TIDAK ADA MAHASISWA YANG SALAH

TIDAK ADA MAHASISWA YANG SALAH

Setelah pulang dari KKN, aku akhirnya melanjutkan bimbingan skripsiku hingga ke BAB

IV. Setelah itu aku melanjutkan bimbingan ke SINOPSIS skripsiku. Mungkin karena sudah terbiasa dengan model didikan belajar gaya militer yang sudah ditanamkan oleh ustadzku saat masih di pondok Al-Ishlah dulu, misalkan salah satunya adalah: kalau mengerjakan sesuatu itu harus terus dan terus dilakukan alias tidak boleh setengah-stetengah. Makanya saat aku bimbingan SINOPSIS bahasa Indonesia kepada dosen pembimbing kedua sekaligus

melakukan bimbingan SINOPSIS ( 要 旨 ) ke native orang Jepang langsung sebagai pembimbing youshi ‘sinopsis’ skripsiku dengan maksud agar segera selesai tanpa minta ijin ke dosen pembimbingku tersebut dulu. Akibatnya aku kena marah dari dosen pembimbing

keduaku itu. Setelah itu akhirnya skripsiku selesai juga. Akhirnya sidang skripsiku pun digelar. Sidang skripsiku dilakukan di tempat pengujian

sendiri-sendiri oleh masing-masing dosen pengujiku. Dosen penguji kedua sekaligus

pembimbing kedua menguji skripsiku terlebih dulu. Aku tidak tahu maksudnya dosen tersebut menguji skripsiku ditempat terbuka dengan dilihat oleh dosen-dosen yang lainnya. Aku tidak tahu kenapa beliau mengujiku ditempat banyak dosen lainnya seperti itu. Maksudnya ingin menguji mentalku agar bisa tambah berani kah? Atau ingin menjatuhkan martabatku sebagai mahasiswanya kah? kalau aku ini hanyalah mahasiswa sedangkan dia itu dosen atau gimana masih berkecamuk saja pikiran dan hatiku saat itu. Imbasnya aku kurang semangat saja dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya saat itu. Salah satunya adalah mengenai apa bedanya linguistik kontrastif dengan linguistik komparatif? Apalagi saat itu aku masih dalam suasana berduka, galau dan lain-lainnya. Disisi lain, aku malah teringat tentang almarhum ayahku juga saat itu. Aku pikir dengan menulis skripsi tentang perbandingan Bahasa Jawa dengan Bahasa Jepang mengenai undak-usuk-nya atau tingkatannya paling tidak ada sesuatu yang bisa aku tunjukkan ke beliau meskipun beliau sudah tidak ada lagi di dunia ini. Ternyata karyaku nasibnya terombang-ambing kesana- kemari seperti perahu kecil yang sedang terkena ombak besar di tengah lautan. Akhirnya, selesai juga pengujian skripsi dengan pembimbing kedua. Karena aku dianggap kurang maksimal dalam menjawab pertanyaan dari penguji kedua akhirnya aku mendapat nilai B dari penguji tersebut.

Sebelum aku menghadap dosen pembimbing pertama untuk ujian sidang skripsiku kemudian aku menghadap penguji sidang selanjutnya sebagai penguji ketiga yaitu Prof. Dr. Kyouji Honda, M. A. Saat diuji oleh Prof. tersebut ternyata beliau memang sangat berbeda. Beliau menguji skripsiku hanya dilakukan di tempat tertutup, tidak boleh orang lain atau dosen yang lain untuk mengetahuinya. Dari sini aku baru mengetahui kalau orang Jepang yang berpendidikan memang sangat bagus dalam menghargai orang lain, termasuk mahasiswanya. Tidak ingin mahasiswanya mendapatkan malu. Setelah ujian sidang skripsiku selesai diuji oleh Honda Sensei, akhirnya selesai juga. Ternyata aku dikasih nilai A oleh beliau. Padahal banyak pertanyaan yang lewat aku jawab saat beliau bertanya.

