VI. INTERAKSI GENETIK X LINGKUNGAN UNTUK KETAHANAN CABAI Capsicum annuum L. TERHADAP
ANTRAKNOSA YANG DISEBABKAN OLEH Colletotrichum acutatum
ABSTRAK
Penampilan suatu tanaman ditentukan oleh faktor genetik, faktor lingkungan dan interaksi antara keduanya. Interaksi genetik x lingkungan menjadi perhatian
penting bagi pemulia, disamping faktor genetik. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mempelajari interaksi genetik x lingkungan untuk ketahanan cabai terhadap antraknosa. Bahan yang digunakan adalah tujuh populasi galur murni yang
ditanam di dua lokasi dan 16 hibrida yang ditanam di tiga lokasi. Percobaan menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak RKLT dengan tiga
ulangan. Ulangan tersarang dalam lokasi.
Dua puluh buah cabai yang sudah tua tapi masih hijau dari masing-masing ulangan diinokulasi dengan
C. acutatum isolat PYK 04, BGR 027 MJK 01 dan BGR 07. Kejadian penyakit
diamati lima hari setelah inokulasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada
populasi galur murni interaksi genetik x lokasi berpengaruh sangat nyata terhadap
ketahanan penyakit antraknosa hanya pada isolat BGR 027. Sementara itu, pada populasi hibrida interaksi genotipe x lokasi berpengaruh sangat nyata terhadap
ketahanan penyakit antraknosa isolat PYK 04 dan PSG 07.
Kata kunci: interaksi genetik x lingkungan, antraknosa, ketahanan, cabai, Colletotrichum acutatum
PENDAHULUAN Latar Belakang
Penampilan suatu tanaman ditentukan oleh faktor genetik, faktor lingkungan dan interaksi antara keduanya Roy 2000. Faktor genetik menjadi
perhatian utama bagi para pemulia, karena faktor ini diwariskan dari tetua kepada turunannya. Oleh karena itu pengetahuan tentang genetik perlu dipahami untuk
dapat memanipulasi tanaman menjadi lebih baik. Sementara itu, faktor lingkungan menjadi perhatian bagi para ekologis, dengan memanipulasi lingkungan agar
tanaman dapat tumbuh seoptimal mungkin. Interaksi genetik x lingkungan menjadi perhatian penting bagi pemulia Baihaki 2000.
Pentingnya interaksi genetik dan lingkungan digarisbawahi oleh Gauch dan Zobel 1996 bahwa jika tidak ada interaksi genetik x lingkungan, suatu
97 varietas gandum atau padi atau tanaman lain akan dapat tumbuh dan berproduksi
sama dimanapun tempat di dunia ini. Suatu percobaan hanya perlu dilakukan pada satu lokasi saja untuk mendapatkan hasil yang universal. Dengan demikian, hasil
penelitian di satu tempat akan diaplikasikan di berbagai tempat. Segera setelah dapat diidentifikasi yang terbaik, tidak ada kesalahan error, sehingga tidak
diperlukan lagi ulangan. Sehingga satu ulangan saja sudah cukup untuk dapat mengidentifikasi yang terbaik yang kemudian dapat ditanam di seluruh dunia.
Pentingnya interaksi genetik dan lingkungan dapat dilihat pada distribusi varietas baru pada berbagai lokasi dan perbaikan manajemen untuk meningkatkan
hasil dan membandingkan hasil antara varietas lama dan varietas baru dalam satu percobaan tunggal Mattjik 2005. Analisis interaksi genetik dan lingkungan
dapat digunakan untuk seleksi ketahanan terhadap hama dan penyakit. Jika ada interaksi antara varietas dan patogen, maka perlu untuk mengidentifikasi suatu
varietas yang memiliki resistensi umum dan resistensi khusus. Jika setiap galur memiliki tingkat resistensi yang sama terhadap cekaman
lingkungan biotik atau abiotik maka interaksi genetik x lingkungan akan berkurang. Sebaliknya, jika galur memiliki tingkat perbedaan pada lingkungan
yang berbeda maka interaksi genetik x lingkungan akan tinggi Matjjik 2005. Interaksi genetik x lingkungan dapat digunakan untuk mendapatkan lingkungan
yang cocok dalam seleksi ketahanan terhadap antraknosa pada cabai.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari interaksi genetik x lingkungan untuk ketahanan cabai terhadap antraknosa.
