ANALISIS PELAKSANAAN PENGEMBALIAN BARANG BUKTI TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS OLEH JAKSA (Studi di Kejaksaan Negeri Kalianda)

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PELAKSANAAN PENGEMBALIAN BARANG BUKTI TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS OLEH JAKSA

(Studi di Kejaksaan Negeri Kalianda) Oleh

Irwan Sutrisno

Pengembalian barang bukti tindak pidana yang dilakukan oleh jaksa tidak menutup kemungkinan terhadap barang bukti tindak pidana kecelakaan lalu lintas, baik yang menyebabkan hilangnya nyawa maupun luka berat. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu bagaimanakah pelaksanaan pengembalian barang bukti tindak pidana kecelakaan lalu lintas oleh jaksa? dan apakah faktor yang menghambat dalam pelaksanaan pengembalian barang bukti tindak pidana kecelakaan lalu lintas?

Metode penelitian yang digunakan melalui pendekatan yuridis normatif dan pendekatan empiris. Data dikumpulkan melalui studi kepustakaan dan studi lapangan. Narasumber dalam penelitian ini meliputi Jaksa pada Kejaksaan Negeri Kalianda, dan Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pengembalian barang bukti tindak pidana kecelakaan lalu lintas oleh jaksa yaitu perkara lalu lintas yang sudah mendapatkan putusan inkracht (putusan yang sudah mendapatkan kekuatan hukum tetap) lalu hakim membuat surat petikan putusan, petikan putusan keluar 1 (satu) minggu setelah putusan inkracht. Faktor yang dalam pelaksanaan pengembalian barang bukti tindak pidana kecelakaan lalu lintas antara lain orang yang sudah disebutkan atau dijelaskan dalam isi petikan putusan tidak mau atau terlambat mengambil barang bukti, penolakan dari orang yang berhak menerima barang bukti, dan adanya upaya banding dan kasasi baik oleh Jaksa Penuntut Umum maupun terdakwa sendiri serta rendahnya budaya hukum masyarakat.

Saran yang disampaikan yaitu jaksa selaku eksekutor hendaknya dalam melakukan pencatatan terhadap barang bukti dengan jeli dan teliti sebelum dititipkan pada Rupbasan, sehingga tingkat keamanan barang bukti dapat terjaga dan akan meminimalisir adanya komplain atau keluhan dari orang yang berhak menerima barang bukti.


(2)

(3)

ABSTRACT

AN ANALYSIS OF THE IMPLEMENTATION REPAYMENT OF EVIDENCE IN THE CRIMES TRAFFIC ACCIDENTS

BY PROSECUTORS

(Studies in District Attorney Kalianda) By

Irwan Sutrisno

The repayment of evidence a criminal act conducted by the prosecutor does not preclude the possibility on goods evidence the criminal act of traffic accidents, good that causes loss of life and serious injuries. The troubles in this research namely how can the implementation of the repayment of the evidence the criminal act of traffic accidents by the prosecutor? and whether factors that impede in the implementation of the repayment of the evidence the criminal act of traffic accidents?

The methodology used through the approach of juridical normative and the approach of empirical. Data collected through the study of literature and field studies. Speakers in this research include the prosecutor in District Attorney

Kalianda, criminal and Lecturer’s University Law Faculty Lampung.

The results of research and discussion can be concluded that the implementation of the evidence a criminal act of traffic accidents by prosecutors that is the case of traffic have received the award inkracht (decisions already received the power of a fixed law) and the judge make a thrumming decisions, the passage of 1 out of decisions one week after inkracht decisions .The factor that in the implementation of the evidence a criminal act of traffic accidents among other people already mentioned or explained the contents of the passage in decisions not want or late taking evidence, denial of people entitled to receive evidence, and the efforts to appeal and cassation either by public prosecutors and the defendant own culture and the lack of community law.

Recommendations is as executor of the prosecutor should be in evidence in the recording to do with jelly and conscientious Rupbasan taken before on, so that the security of the evidence can be maintained and will minimize the complaint or complaint from the person entitled to receive evidence.


(4)

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kotabumi, pada tanggal 14 Juni 1991. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan Bapak H. Alam Batin, S.H dan Ibu Hj. Suarsih, A.Md.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) Negeri 2 Kota Alam yang diselesaikan tahun 2003, kemudian melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 1 Kotabumi yang diselesaikan tahun 2006, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri 1 Kotabumi yang diselesaikan tahun 2009.

Tahun 2009 penulis diterima sebagai Mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Lampung dan melaksanakan Praktek Kerja Lapangan Hukum (PKLH) dengan mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Panaragan Kabupaten Tulang Bawang Barat.


(6)

PERSEMBAHAN

Dengan ketulusan dan kerendahan hati kupersembahkan karya kecilku ini

kepada orang-orang yang terkasih dan mengasihiku :

Kedua orang tuaku papah Alam Batin dan mamah Suarsih , untuk tiap

tetes keringat yang keluar untuk keberhasilanku dan untuk semangat,

nasihat, dorongan dan doa disetiap shalat dan sujudnya.

Almamater Tercinta


(7)

M O T O

Dengan ilmu, kehidupan menjadi mudah dengan seni, kehidupan menjadi halus, dengan agama, hidup menjadi terarah dan bermakna

(H.A. Mukti Ali)

Seseorang dengan tujuan yang jelas akan membuat kemajuan walaupun melewati jalan yang sulit

seseorang yang tanpa tujuan, tidak akan membuat kemajuan walaupun ia berada di jalan yang mulus


(8)

SANWACANA

Bismillahirrohmanirrohim.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul “Analisis Pengembalian Barang Bukti Tindak Pidana Kecelakaan Lalulintas oleh Jaksa (Study di Kejaksaan Negeri Kalianda)” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Heriyandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung dan selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, dan masukan-masukan yang membangun, memotifasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Ahmad Irzal F, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, dan masukan-masukan yang membangun, memotifasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(9)

4. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas I atas waktu, saran, masukan dan kritik membangunnya kepada penulis untuk dapat menyempurnakan skripsi ini.

5. Budi Rizki Husin, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas II atas waktu, saran, masukan dan kritik membangunnya kepada penulis untuk dapat menyempurnakan skripsi ini.

6. Bapak Depri Liberti, S.H., M.H. Selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan dan saran kepada saya.

7. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu kepada saya.

8. Seluruh Karyawan dan Karyawati Staf Akademisi yang telah membantu penulis selama menjalani pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

9. Mbak Sri, Mbak Yanti dan Babe Gedung A FH yang telah banyak membantu dalam mengurus semua keperluan mulai dari seminar sampai menyelesaikan skripsi ini.

10.Kedua orang tuaku tercinta, dan kuhormati, papa (H. Alam Batin, S.H) dan mamah (Alm. Hj. Suarsih, Amd). Terima kasih atas semua masukan papa yang tak henti-henti diberikan kepadaku, do’a yang tak henti-henti mama panjatkan di surga sana untukku. Maaf telah menunggu sekian lama untukku mendapatkan sebuah gelar S.H ini.