Setelah aku melakukan ujian sidang ke dosen pembimbing kedua dan ketiga selesai akupun melaksanakan ujian sidang skripsi ke pembimbing ke tiga pada tanggal 18 Nopember 2012. Kemudian aku pun melakukan presentasi skripsiku selama kurang lebih 15 menit dihadapan beliau. Setelah aku selesai melakukan presentasi lalu beliau berdalih kepadaku begini: ’’Skripsi Anda salah semua!’’. Setelah dia berkata begitu pikiranku langsung tidak tenang, campur aduk tidak karuan setelah karyaku dianggap tidak ada harganya di depan beliau. Karena masih ada gejolak hati yang berkecamuk dalam diriku saat itu, akhirnya aku Setelah aku melakukan ujian sidang ke dosen pembimbing kedua dan ketiga selesai akupun melaksanakan ujian sidang skripsi ke pembimbing ke tiga pada tanggal 18 Nopember 2012. Kemudian aku pun melakukan presentasi skripsiku selama kurang lebih 15 menit dihadapan beliau. Setelah aku selesai melakukan presentasi lalu beliau berdalih kepadaku begini: ’’Skripsi Anda salah semua!’’. Setelah dia berkata begitu pikiranku langsung tidak tenang, campur aduk tidak karuan setelah karyaku dianggap tidak ada harganya di depan beliau. Karena masih ada gejolak hati yang berkecamuk dalam diriku saat itu, akhirnya aku

Setelah acara sidang terakhir itu aku pun semakin galau, panik dan gak tau mau dikemanakan skripsiku itu. Kemudian pada hari berikutnya aku pun menemui wali kelasku yang sekaligus ketua jurusan S1 Sastra Jepang UNDIP bernama Drs. Surono, S.U. saat itu dan menceritakan semuanya kepada beliau kenapa penguji terakhir sekaligus dosen pembimbing pertamaku tidak mau memberikan nilai? Setelah aku bercerita semuanya ke wali kelasku, wali kelas pun tidak membelaku. Aku tidak merasa puas tentang jawabannya beliau kepadaku. Beliau juga bilang kalau skripsiku memang salah semua dan harus diperbaiki.

Kemudian pada hari berikutnya saat selesai ketemu dengan wali kelasku tersebut malam harinya aku pun bertandang ke rumah Pak Haryo selaku penguji skripsiku yang belum memberikan aku nilai. Sesampainya dirumah beliau ternyata aku masih tidak disambut dengan baik. Meskipun aku berusaha untuk meminta maaf kepada beliau kalau memang aku bersalah. Beliau malah berdalih lagi begini: ’’Maaf untuk saat ini saya tidak ingin diganggu dulu. Anda itu jahat! Saya mendapatkan surat tugas dari fakultas untuk menjadi pembimbing Anda, saya harus bertanggung jawab kepada Anda dan juga fakultas!. Anda sudah melawan sistem lo! Kalau misalkan skripsi Anda disuruh mengulang lagi dari awal, tidak ada dosen yang mau membimbing Anda lagi! Silakan Anda pulang saja! Saya lagi sibuk, sementara waktu ini saya tidak ingin diganggu dulu! ’’ Walaupun beliau berkata seperti itu padaku aku pun berusaha menerima semuanya. Meskipun dalam keadaan hujan malam itu, kemudian aku berpamitan untuk pulang menuju rumahnya Pak Dokter saat itu juga dengan harapan yang hampa.

Sesampainya di rumah Pak Dokter aku pun mengganti bajuku yang sudah basah kuyub karena kehujanan. Sesampainya di kamarku aku pun susah untuk tidur, makan pun rasanya malas walaupun perut terasa lapar karena pikiran masih melayang, tidak bisa tenang dengan apa yang barusan aku alami malam itu.

Kemudian, pagi harinya aku menelpon kakak iparku yang berada di Kalimantan yang sudah lulus S2 dari UGM. Aku menceritakan semua peristiwa yang menimpaku semua kepada kakakku saat itu. Kakak iparku, Mas Eka suami dari kakak kandungku yang ke-5 Kemudian, pagi harinya aku menelpon kakak iparku yang berada di Kalimantan yang sudah lulus S2 dari UGM. Aku menceritakan semua peristiwa yang menimpaku semua kepada kakakku saat itu. Kakak iparku, Mas Eka suami dari kakak kandungku yang ke-5

Aku pun mengikuti sarannya kakak iparku saat itu. Setelah dua minggu berlalu, aku masih belum mendapat kabar apa-apa dari kampusku. Begitu pula saat sebulan sudah berlalu aku juga belum mendapat kabar apa-apa lagi. Sampai-sampai teman-teman yang awalnya aku mau bareng wisuda dengan mereka ternyata mereka sudah selesai diwisuda duluan. Kelulusanku terhambat akibat aku salah ucap, salah membela diri saat ujian sidang skripsiku saat itu, dianggap sudah mengadu domba terhadap dosen dan dinggap melawan sistem yang ada.

