SIMPULAN DAN SARAN PENUTUP

xiii

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ............................................................................................................ 75 5.2 Saran ...................................................................................................................... 76 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 78 LAMPIRAN xiv DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Peraturan Menteri Kehakiman Nomor: M.05-UM.01.06 Tahun 1983 Lampiran 2. Peraturan Pemerintah Nomor: 27 Tahun 1983 Lampiran 3. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.04-PR.07.03 Tahun 1985 Lampiran 4. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.04-PR.07.01 Tahun 1983 Lampiran 5. Surat berita acara pelaksanaan penetapan hakim BA- 6 Lampiran 6. Surat berita acara pengembalian barang bukti Lampiran 7. Surat PENETAPAN Lampiran 8. Surat petikan putusan Lampiran 9. Surat pengantar penitipan barang Lampiran 10. Surat pengembalian barang bukti Lampiran 11. Instrumen Penelitian Lampiran 12. Formulir Usulan Topik Skripsi Lampiran 13. Formulir usulan Pembimbing Lampiran 14. Surat Keputusan Penetapan Dosen Pembimbing xv Lampiran 15. Kartu Bimbingan Skripsi Lampiran 16. Surat izin untuk penelitian di Kejaksaan Negeri Semarang Lampiran 17. Surat izin untuk penelitian di RUPBASAN Semarang Lampiran 18. Surat izin sudah melakukan penelitian di Kejaksaan Negeri Semarang Lampiran 19. Surat berita penelitianpenilaian Basan Baran Lampiran 20. Surat berita acara serah terima BasanBaran Lampiran 21. Surat lampiran berita acara penelitianpenilaian Basan Baran Lampiran 22. Berita acara penyerahanpengembalian Basan Baran kepada yang berhak 1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Jaksa pada setiap kejaksaan mempunyai tugas pelaksanaan eksekusi putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan untuk kepentingan itu didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat keterangan pengganti kutipan putusan hakim. Selain itu jaksa sebagai penuntut umum pada setiap kejaksaan juga pempunyai tugas melaksanakan penetapan hakim pidana. Tugas melaksanakan eksekusi putusan hakim sebagai tahap terakhir perkara pidana dimaksudkan menjalankan pekerjaan melaksanakan putusan hakim dalam arti terbatas hanya untuk tugas eksekusi saja oleh Jaksa. Putusan hakim dapat ditetapkan dari berbagai jenis pidana yang terdapat didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan selanjutnya pelaksanaan putusan berbagai jenis pidana tersebut diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan mengenai pelaksanaan pidana. Bagian paling terpenting dari tiap-tiap pidana adalah persoalan mengenai pembuktian, karena dari jawaban soal inilah tergantung apakah tertuduh akan dinyatakan bersalah atau dibebaskan. Untuk kepentingan pembuktian tersebut maka kehadiran benda-benda yang tersangkut dalam tindak pidana, sangat diperlukan. Benda- benda dimaksud lazim dikenal dengan istilah barang bukti. Yang dimaksud barang bukti atau corpus delicti adalah barang bukti kejahatan, meskipun barang bukti itu mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses pidana, namun apabila kita simak dan perhatikan satu per satu peraturan perundang-undangan bernafaskan pidana undang- undang pokok, undang-undang, maupun peraturan pelaksanaannya tidak ada satu pasalpun yang memberikan definisi atau pengertian mengenai barang bukti. Akan tetapi apabila dikaitkan pasal demi pasal yang ada hubungannya yang ada masalah barang bukti maka secara implisit tersirat akan dapat dipahami apa sebenarnya barang bukti itu. Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain dapat dikembalikan dalam hal perkara tersebut dihentikan penyidikan atau penuntutannya, akan tetapi dapat juga dikembalikan kepada yang berhak sebelum perkara itu mempunyai kekuatan hukum tetap, baik perkara itu masih ditingkat penyidikan, penuntutan maupun setelah diperiksa disidang pengadilandasar pengembalian barang tersebut adalah karena diperlukan untuk mencari nafkah atau sebagai sumber kehidupan. Hanya bedanya Pasal 194 ayat 3 KUHAP dengan tegas menyebutkan bahwa pengembalian barang bukti tersebut, antara lain barang tersebut dapat dihadapkan di pengadilan dalam keadaan utuh. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Apabila terhadap barang bukti tersebut dijatuhkan putusan dimusnahkan atau dijual lelang untuk negara, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 39 KUHP hanya terbatas pada barang-barang yang telah disita saja. Apabila terhadap barang bukti tersebut dijatuhkan putusan dikembalikan kepada orang yang paling berhak, maka Jaksa selaku pelaksana putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap harus segara mengembalikannya. Namun kenyataannya didalam praktek proses pengembalian barang bukti tersebut menemui hambatan atau kendala, sehingga pelaksanaan pengembalian barang bukti tidak bisa segera dilaksanakan memakan waktu yang lama. Bedasarkan uraian diatas maka penulis memilih judul PELAKSANAAN PENGEMBALIAN BARANG BUKTI OLEH JAKSA DALAM PERKARA PIDANA Studi di Kejaksaan Negeri Semarang.

1.2. Identifikasi Masalah

Dari uraian latar belakang diatas maka dapat diidentifikasikan masalah yang ditemukan yaitu: 1. Pelaksanaan pengembalian barang bukti setelah adanya putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap khususnya terhadap barang bukti 2. Kendala bagi Jaksa dalam pelaksanaan pengembalian barang bukti 3. Prosedur yang perlukan dalam pengambilan barang bukti 4. Tenggang waktu yang diperlukan dalam penyimpanan barang bukti di RUPBASAN 5. Cara mengatasi barang bukti yang mudah rusak, rapuh, atau sulit dalam pemeliharaannya 6. Orang-orang yang berhak menerima barang bukti 1.3 Pembatasan Masalah Mengingat luasnya permasalahan dalam proses penegakan hukum pidana maka dalam penelitian ini dilakukan pembatasan masalah yaitu: 1. Pelaksanaan pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap khususnya terhadap barang bukti 2. kendala dalam pelaksanaan pengembalian barang bukti yang disita setelah adanya putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap 1.4 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, ada dua masalah yang diteliti dalam penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimana pelaksanaan pengembalian barang bukti setelah adanya putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap khususnya terhadap barang bukti ? 2. Apa yang menjadi kendala dalam pelaksanaan pengembalian barang bukti yang disita setelah adanya putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ? 1.5 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan diatas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap khususnya terhadap barang bukti. 2. Untuk mengetahui kendala dalam pelaksanaan pengembalian barang bukti yang disita setelah adanya putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 1.6 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yaitu :

1.6.1 Manfaat teoritis :

a. Menambah pengetahuan bagi masyarakat umumnya dan bagi mahasiswa fakultas hukum atau kalangan akademisi fakultas hukum khususnya terhadap proses pengembalian barang bukti. b. Dapat dijadikan acuan atau referensi untuk penelitian berikutnya.

1.6.2 Manfaat praktis:

a. Dapat mengetahui mekanisme untuk memperoleh informasi mengenai pelaksanaan proses pengembalian barang bukti. b. Dapat mengetahui mekanisme dalam proses pelaksanaan pengembalian barang bukti. 1.7 Sistematika Penulisan Skripsi Untuk memberikan kemudahan dalam memahami skripsi serta memberikan gambaran yang menyeluruh secara garis besar, sistematika skripsi dibagi menjadi tiga bagian. Adapun sistematikanya adalah :

1.7.1 Bagian Awal Skripsi

Bagian awal skripsi terdiri atas sampul, lembar judul, persetujuan pembimbing, lembar pengesahan, lembar pernyataan, lembar motto dan persembahan, prakata, lembar abstrak, daftar isi, daftar lampiran.

1.7.2 Bagian Pokok Skripsi

Bagian pokok skripsi terdiri atas bab pendahuluan, teori yang digunakan untuk landasan penelitian, metode penelitian, hasil penelitian dan pembahasan, dan penutup. Bab 1 Pendahuluan Pada bab ini penulis menguraikan latar belakang, perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan, manfaat, penegasan istilah dan sistematika penulisan. Bab 2 Tinjauan Pustaka Dalam bab ini akan diuraikan mengenai teori-teori yang diharapkan mampu menjembatani atau mempermudah dalam memperoleh hasil penelitian, dijelaskan mengenai macam-macam pidana, pengertian bentuk dan isi putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan fungsi barang bukti. Bab 3 Metode Penelitian Metodologi Penelitian, berisi tentang metode pendekatan, spesifikasi penelitian, lokasi penelitian, sumber data penelitian, metode pengumpulan data dan metode analisis data, dan keabsahan data. Bab 4 Hasil Penelitian Berisi tentang hasil Penelitian dan pembahasan. Bab ini menguraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan yang menghubungkan fakta atau data yang diperoleh dari hasil penelitian pustaka dan penelitian lapangan empiris. Bab ini menguraikan mengenai pelaksanaan putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap khususnya terhadap barang bukti dan kendala dalam pelaksanaan pengembalian barang bukti yang disita setelah adanya putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Bab 5 Penutup Pada bagian ini merupakan bab terakhir yang berisi simpulan dan saran dari pembahasan yang diuraikan.

1.7.3 Bagian Akhir Skripsi

Bagian akhir dari skripsi ini terdiri dari daftar pustaka dan lampiran. Isi daftar pustaka merupakan keterangan sumber literatur yang digunakan dalam penyusunan skripsi. Lampiran dipakai untuk mendapatkan data dan keterangan yang melengkapi uraian skripsi. 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Dalam penelitian skripsi terdahulu yang berjudul “Benda Sitaan Negara Sebagai barang Bukti Dalam Perkara Pidana di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Rembang ” yang di buat oleh Dedy Prabowo dari Universitas Negeri Semarang dalam skripsinya membedah mengenai Benda Sitaan Negara Sebagai barang Bukti Dalam Perkara Pidana. Di dalam skripsi tersebut berisi mengenai pengelolaan benda sitaan, Tanggung jawab benda sitaan, arti penting benda sitaan. Dari hasil skripsi di atas menunjukan bahwa skripsi yang dibuat oleh penulis tidaklah sama. Karena penulis menfokuskan tentang pelaksanaan dan kendalanya dalam pengembalian barang bukti oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara pidana.

2.2 Barang Bukti dalam Proses Peradilan Pidana

2.2.1 Pengertian dan Fungsi Barang Bukti dalam Proses Peradilan Pidana

Menurut istilah barang bukti dalam perkara pidana yaitu barang mengenai mana delik dilakukan obyek delik dan barang dengan mana delik dilakukan yaitu alat yang diapakai untuk melakukan delik. Termasuk juga barang bukti ialah hasil dari delik, misalnya uang negara yang dipakai korupsi untuk membeli rumah pribadi maka rumah pribadi itu merupakan barang bukti atau hasil delik. Hamzah,1986:100. Disamping itu ada pula barang yang bukan termasuk obyek, alat atau hasil delik, tetapi dapat pula dijadikan barang bukti sepanjang barang tersebut mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana misalnya pakaian yang dipakai oleh korban saat ia dianiaya atau dibunuh. Pada Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan bahwa tiadak seorang pun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila kerena alat pembuktian yang sah menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dapat dianggap bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya. Ketentuan tersebut diatas ditegaskan lagi dalam Pasal 183 KUHAP yang menyatakan hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP disebutkan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang. Adanya ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal 183 KUHAP menujukkan bahwa Negara kita menganut sistem atau teori pembuktian secara negatif, dimana hakim hanya dapat menjatuhkan hukuman apabila sedikit-dikitnya dua alat bukti yang telah ditentukan dalam kesalahan terdakwa terhadap peristiwa pidana yang dituduhkan kepadanya. Walaupun alat-alat bukti lengkap, akan tetapi jika Hakim tidak yakin tentang kesalahan terdakwa maka harus diputus bebas. Untuk mendukung dan menguatkan alat bukti yang sah sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 ayat 1 KUHAP dan untuk memperoleh keyakinan hakim atas kesalahan yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa, maka disinilah letak pentingnya barang bukti tersebut. Meskipun barang bukti mempunyai peranan penting dalam perkara pidana bukan berarti bahwa kehadiran barang bukti itu mutlak harus ada dalam perkara pidana, sebab adapula tindak pidana tanpa adanya barang bukti misalnya penghinaan secara lisan Pasal 310 ayat 1 KUHP. Dalam hal demikian hakim melakukan pemeriksaan tanpa barang bukti.