(10)

11.Uta Ina, Kanjeng Nopri, Jian Kia. K.Nda, Puri Noli, Ntong Khaka. Ebi Ira kakak dan Keponakan ku. terima kasih atas dukungan kalian selama menyelesaikan skripsi ini.

12.Seseorang yang sangat mendukung ku selama ini di saat susah maupun senang, yang insya allah akan menjadi keluarga ku nantinya dan terima kasih atas dukungan, motivasi, perhatian, kasih sayang dan telah menemaniku sampai saat ini : My Dul tersayang ( Achie Tia).

13.Terima kasih juga untuk keluarga besar Drs. Matsani & Tante Masroh yang sudah kuanggap sebagai keluarga sendiri

14.Sahabat-sahabatku yang saling melengkapi, menemani dikala sedih dan senang, Hendra, Meipra, Onyah, Dona, Jaka, Ervin, Paksu Pong, Bang Saiman Ngub Pb, ilul, dll. terimakasih untuk kebersamaan dan persahabatan kita yang indah selama ini.

15.Seluruh keluarga besar VENIZ : Hasan, Jhoe, Kadar, Abg Ima, Arip kiting, Deniz, Icul, Riean, Uge (ulan), Lewok Midi, Widi, Henpa, Ari Tukik, Lia Atom, Ungut, dll. yang telah memberikn banyak pelajaran serta telah menjadi keluarga baru bagi saya.

16.teman seperjuangan Fakultas Hukum Pidana angkatan 2009, Teman-teman KKN, Induk Semangku Bapak Saibun beserta keluarga, Bapak Arsyad beserta keluarga, serta warga di Kabupaten tulang Bawang Barat Kecamatan Tulang Bawang Tengah Desa Panaragan yang telah membimbing saya selama ini.


(11)

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, April 2015 Penulis


(12)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 7

E. Sistematika Penulisan ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti . 12 B. Barang Bukti dalam Proses Peradilan Pidana ... 15

C. Pengertian dan Jenis-jenis Tindak Pidana ... 19

D. Tugas dan Fungsi Jaksa ... 22

E. Pengertian Kecelakaan Lalu Lintas ... 25

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 27

B. Sumber dan Jenis Data ... 28

C. Penentuan Narasumber... 30

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 30

E. Analisis Data ... 32

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden ... 33

B. Pelaksanaan Pengembalian Barang Bukti Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas oleh Jaksa ... 34


(13)

C. Faktor yang Menghambat dalam Pelaksanaan Pengembalian

Barang Bukti Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas ... 47 V. PENUTUP

A. Simpulan ... 53 B. Saran ... 54 DAFTAR PUSTAKA


(14)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Jaksa pada setiap kejaksaan mempunyai tugas pelaksanaan eksekusi putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan untuk kepentingan itu didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat keterangan pengganti kutipan putusan hakim. Selain itu jaksa sebagai penuntut umum pada setiap kejaksaan juga mempunyai tugas melaksanakan penetapan hakim pidana. Tugas melaksanakan eksekusi putusan hakim sebagai tahap terakhir perkara pidana dimaksudkan menjalankan pekerjaan melaksanakan putusan hakim dalam arti terbatas hanya untuk tugas eksekusi saja oleh Jaksa. Putusan hakim dapat ditetapkan dari berbagai jenis pidana yang terdapat didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan selanjutnya pelaksanaan putusan berbagai jenis pidana tersebut diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan mengenai pelaksanaan pidana.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang. Penuntut Umum adalah jaksa yang


(15)

2 diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

Bagian paling terpenting dari tiap-tiap pidana adalah persoalan mengenai pembuktian, karena dari jawaban soal inilah tergantung apakah tertuduh akan dinyatakan bersalah atau dibebaskan. Untuk kepentingan pembuktian tersebut maka kehadiran benda-benda yang tersangkut dalam tindak pidana, sangat diperlukan. Benda-benda dimaksud lazim dikenal dengan istilah barang bukti. Yang dimaksud barang bukti atau corpus delicti adalah barang bukti kejahatan, meskipun barang bukti itu mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses pidana, namun apabila disimak dan diperhatikan satu per satu peraturan perundang-undangan bernafaskan pidana (undang-undang pokok, undang-undang, maupun peraturan pelaksanaannya) tidak ada satu pasalpun yang memberikan definisi atau pengertian mengenai barang bukti. Untuk itu, dapat dipinjam pengertian barang bukti menurut Ratna Nurul Alfiah di bawah ini.

Ratna Nurul Alfiah mengutip pendapat Andi Hamzah yang memberikan pengertian barang bukti, bahwa barang bukti dalam perkara pidana adalah barang bukti mengenai mana delik tersebut dilakukan (objek delik) dan barang dengan


(16)

3 mana delik dilakukan (alat yang dipakai untuk melakukan delik), termasuk juga barang yang merupakan hasil dari suatu delik.1

Apabila terhadap barang bukti tersebut dijatuhkan putusan dimusnahkan atau dijual lelang untuk negara, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 39 KUHP hanya terbatas pada barang-barang yang telah disita saja. Apabila terhadap barang bukti tersebut dijatuhkan putusan dikembalikan kepada orang yang paling berhak, maka Jaksa selaku pelaksana putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap harus segera mengembalikannya kepada yang berhak menerima sesuai dengan putusan pengadilan.

Pengembalian barang bukti tindak pidana yang dilakukan oleh jaksa tidak menutup kemungkinan terhadap barang bukti tindak pidana kecelakaan lalu lintas, baik yang menyebabkan hilangnya nyawa maupun luka berat. Dari hasil observasi yang penulis lakukan terlihat bahwa dalam Putusan Banding Pengadilan Tinggi Nomor 10/Pid/2013/PT.TK atas Putusan Pengadilan Negeri Kalianda Nomor:365/ Pid.Sus/2012/PN.KLD atas nama terdakwa Murtadho bin (Alm) Thoyib. Putusan tersebut menyatakan bahwa barang bukti berupa :

1) 1 (satu) unit kendaraan Bus PO Ramayana No. Polisi AA 1648 AB berikut STNK-nya;

Dikembalikan kepada pemiliknya yaitu Sdri. Indarini;

2) 1 (satu) unit kendaraan sepeda motor Honda Beat No. Polisi BE 4260 HI berikut STNK-nya;

Dikembalikan kepada pemiliknya yaitu Sdr. Zunus Anis melalui saksi Widarni;

3) 1 (satu) lembar SIM B II Umum a/n. MURTADHO;

Dikembalikan kepada pemiliknya yaitu terdakwa Murtadho; 4) 1 (satu) lembar SIM C a/n. INTAN FATMALA DEWI;

Dikembalikan kepada pemiliknya yaitu saksi Intan Fatmala Dewi.

1


(17)

4 Kecelakaan lalu lintas disebabkan karena kelalaian pengendara atau sopir yang mengakibatkan banyak korban jiwa. Sanksi pidana bagi pengendara kendaraan bermotor maupun pengemudi yang karena kelalaiannya mengakibatkan adanya korban jiwa, tidak hanya seperti apa yang tercantum dalam ketentuan Pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yaitu diancam dengan pidana penjara maksimal 5 tahun atau pidana kurungan maksimal 1 tahun, bahkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan juga memberi sanksi, dalam Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, bahwa :

“Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)”.

