BC P1 V BCP2 = ragam populasi BC P2 Asumsi yang perlu diperhatikan dalam menggunakan rumus faktor efektif di atas adalah: 1 tidak ada efek lingkungan, 2 tidak ada efek dominansi antar alel, 3 tidak ada efek epistasis, 4 untuk semua lokus, gen memberikan efek yang sama dan bersifat aditif, 5 tidak ada pautan gen, dan 6 tetua dalam keadaan homozigot, F 1 dalam keadaan heterozigot. Jika rumus faktor efektif tersebut tidak mungkin digunakan sehubungan dengan terbatasnya pemenuhan asumsi yang bersangkutan, maka menurut Mather dan Jinks 1982 untuk menduga banyaknya faktor efektif pengendali sifat kuantitatif dapat ditempuh dengan rumus sebagai berikut: P 1 - P 2 2 k = -------------------------------- 4 H Keterangan : H = 4V BCP1 + V BCP2 -V F2 -V E Warner 1952 n = jumlah faktor efektif gen pengendali P 1 = rata-rata P 1 P 2 = rata-rata P 2 V F2 = ragam populasi F 2 V E = ragam lingkungan Dalam menafsirkan penerapan rumus ini, untuk menduga banyaknya faktor efektif sebagai penyumbang ragam kuantitatif, haruslah diartikan sebagai 57 jumlah minimal faktor efektif yang ikut serta dalam pengendalian suatu sifat kuantitatif dan bukannya merupakan jumlah total faktor efektif Mather dan Jinks 1982. Tabel 13. Nisbah Fenotipik Frekuensi Karakter Resistensi Tanaman terhadap Penyakit yang Dikendalikan oleh Gen Mayor dalam Populasi Bersegregasi F 2 Burn 1976; Griffiths et al. 1996 Tipe Resistensi Resisten R Resisten sedang MR Rentan sedang MS Rentan S 1. Resistensi dikendalikan 1 pasang gen a. Dominan penuh 3 - - 1 b. Resesif 1 - - 3 2. Resistensi dikendalikan 2 pasang gen a. Dominan penuh pada kedua lokus A dan B 9 3 3 1 b. Resesif epistasis aa epistasis terhadap B dan b 9 3 - 4 c. Dominan epistatis A epistasis terhadap B dan b 12 - 3 1 d. Dominan dan resesif epistasis A epistasis terhadap B dan b; bb epistasis terhadap A dan a 13 - - 3 e. Duplikat resesif epistasis aa epistasis ke B dan b; bb epistasis ke A dan a 9 - - 7 f. Duplikat dominan epistatis A epistasis ke B dan b; B epistasis ke A dan a 15 - - 1 g. Interaksi duplikat 9 6 - 1 h. Interaksi komplementer 9 - - 7 i. Interaksi kompleks 10 3 - 3 3. Resistensi dikendalikan 3 pasang gen Interaksi epistasis : A 37 - - 27 B 45 - - 19 C 55 - - 9 D 27 9 9 19 Sebaliknya, jika tidak mengikuti sebaran normal, maka kemungkinan ada peran gen mayor yang mengendalikan sifat tersebut. Untuk mengetahui jumlah gen mayor pengendali ketahanan terhadap antraknosa pada cabai maka sebaran 58 frekuensi tersebut dibandingkan dengan nisbah tertentu dengan menggunakan uji Chi kuadrat χ 2 . Beberapa nisbah fenotipik yang ditemukan dalam penelitian pewarisan ketahanan terhadap penyakit yang dikendalikan oleh gen mayor pada berbagai tanaman adalah tertera pada Tabel 13. Uji Chi kuadrat χ 2 menurut Strickberger 1976 adalah sebagai berikut: χ 2 = Σ [|o i – e i |-12] 2 e bila derajat bebas =1 χ 2 = Σ [o i – e i 2 e] bila derajat bebas 1 Keterangan : o i = nilai pengamatan populasi ke-i e i = nilai harapan populasi ke-i ½ = koreksi Yates Jika nilai χ 2 hasil penghitungan lebih kecil daripada χ 2 tabel, maka sebaran populasi F 2 mengikuti nisbah yang diharapkan. 