V. ANALISIS SILANG DIALEL UNTUK PENDUGAAN PARAMETER GENETIK KETAHANAN
CABAI Capsicum annuum L. TERHADAP
ANTRAKNOSA YANG DISEBABKAN OLEH
Colletotrichum acutatum
ABSTRAK
Salah satu metode pendugaan parameter genetik yang dapat digunakan adalah analisis silang dialel. Tujuan penelitian ini adalah menduga parameter genetik
ketahanan cabai Capsicum annuum L. terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum menggunakan analisis silang dialel. F
1
dialel penuh dibentuk dari persilangan dan selfing lima tetua yaitu C-15 tetua tahan, C-8 tetua rentan,
C-2, C-9 dan C-19 tetua sangat rentan. Percobaan menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak RKLT dengan empat ulangan. Sepuluh buah cabai
yang sudah tua tetapi masih hijau dari masing-masing ulangan diinokulasi dengan C. acutatum isolat PYK 04, BGR 027 MJK 01 dan BGR 07. Kejadian penyakit
diamati lima hari setelah inokulasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antar gen dalam menentukan ketahanan terhadap antraknosa. Pengaruh
aditif nyata dan lebih besar daripada pengaruh dominan. Pengendali ketahanan adalah gen resesif. Derajat dominansi dikategorikan sebagai resesif parsial.
Genotipe C-15 paling banyak membawa gen resesif. Gen–gen dominan lebih banyak dalam populasi tetua dibandingkan gen–gen resesif. Nilai heritabilitas arti
luas tergolong sedang hingga tinggi, sedangkan heritabilitas arti sempit tergolong sedang. Tetua C-15 mempunyai daya gabung umum paling tinggi dibandingkan
dengan tetua lainnya. Seleksi untuk perakitan cabai unggul tahan C. acutatum dilakukan pada generasi lanjut menggunakan metode persilangan ganda dengan
rekombinasi transgresif. Kata kunci: silang dialel, antraknosa, ketahanan, cabai, Colletotrichum acutatum
PENDAHULUAN Latar Belakang
Pengembangan tanaman cabai di Indonesia saat ini masih mengalami kendala, antara lain serangan penyakit. Sementara itu, varietas berdaya hasil tinggi
dan tahan terhadap penyakit belum banyak dihasilkan. Mengingat di Indonesia beriklim tropis dengan kondisi lingkungan bervariasi, penyebaran penyakit yang
menyerang tanaman cabai tidak dapat dianggap ringan.
76 Semangun 2000 menyatakan salah satu penyakit yang banyak
menyerang pertanaman cabai adalah antraknosa yang disebabkan oleh cendawan Colletotrichum. Hal ini menjadikan antraknosa sebagai penyakit utama tanaman
cabai. Menurut Kusandriani dan Permadi 1996, penyakit tersebut paling sering ditemukan pada tanaman berproduksi hingga pascapanen dan mampu mengurangi
hasil hingga 75. Informasi genetik mengenai ketahanan terhadap antraknosa diperlukan
dalam rangka memperoleh varietas yang memiliki sifat tersebut. Untuk mengetahui perilaku genetik dari gen–gen yang mengendalikan karakter
ketahanan terhadap antraknosa dapat dilakukan melalui pendugaan parameter genetik. Salah satu metode pendugaan parameter genetik yang digunakan adalah
metode analisis silang dialel. Menurut Johnson 1963, metode ini secara eksprimental merupakan pendekatan yang sistematik, dan secara analitik
merupakan pendekatan evaluasi genetik menyeluruh yang berguna dalam mengidentifikasi persilangan bagi potensi seleksi yang terbaik pada awal generasi.
Pada dasarnya, persilangan dialel dapat dibagi menjadi tiga tipe persilangan, yaitu 1 dialel penuh full diallel, 2 setengah dialel half diallel,
dan 3 dialel parsial partial diallel Singh and Chaudhary 1979. Dalam pelaksanaannya, analisis ini harus memenuhi beberapa asumsi berikut:
1 segregasi diploid, 2 tidak ada perbedaan antara persilangan resiprokal, 3 tidak ada interaksi antara gen–gen yang tidak satu alel, 4 tidak ada
multialelisme, 5 tetua homozigot, 6 gen–gen menyebar secara bebas diantara tetua Hayman 1954.
Perbaikan sifat yang mempunyai nilai ekonomi tinggi sering dihadapkan kepada masalah dalam memilih tetua-tetua yang mempunyai daya gabung tinggi.
Penilaian suatu genotipe yang akan digunakan sebagai tetua dalam program pemuliaan, didasarkan atas penampilan keturunan yang dihasilkan dari
persilangan tertentu. Uji keturunan tersebut dikaitkan dengan daya gabung daya gabung umum dan daya gabung khusus yang diperlukan dalam mengidentifikasi
kombinasi tetua yang akan menghasilkan keturunan yang berpotensi hasil tinggi dan atau tahan penyakit tertentu. Pengujian daya gabung ini menggunakan analisis
silang dialel. Analisis silang dialel juga bermanfaat untuk menduga efek aditif dan
77 dominan dari suatu populasi yang selanjutnya dapat digunakan untuk menduga
ragam genetik dan heritabilitas Baihaki 2000. Dengan demikian analisis silang dialel diperlukan guna untuk mempelajari aksi gen aditif atau dominan dan daya
gabung masing-masing tetua sehingga bisa diperoleh tetua-tetua yang mempunyai daya gabung yang baik dalam ketahanan terhadap antraknosa.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk 1.
Menduga parameter genetik ketahanan cabai terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum
2. Mempelajari daya gabung umum DGU dan daya gabung khusus DGK
ketahanan beberapa genotipe cabai terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan sejak bulan Januari 2006 sampai Mei 2007. Pembentukan populasi cabai dilakukan di Cibeureum, Darmaga, Bogor.
