Penerapan Azas Keadilan pada Putusan Tingkat Kasasi Nomor 667 K/Pdt.Sus-PHI/2016
1.2.1. Penerapan Azas Keadilan pada Putusan Tingkat Kasasi Nomor 667 K/Pdt.Sus-PHI/2016
Berdasarkan analisis penulis mengenai putusan hakim pada Tingkat Kasasi yang membatalkan putusan pada Tingkat Pengadilan Hubungan Industrial Nomor 05/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Pbr. terdapat beberapa kesalahan dalam menerapkan hukum. Majelis Hakim berpendapat bahwa putusan Judex Facti dalam amarnya menghukum Tergugat membayar uang kompensasi kepada Penggugat Rp. 63.490.950,00 (enam puluh tiga juta empat ratus sembilan puluh ribu sembilan ratus lima rupiah), padahal dalam petitum gugatannya Penggugat menuntut membayar upah sebelum putusan pengadilan ditetapkan 6 bulan, 2 (dua) kali Uang Pesangon, Uang Pengganti Masa Kerja, dan Uang Penggantian Hak secara tunai dan sekaligus seluruhnya berjumlah Rp. 47.857.500,00 (empat puluh tujuh juta delapan ratus lima puluh tujuh ribu lima ratus rupiah). Keputusan Majelis Hakim yang demikian dianggap ultra petita dan melanggar Ketentuan Pasal 178 ayat (3) HIR dan Pasal 189 Ayat (3) RBg sehingga permohonan kasasi harus dikabulkan dengan membatalkan putusan Judex Facti.
Menurut penulis, Majelis Hakim Agung pada Tingkat Kasasi harus memberikan apa yang seharusnya menjadi hak pekerja seperti yang telah diputuskan oleh Majelis Hakim pada Tingkat I. Sangat memungkinkan bagi pengusaha memberikan perintah mutasi kepada pekerja namun apabila perintah tersebut kemudian diikuti dengan perintah pindah rumah, maka pengusaha wajib mempertimbangkan alasan-alasan pekerja apabila pekerja belum siap untuk pindah rumah. Dalam kasus ini, alasan Sdr. Erikson belum
memenuhi perintah pengusaha untuk pindah rumah adalah karena anak dari Sdr. Erikson yang saat itu duduk di kelas VI SD dan akan melaksanakan Ujian Nasional. Apabila Sdr. Erikson menuruti perintah untuk pindah rumah, maka sang anak akan kesulitan menjangkau sekolah dengan jarak yang sangat jauh dan transportasi yang tidak memadai. Perlu diketahui, murid sekolah pada tingkatan kelas VI SD, Kelas IX/III SMP dan Kelas XII/III SMA/ SMU, tidak diperkenankan oleh Kepala Sekolah yang lama atau Kepala sekolah yang dituju, untuk pindah sekolah karena hal itu akan menyulitkan bagi si murid dalam mengikuti perkembangan pelajarannya dan menyulitkan bagi sekolah untuk menyesuaikan level pendidikan yang sudah berjalan di sekolah yang baru terhadap murid baru. Disamping itu, proses administrasi perpindahan murid pada tingkatan terakhir tersebut juga harus disertai dengan proses pengeluaran Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) atau Ijazah yang akan dikeluarkan.
Alasan-alasan tersebut dapat menjadi pertimbangan Majelis hakim Agung dalam memutuskan perkara agar tidak langsung mengabulkan permohonan Pemohon tanpa mempertimbangan dalil gugatan Penggugat pada Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri Pekanbaru. Mengingat, sang anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak dan tidak dipersulit hanya karena perpindahan pekerjaan yang dialami oleh orang tuanya.
Menurut penulis, putusan Majelis Hakim Tingkat I sudah merupakan pertimbangan hukum yang tepat dan benar. Putusan hakim yang melebihkan pembayaran upah dikarenakan adanya pengaturan tentang upah yaitu pada
Ketentuan Pasal 155 ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dihubungkan dengan Pasal (2) PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang menyatakan bahwa Hak atas Upah timbul pada saat terjadinya Hubungan Kerja antara Pekerja/Buruh dengan Pengusaha dan berakhir pada saat Putusnya Hubungan kerja. Hubungan kerja antara PT. Inti Kamparindo Sejahtera ditetapkan putus oleh pengadilan sejak putusan dibacakan yaitu tanggal 30 Maret 2016. Sedangkan PHK secara sepihak dilakukan oleh pengusaha pada bulan Mei tahun 2014. Oleh karenanya, penghitungan upah yang timbul akibat PHK yang dilakukan oleh PT. Inti Komparindo Sejahtera terhadap Erikson Situmorang menurut Majelis Hakim Tingkat I telah sesuai dengan hukum yang berlaku.
Pertimbangan hukum Majelis Hakim Agung Tingkat Kasasi belum sepenuhnya mencerminkan asas keadilan dan masih terlihat adanya kesenjangan sosial, yakni, Majelis Hakim Agung hanya melihat dari pihak yang kuat yaitu pengusaha tanpa mempertimbangkan alasan pekerja. Seharusnya alasan Sdr. Erikson tidak pindah rumah sampai menunggu sang anak selesai Ujian Nasional merupakan alasan yang logis dan patut untuk dipertimbangkan.
Berdasarkan teori keadilan Rawls, penulis berpendapat keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal, pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus meposisikan diri sebagai Berdasarkan teori keadilan Rawls, penulis berpendapat keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal, pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus meposisikan diri sebagai