4. Pendugaan komponen genetik Analisis rata-rata generasi dilakukan untuk menentukan model genetik yang paling sesuai menggambarkan hubungan rata-rata generasi, menggunakan uji skala gabungan joint scaling test Mather dan Jink 1982. Ada enam komponen genetik dalam suatu model lengkap digenik, yaitu pengaruh rata-rata [m], jumlah pengaruh aditif [d], jumlah pengaruh dominan [h], jumlah pengaruh interaksi aditif x aditif [i], jumlah pengaruh interaksi aditif x dominan [j] dan jumlah pengaruh interaksi dominan x dominan [l]. Model genetik yang diuji adalah kombinasi dari keenam komponen genetik tersebut. Dengan enam famili, maka ada maksimum delapan model genetik yang dapat diuji, yang digolongkan dalam: 1 model dua komponen genetik, yaitu model m[d], 2 model tiga komponen, yaitu m[d][h], yang merupakan model aditif–dominan, 3 model empat komponen, yang terdiri atas m[d][h][i], m[d][h][j] dan m[d][h][l], dan model lima komponen, yang terdiri atas m[d][h][i][j], m[d][h][i][l], dan m[d][h][j][l]. Sedangkan model genetik lengkap enam komponen tidak dapat diuji. Pengujian dilakukan secara bertahap mulai dari model dua, tiga, empat dan lima komponen genetik. Model dianggap paling sesuai jika nilai χ 2 hitung 59 menunjukkan nilai terkecil, dan lebih kecil dari χ 2 tabel . Apabila model telah menunjukkan kesesuaian dengan model aditif-dominan m[d][h], maka pengujian tidak dilanjutkan ke model selanjutnya karena dianggap tidak ada interaksi non- alelik. Berdasarkan model genetik yang paling sesuai maka dapat diduga besarnya nilai komponen genetik tersebut beserta dengan galat bakunya. Dengan uji t maka selanjutnya dapat ditentukan nyata tidaknya peran komponen genetik tersebut Singh dan Chaudhary 1979; Mather dan Jink 1982, dengan menggunakan pembanding t tab0.05,~ = 1.96. t hit = [d]SE [d] dengan [d] adalah komponen genetik, dan SE [d] adalah galat bakunya. Prosedur uji skala gabungan menurut Mather dan Jink 1982; Singh dan Chaudhary 1979 adalah dengan menyatakan nilai rata-rata variabel yang diamati pada setiap famili ke dalam bentuk persamaan komponen genetik dan pembobotnya. Koefisien komponen genetik dalam uji skala gabungan disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Koefisien Komponen Genetik dalam Uji Skala Gabungan Famili Bobot m [d] [h] [i] [j] [l] Rata-rata P 1 1SE P1 1 1 1 1 P P 2 1SE P2 1 -1 1 2 P F 1 1SE F1 1 1 1 1 F F 2 1SE F2 1 12 14 2 F BC P1 1SE BCP1 1 12 12 14 14 14 1 P BC BC P2 1SE BCP2 1 -12 12 14 -14 14 2 P BC Dalam pengujian, terlebih dahulu dilakukan pengujian kesesuaian model aditif-dominan. Tersedia enam persamaan untuk menduga tiga komponen. Keenam persamaan digabungkan untuk memperoleh tiga persamaan, dengan cara: 1 masing-masing persamaan dikalikan dengan koefisien m dan pembobotnya, kemudian dijumlahkan; 2 masing-masing persamaan dikalikan dengan koefisien [d] dan bobotnya, kemudian dijumlahkan; dan 3 masing-masing persamaan 60 dikalikan dengan koefisien [h] dan bobotnya, kemudian dijumlahkan. Dengan demikian diperoleh tiga persamaan sebagai berikut: a 1 m + b 1 [d] + c 1 [h] = y 1 a 2 m + b 2 [d] + c 2 [h] = y 2 a 3 m + b 3 [d] + c 3 [h] = y 3 Ketiga persamaan tersebut dapat ditulis dalam bentuk matriks sebagai berikut: ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ = ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ 3 2 1 3 3 3 2 2 2 1 1 1 ] [ ] [ y y y h d m c b a c b a c b a → M = J -1 J M S Berdasarkan nilai m, [d], dan [h] yang diperoleh, maka nilai harapan dari rata-rata pengamatan masing-masing generasi dapat dihitung. Kesesuaian antara nilai pengamatan dan nilai harapan diuji dengan Chi-kuadrat, dengan derajat bebas db 6 – 3 = 3. Apabila nilai χ 2 hitung lebih kecil dari nilai χ 2 tabel , maka aksi gen yang berperan dalam mengendalikan sifat yang ditelaah adalah bersifat aditif-dominan. Apabila aksi gen tidak memenuhi model aditif-dominan, maka berarti ada interaksi gen non-alelik. Untuk mengetahui model genetik epistasis yang paling sesuai dilakukan pengujian model dengan menggunakan model genetik dengan empat atau lima komponen. Prosedur pengujiannya sama seperti pada pengujian model untuk tiga komponen.