Penanaman cabai F1 dilakukan di KP IPB, Tajur II. Kegiatan pemurnian, perbanyakan dan pemeliharaan biakan cendawan dilakukan di Laboratorium
Klinik Tanaman Departemen Proteksi Tanaman IPB. Kegiatan skrining ketahanan cabai terhadap C. acutatum dilaksanakan di Laboratorium Pendidikan Pemuliaan
Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB.
Metode Penelitian Pembentukan Populasi Dialel
Bahan tanaman yang digunakan adalah F1 hasil persilangan dan selfing dari lima tetua cabai yaitu tiga tetua sangat rentan yang mempunyai produksi
tinggi yaitu C-2, C-9 dan C-19; satu tetua tahan yaitu C-15; satu tetua rentan yaitu C-8. Lima tetua tersebut dilakukan persilangan full diallel dan selfing Tabel 22.
Persilangan dan penapisan ketahanan terhadap antraknosa perbanyakan isolat dan
78 inokulasi dilakukan seperti pada Bab III. Isolat yang digunakan adalah PYK 04,
BGR 027, MJK 01 dan PSG 07. Tabel 22. Persilangan Full Dialel dan Selfing Menggunakan LimaTetua
♂ ♀
C-2 C-8 C-9 C-15 C-19
C-2 8
¯ ¯
¯ ¯
C-8 ¯
8 ¯
¯ ¯
C-9 ¯
¯ 8
¯ ¯
C-15 ¯
¯ ¯
8 ¯
C-19 ¯
¯ ¯
¯ 8
Pengujian Ketahanan Populasi Dialel Penuh
Percobaan ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang parameter genetik, daya gabung umum dan daya gabung khusus ketahanan terhadap
antraknosa. Percobaan disusun dalam Rancangan Acak Kelompok satu faktor, yaitu
genotipe cabai yang terdiri dari 25 genotipe 20 genotipe F1 full diallel dan lima genotipe selfing, dengan empat ulangan. Penanaman dilakukan di Kebun
Percobaan IPB Tajur II Bogor, menggunakan mulsa plastik hitam perak, dengan prosedur budidaya standard. Sepuluh buah cabai yang sudah tua tetapi masih hijau
dari masing-masing ulangan diinokulasi dengan C. acutatum isolat PYK 04, BGR 027 MJK 01 dan BGR 07. Pengamatan kejadian penyakit KP dilakukan seperti
pada Bab III. Pengolahan data dilakukan terhadap 1 – KP100.
Analisis data
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan dua pendekatan yaitu Hayman dan Griffing.
Pendekatan Hayman
Untuk menduga parameter genetik ketahanan cabai terhadap C. acutatum dilakukan analisis dialel menggunakan pendekatan Hayman sebagai berikut
Singh dan Chaudhary 1979:
79 1.
Analisis ragam Populasi dialel penuh dianalisis menggunakan rancangan acak kelompok
dengan tiga ulangan menggunakan model statistik : Y
ijkl
= m + T
ij
+ b
k
+ bT
ijk
+ e
ijkl
Keterangan : Y
ijkl
: nilai pengamatan pada genotipe i x j dalam k ulangan
m :
nilai tengah umum T
ij
: pengaruh genotipe i × j
b
k
: pengaruh ulangan ke-k
bT
ijk
: pengaruh interaksi
e
ijkl
: pengaruh
galat Komponen analisis ragam disajikan pada Tabel 23.
Tabel 23. Komponen Analisis Ragam Analisis Silang Dialel Sumber Keragaman Derajat Bebas Kuadrat Tengah
KT Harapan Ulangan b-1
KT
b
σ
2 e
+ n σ
2 b
Genotipe n-1 KT
g
σ
2 e
+ b σ
2 g
Galat n-1b-1 KT
e
σ
2 e
Total bn-1 Analisis dapat dilanjutkan bila nilai kuadrat tengah genotipe berbeda nyata.
2. Pendugaan ragam dan peragam Untuk menduga nilai ragam dan peragam, data dirata-ratakan berdasarkan
ulangan dan resiprokalnya membentuk tabel setengah dialel Tabel 24. Tabel 24. Setengah Dialel Ketahanan Cabai terhadap C. acutatum
Tetua C-2 C-8 C-9 C-15 C-19
X
i.
Rata-rata
C-2 X
11
X
12
X
13
X
14
X
16
X
1.
X
1.
6 C-8
- X
22
X
23
X
24
X
26
X
2.
X
2.
6 C-9
- - X
33
X
34
X
36
X
3.
X
3.
6 C-15
- - - X
44
X
46
X
4.
X
4.
6 C-19
- - - - X
66
X
6.
X
6.
6 Rata-rata tetua M
L0
=
n X
j i
ij
∑
=
80
Ragam tetua V
0L0
=
⎟⎟ ⎟
⎟ ⎟
⎟
⎠ ⎞
⎜⎜ ⎜
⎜ ⎜
⎜
⎝ ⎛
⎟⎟ ⎠
⎞ ⎜⎜
⎝ ⎛
− −
∑ ∑
= =
j i
j i
ij ij
n X
X n
2 2
1 1
Ragam array V
ri
=
⎟⎟ ⎟
⎟ ⎟
⎟
⎠ ⎞
⎜⎜ ⎜
⎜ ⎜
⎜
⎝ ⎛
⎟⎟ ⎠
⎞ ⎜⎜
⎝ ⎛
− −
∑ ∑
= =
n j
n j
ij ij
n X
X n
1 2
1 2
1 1
Rata–rata ragam array V
1L1
=
∑
= n
i ri
V n
1
1
Ragam rata–rata array V
0L1
=
⎟ ⎟
⎟ ⎟
⎟ ⎠
⎞ ⎜
⎜ ⎜
⎜ ⎜
⎝ ⎛
⎟ ⎠
⎞ ⎜
⎝ ⎛
− −
∑ ∑
= =
n i
n i
i i
n X
X n
1 2
1 2
1 1
Peragam antara tetua dan keturunan W
ri
=
⎟⎟ ⎟
⎟ ⎟
⎟
⎠ ⎞
⎜⎜ ⎜
⎜ ⎜
⎜
⎝ ⎛
⎟⎟ ⎠
⎞ ⎜⎜
⎝ ⎛
− −
∑ ∑
= =
= =
2 1
; 1
1 ;
1
. .
