Teori Legitimasi Landasan Teori

2.1.3 Teori Legitimasi

Teori legitimasi menegaskan bahwa perusahaan terus berupaya untuk memastikan bahwa mereka beroperasi dalam bingkai dan norma yang ada dalam masyarakat atau lingkungan di mana perusahaan berada, di mana mereka berusaha untuk memastikan bahwa aktifitas mereka perusahaan diterima oleh pihak luar sebagai “sah” Deegan, 2004. Pendapat yang sama diungkapkan juga oleh Tilt dalam Hannifa et al. 2005 dikutip dari Maulana, 2008, yang menyatakan bahwa perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat untuk melakukan kegiatannya berdasarkan nilai-nilai justice, dan bagaimana perusahaan menanggapi berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi tindakan perusahaan. Dowling dan Pfefer 1975 dikutip dari Chariri dan Ghozali 2007: 411 menjelaskan bahwa teori legitimasi sangat bermanfaat dalam menganalisis perilaku organisasi. Mereka mengatakan p. 131: Karena legitimasi adalah hal yang penting bagi organisasi, batasan-batasan yang ditekankan oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial, dan reaksi terhadap batasan tersebut mendorong pentingnya analisis perilaku organisasi dengan memperhatikan lingkungan. Lindblom 1995 dalam Gray et al. 1995 menyatakan bahwa teori legitimasinya merupakan suatu kondisi atau status yang ada ketika suatu sistem nilai perusahaan kongruen dengan sistem nilai dari sistem sosial yang lebih besar di mana perusahaan merupakan bagiannya. Ketika suatu perbedaan yang nyata atau yang potensial ada antara kedua sistem nilai tersebut, maka akan muncul ancaman terhadap legitimasi perusahaan. Ghozali dan Chariri 2007:412 menyatakan bahwa hal yang melandasi teori legitimasi adalah “kontrak sosial” yang terjadi antara perusahaan dengan masyarakat dimana perusahaan beroperasi dan menggunakan sumber ekonomi. Shocker dan Sethi 1974 dalam Ghozali dan Chariri 2007:412 memberikan penjelasan tentang konsep kontrak sosial, yaitu: “Semua institusi sosial tidak terkecuali perusahaan beroperasi di masyarakat melalui kontrak sosial, baik eksplisit maupun implisit, dimana kelangsungan hidup dan pertumbuhannya didasarkan pada: 1 hasil akhir yang secara sosial dapat diberikan kepada masyarakat luas 2 distribusi manfaat ekonomi, sosial atau politik kepada kelompok sesuai dengan power yang dimiliki.” Lindblom 1994 dalam Yuniarti 2008 mengemukakan bahwa, jika perusahaan merasa bahwa legitimasinya dipertanyakan maka dapat mengambil beberapa strategi perlawanan, yaitu: 1. Perusahaan dapat berupaya untuk mendidik dan menginformasikan kepada stakeholders-nya mengenai perubahan yang terjadi dalam perusahaan. 2. Perusahaan dapat berupaya untuk merubah pandangan stakeholders tanpa mengganti perilaku perusahaan. 3. Perusahaan dapat berupaya untuk memanipulasi persepsi dengan cara membelokkan perhatian stakeholders dari isu yang menjadi perhatian kepada isu lain yang berkaitan dan menarik. 4. Perusahaan dapat berupaya untuk mengganti dan mempengaruhi harapan pihak eksternal tentang kinerja perusahaan. Teori legitimasi kaitannya dengan kinerja sosial dan kinerja keuangan adalah apabila jika terjadi ketidakselarasan antara sistem nilai perusahaan dan sistem nilai masyarakat atau sering disebut legitimacy gap, maka perusahaan dapat kehilangan legitimasinya, yang selanjutnya akan mengancam kelangsungan hidup perusahaan Lindblom, 1994 dalam Gray et al.,1995. Namun demikian harus diingat bahwa keberadaan dan besarnya legitimacy gap bukanlah hal yang mudah untuk ditentukan, yang penting adalah bagaimana perusahaan berusaha memonitor nilai-nilai perusahaan dan nilai-nilai sosial masyarakat dan mengindentifikasi kemungkinan munculnya gap tersebut Chariri dan Ghozali, 2007: 413.

2.2 Kinerja Sosial Perusahaan