5. Pendugaan nilai heritabilitas

Heritabilitas arti luas, dihitung berdasarkan rumus Allard 1960 : V F2 - V F1 + V P1 + V P2 3 h 2 bs = ------------------------------- V F2 Keterangan : h 2 bs = heritabilitas arti luas V P1 = ragam populasi P 1 V P2 = ragam populasi P 2 V F1 = ragam populasi F 1 V F2 = ragam populasi F 2 61 Heritabilitas arti sempit, dihitung berdasarkan rumus Warner 1952 : 2V F2 - V BCP1 + V BCP2 h 2 ns = ----------------------------- V F2 Keterangan : h 2 ns = heritabilitas arti sempit V BCP1 = ragam populasi BC P1 V BCP2 = ragam populasi BC P2 V F2 = ragam populasi F 2 Nilai duga heritabilitas digolongkan rendah jika h 2 0.2, sedang jika 0.2 ≤ h 2 ≤ 0.5 dan tinggi jika h 2 0.5 Halloran et al., 1979. HASIL DAN PEMBAHASAN Populasi Persilangan C-15 x C-2 Sebaran Frekuensi Populasi Berdasarkan skor ketahanan cabai terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum isolat PYK 04, sebaran frekuensi kedua tetua tidak tumpang tindih dan terdapat perbedaan yang nyata antara keduanya. P1 adalah tetua yang memiliki kriteria tahan hingga sangat tahan, sedangkan P 2 adalah tetua yang memiliki kriteria rentan hingga sangat rentan. Sebaran frekuensi populasi F 1 dan F 1R memperlihatkan sifat rentan hingga tahan, populasi BC P1 mengarah pada tahan, populasi BC P2 mengarah pada rentan dan F 2 memiliki kriteria sangat rentan hingga sangat tahan Tabel 15. Tabel 15. Jumlah Tanaman Cabai pada Setiap Populasi Persilangan C-15 x C-2 Berdasarkan Skor Ketahanan terhadap Antraknosa Isolat PYK 04 Jumlah Tanaman Skor Kriteria P 1 P 2 F 1 F 1R BC P1 BC P2 F 2 1 Sangat Tahan 4 0 0 0 2 0 9 2 Tahan 6 0 2 2 7 1 25 3 Moderat 0 0 5 9 9 3 74 4 Rentan 0 8 7 3 2 12 77 5 Sangat Rentan 0 2 0 0 0 4 16 Rata-rata 1.60 4.20 3.36 3.08 2.55 3.90 3.30 σ 2 0.27 0.18 0.55 0.38 0.68 0.59 0.84 σ 0.52 0.42 0.74 0.62 0.83 0.77 0.82 KK 32 10 22 20 32 20 28 62 Tabel 16. Jumlah Tanaman Cabai pada Setiap Populasi Persilangan C-15 x C-2 Berdasarkan Skor Ketahanan terhadap Antraknosa Isolat BGR 027 Jumlah Tanaman Skor Kriteria P 1 P 2 F 1 F 1R BC P1 BC P2 F 2 1 Sangat Tahan 3 0 0 0 1 1 9 2 Tahan 1 0 2 1 2 2 22 3 Moderat 7 2 3 3 7 6 51 4 Rentan 0 6 5 4 9 7 42 5 Sangat Rentan 0 2 0 3 1 4 19 Rata-rata 2.36 3.92 3.30 3.58 3.42 3.55 3.28 σ 2 0.85 0.44 0.67 1.54 0.81 1.21 1.16 σ 0.92 0.67 0.82 1.28 0.90 1.10 1.08 KK 39 17 25 35 26 31 33 Gambar 15. Buah Cabai P 1 , P 2 , F 1 , F 1R dan F 2 Lima Hari Setelah Inokulasi C. acutatum Isolat PYK 04 pada Populasi Persilangan C-15 x C-2. Tanda panah merupakan gejala serangan antraknosa. Sementara itu, berdasarkan skor ketahanan cabai terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum isolat BGR 027, P 1 adalah tetua yang memiliki kriteria moderat hingga sangat tahan, P 2 adalah tetua yang memiliki kriteria moderat hingga sangat rentan, populasi F 1 dan F 1R 63 memperlihatkan sifat rentan hingga tahan, populasi BC P1 dan populasi BC P2 mengarah pada rentan dan F 2 memiliki kriteria sangat rentan hingga sangat tahan Tabel 16. Penampilan P 1 , P 2 , F 1 , F 1R dan F 2 setelah diinokulasi dengan isolat BGR 027 disajikan pada Gambar 15. Pada Tabel 18 dan 19 terlihat pula bahwa kedua tetua memiliki perbedaan genetik yang cukup jauh, populasi P 1 memiliki ketahanan yang tinggi dan populasi P 2 memiliki ketahanan yang rendah, sementara populasi F 1 mengarah kepada tetua rentan. Dengan demikian gen pengendali ketahanan adalah resesif. Efek Maternal Pengujian ada tidaknya efek maternal dilakukan dengan membandingkan rata-rata skor ketahanan penyakit F 1 dan F 1R pada setiap isolat yang dipelajari dengan menggunakan uji beda nilai tengah uji t pada taraf 5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rata-rata skor ketahanan penyakit F 1 tidak berbeda nyata dengan F 1R Tabel 17, yang dapat dilihat dari nilai probabilitas t yang lebih besar daripada 0.05. Hal ini berarti pewarisan ketahanan cabai terhadap C. acutatum tidak dipengaruhi efek maternal. Tidak adanya efek maternal merupakan indikasi bahwa sifat ketahanan dikendalikan oleh gen-gen yang berada di dalam inti nuclear genes. Uji kehomogenan ragam menggunakan uji F pada kedua isolat menunjukkan bahwa ragam F 1 dan F 1R homogen. Hal ini terlihat dari nilai F hitung yang lebih besar daripada F tabel pada taraf 5 Tabel 17. Dengan demikian pada analisis selanjutnya data F 1 dan F 1 R dapat digabungkan sebagai data populasi F 1 . Tabel 17. Nilai Rata-rata