1 1
n X
X X
X n
j i
n i
j ij
n i
j j
i ij
Rata-rata peragam tetua dan array W
0L0
=
∑
= n
i ri
W n
1
1
Perbedaan rata-rata tetua dan rata-rata semua keturunan M
L1
– M
L0 2
=
2 1
; 1
1 1
⎥ ⎥
⎦ ⎤
⎢ ⎢
⎣ ⎡
⎟⎟ ⎠
⎞ ⎜⎜
⎝ ⎛
− ⎪⎭
⎪ ⎬
⎫ ⎪⎩
⎪ ⎨
⎧ ⎟⎟
⎠ ⎞
⎜⎜ ⎝
⎛
∑ ∑
= =
= j
i ij
n j
i ij
X X
n n
3. Uji hipotesis
Kesahihan hipotesis diuji dengan koefisien regresi, menggunakan ragam dan peragam.
b = Cov Wr, VrVar Vr SE b = [VarWr – b CovWr,VrVarVr n-1]
12
Uji hipotesis : H0 : b = 1
H1 : b ≠ 1
Jika b = 1, maka tidak terdapat interaksi gen non alelik.
81 4. Grafik W
r
-V
r
Parabola diperoleh dengan menghubungkan titik-titik dari persamaan : W
ri
= V
ri
x V
0L0 12
Regresi diperoleh dengan menghubungkan titik-titik dari persamaan : W
rei
= W
r
– bV
r
+ bV
ri
Intersep regresi diperoleh dari : a = W
r
– bV
r
Semakin dekat letak tetua dengan pangkal persilangan sumbu x-y, kandungan gen dominannya secara relatif semakin tinggi, sebaliknya semakin jauh letak
tetua dengan pangkal persilangan sumbu x-y semakin kecil kandungan gen dominannya.
5. Pendugaan komponen ragam Pendugaan komponen ragam yang dilakukan adalah :
D = V
0L0
– E F
= 2V
0L0
– 4W
0L0
– 2n – 2En H
1
= V
0L0
– 4W
0L1
+ 4V
1L1
– 3n – 2En H
2
= 4V
1L1
– 4V
0L1
– 2E h
2
= 4M
L1
- M
L0
2 – 4n-1En
2
S
2
= ½ [Var Wr – Vr] SE D = [ n
5
+ n
4
n
5
] S
2
SE F = [ 4n
5
+ 20n
4
– 16n
3
+ 16n
2
n
5
] S
2
SE H
1
= [ n
5
+ 41n
4
– 12n
3
+ 4n
2
n
5
] S
2
SE H
2
= [ 36n
4
n
5
] S
2
SE h
2
= [ 16n
4
+ 16n
2
– 32n + 16n
5
] S
2
SE E = [ n
4
n
5
] S
2
Keterangan: D
: komponen ragam karena pengaruh aditif
F :
nilai tengah F
r
untuk semua array; F
r
adalah peragam pengaruh aditif
dan non aditif pada array ke-r. H
1
: komponen ragam karena pengaruh dominan
H
2
: perhitungan untuk menduga proporsi gen negatif dan positif pada tetua
h
2
: pengaruh dominansi sebagai jumlah aljabar dari semua persilangan saat heterozigous.
E :
komponen ragam karena pengaruh lingkungan.
82 Jika intersep bernilai positif atau D H
1
interaksi yang terjadi adalah dominansi sebagian, jika bernilai negatif atau D H
1
berarti overdominansi. Dominan lengkap jika D = H
1
, serta tidak terdapat dominansi jika garis regresi menyentuh batas parabola.
6. Pendugaan parameter lain Parameter lain yang diduga adalah :
Rata–rata tingkat dominansi = H
1
D
12
. Proporsi gen–gen dengan pengaruh positif dan negatif dalam tetua
= H
2
4H
1.
Proporsi gen–gen dominan dan resesif dalam tetua =4DH
1 12
+F]4DH
1 12
-F. Jumlah kelompok gen yang mengendalikan sifat dan menimbulkan dominansi
= h
2
H
2
. Heritabilitas arti luas h
2 bs
= ½D+½H
1
–¼H
2
–½F½D+½H
1
–¼H
2
–½F+E. Heritabilitas arti sempit h
2 ns
= ½D+½H
1
–½H
2
–½F½D+½H
1
–½H
2
–½F+E. Jika korelasi negatif, nilai W
ri
+ V
ri
-nya paling rendah, berarti mengandung gen dominan paling banyak.