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juni 2006 sampai bulan Mei 2007. Penanaman cabai untuk populasi galur dilakukan di kebun petani Situ Gede dan
Kebun Percobaan IPB Tajur II. Sementara itu, penanaman cabai untuk populasi hibrida dilakukan di kebun petani Ciherang, Kebun Percobaan IPB, Leuwikopo
98 dan Kebun Percobaan IPB Tajur II. Kegiatan pemurnian, perbanyakan dan
pemeliharaan biakan cendawan dilakukan di Laboratorium Klinik Tanaman Departemen Proteksi Tanaman IPB. Kegiatan skrining ketahanan cabai terhadap
C. acutatum dilaksanakan di Laboratorium Pendidikan Pemuliaan Tanaman
Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB.
Metode Penelitian
Bahan tanaman yang digunakan adalah C-2, C-4, C-5, C-7, C-9, C-18, C- 19, untuk populasi galur. Sementara itu, bahan tanaman untuk populasi hibrida
disajikan pada Tabel 32. Isolat yang digunakan adalah PYK 04, BGR 027, MJK 01 dan PSG 07.
Tabel 32. Kode Genotipe Populasi Cabai Hibrida
Kode Genotipe Persilangan
IPB CH-1 C-2 dan C-3
IPB CH-2 C-2 dan C-4
IPB CH-3 C-2 dan C-5
IPB CH-4 C-2 dan C-8
IPB CH-5 C-2 dan C-1
IPB CH-6 C-2 dan C-9
IPB CH-19 C-9 dan C-4
IPB CH-25 C-2 dan C-19
IPB CH-28 C-2 dan C-50
IPB CH-50 C-2 dan C-46
IPB CH-51 C-2 dan C-47
Adipati Hibrida komersial
Biola Hibrida komersial
Gada Hibrida komersial
Hot Beauty Hibrida komersial
Imperial Hibrida komersial
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Kelompok Lengkap Teracak RKLT faktor tunggal dengan tiga
ulangan. Ulangan tersarang dalam lokasi. Setiap genotipe pada masing-masing ulangan ditanam 24 tanaman. Dua puluh buah cabai yang sudah tua tetapi masih
hijau dari masing-masing ulangan diinokulasi dengan C. acutatum isolat PYK 04, BGR 027 MJK 01 dan BGR 07. Skreening ketahanan terhadap antraknosa
99 perbanyakan isolat dan inokulasi dan pengamatan kejadian penyakit dilakukan
seperti pada Bab III. Pengolahan data dilakukan terhadap 1 – KP100. Model rancangan yang digunakan yaitu model umum Rancangan
Kelompok Teracak : Y
ij
= μ + α
i
+ β
j
+ ε
ij
Keterangan : Y
ij
= nilai pengamatan populasi ke-i ulangan ke-j μ = nilai rataan umum
α
i
= pengaruh populasi ke-i β
j
= pengaruh ulangan ke-j ε
ij
= pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-i ulangan ke-j Untuk mengetahui pengaruh lokasi penelitian, maka dilakukan analisis
gabungan rancangan percobaan di tiap lokasi penelitian. Model linier Rancangan Acak Kelompok dengan pola gabungan adalah sebagai berikut Gomez dan
Gomez 1985 : Y
ijk
= μ + L
k
+ β
ik
+ G
j
+ LG
kj
+ ε
ijk
Keterangan Y
ijk
= nilai pengamatan dari ulangan ke-i, genotipe ke-j dan lokasi ke-k μ = nilai rataan umum
L
k
= pengaruh lokasi ke-k Β
ik
= pengaruh ulangan ke-i dalam lokasi ke-k G
j
= pengaruh genotipe ke-j LG
kj
= pengaruh interaksi lokasi ke-k dengan genotipe ke-j ε
ijk
= pengaruh galat percobaan Data ketahanan terhadap penyakit antraknosa diuji dengan uji F pada
analisis ragam gabungan dengan menggunakan software SAS v6.12. Analisis ragam gabungan untuk beberapa lokasi menurut Annicchiarico 2002 disajikan
pada Tabel 33. Tabel
33. Analisis Ragam Gabungan di Beberapa Lokasi Pengujian
Menggunakan Model Random Annicchiarico 2002
Sumber Keragaman
Derajat Bebas
DB Varians
MS E KT
F
HIT
Lokasi l –1 M5
σ
2
e + g σ
2
r l + gr σ
2
l M5M2 UlanganLokasi
l r – 1 M4
σ
2
e + g σ
2
r l Genotipe
g – 1 M3
σ
2
e + r σ
2
gl + rl σ
2
g M3M2 G x L
g-1 l -1 M2
σ
2
e + r σ
2
gl M2M1 Galat
l g-1 r-1 M1
σ
2
e
100 Untuk mengetahui bahwa genotipe dan interaksi genotipe x lingkungan
berbeda nyata, maka dapat dilihat nilai F hitungnya. Jika nilai F hitung nilai F tabel pada taraf
α
0.01
atau α
0.05
maka perlakuan tersebut dinyatakan berbeda sangat nyata atau nyata. Untuk mengetahui lingkungan spesifik ketahanan
terhadap penyakit pada populasi hibrida dilakukan analisis stabilitas menggunakan Metode AMMI.