dan Galat Baku Skor Ketahanan Penyakit F 1 dan F 1R Isolat PYK 04 dan BGR 027, Hasil Uji Beda Nilai Tengah dan Kehomogenan Ragam pada Cabai Populasi Persilangan C-15 x C-2 Populasi Isolat PYK 04 Isolat BGR 027 F 1 3.36 ± 0.74 3.30 ± 0.82 F 1R 3.08 ± 0.62 3.58 ± 1.28 Prob |t| 0.279 tn 0.523 tn Prob |F| 0.502 tn 0.229 tn Keterangan : tn = tidak nyata 64 Derajat Dominansi Derajat dominansi diukur berdasarkan nilai tengah kedua tetua P 1 dan P 2 dan F 1 menggunakan rumus pendugaan nilai potensi rasio h P yang digunakan oleh Petr dan Frey 1966. Nilai potensi rasio skor ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum isolat PYK 04 dan BGR 027 berturut-turut adalah –0.35 dan –0.21 Tabel 21. Hasil perhitungan tersebut menggambarkan bahwa rata-rata skor ketahanan penyakit pada populasi F 1 berada di antara nilai tengah tetua tahan dan tetua rentan. Secara skematis posisi relatif F 1 terhadap kedua tetuanya untuk kedua isolat disajikan pada Gambar 16 dan 17. Ini berarti bahwa ekspresi gejala berat pada tetua rentan adalah dominan terhadap ekspresi gejala ringan pada tetua tahan. P1 Tahan 1.60 P2 Rentan 4.20 MP 2.90 F1 3.36 P1 Tahan 1.60 P2 Rentan 4.20 MP 2.90 F1 3.36 Gambar 16. Skema Posisi Relatif Nilai Tengah F 1 terhadap Kedua Tetuanya Berdasarkan Skor Ketahanan Cabai Populasi Persilangan C-15 x C-2 terhadap Antraknosa Isolat PYK 04 P1 Tahan 2.36 P2 Rentan 3.92 MP 3.14 F1 3.30 P1 Tahan 2.36 P2 Rentan 3.92 MP 3.14 F1 3.30 Gambar 17. Skema Posisi Relatif Nilai Tengah F 1 terhadap Kedua Tetuanya Berdasarkan Skor Ketahanan Cabai Populasi Persilangan C-15 x C-2 terhadap Antraknosa Isolat BGR 027 Nilai h P yang berada di dalam kisaran -1 dan 0 menunjukkan bahwa ketahanan terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum isolat PYK 04 dan BGR 027 dikendalikan oleh gen resesif. Menurut Petr dan Prey 1966 nilai h P yang berada pada kisaran -1 dan 0 menunjukkan bahwa sifat yang diamati dikendalikan oleh gen resesif dengan aksi gen resesif parsial. 65 Jumlah Faktor Efektif Sebaran frekuensi pada populasi F 2 menunjukkan sebaran satu puncak Gambar 18 dan 19. Uji normalitas menunjukkan sebaran frekuensi F 2 yang diinokulasi dengan isolat PYK 04 dan solat BGR 027 adalah normal P-value 0.1, R = 0.995 untuk isolat PYK 04 dan P-value 0.1, R = 0.999 untuk isolat BGR 027. Grafik uji normalitas disajikan pada Lampiran 8 dan 9. Hal ini mengindikasikan bahwa ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum dikendalikan oleh banyak gen. Berdasarkan hasil pengolahan data Tabel 18, jumlah faktor efektif ketahanan terhadap antraknosa adalah minimal delapan untuk isolat PYK 4 dan dua untuk isolat BGR 027. 10 20 30 40 50 60 70 80 1 2 3 4 5 6 Skor Ketahanan Gambar 18. Sebaran Frekuensi pada Populasi F 2 Berdasarkan Skor Ketahanan Cabai Populasi Persilangan C-15 x C-2 terhadap Antraknosa Isolat PYK 04 10 20 30 40 50 60 1 2 3 4 5 6 Skor Ketahanan Gambar 19. Sebaran Frekuensi pada Populasi F 2 Berdasarkan Skor Ketahanan Cabai Populasi Persilangan C-15 x C-2 terhadap Antraknosa Isolat BGR 027 66 Pendugaan Komponen Genetik Untuk mengetahui aksi gen yang mengendalikan ketahanan terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum isolat PYK 04 dan BGR 027, dilakukan uji skala gabungan Mather dan Jinks 1982; Chahal dan Gosal 2003. Hasil analisis menunjukkan bahwa keragaman ketahanan penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum isolat PYK 04 dan BGR 027 mengikuti model aditif dominan, yang diperlihatkan oleh model m[d][h] yang tidak berbeda nyata pada uji χ 2 Tabel 18. Dengan demikian berarti hanya aksi gen aditif [d] dan dominan [h] yang menentukan keragaman ketahanan penyakit. Nilai aksi gen aditif berturut-turut untuk ketahanan penyakit antraknosa isolat PYK 04 dan BGR 027 adalah -1.30 dan -0.78. Nilai negatif menunjukkan bahwa nilai tengah tetua tahan P1 lebih kecil daripada nilai tengah tetua rentan P2. Sementra itu, nilai aksi gen dominan berturut-turut untuk ketahanan penyakit antraknosa isolat PYK 04 dan BGR 027 adalah 0.46 dan 0.16 Tabel 18. Aksi gen aditif lebih besar dibandingkan aksi gen dominan. Hal ini menunjukkan bahwa ragam genetik lebih ditentukan oleh aksi gen aditif. Heritabilitas Nilai duga heritabilitas arti luas h 2 bs termasuk dalam kategori tinggi 0.54 dan sedang 0.43 berturut-turut untuk isolat PYK 04 dan BGR 027. Ini menunjukkan ragam gejala yang muncul terutama dikendalikan oleh faktor