336674486 BAB II Tinjauan Pustaka Dan Kerangka Pemikiran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Konsepsi Perkawinan

Mengikuti asal mula konsepsi perkawinan dapat dilihat melalui karya Bachofen dalam bukunya yang berjudul Mutterrecht (hukum ibu) (1861). Dalam buku tersebut Bachofen menggambarkan bahwa secara harfiahnya perempuan adalah heater (pelacur kuil) dan tunduk pada nafsu laki-laki. Penyebutan yang tidak mengenakan ini, menimbulkan ketidak senangan pada wanita. Akhirnya wanita menyadarinya, dan menentang situasi ini. Padahal pada hakikatnya wanita mempunyai tabiat mulia dari pada laki-laki, lebih mentaati agama dan wataknya lebih suci. Setelah wanita menemukan pertanian, mereka berontak terhadap laki- laki. Untuk itu sebagai pengganti pelacur kuil (hubungan kelamin yang tidak teratur) datanglah perkawinan (Ball, 1987). Jadi dari sinilah awal munculnya istilah perkawinan.

Perkawinan sebagai sebuah konsepsi yang ada dalam kehidupan manusia, menurut Fairchild (1966) dalam dictionary of sociology and related sciences adalah lembaga sosial yang memberikan suatu pengakuan kepada ikatan perkawinan atau sebuah unit keluarga. Dalam konsepsi perkawinan ini ada dua bentuk prinsip perkawinan yakni; 1) perkawinan monogami dan 2) poligami. Perkawinan yang monogami adalah seorang perempuan adalah untuk seorang laki-laki, sedangkan perkawinan poligami adalah ada banyak suami (polyandry) atau isteri (polyginy). Selanjutnya di katakan perkawinan mengindikasikan sebuah kebiasaan (adat) yang legal yang mempunyai sanksi agama untuk terbentuknya sebuah keluarga baru.

Pada perkembangan berikutnya, konsepsi perkawinan mengikuti konstruksi sosial; konstruksi masyarakat setempat, para ahli dan pemerintah (Afrizal, 1997). Ini berarti para ahli tersebut mempunyai konsepsi atau definisi masing-masing terhadap istilah perkawinan. Bahkan ada para ahli yang tidak membedakan antara konsep perkawinan dan konsep pertemanan atau pacaran yang di dalamnya terdapat hubungan seksual. Otterbein (1972) misalnya, perkawinan adalah hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang tinggal Pada perkembangan berikutnya, konsepsi perkawinan mengikuti konstruksi sosial; konstruksi masyarakat setempat, para ahli dan pemerintah (Afrizal, 1997). Ini berarti para ahli tersebut mempunyai konsepsi atau definisi masing-masing terhadap istilah perkawinan. Bahkan ada para ahli yang tidak membedakan antara konsep perkawinan dan konsep pertemanan atau pacaran yang di dalamnya terdapat hubungan seksual. Otterbein (1972) misalnya, perkawinan adalah hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang tinggal

Seiring dengan kemajuan peradaban manusia, konsepsi perkawinan juga mengalami perkembangan. Pada awalnya, Konsepsi perkawinan mengacu kepada penglegitimasian dari hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Gough dalam Keesing (1992), misalnya melihat perkawinan disepanjang masa dan disemua tempat sebagai suatu kontrak menurut adat kebiasaan, untuk menetapkan legitimasi anak yang baru dilahirkan sebagai anggota yang bisa diterima masyarakat.

Sementara itu, para ahli lain menfokuskan pada tanggung jawab yang diemban dalam perkawinan. Menurut Ball (1987), perkawinan adalah hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang berkelanjutan tinggal bersama dan adanya kerjasama ekonomi serta pemeliharaan anak yang dilahirkan oleh isteri karena hubungan yang berlangsung itu. Begitu juga dengan Leach (1986), perkawinan dipahami sebagai hubungan dan adanya pengasuhan anak sebagai akibat hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan.

Pendapat para ahli di atas, kiranya sama dengan ajaran Islam yang di anut oleh sebagian besar warga Indonesia, perkawinan tidak hanya pengesahan anak yang lahir akibat hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, tetapi juga penglegitimasian hubungan seksual itu sendiri. Melakukan hubungan seksual di luar perkawinan dianggap sebagai perilaku haram. Berdasarkan konsepsi-konsepsi perkawinan di atas, maka jelaslah bahwa perkawinan merupakan suatu institusi yang memainkan peranan penting dalam kehidupan individu dalam masyarakat dalam rangka mengatur hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan dan juga akibat dari hubungan itu.

Kemudian dalam usaha untuk menemukan definisi perkawinan yang universal, konsepsi perkawinan mengacu kepada hubungan yang bersifat kontrak. Goodenough (1970) dalam Keesing, (1992) mendefiniskan perkawinan sebagai transaksi yang menghasilkan suatu kontrak di mana seorang pria atau wanita, korporatif secara pribadi atau melalui orang-orang lain memiliki hak secara terus- menerus untuk menggauli seorang wanita secara seksual sampai kontrak hasil transaksi itu berakhir dengan syarat wanita itu dapat melahirkan anak. Dengan pendefinisian perkawinan yang terakhir ini, dapatlah dipahami bahwa institusi perkawinan tidak lagi mendapat tempat yang sakral dalam lingkaran kehidupan (life cyle) manusia.

2.2. Bentuk-bentuk Perkawinan dan Persyaratan Kawin Perkawinan merupakan hal yang sangat penting bagi manusia dalam lintasan hidupnya. Melalui perkawinan seseorang akan mengalami perubahan status sosial, yaitu dari status lajang menjadi status berkeluarga dan diberlakukan sebagai orang yang telah memenuhi syarat tertentu di dalam masyarakat.

Di dalam berapa masyarakat, pilihan dengan siapa individu kawin masih ditentukan. Hal ini tentunya menyangkut nilai-nilai budaya yang di anut oleh suatu masyarakat. Sebagai konsekuensinya terlihat pada bentuk-bentuk perkawinan yang berkembang dan persyaratan kawin yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan perkawinan.

Bentuk perkawinan yang pertama dalam sejarah kehidupan manusia adalah kawin penculikan (kawin rampok) 1 . Perkawinan ini dilakukan dengan

merampas anak dara. Perkawinan ini dapat menimbulkan permusuhan, yang disebabkan oleh penculikan itu. Sebenarnya penculikan terjadi dalam rangka untuk menentukan tempat perkawinan patrilokal (sebenarnya virilokal). Bentuk perkawinan ini merupakan suatu permulaan dan tertua dari tata tertib perkawinan. Bentuk perkawinan ini ada dalam tahap peralihan, akan tetapi hanya sebagai bentuk setara yang lebih sering terdapat pada bentuk-bentuk penculikan konvensional yang dapat diterima (Ball, 1987; Koentjaraningrat, 1980).

1 Lihat Bachofen (1861) dalam Van Ball. 1987. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga dekade 1970). Penerbit Gramedia dan lihat Tylor dalam Koentjaraningrat, 1980.