Pendugaan komponen ragam genetik, ragam interaksi genotipe dengan lingkungan, ragam lingkungan dan ragam fenotipe berdasarkan Tabel 36 menurut
Hallauer dan Miranda 1995 , dilakukan dengan cara sebagai berikut : σ
2 G
= M3 – M2 rl σ
2 GxE
= M2 – M1 r σ
2 e
= M1 σ
2 P
= σ
2 G
+ σ
2 GxE
l + σ
2 e
rl Luas sempitnya nilai keragaman genetik suatu karakter ditentukan
berdasarkan ragam genetik σ
2 G
dan standar deviasi ragam genetik σ
σ 2
G
menurut rumus berikut berikut : σ
σ 2
G
=
⎟ ⎟
⎠ ⎞
⎜ ⎜
⎝ ⎛
+ +
+ 2
2 2
2 2
2 3
2 gl
g
db M
db M
rl
Hallauer dan Miranda 1995. Apabila :
σ
2 G
2 σ
σ 2
G
: keragaman genetiknya luas sedangkan σ
2 G
≤ 2 σ
σ 2
G
: keragaman
genetiknya sempit Pinaria et al. 1995. Nilai dugaan heritabilitas h
2
dalam arti luas adalah h
2 bs
= σ
2 G
σ
2 P
x 100 =
σ
2 G
σ
2 G
+ σ
2 GxE
l + σ
2 e
rl x 100. Standar deviasi heritabilitas adalah
σ
h 2
= σ
σ 2
G
σ
2 G
+ σ
2 GxE
l + σ
2 e
rl Hallauer dan Miranda 1995.
HASIL DAN PEMBAHASAN Populasi Galur Murni
Dari hasil analisis ragam gabungan untuk populasi galur murni pada dua lokasi terlihat bahwa genotipe berpengaruh nyata terhadap ketahanan penyakit
101 antraknosa semua isolat; lokasi berpengaruh sangat nyata terhadap ketahanan
penyakit antraknosa isolat BGR 027 dan MJK 01. Sementara itu, interaksi genetik dengan lingkungan berpengaruh sangat nyata terhadap ketahanan penyakit
antraknosa hanya pada isolat BGR 027 Tabel 34. Tabel
34. Analisis Ragam Ketahanan Tujuh Cabai Galur Murni terhadap
Penyakit Antraknosa Isolat PYK 04, BGR 027, MJK 01 dan PSG 07 di Dua Lokasi
Kuadrat Tengah
Sumber Keragaman
db Isolat
PYK 04 Isolat
BGR 027 Isolat
MJK 01 Isolat
PSG 07
Lokasi 1
0.016 ns 1.095
1.543 0.086 ns
Ulangan Lokasi 4
0.063 ns 0.059
0.362 0.141
Genotipe 6
0.147 0.090
0.073 0.108
Genotipe x Lokasi 6
0.017 ns 0.142
0.045 ns 0.027 ns
Galat 24
0.024 0.019 0.022 0.030 Hasil ini menunjukkan bahwa pada populasi ini, tingkat ketahanan terhadap
antraknosa isolat BGR 027 dan MJK 01 sangat dipengaruhi oleh lokasi dan genotipe. Jika dilihat dari sumbangan keragaman yang diberikan oleh masing-
masing sumber keragaman terlihat bahwa pengaruh lokasi merupakan penyumbang terbesar, kemudian disusul oleh pengaruh genotipe dan pengaruh
interaksi genotipe dan lingkungan. Sementara itu, tingkat ketahanan terhadap antraknosa isolat PYK 04 dan MJK PSG 07 hanya dipengaruhi oleh genotipe. Jika
dilihat dari sumbangan keragaman yang diberikan oleh masing-masing sumber keragaman terlihat bahwa pengaruh genotipe merupakan penyumbang terbesar,
kemudian disusul oleh pengaruh lokasi dan pengaruh interaksi genotipe dan lingkungan Tabel 34.