genetik. Nilai duga heritabilitas arti sempit h 2 ns termasuk sedang, yaitu 0.49 dan 0.26 berturut-turut untuk isolat PYK 04 dan BGR 027. Besarnya sumbangan ragam aditif terhadap ragam genetik dapat dilihat dari proporsi h 2 ns terhadap h 2 bs yaitu sebesar 91.01 dan 60.47 beturut-turut untuk isolat PYK 04 dan BGR 027 Tabel 18. Hasil ini sesuai dengan uji skala gabungan yang menunjukkan bahwa ragam genetik lebih ditentukan oleh ragam aditif. Menurut Falconer 1981, ragam aditif memiliki sifat dapat difiksasi melalui seleksi. Chahal dan Gosal 2003 menyatakan bahwa seleksi peubah yang dikendalikan oleh banyak gen dengan ragam aditif tinggi dilakukan pada generasi lanjut. Oleh karena itu, seleksi ketahanan terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum dapat 67 dilakukan pada generasi lanjut, misalkan menggunakan metode bulk atau single seed descent SSD. Tabel 18. Pendugaan Parameter Genetik Ketahanan Cabai Populasi Persilangan C-15 x C-2 terhadap Antraknosa yang Disebabkan oleh C. acutatum Isolat PYK 04 dan Isolat BGR 027 Berdasarkan Skor Ketahanan Nilai Komponen Isolat PYK 04 Isolat BGR 027 Komponen Ragam Ragam lingkungan σ 2 E 0.39 0.66 Ragam fenotipe σ 2 P 0.84 1.16 Ragam genetik σ 2 G 0.45 0.50 Ragam aditif σ 2 A 0.41 0.30 Heritabilitas arti luas h 2 bs 0.54 0.43 Heritabilitas arti sempit h 2 ns 0.49 0.26 h 2 ns h 2 bs x 100 91.01 60.47 Kemajuan seleksi G s 0.75 0.47 Komponen Genetik m[d][h] 0.06 tn 0.31 tn Nilai tengah m 2.90 ± 0.32 3.14 ± 0.52 Aditif [a] -1.30 ± 0.32 -0.78 ± 0.52 Dominan [d] 0.46 ± 0.74 0.16 ± 0.97 Derajat dominansi -0.35 -0.21 Jumlah faktor efektif 8.26 1.60 Kemajuan Genetik ∆G Apabila seleksi telah dilakukan terhadap suatu populasi tanaman, diharapkan tanaman yang terpilih akan memberikan hasil yang lebih baik. Besarnya kenaikan hasil yang akan diperoleh dapat diperkirakan dengan menghitung kemajuan genetik. Kemajuan genetik diartikan sebagai kemajuan seleksi yang dilakukan. Dalam pendugaan kemajuan genetik, diperlukan pengenalan secara baik terhadap populasi beserta keragamannya dan pengetahuan mengenai besarnya heritabilitas Roy 2000. Berdasarkan ragam fenotipe dan nilai heritabilitas dapat diduga kemajuan genetik ∆G. Apabila dari populasi dasar dipilih 10 yang terbaik untuk digunakan sebagai material seleksi pada siklus berikutnya maka kemajuan genetik untuk sifat ketahanan terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum isolat PYK 04 dan BGR 027 berturut-turut adalah 0.75 dan 0.47 Tabel 18. Data 68 tersebut mengindikasikan bahwa dengan memilih 10 tanaman yang memiliki ketahanan tertinggi terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum isolat PYK 04 pada populasi F 2 , diperoleh kemajuan seleksi sebesar 0.75. Artinya apabila dilakukan seleksi pada populasi F 2 dengan skor ketahanan 3.30 maka pada generasi F 3 , F 4 dan F 5 akan diperoleh skor ketahanan berturut-turut sebesar 2.65, 1.90 dan 1.15. Pada generasi F 4 diperoleh sudah skor ketahanan yang lebih baik dibandingkan tetua tahan 1.60. Populasi Persilangan C-19 x C-15 Sebaran Frekuensi Populasi Berdasarkan skor ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum isolat PYK 04, sebaran frekuensi antara kedua tetua dapat dibedakan dengan jelas. P1 adalah tetua yang memiliki kriteria moderat hingga sangat rentan, sedangkan P 2 adalah tetua yang memiliki kriteria moderat hingga sangat tahan. Sebaran frekuensi populasi F 1 memperlihatkan sifat sangat rentan hingga tahan, populasi F 1R memperlihatkan sifat sangat rentan hingga sangat tahan, populasi BC P1 mengarah pada rentan, populasi BC P2 mengarah pada tahan dan F 2 memiliki kriteria sangat rentan hingga sangat tahan Tabel 19. Tabel 19. Jumlah Tanaman Cabai pada Setiap Populasi Persilangan C-19 x C-15 Berdasarkan Skor Ketahanan terhadap Antraknosa Isolat PYK 04 Jumlah Tanaman Skor Kriteria P 1 P 2 F 1 F 1R BC P1 BC P2 F 2 1 Sangat Tahan 0 4 0 1 0 2 11 2 Tahan 0 8 1 0 0 1 23 3 Moderat 1 2 3 1 4 3 53 4 Rentan 2 0 7 7 7 3 57 5 Sangat Rentan 8 0 4 6 4 0 11 Rata-rata 4.64 1.86 3.93 4.13 4.00 2.78 3.21 σ 2 0.45 0.44 0.78 1.12 0.53 1.44 1.04 σ 0.67 0.66 0.88 1.06 0.73 1.20 1.02 KK 15 36 22 26 18 43 0.32 Pada Tabel 19 terlihat pula bahwa kedua tetua memiliki perbedaan genetik yang cukup jauh, populasi P 1 memiliki ketahanan yang rendah dan populasi P 2 69 memiliki ketahanan yang tinggi, sementara populasi F 1 dan F 1R mengarah kepada tetua rentan. Dengan demikian