Sejarah Teori Antropologi I. Penerbit Universitas Indonesia.

Bentuk perkawinan lainnya adalah eksogami, adalah keharusan untuk mencari isteri dari suku-suku lain (group ethnic). Dalam bentuk perkawinan ini di dalamnya hanya terdapat dua suku atau satu sistem yang bersifat dualistis Koetjaraningrat, 1980). Pada bentuk perkawinan ini, orang-orang dilarang kawin dengan anggota keluarganya sendiri—saudara kandung, orang tua dan anak- anaknya, termasuk juga saudara sepupu, kakek dan nenek kedua belah pihak serta saudara tiri (Newman dan Grauerholz, 2003). Jadi dalam bentuk perkawinan ini, perempuan dari kelompoknya sendiri diberikan kepada kelompok lain dan kelompok lain itu sendiri menerima perempuan dari kelompok yang lain lagi. Melalui bentuk perkawinan ini bertujuan untuk membentuk kelompok yang lebih besar dan tidak hanya sebatas keluarga inti saja.

Bentuk perkawinan terakhir adalah endogami--keharusan mencari isteri dalam suku sendiri. Pada awal bentuk perkawinan endogami hanya terjadi bila keadaan isolasi yang ekstrem. Jika disekitarnya datang lebih banyak orang, maka kelompok endogami menjadi lemah dan tidak dapat bertahan Koentjaraningrat, 1980). Bentuk perkawinan ini menurut (Newman dan Grauerholz, 2003), terjadi dalam rangka untuk menjaga kekuasaan dan kekayaan tetap utuh dan oleh sebab itu dianjurkan untuk kawin dengan orang yang ada berhubungan tali darah. Selain itu, bentuk perkawinan ini dapat mempertebal solidaritas kelompok, dapat mencegah tercerai-berainya harta milik dan dapat merupakan pertukaran anak perempuan secara langsung antara kerabat laki-laki yang dekat (Keesing, 1992). Namun pada inti bentuk perkawinan ini terdapat pada masyarakat tradisional, yang tidak menyukai berhubungan di luar batas kelompoknya.

Perkawinan di Minangkabau adalah eksogami suku yakni kawin keluar suku. Perkawinan yang dilakukan tidak menyebabkan seseorang keluar atau meninggalkan kelompok kerabat asalnya dan masuk ke dalam kelompok kerabat pasangannya. Laki-laki yang melakukan perkawinan tetap menjadi bagian dari warga kaum dan sukunya. Sebagai suku bangsa yang menganut sistem matrilokal, laki-laki yang telah menikah hanya menjadi sumando di rumah istrinya. Begitu juga dengan pasangan wanitanya, tetap menjadi bagian dari warga kaum dan sukunya. Sementara itu anak yang dilahirkan akibat perkawinan itu, akan menjadi anggota kaum dan suku ibunya dan bukanlah kaum dan suku Perkawinan di Minangkabau adalah eksogami suku yakni kawin keluar suku. Perkawinan yang dilakukan tidak menyebabkan seseorang keluar atau meninggalkan kelompok kerabat asalnya dan masuk ke dalam kelompok kerabat pasangannya. Laki-laki yang melakukan perkawinan tetap menjadi bagian dari warga kaum dan sukunya. Sebagai suku bangsa yang menganut sistem matrilokal, laki-laki yang telah menikah hanya menjadi sumando di rumah istrinya. Begitu juga dengan pasangan wanitanya, tetap menjadi bagian dari warga kaum dan sukunya. Sementara itu anak yang dilahirkan akibat perkawinan itu, akan menjadi anggota kaum dan suku ibunya dan bukanlah kaum dan suku

Sebagai orang datang, seorang suami (sumando) diharuskan untuk bersikap hati-hati karena selalu mendapatkan sorotan dari keluarga istri. Berbagai istilah diberikan oleh orang Minang sebagai penilaian atas perangai dan tingkah laku sumando (Amir, 2006; Navis, 1984). Pertama, sumando ninik mamak adalah sumando sumando yang mempunyai tingkah-laku dan adat-istiadatnya yang menyenangkan pihak keluarga isteri. Kedua, sumando langau hijau atau sumando lalat hijau adalah sumando yang kerjanya hanya kawin cerai disetiap kampung dan meninggalkan anak di mana-mana. Ketiga, sumando kacang miang adalah sumando yang kerjanya selalu menganggu ketentraman tetangga karena menghasut, dan memfitnah, atau memelihara binatang ternak yang dapat menganggu lingkungan seperti itik, ayam, kambing, dan lainnya. Keempat, sumando lapiak buruak adalah sumando yang tingkah lakunya menguras harta istrinya. Sumando ini diibaratkan sama dengan dengan tikar pandan yang lusuh dan menjadi orang pandie di rumah isterinya. Kelima, sumando apak paja adalah sumando yang kurang memperhatikan kewajiban terhadap anak-anaknya sendiri dan hanya berfungsi sebagai pejantan (Amir, 2006; 1987).

Meski berbagai macam penilaian terhadap sumando, adat Minangkabau menetapkan sumando banyak gunanya (Navis, 1984) antara lain :

1. Urang sumando itu merupakan bibit yang baik dan kampung halaman menjadi ramai dan berseri.

2. Urang sumando akan menjadi tempat kepercayaan dalam rumah tangga.

3. Urang sumando menjadi pagaran yang teguh untuk menjaga kampung halaman, dan penolong ninik mamak

4. Jika orangnya cerdas pandai akan menjadi tempat bertanya bagi orang kampung.

5. Jika ia orang kaya akan dapat melapangkan kita dan anak kemenakan dalam kesempitan.

Sekalipun dalam perkawinan seorang laki-laki terikat dengan kehidupan rumah tangganya dan di manapun ia berada, tidaklah terlepas dari suatu Sekalipun dalam perkawinan seorang laki-laki terikat dengan kehidupan rumah tangganya dan di manapun ia berada, tidaklah terlepas dari suatu

Sementara itu untuk mendapatkan seorang sumando, memiliki persyaratan tertentu tergantung kepada nilai-nilai budaya yang dimiliki. Oleh sebab itu ada bermacam-macam sebutan untuk persyaratan kawin antara lain; mas kawin (bridewealth) (Koentjaraningrat, 1980), harta bawaan (dowry) (Croll dan Ursula, 1980) dan pemberian (Mauss, 1992). Mas kawin (bridewealth) yang merupakan salah satu syarat terdapat dalam proses perkawinan adalah sejumlah harta yang diberikan oleh pemuda kepada gadis-gadis dan kaum kerabat gadis (Goody, 1973; Koentjaraningrat, 1992). Mas kawin (bridewealth), yang berupa barang antaran banyak terdapat pada masyarakat penghasil pangan, baik petani hortikultura maupun pengembala. Penyerahan barang antaran bagi setiap suku ataupun daerah mempunyai perbedaan. Misalnya, barang antaran bagi suku Karimonjong atau suku Nuer di Sudan menyerahkan sapi dalam perkawinannya. Sementara itu dalam masyarakat Tribal barang antarannya berupa benda-benda fisik yang dianggap langka dan dianggap mempunyai prestise dan mempunyai makna simbolis (Keesing, 1992). Mas kawin (bridewealth) biasanya terdapat dalam masyarakat patrilineal dan kurang umum dalam masyarakat matrilineal, ganda atau bilateral. Van den Berge (dalam Sanderson 2000), melaporkan bahwa 71 persen dari masyarakat patrilineal menggunakan mas kawin dibandingkan dengan hanya 37 persen dari masyarakat matrilineal, dan 32 persen dari masyarakat keturunan ganda atau bilateral. Jadi untuk mengetahui kenapa mas kawin tidak banyak dijumpai dalam masyarakat matrilineal, antara lain disebabkan oleh pelayanan ekonomi dan aspek produktif wanita tidak hilang bagi kelompok kerabat mereka sendiri.