C-2 mempunyai ketahanan yang sangat baik terhadap antraknosa isolat BGR 027 pada lokasi Situ Gede, sebaliknya genotipe ini mempunyai ketahanan
yang kurang baik pada lokasi Tajur. Secara umum, genotipe-genotipe cabai yang ditanam di lokasi Situ Gede mempunyai ketahanan terhadap antraknosa isolat
BGR 027 yang lebih baik dibandingkan jika ditanam pada lokasi Tajur Tabel 35. Ketahanan masing-masing genotipe terhadap antraknosa isolat PYK 04, MJK 01
dan PSG 07 di dua lokasi disajikan pada Lampiran 12, 13 dan 14.
102 Tabel 35. Ketahanan
Tujuh Cabai Galur Murni terhadap Penyakit Antraknosa Isolat BGR 027 di Dua Lokasi
Situ Gede Tajur
Genotipe Ketahanan Kriteria Ketahanan Kriteria
C-2 0.933 ST
0.067 SR
C-4 0.617 M
0.367 R
C-5 0.533 R
0.033 SR
C-7 0.333 R
0.262 R
C-9 0.217 SR
0.311 R
C-18 0.733 M
0.400 R
C-19 0.533 R
0.200 SR
Keterangan: = 1 – KP100. ST = sangat tahan, T = tahan, M = moderat,
R = rentan, SR = sangat rentan
Populasi Hibrida
Dari hasil analisis ragam gabungan pada populasi hibrida terlihat bahwa lokasi, genotipe dan interaksi genotipe x lokasi berpengaruh sangat nyata terhadap
ketahanan penyakit antraknosa isolat PYK 04 dan PSG 07. Sementara itu, interaksi genetik x lingkungan tidak berpengaruh nyata terhadap ketahanan
penyakit antraknosa isolat BGR 027 dan MJK 01 Tabel 36. Hal tersebut memungkinkan dilakukan analisis AMMI untuk ketahanan cabai terhadap
penyakit antraknosa isolat PYK O4 dan PSG 07. Tabel 36. Analisis Ragam Ketahanan 16 Cabai Hibrida terhadap Penyakit
Antraknosa Isolat PYK 04, BGR 027, MJK 01 dan PSG 07 di Tiga Lokasi
Kuadrat Tengah Sumber
Keragaman db
Isolat PYK 04
Isolat BGR 027
Isolat MJK 01
Isolat PSG 07
Lokasi 2
0.804 4.857
1.576 0.658
Ulangan lokasi 6
0.250 0.134
0.077 0.051 ns
Genotipe 15
0.073 0.040
0.037 ns 0.088
Genotipe x Lokasi 30
0.045 0.021 ns
0.042 ns 0.070
Galat 90 0.025
0.015 0.03
0.031 Hasil ini menunjukkan bahwa tingkat ketahanan cabai terhadap antraknosa
isolat PYK 04 dan PSG 07 sangat dipengaruhi oleh faktor lokasi, genotipe dan interaksi antara genotipe dan lokasi. Jika dilihat dari sumbangan keragaman yang
103 diberikan oleh masing-masing sumber keragaman terlihat bahwa pengaruh lokasi
merupakan penyumbang terbesar, kemudian disusul oleh pengaruh genotipe dan pengaruh interaksi genotipe dan lingkungan Tabel 36. Dengan demikian tingkat
ketahanan cabai terhadap antraknosa isolat PYK 04 dan PSG 07 akan sangat tergantung pada kondisi lingkungan dimana cabai tersebut ditanam, juga
ditentukan oleh jenis genotipe yang ditanam. Tabel 37. Ketahanan
16 Cabai Hibrida terhadap Penyakit Antraknosa Isolat PYK 04 di Tiga Lokasi
Ciherang Leuwikopo Tajur Genotipe
Ketahanan Kriteria Ketahanan
Kriteria Ketahanan Kriteria
IPB CH-1
0.667 M 0.423 R 0.433 R IPB
CH-2 0.717 M 0.333 R 0.567 R
IPB CH-3
0.567 R 0.337 R 0.433 R IPB
CH-4 0.683 M 0.617 M 0.300 R
IPB CH-5
0.433 R 0.377 R 0.033 SR
IPB CH-6 0.483
R 0.227
SR 0.333
R IPB
CH-19 0.500 R 0.470 R 0.500 R
IPB CH-25
0.633 M 0.353 R 0.467 R IPB