7. Pendugaan tetua paling dominan dan paling resesif V
D
=
2 1
x V
L
V
R
=
2 2
x V
L
W
D
=
1
x V
L
W
R
=
2
x V
L
x
1
dan x
2
diperoleh dari akar persamaan : V
0L0
x
2
– V
0L0
x + W
0L0
– V
1L1
. Nilai tetua dominan penuh Y
D
= ]
[
1 1
L L
D D
r
V W
V W
b Y
+ −
+ +
Nilai tetua resesif penuh Y
R
= ]
[
1 1
L L
R R
r
V W
V W
b Y
+ −
+ +
83
Pendekatan Griffing
Untuk menduga nilai daya gabung umum DGU dan daya gabung khusus DGK dan pengaruh resiprokal genotipe-genotipe yang diuji, dilakukan analisis
dialel menggunakan Metode I Griffing Singh and Chaudhary 1979 sebagai berikut :
1. Analisis ragam
Perhitungan analisis ragam dilakukan dengan cara yang sama dengan pendekatan Hayman. Analisis dilanjutkan bila kuadrat tengah genotipe
menunjukkan hasil yang berbeda nyata. 2. Analisis daya gabung
Model statistika yang digunakan adalah : Y
ij
= m + g
i
+ g
j
+ s
ij
+ r
ij
+ 1bc ΣΣ
eijkl
Keterangan : Y
ij
: nilai tengah genotipe i × j m
: nilai tengah umum
g
i
: daya gabung umum DGU tetua ke-i g
j
: daya gabung umum DGU tetua ke-j s
ij
: pengaruh daya gabung khusus DGK r
ij
: pengaruh
resiprokal 1bc
ΣΣ
eijkl
: nilai tengah pengaruh galat
Komponen ragam untuk daya gabung disajikan pada Tabel 25. Tabel 25. Komponen Analisis Ragam untuk Daya Gabung Menggunakan
Metode I Griffing Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
KT Harapan Daya gabung umum
p-1 KT
u
σ
2 e
+ 2n-1
2
n σ
2 k
+ 2n σ
2 u
Daya gabung khusus ½ pp-1
KT
k
σ
2 e
+ 2n
2
-n+1
2
n
2
σ
2 k
Resiprokal ½ pp-1
KT
e
σ
2 e
+ 2 σ
2 r
Galat p
2
-1n-1 KT
e
σ
2 e
Pengaruh daya gabung umum g
i
= ½nY
i
+Y
.j
–1n
2
Y
..
Keterangan : g
i
: nilai daya gabung umum
Y
i
. :
jumlah nilai tengah persilangan genotipe ke-i Y
.j
: jumlah nilai
tengah selfing genotipe ke-j
Y
..
: total nilai tengah genotipe
84 Pengaruh daya gabung khusus s
ij
=½Y
i
+Y
ji
–½n Y
i.
+Y
.j
+Y
j.
+Y
.j
+1n
2
Y
..
Keterangan : s
ij
: nilai daya gabung khusus
Y
ij
: nilai tengah genotipe i × j
Y
ji
: nilai tengah genotipe j × i
Y
i
. :
jumlah nilai tengah persilangan genotipe ke-i Y
.j
: jumlah nilai
tengah selfing genotipe ke-j
Y
j.
: jumlah nilai tengah persilangan genotipe ke-j
Y
..
: total nilai tengah genotipe
Pengaruh resiprokal r
ij
=½Y
ij
– Y
ji
Keterangan : r
ij
: pengaruh resiprokal
Y
ij
: nilai tengah genotipe i × j Y
ji
: nilai tengah genotipe j × i Ada-tidaknya pengaruh resiprokal diindikasikan nilai Y
ij
= Y
ji
. 3. Ragam dan galat baku
1. Ragam dan Galat Baku
Dihitung ragam DGU Var g
i
, ragam DGK Var s
ij
, dan ragam resiprokal Var r
ij
, serta nilai galat baku ragam-ragam tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pendugaan Parameter Genetik
Pendugaan parameter genetik menggunakan analisis silang dialel dapat dilakukan jika terdapat perbedaan yang nyata antar genotipe berdasarkan uji F
terhadap ketahanan penyakit antraknosa Singh and Chaudhary 1979. Berdasarkan Tabel 26, terdapat perbedaan yang sangat nyata antar genotipe
terhadap ketahanan penyakit antraknosa semua isolat. Hal ini menunjukkan bahwa pendugaan parameter genetik dapat dilakukan pada semua isolat C. acutatum.
Tabel 26. Kuadrat Tengah Genotipe Ketahanan Cabai Terhadap Antraknosa Isolat PYK 04, BGR 027, MJK 01 dan PSG 07
Isolat Kuadrat Tengah
PYK 04 0.104
BGR 027 0.117
MJK 01 0.078
PSG 07 0.117
Keterangan: = berbeda nyata pada taraf 1
85
Interaksi Gen
Interaksi gen dapat dilihat dari nilai b Wr, Vr. Jika nilai b berbeda nyata dengan satu maka ada interaksi antar gen, sebaliknya jika nilai b tidak berbeda
nyata dengan satu maka tidak ada interaksi antar gen Roy 2000; Sousa dan Maluf 2003. Hasil uji koefisien regresi bWr, Vr tidak berbeda nyata dengan
satu untuk semua isolat Tabel 27, dengan demikian tidak ada interaksi antar gen dalam menentukan ketahanan terhadap antraknosa isolat PYK 04, BGR 027, MJK
01 dan PSG 07 pada cabai populasi dialel. Hasil ini menunjukkan bahwa salah satu asumsi analisis silang dialel dapat terpenuhi.