Untuk penentuan mas kawin kadang-kadang dilakukan melalui perundingan antara kedua belah pihak. Ini berarti mas kawin mengikut sertakan keluarga masing-masing mempelai. Menurut Keesing (1992), orang tidak memiliki sarana Untuk penentuan mas kawin kadang-kadang dilakukan melalui perundingan antara kedua belah pihak. Ini berarti mas kawin mengikut sertakan keluarga masing-masing mempelai. Menurut Keesing (1992), orang tidak memiliki sarana

1. Mas kawin diberikan kepada kaum kerabat gadis, tetapi tidak ditentukan siapa yang akan menerima mas kawin tersebut.

2. Mas kawin diberikan kepada si gadis sendiri.

3. Mas kawin untuk sebagian diberikan kepada gadis dan sebagian kepada kaum kerabat si gadis (Koentjaraningrat,1992:104). Bentuk persyaratan lain yang terdapat dalam tata aturan perkawinan adalah

dowry . Dowry, merupakan harta yang di bawa oleh wanita ke dalam perkawinan. Harta bawan ini menurut Van den Berghe (1979), mengandung makna bahwa seorang wanita menerima warisan lebih dini dari orang tua dan ia dapat menggunakan warisan itu untuk melakukan perkawinan (Sanderson, 2000). Di pihak lain Lamanna dan Friedman (1991), melihat dowry sebagai harta jaminan yang dibawa wanita dalam perkawinan. Semakin banyak jumlah harta yang dibawa dalam perkawinan, akan menjamin kelangsungan perkawinannya. Sistem dowry ini terdapat di Cina dan India. Wanita dalam melakukan perkawinan membawa sejumlah harta dalam perkawinan. Namun sistem perkawinan menggunakan dowry ini memberatkan pihak keluarga perempuan (Pesek, 2007).

Pada awalnya dowry bertujuan untuk mengalihkan wanita dalam perkawinan dan lebih spesifiknya pemberian dowry sebagai kompensasi dari kerugian yang dialami dalam pelayanan ekonomi produktif. Artinya tenaga wanita begitu penting dalam usaha produktif ekonomi keluarganya. Namun dalam pengertian untuk saat ini tidak jauh berbeda, walaupun lapangan pekerjaan sudah terbuka lebar untuk wanita dan banyak wanita mempunyai profesi yang bergengsi di tengah masyarakat. Begitu juga untuk mempelai pria diberikan sebagai pertukaran dari barang-barang bermakna simbolis (Keesing, 1992).

Besar kecilnya dowry, yang di bawa ke dalam perkawinan tergantung pada status individu dan keluarganya di dalam masyarakat. Dowry, bisa menjadi penentu kebahagian wanita dalam perkawinan. Karena selain banyaknya barang Besar kecilnya dowry, yang di bawa ke dalam perkawinan tergantung pada status individu dan keluarganya di dalam masyarakat. Dowry, bisa menjadi penentu kebahagian wanita dalam perkawinan. Karena selain banyaknya barang

perkembangannya mas kawin berdasarkan kedudukan, kepandaian, kecantikan, umur dan sebagainya (Lamanna, dan Riedmann, 1981).

Terakhir pemberian—sederhananya diartikan sebagai penghargaan pada prestasi menyeluruh (Mauss, 1992). Secara umum pemberian merupakan sebagai bentuk-bentuk dan fungsi-fungsi tukar-menukar yang melibatkan kelompok- kelompok masyarakat itu secara menyeluruh (Suparlan (1992).

Menurut Mauss (1992), dalam pemberian mengandung kehormatan dari sipemberi dan penerima di dalamnya yang terlihat tukar menukar yang saling mengimbangi di antara keduanya. Oleh sebab itu menurut Mauss, pemberian merupakan sistem yang menyeluruh (total system) di mana setiap unsur dari kedudukan atau harta milik terlibat di dalamnya dan berlaku bagi setiap anggota masyarakat yang lainnya. Jadi menurut Mauss dalam sistem tukar menukar, pemberian itu harus dikembalikan dalam suatu cara khusus yang menghasilkan suatu lingkaran kegiatan yang tidak habis-habisnya, karena yang dipertukarkan itu sebagai prestasi (prestation) yaitu nilai barang menurut sistem makna yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan dan bukan nilai harfiahnya dari barang pemberian itu. Prestasi yang dipertukarkan adalah prestasi yang menyeluruh karena tukar-menukar itu melibatkan keseluruhan aspek kehidupan dan berlaku di antara kelompok-kelompok dan bukan di antara individu-individu secara pribadi. Selanjutnya menurut Mauss, kondisi ini akan berbeda dengan masyarakat yang telah mengenal perdagangan pemberian di antara kelompok tidak lagi mencakup aspek-aspek estetika, keagamaan, moral dan hukum legal. Yang tertinggal dalam tukar menukar itu tersebut hanyalah aspek ekonominya saja, terwujud dalam bentuk tukar-menukar antara uang, benda dan jasa dan berlaku hanya di antara individu-individu dan bukan di antara kelompok- kelompok.

Adapun tukar-menukar pemberian prestasi itu mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

2 Menunjukan pada status sosial wanita dalam masyarakat

1. Pengembalian benda yang diterima tidak dilakukan pada saat pemberian hadiah itu diterima, tetapi pada waktu yang berbeda sesuai dengan kebiasaan adat yang berlaku; kalau pemberian imbalan diberikan pada waktu yang sama disebut dengan barter.

2. Pengembalian pemberian hadiah yang diterima tidak berupa barang yang sama dengan yang diterima tetapi dengan benda yang berbeda yang mempunyai nilai yang sedikit lebih tinggi daripada hadiah yang telah diterima atau setidak-tidaknya sama dengan itu.