Pelaksanaan pengembalian barang bukti tindak pidana kecelakaan lalu lintas sering menemui hambatan, misalnya adanya upaya hukum baik banding atau kasasi yang dilakukan oleh terdakwa maupun oleh Jaksa Penuntut Umum. Adanya upaya hukum, baik banding maupun kasasi, menyebabkan barang bukti yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap yang seharusnya telah dikembalikan kepada yang berhak, maka eksekusinya harus menunggu sampai putusan banding maupun kasasi. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 46 ayat (2) bahwa :

Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak


(18)

5 dapat dipergunakan lagi atau, jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.

Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain dapat dikembalikan dalam hal perkara tersebut dihentikan penyidikan atau penuntutannya, akan tetapi dapat juga dikembalikan kepada yang berhak sebelum perkara itu mempunyai kekuatan hukum tetap, baik perkara itu masih di tingkat penyidikan, penuntutan maupun setelah diperiksa di sidang pengadilan dasar pengembalian barang tersebut adalah karena diperlukan untuk mencari nafkah atau sebagai sumber kehidupan. Hanya bedanya Pasal 194 ayat (3) KUHAP dengan tegas menyebutkan bahwa pengembalian barang bukti tersebut, antara lain barang tersebut dapat dihadapkan di pengadilan dalam keadaan utuh.

Berdasarkan uraian tersebut, penulis ingin mengkaji lebih dalam mengenai pengembalian barang bukti terkait tindak pidana kecelakaan lalu lintas dan kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pengembalian tersebut. Untuk itu penulis bermaksud melakukan penelitian dengan judul “Analisis Pelaksanaan Pengembalian Barang Bukti Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Oleh Jaksa (Studi di Kejaksaan Negeri Kalianda)”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :


(19)

6 a. Bagaimanakah pelaksanaan pengembalian barang bukti tindak pidana

kecelakaan lalu lintas oleh jaksa?

b. Apakah faktor yang menghambat dalam pelaksanaan pengembalian barang bukti tindak pidana kecelakaan lalu lintas?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup pembahasan dalam penelitian ini adalah bagian dari kajian Hukum Pidana yang ruang lingkupnya membahas tentang pelaksanaan pengembalian barang bukti tindak pidana kecelakaan lalu lintas oleh jaksa dan faktor yang menghambat dalam pelaksanaan pengembalian barang bukti tindak pidana kecelakaan lalu lintas.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penulisan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas mengenai: a. Pelaksanaan pengembalian barang bukti tindak pidana kecelakaan lalu

lintas oleh jaksa.

b. Faktor yang menghambat dalam pelaksanaan pengembalian barang bukti tindak pidana kecelakaan lalu lintas.

2. Kegunaan Penelitian a. Secara teoritis

Kegunaan penelitian ini adalah untuk pengembangan kemampuan berfikir yang sesuai dengan disiplin ilmu pengetahuan yang dimiliki, guna dapat mengungkapkan secara obyektif melalui metode ilmiah terhadap suatu


(20)

7 permasalahan, khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan pengembalian barang bukti tindak pidana kecelakaan lalu lintas oleh jaksa. b. Secara praktis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai masukan di lingkungan instansi Kejaksaan, khususnya mengenai pelaksanaan pengembalian barang bukti tindak pidana kecelakaan lalu lintas.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan untuk peneliti.2

Soerjono Soekanto menyatakan bahwa peranan merupakan aspek dinamis kedudukan (status), apabila seseorang telah melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan, tak ada peranan tanpa kedudukan atau kedudukan tanpa peranan. Peranan lebih banyak menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai suatu proses. Seseorang menduduki suatu posisi dalam masyarakat serta menjalankan suatu peranan.3 Menurut Leden Marpaung, bahwa berkaitan dengan pelaksanaan putusan hakim bahwa, maka panitera mengirimkan salinan yang telah memperoleh kekuatan

2

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta. UI Press. 1984. hlm. 122.

3


(21)

8 hukum tetap kepada Kejaksaan Negeri, kemudian Kepala kejaksaan Negeri menunjuk satu atau beberapa orang Jaksa untuk melaksanakan eksekusi, biasanya pelaksanaan cukup didiposisikan kepada kepala Seksi (sesuai pembidangannya) kemudian kepala seksi meneliti amar putusan yang akan dilaksanakan, setelah itu menyiapkan surat perintah pelaksanaan putusan hakim dilengkapi dengan laporan putusan hakim dan putusannya ditentukan rentutnya dan bukti pelaksanaan putusan hakim berkenaan dengan pidana, barang bukti dan biaya perkara.4

Soerjono Soekanto, berpendapat bahwa dalam pelaksanaan penegakan hukum dipengaruhi beberapa faktor :

1. Faktor hukumnya sendiri atau peraturan itu sendiri. Contohnya, tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang, belum adanya peraturan pelaksana yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang serta ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta penerapannya.

2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Contohnya, keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi, tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi, kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Contohnya, dapat dianut jalan pikiran sebagai berikut : yang tidak ada, diadakan yang baru betul; yang rusak atau salah, diperbaiki atau dibetulkan; yang kurang, ditambah; serta yang macet, dilancarkan. 4. Faktor masyarakat, yakni faktor lingkungan dimana hukum tersebut

diterapkan. Contohnya, masyarakat tidak mengetahui akan adanya upaya-upaya hukum untuk melindungi kepentingan-kepentingannya; tidak berdaya untuk memanfaatkan upaya-upaya hukum karena faktor-faktor keuangan, psikis, sosial atau politik, dan lain sebagainya.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Contohnya, nilai ketertiban dan nilai ketentraman, nilai jasmaniah/kebendaan dan

4

Leden Marpaung. Proses Penanganan Perkara Pidana. Bagian Kedua. Sinar Grafika. Jakarta. 1992. hlm. 493


(22)

9 nilai rohaniah/keakhlakan, nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.5

2. Konseptual

Menurut Soerjono Soekanto, kerangka konseptual adalah suatu kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin diteliti, baik dalam penelitian normatif maupun empiris.6

Istilah-istilah yang dimaksud adalah sebagai berikut :

a. Analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antara bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.7

b. Pelaksanaan adalah proses, perbuatan atau cara melakukan, mengerjakan dan menjalankan.8

c. Pengembalian adalah proses, perbuatan atau cara memberikan kembali atau memulangkan sesuatu barang kepada yang berhak menerimanya.9

d. Barang bukti dalam perkara pidana adalah barang bukti mengenai mana delik tersebut dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan (alat yang dipakai untuk melakukan delik), termasuk juga barang yang merupakan hasil dari suatu delik.10

5

Soerjono Soekanto. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Edisi 1 Cetakan Ketujuh. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada. 2007. hlm. 8-11.

6

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Op Cit. hlm. 124.