Tabel 27. Pendugaan Parameter Genetik Ketahanan Cabai Terhadap Antraknosa Isolat PYK 04, BGR 027, MJK 01 dan PSG 07 Menggunakan Analisis
Silang Dialel Metode Hayman
Parameter genetik
Isolat PYK 04
Isolat BGR 027
Isolat MJK 01
Isolat PSG 07
bWr, Vr 0.415 ns
0.834 ns 0.902 ns
1.470 ns D
0.036 0.028
0.008 0.026
H
1
0.003 ns 0.047
0.007 ns 0.002 ns
H
2
0.001 ns 0.041
0.010 ns 0.003 ns
F 0.014 ns
0.005 ns -0.005 ns
0.015 h
2
0.002 ns 0.016 ns
- 0.004 ns - 0.007 ns
E 0.013
0.006 ns 0.011
0.012 H
1
D
12
0.285 1.301 0.989 0.298 H
2
4H
1
0.074 0.219 0.346 0.363 KdKr 5.587
1.166 0.490
30.567 h
2
H
2
2.424 0.392
0.393 2.18
r 0.667 0.932
- 0.217
0.216 h
2 bs
0.475 0.809 0.404 0.338 h
2 ns
0.467 0.466 0.266 0.297 Y
D
0.442 0.377 0.597 0.488 Y
R
0.478 0.453 0.645 0.594
Pengaruh Aditif D dan Dominansi H
1
Pengaruh aditif D berperan sangat nyata terhadap ketahanan antraknosa pada semua isolat yang digunakan. Pengaruh aditif dari isolat PYK 04, BGR 027,
MJK 01 dan PSG 07 secara berturut-turut adalah 0.036, 0.026, 0.008 dan 0.0026. Pengaruh dominan H
1
nyata hanya pada isolat BGR 027 0.047 Tabel 27. Hal ini menunjukkan bahwa sifat ketahanan terhadap antraknosa pada cabai populasi
86 dialel lebih dipengaruhi oleh aksi gen aditif, kecuali pada isolat BGR 027 aksi gen
dominan lebih besar daripada aksi gen aditif.
Distribusi Gen di dalam Tetua
Distribusi gen di dalam tetua dapat dilihat dari nilai H
2
. Gen-gen yang menentukan pewarisan sifat tahan antraknosa isolat PYK 04, MJK 01 dan PSG 07
menyebar merata di dalam tetua, hal ini terlihat dari nilai H
2
yang tidak nyata. Sementara itu, gen–gen yang menentukan pewarisan sifat tahan antraknosa isolat
BGR 027 tidak menyebar merata di dalam tetua, terlihat dari nilai H
2
yang nyata Tabel 27.
Proporsi gen-gen positif akan terlihat dari besarnya nilai H
1
terhadap H
2
. Jika H
1
H
2
maka gen-gen yang banyak adalah gen-gen positif, sebaliknya jika H
1
H
2
maka gen-gen negatif lebih banyak daripada gen-gen positif. Gen-gen yang terlibat lebih banyak dalam menentukan sifat ketahanan terhadap antraknosa
isolat PYK 04 dan BGR 027 adalah gen-gen positif, hal ini tercermin dari nilai H
1
H
2
. Sementara itu, gen-gen yang terlibat lebih banyak dalam menentukan sifat ketahanan terhadap antraknosa isolat MJK 01 dan PSG 07 adalah gen-gen negatif,
tercermin dari nilai H
1
H
2
Tabel 27.
Tingkat Dominansi
Besarnya pengaruh dominansi terlihat dari nilai H
1
D
12
. Nilai H
1
D
12
pada isolat PYK 04, MJK 01 dan PSG 07 kurang dari satu menunjukkan adanya resesif parsial, sedangkan nilai H
1
D
12
pada isolat BGR 027 lebih dari satu menunjukkan adanya over dominansi Tabel 27. Menurut Hayman 1954, nilai
H
1
D
12
lebih dari satu menunjukkan adanya over dominansi, sedangkan nilai H
1
D
12
antara nol dan satu menunjukkan dominansi parsial dominan parsial atau resesif parsial.
Simpangan Rata-rata F1 dari Tetua Rata-rata
Simpangan rata-rata
F1 dari rata-rata tetua h
2
tidak nyata untuk semua isolat. Nilai rata-rata F
1
dan rata-rata tetua disajikan pada Tabel 28.
87 Tabel 28. Nilai Rata-rata F1 dan Rata-rata Tetua Ketahanan Cabai Terhadap
Antraknosa Isolat PYK 04, BGR 027, MJK 01 dan PSG 07
Rata – rata Isolat
F
1
Tetua
PYK 04 0.454
0.518 BGR 027
0.410 0.328
MJK 01 0.574
0.661 PSG 07
0.520 0.529
Proporsi Gen Dominan terhadap Gen Resesif
Banyaknya gen-gen dominan di dalam tetua tercermin dari nilai KdKr. Apabila KdKr 1 maka gen-gen dominan lebih banyak di dalam tetua.
Sebaliknya, apabila KdKr 1 maka gen-gen resesif lebih banyak di dalam tetua. Pada Tabel 27 terlihat bahwa pada isolat PYK 04, BGR 027 dan PSG 07 nilai
KdKr 1 berturut-turut 5.587, 1.166 dan 30.567, menunjukkan gen-gen dominan lebih banyak di dalam tetua. Sementara itu, pada populasi yang
diinokulasi C. acutatum isolat MJK 01 nilai KdKr 1 0.490, menunjukkan gen-
gen resesif lebih banyak di dalam tetua. Arah dan Urutan Dominansi
Urutan dominansi tetua berdasarkan wr + vr untuk sifat ketahanan terhadap antraknosa isolat PYK 04 adalah C-2 0.023, C-8 0.027, C-9 0.030,
C-19 0.033 dan C-15 0.041 Tabel 29. Urutan dominansi juga tercermin dari Gambar 28. Makin dekat letak titik pada titik nol maka tetua tersebut paling
banyak mengandung gen dominan, sebaliknya makin jauh titik dari titik nol maka tetua tersebut paling banyak mengandung gen resesif Sudjindro et al. 1991;
Sousa dan Maluf 2003. Tetua C-15 merupakan tetua yang paling banyak mengandung gen resesif, karena paling jauh dari titik nol Sementara itu, C-2
paling banyak mengandung gen dominan, karena paling dekat dengan titik nol Gambar 22.