2.2.2 Hubungan Barang Bukti dengan Alat Bukti

Sebagaimana telah disebut bahwa alat bukti yang sah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 ayat 1 KUHAP adalah Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk dan Keterangan terdakwa. Hal ini berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah. Bila memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut diatas, tidak tampak adanya hubungan antara barang bukti dengan alat bukti. Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa untuk menentukan pidana kepada terdakwa, harus: a. Kesalahanya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah; b. Dan atas dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukanya. Pasal 181 KUHAP mengatur mengenai pemeriksaan barang bukti di persidangan, yaitu sebagai berikut: a. Hakim ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda itu dengan memperhatikan ketentuan sebagai mana yang dimaksud dalam Pasal 45 KUHAP. b. Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua sidang kepada saksi c. Apabila dianggap perlu untuk pembuktian, hakim ketua sidang membacakan atau memperlihatkan surat atau berita acara kepada terdakwa atau saksi dan selanjutnya minta keterangan seperlunya tentang hal itu.Afiah 1988:19 Berdasarkan ketentuan tersebut diatas tampak bahwa dalam proses pidana, kehadiran barang bukti itu sangat penting bagi hakim untuk mencari dan menetukan kebenaran materiil atas perkara yang sedang ia tangani periksa. Barang bukti dan alat bukti mempunyai hubungan yang erat dan merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. Perbedaan alat bukti yang sah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan barang bukti. Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP, yaitu: a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat d. Petunjuk e. Keterangan terdakwa Hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk alat pembuktian. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP memang tidak menyebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam pasal 39 ayat 1 KUHAP disebutkan apa-apa yang disita. Untuk kepentingan pembuktian tersebut maka kehadiran benda-benda yang tersangkut dalam suatu tindak pidana, sangat diperlukan. Benda- benda dimaksud dengan istilah “barang bukti”.Barang bukti atau corpus delicti adalah barang bukti kejahatan, meskipun barang bukti itu mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses pidana. Selain itu didalam Hetterzine in landcsh regermentHIR juga terdapat perihal barang bukti. Dalam Pasal 42 HIR disebutkan bahwa para pegawai, pejabat ataupun orang-orang berwenang diharuskan mencari kejahatan dan pelanggaran kemudian selanjutnya mencari dan merampas barang-barang yang dipakai untuk melakukan suatu kejahatan serta barang-barang yang didapatkan dari sebuah kejahatan. Penjelasan Pasal 42 HIR menyebutkan barang-barang yang perlu di-beslag diantaranya: a. Barang yang menjadi sarana tindak pidana corpora delicti b. Barang-barang yang terjadi sebagai hasil dari tindak pidana corpora delicti c. Barang-barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana instrumenta delicti d. Barang-barang yang pada umumnya dapat dipergunakan untuk membuatkan atau meringankan kesalahan terdakwa corpora delicti Penjelasan Pasal 133 ayat 2 KUHAP menyebutkan : “Keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran Kehakiman disebut keterangan ahli, sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut keterangn”. Memperhatikan Pasal 133 KUHAP beserta penjelasannya maka dapat disimpulkan bahwa: Keterangan mengenai barang bukti tubuh manusia yang masih hidup atau pun mati yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman, adalah menjadi alat bukti yang sah sebagai keterangan ahli sebagai mana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP. Terkait dengan Pasal 120, Pasal 184 serta Pasal 186 KUHAP, terlihat bahwa hasil pemeriksaan oleh ahlinya disebut Expertise adalah hasil pemeriksaan sesuatu yang dilakukan oleh seseorang ahli expert yang disampaikan kepada hakim untuk menjadi bahan pertimbangan pemutusan suatu perkara Yan Pramadya Puspa, 235;2008. Misalnya hasil pemeriksaan terhadap bagian-bagian tertentu dari tubuh manusia darah, air mani, rambut, dsb atau hasil pemeriksaan benda-benda tertentu serbuk, senjata api, uang palsu, dsb apabila diberikan secara lisan disidang pengadilan, maka akan menjadi keterangan ahli sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 KUHAP. Sedangkan keterangan yang diberikan oleh seorang ahli bukan ahli kedokteran kehakiman jika diberikan secara tertulis, maka akan menjadi surat keterangan dari seorang ahli Pasal 184 ayat 1 c jo Pasal 187 c KUHAP. Dengan demikian barang bukti itu sangat penting arti dan perananya dalam mendukung upaya bukti dalam persidangan, sekaligus memperkuat dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap Tindak Pidana yang dilakukan oleh terdakwa, serta dapat membentuk dan menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan terdakwa. Itulah sebabnya Jaksa Penuntut Umum semaksimal mungkin harus mengupayakan menghadapkan barang bukti selengkap-lengkapnya disidang pengadilan.

2.2.3 Macam-macam Putusan yang Berkenaan dengan Barang Bukti

Selain mencantumkan tindakan yang dijatuhkan terhadap terdakwa dan ongkos perkara putusan hakim harus memuat pula tentang status benda sitaan yang dijadikan barang bukti dalam perkara tersebut, kecuali dalam perkara tersebut tidak ada barang buktinya. Mengenai macam-macam putusan yang berkenaan dengan barang bukti dapat kita ketahui dari Pasal 46 ayat 2 KUHAP dan Pasal 194 ayat 1 KUHAP. Pasal 46 ayat 2 KUHAP adalah sebagai berikut: Apabila perkara sudah diputus maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain. .Afiah 1988:198 Pasal 194 ayat 1 KUHAP menentukan bahwa : Dalam hal putusan pemidanaan, atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut ketentuan Undang-Undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.Afiah 1988:198 Berdasarkan ketentuan tersebut diatas dapat diketahui bahwa putusan hakim yang berkenaan dengan barang bukti adalah sebagai berikut: 1. Dikembalikan kepada pihak yang paling berhak. Pada hakekatnya, apabila perkara sudah diputus maka benda yang disita untuk dijadikan barang bukti dalam persidangan dikembalikan kepada orang atau mereka yang berhak sebagai mana dimaksud dalam putusan hakim. Undang-undang tidak menyebutkan siapa yang dimaksud dengan yang berhak tersebut. Dengan demikian kepada siapa barang bukti tersebut dikembalikan diserahkan kepada hakim yang bersangkutan setelah mendengar keterangan para saksi dan terdakwa, baik mengenai perkaranya maupun yang menyangkut barang bukti dalam pemeriksaan sidang di pengadilan Afiah,1988: 199 . Afiah 1988:200-203 yang disebut orang yang berhak menerima barang bukti anatara lain : a. Orang atau mereka dari siapa barang tersebut disita, yaitu orang atau mereka yang memegang atau menguasai barang itu pada waktu penyidik melakukan penyitaan dimana barang itu pada waktu penyidik melakukan penyitaan dimana dalam pemeriksaan di persidangan memang dialah yang berhak atas barang tersebut. b. Pemilik yang sebenarnya, sewaktu disita benda yang dijadikan barang bukti tidak dalam kekuasaanorang tersebut. Namun, dalam pemeriksaan ternyata benda tersebut adalah miliknya yang dalam perkara itu bertindak sebagai saksi korban. Hal ini sering terjadi dalam perkara kejahatan terhadap harta benda. c. Ahli waris, dalam hal yang berhak atas barang bukti tersebut sudah meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan, maka berkenaan dengan barang bukti tersebut putusan hakim menetapkan bahwa barang bukti dikembalikan kepada ahli waris atau keluarganya. d. Pemegang hak terakhir, barang bukti dapat pula dikembalikan kepada pemegang hak terakhir atas benda tersebut asalkan dapat dibuktikan bahwa ia secara sah benar-benar mempunyai hak atas benda tersebut. 2. Dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak. Putusan hakim yang berbunyi bahwa barang bukti dirampas untuk kepentingan negara biasanya ditemui dalam perkara tindak pidana ekonomi, penyelundupan senjata api, bahan peledak, narkotika. Barang tesebut dijual lelang kemudian hasil lelang menjadi milik negara. Akan tetapi ada pula barang rampasan negara yang tidak dapat dijual lelang yaitu barang yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, karena benda tersebut tidak boleh dimiliki oleh umum. Menurut Pasal 45 ayat 4 KUHAP dan penjelasannya, “benda tersebut harus diserahkan kepada departemen yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku ”. Misalnya bahan peledak amunisi atau senjata api diserahkan kepada Departemen Pertahanan dan Keamanan. Barang yang dapat dirampas untuk dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi biasanya benda tersebut merupakan alat untuk melakukan kejahatan misalnya golok untuk menganiaya korban atau linggis yang dipakai untuk membongkar rumah orang lain. 3. Barang bukti masih diperlukan dalam perkara lain Afiah 1998:207 Ada tiga kemungkinan yang bisa menimbulkan putusan seperti tersebut diatas : a. Ada dua delik dimana pelakunya hanya satu orang, perkara pertama sudah diputus oleh hakim sedangkan barang buktinya masih diperlukan untuk pembuktian perkara yang kedua. b. Ada suatu delik pelakunya lebih dari seorang, para terdakwa diperiksa secara terpisah atau perkaranya displitsing. Terdakwa pertama sudah diputus sedangkan barang buktinya masih diperlukan untuk pembuktian terdakwa yang lain. c. Perkara koneksitas, dalam hal ini satu delik dilakukan lebih dari satu orang sipil dan ABRI. Terdakwa Sipil sudah diputus oleh pengadilan, sedangkan barang buktinya masih diperlukan untuk perkara yang terdakwanya ABRI.

2.3 Pihak yang Bertanggungjawab Atas Barang Bukti dalam Upaya Hukum Biasa Dan

Luar Biasa. Afiah 1998:208, dalam bukunya Barang Bukti Dalam Proses Pidana menjelaskan bahwa KUHAP membagi upaya hukum menjadi 2 bagian yaitu: 1. Upaya hukum biasa terdiri dari: a. Banding; b. Kasasi. 2. Upaya hukum luar biasa terdiri dari: a. Kasasi demi kepentingan hukum; b. Peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dengan adanya permintaan pemeriksaan perkara ke pengadilan yang lebih tinggi, sesuai dengan kewenangan masing-masing yang telah ditentukan oleh Undang-undang, maka tanggungjawab yuridis atas segala sesuatu yang berkenaan dengan perkara tersebut akan beralih. Yaitu, dari Pengadilan Negeri kepada Pengadilan Tinggi, atau Mahkamah Agung yang memeriksa perkara tersebut. Demikian pula halnya dengan barang bukti, berdasarkan Pasal 44 ayat 1 dan ayat 2 jo Pasal 30 ayat 2 dan ayat 3 PP Nomor 27 Tahun 1983 tanggung jawab yuridis ada pada pejabat yang memeriksa perkara tersebut. Jadi dalam tingkat pemeriksaan banding tangungjawab yuridis atas benda sitaan ada pada Hakim Pengadilan Tinggi. Sedangkan tanggung jawab yuridis atas barang bukti apabila perkara tersebut dalam tingkat kasasi ada pada hakim Mahkamah Agung yang memeriksa perkara tersebut. Demikian halnya dengan pemeriksaan kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tangung jawab yuridis atas benda sitaan tersebut ada pada hakim Mahkamah Agung yang memeriksa perkaranya, sedangkan tanggung jawab administrasi dan fisik atas benda tersebut terletak pada Kepala RUPBASAN Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara. Surat Keputusan Jaksa Agung RI yang berlaku di Indonesia adalah Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP-132J.Al 11994 tanggal 7 November 1994 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung R.I Nomor: KEP.120J.A121992 tanggal 31 Desember 1992 tentang Adminstrasi Perkara Tindak Pidana. Menurut Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia bahwa yang dimaksud dengan administrasi perkara tindak Pidana adalah: Bagian dari administrasi umum Kejaksaan yang meliputi segala kegiatan administrasi yang mengelola perkara tindak pidana umum dan perkara tindak pidana khusus mengenai: perkara, tahan, benda sitaan, barang bukti, barang rampasan, barang temuan dan hasil dirias, baik secara teknis yuridis merupakan bagian tak terpisahkan dari berkas perkara maupun hanya merupakan pencatatan proses penanganan berbentuk surat-surat, register dan laporan sesuai dengan bentuk dan kode yang ditentukan. Proses pemeriksaan barang bukti pada kejaksaan dilakukan sebagai berikut: Jaksa Penuntut Umum mencocokkan barang-barang tersebut dengan yang tercantum dalam daftar barang bukti sebagaimana terlampir dalam berkas perkara dengan disaksikan oleh Penyidik dan tersangka. Menurut Instruksi Jaksa Agung Rl. Nomor: 1NS-006J.A71986 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Administrasi Teknik Yustisial Perkara Pidana Umum, penelitian mengenai barang bukti tersebut meliputi: a. Jenis macamnya b. Jumlah. Kesatuannya c. Mutukadarnya Penelitian dilakukan dengan bantuan tenaga ahli atau laboratorium. Seperti yang diperlukan untuk mengetahui tentang mutukadar logam mulia, narkotika, obat-obatan dan barang bukti lain yang bersifat khusus. Pelaksanaan penelitian tersangka dan barang bukti tersebut masing- masing dibuatkan Berita Acara dengan menggunakan formulir BA-18 dan ditandatangani oleh Penuntut umum dan Penyidik yang menyaksikan acara itu. Barang sitaan yang dibuka dilakukan pembungkusan dan penyegelan kembali, semua benda sitaan yang diserahkan kepada Penuntut Umum diberi Label Barang Bukti Kejaksaan B-10, yang mencantumkan keterangan sebagai berikut: a. Nomor register barang bukti b. Nomor register perkara c. Nama tersangka d. Tanggal berita acara penelitian tersebut.