7

Surayin. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Yrama Widya. 2007. hlm. 17

8Ibid

. hlm. 275

9Ibid

. hlm. 227

10


(23)

10 e. Alat bukti adalah apa saja yang menurut undang-undang dapat dipakai untuk membuktikan sesuatu, maksudnya segala sesuatu yang menurut undang-undang dapat dipakai untuk membuktikan benar tidaknya tuduhan atau gugatan.11

f. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, larangan mana yang disertai dengan ancaman/sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut.12

g. Kecelakaan Lalu Lintas menurut Pasal 1 butir 24 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.

E. Sistematika Penulisan

Supaya mempermudah dan memahami penulisan ini secara keseluruhan, maka penulisan ini dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan sistematika yang tersusun sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang latar belakang pemilihan judul yang akan diangkat dalam penulisan skripsi, kemudian permasalahan-permasalahan yang dianggap penting disertai pembatasan ruang lingkup penelitian. Selanjutnya

11

Sumarsono. Kamus Hukum. Jakarta. Rineka Cipta. 2005. hlm. 50

12


(24)

11 juga membuat tujuan dan kegunaan penelitian yang dilengkapi dengan kerangka teori dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan tinjauan pustaka yang merupakan pengaturan dalam suatu pembahasan tentang pokok permasalahan mengenai tata cara pelaksanaan putusan pengadilan, barang bukti dalam proses peradilan pidana, pengertian dan jenis-jenis tindak pidana, pengertian peran, tugas dan fungsi Jaksa, serta pengertian kecelakaan lalu lintas.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang metode yang akan digunakan dalam penelitian berupa langkah-langkah yang akan digunakan dalam melakukan pendekatan masalah, penguraian tentang sumber data dan jenis data, serta prosedur analisis data yang telah didapat.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini membahas pokok-pokok permasalahan yang ada dalam skripsi serta menguraikan pembahasan dan memberikan masukan serta penjelasan tentang pelaksanaan pengembalian barang bukti tindak pidana kecelakaan lalu lintas oleh jaksa dan faktor yang menghambat dalam pelaksanaan pengembalian barang bukti tindak pidana kecelakaan lalu lintas.

V. PENUTUP

Merupakan Bab Penutup dari penulisan skripsi yang secara singkat berisikan hasil pembahasan dari penelitian yang telah dilakukan dan kesimpulan serta saran-saran yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.


(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain dapat dikembalikan dalam hal perkara tersebut dihentikan penyidikan atau penuntutannya, akan tetapi dapat juga dikembalikan kepada yang berhak sebelum perkara itu mempunyai kekuatan hukum tetap, baik perkara tersebut masih ditingkat penyidikan, penuntutan maupun setelah diperiksa di sidang pengadilan. Dasar pengembalian benda tersebut adalah karena diperlukan untuk mencari nafkah atau sumber kehidupan. Hanya bedanya Pasal 194 ayat (3) KUHAP dengan tegas menyebutkan bahwa pengembalian barang bukti tersebut, antara lain barang tersebut dapat dihadapkan ke pengadilan dalam keadaan utuh.

Penyerahan barang bukti berdasarkan Pasal 194 ayat (2) KUHAP, khususnya terhadap barang bukti yang dapat diangkut atau dibawa kepersidangan. Penyerahan barang bukti tersebut tanpa melalui jaksa karena pengertiannya, penyerahan barang bukti itu merupakan tindakan hakim. Dengan kata lain karena bertanggung jawab secara yuridis atas benda sitaan/barang bukti tersebut, adalah hakim dengan demikian hakim berwenang menyerahkan barang bukti tersebut kepada dari siapa benda tersebut disita atau kepada orang yang berhak.


(26)

13 Sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka berdasarkan Pasal 194 ayat (3) KUHAP, perintah penyerahan barang bukti dilakukan tanpa disertai dengan syarat apapun. Jaksa penuntut umum yang ditunjuk berdasarkan surat perintah Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan segera melaksanakan pengembalian barang bukti.

Selanjutnya Jaksa Penuntut Umum yang bersangkutan melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Kepala Kejaksaan Negeri dengan melampirkan berita acaranya biasanya dalam acara atau perkara singkat, setelah sidang ditutup Jaksa Penuntut Umum langsung mengembalikan bukti tersebut kepada orang yang berhak yang namanya tercantum dalam putusan pengadilan tersebut, jika ia hadir dalam persidangan itu, pengembalian barang bukti tersebut dilakukan dengan berita acara. Selanjutnya dalam Pasal 39 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan dapat dirampas. (2) Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan

sengaja, atau karena pelanggaran, dapat juga dirampas seperti diatas, tetapi hanya dalam hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang. (3) Perampasan dapat juga dilakukan terhadap orang yang bersalah yang

oleh hakim diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.

Apabila kita melihat ketentuan Pasal 191 KUHAP maka yaitu:

(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. (2) Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan

kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan (3) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2),


(27)

14 dibebaskan seketika itu juga kecuali karena ada alasan lain yang sah, terdakwa perlu ditahan.

Pasal 193 KUHAP secara tegas menentukan bahwa :

(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.

(2) a. Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dalat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 KUHAP dan terdapat alas an cukup untuk itu.

b. Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dalam menjatuhkan putusannya, dapat menetapkan terdakwa tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat alas an cukup untuk itu.

Menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Dalam hal putusan yang mengandung pembebasan terdakwa, maka terdakwa yang berada dalam status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga, kecuali ada alasan lain yang sah misalnya terdakwa masih tersangkut perkara lain.

Berkaitan dengan pelaksanaan putusan hakim bahwa, maka panitera mengirimkan salinan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap kepada Kejaksaan Negeri, kemudian Kepala kejaksaan Negeri menunjuk satu atau beberapa orang Jaksa untuk melaksanakan eksekusi, biasanya pelaksanaan cukup didiposisikan kepada kepala Seksi (sesuai pembidangannya) kemudian kepala seksi meneliti amar putusan yang akan dilaksanakan, setelah itu menyiapkan surat perintah pelaksanaan putusan hakim dilengkapi dengan laporan putusan hakim dan


(28)

15 putusannya ditentukan rentutnya dan bukti pelaksanaan putusan hakim berkenaan dengan pidana, barang bukti dan biaya perkara.13

B. Barang Bukti dalam Proses Peradilan Pidana

Menurut istilah barang bukti dalam perkara pidana yaitu barang mengenai mana delik dilakukan (obyek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan yaitu alat yang diapakai untuk melakukan delik. Termasuk juga barang bukti ialah hasil dari delik, misalnya uang negara yang dipakai (korupsi) untuk membeli rumah pribadi maka rumah pribadi itu merupakan barang bukti atau hasil delik. Di samping itu ada pula barang yang bukan termasuk obyek, alat atau hasil delik, tetapi dapat pula dijadikan barang bukti sepanjang barang tersebut mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana misalnya pakaian yang dipakai oleh korban saat ia dianiaya atau dibunuh.14

Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan bahwa :

Tiada seorang pun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila karena alat pembuktian yang sah, menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dapat dianggap bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.