Urutan dominansi tetua untuk sifat ketahanan terhadap antraknosa isolat BGR 027 adalah C-19 -0.006, C-2 0.016, C-9 0.026, C-15 0.061 dan C-8
0.075 Tabel 29. Tetua C-8 merupakan tetua yang paling banyak mengandung
88 gen resesif, karena paling jauh dari titik nol Sementara itu, C-19 paling banyak
mengandung gen dominan, karena paling dekat dengan titik nol Gambar 23. Tabel 29. Sebaran Vr + Wr
Isolat Genotipe
PYK 04 BGR 07
MJK 01 PSG 07
C-2 0.023 0.016
0.017 0.017
C-8 0.027 0.075
0.007 0.008
C-9 0.030 0.026
0.010 0.034
C-15 0.041 0.061
0.018 0.040
C-19 0.033 -0.006
0.044 0.016
C-8 C-9
C-15 C-19
C-2 0.00
0.01 0.02
0.03 0.04
0.05 0.06
0.00 0.01
0.02 0.03
0.04 0.05
0.06 Vr
Wr
Gambar 22. Hubungan Peragam Wr dan Ragam Vr Sifat Ketahanan Cabai terhadap Antraknosa yang Disebabkan oleh C. acutatum Isolat PYK
04
Urutan dominansi tetua untuk sifat ketahanan terhadap antraknosa isolat MJK 01 adalah C-8 0.007, C-9 0.010, C-2 0.017, C-15 0.018 dan C-19
0.044 Tabel 29. Tetua C-19 merupakan tetua yang paling banyak mengandung gen resesif, karena paling jauh dari titik nol Sementara itu, C-8 paling banyak
mengandung gen dominan, karena paling dekat dengan titik nol Gambar 24.
89
C-2 C-8
C-9 C-15
C-19 -0.020
-0.010 0.000
0.010 0.020
0.030 0.040
0.050
0.000 0.010
0.020 0.030
0.040 0.050
0.060 0.070
Vr Wr
Gambar 23. Hubungan Peragam Wr dan Ragam Vr Sifat Ketahanan Cabai terhadap Antraknosa yang Disebabkan oleh C. acutatum Isolat BGR
027
C-2 C-8
C-9 C-15
C-19
-0.005 0.000
0.005 0.010
0.015 0.020
0.025 0.030
0.000 0.005
0.010 0.015
0.020 0.025
0.030 0.035
0.040 Vr
Wr
Gambar 24. Hubungan Peragam Wr dan Ragam Vr Sifat Ketahanan Cabai terhadap Antraknosa yang Disebabkan oleh C. acutatum Isolat MJK
01
Urutan dominansi tetua untuk sifat ketahanan terhadap antraknosa isolat PSG 07 adalah C-8 0.008, C-19 0.016 C-2 0.017, C-8 0.034, dan C-15
0.40 Tabel 29. Tetua C-15 merupakan tetua yang paling banyak mengandung gen resesif, karena paling jauh dari titik nol. Sementara itu, C-8 paling banyak
mengandung gen dominan, karena paling dekat dengan titik nol Gambar 25.
90
C-2 C-8
C-9 C-15
C-19 -0.010
-0.005 0.000
0.005 0.010
0.015 0.020
0.025 0.030
0.035 0.040
0.045
0.000 0.005
0.010 0.015
0.020 0.025
0.030 0.035
Vr Wr
Gambar 25. Hubungan Peragam Wr dan Ragam Vr Sifat Ketahanan terhadap Antraknosa yang Disebabkan oleh C. acutatum Isolat PSG 07
Jumlah Gen Pengendali Karakter
Ketahanan terhadap antraknosa isolat PYK 04, BGR 027, MJK 01 dan PSG 07 dikendalikan oleh gen resesif. Jumlah pengendali gen tercermin dari nilai
h
2
H
2
. Jumlah gen yang mengendalikan ketahanan terhadap antraknosa isolat PYK 04, BGR 027, MJK 01 dan PSG 07 secara berturut – turut adalah dua, satu,
satu dan dua kelompok gen pengendali Tabel 27.
Heritabilitas
Nilai duga heritabilitas arti luas h
2 bs
ketahanan terhadap antraknosa isolat PYK 04, MJK 01 dan PSG 07 termasuk dalam kategori sedang, yaitu berturut-
turut adalah 0.475, 0.404 dan 0.338. Nilai duga heritabilitas arti sempit h
2 ns
ketahanan terhadap antraknosa ketiga isolat tersebut sedang, yaitu berturut-turut 0.467, 0.266 dan 0.297 Tabel 27. Hal ini menunjukkan bahwa proporsi ragam
aditif dalam menentukan ketahanan adalah cukup tinggi, sesuai dengan penjelasan sebelumnya bahwa pengaruh aditif berperan sangat nyata.
Nilai duga heritabilitas arti luas ketahanan terhadap antraknosa isolat BGR 027 termasuk dalam kategori tinggi, yaitu 0.809. Ini menunjukkan ragam gejala
yang muncul dikendalikan oleh faktor genetik Geleta et al. 2006. Nilai duga heritabilitas arti sempitnya termasuk sedang, yaitu 0.466 Tabel 27. Nilai
heritabilitas arti luas yang tinggi diduga disebabkan oleh aksi gen aditif dan
91 dominan, sesuai dengan penjelasan sebelumnya bahwa pengaruh aditif dan
dominan berperan sangat nyata.