3. Benda-benda pemberian yang diterima tidak dilihat sebagai benda dalam nilai harfiahnya, tetapi sebagaimana prestasi karena benda-benda itu dipercayai berisikan mana atau kekuatan gaib yang digolongkan oleh Mauss ke dalam suatu kategori yang dinamakan prestasi (prestaion). Selanjutnya Mauss menjelaskan bahwa suatu pemberian hadiah adalah

sama dengan suatu pemberian hadiah mana atau sari kehidupan dari sipemberi kepada sipenerima. Dengan diterimanya suatu benda yang diberikan maka diartikan bahwa si penerima pemberian tersebut telah menerima sari kehidupan si pemberi atau sama dengan diri si pemberi itu sendiri. Oleh karena itu si penerima pemberian itu tidak dapat menolaknya karena karena penolakan itu sama dengan penghinaan terhadap sipemberi tersebut. Itu juga sebabnya mengapa sesuatu pemberian harus diimbali dengan pemberian kembali kepada sipemberi oleh sipenerima hadiah. Bila seseorang menolak sesuatu pemberian, disamping dapat diartikan sebagai penghinaan terhadap sipemberi, dapat juga diartikan ketidak mampuan si penerima untuk menerima mana atau kehormatan dari si pemberi. Dalam hal terakhir ini si penerima digolongkan dalam kategori yang lebih rendah kedudukan daripada si pemberi.

Dengan demikian ada bermacam-macam persyaratan kawin yang berlaku dalam masyarakat. Terkait dengan perkawinan yang berlaku di Pariaman disebut dengan uang jemputan. Menurut Junus (1990); Navis (1984), uang jemputan adalah sejumlah uang atau barang sebagai alat untuk menjemput supaya suka mengawini perempuan dan nantinya akan dikembalikan pada pihak perempuan. Uang jemputan ini menjadi kewajiban bagi pihak keluarga perempuan. Artinya pihak keluarga perempuan sebagai pemberi dan pihak keluarga laki-laki sebagai Dengan demikian ada bermacam-macam persyaratan kawin yang berlaku dalam masyarakat. Terkait dengan perkawinan yang berlaku di Pariaman disebut dengan uang jemputan. Menurut Junus (1990); Navis (1984), uang jemputan adalah sejumlah uang atau barang sebagai alat untuk menjemput supaya suka mengawini perempuan dan nantinya akan dikembalikan pada pihak perempuan. Uang jemputan ini menjadi kewajiban bagi pihak keluarga perempuan. Artinya pihak keluarga perempuan sebagai pemberi dan pihak keluarga laki-laki sebagai

Pada awalnya uang jemputan dalam adat perkawinan di Pariaman adalah adat perkawinan raja-raja, dan keturunannya yang dicirikan mempunyai gelar kebangsawanan (Arifin, 1984). Selanjutnya laki-laki yang mempunyai gelar kebangsawanan (keturunan) dalam melangsungkan pernikahan selalu memakai uang jemputan . Seperti yang terjadi pada perkawinan seorang Syech dari Aceh dengan seorang wanita dari Tiku Pariaman, di mana pihak keluarga laki-laki (tempat syech tinggal) meminta sejumlah persyaratan kepada pihak keluarga perempuan seperti pakaian, sebuah ringgit emas, salapah dan tungkatan (tingkatan) . Barang-barang ini harus dibawa pada saat Syech melangsungkan pernikahannya (Amran, 1991). Permintaan persyaratan itu bagi pihak keluarga laki-laki merupakan sebagai penghormatan, sekaligus menunjukan laki-laki yang akan dijadikan menantu mempunyai asal-usul yang jelas dan mempunyai status sosial yang tinggi dalam masyarakat. Dengan demikian gelar keturunan menentukan posisi laki-laki dalam struktur masyarakat Pariaman pada saat itu. Orang yang mempunyai gelar ditempatkan pada lapisan atas dan menjadi perioritas utama untuk diterima sebagai menantu dalam tradisi bajapuik.

Dasar inilah yang dijadikan orang Pariaman dalam mencari seorang menantu. Sebagai implikasinya untuk mendapatkan seorang sumando yang terhormat, maka dilihatlah dari gelar yang dimilikinya. Hamka (1982:5), “pada saat itu orang-orang Pariaman mencari menantu hanya bertujuan untuk mendapatkan keturunan yang bermartabat tinggi”. Kewajiban untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari dibebankan kepada mamak.

Untuk selanjutnya gelar kebangsawanan disebut juga dengan gelar keturunan, karena dalam praktek berikutnya gelar-gelar itu diturunkan lagi dari ayah kepada anak laki-laki. Menurut terminologi Linton (dalam Garna, 1996:179), Untuk selanjutnya gelar kebangsawanan disebut juga dengan gelar keturunan, karena dalam praktek berikutnya gelar-gelar itu diturunkan lagi dari ayah kepada anak laki-laki. Menurut terminologi Linton (dalam Garna, 1996:179),

2.3. Perkawinan dan Kekerabatan di Minangkabau

Secara kultural, suku bangsa Minangkabau menganut sistem matrilineal-- garis keturunan yang menganut prinsip silsilah keturunan yang diperhitungkan melalui garis ibu. Atas dasar itu, sistem kekerabatan di Minangkabau dikatakan bersifat unilineal atau unilateral yaitu menghitung garis keturunan hanya mengakui satu pihak orang tua saja sebagai penghubung keturunan yakni “ibu”. Oleh karena itu sistem “materilineal” disebut dengan garis keturunan “ibu” atau sako-indu (Amir, 2006).

Dengan sistem matrilineal, berarti anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan mengikuti garis keturunan ibu. Pada masyarakat dengan prinisip matrilineal, baik laki-laki maupun perempuan menarik garis keturunan ke atas, hanya melalui penghubung wanita saja seperti; ibunya, neneknya dan seterusnya. Hubungan persaudaran terjadi, apabila seseorang laki-laki atau perempuan mempunyai orang tua yang sama atau se ibu. Seseorang ayah bukanlah anggota dari garis keturunan anak-anak dan isterinya, tetapi anggota keluarga ibunya. Di dalam keluarganya ia dipandang dan diperlakukan sebagai tamu dan keberadaannya terutama bertujuan untuk memberi keturunan (Naim, 1979)

Menurut Radjab (1969); Kato (1989), sistem matrilineal mempunyai ciri- cirinya sebagai berikut;

1. Keturunan dan kelompok keturunan (corporate descent group), ditentukan dari garis ibu (maternal line).

2. Tingkat pengelompokan keturunan yang tertinggi adalah suku.

3. Tanah, rumah dan harta yang tidak bergerak lainnya adalah milik komunal dari kelompok keturunan itu, dan diwarisi secara turun-temurun menurut garis ibu.

4. Seorang laki-laki dewasa yang telah kawin memiliki dua macam fungsi, berjalan secara paralel dan simultan.

5. Laki-laki dewasa yang telah beristeri memiliki dwifungsi, pola domisili dan residensinya cendrung dualokal.

6. Perkawinan bersifat matrilokal, dimana suami mengunjungi rumah istrinya.

7. Tiap-tiap orang diharuskan kawin dengan orang di luar sukunya.

8. Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya dari saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan.