CH-28 0.600 M 0.240 SR 0.433 R
IPB CH-50 0.467
R 0.183
SR 0.467
R IPB CH-51
0.317 R
0.000 SR
0.500 R
Adipati 0.767 M 0.250 SR 0.533 R Biola
0.417 R 0.340 R 0.400 R Gada
0.533 R 0.350 R 0.433 R Hot Beauty
0.517 R
0.200 SR
0.367 R
Imperial 0.867 T 0.363 R 0.433 R
Keterangan: = 1 – KP100. ST = sangat tahan, T = tahan, M = moderat,
R = rentan, SR = sangat rentan Rata-rata ketahanan cabai Imperial terhadap antraknosa isolat PYK 04
relatif lebih baik dibandingkan genotipe lain yang diuji di lokasi Ciherang. Di lokasi Leuwikopo, genotipe yang paling tahan terhadap antraknosa isolat PYK 04
adalah IPB CH-4 Tabel 37. Sementara itu, genotipe yang paling tahan terhadap antraknosa isolat PSG 07 pada lokasi Ciherang, Leuwikopo dan Tajur berturut–
turut adalah IPB CH-25, IPB CH-19 dan IPB CH-4 Tabel 38. Menurut Vargas et al
. 1998 interaksi genotipe dan lingkungan yang nyata akan mempengaruhi ekspresi tanaman. Ini artinya genotipe yang sama akan memberikan respon yang
berbeda pada lingkungan yang berbeda. Ketahanan 16 genotipe cabai hibrida
104 terhadap isolat BGR 027 dan PSG 07 di tiga lokasi disajikan pada Lampiran 15
dan 16. Tabel 38. Ketahanan
16 cabai Hibrida terhadap Penyakit Antraknosa Isolat PSG 07 di Tiga Lokasi
Ciherang Leuwikopo Tajur Genotipe
Ketahanan Kriteria Ketahanan
Kriteria Ketahanan Kriteria
IPB CH-1 0.000 SR 0.217 SR 0.300 R
IPB CH-2 0.267 SR 0.437 R 0.367 R
IPB CH-3
0.300 R 0.363 R 0.300 R IPB
CH-4 0.333 R 0.547 R 0.533 R
IPB CH-5
0.300 R 0.223 SR 0.167 SR IPB
CH-6 0.267 SR 0.800 T 0.233 SR IPB
CH-19 0.200 SR 0.833 ST 0.233 SR
IPB CH-25
0.500 R 0.417 R 0.333 R IPB
CH-28 0.267 SR 0.243 SR 0.333 R
IPB CH-50
0.267 SR 0.327 R 0.067 SR IPB
CH-51 0.127 SR 0.220 SR 0.167 SR
Adipati 0.067 SR 0.483 R 0.200 SR Biola
0.133 SR 0.377 R 0.133 SR Gada
0.000 SR 0.747 M 0.200 SR Hot
Beauty 0.067 SR 0.290 SR 0.300 R
Imperial 0.033 SR 0.257 SR 0.367 R
Keterangan: = 1 – KP100. ST = sangat tahan, T = tahan, M = moderat,
R = rentan, SR = sangat rentan Hasil penguraian bilinier terhadap matriks pengaruh interaksi dari data
ketahanan terhadap antraknosa isolat PYK 04 diperoleh nilai singular vektor ciri sebagai berikut: 0.5688, 0.3608 dan 0.000. Dari nilai singular tersebut terlihat
bahwa banyaknya komponen yang dapat dipertimbangkan untuk model AMMI adalah komponen ke-1 sampai komponen ke-2. Kontribusi ragam yang dapat
diterangkan oleh masing-masing KUI berturut-turut adalah 71.30 dan 28.70 Berdasarkan nilai kontribusi keragaman tersebut terlihat bahwa dua komponen
menerangkan keragaman pengaruh interaksi, yaitu sebesar 100. Berdasarkan metode postdictive succes ketahanan cabai terhadap
antraknosa isolat PYK 04 diperoleh satu KUI yang nyata yaitu dengan nilai F sebesar 2.440 serta nilai peluang nyata sebesar 0.004 Tabel 39. Hal ini
menunjukkan bahwa ketahanan cabai terhadap antraknosa isolat PYK 04 dapat diterangkan dengan menggunakan model AMMI1, akan tetapi untuk
memudahkan visualisasi digunakan dua komponen AMMI2.