Ketentuan tersebut di atas ditegaskan lagi dalam Pasal 183 KUHAP yang menyatakan :

13

Leden Marpaung. Proses Penanganan Perkara Pidana. Bagian Kedua. Sinar Grafika. Jakarta. 1992. hlm. 493

14


(29)

16 Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Penjelasan Pasal 183 KUHAP disebutkan bahwa:

Ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang. Adanya ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal 183 KUHAP menujukkan bahwa Negara kita menganut sistem atau teori pembuktian secara negatif, dimana hakim hanya dapat menjatuhkan hukuman apabila sedikit-dikitnya dua alat bukti yang telah ditentukan dalam kesalahan terdakwa terhadap peristiwa pidana yang dituduhkan kepadanya. Walaupun alat-alat bukti lengkap, akan tetapi jika Hakim tidak yakin tentang kesalahan terdakwa maka harus diputus bebas.

Untuk mendukung dan menguatkan alat bukti yang sah sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP dan untuk memperoleh keyakinan hakim atas kesalahan yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa, maka disinilah letak pentingnya barang bukti tersebut. Sebagaimana telah disebut bahwa alat bukti yang sah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk dan Keterangan terdakwa. Hal ini berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.

Bila memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, tidak tampak adanya hubungan antara barang bukti dengan alat bukti. Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa untuk menentukan pidana kepada terdakwa, harus:

a. Kesalahanya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah;


(30)

17 b. Dan atas dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukanya.

Menurut Ratna Nurul Afiah, bahwa Pasal 181 KUHAP mengatur mengenai pemeriksaan barang bukti di persidangan, yaitu sebagai berikut:

1) Hakim ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda itu dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 45 KUHAP.

2) Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua sidang kepada saksi

3) Apabila dianggap perlu untuk pembuktian, hakim ketua sidang membacakan atau memperlihatkan surat atau berita acara kepada terdakwa atau saksi dan selanjutnya minta keterangan seperlunya tentang hal itu.15

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas tampak bahwa dalam proses pidana, kehadiran barang bukti itu sangat penting bagi hakim untuk mencari dan menetukan kebenaran materiil atas perkara yang sedang ia tangani/periksa. Barang bukti dan alat bukti mempunyai hubungan yang erat dan merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan.

Perbedaan alat bukti yang sah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan barang bukti. Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP, yaitu:

a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan terdakwa 15


(31)

18 Hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk alat pembuktian. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memang tidak menyebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan apa-apa yang disita. Untuk kepentingan pembuktian tersebut maka kehadiran benda-benda yang tersangkut dalam suatu tindak pidana, sangat diperlukan. Benda-benda dimaksud dengan istilah “barang bukti”. Barang bukti atau corpus delicti adalah barang bukti kejahatan, meskipun barang bukti itu mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses pidana.

Menurut Yan Pramadya Puspa, terkait dengan Pasal 120, Pasal 184 serta Pasal 186 KUHAP, terlihat bahwa hasil pemeriksaan oleh ahlinya disebut Expertise adalah hasil pemeriksaan sesuatu yang dilakukan oleh seseorang ahli (expert) yang disampaikan kepada hakim untuk menjadi bahan pertimbangan pemutusan suatu perkara.16

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa barang bukti itu sangat penting arti dan perananya dalam mendukung upaya bukti dalam persidangan, sekaligus memperkuat dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap Tindak Pidana yang dilakukan oleh terdakwa, serta dapat membentuk dan menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan terdakwa. Itulah sebabnya Jaksa Penuntut Umum semaksimal mungkin harus mengupayakan/menghadapkan barang bukti selengkap-lengkapnya di sidang pengadilan.

16

Yan Pramadya Puspa. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. Akamedika Presindo. Jakarta. 2008. hlm. 235


(32)

19 C. Pengertian dan Jenis-jenis Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Menurut Bambang Poernomo, tindak pidana yaitu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran pidana yang merugikan kepentingan orang lain atau merugikan kepentingan umum. Beberapa Sarjana Hukum Pidana di Indonesia menggunakan istilah yang berbeda-beda menyebutkan kata “Pidana”, ada beberapa sarjana yang menyebutkan dengan tindak pidana, peristiwa pidana, perbuatan pidana atau delik.17

Menurut Jonkers dalam Bambang Poernomo, tindak pidana adalah suatu kelakuan yang melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang dan dapat dipertanggungjawabkan.18

Perbuatan pidana adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menimbulkan peristiwa pidana atau perbuatan melanggar hukum pidana dan diancam dengan hukuman. Peristiwa pidana adalah suatu kejadian yang mengandung unsur-unsur perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, sehingga siapa yang menimbulkan peristiwa itu dapat dikenai sanksi pidana (hukuman).19 Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana

17

Bambang Poernomo. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta. Ghalia Indonesia. 1997. hlm. 86

18Ibid

. hlm. 87.

19


(33)

20 adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan diajukan kepada perbuatan, (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu.20 Menurut D. Simons dalam C.S.T. Kansil, Peristiwa pidana itu adalah “Een Strafbaargestelde, Onrechtmatige, Met Schuld in Verband Staande handeling Van

een Toerekenungsvatbaar persoon”. Terjemahan bebasnya adalah perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab.21

Menurut Simons, 22 unsur-unsur peristiwa pidana adalah: a. Perbuatan manusia (handeling)

b. Perbuatan manusia itu harus melawan hukum (wederrechtelijk)

c. Perbuatan itu diancam dengan pidana (Strafbaar gesteld) oleh Undang-undang

d. Harus dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab (Toerekeningsvatbaar)

e. Perbuatan itu harus terjadi karena kesalahan (Schuld) si pembuat.

Suatu peristiwa agar dapat dikatakan sebagai suatu peristiwa pidana harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Harus ada suatu perbuatan, yaitu suau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang.

b. Perbuatan harus sesuai sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang. Pelakunya harus telah melakukan suatu kesalahan dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

c. Harus ada kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Jadi perbuatan itu memang dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum.

20

Moeljatno. Op cit. hlm. 54.

21

C.S.T. Kansil. Pokok-pokok Hukum Pidana. Jakarta. Pradnya Paramita. 2004. hlm. 37

22Ibid


(34)

21 d. Harus ada ancaman hukumannya. Dengan kata lain, ketentuan hukum

yang dilanggar itu dicantumkan sanksinya.23

Berdasarkan pendapat para sarjana mengenai pengertian tindak pidana/peristiwa pidana dapat diketahui unsur-unsur tindak pidana adalah harus ada sesuatu kelakuan, kelakuan itu harus sesuai dengan uraian undang-undang, kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak, kelakuan itu dapat diberatkan kepada pelaku, dan kelakuan itu diancam dengan hukuman.

2. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Menurut J.B. Daliyo,24 perbuatan pidana dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu:

a. Perbuatan pidana (delik) formal adalah suatu perbuatan yang sudah dilakukan dan perbuatan itu benar-benar melanggar ketentuan yang dirumuskan dalam Pasal undang-undang yang bersangkutan.

b. Delik material adalah suatu pebuatan pidana yang dilarang, yaitu akibat yang timbul dari perbuatan itu.

c. Delik dolus adalah suatu perbuatan pidana yang dilakukan dengan sengaja.

d. Delik culpa adalah perbuatan pidana yang tidak sengaja, karena kealpaannya mengakibatkan matinya seseorang.

e. Delik aduan adalah suatu perbuatan pidana yang memerlukan pengaduan orang lain. Jadi sebelum ada pengaduan belum merupakan delik.