9. Kekuasaan mengatur dan melindungi di rumah ibu terletak ditangan mamak .

Ciri-ciri sistem matrilineal itu, seorang ibu mendapat tempat yang istimewa dan sangat penting dalam masyarakat Minangkabau. Harta pusaka dan waris diturunkan menurut garis ibu. Dalam ungkapan adat, seorang ibu disebut juga dengan limpapeh rumah nan gadang, artinya tonggak tua dari sebuah rumah (rumah adat) yang dihuni oleh keluarga besar (extended family) menurut sistem matrilineal. Istilah lain untuk seorang ibu adalah amban puruak, artinya penyimpan harta pusaka atau pemegang kunci biliak (kamar tidur serta tempat menyimpan barang-barang berharga).

Sebuah rumah gadang dihuni oleh beberapa keluarga batih (nuclear family) dan ditambah dengan nenek dan wanita-wanita yang belum kawin atau yang disebut dengan saparuik. Saparuik terdiri dari individu-individu yang mempunyai hubungan geneologis tiga atau empat generasi (Radjab, 1969; Kato 1982) mendiami sebuah rumah gadang, seperti yang terlihat dalam gambar 1 berikut ini

Generasi Nenek

Generasi Ibu

Generasi Anak

Gambar 1 Anggota Saparuik dalam Satu Rumah Gadang (Sumber: (Kato, 1982)

Saparuik seperti yang tergambar dalam skema di atas, selain menempati satu rumah gadang juga terkait dengan kepemilikan lahan pertanian bersama lahan/harta atau yang disebut dengan harta pusaka. Harta pusaka ini menjadi milik bersama saparuik. Oleh sebab lahan (harta pusaka) itu menjadi milik bersama, sehingga dapat diolah dan dikonsumsi bersama. Harta pusaka yang dimaksud adalah pusaka tinggi berupa lahan (sawah dan ladang), yang diwarisi secara turun- temurun berdasarkan garis keturunan ibu. Harta pusaka tinggi itu akan terdistribusi kepada kaum perempuan dan tidak kepada kaum laki-laki. Bahkan dalam adat telah digariskan bahwa kaum perempuan, mempunyai hak akses dan pemanfaatan dan pengambilan. Atas dasar itu pulalah, kelompok saparuik dan samande menurut menurut Joselin de Jong (1951); Radjab, (1969: 24-25), kelompok-kelompok kekerabatan yang fungsional dalam mengorganisasikan aktivitas ekonomi dan sosial, sedangkan kaum laki-laki sebagai orang yang mengawasi dan mengatur (management) harta tersebut.

Dengan demikian semua harta yang dimiliki oleh satu paruik (harta komunal) menurut adat Minangkabau, adalah bertujuan untuk kesejahteraan dan keselamatan kaum seperti yang dikatakan oleh Amir, 1987; 155 sebagai berikut:

1. Sebagai menghargai jerih payah nenek moyang yang telah mencancang, menambang. Manaruko, mulai dari zaman dahulu sampai ka mande kita sendiri”.

2. Sebagai lambang ikatan yang bertali darah dan supaya tali jangan putus, kait-kait jangan sekah (pecah), sehingga barang siapa yang melanggar akan merana dan sengsara seumur hidupnya dan keturunannya.

3. Sebagai jaminan hidup kaum yang sejak dahulu hingga sekarang, masih terikat pada tanah (agraris).

4. Sebagai lambang kedudukan sosial.

Oleh sebab itu harta pusaka dapat digunakan untuk empat perkara: Pertama, maik tabujua di tangah rumah, bila ada kematian dan keluarga tak berkecukupan untuk membiayai penguburan. Kedua, gadih gadang tak balaki, bila kemenakan belum bersuami, hal ini sangat merisaukan keluarga, apalagi kalau tunggal, takut bisa punah. Ketiga, mambangkik batang tarandam, bila gelar penghulu telah lama “balipek” (disimpan saja) karena tidak ada biaya untuk upacara “puntiang penghulu” (pengangkatan penghulu) baru. Empat, rumah Oleh sebab itu harta pusaka dapat digunakan untuk empat perkara: Pertama, maik tabujua di tangah rumah, bila ada kematian dan keluarga tak berkecukupan untuk membiayai penguburan. Kedua, gadih gadang tak balaki, bila kemenakan belum bersuami, hal ini sangat merisaukan keluarga, apalagi kalau tunggal, takut bisa punah. Ketiga, mambangkik batang tarandam, bila gelar penghulu telah lama “balipek” (disimpan saja) karena tidak ada biaya untuk upacara “puntiang penghulu” (pengangkatan penghulu) baru. Empat, rumah

Gambaran mengenai keutuhan keluarga nan saparuik yang menempati satu rumah gadang dengan harta bersama, menurut beberapa analis seperti Josselin de Jong (1951), Schreike (1955), Oki (1977), Benda-Beckmann (2000) telah mengalami perubahan. Perubahan itu adalah akibat penetrasi perekonomian kapitalis yang masuk ke dalam masyarakat, sehingga mengakibatkan lemahnya sistem kekerabatan Minangkabau. Lebih jauh dikatakan oleh para analis ini, keluarga batih dalam kondisi seperti ini cenderung mempunyai hubungan yang lemah dengan anggota kerabatnya yang lain. Sebagai implementasi dari adanya kecenderungan dari anggota saparuik untuk memiliki rumah sendiri, sehingga terpisah dalam melakukan aktifitas-aktifitas ekonomi dan konsumsi dengan anggota-anggota saparuik yang lainnya (Afrizal 1997).

Meski secara eksplisit, ikatan kekerabatan mengalami perubahan, tetapi hubungan antara sesama anggota saparuik di luar keluarga batih masih kuat— ikatan kekerabatan menyediakan jaringan kepada induvidu-induvidu sebagai tempat untuk mencari bantuan ekonomi dan sosial ketika mereka membutuhkan (Litwak dan Szelenyi, 1969; Sussman dan Burchinal, 1979). Bantuan ekonomi dan sosial yang diperoleh antara lain penyediaan akomodasi bagi kerabat, bantuan finansial, konsultasi untuk memecahkan persoalan yang dihadapi (lihat Young dan Willmot, 1951; Sussman dan Burchinal, 1979). Mobilitas geografis tidak menjadi penghalang untuk berfungsinya ikatan kekerabatan sebagai sebuah jaringan (Litwak dan Szelenyi, 1969).

