Beberapa Kajian dan Studi tentang Perkawinan

2.7. Beberapa Kajian dan Studi tentang Perkawinan

Studi tentang perkawinan belum begitu banyak mendapat perhatian di dalam kajian sosiologi. Dalam perjalanan waktu, hingga saat ini kajian tentang perkawinan masih didominasi oleh ilmu Antropologi dengan menggunakan metode etnografi seperti terlihat pada lampiran 1 dan 2.

Tradisi“bajapuik” yang menjadi fokus penelitian ini merupakan sebagai bentuk kekhasan dari reseach ini. Meskipun di aras lokal dan global terdapat model perkawinan yang hampir sama dengan tradisi bajapuik seperti: sistem dowry di Cina dan India dan sinamot (perkawinan jujur atau tuhor) di daerah

Batak. Semua bentuk tradisi atau sistem perkawinan itu mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaanya adalah sama-sama memberikan sesuatu benda atau barang sebagai mahar (bridewealth) dalam pelaksanaan perkawinan, sedangkan perbedaannya terletak pada dari mana benda yang diberikan dan siapa aktor yang bertanggung jawab pada benda yang diberikan dalam pelaksanaan perkawinan dan kapan dilakukan pemberian itu.

Sistem dowry di Cina, menurut Croll (1984) diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan, untuk menjemput perempuan yang hendak dijadikan istri/menantu oleh pihak laki-laki. Sistem dowry terjadi dalam perkawinan ini menurut Croll disebabkan tenaga kerja wanita yang sangat dibutuhkan. Wanita disamping bekerja dalam sektor domestik juga bekerja disektor publik (pekerjaan kolektif) dan di sinilah posisi perempuan sangat penting. Oleh sebab itu pertukaran perempuan melalui lembaga perkawinan merupakan sebuah kepentingan sebagai sarana rekruitmen tenaga kerja. Selain itu Croll juga menemukan, bahwa sistem kekerabatan yang dianut di Cina menganut sistem patrilineal. Dengan sistem ini pola menetap (residance pattern), perempuan yang menjadi isteri/menantu setelah pernikahan dilangsungkan, tinggal dalam lingkungan keluarga laki-laki. Di sini perempuan sebagai istri/menantu tidak hanya bekerja untuk kepentingan rumah tangganya tetapi juga sebagai asset tenaga kerja pertanian bagi keluarga suaminya. Oleh karena pentingnya tenaga kerja perempuan, maka sebagai kompensasi atas hilangnya anak perempuan, maka keluarga pihak perempuan meminta “ganti rugi” dalam bentuk hadiah perkawinan yang dengan sistem dowry.

Sistem dowry di India, menurut Shanna (1980) adalah harta bawaan yang dibawa oleh pengantin perempuan dalam perkawinannya yang secara sosial berfungsi memberi jaminan ekonomi, status, dan kemandirian yang lebih besar pada perempuan terutama setelah menikah. Namun dalam kenyataannya harta bawaan yang berbentuk uang dari wanita itu menjadi berpindah kepada orang tua laki-laki dan wanita tidak bisa menguasai dan mengontrol hak miliknya sendiri yang diberikan pada saat pernikahan. Hal ini disebabkan oleh dowry yang diterima oleh wanita pada saat pernikahan dipindah tangankan kepada orang tua laki-laki (suami) dan kemudian didistribusi lagi kepada kerabat lainnya.

Terakhir perkawinan jujur (tuhor atau sinamot). Menurut Pardosi (2008), bentuk perkawinan ini adalah memberikan sejumlah uang kepada wanita dari pihak laki-laki. Dengan diterimanya uang atau barang jujur, berarti si wanita mengikatkan diri pada perjanjian untuk ikut dipihak suami (patrilokal), baik pribadi maupun harta benda yang dibawa akan tunduk pada hukum adat suami, kecuali ada ketentuan lain yang menyangkut barang-barang bawaan isteri tersebut. Pembayaran uang mahar (sinamot) dengan mahal dapat diartikan sebagai makna simbolik “harga diri” dari kedua belah pihak di mata sosial masyarakat, di mana kedua belah pihak berasal dari keluarga ”Raja” yang masing-masing memiliki wibawa atau harga diri. Pemberian uang mahar (sinamot) dinyatakan dan disaksikan di depan masyarakat umum sehingga masyarakat yang menyaksikan dapat menjadi kontrol sosial di tengah keluarga yang baru dibentuk. Apabila terjadi kesalahpahaman di antara mereka, mereka tidak akan gampang untuk berbuat kearah perceraian karena masyarakat akan terus mengamati perjalanan keluarga tersebut. Pada prinsipnya mengawinkan anak bagi masyarakat Batak Toba adalah tugas orang tua yang paling mendasar. Status orang tua sangat ditentukan oleh keadaan para anak-anaknya yang telah menikah. Apabila ada anak yang belum menikah pada usia yang sudah wajar akan menjadi beban bagi orang tua, walaupun anak itu berhasil atau berprestasi. Orang tua akan mengusahakan agar anak itu menikah agar hutang adatnya terbayar semasa hidupnya. Walaupun tugas orang tua menikahkan anaknya, hal itu hanya merupakan tanggung jawab, segala hal yang dibutuhkan dalam proses perkawinan akan melibatkan keluarga, terutama dongan sabutuha dan boru. Dongan sabutuha dan boru akan berkumpul menyumbang saran/buah pikiran, tenaga, fasilitas, dan biaya.