Batas Tertinggi Fenotipe Hasil Seleksi
Batas tertinggi jika semua gen dominan homozigot mengumpul pada satu individu tanaman YD adalah 0.442, 0.377, 0.597 dan 0.488 berturut-turut untuk
isolat PYK 04, BGR 027, MJK 01 dan PSG 07. Sementara itu, batas tertinggi jika semua gen resesif homozigot mengumpul pada satu individu tanaman YR adalah
0.475, 0.453, 0.645 dan 0.594, berturut-turut untuk isolat PYK 04, BGR 027, MJK 01 dan PSG 07 Tabel 27. Nilai YR tersebut tergolong rendah, sebagai
contoh pada isolat MJK 01, nilai YR adalah 0.645 artinya maksimum individu yang diperoleh mempunyai kriteria moderat terhadap antraknosa KP = 100 –
64.5 = 35.5. Oleah karena itu metode persilangan yang disarankan adalah metode persilangan ganda dengan pisahan transgresif atau mengintroduksikan
sumber gen baru ke dalam populasi.
Daya Gabung Daya Gabung Umum DGU
Analisis ragam daya gabung dengan menggunakan metode 1 Griffing menunjukkan bahwa pengaruh daya gabung umum DGU sangat nyata untuk
sifat ketahanan terhadap antraknosa isolat PYK 04 dan BGR 027 dan nyata untuk sifat ketahanan terhadap antraknosa isolat MJK 01 dan PSG 07 Tabel 30.
Tetua C-15 mempunyai daya gabung umum paling tinggi untuk semua isolat yang digunakan dibandingkan dengan tetua lainnya. Nilai daya gabung
umum sifat ketahanan terhadap antraknosa masing-masing isolat PYK 04, BGR 027, MJK 01 dan PSG 07 berturut-turut adalah 0.112, 0.031, 0.057 dan 0.114.
Nilai tengah ketahanan C-15 terhadap antraknosa isolat PYK 04, BGR 027, MJK 01 dan PSG 07 berturut-turut adalah 0.825, 0.600, 0.800 dan 0.800. C-9
mempunyai data gabung umum paling rendah untuk isolat PYK 04 -0.018 dan PSG 07 -0.087. Sementara itu, C-19 mempunyai daya gabung umum paling
92 rendah untuk isolat BGR 027 -0.094 dan C-8 mempunyai daya gabung umum
paling rendah untuk isolat MJK 01 -0.017 Tabel 31.
Daya Gabung Khusus DGK
Pengaruh daya gabung khusus DGK sangat nyata untuk sifat ketahanan terhadap antraknosa isolat BGR 027 dan tidak nyata untuk karakter ketahanan
terhadap antraknosa isolat PYK 04, MJK 01 dan PSG 07. Pengaruh resiprokal sangat nyata untuk sifat ketahanan terhadap antraknosa isolat PSG 07, nyata untuk
sifat ketahanan terhadap antraknosa isolat BGR 027, dan tidak nyata untuk sifat ketahanan terhadap antraknosa isolat PYK 04 dan MJK 01 Tabel 30.
Persilangan C-9 x C-2 mempunyai daya gabung khusus sifat ketahanan terhadap antraknosa isolat BGR 027 paling tinggi 0.131 dengan nilai tengah
0.150. Pada isolat tersebut, nilai tengah tertinggi dihasilkan dari persilangan C-15 x IPB C-8 0.700 Tabel 31. Hal tersebut menunjukkan bahwa suatu kombinasi
persilangan dengan pengaruh daya gabung khusus tertinggi belum tentu mempunyai ketahanan terhadap antraknosa tertinggi pula. Menurut Basuki 1986,
dalam memilih kombinasi persilangan yang baik disamping nilai pengaruh daya gabung khusus perlu dipertimbangkan pula nilai tengah dari sifat yang akan
diperbaiki. Tabel 30. Analisis Ragam Daya Gabung Umum DGU dan Daya Gabung
Khusus DGK Sifat Ketahanan Cabai Terhadap Antraknosa Isolat PYK 04, BGR 027, MJK 01 dan PSG 07
Kuadrat Tengah Sumber Keragaman
db PYK 04
BGR 027 MJK 01
PSG 07
Ulangan 3
0.291 0.058
0.193 0.104
DGU 4
0.072 0.076
0.036 0.039
DGK 10
0.014 ns 0.026 0.016 ns
0.014 ns Resiprokal
10 0.020 ns 0.013
0.016 ns 0.041
Galat 72
0.011 0.005
0.010 0.011
93 Tabel 31. Nilai Daya Gabung Umum DGU dan Daya Gabung Khusus DGK
Sifat Ketahanan Cabai terhadap Antraknosa Isolat PYK 04, BGR 027, MJK 01 dan PSG 07
PYK 04 BGR 027
MJK 01 PSG 07
Genotipe Rata-
rata DGU Rata-
rata DGU Rata-
rata DGU Rata-
rata DGU
C-2 0.416 0.048 0.250 -0.056 0.725
0.010 0.550 0.030 C-8
0.447 0.047 0.619 -0.010 0.562 -0.017 0.475 0.030
C-9 0.250 -0.018 0.300 -0.041 0.500
0.002 0.250 -0.087 C-15
0.825 0.112 0.600 0.031 0.800 0.057 0.800 0.114
C-19 0.331 0.011 0.281 -0.094 0.500
-0.003 0.525 0.029 DGK DGK DGK DGK
C-2 x
C-8 0.486 0.035 0.125 -0.172 0.575
-0.102 0.578 0.064 C-2
x C-9
0.575 0.030 0.411 -0.014 0.692 0.029 0.775 0.075
C-2 x
C-15 0.500 0.002 0.466 0.076 0.750 -0.002 0.450 0.033
C-2 x
C-19 0.625 0.118 0.228 0.088 0.482 0.014 0.350 -0.135
C-8 x
C-2 0.625 -0.069 0.225 -0.050 0.475
0.050 0.625 -0.024 C-8
x C-9
0.500 0.094 0.356 0.039 0.655 0.148 0.609 0.013
C-8 x
C-15 0.775 -0.020 0.432 0.065 0.650 -0.014 0.500 -0.142
C-8 x C-19 0.250
-0.115 0.306
-0.084 0.619
-0.004 0.500
0.078 C-9
x C-2
0.450 0.063 0.150 0.131 0.550 0.071 0.325 0.225
C-9 x
C-8 0.494 0.003 0.550 -0.097 0.750
-0.048 0.265 0.172 C-9
x C-15 0.450 -0.044 0.450 0.002 0.675
-0.104 0.350 -0.004 C-9 x C-19
0.300 0.036
0.175 0.032
0.675 -0.055
0.350 0.028
C-15 x C-2 0.859
-0.180 0.450
0.008 0.750
0.000 0.900 -0.225
C-15 x
C-8 0.382 0.197 0.700 -0.134 0.750 -0.050 0.400 0.050
C-15 x C-9 0.582
-0.066 0.450
0.000 0.475
0.100 0.700 -0.175
C-15 x C-19 0.597
-0.007 0.150
-0.209 0.925
0.158 0.750
0.011 C-19 x C-2
0.575 0.025
0.283 -0.028
0.825 -0.171
0.475 -0.063 C-19 x C-8
0.325 -0.038
0.100 0.103
0.575 0.022
0.650 -0.075 C-19
x C-9 0.500 -0.100 0.357 -0.091 0.348
0.163 0.575 -0.113 C-19 x C-15
0.508 0.045
0.075 0.038
0.844 0.040
0.475 0.138
SIMPULAN
1. Tidak ada interaksi antar gen dalam menentukan ketahanan terhadap
antraknosa. 2.