2.4 Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan.

Hal-hal yang dieksekusi oleh jaksa adalah yang menyangkut terpidana, barang bukti dan putusan ganti kerugian. Maka yang akan diuraikan hanya mengenai pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang berkenaan dengan barang bukti.

2.4.1 Terhadap Terdakwa yang Dikenakan Pidana.

Hal-hal yang dieksekusi oleh jaksa adalah yang menyangkut terpidana barang bukti dan putusan ganti kerugian. Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap terpidana tentunya tergantung pada amar putusannya, masing- masing sebagai berikut: a. Pidana mati: pelaksanaannya tidak dilakukan dimuka umum dan menurut ketentuan Undang-Undang Pasal 271 KUHAP Pidana penjarakurungan: pelaksanaan pidananya itu dijalankan berturut-turut dimulai dengan pidana yang dijatuhkan terlebih dahulu. Jadi dilaksanakan secara berkesinambungan diantara pidana yang satu dengan yang lain Pasal 272 KUHAP b. Pidana denda: kepada terpidana diberikan jangka waktu satu bulan untuk membayar denda tersebut kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang harus seketika dilunasi Pasal 273 ayat 1 KUHAP jika ada alasan kuat, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang paling lama satu bulan Pasal 273 ayat 2 KUHAP c. Pidana bersyarat: pelaksanaanya dilakukan dengan pengawasan serta pengamatan yang sungguh-sungguh dan menurut ketentuan Undang-Undang Pasal 276 KHUAP Setelah melaksanakan putusan pengadilan tersebut Jaksa membuat dan menandatangani berita acara pelaksanaan putusan pengadilan dan menurut Pasal 278 KUHAP tembusanya dikirimkan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan dan terpidana, serta Pengadilan Negeri yang bersangkutan, dan selanjutnya panitera mencatatnya dalam register pengawasan dan pengamatan. Berdasarkan Pasal 277 jo Pasal 280 KUHAP hakim pengawas dan pengamat pada Pengadilan Negeri yang bersangkutan melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap pelaksanaan putusan Pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan guna memperoleh kepastian bahwa putusan Pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya.

2.4.2 Terhadap Barang Bukti

Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain dapat dikembalikan dalam hal perkara tersebut dihentikan penyidikan atau penuntutannya, akan tetapi dapat juga dikembalikan kepada yang berhak sebelum perkara itu mempunyai kekuatan hukum tetap, baik perkara tersebut masih ditingkat penyidikan, penuntutan maupun setelah diperiksa disidang pengadilan. Dasar pengembalian benda tersebut adalah karena diperlukan untuk mencari nafkah atau sumber kehidupan. Hanya bedanya Pasal 194 ayat 3 KUHAP dengan tegas menyebutkan bahwa pengembalian barang bukti tersebut, antara lain barang tersebut dapat dihadapkan ke pengadilan dalam keadaan utuh. Penyerahan barang bukti berdasarkan Pasal 194 ayat 2 KUHAP, khususnya terhadap barang bukti yang dapat diangkut atau dibawa kepersidangan. Penyerahan barang bukti tersebut tanpa melalui jaksa karena pengertiannya, penyerahan barang bukti itu merupakan tindakan hakim. Dengan kata lain karena bertanggung jawab secara yuridis atas benda sitaan barang bukti tersebut, adalah hakim dengan demikian hakim berwenang menyerahkan barang bukti tersebut kepada dari siapa benda tersebut disita atau kepada orang yang berhak. Penyerahan barang bukti tersebut harus dengan berita acara, sebagai bukti otentik bahwa barang bukti sudah diserahkan, apabila benda tersebut berada atau disimpan di RUPBASAN. Dalam hal ini, kita berpedoman pada Pasal 10 Peraturan Menteri Kehakiman Nomor : M.05.UM.01.06 Tahun 1983 tanggal 16 Desember 1983, bahwa pengeluaran benda tersebut harus berdasarkan putusan pengadilan. Dalam pengeluaran benda sitaan barang bukti tersebut, petugas RUPBASAN harus: a. Meneliti putusan pengadilan yang bersangkutan. b. Membuat berita acara yang tembusannya harus disampaikan kepada instansi yang menyita. c. Mencatat dan mencoret benda sitaan negara tersebut dari daftar yang tersedia. Sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap: Berdasarkan Pasal 194 ayat 3 KUHAP, perintah penyerahan barang bukti dilakukan tanpa disertai dengan syarat apapun. Jaksa penuntut umum yang ditunjuk berdasarkan surat perintah Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan segera melaksanakan pengembalian barang bukti. Apabila RUPBASAN belum terbentuk, dalam hal ini maka jaksa yang bersangkutan melaksanakan pengembalian benda tersebut dengan membuat berita acaranya, serta ditandatangani oleh Jaksa Penuntut Umum yang bersangkutan, yang menerima barang bukti dan para saksi yang menyaksikan acara pelaksanaan pengembalian barang bukti. Selanjutnya Jaksa Penuntut Umum yang bersangkutan melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Kepala Kejaksaan Negeri dengan melampirkan berita acaranya biasanya dalam acara atau perkara singkat, setelah sidang ditutup Jaksa Penuntut Umum langsung mengembalikan bukti tersebut kepada orang yang berhak yang namanya tercantum dalam putusan pengadilan tersebut, jika ia hadir dalam persidangan itu, pengembalian barang bukti tersebut dilakukan dengan berita acara. Selanjutnya dalam Pasal 39 KUHP yang berbunyi sebagai berikut: 1 Barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan dapat dirampas. 2 Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja, atau karena pelanggaran, dapat juga dirampas seperti diatas, tetapi hanya dalam hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang. 3 Perampasan dapat juga dilakukan terhadap orang yang bersalah yang oleh hakim diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita. Apabila kita melihat ketentuan Pasal 191 KUHAP maka yaitu: 1 Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di siding, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. 2 Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang di dakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan 3 Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2, terdakwa yang ada dalam status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga kecuali karena ada alasan lain yang sah, terdakwa perlu ditahan. Dan bunyi Pasal 193 KUHAP yaitu: 1 Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. 2 a.Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dalat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan pasal 21 KUHAP dan terdapat alas an cukup untuk itu. b.Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dalam menjatuhkan putusannya, dapat menetapkan terdakwa tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat alas an cukup untuk itu. Bahwa putusan bebas apabila ditinjau dari segi yuridis ialah putusan yang dinilai oleh majelis Hakim yang bersangkutan: a. Tidak memenuhi asas pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif. Dari hasil pembuktian yang diperoleh di persidangan, tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan sekaligus pula kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti tadi tidak diyakini oleh hakim. b. Tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian. Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Dalam hal putusan yang mengandung pembebasan terdakwa, maka terdakwa yang berada dalam status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga, kecuali ada alasan lain yang sah misalnya terdakwa masih tersangkut perkara lain. a. Putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum. Pasal 191 ayat 2 KUHAP menyatakan : Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Terdakwa dilepas dari segala tuntutan hukum dapat disebabkan: 1. Apa yang didakwakan kepada terdakwa cukup terbukti secara sah, baik dinilai dari segi pembuktian menurut Undang-undang maupun dari segi pembuktian menurut Undang-undang maupun dari segi batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Akan tetapi perbuatan yang terbukti tadi tidak merupakan tindak pidana, tegasnya perbuatan yang didakwakan dan telah terbukti tadi tidak diatur dan tidak termasuk ruang lingkup hukum pidana tetapi mungkin masuk dalam ruang lingkup hukum perdata, hukum asuransi, hukum adat, atau hukum dagang. 2. Adanya keadaan-keadaan istimewa yang menyebabkan terdakwa tidak dapat dihukum. Misalnya: a. Terdakwa sakit atau cacat jiwanya Pasal 44 KUHP b. Keadaan memaksa Overmacht Pasal 48 KUHP c. Pembelaan terpaksa Noodweer Pasal 49 KUHP d. Melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Pasal 50 KUHP e. Melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang Pasal 51 KUHP. Terhadap putusan bebas dan putusan yang melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum menurut Pasal 67 KUHAP tidak dapat dimintakan banding. Mengenai apa yang dimaksud dengan putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak dijelaskan lebih lanjut oleh Undang-Undang. Dalam Instruksi Jaksa Agung RI nomer: INS-006J.A71986, disebutkan bahwa putusan memperoleh kekuatan hukum tetap yaitu jika setelah putusan pengadilan diucapkan diberitahukan secara sah menurut hukum, terdakwa dan Penuntut Umum menerima putusan atau tenggang waktu berpikir dilampaui dan tidak digunakan upaya hukum. Didalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan - Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 33 ayat 4, mengatur juga tentang pelaksanaan putusan hakim yang didasarkan pada keadilan dan perikemanusiaan. Hal ini mengandung arti, bahwa dalam pelaksanaan tersebut tidak boleh merugikan terpidana yang harus menjalani pidanannya baik yang berupa kerugian materiil maupun moril. Kerugian materiil dimaksud antara lain pemakaian barang-barang milik terpidana yang dipergunakan sebagai barang bukti yang kemudian tidak dikembalikan sedangkan kerugian moril antara lain berupa penyiksaan atau penganiayaan terhadap diri terpidana selama ia menjalani pidananya. Berkaitan dengan pelaksanaan putusan hakim bahwa: Pelaksanaan putusan hakim tersebut panitera mengirimkan salinan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap kepada Kejaksaan Negeri, kemudian Kepala kejaksaan Negeri menunjuk satu atau beberapa orang Jaksa untuk melaksanakan eksekusi, biasanya pelaksanaan cukup didiposisikan kepada kepala Seksi sesuai pembidangannya kemudian kepala seksi meneliti amar putusan yang akan dilaksanakan, setelah itu menyiapkan surat perintah pelaksanaan putusan hakim dilengkapi dengan laporan putusan hakim dan putusannya ditentukan rentutnya dan bukti pelaksanaan putusan hakim berkenaan dengan pidana, barang bukti dan biaya perkara Marpaung,1992:493. 26

BAB 3 METODE PENELITIAN

Penelitian adalah “Usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah” Soetrisno Hadi, 1993:4. Sedangkan “metodologi” berasal dari kata metode yang berarti “jalan ke”. Metodologi penelitian dapat diartikan, “sebagai suatu cara atau jalan yang harus digunakan untuk tujuan menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan” Soekanto,1986: 5. Metode pada hakikatnya merupakan prosedur dalam memecahkan suatu masalah dan untuk mendapatkan pengetahuan secara ilmiah, kerja seorang ilmuwan akan berbeda dengan kerja seorang awam. Seorang ilmuwan selalu menempatkan logika serta menghindarkan diri dari pertimbangan subyektif. Sebaliknya bagi awam, kerja memecahkan masalah lebih dilandasi oleh campuran pandangan perorangan ataupun dengan apa yang dianggap sebagai masuk akal oleh banyak orang Sunggono, 2006:43. Metode disini diartikan sebagai suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam proses penelitian. Sedangkan penelitian itu sendiri diartikan sebagai sebagai upaya dalam bidang Ilmu Pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati dan sistematis untuk mewujudkan kebenaran Mardalis,2004:24. Metode penelitian digunakan penulis dengan maksud untuk memperoleh data yang lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Adapun metode penelitian yang akan penulis gunakan adalah Metode Kualitatif dengan pendekatan Yuridis sosiologis. Metode ini didasarkan pada hal-hal sebagai berikut:

3.1 Metode pendekatan

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan y uridis sosiologis.Yuridis sosiologis merupakan ”suatu pendekatan selain menggunakan asas dan prinsip hukum dalam meninjau, melihat dan menganalisa masalah yang terjadi” Soekanto,1997:10.