Adapun bantuan itu menurut Sussmann dan Burchinal, (1979), di rangkum sebagai berikut: Pertama, pola bantuan meliputi banyak bentuk, di antaranya pertukaran jasa, hadiah, advis dan bantuan finansial. Bantuan finansial langsung diberikan kepada pasangan muda yang melakukan pernikahan. Kedua, hanya sedikit sekali keluarga yang tidak memberikan atau menerima bantuan dari saudara mereka. Meskipun hingga saat ini bantuan itu tidak sepenuhnya diberikan kepada anggota yang membutuhkannya. Ketiga, Pertukaran bantuan di antara

anggota tersebut meliputi; antara orang tua dengan anak, di antara saudara, dan dalam frekuensi yang lebih rendah di antara saudara jauh. Akan tetapi untuk bantuan finansial umumnya terdapat antara orang tua dan anak. Keempat, walaupun terdapat perbedaan jumlah bantuan finansial yang diterima oleh kelas menengah dan kelas pekerja, akan tetapi tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam proporsi bantuan yang diberikan atau diterima dari kedua strata keluarga ini. Kelima, bantuan finansial umumnya diterima selama tahun awal perkawinan. Orang tua tampak lebih membantu secara finansial perkawinan yang “direstui” ketimbang perkawinan yang “tidak direstui” misalnya kawin lari, perkawinan antar agama atau antar ras. Bantuan dapat berupa uang dalam jumlah yang cukup besar atau memberikan hadiah dalam bentuk barang-barang berharga pada saat perkawinan, kelahiran anak, dan dilanjutkan pada saat lebaran (Islam) atau ulang tahun. Bantuan yang besar diberikan orang tua dilakukan pada saat anak melangkah ke jenjang perkawinan, terutama status anak masih bergantung terutama bagi anak yang masih dalam pendidikan. Keenam, data hasil penelitian kurang memadai untuk memprediksi efek bantuan orang tua terhadap keberlangsungan keluarga dan hubungan perkawinan di antara pasangan yang menerima bantuan. Itulah yang terjadi dalam pelaksanaan tradisi bajapuik saat ini. Bantuan dari keluarga luas tetap mengalir dalam bentuk materil seperti uang dan benda-benda kebutuhan rumah tangga.

Begitu juga halnya dengan hubungan mamak dan kemenakan. Seperti yang dikatakan oleh Kato, (1982); Afrizal, (1997), hubungan mamak dan kemenakan masih kuat dalam masyarakat Minangkabau saat ini. Walaupun seorang mamak tidak lagi mewariskan harta pencarian kepada kemenakannya, mamak masih cenderung untuk memberi bantuan sosial ekonomi kepada kemenakan apabila kemenakannya membutuhkan. Bahkan mamak masih terlibat dalam pengorganisasian perkawinan kemenakannya. Kondisi yang demikian menurut Navis (1984), karena falsafah adat Minangkabau telah menjadikan semua orang hidup bersama-sama termasuk mengenai urusan perkawinan. Perkawinan ditempatkan menjadi persoalan kaum kerabat mulai dari mencari pasangan, membuat persetujuan, pertunangan dan perkawinan, bahkan sampai kepada segala Begitu juga halnya dengan hubungan mamak dan kemenakan. Seperti yang dikatakan oleh Kato, (1982); Afrizal, (1997), hubungan mamak dan kemenakan masih kuat dalam masyarakat Minangkabau saat ini. Walaupun seorang mamak tidak lagi mewariskan harta pencarian kepada kemenakannya, mamak masih cenderung untuk memberi bantuan sosial ekonomi kepada kemenakan apabila kemenakannya membutuhkan. Bahkan mamak masih terlibat dalam pengorganisasian perkawinan kemenakannya. Kondisi yang demikian menurut Navis (1984), karena falsafah adat Minangkabau telah menjadikan semua orang hidup bersama-sama termasuk mengenai urusan perkawinan. Perkawinan ditempatkan menjadi persoalan kaum kerabat mulai dari mencari pasangan, membuat persetujuan, pertunangan dan perkawinan, bahkan sampai kepada segala

Pentingnya keterlibatan kaum kerabat itu dalam perkawinan itu menurut Radjab, 1969; Amir 2006, dikarenakan terkait dengan fungsi perkawinan sebagai berikut:

1. Sebagai sarana legalisasi hubungan seksual antara seorang pria dengan seorang wanita dipandang dari sudut adat dan agama serta undang-undang negara.

2. Penentuan hak dan kewajiban serta perlindungan atas suami-isteri dan anak-anak.

3. Memenuhi kebutuhan manusia akan hidup dan status sosial, terutama untuk memperoleh ketentraman batin.

4. Memelihara kelangsungan hidup kekerabatan dan menghindari dari kepunahan.

Kehadiran seorang anak terutama perempuan sangat didambakan oleh keluarga Minangkabau. Anak perempuan merupakan penyambung keturunan agar tidak putus. Hal ini berhubungan juga dengan harta pusaka dan laki-laki sebagai mamak hanya memelihara dan jika perlu menambah. Jika di dalam suatu keluarga tidak ada anak perempuan, maka yang menjadi ujung keturunan anak laki-laki, maka keluarga itu dianggap punah (Amir, 2006; Latief, 2002).

Untuk itu perkawinan yang ideal menurut adat Minangkabau adalah antara keluarga dekat seperti perkawinan antar anak dengan kemenakan. Perkawinan seperti ini disebut dengan pulang ke mamak atau pulang ke bako. Pulang ka mamak berarti mengawini anak mamak (anak saudara laki-laki ibu), sedangkan pulang ke bako berarti mengawini kemenakan ayah. (Navis, 1984). Perkawinan dengan orang luar terutama mengawini perempuan luar, dipandang sebagai perkawinan yang akan merusak struktur adat mereka (Kato, 1989). Karena anak yang dilahirkan dari perkawinan itu bukanlah suku bangsa Minangkabau. Disamping itu kehidupan isteri akan menjadi beban bagi suaminya, padahal setiap laki-laki tugas utamanya untuk kepentingan sanak saudaranya, kaumnya dan nagarinya. Kehadiran seorang isteri yang berasal dari luar dipandang sebagi beban bagi seluruh keluarga pula. Bahkan bisa pula laki-laki itu akan menjadi “anak hilang” dari kaum kerabatnya karena perempuan itu pandai merayu suaminya. Sebaliknya perkawinan perempuan minang dengan laki-laki Untuk itu perkawinan yang ideal menurut adat Minangkabau adalah antara keluarga dekat seperti perkawinan antar anak dengan kemenakan. Perkawinan seperti ini disebut dengan pulang ke mamak atau pulang ke bako. Pulang ka mamak berarti mengawini anak mamak (anak saudara laki-laki ibu), sedangkan pulang ke bako berarti mengawini kemenakan ayah. (Navis, 1984). Perkawinan dengan orang luar terutama mengawini perempuan luar, dipandang sebagai perkawinan yang akan merusak struktur adat mereka (Kato, 1989). Karena anak yang dilahirkan dari perkawinan itu bukanlah suku bangsa Minangkabau. Disamping itu kehidupan isteri akan menjadi beban bagi suaminya, padahal setiap laki-laki tugas utamanya untuk kepentingan sanak saudaranya, kaumnya dan nagarinya. Kehadiran seorang isteri yang berasal dari luar dipandang sebagi beban bagi seluruh keluarga pula. Bahkan bisa pula laki-laki itu akan menjadi “anak hilang” dari kaum kerabatnya karena perempuan itu pandai merayu suaminya. Sebaliknya perkawinan perempuan minang dengan laki-laki

Begitu pentingnya perkawinan dalam masyarakat Minangkabau, maka perkawinan yang dilakukan harus berusaha memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan (Amir, 2006). Berikut Sukmasari (1983) mengemukakan syarat-syarat perkawinan Minangkabau antara lain;

1. Kedua calon mempelai harus beragama Islam.

2. Kedua calon mempelai tidak sedarah dan tidak berasal dari suku yang sama, kecuali pesukuan itu berasal dari nagari dan luhak yang lain.

3. Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai orang tua dan keluarga kedua belah pihak.

4. Calon suami (marapulai) harus sudah mempunyai sumber penghasilan untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya.

Perkawinan yang dilakukan tanpa memenuhi syarat itu dapat dianggap perkawinan sumbang atau perkawinan yang tidak memenuhi syarat menurut adat Minang. Atas dasar itu pula perkawinan di Pariaman memperhatikan pekerjaan seorang laki-laki yang akan diterima sebagai menantu. Seorang laki-laki yang tidak mempunyai pekerjaan kurang dipandang atau diminati oleh pihak keluarga perempuan.

2.4. Perubahan Sosial Budaya

Pada dasarnya setiap masyarakat dalam kehidupannya akan mengalami perubahan-perubahan, demikian juga dengan kehidupan bersama manusia. Perubahan itu akan dapat diketahui, apabila dilakukan perbandingan, artinya adalah menelaah keadaan suatu masyarakat pada waktu tertentu dan kemudian membandingkannya dengan keadaan masyarakat itu pada masa yang lalu. Perubahan dalam masyarakat pada prinsipnya merupakan suatu proses yang terus- menerus, artinya bahwa setiap masyarakat pada kenyataan akan mengalami perubahan itu, akan tetapi perubahan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain tidak selalu sama, ada masyarakat yang mengalaminya lebih cepat bila dibandingkan dengan masyarakat yang lainnya. Simanjuntak (1981), perubahan sosial merupakan ciri khas semua masyarakat dan semua kebudayaan, baik masyarakat tradisional maupun masyarakat modern. Tetapi bedanya, dalam Pada dasarnya setiap masyarakat dalam kehidupannya akan mengalami perubahan-perubahan, demikian juga dengan kehidupan bersama manusia. Perubahan itu akan dapat diketahui, apabila dilakukan perbandingan, artinya adalah menelaah keadaan suatu masyarakat pada waktu tertentu dan kemudian membandingkannya dengan keadaan masyarakat itu pada masa yang lalu. Perubahan dalam masyarakat pada prinsipnya merupakan suatu proses yang terus- menerus, artinya bahwa setiap masyarakat pada kenyataan akan mengalami perubahan itu, akan tetapi perubahan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain tidak selalu sama, ada masyarakat yang mengalaminya lebih cepat bila dibandingkan dengan masyarakat yang lainnya. Simanjuntak (1981), perubahan sosial merupakan ciri khas semua masyarakat dan semua kebudayaan, baik masyarakat tradisional maupun masyarakat modern. Tetapi bedanya, dalam

Perubahan-perubahan dalam masyarakat menyangkut hal yang kompleks. Moore (dalam Lauer, 1989) misalnya perubahan sosial adalah perubahan yang berkaitan dengan struktur sosial. Struktur sosial merupakan pola-pola prilaku dan interaksi sosial. Selain itu Moore juga memasukan perubahan sosial sebagai ekspresi mengenai struktur seperti norma, nilai dan fenomena kultural. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Soekanto (1990), perubahan-perubahan yang terdapat di dalam masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola prilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan- lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan sebagainya. Kemudian Sills seperti yang dikutip Sastramiharja (1987), perubahan sosial adalah perubahan yang signifikan dari struktur sosial, yang di dalamnya termasuk pola-pola tindakan sosial dan interaksi sebagai akibat dan manifestasi dari struktur yang berisikan norma-norma, nilai-nilai, hasil-hasil kebudayaan dan berbagai simbol. Berikut tingkat analisis perubahan sosial dalam tabel 1 berikut.

Tabel 1. Tingkat Analisis Perubahan Sosial

Tingkat Wakil Kawasan Studi Wakil Unit-Unit Studi Analisis Global

Organisasi internasional; ketimpangan GNP; data perdagangan internal

Peradaban Lingkaran kehidupan, peradapan atau Inovasi Ilmiah, kesenian dan inovasi pola-pola perubahan lain (misalnya;

lain-lain; institusi sosial evolusioner atau dialektika) Kebudayaan

Kebudayaan materil dan kebudayaan Teknologi; idiologi; nilai-nilai non materil Masyarakat

Sistem stratifikasi; struktur; demografi; Pendapatan; kekuasaan dan gengsi, kejahatan

peranan, tingkat migrasi; tingkat pembunuhan

Komunitas Sistem stratifikasi; struktur; demografi; Pendapatan; kekuasaan dan gengsi; kejahatan

peranan; pertumbuhan penduduk; tingkat pembunuhan.

Institusi Ekonomi; pemerintahan; agama; Pendapatan keluarga, pola pemilihan perkawinan dan keluarga; pendidikan.

umum; jemaah Gereja dan Mesjid; tingkat perceraian; proporsi penduduk di perguruan tinggi.

Organisasi Struktur; pola interaksi; struktur Peranan; klik persahabatan; kekuasaan; produktivitas.

administrasi/ tingkat produksi Interaksi

Tipe interaksi; komunikasi Jumlah konflik; kompetisi atau kedekatan; identitas keseringan dan kejarangan partisipasi interaksi

Individu Sikap Keyakinan mengenai berbagai persoalan; aspirasi

Sumber: Lauer, (1989 : 6)

Penjelasan mengenai konsepsi perubahan sosial di atas menggambarkan bahwa perubahan sosial itu menyangkut berbagai tingkat kehidupan sosial, mulai dari yang lebih kecil sampai kepada yang lebih besar. Mengacu kepada tingkat analisis perubahan sosial di atas maka terkait dengan research ini (tradisi bajapuik ) termasuk kepada kawasan kebudayaan materi dan non materi dengan unit-unit studinya adalah nilai-nilai. Karena tradisi bajapuik yang terdiri dari uang japuik yang dalam realitanya tetap ada, namun nilai-nilai yang terdapat di dalam tradisi bajapuik telah mengalami perubahan. Ini terlihat dari nilai dasar dan bentuk-bentuk pertukaran, dimana pada awalnya gelar kebangsawanan, kemudian beralih kepada status sosial ekonomi (pekerjaan tetap) yang secara nyata menghasilkan uang. Begitu juga dengan bentuk pertukaran yang terdapat dalam tradisi bajapuik, pada awalnya sejumlah benda atau uang secukupnya (uang jemputan) berkembang menjadi bentuk-bentuk uang lainnya seperti; uang hilang, uang selo dan uang tungkatan. Atas dasar itu, maka perubahan yang terjadi dalam tradisi bajapuik, tentunya tidak terlepas dari nilai-nilai dan norma-norma yang sedang berkembang di dalam masyarakat. Bagaimana terjadinya perubahan itu dan faktor apa yang menyebabkan, disini pentingnya penelitian ini.