105 Tabel
39. Analisis Ragam AMMI2 16 Genotipe Cabai Hibrida Karakter Ketahanan terhadap Antraknosa Isolat PYK 04 pada Tiga Lokasi
Sumber Keragaman db JK KT
F-Hitung Nilai
P
Lokasi 2 1.610
0.800 3.220
0.112 Ulangan Lokasi
6 1.500
0.250 10.040
0.000 Genotipe 15
1.100 0.070
2.940 0.001
GenotipeLokasi 30 1.360 0.050 1.820 0.016 IAKU1 16
0.970 0.060
2.440 0.004
IAKU2 14 0.390
0.030 1.120
0.351 Galat 90
2.240 0.020
Total 143 7.810
Keterangan: IAKU = interaksi antar komponen utama Dalam menyajikan pola tebaran titik-titik genotipe dengan kedudukan
relatifnya pada lokasi maka hasil penguraian nilai singular diplotkan antara satu komponen genotipe dengan komponen lokasi secara simultan. Penyajian dalam
bentuk plot yang demikian disebut biplot. Biplot AMMI meringkas pola hubungan antar galur, antar lingkungan, dan antara galur dan lingkungan. Biplot
tersebut menyajikan nilai komponen utama pertama dan rataan. Biplot antara nilai komponen utama kedua dan nilai komponen utama pertama bisa ditambahkan jika
komponen utama kedua tersebut nyata Gauch 1992; Sumertajaya 1998. Biplot AMMI2 sebagai alat visualisasi dari analisis AMMI dapat
digunakan untuk melihat genotipe-genotipe stabil pada seluruh lokasi uji atau spesifik pada lokasi tertentu. Genotipe dikatakan stabil jika berada dekat dengan
sumbu, sedangkan genotipe yang spesifik lokasi adalah genotipe yang berada jauh dari sumbu utama tapi letaknya berdekatan dengan garis lokasi Mattjik dan
Sumertajaya 2000. Dengan demikian genotipe-genotipe cabai stabil pada karakter ketahanan terhadap antraknosa isolat PYK 04 di tiga lingkungan seleksi adalah
genotipe IPB CH-3, IPB CH-6, dan IPB CH-25. Genotipe–genotipe tersebut cocok untuk lingkungan seleksi Ciherang, Leuwikopo dan Tajur. Genotipe IPB
CH-50 dan IPB CH-51 cocok untuk lingkungan seleksi Tajur, genotipe Imperial cocok untuk lingkungan seleksi Ciherang dan Genotipe IPB CH-4 dan IPB CH-5
cocok untuk lingkungan seleksi Lewikopo Gambar 26.
106
Gambar 26. Biplot Pengaruh Interaksi Model AMMI2 untuk Ketahanan Cabai Terhadap Antraknosa Isolat PYK 04
Hasil penguraian bilinier terhadap matriks pengaruh interaksi dari data ketahanan terhadap antraknosa isolat PSG 07 diperoleh nilai singular vektor ciri
sebagai berikut: 0.7156, 0.4351 dan 0.000 Dari nilai singular tersebut terlihat
bahwa banyaknya komponen yang dapat dipertimbangkan untuk model AMMI adalah komponen ke-1 sampai komponen ke-2. Kontribusi ragam yang dapat
diterangkan oleh masing-masing KUI berturut-turut adalah 73.00 dan 27.00 Berdasarkan nilai kontribusi keragaman tersebut terlihat bahwa dua komponen
menerangkan keragaman pengaruh interaksi, yaitu sebesar 100. Berdasarkan
metode postdictive succes
ketahanan cabai terhadap antraknosa isolat PSG 07 diperoleh satu KUI yang nyata yaitu dengan nilai F
sebesar 3.860 serta nilai peluang nyata sebesar 0.000 Tabel 40. Hal ini menunjukkan bahwa ketahanan cabai terhadap antraknosa isolat PSG 07 dapat
diterangkan dengan menggunakan model AMMI1, akan tetapi untuk memudahkan visualisasi digunakan dua komponen AMMI2.
Genotipe-genotipe cabai stabil pada karakter ketahanan terhadap antraknosa isolat PSG 07 di tiga lingkungan seleksi adalah genotipe IPB CH-2.
Genotipe tersebut cocok untuk lingkungan seleksi Ciherang, Leuwikopo dan Tajur. Genotipe IPB CH-1 dan Imperial cocok untuk lingkungan seleksi Tajur,
genotipe IPB CH-5 dan IPB CH-25 cocok untuk lingkungan seleksi Ciherang dan Genotipe IPB CH-6, IPB CH-19 dan Gada cocok untuk lingkungan seleksi
Lewikopo Gambar 27.