3.2 Spesifikasi penelitian

Spesifikasi dalam penelitian ini adalah deskriptif, yaitu “melukiskan atau menggambarkan gejala atau peristiwa hukum dengan tepat dan jelas” Soemitro,1983:11. Deskriptif digunakan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang keadaan atau gejala-gejala lainnya. Dengan demikian deskriptif mempunyai tujuan untuk melukiskan atau memberikan gambaran tentang dasar-dasar penegak hukum dalam melaksanakan pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam kasus pidana.

3.3 Lokasi Penelitian

Untuk menunjang informasi tentang “Pelaksanaan pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana ”, maka penulis memilih melakukan penelitian langsung ke Kejaksaan Negeri Semarang, dan RUPBASAN Semarang.

3.4 Sumber data Penelitian

”Sumber data penelitian adalah sumber dari mana data dapat diperoleh” Meloeng,2000:114. Sumber data merupakan masalah yang perlu diperhatikan dalam setiap penelitian ilmiah, agar diperoleh data yang lengkap, benar, dan dapat dipertanggungjawabkan. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

3.4.1 Data Primer sebagai data utama

Penelitian hukum untuk keperluan hukum diperlukan keberadaan bahan hukum non hukum da pat membantu berupa: ”wawancara untuk mengumpulkan bahan-bahan non hukum, maka digunakan teknik alat dan teknik pengumpulan data tertentu” Marzuki,2006:16. ”Penelitian disamping perlu menggunakan metode yang tepat juga perlu memiliki teknik dan alat pengumpul data yang relevan agar memungkinkan diperoleh data yang objektif ” Rachman,1997:77. “Sumber data primer diperoleh dari hasil penelitian dilapangan secara langsung dengan pihak -pihak yang mengetahui persis masalah yang akan dibahas ” Arikunto,2002:107. Jadi data primer diperoleh dari data di lapangan atau dari penelitian di masyarakat, disamping informan dan responden, juga berupa data-data hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan, yaitu data-data hasil penelitian dari Kejaksaan Negeri Semarang, serta tokoh akademisi yang terkait dengan permasalahan penelitian ini. Pendekatan sosiologis berarti “penelitian ini akan mengidentifikasi hukum dan efektifitas hukum” Soekanto,1986: 51. Artinya penelitian ini adalah kajian untuk melihat realitas sosial atau kenyataan yang hidup dalam masyarakat dari sudut pandang hukum, di mana hukum mengatur ketentuan mengenai apa yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan. Sedangkan pendekatan secara yuridis berarti “penelitian ini mencakup penelitian terhadap azas-aza shukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, sejarah hukum, dan perbandingan hukum” Soekanto,1986: 51.

3.4.2 Data Sekunder sebagai data pendukung

Sumber data sekunder yaitu “sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data” Sugiyono, 2007:225. MenurutArikunto 2002:107 bahwa “untuk memperoleh sumber data sekunder penulis menggunakan teknik dokumentasi. Dokumentasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber tertulis yang berupa buku, sumber arsip, dokumen pribadi, dan dokumen resmi ”. ”Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum,dan komentar-komentar hukum atas pengadilan ” Marzuki, 2006:95.Data sekunder adalah ”data dari penelitian kepustakaan dimana dalam data sekunder terdiri dari 3 tiga bahan hukum, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, yaitu sebagai berikut: ” Marzuki, 2006:95. a. Bahan Hukum Primer, adalah bahan hukum yang sifatnya mengikat. Berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas, yaitu meliputi: 1. Undang-Undang Nomor 01 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 2. Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 4. Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP-558AJ.A122003. Tentang Perubahan Atas Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia, Nomor: KEP-225AJ.A2003 tentang Perubahan Atas Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia, Nomor: KEP-115AJ.A101999 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia. 5. Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomer: KEP-132J.A111994 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung R.I Nomor: KEP-120J.A121992 tanggal 31 Desember 1992 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana. 6. Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP-033JA31993. tentang Eksaminasi Perkara. b. Bahan hukum sekunder, adalah bahan hukum yang sifatnya menjelaskan bahan hukum primer, dimana bahan hukum sekunder berupa buku literatur, hasil karya sarjana meliputi skripsi, tesis dan desertasi serta literatur lain seperti website-website tentang pelaksanaan pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana. c. Bahan hukum tersier, adalah bahan hukum sebagai pelengkap kedua bahan hukum sebelumnya, yaitu berupa: 1. Kamus Hukum; 2. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

3.5 Metode pengumpulan data

Untuk memperoleh data penelitian, akan dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik sebagai berikut :

3.5.1 Studi Kepustakaan

Penelitian pustaka library research, melalui penelitian ini penulis berusaha mempelajari buku-buku, majalah, surat kabar, serta beberapa peraturan perundang- undangan yang ada hubungannya dengan materi skripsi, selanjutnya mengutip dan menerjemahkan bagian-bagian tertentu yang mempunyai kaitan dengan materi skripsi Rachman, 1997:77. Studi kepustakaan adalah penelaahan bahan-bahan kepustakaan, dengan cara membaca dan mencatat literatur-literatur terkait. Studi kepustakaan digunakan untuk memperoleh data sekunder yaitu dengan membaca dan mencermati aturan-aturan hukum, dan buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan, serta mempelajari literatur-literatur lainnya yang kemudian berdasarkan studi pustaka tersebut selanjutnya dapat diperoleh aturan-aturan hukum yang sesuai dalam mengatur permasalahan yang sedang di teliti. Rachman,1997:77 Untuk keperluan analisis kualitatif, peneliti akan mengambil beberapa contoh pelaksanaan pengambilan barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana dan kemudian dianalisis dengan data sekunder yang telah di peroleh dari studi kepustakaan serta buku- buku yang berkaitan dengan objek penelitian. Sehingga dari analisis tersebut dapat diperoleh kesimpulan atas permasalahan yang sedang diteliti.

3.5.2 Dokumentasi

Dokumentasi yaitu metode yang digunakan untuk mencari data mengenai hal –hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, notulen rapat, legger, agenda dan lain sebagainya Arikunto,1998: 236. Dokumentasi dilakukan dengan cara mencatat dokumen atau arsip-arsip yang berkaitan dan dibutuhkan pada penelitian ini serta bertujuan untuk mencocokan dan melengkapi data primer, dalam hal ini adalah yang berkaitan dengan pelaksanaan pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana.

3.5.3 Wawancara

“Wawancara adalah teknik pengumpulan data melalui proses tanya jawab lisan yang berlangsung satu arah, artinya pertanyaan datang dari pihak yang mewawancarai dan jawaban diberikan oleh yang diwawancara” Fathoni, 2006 : 105. Wawancara ini diadakan secara langsung kepada pihak-pihak yang terkait dan berwenang memberikan informasi yakni jaksa yang khususnya di Kejaksaan Negeri Semarang dalam penentuan pelaksanaan pengembalian barang bukti, serta para petugas RUPBASAN yang berkompeten untuk menyampaikan informasi yang diperlukan kepada peneliti.

3.6 Metode Analisis Data

Dalam melakukan penelitian hukum dilakukan langkah-langkah seperti: mengidentifikasi masalah fakta-fakta hukum dan hal-hal yang tidak relevan terhadap isu hukum yang hendak dipecahkan; menyimpulkan bahan-bahan hukum yang mempunyai relevansi dengan bahan-bahan non hukum, melakukan telaah atas isu hukum yang di kumpulkan: menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab isu hukum dan memberi perskripsi berdasarkan argumentasi yang dibangun dalam kesimpulan Marzuki, 2006:171. Setelah data terkumpul dari hasil pengamatan data, maka diadakan suatu analisis data untuk mengolah data yang ada. Analisa data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat di temukan tema dan di temukan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data Moleong, 2002:103. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola,kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data Moleong, 2000:103. Menurut Milles dan Huberman dalam Rachman 1999:120. Tahapan analisis data adalah sebagai berikut: 1. Pengumpulan data Peneliti mencatat semua data secara objektif dan apa adanya sesuai dengan hasil observasi dan wawancara di lapangan. 2. Reduksi Data Yaitu memilih hal-hal pokok yang sesuai dengan fokus penelitian. Dimana reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi. Data-data yang telah direduksi memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan dan mempermudah peneliti untuk mencarinya sewaktu - waktu diperlukan. 3. Penyajian Data Penyajian data berupa sekumpulan informasi yang telah tersusun yang member kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. 4. Penarikan Kesimpulan atauVerifikasi Sejak semula peneliti berusaha mencari makna dari data yang di peroleh. Untuk itu, peneliti berusaha mencari pula, model, tema, hubungan, persamaan, hal-hal yang sering muncul, hipotesis dan sebagainya. Verifikasi dapat dilakukan dengan singkat yaitu dengan cara mengumpulkan data baru. Dalam pengambilan keputusan, didasarkan pada reduksi data dan penyajian data yang merupakan jawaban atas masalah yang diangkat dalam penelitian. Tahap ananalisis data kualitatif diatas dapat dilihat dalam gambar dibawah ini: Bagan 5 lima : Analisis Data Kualitatif Sumber: Milles dan Huberman dalam Rachman 1999:120 Keempat komponen tersebut saling mempengaruhi dan terkait. Pertama-tama peneliti melakukan penelitian dilapangan dengan menggunakan wawancara atau observasi yang disebut tahap pengumpulan data. Karena data yang di kumpulkan banyak maka diadakan reduksi data, setelah direduksi kemudian diadakan sajian data, selain itu pengumpulan data juga di gunakan untuk penyajian data, selain itu pengumpulan data juga di gunakan untuk penyajian data. Apabila ketiga tahapan tersebut selesai dilakukan, maka diambil kesimpulan. Pengumpulan Data Penyajian Data Reduksi Data Penarikan kesimpulan verifikasi

3.7 Keabsahan Data

“Pemeriksaan keabsahan data ini diterapkan dalam rangka membuktikan kebenaran temuan hasil penelitian dengan kenyataan dilapangan. ” Moleong,2000:75, untuk memeriksa keabsahan data pada penelitian kualitatif antara lain digunakan taraf kepercayaan data credibility. Teknik yang digunakan untuk melacak credibility dalam penelitian ini adalah teknik tringulasi triangulation. “Triangulasi adalah teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data ini ”Moleong,2000:178. Proses pemeriksaan data dalam penelitian ini dilakukan dengan mengecek dan membandingkan data hasil wawancara dengan data hasil observasi dan data pelengkap lainnya. Triangulasi yang digunakan antara lain sebagai berikut : 1. Triangulasi dengan sumber yaitu membandingkan dan mengecek baik kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui alat dan waktu yang berbeda dalam metode kualitatif. 2. Memanfaatkan pengamat lainnya untuk keperluan pengecekan kembali derajat kepercayaan data dari pemanfaatan pengamat akan membantu mengurangi bias dalam pengumpulan data. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik triangulasi sumber. Menurut Patton dalam bukunya Moleong,2000:178. Triangulasi dengan sumber dapat ditempuh dengan jalan sebagai berikut: 1. Membandingkan data hasilpengamatandenganhasilwawancara. 2. Membandingkan dengan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi. 3. Membandingkan apa yang dikatakan oleh seseorang sewaktu diteliti dengan sepanjang waktu. 4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang, seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan, orang berada, pejabat pemerintah. 5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. Bagan triangulasi pada pengujian validitas data dapat digambarkan sebagai berikut: Bagan 4 empat : Triangulasi Data Sumber: Moleong, 2000:178 Berdasarkan pendapat Moleong diatas, maka penulis melakukan perbandingan data yang telah diperoleh. Yaitu data-data sekunder hasil kajian pustaka akan dibandingkan dengan data-data primer yang diperoleh di fakta-fakta yang ditemui lapangan. Sehingga kebenaran dari data yang diperoleh dapat dipercaya dan meyakinkan. Peneliti melakukan validasi sendiri dengan memperhatikan hal-hal, diantaranya: a. Pemahaman peneliti terhadap metode penelitian kualitatif; b. Kesiapan peneliti untuk memasuki obyek penelitian secara akademik maupun logistik. Teknik yang berbeda Waktu yang berbeda Data Sama Data valid Sumber yang berbeda 37