J.B. Daliyo, 25 lebih lanjut menyatakan bahwa tiga jenis peristiwa pidana di dalam KUHP yang berlaku di Indonesia sebelum tahun 1918 yaitu:

1. Kejahatan (Crimes) 2. Perbuatan buruk (Delict) 23

J.B. Daliyo. Op cit. hlm. 93

24Ibid

. hlm. 94.

25


(35)

22 3. Pelanggaran (Contravention)

Sedangkan menurut KUHP yang berlaku sekarang, peristiwa pidana itu ada dua jenis yaitu “Misdrijf” (kejahatan) dan “Overtreding” (pelanggaran).

Selain dibedakan dalam kejahatan dan pelanggaran, biasanya dalam teori dan praktek dibedakan pula antara lain dalam:

1) Delik Commissionis dan Delikta Commissionis.

Delik Commissionis adalah delik yang terdiri dari melakukan sesuatu (berbuat sesuatu) perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana. Delikta Commissionis adalah delik yang terdiri dari melakukan sesuatu (berbuat sesuatu) perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana. Delikta Commissionis adalah delik yang terdiri dari tidak berbuat atau melakukan sesuatu padahal mestinya berbuat.

2) Ada pula yang dinamakan delikta Commissionis Peromissionem Commissa, yaitu delik-delik yang umumnya terdiri dari berbuat sesuatu, tetapi dapat pula Delik Dolus dan Delik Culpa

Bagi delik dolus harus diperlukan adanya kesengajaan, misalnya Pasal 338 KUHP, sedangkan pada delik culpa, orang juga sudah dapat dipidana bila kesalahannya itu berbentuk kealpaan, misalnya menurut Pasal 359 KUHP, dilakukan dengan tidak berbuat.

3) Delik Biasa dan Delik yang dapat dikualifisir (Dikhususkan) 4) Delik menerus dan tidak Menerus.26

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat diketahui ada beberapa pengertian tindak pidana maupun perbuatan pidana, tetapi pada dasarnya memmpunyai pengertian, maksud yang sama yaitu perbuatan yang melawan hukum pidana dan diancam dengan hukuman/sanksi pidana yang tegas.

D. Tugas dan Fungsi Jaksa

Tugas dan wewenang Jaksa, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, mengenai tugas dan wewenang Kejaksaan, antara lain :

26Ibid.


(36)

23 (1) Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :

a. Melakukan penuntutan;

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang;

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

(3) Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:

a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum; c. Pengawasan peredaran barang cetakan;

d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;

e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.

Pasal 14 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menentukan bahwa Penuntut umum mempunyai wewenang :

a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu;

b. Mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;

c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;

d. Membuat surat dakwaan;

e. Melimpahkan perkara ke pengadilan;

f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;


(37)

24 h. Menutup perkara demi kepentingan hukum;

i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;

j. Melaksanakan penetapan hakim.

Penuntut Umum yang menerima kembali berkas perkara yang telah dilengkapi oleh penyidik dan harus segera menentukan apakah berkas perkara tersebut memenuhi syarat untuk penuntutan serta untuk dilimpahkan ke Pengadilan Negeri. Jika Penuntut Umum berpendapat bahwa berkas perkara telah memenuhi syarat untuk dilimpahkan ke Pengadilan (P.21) maka dibuatlah surat dakwaan untuk dilimpahkan ke Pengadilan. Surat dakwaan yang dibuat Penuntut Umum harus memenuhi syarat sebagaimana dalam Pasal 143 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyatakan :

Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi :

a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan mereka.

b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat pidana yang dilakukan.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dianalisa bahwa penuntutan dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan yaitu dimulai dari menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu, mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan, dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik (berupa P 21), memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik, maka Jaksa Penuntut Umum membuat surat dakwaan


(38)

25 dan melimpahkan perkara ke Pengadilan, di mana surat dakwaan yang dibuat Penuntut Umum harus memenuhi syarat sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 143 KUHAP.

E. Pengertian Kecelakaan Lalu Lintas

Kecelakaan Lalu Lintas dalam Pasal 1 butir 24 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.

Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, mengatur bahwa barangsiapa mengemudikan kendaraan bermotor di jalan dan tidak mengutamakan keselamatan pejalan kaki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).

Pasal 63 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 mengatur bahwa barangsiapa terlibat peristiwa kecelakaan lalu lintas pada waktu mengemudikan kendaraan bermotor di jalan dan tidak menghentikan kendaraannya, tidak menolong orang yang menjadi korban kecelakaan, dan tidak melaporkan kecelakaan tersebut kepada pejabat polisi negara Republik Indonesia terdekat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah).


(39)

26 Pasal 93 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan mengatur bahwa kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak disangka-sangka dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pemakai jalan lainnya, mengakibatkan korban manusia atau kerugian harta benda.

Kecelakaan lalu lintas pada dasarnya merupakan peristiwa yang menyebabkan adanya kerugian baik harta, benda atau bahkan nyawa seorang pengguna jalan raya. Keadaan lalu lintas di jalan raya, pemakai jalan, hasrat untuk menggunakan jalan raya secara teratur dan tenteram merupakan dambaan semua pemakai jalan raya, akan tetapi adanya berbagai gangguan, salah satu bentuk gangguan yang menghalangi tujuan untuk menggunakan jalan raya secara teratur dan tenteram adalah terjadinya kecelakaan-kecelakaan lalu lintas.


(40)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan cara pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan mempelajari, melihat dan menelaah mengenai beberapa hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, konsepsi, pandangan, doktrin-doktrin hukum, peraturan hukum dan sistem hukum yang berkenaan dengan permasalahan yaitu pelaksanaan pengembalian barang bukti tindak pidana kecelakaan lalu lintas oleh jaksa.

Pendekatan masalah secara yuridis normatif dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman tentang pokok bahasan yang jelas mengenai gejala dan objek yang sedang diteliti yang bersifat teoritis berdasarkan atas kepustakaan dan literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Penelitian ini bukanlah memperoleh hasil yang dapat diuji melalui statistik, tetapi penelitian ini merupakan penafsiran subjektif yang merupakan pengembangan teori-teori dalam kerangka penemuan-penemuan ilmiah.27

Sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan atau berdasarkan fakta yang didapat secara objektif di lapangan,

27

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta. Rajawali Press. 2006. hlm. 15.


(41)

28 baik berupa pendapat, sikap dan perilaku hukum yang didasarkan pada identifikasai hukum dan efektifitas hukum.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data adalah tempat dari mana data tersebut diperoleh. Dalam penelitian ini data yang diperoleh berdasarkan data lapangan dan data pustaka. Jenis data pada penulisan ini menggunakan dua jenis data, yaitu :

1. Data Primer

Data primer adalah data yang didapat secara langsung dari sumber pertama.28 Dengan demikian data primer merupakan data yang diperoleh dari studi lapangan yang tentunya berkaitan dengan pokok penulisan. Penulis akan mengkaji dan meneliti sumber data yang diperoleh dari hasil penelitian di Kejaksaan Negeri Kalianda.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan dengan melakukan studi dokumen, arsip dan literatur-literatur dengan mempelajari hal-hal yang bersifat teoritis, konsep-konsep dan pandangan-pandangan, doktrin dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan pokok penulisan.