Khusus dengan tradisi bajapuik yang berlaku di Kabupaten Padang Pariaman, pihak keluarga perempuan yang memberikan sesuatu kepada pihak keluarga laki-laki, untuk menjemput laki-laki yang hendak dijadikan menantu. Selain itu tradisi bajapuik tidak membuat pengantin perempuan berkuasa, paling tidak sejajar dengan laki-laki dalam hubungan keluarga. Sebagai orang yang memiliki akses ekonomi (pihak keluarga perempuan) pengantin perempuan sebagai aktor yang terlibat (subjek) tetap saja berada pada posisi sebagai isteri seperti yang digariskan agama (Islam). Keputusan apapun yang akan diambil Khusus dengan tradisi bajapuik yang berlaku di Kabupaten Padang Pariaman, pihak keluarga perempuan yang memberikan sesuatu kepada pihak keluarga laki-laki, untuk menjemput laki-laki yang hendak dijadikan menantu. Selain itu tradisi bajapuik tidak membuat pengantin perempuan berkuasa, paling tidak sejajar dengan laki-laki dalam hubungan keluarga. Sebagai orang yang memiliki akses ekonomi (pihak keluarga perempuan) pengantin perempuan sebagai aktor yang terlibat (subjek) tetap saja berada pada posisi sebagai isteri seperti yang digariskan agama (Islam). Keputusan apapun yang akan diambil

Studi tentang tradisi bajapuik tidak banyak dilakukan. Azwar (2001), yang temannya pada Sistem Matrilokal dan status perempuan dalam tradisi bajapuik. Dalam hal ini fokus kajiannya pada latar belakang sosio kultural lahirnya tradisi bajapuik dalam sistem matrilineal dan konsekuensinya terhadap perempuan. Hasil studinya menunjukkan bahwa hal ini disebabkan oleh sistem nilai yang diberikan makna secara kultural. Artinya perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan membawa pemahaman tentang perbedaan peran, tugas, dan fungsi sosial laki-laki dan perempuan. Berangkat dari sini lahir anggapan yang pantas bertanggungjawab terhadap ekonomi keluarga adalah laki-laki, yang pada akhirnya melahirkan distingsi pada wilayah pekerjaan domestik dan publik dan konsekuensi lebih lanjut pada terbentuknya spesialisasi kerja. Akibatnya laki-laki semakin eksis dalam dunia sosial, bisnis, industri dan juga dalam kehidupan keluarga, sehingga ia dapat mengekspresikan dirinya dalam keempat bidang ini. Sementara perempuan semakin terkurung dalam sangkas emas keluarga.

Oleh karena surplus ekonomi yang dihasilkan oleh laki-laki yang membuat laki-laki semakin berkuasa, maka perempuan semakin terpinggirkan, tersubordinasi dalam kehidupan sosial karena sangat tergantung pada laki-laki. Perkembangan selanjutnya adalah berubahnya pola keluarga monogami yang matriarkhat menjadi patriarkhat dimana kerja rumahtangga perempuan menjadi pelayan pribadi. Perempuan menjadi pelayan laki-laki dalam rumah tangga, yang disingkirkan dari semua partisipasi dibidang produksi dan sosial.