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Kejaksaan Negeri Semarang dan RUPBASAN Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara Kejaksaan R.I. adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya di bidang penuntutan. Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan negara khususnya dibidang penuntutan, dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan. Mengacu pada Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 yang menggantikan UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan R.I., Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme KKN. Di dalam UU Kejaksaan yang baru ini, Kejaksaan RI sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang membawahi enam Jaksa Agung Muda serta 31 Kepala Kejaksaan Tinggi pada tiap provinsi. UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia juga mengisyaratkan bahwa lembaga Kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa. Karena Kejaksaan berada di poros dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan. Sehingga, Lembaga Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara Dominus Litis, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana executive ambtenaar. Selain berperan dalam perkara pidana, Kejaksaan juga memiliki peran lain dalam Hukum Perdata dan Tata Usaha Negara, yaitu dapat mewakili Pemerintah dalam Perkara Perdata dan Tata Usaha Negara sebagai Jaksa Pengacara Negara. Jaksa sebagai pelaksana kewenangan tersebut diberi wewenang sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan, dan wewenang lain berdasarkan Undang-Undang. Kejaksaan negeri adalah lembaga kejaksaan yang berkedudukan di ibukota kabupaten kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan kabupaten kota. Kejaksaan Agung, kejaksaan tinggi berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi, dan kejaksaan negeri merupakan kekuasaan negara khususnya di bidang penuntutan, di mana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan. Kejaksaan negeri dipimpin oleh kepala kejaksaan negeri, yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan di daerah hukumnya. Kejaksaan negeri dibentuk dengan keputusan presiden atas usul Jaksa Agung. Dalam hal tertentu di daerah hukum kejaksaan negeri dapat dibentuk cabang kejaksaan negeri, yang dibentuk dengan keputusan Jaksa Agung. Gedung Kejaksaan Negeri Semarang terletak di Jl. Abdul Rahman Saleh No. 5-9 Semarang, Jawa Tengah. Dalam penanganan terdakwa, setelah berkas dari pihak penyidik P-21 dinyatakan lengkap oleh jaksa, masih ada tahap berikutnya dan tahapan itu terdiri dari: 1. Berkas yang telah dinyatakan P-21 oleh jaksa. 2. Bawa Barang Bukti. 3. Dihadirkan tersangka tetapi setelah pemeriksaan, tersangka dititipkan ke Rutan. Setelah selesai, barulah jaksa membuat surat dakwaan dan segera dilimpahkan ke Pengadilan Negeri. Waktu pada saat dilimpahkan ke PN itu waktunya sekitar 2 minggu. Pengadilan Negeri menerima surat dakwaan yang diserahkan ke Panitera dan membuat jadwal untuk membuat hari sidang. Setelah penetapan hari sidang dari Pengadilan Negeri disampaikan kepada Jaksa, dan Jaksa menyampaikan kepada terdakwa. Setelah melakukan penyitaan atas benda yang bersangkutan dalam tindak pidana,maka benda tersebut harus diamankan oleh penyidik dengan menempatkannya dalam suatu tempat yang khusus yaitu menyimpan benda-benda sitaan Negara. Pasal 44 ayat 1 KUHAP menyebutkan bahwa benda sitaan disimpan dalam rumah penyitaan benda sitaan Negara. Dengan berlakunya KUHAP, timbul suatu lembaga baru yang dikena nama RUPBASAN Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, yaitu tempat penyimpanan benda yang disita oleh Negara untuk keperluan proses peradilan pasal 1 butir 3 PP No. 27 tahun 1983. Tugas RUPBASAN adalah Melakukan Penyimpanan Benda Sitaan dan Barang Rampasan Negara. Fungsi RUPBASAN yaitu sebagai berikut: berita acara pelaksanaan penetapa hakim BA –6 dan membuat berita acara pengambilan – Orang yang dijelaskan dalam isi petikan putusan RUPBASAN a Melakukan pengadministrasian benda sitaan dan barang rampasan Negara; b Melakukan pemeliharaan dan mutasi benda sitaan dan barang rampasan Negara; c Melakukan pengamanan dan pengelolaan RUPBASAN