Oleh sebab itu penjelasan mengenai perubahan yang terjadi dalam tradisi bajapuik lebih tepat kiranya dengan menggunakan pandangan perspektif evelusionisme dari Comte. Perspektif ini melihat perkembangan masyarakat dengan menganalogikan seperti halnya proses evolusi yakni suatu proses perubahan yang berlangsung sangat lambat namun menuju suatu bentuk “kesempurnaan” (Etzioni, 1973). Kesempurnaan menurut Comte dalam masyarakat dicirikan oleh adanya pembagian kerja, masyarakat akan menjadi semakin kompleks, terdeferensiasi dan terspesialisasi (Sztompka, 2004). Dengan demikian perubahan yang terjadi dalam masyarakat dalam bentuk perkembangan yang linear menuju ke arah yang positif dan menuju suatu bentuk “kesempurnaan” masyarakat.

Pemikiran Comte tentang perubahan sosial didasari atas konsep dinamika sosial (social dynamics), yakni berupaya mencari kaidah-kaidah tentang gejala- gejala sosial di dalam rentang waktu yang berbeda (Salim, 2002). Dalam hal ini Comte berasumsi bahwa untuk memahami periode kelahiran modernitas, kita Pemikiran Comte tentang perubahan sosial didasari atas konsep dinamika sosial (social dynamics), yakni berupaya mencari kaidah-kaidah tentang gejala- gejala sosial di dalam rentang waktu yang berbeda (Salim, 2002). Dalam hal ini Comte berasumsi bahwa untuk memahami periode kelahiran modernitas, kita

Lebih rinci Comte melihat perkembangan masyarakat melalui pola berfikir tertentu yakni melalui tahapan-tahapan dalam alam berfikir manusia atau yang disebutnya dengan evolusi intelektual. Untuk itu Comte bertolak dari “hukum tiga tahap perkembangan manusia, yakni teologis, metafisik dan posistif. Setiap tahap dalam urutan itu adalah akibat penting dari tahap sebelumnya dan selalu menunjukkan perkembangan sesuai dengan tahap yang sedang mereka capai dan mempengaruhi unsur kehidupan masyarakat lainnya secara keseluruhan. Selanjutnya setiap kemunculan tahap baru akan diawali dengan pertentangan antara pemikiran tradisional dan pemikiran yang bersifat progresif. Adapun tahap perkembangan pemikiran manusia menurut Comte yaitu: 1) Tahap Teologis, pada tahap teologis ini adalah awal mula perkembangan pemikiran manusia. Pada tahap ini, yang selalu digunakan untuk menjelaskan semua fenomena atau kejadian di dunia adalah gagasan, ide atau doktrin-doktrin keagamaan. Pola pemikiran manusia pada tahap ini pada umumnya adalah menganggap bahwa semua benda yang ada di dunia ini memiliki jiwa atau roh yang berasal dari kekuatan yang berada diluar jangkauan manusia (kekuatan gaib, misalkan dewa). 2) Tahap metafisik, tahap ini sebenarnya hanya merupakan suatu modifikasi dari tahapan yang pertama (tahap teologis)--suatu fenomena tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang secara langsung dipengaruhi oleh kekuatan diluar jangkauan manusia seperti kekuatan roh nenek moyang atau dewa-dewa. Manusia mulai mencari pengertian dan penjelasan dari semua fenomena yang terjadi di alam dengan membuat abstraksi dan konsep metafisik (spekulatif). 3) Tahap positif, tahap ini yang menjadi dasar pemikiran aliran positivistik-- pemikiran manusia mencoba untuk menerangkan atau memberikan penjelasan terhadap semua fenomena yang terjadi di dunia ini berdasarkan hukum-hukum yang dapat diamati, diuji dan dibuktikan Lebih rinci Comte melihat perkembangan masyarakat melalui pola berfikir tertentu yakni melalui tahapan-tahapan dalam alam berfikir manusia atau yang disebutnya dengan evolusi intelektual. Untuk itu Comte bertolak dari “hukum tiga tahap perkembangan manusia, yakni teologis, metafisik dan posistif. Setiap tahap dalam urutan itu adalah akibat penting dari tahap sebelumnya dan selalu menunjukkan perkembangan sesuai dengan tahap yang sedang mereka capai dan mempengaruhi unsur kehidupan masyarakat lainnya secara keseluruhan. Selanjutnya setiap kemunculan tahap baru akan diawali dengan pertentangan antara pemikiran tradisional dan pemikiran yang bersifat progresif. Adapun tahap perkembangan pemikiran manusia menurut Comte yaitu: 1) Tahap Teologis, pada tahap teologis ini adalah awal mula perkembangan pemikiran manusia. Pada tahap ini, yang selalu digunakan untuk menjelaskan semua fenomena atau kejadian di dunia adalah gagasan, ide atau doktrin-doktrin keagamaan. Pola pemikiran manusia pada tahap ini pada umumnya adalah menganggap bahwa semua benda yang ada di dunia ini memiliki jiwa atau roh yang berasal dari kekuatan yang berada diluar jangkauan manusia (kekuatan gaib, misalkan dewa). 2) Tahap metafisik, tahap ini sebenarnya hanya merupakan suatu modifikasi dari tahapan yang pertama (tahap teologis)--suatu fenomena tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang secara langsung dipengaruhi oleh kekuatan diluar jangkauan manusia seperti kekuatan roh nenek moyang atau dewa-dewa. Manusia mulai mencari pengertian dan penjelasan dari semua fenomena yang terjadi di alam dengan membuat abstraksi dan konsep metafisik (spekulatif). 3) Tahap positif, tahap ini yang menjadi dasar pemikiran aliran positivistik-- pemikiran manusia mencoba untuk menerangkan atau memberikan penjelasan terhadap semua fenomena yang terjadi di dunia ini berdasarkan hukum-hukum yang dapat diamati, diuji dan dibuktikan

Mengikuti pemikiran Comte di atas, perkembangan pola berfikir dari suatu masyarakat memberikan kekuatan pendorong perubahan dalam pikiran atau semangat manusia. Dengan semangat itulah manusia memahami realitas, berasumsi dan membuat metoda yang diterapkan dalam upaya menjelaskan, memprediksikan dan mengendalikan kehidupan masyarakat. Kualitas dan kuantitas pengetahuan yang dikuasai masyarakat terus berkembang. Derajat pengetahuan yang dimiliki masyarakat mempengaruhi atau menentukan semua aspek kehidupan masyarakat lainnya: ekonomi, politik, dan militer (Johnson; 1986; Sztompka (2004).

Untuk memperoleh gambaran gagasan Comte tentang perubahan sosial masyarakat dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Perubahan Masyarakat dalam Perspektif Evolusi

Kategori

Bentuk Perubahan

Landasan Pemikiran

Perkembangan Organisme

Sifat Perubahan

Kumulatif

Arah Perkembangan

Linear/positif

Konsepsi

Optimis

Dengan demikian suatu yang digaris bawahi dari pemikiran di atas adalah bahwa Comte tidak hanya mampu menjelaskan basis aktif struktur masyarakat tetapi juga mampu menjelaskan rangkaian perkembangan manusia. Memberikan perspektif baru bahwa perubahan adalah sesuatu yang normal, wajar, bahwa perubahan yang beraneka ragam terbuka bagi semua masyarakat, karena pada dasarnya semua masyarakat memiliki pola perubahan yang sama.