107 Tabel
40. Analisis Ragam AMMI2 16 Genotipe Cabai Hibrida Karakter Ketahanan terhadap Antraknosa Isolat PSG 07 pada Tiga Lokasi
Sumber Keragaman db
JK KT
F- Hitung Nilai
P
Lokasi 2 1.610
0.800 3.220
0.112 Ulangan Lokasi
6 1.500
0.250 10.040
0.000 Genotipe 15
1.100 0.070
2.940 0.001
GenotipeLokasi 30 1.360
0.050 1.820
0.016 IAKU1 16
1.540 0.100
3.860 0.000
IAKU2 14 0.570
0.040 1.630
0.086 IAKU3 12
2.240 0.020
Galat 90 7.810
Total 143 Keterangan: IAKU = interaksi antar komponen utama
Gambar 27. Biplot Pengaruh Interaksi Model AMMI2 untuk Ketahanan Cabai Terhadap Antraknosa Isolat PSG 07
Respon genotipe tanaman berbeda-beda terhadap lingkungan yang berbeda. Ada empat respon tanaman terhadap lingkungan yang berbeda yaitu
1 tidak responsif terhadap perubahan lingkungan, 2 toleran, 3 stabil dan 4 adaptasi tinggi. Pada penelitian ini, respon tanaman akan berbeda terhadap
lingkungan yang berbeda. Sebagai contoh, IPB CH-2 sangat tahan terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum isolat PYK 04 jika ditanam di
Ciherang, sangat rentan jika ditanam di Leuwikopo dan moderat jika ditanam di Tajur. Ciherang mewakili lahan sawah beririgasi, Leuwikopo mewakili lahan
marjinal dan Tajur mewakili lahan subur bukan sawah. Analisis tanah disajikan pada
Lampiran 17.
108
Ragam Genetik dan Heritabilitas
Berdasarkan Tabel 41 terlihat bahwa ketahanan cabai terhadap isolat PYK 04, BGR 027, MJK 01 dan PSG 07 mempunyai keragaman genetik yang sempit.
Hal ini disebabkan karena tetua yang digunakan untuk persilangan hibrida relatif tidak banyak.
Tabel 41. Koefisien Keragaman Genetik KKG, Ragam Genetik σ
2 G
dan Standar Deviasi Ragam Genetik
σ
σ 2
G
Ketahanan 16 Cabai Hibrida terhadap Penyakit Antraknosa Isolat PYK 04, BGR 027, MJK 01 dan
PSG 07
Isolat KKG σ
2 G
σ
σ 2
G
2 σ
σ 2
G
Kriteria
PYK 04
11.082 0.002 0.048 0.096 Sempit BGR
027 10.759 0.001 0.039 0.078 Sempit
MJK 01 0.00
-0.000 0.001
0.002 Sempit
PSG 07
13.085 0.001 0.038 0.077 Sempit Ragam genetik, ragam fenotip, ragam interaksi antara genetik x lokasi dan
heritabilitas ketahanan cabai terhadap isolat PYK 04, BGR 027, MJK 01 dan PSG 07 dapat dilihat pada Tabel 42. Kisaran nilai heritabilitas adalah 0 – 45.841.
Nilai duga heritabilitas ketahanan cabai terhadap isolat PYK 04, BGR 027 dan PSG 07 tergolong sedang. Sementara itu, nilai duga heritabilitas ketahanan cabai
terhadap isolat MJK 01 tergolong rendah nol. Nilai ragam genetik nol diestimasi dari nilai negatif Allard 1960. Angka negatif pada ragam genetik disebabkan
nilai kuadrat tengah genotipe lebih kecil daripada kuadrat tengah interaksi genotipe x lokasi. Karena nilai ragam genetik nol maka nilai heritabilitas untuk
karakter tersebut juga nol. Tabel 42. Ragam Galat
σ
2 e
, Ragam Interaksi Genetik x Lingkungan σ
2 GxE
, Ragam Genetik
σ
2 G
, Ragam Fenotipe σ
2 P
, Heritabilitas h
2 bs
dan Standar Deviasi Heritabilitas
σ
h 2
bs
Ketahanan 16 Cabai Hibrida terhadap Penyakit Antraknosa Isolat PYK 04, BGR 027, MJK 01 dan
PSG 07
Isolat σ
2 e
σ
2 GxE
σ
2 G
σ
2 P
h
2 bs
σ
h 2
bs
Kriteria
PYK 04 0.025
0.007 0.002
0.006 38.029 0.376
Sedang BGR 027
0.015 0.002
0.002 0.003 45.841
0.369 Sedang
MJK 01 0.030
0.004 0.000
0.003 0.000
0.000 Rendah
PSG 07 0.031
0.013 0.001
0.007 20.268 0.397
Sedang
109 Penanaman pada beberapa lokasi dapat menduga ragam interaksi genotipe
x lingkungan, sehingga pendugaan ragam genetik akan lebih baik dibandingkan jika ditanam hanya pada satu lokasi. Akan tetapi pendugaan ragam genetik akan
lebih baik lagi jika populasi uji ditanam pada minimal dua lokasi dan dua musim, sehingga interaksi genotipe x lingkungan, genotipe x musim dan genotipe x
musim x lingkungan dapat dipisahkan Baihaki 2000.