4.1 Pelaksanaan Pengembalian Barang Bukti Oleh Jaksa Dalam Perkara Pidana

Dari hasil penelitian yang dilakukan di Kejaksaan Negeri Semarang, bahwa pelaksanaan pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana adalah sebagai berikut: HAKIM Surat Petikan Jaksa Putusan inkracht putusan yang sudah mendapatkan kekuatan hukum tetap Bagan.1 .Mekanisme pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana Dari keterangan yang diberikan oleh Bapak Hardi selaku jaksa bagian barang bukti yang menjelaskan tentang pelaksanaan pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana adalah seperti bagan mekanisme pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana tersebut dan penjelasan dari bagan mekanisme pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana adalah: “Perkara yang sudah mendapatkan putusan inkracht putusan yang sudah mendapatkan kekuatan hukum tetap lalu hakim menbuat surat petikan putusan, petikan putusan keluar 1 satu minggu setelah putusan inkracht putusan yang sudah mendapatkan kekuatan hukum tetap. Petikan putusan tersebut lalu diberikan kepada jaksa agar jaksa langsung membuat berita acara pelaksanaan penetapan hakim BA - 6 dan membuat berita acara pengambilan barang bukti BA - 20 . Setelah itu berita acara pelaksanaan penetapan hakim BA - 6 dan membuat berita acara pengambilan barang bukti BA - 20 diberikan kepada orang yang sudah disebutkan atau dijelaskan dalam isi petikan putusan yang ditetapkan oleh hakim. Karena berita acara pelaksanaan penetapa hakim BA - 6 dan membuat berita acara pengambilan barang bukti BA - 20 untuk mengambil barang bukti yang di sebutkan dalam isi petikan putusan di Kejaksaan atau di RUPBASAN rumah penyimpanan benda sitaan negara. Wawancara dengan Hardi, SH sebagai jaksa bagian barang bukti, 26 November 2012, Pukul 13.00 wib. Jadi yang diterangkan oleh Bapak Hardi selaku jaksa bagian barang bukti sudah sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 46 ayat 2 KUHAP yaitu apabila perkara sudah diputus maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain. Mengenai pengembalian barang bukti yang diatur dalam Pasal 46 KUHAP yaitu menyatakan bahwa : 1 Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila: a. Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi; b. Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana; c. Perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana. 2 Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain. Perbedaan alat bukti yang sah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan barang bukti. Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP, yaitu: f. Keterangan saksi g. Keterangan ahli h. Surat i. Petunjuk j. Keterangan terdakwa Hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk alat pembuktian. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP memang tidak menyebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam pasal 39 ayat 1 KUHAP disebutkan apa-apa yang disita. Untuk kepentingan pembuktian tersebut maka kehadiran benda-benda yang tersangkut dalam suatu tindak pidana, sangat diperlukan. Benda- benda dimaksud dengan istilah “barang bukti”.Barang bukti atau corpus delicti adalah barang bukti kejahatan, meskipun barang bukti itu mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses pidana. Selain itu didalam Hetterzine in landcsh regermentHIR juga terdapat perihal barang bukti. Dalam Pasal 42 HIR disebutkan bahwa para pegawai, pejabat ataupun orang-orang berwenang diharuskan mencari kejahatan dan pelanggaran kemudian selanjutnya mencari dan merampas barang-barang yang dipakai untuk melakukan suatu kejahatan serta barang-barang yang didapatkan dari sebuah kejahatan. Penjelasan Pasal 42 HIR menyebutkan barang-barang yang perlu di-beslag diantaranya: e. Barang yang menjadi sarana tindak pidana corpora delicti f. Barang-barang yang terjadi sebagai hasil dari tindak pidana corpora delicti g. Barang-barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana instrumenta delicti h. Barang-barang yang pada umumnya dapat dipergunakan untuk membuatkan atau meringankan kesalahan terdakwa corpora delicti. Apabila benda tersebut adalah surat maka diperlukan untuk pemeriksaan surat, sebagaimana yang diatur Pasal 47 KUHAP dan Pasal 48 KUHAP, yaitu sebagai berikut: Pasal 47 KUHAP antara lain menyebutkan: 1 Penyidik berhak membuka, memeriksa dan menyita surat lain yang dikirim melalui kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan jika benda tersebut dicurigai dengan alasan yang kuat mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa, dengan izin khusus yang diberikan untuk itu dari ketua pengadilan negeri. 2 Untuk kepentingan tersebut. penyidik dapat meminta kepada kepala kantor pos dan telekomunikasi, kepala jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan lain untuk menyerahkan kepadanya surat yang dimaksud dan untuk itu harus diberikan surat tanda penerimaan. Pasal 48 KUHAP mengatur bahwa: 1 Apabila sesudah dibuka dan diperiksa, ternyata bahwa surat itu ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa, surat tersebut dilampirkan pada berkas perkara. 2 Apabila sesudah diperiksa ternyata surat itu tidak ada hubungannya dengan perkara tersebut, surat itu ditutup rapi dan segera diserahkan kembali kepada kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan lain setelah dibubuhi cap yang berbunyi telah dibuka oleh penyidik dengan dibubuhi tanggal, tanda tangan beserta identitas penyidik. 3 Penyidik dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan isi surat yang dikembalikan itu. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain dapat dikembalikan dalam hal perkara tersebut dihentikan penyidikan atau penuntutannya, akan tetapi dapat juga dikembalikan kepada yang berhak sebelum perkara itu mempunyai kekuatan hukum tetap, baik perkara tersebut masih di tingkat penyidikan, penuntutan maupun setelah di persidang pengadilan. Dasar pengembalian benda tersebut adalah karena diperlukan untuk mencari nafkah atau sebagai sumber kehidupan. Hanya bedanya Pasal 194 ayat 3 KUHAP yaitu menyatakan bahwa : 3 Perintah penyerahan barang bukti dilakukan tanpa disertai suatu syarat apapun kecuali dalam hal putusan pengadilan belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam pengembalian barang bukti sebelum mendapatkan putusan kekuatan hukum tetap tidak menyebutkan syarat-syarat pengembalian benda sitaan yang dapat dipinjam-pakaikan kepada orang atau mereka dari mana benda tersebut disita atau kepada mereka yang paling berhak, namun dalam praktek pelaksanaan, pejabat yang bertanggungjawab secara yuridis atas benda sitaan tersebut memberikan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh si penerima barang bukti tersebut. Adapun syarat yang harus dipenuhi oleh si pemohon atau orang yang berhak menerima barang bukti sesuai isi petikan putusan adalah sebagai berikut : a. Bersedia menghadapkan barang bukti itu apabila sewaktu-waktu diperlukan kembali untuk kepentingan pembuktian. b. Bersedia menjaga keutuhan barang bukti tersebut, artinya bahwa barang bukti tersebut tidak akan dirubah atau rusak atau dipendah-tangankan kepada orang lain. c. Bersedia barang bukti tersebut ditarik kembali dan bersedia dituntut menurut hukum yang berlaku apabila tidak menepati janji sebagai mana tersebut. Pada umumnya benda sitaan yang dipinjam-pakaikan adalah benda yang merupakan objek kejahatan, misalnya : mobil, sepeda motor, emas, TV, video, radio dan lain-lain. Benda yang tidak dapat dipinjam-pakaikan antara lain : a. Benda tersebut merupakan alat untuk melakukan kejahatan, misalnya : pisau, linggis, dan alat-alat lainnya. Kecuali jika jelas bahwa benda tersebut adalah milik suatu instansi, misalnya pistol yang dipakai untuk membunuh adalah milik Departemen Hankam, maka pistol tersebut dapat dikembalikan pada instansi yang bersangkutan. b. Benda tersebut merupakan hasil perbuatan jahat terdakwa, misalnya uang palsu, emas palsu dan lain-lain. c. Benda terlarang, misalnya : ganja, heroin, obat-obatan dan lain-lain. d. Benda yang kepemilikannya kurang jelas atau saling kait mengkait antar pelapor dengan orang lain. Dalam hal barang bukti masih diperlukan dalam perkara lain, maka putusan pengadilan yang berkenaan dengan barang bukti tersebut menyatakan bahwa: barang bukti masih dikuasai jaksa, karena masih diperlukan dalam perkara lain atau barang bukti dikembalikan kepada Jaksa Penuntut Umum karena masih diperlukan dalam perkara lain. Ada tiga kemungkinan yang bisa menimbulkan putusan seperti berikut: d. Ada dua delik dimana pelakunya hanya satu orang, perkara pertama sudah diputus oleh hakim sedangkan barang buktinya masih diperlukan untuk pembuktian perkara yang kedua. e. Ada suatu delik pelakunya lebih dari seorang, para terdakwa diperiksa secara terpisah atau perkaranya displitsing. Terdakwa pertama sudah diputus sedangkan barang buktinya masih diperlukan untuk pembuktian terdakwa yang lain. f. Perkara koneksitas, dalam hal ini satu delik dilakukan lebih dari satu orang sipil dan ABRI. Terdakwa Sipil sudah diputus oleh pengadilan, sedangkan barang buktinya masih diperlukan untuk perkara yang terdakwanya ABRI. Mengenai permintaan pengeluaran benda sitaan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak ditentukan jangka waktu kapan surat tersebut harus diajukan. Sedangkan permintaan pengeluaran benda sitaan untuk keperluan sidang pengadilan, menurut Pasal 9 ayat 1 Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor M.05-UM.01.06 Tahun 1983, surat tersebut harus sudah diterima oleh Kepala RUPBASAN selambat- lambatnya 1 X 24 jam sebelum hari sidang. Ketentuan ini adalah untuk mencegah adanya permintaan pengeluaran benda sitaan yang bersifat mendesak atau terburu-buru, dan pada saat sidang dimulai barang bukti yang diperlukan sudah siap untuk dihadapkan ke persidangan. Untuk mengeluarkan benda sitaan guna keperluan sidang pengadilan, petugas RUPBASAN harus: a. Meneliti surat permintaan pengeluaran benda sitaan negara b. Membuat berita acara serah terima dan menyampaikannya kepada instansi yang menyita c. Mencatat lama peminjaman benda sitaan negara, dalam register yang tersedia Benda sitaan negara hanya digunakan untuk keperluan barang bukti dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Apabila digunakan untuk kepentingan lain tentunya tindakan tersebut tidak dibenarkan. Surat penyerahan benda sitaan tersebut dilampirkan pula dengan surat perintah penyitaan, berita acara penyitaan dan atau berita acara penyisihan. Sedangkan benda sitaan yang akan diserahkan kepada RUPBASAN Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, harus sudah diberi label, dilak, distempel, sehingga mudah untuk mencocokkannya dengan surat penyerahannya, dan disamping itu tidak tertukar dengan benda lain dan mudah ditemukan bila suatu saat diperlukan. Dijelaskan dalam Pasal 27 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana yaitu: 1 Di dalam RUPBASAN ditempatkan benda yang harus disimpan untuk keperluan barang bukti dalam pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan termasuk barang yang dinyatakan dirampas berdasarkan putusan hakim; 2 Dalam hal benda sitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak mungkin dapat disimpan dalam RUPBASAN, maka cara penyimpanan benda sitaan tersebut diserahkan kepada Kepala RUPBASAN; 3 Benda sitaan disimpan di tempat RUPBASAN untuk menjamin keselamatan dan keamanannya; Menurut beberapa keterangan yang diperoleh dari ibu Kartika selaku jaksa bagian barang bukti, bahwa: “Prosedur yang diperlukan dalam pengambilan barang bukti yaitu orang yang sudah disebutkan dalam isi petikan putusan untuk mengambil surat pengantar dan surat pengambilan barang bukti untuk ditunjukkan kepada pihak RUPBASAN. Baru orang yang disebutkan dalam isi petikan putusan bisa mengambil barang bukti tersebut ke RUPBASAN Rumah Pen yimpanan Benda Sitaan Negara”. Keterangan yang diberikan ibu Kartika selaku Jaksa Bagian Barang Bukti yaitu sudah sesuai dengam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 28 ayat 2 yaitu Pengeluaran barang rampasan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dilakukan atas permintaan jaksa secara tertulis. Menjelaskan mengenai pengeluaran barang bukti dari RUPBASAN yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang dilakukan atas permintaan jaksa secara tertulis. Syarat pengambilan barang bukti dari RUPBASAN, jaksa harus membuat Surat Berita Acara Pengambilan Barang Bukti BA-20 dan Surat Pengantar Pengambilan Barang Bukti. Seperti yang dijelaskan oleh ibu Kartika selaku Jaksa Bagian Barang Bukti. 4.2 Kendala dalam Pelaksanaan Pengembalian Barang Bukti yang Disita Setelah Adanya Putusan Hakim yang Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap. Menurut keterangan yang diberikan oleh Bapak Hardi selaku jaksa bagian barang bukti mengenai kendala yang dihadapi oleh jaksa dalam pengembalian barang bukti adalah: “orang yang sudah disebutkan atau dijelaskan dalam isi petikan putusan tidak mau mengambil barang bukti tersebut, dan orang yang sudah disebutkan dalam isi petikan putusan lama dalam pengambilan barang bukti tersebut. Jadi barang bukti yang tidak diambil atau pengambilanya terlalu lama mengak ibatkan RUPBASAN menjadi penuh.” Seperti yang dijelaskan dalam Pasal 28 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.04-PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rumah Tahanan Negara dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara yaitu RUPBASAN mempunyai tugas melakukan penyimpanan benda sitaan negara dan barang rampasan negara. Pasal 29 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.04- PR.07.03 Tahun 1985 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Rumah Tahanan Negara dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara yaitu untuk menyelenggarakan tugas tersebut pada Pasal 28, RUPBASAN mempunyai fungsi: a. Melakukan pengadministrasian benda sitaan dan barang rampasan negara. b. Melakukan pemeliharaan dan mutasi benda sitaan dan barang rampasan negara c. Melakukan pengamanan dan pengelolaan RUPBASAN. d. Melakukan urusan surat menyurat dan kearsipan. Menurut keterangan yang diberikan oleh Bapak Hardi selaku jaksa bagian barang bukti mengenai langkah yang diambil jika ada kendala dalam pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana yaitu “jaksa membuat surat panggilan kepada pihak yang sudah disebutkan dalam isi petikan putusan untuk mengambil barang bukti yang disebu tkan dalam isi petikan putusan.” Benda-benda sitaan yang akan disimpan di RUPBASANRumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara itu tidak dilengkapi dengan surat penyitaan dan atau tidak cocok dengan jumlah atau jenis benda yang tercantum dalam berita acara penyitaan, maka petugas RUPBASAN dilarang untuk menerima benda sitaan tersebut. Untuk lebih jelas siapa yang menyerahkan dan menyimpan benda sitaan tersebut, maka selain pejabat yang bertanggung jawab secara yuridis, tugas RUPBASAN yang menerima benda sitaan pun harus menandatangani surat penyerahan benda sitaan tersebut. Dijelaskan dalam Pasal 27 ayat 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu Kepala RUPBASAN tidak boleh menerima benda yang harus disimpan untuk keperluan barang bukti dalam pemeriksaan, jika tidak disertai surat penyerahan yang sah, yang dikeluarkan oleh pejabat yang bertanggung jawab secara juridis atas benda sitaan tersebut. Menurut jaksa Hardi SH, sebagai jaksa bagian barang bukti tenggang waktu yang diperlukan penyimpanan barang bukti di RUPBASAN yaitu “berdasarkan putusan dari pengadilan semakin lama perkara mendapatkan putusan inkracht putusan yang sudah mendapatkan kekuatan hukum tetap maka semakin lama juga tenggang waktu yang diperlukan dalam penyimpanan barang bukti di RUPBASAN. Dalam penyimpanan barang bukti disimpan di RUPBASAN rumah penyimpanan benda sitaan negara yang sudah sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dalam Pasal 44 ayat 1 KUHAP yaitu Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara.” Berdasarkan putusan pengadilan serta surat perintah Kepala Kejaksaan Negeri, jaksa yang bersangkutan mengajukan permintaan kepada RUPBASAN agar mengeluarkan benda sitaan barang bukti yang dimaksud. Selanjutnya menurut Pasal 8 ayat 1 Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.05.UM.01.06 Tahun 1983, pihak RUPBASAN melakukan hal- hal sebagai berikut: a. Meneliti putusan pengadilan yang bersangkutan. b. Membuat berita acara serah terima yang tembusannya harus dismpaikan kepada instansi yang menyita. c. Mencatat dan mencoret benda sitaan tersebut dari daftar yang tersedia. Apabila RUPBASAN belum terbentuk, dalam hal ini maka jaksa yang bersangkutan melaksanakan pengembalian benda tersebut dengan membuat berita acaranya, serta ditandatangani oleh Jaksa Penuntut Umum yang bersangkutan, yang menerima barang bukti dan para saksi yang menyaksikan acara pelaksanaan pengembalian barang bukti. Selanjutnya Jaksa Penuntut Umum yang bersangkutan melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Kepala Kejaksaan Negeri dengan melampirkan berita acaranya biasanya dalam acara atau perkara singkat, setelah sidang ditutup Jaksa Penuntut Umum langsung mengembalikan bukti tersebut kepada orang yang berhak yang namanya tercantum dalam putusan pengadilan tersebut, jika ia hadir dalam persidangan itu, pengembalian barang bukti tersebut dilakukan dengan berita acara. Tenggang waktu yang diperlukan oleh jaksa dalam penyimpanan barang bukti yaitu “berdasarkan putusan pengadilan. Setelah adanya putusan inkracht keputusan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap jaksa langsung menjalankan tugas untuk mengembalikan barang bukti ke orang yang sudah disebutkan atau dijelaskan dalam isi petikan putusan. Jaksa akan diberikan petikan putusan lalu membuat berita acara pelaksanaan penetapan hakim BA - 6 dan membuat berita acara pengambilan barang bukti BA - 20. ” Menurut keterangan yang diperoleh dari bapak Hardi, SH, selaku jaksa bagian barang bukti: 1. “Cara mengatasi barang bukti yang mudah rusak, rapuh atau sulit pemeliharanya yaitu pihak kejaksaan dan pihak RUPBASAN tidak melakukan pemeliharaan yang lebih. Pihak kejaksaan dan pihak RUPBASAN cuma menjaga menyimpannya saja sampai dikembalikan kepada pihak yang disebutkan dalam isi petikan putusan, karena tidak ada biaya dan tenaga untuk perawatan barang bukti yang mudah rusak, rapuh atau sulit pemeliharanya. ” Keterangan yang diberikan oleh bapak Hardi selaku jaksa bagian barang bukti yang menerangkan tentang cara mengatasi barang bukti yang mudah rusak, rapuh atau sulit pemeliharanya, sudah sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 44 ayat 2 yaitu: penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggungjawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga. Dan Pasal 45 ayat 1 KUHAP yaitu : dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak atau yang membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka atau kuasanya dapat diambil tindakan sebagai berikut: a. Apabila tersangka masih ada ditangan penyidik atau penuntut umum, benda tersebut dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh penyidik atau penuntut umum, dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya. b. Apabila perkara sudah ada ditangan pengadilan, maka benda tersebut dapat diamankan atau dijual lelang oleh penuntut umum atas izin hakim yang menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya. 2. “Orang yang berhak menerima barang bukti tersebut menolak menerima barang bukti maka jaksa akan membuat surat panggilan terhadap orang yang sudah disebutkan dalam isi petikan putusan untuk mengambil barang bukti yang sudah disebutkan dalam isi petikan putusan. Jangka waktu pengambilan barang bukti kurang lebih 2 dua tahun kalau tetap tidak diambil barang bukti tersebut maka jaksa akan membuat surat keterangan kalau barang bukti tidak diambil akan dibuang atau dimusnahkan dan orang yang disebutkan dalam isi petikan putusan harus menandatangani, sebagai bukti kalau barang bukti itu akan dibuang atau dimusnahkan. ” Proses pemeriksaan barang bukti pada kejaksaan dilakukan sebagai berikut: Jaksa Penuntut Umum mencocokan barang-barang tersebut dengan yang tercantum dalam daftar barang bukti sebagaimana terlampir dalam berkas perkara dengan disaksikan oleh penyidik dan tersangka. Menurut Instruksi Jaksa Agung RI. Nomor: INS- 006J.A71986 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Administrasi Teknik Yudisial Perkara Pidana Umum, penelitian mengenai barang bukti tersebut meliputi: a. Jenismacamnya, contoh: jenismacam dari barang bukti yang disita oleh jaksa dari terdakwa atau pemiliknya, seperti: motor mereknya, rumah, mobil mereknya, suratdokumen, alat-alat yang dipergunakan dalam melakukan tindak pidana. b. Jumlahkesatuannya, yaitu jumlahbanyaknya dari barang bukti yang yang disita dari terdakwa atau pemilik barang bukti. c. Mutukadarnya, yaitu mutu kadar dari barang bukti tersebut seperti ganja yang disita dari terdakwa sebanyak 3kg. Keterangan yang diberikan oleh bapak Hardi selaku bagian barang bukti mengenai penjelasan tentang jangka waktu pengambilan barang bukti tidak sesuai dengan Instruksi Jaksa Agung RI Nomor : INS 006JA786 Tanggal 15 Juli 1986, apabila pemilik atau orang yang berhak atas barang bukti tidak datang walaupun telah dipanggil secara sah menurut hukum, dalam waktu 6 enam bulan, baik melalui surat panggilan dalam mass media, maka barang bukti tersebut dapat dijual lelang melalui Kantor Lelang Negara Instruksi presiden Nomor : 9 Tahun 1970 Tanggal 21 Mei 1970. Menurut keterangan yang diberikan oleh Bapak Hardi selaku jaksa bagian barang bukti menangani barang bukti yang berbentuk makhluk hidup dan jumlahnya tidak sedikit adalah: 1. “Jaksa akan membuat surat berita acara penitipan kepada orang yang disebutkan dalam isi petikan putusan karena jaksa tidak bisa untuk memelihara hewan yang jumlahnya banyak, jadi jaksa membuat surat berita acara penitipan barang kepada orang yang disebutkan dalam isi petikan putusan. Karena takut kalau hewan tersebut sakit atau meninggal. ” 2. “Jaksa sebelum menitipkan barang bukti kepada orang yang disebutkan dalam isi petikan putusan, jaksa mengambil foto dari barang bukti tersebut terlebih dahulu. Untuk menggantikan barang bukti yang berbentuk hewan yang jumlahnya tidak sedikit karena tidak semua hewan tersebut bisa dihadapkan di persidangan. ” 3. “Jaksa juga mengambil sempel seperti bulu dari hewan tersebut yang menjadi barang bukti. ” Keterangan yang dijelaskan oleh bapak Hardi selaku jaksa bagian barang butkti sudah sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 42 ayat 1 yaitu: penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang dapat disita, menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada yang menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda penerimaan. Barang bukti itu sangat penting arti dan peranannya dalam mendukung upaya bukti dalam persidangan, sekaligus memperkuat dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa, serta dapat membentuk dan menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan terdakwa. Itulah sebabnya Jaksa Penuntut Umum semaksimal mungkin harus mengupayakan atau menghadapkan barang bukti selengkap-lengkapnya di sidang pengadilan. Dalam Pasal 181 KUHAP mengatur mengenai pemeriksaan barang bukti dipersidangan yaitu Hakim ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda itu dengan memperhatikan ketentuan sebagai mana yang dimaksud dalam Pasal 45 KUHAP yaitu: 1 dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak atau yang membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka atau kuasanya dapat diambil tindakan sebagai berikut: a. Apabila tersangka masih ada ditangan penyidik atau penuntut umum, benda tersebut dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh penyidik atau penuntut umum, dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya. b. Apabila perkara sudah ada ditangan pengadilan, maka benda tersebut dapat diamankan atau dijual lelang oleh penuntut umum atas izin hakim yang menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya. 2 Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang dipakai sebagai barang bukti. 3 Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagaian kecil dari benda sebagaimana dimaksud dalam ayat 1. 4 Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, tidak termasuk ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, dirampas untuk dipergunakan bagi kepentingan negara atau untuk dimusnahkan. Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua sidang kepada saksi. Apabila dianggap perlu untuk pembuktian, hakim ketua sidang membacakan atau memperlihatkan surat atau berita acara kepada terdakwa atau saksi dan selanjutnya minta keterangan seperlunya tentang hal itu. “Menurut keterangan yang diberikan oleh Bapak Hardi selaku jaksa bagian barang bukti mengenai barang buktinya berbentuk makhluk hidup yang jumlahnya banyak dan tidak bisa dihadapkan kedepan sidang pengadilan, jadi jaksa hanya mengambil sampel seperti foto, bulu dari makhluk hidup tersebut. Barang bukti yang berbentuk makhluk hidup dan jumlahnya tidak sedikit tersebut dititipkan kepada orang yang disebutkan dalam isi petikan putusan, dan jaksa langsung membuat surat berita acara penititan barang bukti. Pihak kejaksaan tidak bisa menyimpan barang bukti yg berbentuk makhluk hidup dan jumlahnya tidak sedikit di RUPBASAN Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara karena takut terjadi jika ada yang mati atau sakit, jadi lebih baik dititipkan kepada orang yang sudah terdapat dalam isi petikan putusan. ” Dari keterangan yang diterangkan oleh bapak Hardi selaku jaksa bagian barang bukti sudah sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 42 ayat 1 yaitu: penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang dapat disita, menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada yang menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda penerimaan. Dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 27 ayat 4 yaitu Kepala RUPBASAN tidak boleh menerima benda yang harus disimpan untuk keperluan barang bukti dalam pemeriksaan, jika tidak disertai surat penyerahan yang sah, yang dikeluarkan oleh pejabat yang bertanggung jawab secara yuridis atas benda sitaan tersebut. Setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, berdasarkan Pasal 194 ayat 3 KUHAP, perintah penyerahan barang bukti dilakukan tanpa disertai dengan syarat apapun. Jaksa penuntut umum yang ditunjuk berdasarkan surat perintah Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan segera melaksanakan pengembalian barang bukti. Berdasarkan putusan pengadilan serta surat perintah Kepala Kejaksaan Negeri, jaksa yang bersangkutan mengajukan permintaan kepada RUPBASAN agar mengeluarkan benda sitaan barang bukti yang dimaksud. Selanjutnya menurut Pasal 8 ayat 1 Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.05-UM.01.06 Tahun 1983, pihak RUPBASAN melakukan hal- hal sebagai berikut: a. Meneliti putusan pengadilan yang bersangkutan. b. Membuat berita acara serah terima yang tembusannya harus disampaikan kepada instansi yang menyita. c. Mencatat dan mencoret benda sitaan tersebut dari daftar yang tersedia. Apabila RUPBASAN Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara belum terbentuk, dalam hal ini maka jaksa yang bersangkutan melaksanakan pengembalian benda tersebut dengan membuat berita acaranya, serta ditandatangani oleh Jaksa Penuntut Umum yang bersangkutan, yang menerima barang bukti dan para saksi yang menyaksikan acara pelaksanaan pengembalian barang bukti. Selanjutnya Jaksa Penuntut Umum yang bersangkutan melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Kepala Kejaksaan Negeri dengan melampirkan berita acaranya biasanya dalam acara atau perkara singkat, setelah sidang ditutup Jaksa Penuntut Umum langsung mengembalikan bukti tersebut kepada orang yang berhak yang namanya tercantum dalam putusn pengadilan tersebut, jika orang yang berhak yang namanya tercantum dalam putusan pengadilan hadir dalam persidangan itu maka pengembalian barang bukti tersebut dilakukan dengan berita acara. Menurut beberapa keterangan yang diperoleh dari ibu Kartika selaku jaksa bagian barang bukti: “Pelaksanaan pemusnahan barang bukti yang dirampas untuk dimusnahkan yaitu jaksa membuat surat berita acara pemusnahan harus ada instansi yang terkait seperti polisi, dinas kesehatan, jaksa, wartawan dan lain-lain. Dalam pelaksanaan pemusnahan barang bukti yang dirampas untuk Negara, tidak ada kendala dalam pelaksanaan pemusnahan barang bukti yang dirampas untuk Negara. ” Putusan hakim yang berbunyi bahwa barang bukti dirampas untuk kepentingan negara biasanya ditemui dalam perkara tindak pidana ekonomi, penyelundupan senjata api, bahan peledak, narkotika. Barang tersebut dijual lelang kemudian hasil lelang menjadi milik negara. Akan tetapi ada pula barang rampasan negara yang tidak dapat dijual lelang yaitu barang yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, karena benda tersebut tidak boleh dimiliki oleh umum. Menurut Pasal 45 ayat 4 KUHAP dan penjelasannya, “benda tersebut harus diserahkan kepada departemen yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku”. Misalnya bahan peledak amunisi atau senjata api diserahkan kepada Departemen Pertahanan dan Keamanan. Barang yang dapat dirampas untuk dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi biasanya benda tersebut merupakan alat untuk melakukan kejahatan misalnya golok untuk menganiaya korban atau linggis yang dipakai untuk membongkar rumah orang lain. Penjelasan mengenai Pasal 45 ayat 4 KUHAP diatas sudah sesuai dengan isi Pasal 45 ayat 4 KUHAP yaitu: benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, tidak termasuk ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, dirampas untuk dipergunakan bagi kepentingan negara atau untuk dimusnahkan. Menurut beberapa keterangan yang diperoleh dari ibu Kartika selaku jaksa bagian barang bukti mengenai jangka waktu yang diberikan untuk barang bukti yang harus berdasarkan putusan hakim yang sifatnya inkracht dimusnahkan yaitu “tidak bisa langsung dilaksanakan pemusnahan setiap perkara, karena Kejaksaan Negeri Semarang melaksanakan pemusnahan barang bukti dilaksanakan 2 - 4 dua sampai empat kali dalam satu tahun. Orang yang berhak menerima barang bukti adalah orang yang disebutkan dalam isi petikan putusan. ” Putusan hakim yang berkenaan dengan barang bukti adalah sebagai berikut: Dikembalikan kepada pihak yang paling berhak. Pada hakekatnya, apabila perkara sudah diputus maka benda yang disita untuk dijadikan barang bukti dalam persidangan dikembalikan kepada orang atau mereka yang berhak sebagai mana dimaksud dalam putusan hakim. Undang-undang tidak menyebutkan siapa yang dimaksud dengan yang berhak tersebut. Dengan demikian kepada siapa barang bukti tersebut dikembalikan diserahkan kepada hakim yang bersangkutan setelah mendengar keterangan para saksi dan terdakwa, baik mengenai perkaranya maupun yang menyangkut barang bukti dalam pemeriksaan sidang di pengadilan. Putusan Hakim yang berkenaan dengan barang bukti yang harus dikembalikan kepada pihak yang paling berhak, sudah sesuai dengan Pasal 46 KUHAP yaitu: 1 Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila: a. Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi; b. Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana; c. Perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana. 2 Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana. Orang yang berhak menerima barang bukti antara lain : e. Orang atau mereka dari siapa barang tersebut disita, yaitu orang atau mereka yang memegang atau menguasai barang itu pada waktu penyidik melakukan penyitaan dimana barang itu pada waktu penyidik melakukan penyitaan dimana dalam pemeriksaan di persidangan memang dialah yang berhak atas barang tersebut. f. Pemilik yang sebenarnya, sewaktu disita benda yang dijadikan barang bukti tidak dalam kekuasaan orang tersebut. Namun, dalam pemeriksaan ternyata benda tersebut adalah miliknya yang dalam perkara itu bertindak sebagai saksi korban. Hal ini sering terjadi dalam perkara kejahatan terhadap harta benda. g. Ahli waris, dalam hal yang berhak atas barang bukti tersebut sudah meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan, maka berkenaan dengan barang bukti tersebut putusan hakim menetapkan bahwa barang bukti dikembalikan kepada ahli waris atau keluarganya. h. Pemegang hak terakhir, barang bukti dapat pula dikembalikan kepada pemegang hak terakhir atas benda tersebut asalkan dapat dibuktikan bahwa ia secara sah benar-benar mempunyai hak atas benda tersebut. Menurut beberapa keterangan yang diperoleh dari ibu Kartika selaku jaksa bagian barang bukti mengenai pelaksanaan penyerahan barang bukti ke RUPBASAN dan pengambilan barang bukti oleh jaksa dari RUPBASAN yaitu syarat - syaratnya adalah : 1. “Syarat penyerahan barang bukti oleh jaksa ke RUPBASAN : a. Harus ada surat perintah kepala kejaksaan. b. Berita acara penyitaan dari polisi dikeluarkan oleh penyidik. c. Surat ijin sita dikeluarkan oleh pengadilan. d. Berita acara penitipan BA - 17 dikeluarkan oleh kejaksaan.” 2. “Syarat pengambilan barang bukti dari RUPBASAN adalah: a. Berita acara pengambilan barang bukti BA - 20. b. Surat pengantar pengambilan barang bukti.” Menurut penjelasan dari bapak Hardi selaku jaksa bagian barang bukti yang telah menjelaskan tentang struktur format dari surat-surat yang diperlukan dalam pelaksanaan pengembalian barang bukti oleh jaksa, sebagai berikut: a. Format Surat Berita Acara Pelaksanaan Penetapan Hakim BA-6 yaitu : 1. Kepala surat. 2. Hari, tanggal, bulan, tahun. 3. Identitas dari Jaksa Penuntut Umum yaitu nama Jaksa Penuntut Umum, pangkat NIP, jabatan. 4. Nomor Surat Perintah Kepala Kejaksaan Negeri Semarang. 5. Tanggal Penetapan Hakim dan Nomor Penetapan Hakim. 6. Identitas terdakwa yaitu nama, alamat. 7. Jumlah dan jenis barang bukti. 8. Penutup Surat Berita Acara Pelaksanaan Penetapan Hakim. 9. Tanda tangan orang yang menerima barang bukti di sebelah kiri bawah. 10. Tanda tangan Jaksa Penuntut Umum disebelah kanan bawah. b. Format Surat Berita Acara Pengembalian Barang Bukti BA-20 yaitu : 1. Kepala surat. 2. Hari, tanggal, tahun, dan tempat kejaksaan yang mengeluarkan surat Berita Acara Pengambilan Barang Bukti. 3. Identitas Jaksa Penuntut Umum yaitu nama, pangkat NIP, jabatan. 4. Isi Surat Berita Acara Pengembalian Barang Bukti yaitu berdasarkan: nomor surat perintah Kepala Kejaksaan Negeri Semarang, nama Terpidana, Pasal yang dikenakan untuk terdakwa, dan pernyataan bahwa barang bukti tersebut tidak diperlukan lagi untuk kepentingan penuntutan perkaranya dihentikan penuntutannya dikesampingkan untuk kepentingan umum untuk dilaksanakan putusan PN PT serta nomor surat putusan pengadilan. 5. Barang bukti apa saja yang telah dikembalikan kepada orang yang berhak menerimanya pemiliknya. 6. Identitas orang yang berhak menerima barang bukti atau pemiliknya yaitu nama, pekerjaan, alamat. 7. Penutut surat Berita Acara Pengembalian Barang Bukti. 8. Tanda tangan yang orang mengambil atau orang yang berhak menerima barang bukti tersebut di sebelah kiri surat Berita Acara Pengembalian Barang Bukti. 9. Tanda tangan saksi-saksi sebelah kiri di bawah tanda tangan orang yang mengambil barang bukti. 10. Tanda tangan yang mengembalikan barang bukti yaitu Jaksa Penuntut Umum. c. Format Surat Penetapan yaitu : 1. Kepala surat yaitu nomor surat penetapan. 2. Majelis hakim pada pengadilan negeri yang membacakan surat Penetapan Ketua Pengadilan ketua pengadilan Negeri Semarang dan surat Pelimpahan perkara dari Kejaksaan Negeri Semrang yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum. 3. Isi penetapan. 4. Tanda tangan panitera di sebelah kiri bawah dari surat Penetapan. 5. Catatan yaitu nama Hakim Ketua Majelis, nama Panitera Pengganti, nama Jaksa Penuntut Umum yang terletak di kiri bawah tanda tangan dari tanda tangan panitera. 6. Tanggal penetapan di kanan bawah surat penetapan. 7. Tanda tangn hakim ketua majelis di bawah tanggal penetapan kanan bawah surat Penetapan. d. Format Petikan Putusan yaitu : 1. Nomor surat petikan putusan. 2. Identitas terdakwa yaitu nama lengkap, tempat lahir, umur tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, pekerjaan, pendidikan. 3. Tanggal terdakwa berada dalam tahanan. 4. Isi dari mengadili yaitu menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, dan menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa, memerintahkan agar barang bukti dikembalikan kepada pemiliknya yang berhak, membebankan kepada para terdakwa untuk membayar biaya perkara masing-masing 1.000 seribu rupiah. 5. Penutup Petikan Putusan. 6. Tanda tangan hakim-hakim anggota di kiri bawah penutup petikan putusan. 7. Tanda tangan hakim ketua majelis di kanan bawah penutup petikan putusan. 8. Tanda tangan panitera pengganti di tengah bawah tanda tangan hakim-hakim anggota dan hakim ketua majelis. 9. Catatan dari surat petikan putusan di bawah tanda tangan panitera pengganti. 10. Tanda tangan patenitera di kiri bawah kiri. 11. Tanda tangan wakil panitera kanan bawah. e. Format surat pengantar penitipan barang yaitu : 1. Kepala surat yaitu kop surat, tanggal surat, alamat surat. 2. Isi surat pengantar penitipan barang di RUPBASAN. 3. Tanda tangan Kepala Kejaksaan Negeri Semarang f. Format surat pengambilan barang bukti yaitu : 1. Kepala surat yaitu kop surat, nomor surat, sifat surat, lampiran, perihal surat, tanggal surat, alamat surat. 2. Isi surat mengenai pengambilan barang bukti guna pelaksanaan eksekusi. 3. Salam penutup surat. 4. Tanda tangan dan nama terang Kepala kejaksaan Negeri Semarang di kanan bawah surat. 5. Tembusan surat di kiri bawah tanda tangan dan nama terang Kepala kejaksaan Negeri Semarang. 63