28


(42)

29 Jenis data sekunder dalam penulisan skripsi ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Ketiga jenis data tersebut dapat dirinci sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat terdiri dari :

1) Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP).

3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

4) Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan bahan hukum primer, dalam hal ini yaitu terdiri dari Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk ataupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum skunder, terdiri dari buku, jurnal, hasil penelitian, kamus bahasa Indonesia, kamus hukum dan kamus bahasa Inggris, berita di koran, serta penelusuran website.


(43)

30 C. Penentuan Narasumber

Narasumber adalah orang yang memberi (mengetahui secara jelas atau menjadi sumber) informasi; informan29. Dalam penelitian ini yang menjadi narasumber yaitu Jaksa pada Kejaksaan Negeri Kalianda dan Akademisi. Untuk mendapatkan data yang diperlukan dari narasumber, penulis melakukan metode wawancara berdasarkan pertanyaan yang telah disusun sebelumnya dan sewaktu-waktu dapat berkembang ketika wawancara berlangsung. Adapun narasumber dalam penelitian ini adalah Jaksa pada Kejaksaan Negeri Kalianda yang berjumlah 2 (dua) orang dan Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung berjumlah 1 (satu) orang.

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut : a. Studi Kepustakaan (Library Research)

Studi kepustakaan yaitu mencatat dan mengutip buku dan literatur, bahan hukum primer berupa undang-undang dan peraturan pemerintah maupun dari bahan hukum sekunder berupa penjelasan bahan hukum primer, yang berhubungan dengan penulisan ini.

29


(44)

31 b. Studi Lapangan (Field Research)

Studi lapangan yaitu data yang diperoleh secara langsung dari responden untuk memperoleh data tersebut dilakukan studi lapangan dengan cara menggunakan metode wawancara.

2. Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari data skunder maupun data primer kemudian dilakukan metode sebagai berikut :

a. Editing

Editing yaitu data yang diperoleh kemudian diperiksa untuk diketahui apakah masih terdapat kekurangan ataupun apakah data tersebut sesuai dengan penulisan yang akan dibahas.

b. Sistematisasi data

Sistematisasi data yaitu data yang diperoleh dan telah diediting kemudian dilakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap pokok bahasan secara sistematis.

c. Klasifikasi data

Klasifikasi data yaitu penyusunan data dilakukan dengan cara mengklasifikasikan, menggolongkan, dan mengelompokkan masing-masing data pada tiap-tiap pokok bahasan secara sistematis sehingga mempermudah pembahasan.


(45)

32 E. Analisis Data

Analisis terhadap data yang diperoleh dilakukan dengan cara analisis kualitatif, yaitu analisis yang dilakukan secara deskriptif, yakni penggambaran argumentasi dari data yang diperoleh di dalam penelitian. Kemudian hasil analisis tersebut dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara induktif yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada realitas yang bersifat khusus yang kemudian disimpulkan secara umum, yang kemudian diperbantukan dengan hasil studi kepustakaan.


(46)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai pelaksanaan pengembalian barang bukti tindak pidana kecelakaan lalu lintas oleh jaksa, maka dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut :

1. Pelaksanaan pengembalian barang bukti tindak pidana kecelakaan lalu lintas oleh jaksa yaitu perkara lalu lintas yang sudah mendapatkan putusan inkracht (putusan yang sudah mendapatkan kekuatan hukum tetap) lalu hakim membuat surat petikan putusan, petikan putusan keluar 1 (satu) minggu setelah putusan inkracht. Petikan putusan tersebut lalu diberikan kepada jaksa agar jaksa langsung membuat berita acara pelaksanaan penetapa hakim (BA-6) dan membuat berita acara pengambilan barang bukti (BA-20). Setelah itu berita acara pelaksanaan penetapa hakim (BA-6) dan membuat berita acara pengambilan barang bukti (BA-20) diberikan kepada orang yang sudah disebutkan atau dijelaskan dalam isi petikan putusan yang ditetapkan oleh hakim. Karena berita acara pelaksanaan penetapa hakim (BA-6) dan membuat berita acara pengambilan barang bukti (BA-20) untuk mengambil barang bukti yang disebutkan dalam isi petikan putusan di Kejaksaan atau di Rupbasan. 2. Faktor yang dalam pelaksanaan pengembalian barang bukti tindak pidana


(47)

54 dalam isi petikan putusan tidak mau atau terlambat mengambil barang bukti, penolakan dari orang yang berhak menerima barang bukti, dan adanya upaya banding dan kasasi baik oleh Jaksa Penuntut Umum maupun terdakwa sendiri serta rendahnya budaya hukum masyarakat.

B. Saran

1. Jaksa selaku eksekutor hendaknya dalam melakukan pencatatan terhadap barang bukti dengan jeli dan teliti sebelum dititipkan pada Rupbasan, sehingga tingkat keamanan barang bukti dapat terjaga dan akan meminimalisir adanya komplain atau keluhan dari orang yang berhak menerima barang bukti.

2. Pemerintah Republik Indonesia hendaknya membuat undang-undang yang mengatur mengenai jangka waktu dalam pengambilan barang bukti, karena tidak ada Peraturan atau undang-undang yang mengatur tentang jangka waktu dalam pengambilan barang bukti, pihak kejaksaan hanya memberi jangka waktu kepada orang yang sudah disebutkan dalam isi petikan putusan untuk mengambil barang bukti.


(48)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Alfiah, Ratna Nurul. 2001. Barang Bukti dalam Proses Pidana. Jakarta. Sinar Grafika.

Anggoro, M. Linggar. 2002. Teori dan Profesi Kehumasan. Jakarta. Bumi Aksara. Daliyo, J.B. 2001. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta. Prenhalindo.

Hadjon, Philipus M. 1993. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.

Hamzah, Andi. 1997. Hukum Acara Pidana Indonesia. Arikha Media Cipta. Jakarta.

Kansil, C.S.T. 2004. Pokok-pokok Hukum Pidana. Jakarta. Pradnya Paramita. Marpaung, Leden. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana. Bagian Kedua.

Sinar Grafika. Jakarta.

Moeljatno. 2005. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta. Rineka Cipta.

Poernomo, Bambang. 1997. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta. Ghalia Indonesia. Puspa, Yan Pramadya. 2008. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia.

Akamedika Presindo. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta. UI Press. ________________. 1993. Sosiologi Hukum. Jakarta. Djambatan.

________________. 2007. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Edisi 1 Cetakan Ketujuh. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada. Soesilo, R. 1985. Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar

-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Panitera. Surayin. 2007. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Yrama Widya. Sumarsono. 2005. Kamus Hukum. Jakarta. Rineka Cipta.


(49)

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan

Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.


(1)

b. Studi Lapangan (Field Research)

Studi lapangan yaitu data yang diperoleh secara langsung dari responden untuk memperoleh data tersebut dilakukan studi lapangan dengan cara menggunakan metode wawancara.

2. Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari data skunder maupun data primer kemudian dilakukan metode sebagai berikut :

a. Editing

Editing yaitu data yang diperoleh kemudian diperiksa untuk diketahui apakah masih terdapat kekurangan ataupun apakah data tersebut sesuai dengan penulisan yang akan dibahas.

b. Sistematisasi data

Sistematisasi data yaitu data yang diperoleh dan telah diediting kemudian dilakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap pokok bahasan secara sistematis.

c. Klasifikasi data

Klasifikasi data yaitu penyusunan data dilakukan dengan cara mengklasifikasikan, menggolongkan, dan mengelompokkan masing-masing data pada tiap-tiap pokok bahasan secara sistematis sehingga mempermudah pembahasan.


(2)

32 E. Analisis Data

Analisis terhadap data yang diperoleh dilakukan dengan cara analisis kualitatif, yaitu analisis yang dilakukan secara deskriptif, yakni penggambaran argumentasi dari data yang diperoleh di dalam penelitian. Kemudian hasil analisis tersebut dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara induktif yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada realitas yang bersifat khusus yang kemudian disimpulkan secara umum, yang kemudian diperbantukan dengan hasil studi kepustakaan.


(3)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai pelaksanaan pengembalian barang bukti tindak pidana kecelakaan lalu lintas oleh jaksa, maka dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut :

1. Pelaksanaan pengembalian barang bukti tindak pidana kecelakaan lalu lintas oleh jaksa yaitu perkara lalu lintas yang sudah mendapatkan putusan inkracht (putusan yang sudah mendapatkan kekuatan hukum tetap) lalu hakim membuat surat petikan putusan, petikan putusan keluar 1 (satu) minggu setelah putusan inkracht. Petikan putusan tersebut lalu diberikan kepada jaksa agar jaksa langsung membuat berita acara pelaksanaan penetapa hakim (BA-6) dan membuat berita acara pengambilan barang bukti (BA-20). Setelah itu berita acara pelaksanaan penetapa hakim (BA-6) dan membuat berita acara pengambilan barang bukti (BA-20) diberikan kepada orang yang sudah disebutkan atau dijelaskan dalam isi petikan putusan yang ditetapkan oleh hakim. Karena berita acara pelaksanaan penetapa hakim (BA-6) dan membuat berita acara pengambilan barang bukti (BA-20) untuk mengambil barang bukti yang disebutkan dalam isi petikan putusan di Kejaksaan atau di Rupbasan. 2. Faktor yang dalam pelaksanaan pengembalian barang bukti tindak pidana


(4)

54 dalam isi petikan putusan tidak mau atau terlambat mengambil barang bukti, penolakan dari orang yang berhak menerima barang bukti, dan adanya upaya banding dan kasasi baik oleh Jaksa Penuntut Umum maupun terdakwa sendiri serta rendahnya budaya hukum masyarakat.

B. Saran

1. Jaksa selaku eksekutor hendaknya dalam melakukan pencatatan terhadap barang bukti dengan jeli dan teliti sebelum dititipkan pada Rupbasan, sehingga tingkat keamanan barang bukti dapat terjaga dan akan meminimalisir adanya komplain atau keluhan dari orang yang berhak menerima barang bukti.

2. Pemerintah Republik Indonesia hendaknya membuat undang-undang yang mengatur mengenai jangka waktu dalam pengambilan barang bukti, karena tidak ada Peraturan atau undang-undang yang mengatur tentang jangka waktu dalam pengambilan barang bukti, pihak kejaksaan hanya memberi jangka waktu kepada orang yang sudah disebutkan dalam isi petikan putusan untuk mengambil barang bukti.


(5)

A. Buku

Alfiah, Ratna Nurul. 2001. Barang Bukti dalam Proses Pidana. Jakarta. Sinar Grafika.

Anggoro, M. Linggar. 2002. Teori dan Profesi Kehumasan. Jakarta. Bumi Aksara. Daliyo, J.B. 2001. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta. Prenhalindo.

Hadjon, Philipus M. 1993. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.

Hamzah, Andi. 1997. Hukum Acara Pidana Indonesia. Arikha Media Cipta. Jakarta.

Kansil, C.S.T. 2004. Pokok-pokok Hukum Pidana. Jakarta. Pradnya Paramita. Marpaung, Leden. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana. Bagian Kedua.

Sinar Grafika. Jakarta.

Moeljatno. 2005. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta. Rineka Cipta.

Poernomo, Bambang. 1997. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta. Ghalia Indonesia. Puspa, Yan Pramadya. 2008. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia.

Akamedika Presindo. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta. UI Press. ________________. 1993. Sosiologi Hukum. Jakarta. Djambatan.

________________. 2007. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Edisi 1 Cetakan Ketujuh. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada. Soesilo, R. 1985. Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar

-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Panitera. Surayin. 2007. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Yrama Widya. Sumarsono. 2005. Kamus Hukum. Jakarta. Rineka Cipta.


(6)

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan

Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.


Dokumen yang terkait

Studi Karakteristik Kecelakaan Lalu Lintas Studi Kasus : Jalan Nasional (Jalan Lintas Sumatera) Kabupaten Serdang Bedagai

1 55 100

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Anak Dalam Kecelakaan Lalu Lintas (Studi Polres Kabupaten Labuhan Batu)

2 46 83

ANALISIS PENYITAAN BARANG BUKTI HARTA KEKAYAAN TERDAKWA TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH PENYIDIK KEJAKSAAN (Studi Kasus di Kejaksaan Negeri Bandarlampung)

3 23 60

ANALISIS PRAKTIK DIVERSI PERKARA ANAK PELAKU TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS

1 7 54

PELAKSANAAN PENGEMBALIAN BARANG BUKTI OLEH JAKSA DALAM PERKARA PIDANA (Studi kasus di Kejaksaan Negeri Semarang)

6 51 121

Pelaksanaan eksekusi denda uang tilang Perkara pelanggaran lalu lintas Oleh kejaksaan negeri salatiga (studi kasus di kejaksaan negeri salatiga)

1 24 81

PROSES PELAKSANAAN PENYITAAN BARANG BUKTI OLEH PENYIDIK KEPOLISIAN PADA TINDAK PIDANA NARKOTIKA Proses Pelaksanaan Penyitaan Barang Bukti Oleh Penyidik Kepolisian Pada Tindak Pidana Narkotika Di Polresta Surakarta.

0 3 18

PROSES PENUNTUTAN PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM (Studi Kasus di Kejaksaan Negeri Pekanbaru ).

0 0 10

analisis pengembalian barang bukti pelanggaran lalu linta oleh pegawai pengadilan berdasarkan hukum pidana indonesia.

0 0 1

BAB II TUJUAN PENERAPAN PIDANA BERSYARAT DALAM TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS YANG DILAKUKAN ANAK A. Jenis-Jenis Kecelakaan Lalu Lintas - Tindak Pidana Bersyarat pada Pelaku Kecelakaan Lalu Lintas yang dilakukan oleh Anak Dalam Praktik (Studi Putusa

0 0 23