Penanaman koklea

Penanaman koklea

Penanaman koklea dapat mempengaruhi pendidikan anak-anak tunarungu di masa depan. Hal ini sudah terjadi di banyak negara di seluruh dunia, termasuk negara-negara berkembang. Di masa lalu, penanaman koklea sangatlah mahal. Namun, sejak penanaman koklea “lokal” pertama diluncurkan di India pada tahun 2005, 31 diharapkan lebih banyak lagi anak tunarungu di seluruh dunia yang mampu memanfaatkan teknologi baru dan inovatif ini.

Penanaman koklea merupakan pembedahan dan penanaman suatu alat elektronik yang memberikan sensasi bunyi bagi anak tunarungu total atau sangat berat. Hasilnya, beberapa anak yang belum pernah mendengar sebelumnya akan merasakan pengalaman mendengar bunyi. Selanjutnya anak-anak ini akan membutuhkan terapi wicara serta konseling. Banyak anak-anak (dan orang dewasa) membutuhkan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk membiasakan diri pada pendengaran, karena beberapa suara mungkin dirasa mengganggu dan membuat mereka merasa tidak nyaman.

Sejak pertama kali disetujui untuk dilakukan pengujian pada tahun 1985, penanaman koklea telah menjadi kontroversi di antara pemangku kepentingan, terutama dalam “komunitas tunarungu.” Pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah penanaman koklea menimbulkan ancaman serius bagi budaya anak-anak tunarungu? Dapatkah penanaman koklea menjadikan anak tunarungu menjadi anggota yang aktif dalam komunitas dunia pendengar ? Apakah hasilnya sesuai dengan biaya operasi dan terapi yang dikeluarkan? Terlepas dari kontroversi tersebut, diperkirakan sudah lebih dari 8.000 anak-anak di seluruh dunia telah melakukan penanaman koklea, 32 jumlah ini termasuk anak-anak di negara berkembang yang besarnya terus meningkat.

Pengaruh gangguan pendengaran tergantung pada intensitas (dB) yang diperlukan dalam mendengar bunyi dengan frekuensi yang berbeda (Hz). Beberapa anak tunarungu memerlukan intensitas yang sama (loudness) untuk mendengar bunyi/suara dengan frekuensi yang berbeda (pitch). Bunyi/suara bernada rendah dan bernada tinggi mungkin sama sulitnya untuk didengar. Anak tunarungu lainnya mungkin dapat mendengar suara bernada rendah tanpa masalah (pendengaran normal), tetapi tidak bisa mendengar suara bernada tinggi sama sekali (gangguan pendengaran yang sangat berat). Pitch yang paling penting untuk berbicara adalah 500-3000 Hz. Namun, hal ini bervariasi dari satu bahasa ke bahasa lain, karena fonem yang berbeda (bunyi kecil yang membentuk kata-kata) memiliki frekuensi berbeda (pitch) dalam berbagai bahasa.

31 The Hindu Online. (2005) “Indigenous Cochlear Implant to Hit the Market Soon”, situs: http://www.hindu.com/2005/11/25/stories/2005112502220900.htm [2 Aug. 2008].

32 Public Broadcasting Services. (2008) “Cochlear Implants” situs: http://www.pbs.org/wnet/soundandfury/cochlear/index.html [9 Jan. 2008].

Mengajar Anak-Anak dengan Disabilitas dalam Seting Inklusif

Hasil tes pendengaran dicatat pada sebuah audiogram (lihat contoh). Garis vertikal pada suatu audiogram merupakan pitch atau frekuensi. Garis horisontal mewakili kenyaringan atau intensitas. Audiogram di sebelah kiri merupakan pendengaran individu dengan pendengaran normal di frekuensi rendah (pitch) miring frekuensi gangguan pendengaran yang berat tinggi di telinga kiri (X), dan gangguan pendengaran sedang sampai parah di telinga kanan (O). X menunjukkan ambang batas untuk telinga kiri dan O menunjukkan ambang batas untuk telinga kanan. Berikut pembagian tingkatan ketunarunguan.

Krekuensi dalm Herts [Hz]

Intesitas dalm desibel [dB]

• Ringan 16-35 dB (desibel) - Anak mungkin mengalami kesulitan mendengar ujaran yang samar atau jauh. Ia mungkin kehilangan sampai 10% dari sinyal ujaran bila pembicara berada pada jarak yang lebih jauh dari satu meter, atau jika lingkungan bising. Anak tersebut mungkin mengalami beberapa kesulitan dengan komunikasi serta dalam setting pendidikan umum. Kebutuhan akan alat bantu dengar dan intervensi harus dipertimbangkan.

• Sedang 36-50 dB - Anak mengerti percakapan pada jarak 1-2 meter. Amplifikasi (alat bantu dengar) dapat meningkatkan kemampuan anak dalam mendengar dan membedakan semua bunyi/suara. Tanpa alat bantu dengar, anak bisa kehilangan 50% sampai 100% dari sinyal ujaran.

• Sedang/berat 51-70 dB - Tanpa alat bantu dengar, Percakapan harus sangat jelas dan bervolume keras agar dapat didengar. Kehilangan pendengaran 55 dB dapat berarti bahwa 100% dari sinyal suara tidak terdengar. Anak mungkin mengalami kesulitan berkomunikasi verbal (terutama dalam kelompok yang lebih besar), termasuk dalam ruang kelas atau ketika sedang bermain. Tanpa intervensi dan alat bantu dengar, pengembangan bahasa lisan akan tertunda dan kemampuan untuk memahami pembicaraan akan berkurang.