Pengaruh aditif berperan sangat nyata, sedangkan pengaruh dominan tidak nyata. Pengaruh aditif lebih besar daripada pengaruh dominan.
3. Gen-gen yang menentukan pewarisan sifat tahan antraknosa isolat PYK
04, MJK 01 dan PSG 07 menyebar merata di dalam tetua. Sementara gen – gen yang menentukan pewarisan sifat tahan antraknosa isolat BGR 027
tidak menyebar merata di dalam tetua
94 4.
Pengendali ketahanan adalah gen resesif. Derajat dominansi dikategorikan sebagai resesif tak sempurna.
5. Genotipe C-15 paling banyak membawa gen resesif.
6. Gen-gen dominan lebih banyak dalam populasi tetua dibandingkan gen –
gen resesif. 7.
Jumlah gen yang mengendalikan ketahanan terhadap antraknosa isolat PYK 04, BGR 027, MJK 01 dan PSG 07 secara berturut-turut adalah dua,
satu, satu dan dua kelompok gen pengendali. 8.
Nilai heritabilitas arti luas tergolong sedang hingga tinggi, sedangkan heritabilitas arti sempit tergolong sedang.
9. Batas tertinggi jika semua gen resesif homozigot mengumpul pada satu
individu tanaman YR adalah 0.475, 0.453, 0.645 dan 0.594, berturut- turut untuk isolat PYK 04, BGR 027, MJK 01 dan PSG 07.
10. Tetua C-15 mempunyai daya gabung umum paling tinggi dibandingkan
dengan tetua lainnya. 11.
Seleksi untuk perakitan cabai unggul tahan C. acutatum sebaiknya dilakukan pada generasi lanjut menggunakan metode persilangan ganda
dengan rekombinasi transgresif.
DAFTAR PUSTAKA
Baihaki A. 2000. Teknik rancang dan analisis penelitian pemuliaan [Diktat Kuliah]. Bandung: Fakultas Pertanian,
Universitas Padjadjaran.
91 hal. Basuki N. 1986. Pendugaan parameter genetik dan hubungan antara hasil dengan
beberapa sifat agronomis serta analisis persilangan dialel pada ubi jalar Ipomoea batatas L. Lamb. [Diertasi]. Bogor: Fakultas Pascasarjana IPB.
139 hal.
Geleta, Legesse F, Labuschagne, Maryke T. 2006. Combining ability and heritability for vitamin C and total soluble solids in pepper Capsicum annuum
L.. J Sci Food Agric 86 9 : 1317-1320. Hayman BI. 1954. The theory and analysis of diallel crosses. Genetics 39: 789 –
809.
95 Johnson LPV. 1963. Applications of the diallel cross technique to plant breeding.
Di dalam: Hanson WD, Robinson HF. Editor. Statistical Genetics and Pland Breeding. Washington. DC: National Acad of Sci – National Res. Council.
hlm 561 – 569.
Kusandriani Y, Permadi H. 1996. Pemuliaan tanaman cabai. Di dalam: Duriat AS, Widjaja A, Hadisoeganda W, Soetiarso TA, Prabaningrum L. Editor.
Teknologi Produksi Cabai Merah. Lembang: Balai Penelitian Tanaman Sayuran. hlm 28-35.
Roy D. 2000. Plant breeding, analysis and exploitation of variation. New Delhi: Narosa Publishing House. 701 hal.
Semangun H. 2000. Penyakit-penyakit tanaman hortikultura di Indonesia. Ed ke-4. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 850 hal.
Singh RK, Chaudhary BD. 1979. Biometrical Methods in Quantitative Genetic Analysis. Edisi Revisi. New Delhi: Kalyani Publishers. 304 hal.
Sousa JA de, Maluf WR. 2003. Diallel analyses and astimation of genetic parameters of hot pepper Capsicum chinenseJacq.. Sci Agric 60 1 : 105 –
113. Sudjindro, Soemartono, Wuryono MD. 1991. Penilaian parameter genetik
beberapa kultivar kenaf Hibiscus cannabinus L. dengan persilangan dialel. Zuriat 2 1 : 48-55.
VI. INTERAKSI GENETIK X LINGKUNGAN UNTUK KETAHANAN CABAI Capsicum annuum L. TERHADAP