BAB 5 PENUTUP

5.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab 4 dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Pelaksanaan pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana adalah sebagai berikut: Perkara yang sudah mendapatkan putusan inkracht putusan yang sudah mendapatkan kekuatan hukum tetap lalu hakim membuat surat petikan putusan, petikan putusan keluar 1 satu minggu setelah putusan inkracht. Petikan putusan tersebut lalu diberikan kepada jaksa agar jaksa langsung membuat berita acara pelaksanaan penetapa hakim BA – 6 dan membuat berita acara pengambilan barang bukti BA – 20 . Setelah itu berita acara pelaksanaan penetapa hakim BA – 6 dan membuat berita acara pengambilan barang bukti BA – 20 diberikan kepada orang yang sudah disebutkan atau dijelaskan dalam isi petikan putusan yang ditetapkan oleh hakim. Karena berita acara pelaksanaan penetapa hakim BA – 6 dan membuat berita acara pengambilan barang bukti BA – 20 untuk mengambil barang bukti yang di sebutkan dalam isi petikan putusan di Kejaksaan atau di RUPBASAN. 2. Kendala dalam pengembalian barang bukti oleh jaksa adalah apabila orang yang sudah disebutkan atau dijelaskan dalam isi petikan putusan tidak mau mengambil barang bukti. Sehingga barang bukti yang tidak diambil atau pengambilanya terlalu lama mengakibatkan RUPBASAN menjadi penuh. Karena tidak ada Peraturan atau undang- undang yang mengatur tentang jangka waktu dalam pengambilan barang bukti, pihak kejaksaan hanya memberi jangka waktu kepada orang yang sudah disebutkan dalam isi petikan putusan untuk mengambil barang bukti. Terkadang Orang yang berhak menerima barang bukti tersebut menolak menerima barang bukti maka jaksa akan membuat surat panggilan terhadap orang yang sudah disebutkan dalam isi petikan putusan untuk mengambil barang bukti yang sudah disebutkan dalam isi petikan putusan. Jangka waktu pengambilan barang bukti kurang lebih 2 dua tahun kalau tetap tidak diambil barang bukti tersebut maka jaksa akan membuat surat keterangan kalau barang bukti tidak diambil akan dibuang atau dimusnahkan dan orang yang disebutkan dalam isi petikan putusan harus menandatangani, sebagai bukti kalau barang bukti itu akan dibuang atau dimusnahkan. 5.2 Saran Saran yang dapat penulis kemukakan berdasarkan hasil pembahasan ini adalah sebagai berikut : 1. Penambahan dan pembaharuan sarana prasarana untuk meminimalisir terjadinya penumpukan barang bukti di RUPBASAN. Meningkatkan kualitas dari para aparat penegak hukum serta agar barang bukti tidak menumpuk di kejaksaan, yang seharusnya barang bukti harus ditempatkan di RUPBASAN bukan di Kejaksaan. 2. Dibuatkan undang – undang yang mengatur mengenai jangka waktu dalam pengambilan barang bukti. 65 DAFTAR PUSTAKA Dari Buku: Afiah, Ratna nurul.1988. Barang Bukti Dalam Proses Pidana. Jakarta: Sinar Grafika Hamzah, Andi. 1993.Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Arikha Media Cipta. Marpaung, Leden. 1992. Proses Penangangan perkara Pidana, Bagian Kedua. Jakarta: Sinar Grafika. Moeljatno. 1990.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP.Bumi Aksara, Jakarta: Bumi Perkasa. Moeljatno. 1987.Azas-azas Hukum Pidana.Jakarta: Bina Aksara Moleong, Lexy J. 1988. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2005, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung. Prakoso, Djoko. 1985. Eksistensi Jaksa di Tengah-tengah Masyarakat. Jakarta: Ghalia Indonesia. Pramadya Puspa, Yan. Kamus Hukum Edisi Lengkap bahasa Belanda Indonesia Inggris. Semarang: Aneka Ilmu. Pramadya Puspa, Yan. 1993. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia , Jakarta: Akamedika Presido. .1990. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. . 1986. Kamus Hukum. Jakarta:Ghalia Indonesia. Soesilo, R. 1985. Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana KUHP serta Komentar -Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Panitera. Soemitro, Hanitijo, Ronny. 1994. Metodologi penelitian Hukum dan Jurimetr. Jakarta: Ghalia Indonesia. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 13-14. Sudarto. 1990. Hukim Pidana I cetakan ke II, Semarang: Yayasan Sudarto, Fakultas Hukum UNDIP. Yahya Harahap, M. 1986. Perubahan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid II . Jakarta : Pustaka Kartini. Dari Internet www.Kejaksaan.go.iduplimgfileKEP 013.Kepja558-2003.doc . Keputusan Kejaksaan Agung Republik Indonesia Nomor: KEP-558AJ.A122003 Tentang Perubahan Atas Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia, Nomor: KEP- 225AJ.A2003 Tentang Perubahan Atas Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia, Nomor: KEP-115AJ.A101999 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia. www.Kejaksaan.go.iduplimgfileKEP-132-JA-11-1994 tgl 7 November 1994_2.pdf Nomer : KEP-132J.A111994 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung R.I Nomor: KEP-120J.A121992 tanggal 31 Desember 1992 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana. http:hukum.unsrat.ac.idpppp_27_1983.htm http:www.google.comurl?sa=trct=jq=esrc=ssource=webcd=3sqi=2ved=0CDsQFj ACurl=http3A2F2Fwww.ditjenpas.go.id2Fpdf2Fkepmen2FKepmenkeh19 85-OrtaRutanRupbasan.pdfei=gPcIUbDRDpHirAfzjYGYCgusg=AFQjCNGmB- 3hjws27yDnOxTYLmRKve-HdAbvm=bv.41642243,d.bmk http:www.google.comurl?sa=trct=jq=esrc=ssource=webcd=2ved=0CDkQFjABurl=http3 A 2F2Fwww.kemenkumham.go.id2Fattachments2Farticle2F1472FM.01.PR.07 .04_TAHUN_2004.pdfei=YPgIUfizGIvirAeM0IGQDgusg=AFQjCNGZ- I_lAXhdZsz0ohJGlNftavHAhAbvm=bv.41642243,d.bmk Dari Undang-Undang: Undang-Undang Nomor 01 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 08 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Berita Acara Pelaksanaan Penetapan Hakim BA-6 Berita Acara Pengambilan barang bukti BA-20 Penetapan Pengadilan Negeri Semarang dengan Nomor: 739Pen.Pid2012PN.Smg Penetapan Pengadilan Negeri Semarang dengan Nomor: 41 X Pen.Pid 2012 jo No.739 Pid.B 2012 PN.Smg PN.Smg Petikan Putusan Pengadilan Negeri Semarang dengan Nomor: 741 Pid.B 2012 PN.Smg. Surat Pengantar untuk Kepala Rupbasan Semarang dari Kejaksaan Negeri Semarang dengan Nomor: TAR-1560.3.10Epp.2082012 Lampiran Penitipan Barang Bukti Surat Pengambilan Barang Bukti Untuk Rupbasan dengan Nomor: B-3916 O.3.10 Epp.3 11 2012. 68 LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1983 TENTANG PELAKSANAAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Bahwa perlu diadakan peraturan pelaksanaan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Mengingat: 1. Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209. MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA

BAB I KETENTUAN UMUM