SIMPULAN
1. Pada populasi galur murni, genotipe berpengaruh nyata terhadap
ketahanan penyakit antraknosa semua isolat; lokasi berpengaruh sangat nyata terhadap ketahanan penyakit antraknosa isolat BGR 027 dan MJK
01. Sementara itu, interaksi genetik dengan lingkungan berpengaruh sangat nyata terhadap ketahanan penyakit antraknosa hanya pada isolat
BGR 027. 2.
Lokasi, genotipe serta interaksi genotipe dengan lokasi berpengaruh sangat nyata terhadap ketahanan penyakit antraknosa isolat PYK 04 dan PSG 07.
Sementara itu, interaksi genetik dengan lingkungan tidak berpengaruh nyata terhadap ketahanan penyakit antraknosa isolat BGR 027 dan MJK
01. 3.
Genotipe-genotipe cabai stabil pada karakter ketahanan terhadap antraknosa isolat PYK 04 di tiga lingkungan seleksi adalah genotipe IPB
CH-3, IPB CH-6, dan IPB CH-25. Genotipe–genotipe tersebut cocok untuk lingkungan seleksi Ciherang, Leuwikopo dan Tajur. Genotipe IPB
CH-50 dan IPB CH-51 cocok untuk lingkungan seleksi Tajur, genotipe Imperial cocok untuk lingkungan seleksi Ciherang dan Genotipe IPB CH-
4 dan IPB CH-5 cocok untuk lingkungan seleksi Lewikopo. 4.
Genotipe-genotipe cabai stabil pada karakter ketahanan terhadap antraknosa isolat PSG 07 di tiga lingkungan seleksi adalah genotipe IPB
CH-2. Genotipe tersebut cocok untuk lingkungan seleksi Ciherang, Leuwikopo dan Tajur. Genotipe IPB CH-1 dan Imperial cocok untuk
110 lingkungan seleksi Tajur, genotipe IPB CH-5 dan IPB CH-25 cocok untuk
lingkungan seleksi Ciherang dan Genotipe IPB CH-6, IPB CH-19 dan Gada cocok untuk lingkungan seleksi Lewikopo.
5. Ketahanan cabai terhadap isolat PYK 04, BGR 027, MJK 01 dan PSG 07
mempunyai keragaman genetik yang sempit dan nilai duga heritabilitas tergolong rendah hingga sedang.
DAFTAR PUSTAKA
Allard RW. 1960. Principles of Plant Breeding. New York: John Willey Sons. 485 hal.
Annicchiarico P. 2002. Genotype x environment interaction – challenges and oppurtunities for plant breeding and cultivar recommendations.
Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nations. 115 hal.
Baihaki A. 2000. Teknik rancang dan analisis penelitian pemuliaan [Diktat Kuliah]. Bandung: Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran.
91 hal. Gauch HG Jr, Zobel RW. 1996. AMMI analysis of yield trials. Di dalam: Kang
MS, Gauch HG Jr. Editor. Genotype by environment interaction. Florida: CRC Press. hlm 85-122.
Gauch HG Jr. 1992. Statistical analysis of regional yield trials: AMMI analysis of factorial designs. Amsterdam: Elsevier science publisher C.V. 278 hal.
Gomez KA, Gomez AA. 1985. Statistical Procedures for Agricultural Research. Canada: John Willey Sons. 680 hal.
Hallauer AR, Miranda JB. 1995. Quantitative genetics in maize breeding. Ed ke- 2. United States of America: Iowa State University Press, Ames.
Mattjik AA. 2005. Interaksi Genotipe dan Lingkungan dalam Penyediaan Sumberdaya Unggul [Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Biometrika]. Bogor:
Institut Pertanian Bogor. 124 hal. Pinaria A, Baihaki A, Setiamihardja R, Daradjat AA. 1995. Variabilitas genetik
dan heritabilitas karakter-karakter biomassa 53 genotipe kedelai. Zuriat 62: 88-92.
Roy D. 2000. Plant breeding, analysis and exploitation of variation. New Delhi: Narosa Publishing House. 701 hal.
111 Sumertajaya IM. 1998. Perbandingan model AMMI dan regresi linier untuk
menerangkan pengaruh interaksi percobaan lokasi ganda [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana IPB.
Vargas M, et al.1998. Interpreting Genotype x Environment Interaction in Wheat by Partial Least Square Regression. Crop Sci 38 3 : 379 – 689.
VII. PEMBAHASAN UMUM