Fokus kajian lain pada faktor-faktor yang melatar belakangi dipertahankannya tradisi bajapuik di Pariaman, disebabkan oleh uang jemputan menjadi ukuran prestise bagi kedua belah pihak. Pihak perempuan mempunyai kepuasan tersendiri jika mampu memberikan uang jemputan yang tinggi terhadap laki-laki yang akan menikahi anak perempuannya. Dari pihak laki-laki menjadi aib baginya jika anak laki-laki mereka kawin tanpa uang jemputan dari pihak perempuan. Kaum mereka menjadi objek gunjingan, bahkan mamak-mamak Fokus kajian lain pada faktor-faktor yang melatar belakangi dipertahankannya tradisi bajapuik di Pariaman, disebabkan oleh uang jemputan menjadi ukuran prestise bagi kedua belah pihak. Pihak perempuan mempunyai kepuasan tersendiri jika mampu memberikan uang jemputan yang tinggi terhadap laki-laki yang akan menikahi anak perempuannya. Dari pihak laki-laki menjadi aib baginya jika anak laki-laki mereka kawin tanpa uang jemputan dari pihak perempuan. Kaum mereka menjadi objek gunjingan, bahkan mamak-mamak

Studi lain dari tradisi bajapuik dilakukan oleh Utama (2002), dengan temanya pada “Uang Hilang dalam Perkawinan Adat Masyarakat Pariaman Sumatera Barat. Adapun fokus kajiannya pada penentuan uang hilang dalam tradisi bajapuik. Hasilnya yang diperoleh adalah uang hilang ditentukan oleh pihak laki-laki, terutama oleh orang tuanya. Selain itu fokus kajian berikutnya, mengidentifikasi proses-proses perkawinan bajapuik. Proses pekawinan bajapuik ada dua tahap; tahap pertama meliputi peminangan dan kedua pelaksanaan perkawinan. Termasuk pada tahap pertama yakni ma-antaan asok, mengantar tanda pertunangan, bakampuang-kampuangan,

mengundang malam membungkuih . Untuk tahap kedua, termasuk di dalamnya adalah menjemput mempelai, aqad nikah, hari perkawinan (baralek), hari manjalang dan malam baretong . Sementara itu untuk fokus kajian lainnya pada uang hilang dan fungsi sosial budayanya. Dalam hal uang hilang berfungsi sebagai pengesahan status sosial dan sebagai sarana untuk mobilitas sosial.

Sementara itu, Maihasni (2003), mengkaji tradisi bajapuik dengan tema “Pergeseran dari uang jemputan ke Uang hilang dalam perkawinan adat Pariaman Minangkabau di Sumatera Barat. Adapun tujuan yang hendak dicari adalah awal munculnya uang hilang sistem perkawinan adat Pariaman dan usaha yang dilakukan orangtua terhadap munculnya uang hilang. Hasil penelitian menunjukkan munculnya uang hilang disebabkan oleh sebuah keluarga yang hendak mencari menantu untuk anak perempuannya yang cacat dan sudah cukup umur untuk dicarikan suami. Pada saat itu tidak ada laki-laki yang mau dengan anak. Sementara disatu sisi orang tua cukup mampu, dan begitu juga dengan mamak yang cukup terpandang dalam masyarakat. Dengan kekayaan yang dimiliki oleh keluarga itu, maka ia berhasil mendapatkan menantu dengan cara memberi sejumlah uang kepada laki-laki yang bersangkutan. Di Lain pihak disebabkan oleh anak gadis yang tidak perawan lagi, sehingga sulit untuk Sementara itu, Maihasni (2003), mengkaji tradisi bajapuik dengan tema “Pergeseran dari uang jemputan ke Uang hilang dalam perkawinan adat Pariaman Minangkabau di Sumatera Barat. Adapun tujuan yang hendak dicari adalah awal munculnya uang hilang sistem perkawinan adat Pariaman dan usaha yang dilakukan orangtua terhadap munculnya uang hilang. Hasil penelitian menunjukkan munculnya uang hilang disebabkan oleh sebuah keluarga yang hendak mencari menantu untuk anak perempuannya yang cacat dan sudah cukup umur untuk dicarikan suami. Pada saat itu tidak ada laki-laki yang mau dengan anak. Sementara disatu sisi orang tua cukup mampu, dan begitu juga dengan mamak yang cukup terpandang dalam masyarakat. Dengan kekayaan yang dimiliki oleh keluarga itu, maka ia berhasil mendapatkan menantu dengan cara memberi sejumlah uang kepada laki-laki yang bersangkutan. Di Lain pihak disebabkan oleh anak gadis yang tidak perawan lagi, sehingga sulit untuk