Ternyata dari kesalahanku dalam berucap saat itu aku pun bisa mengerti ternyata kedudukan dosen senior itu memang sangat berpengaruh dibanding dengan dosen yang masih dianggap junior. Buktinya? Saat aku membela diri kalau skripsiku itu sudah benar dari pembimbing kedua, dosen pembimbing pertamaku meski bimbingan skripsiku sudah disuruhnya menyerahkan bimbingan kepada pembimbing kedua ternyata masih dianggap salah semua hasilnya. Berarti kemampuan pembimbing keduaku yang sudah membimbing skripsiku hingga selesai masih dianggap remeh juga tentunya karena bisa jadi karena masih dianggap sebagai dosen pembimbing junior. Senioritas yang mempraktekkan bentuk rasis dan penghegemonian dalam dunia kerja masih berlaku terus ternyata. Tidak seperti saat di pesantren dulu seorang guru, ustadz yang berpangkat dan sudah menjadi da ’i yang hebat masih mau untuk belajar dengan salah satu santrinya yang kelihatan cerdas dan menonjol diantara semua santri-santrinya. Yah taulah mungkin dosen pembimbing kedua ku masih dianggap rendah ilmunya dibanding dengan dosen senior tersebut.

Dari kejadian yang aku alami tersebut aku bisa mengerti kalau dosen senior itu tidak mau dikalahkan ilmunya dengan dosen junior, dosen senior tidak mau dianggap ilmunya lebih tinggi dibanding dengan dosen junior. Yah, pada intinya akhirnya mahasiswa lah yang Dari kejadian yang aku alami tersebut aku bisa mengerti kalau dosen senior itu tidak mau dikalahkan ilmunya dengan dosen junior, dosen senior tidak mau dianggap ilmunya lebih tinggi dibanding dengan dosen junior. Yah, pada intinya akhirnya mahasiswa lah yang

Saat sebulan berlalu dan belum ada kabar mengenai skripsiku aku pun mempersiapkan buah tangan yang sudah aku persiapkan dari rumah istriku. Buah tangan tersebut sengaja dibuat sendiri oleh ibu mertua dan istriku. Kebetulan saat itu ayam yang berada dirumah istriku saat itu masih lumayan banyak jumlahnya, maka aku berikan satu ekor ayam matang (ingkung) saja buat oleh-oleh untuk dosenku tersebut. Aku yang memotong sendiri ayam tersebut kemudian istri dan ibu mertuaku yang memasakkannya. Sedangkan ibu kandungku hanya menitipkan jadah buatan tangannya sendiri. Karena ibuku sudah berumur jadi aku tidak mengajaknya untuk ikut ke Semarang kemudian aku mengajak ibu mertuaku untuk menemaniku datang kerumah dosen tersebut dengan tujuan untuk meminta maaf.