gen pengendali ketahanan adalah resesif. Efek Maternal Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rata-rata skor ketahanan penyakit F 1 tidak berbeda nyata dengan F 1R Tabel 20, yang dapat dilihat dari nilai probabilitas t yang lebih besar daripada 0.05. Hal ini berarti pewarisan ketahanan cabai persilangan C-19 x C-15 terhadap C. acutatum tidak dipengaruhi efek maternal. Uji kehomogenan ragam menggunakan uji F pada kedua isolat menunjukkan bahwa ragam F 1 dan F 1R homogen. Hal ini terlihat dari nilai F hitung yang lebih besar daripada F tabel pada taraf 5 Tabel 20. Dengan demikian pada analisis selanjutnya data F 1 dan F 1 R dapat digabungkan sebagai data populasi F 1 . Tabel 20. Nilai Rata-rata dan Galat Baku Skor Ketahanan Penyakit F 1 dan F 1R , Hasil Uji Beda Nilai Tengah dan Kehomogenan Ragam pada Cabai Populasi Persilangan C-19 x C-15 Populasi Skor Ketahanan F 1 3.93 ± 0.88 F 1R 4.13 ± 1.06 Prob |t| 0.443 tn Prob |F| 0.691 tn Keterangan : tn = tidak nyata Derajat Dominansi Nilai potensi rasio h P skor ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum isolat PYK 04 adalah –0.49 Tabel 21. Hasil perhitungan tersebut menggambarkan bahwa rata-rata skor ketahanan penyakit pada populasi F 1 berada di antara nilai tengah tetua tahan dan tetua rentan. Nilai h P yang berada di dalam kisaran -1 dan 0 menunjukkan bahwa ketahanan cabai terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum isolat PYK 04 dikendalikan oleh gen resesif dengan aksi gen resesif parsial. Secara skematis posisi relatif F 1 terhadap kedua tetuanya disajikan pada Gambar 20. Ini berarti 70 bahwa ekspresi gejala berat pada tetua rentan adalah dominan terhadap ekspresi gejala ringan pada tetua tahan. P1 Rentan 4.64 P2 Tahan 1.86 MP 3.25 F1 3.93 P1 Rentan 4.64 P2 Tahan 1.86 MP 3.25 F1 3.93 Gambar 20. Skema Posisi Relatif Nilai Tengah F 1 terhadap Kedua Tetuanya Berdasarkan Skor Ketahanan Cabai Populasi Persilangan C-19 x C- 15 terhadap Antraknosa Isolat PYK 04 Jumlah Faktor Efektif Sebaran frekuensi pada populasi F 2 menunjukkan sebaran satu puncak Gambar 21. Uji normalitas menunjukkan sebaran frekuensi F 2 adalah normal P- value 0.1, R = 0.9952. Grafik uji normalitas disajikan pada Lampiran 10. Hal ini mengindikasikan bahwa ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum dikendalikan oleh banyak gen. Berdasarkan hasil pengolahan data Tabel 21, jumlah faktor efektif ketahanan terhadap antraknosa adalah enam gen. 10 20 30 40 50 60 70 1 2 3 4 5 6 Skor Ketahanan Gambar 21. Sebaran Frekuensi pada Populasi F 2 Berdasarkan Skor Ketahanan Cabai Populasi Persilangan C-19 x C-15 terhadap Antraknosa Isolat PYK 04 71 Pendugaan Komponen Genetik Hasil analisis menunjukkan bahwa keragaman ketahanan penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum isolat PYK 04 mengikuti model aditif dominan, yang diperlihatkan oleh model m[d][h] yang tidak berbeda nyata pada uji χ 2 Tabel 24. Dengan demikian berarti hanya aksi gen aditif [d] dan dominan [h] yang menentukan keragaman ketahanan penyakit. Nilai aksi gen aditif untuk ketahanan penyakit antraknosa isolat PYK 04 adalah 1.39. Sementara itu, nilai aksi gen dominan untuk ketahanan penyakit antraknosa isolat PYK 04 adalah 0.68 Tabel 21. Aksi gen aditif lebih besar dibandingkan aksi gen dominan. Hal ini menunjukkan bahwa ragam genetik lebih ditentukan oleh aksi gen aditif. Tabel 21. Pendugaan Parameter Genetik Ketahanan Cabai Populasi Persilangan C-19 x C-15 terhadap Antraknosa yang Disebabkan oleh C. acutatum Isolat PYK 04 Berdasarkan Skor Ketahanan Komponen Nilai Komponen Ragam Ragam lingkungan σ 2 E 0.61 Ragam fenotipe σ 2 P 1.04 Ragam genetik σ 2 G 0.42 Ragam aditif σ 2 A 0.10 Heritabilitas arti luas h 2 bs 0.41 Heritabilitas arti sempit h 2 ns 0.10 h 2 ns h 2 bs x 100 23.50 Kemajuan seleksi G s 0.16 Komponen Genetik m[d][h] 3.51 tn Nilai tengah m 3.25 ± 0.45 Aditif [a] 1.39 ± 0.44 Dominan [d] 0.68 ± 0.93 Derajat dominansi -0.49 Jumlah faktor efektif 5.97 Heritabilitas Nilai duga heritabilitas arti luas h 2 bs termasuk dalam kategori sedang 0.41. Nilai duga heritabilitas arti sempit h 2 ns termasuk rendah, yaitu 0.10. Besarnya sumbangan ragam aditif terhadap ragam genetik dapat dilihat dari 72 proporsi h 2 ns terhadap h 2 bs yaitu sebesar 23.10 Tabel 21. Seleksi ketahanan terhadap C. acutatum dapat dilakukan pada generasi lanjut, misalkan menggunakan metode bulk atau single seed descent SSD. SIMPULAN 1. Ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum dikendalikan oleh banyak gen dan tidak ada efek maternal. 2. Gen pengendali ketahanan adalah resesif. Derajat dominansi dikategorikan sebagai resesif parsial. 3. Aksi gen pengendali ketahanan terhadap antraknosa adalah aditif dan dominan, ragam aditif lebih besar dibandingkan ragam dominan. 4. Nilai heritabilitas arti luas tergolong sedang sampai tinggi sedangkan heritabilitas arti sempit tergolong rendah sampai sedang. 5. Seleksi untuk perakitan cabai unggul tahan C. acutatum sebaiknya dilakukan pada generasi lanjut, misalkan menggunakan metode bulk atau single seed descent SSD. DAFTAR PUSTAKA Allard RW. 1960. Principles of Plant Breeding. New York: J Wiley Sons. 485 hal. Amilin, Setiamihardja AR, Baihaki A, Karmana MH. 1995. Pewarisan, heritabilitas dan kemajuan genetik ketahanan terhadap penyakit antraknosa pada persilangan Cabai Rawit dan Cabai Merah. Zuriat 6 2 : 74-79. [AVRDC] Asian Vegetable Research Development and Center. 1998. Off-seaon tomato, pepper and eggplant. Di dalam: AVRDC Progress Report 1998. Taiwan: AVRDC hlm 20-30. Burns GW. 1976. The science of genetics: an introduction to heredity. Ed ke-3. New York: Macmillan Publ. Co. 564 hal. Chahal GS, Gosal SS. 2003. Principle and procedures of plant breeding, biotechnological and conventional approaches. New Delhi: Narosa Publishing House. 604 hal. 73 Cheema DS, Singh DP, Rawal RD, Pande AAD. 1984. Inheritance of resistance antracnose in chilies. Capsicum News Letter 3:44. Falconer DS. 1961. Introduction to Quantitative Genetics. Edinburgh: Oliver 7 Boyd. Griffiths AJF, Miller JH, Suzuki DT, Lewontin RC, Gelbart WM. 1996. An Introduction to genetic analysis. Ed ke-6. New York: W.H. Freeman and Company. 916 hal. Halloran GM, Knight R, McWhirter KS, Sparrow DHB. 1979. Plant Breeding. Brisbane: Australian Vice-Chancellors Committee. 225 hal. Lande R. 1981. The minimum number of genes contributing to quantitative variation between and within populations. Genetics 99:541-553. Mather SK, Jinks JL. 1982. Biometrical genetics. Ed ke-3. New York: Chapman and Hall. 396 hal. Pakdeevaraporn P, Wasee S, Taylor PWJ, Mongkolporn O. 2005. Inheritance of resistance to antrachnose caused by Colletotrichum capsici in Capsicum. Plant Breeding 1242 : 206-208. Park HK, Kim BS, Lee WS. 1990. Inheritance of resistance to antracnose Colletotrichum spp in pepper Capsicum annuumL.. I. Genetic analysis of antracnose resistance by diallel crossed. J Kor Soc Hort Sci 31:91-105. Park SK. 2005. Differential interaction between pepper genotypes and Colletorichum isolates causing anthracnose [Thesis]. Seoul: Seoul Nath. Univ. 48 hal. Petr FC, Frey KJ. 1966. Genotypic correlation, dominance, and heritability of quantitative characters in oat. Crop Sci. 6:259-262. Roy D. 2000. Plant breeding, analysis and exploitation of variation. New Delhi: Narosa Publishing House. 701 hal. Sanjaya L, Herison C, Suryotomo B. 2001. Pewarisan ketahanan terhadap antraknosa pada populasi cabai hasil pesilangan interspesifik C. chinense dan C. annuum. Prosiding Kongres IV dan Simposium Nasional PERIPI, Yogyakarta, 23-24 Oktober 2001. Sastrosumarjo S. 2003. Pembentukan varietas cabai tahan penyakit antraknosa dengan pendekatan metode convencional dan bioteknologi [Laporan Riset RUT VIII]. Jakarta: Kementrian Reset dan Teknologi RI LIPI. 45 hal. Shapiro SS, Wilk MB. 1965. An analysis of variance test for normality completed sample. Biometrica 52:591-611. 74 Singh RK, Chaudhary BD. 1979. Biometrical Methods in Quantitative Genetic Analysis. Edisi Revisi. New Delhi: Kalyani Publishers. 304 hal. Steel RGD, Torrie JH. 1981. Principles and procedure of statistics. A biometrical approach. Ed ke-2. London: McGraw-Hill Intl. Book Co. 633 hal. Strickberger MW. 1976. Genetics. Ed ke-2. New York: Mac Millan Publ. Co. 914 hal. Warner JN. 1952. A Method of estimating heritability. Agron J 44 : 427-430. Wusani M. 2004. Pola pewarisan karakter ketahanan terhadap penyakit antraknosa Colletotrichum gloesporioides Penz pada cabai Capsicum annuum var Jatilaba x Capsicum chinense-27. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. 57 hal. Yoon JB. 2003. Identification of genetic resources, interspecific hybridization, and inheritance analysis for breeding pepper Capsicum annuum resistant to anthracnose [PhD Thesis] Seoul: Seoul Natl Univ. 137 hal.

V. ANALISIS SILANG DIALEL UNTUK PENDUGAAN PARAMETER GENETIK KETAHANAN

Dokumen yang terkait

Uji Ketahanan Beberapa Varietas Tanaman Cabai (Capsicum annum L.) Terhadap Serangan Penyakit Antraknosa Dengan Pemakaian Mulsa Plastik

0 80 121

Analisis genetik dan pewarisan sifat ketahanan cabai terhadap antraknosa yang disebabkan oleh colletotrichum acutatum

1 16 173

Pewarisan Ketahanan Cabai (Capsicum annuum L.) terhadap Antraknosa yang Disebabkan oleh Colletotrichum acutatum

0 9 7

Ketahanan terhadap Antraknosa yang Disebabkan oleh Colletotrichum acutatum pada Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum annuum L.) dan Korelasinya dengan Kandungan Kapsaicin dan Peroksidase

0 7 8

Evaluasi Daya Hasil dan ketahanan Cabai (Capsicum annuum L.) terhadap Antraknosa yang disebabkan oleh Colletorichum acutatum

0 7 5

Pendugaan parameter genetik ketahanan cabai terhadap antraknosa (Colletotrichum acutatum) menggunakan analisis dialel

0 13 139

Beberapa Genotipe Cabai dan Ketahanannya terhadap Penyakit Antraknosa yang Disebabkan oleh Colletotrichum acutatum.

1 11 69

Pemanfaatan sumber daya genetik lokal dalam perakitan varietas Unggul cabai (capsicum annuum) tahan terhadap penyakit antraknosa Yang disebabkan oleh colletotrichum sp

0 3 7

Pendugaan parameter genetik ketahanan cabai terhadap antraknosa (Colletotrichum acutatum) menggunakan analisis dialel

0 5 75

Pewarisan Ketahanan Cabai (Capsicum annuum L.) terhadap Antraknosa yang Disebabkan oleh Colletotrichum acutatum Inheritance of Resistance to Anthracnose caused by Colletotrichum acutatum in Pepper (Capsicum annuum L.)

0 2 6