Setelah sampai di Semarang, ibu mertuaku aku suruh untuk istirahat sebentar di rumah Pak Dokter karena habis perjalanan dengan motor dengan jarak tempuh kurang lebih 3,5 jam dari Wirosari menuju Semarang bersamaku yang lumayan jauh jaraknya. Setelah selesai beristirahat kami pun langsung menuju ke rumah dosen tersebut. Sesampainya di rumah dosen tersebut ternyata wajahnya beliau masih menunjukkan marah kepadaku. Buktinya? Dibelakangku dosen tersebut malah menasehati ibu mertuaku. Kalau aku disebut-sebut sebagai anak yang kurang ajar lah, berani sama dosen lah atau apalah yang aku dengar malam itu membuat kupingku panas saja untuk mendengarnya tetapi aku tahan saja emosiku karena aku kesana hanya dengan satu tujuan, yaitu minta maaf, titik. Aku datang dengan niat minta maaf saja susahnya bukan main, tujuanku waktu itu bukanlah untuk mengemis nilai. Kalau memang aku tidak ditakdirkan untuk lulus S1 Sastra Jepang waktu itu yah biarlah itu memang sudah nasibku kalau memang harus begitu... katanya seseorang yang habis menunaikan ibadah haji dari tanah suci itu harus bisa lebih tawadzu ’, rendah diri dan harus bisa untuk menjaga sikap atau mengekang emosinya... Kalau begitu ibadah hajinya memang harus dipertanyakan lagi dong? Haji mabrur atau sekedar mabur aja?!? Ya Allah...Paringana sabar...Duh Gusti... ’’Itulah gumamku saat itu.’’ Aku pun meninggalkan oleh-oleh yang aku bawa dari kampung yang diserahkan langsung oleh ibu mertuaku saat itu. Entah mau diterima Setelah sampai di Semarang, ibu mertuaku aku suruh untuk istirahat sebentar di rumah Pak Dokter karena habis perjalanan dengan motor dengan jarak tempuh kurang lebih 3,5 jam dari Wirosari menuju Semarang bersamaku yang lumayan jauh jaraknya. Setelah selesai beristirahat kami pun langsung menuju ke rumah dosen tersebut. Sesampainya di rumah dosen tersebut ternyata wajahnya beliau masih menunjukkan marah kepadaku. Buktinya? Dibelakangku dosen tersebut malah menasehati ibu mertuaku. Kalau aku disebut-sebut sebagai anak yang kurang ajar lah, berani sama dosen lah atau apalah yang aku dengar malam itu membuat kupingku panas saja untuk mendengarnya tetapi aku tahan saja emosiku karena aku kesana hanya dengan satu tujuan, yaitu minta maaf, titik. Aku datang dengan niat minta maaf saja susahnya bukan main, tujuanku waktu itu bukanlah untuk mengemis nilai. Kalau memang aku tidak ditakdirkan untuk lulus S1 Sastra Jepang waktu itu yah biarlah itu memang sudah nasibku kalau memang harus begitu... katanya seseorang yang habis menunaikan ibadah haji dari tanah suci itu harus bisa lebih tawadzu ’, rendah diri dan harus bisa untuk menjaga sikap atau mengekang emosinya... Kalau begitu ibadah hajinya memang harus dipertanyakan lagi dong? Haji mabrur atau sekedar mabur aja?!? Ya Allah...Paringana sabar...Duh Gusti... ’’Itulah gumamku saat itu.’’ Aku pun meninggalkan oleh-oleh yang aku bawa dari kampung yang diserahkan langsung oleh ibu mertuaku saat itu. Entah mau diterima

ﺮﯾدﺎـــﻘﻣ (Magadir) ‘Takdir’

ﺮﯾدﺎـــﻘﻣ ﺎــــﻨﻌﻟ ﻲﺒـــــﻠﻗ ﺎــﯾ (ya qalbil ‘ana) ‘Wahai hatiku yang sakit’ ﺮﯾدﺎـــﻘﻣ... ﺎــﻧأ ﻲﺒــــﻧذ شو (wizzambi ana) ‘Apa dosaku’

رﯾوﺎــــﺷﻣ ﻲﺗﺎـــــﯾﺣ ﻲــــﺿﻣﺗ و (wistumdhil hayatiy masyawir) ‘Hidupku terus melangsungkan

perjalanan. ’

ﺮﯾدﺎـــﻘﻣ... ﺮﯾدﺎـــﻘﻣ... ﺎــﻧﮭﻟا ﻰﻧــــﻣﺗأ و (wistmannal hana) ‘Aku berharap akan adanya

kebahagiaan ’

ﺎـــﻧﻛ حرــــﻔﻟاو ﺎــﻧﺣ ﺎــﻧﺣ دﺎـــﻌﯾﻣ ﻰــﻠﻋ ( ‘ala mi’ad hinna hinna walfarah kunna) ‘Kami berada di atas janji sebuah kesenangan. ’

ﺎــﻧﺣ لﻣﻷا ﻰــﻠﻋ ﺎﻧـــﺷﻋو ﺎﻧـــﺷﻋو دﺎـــﻌﺑ ﺎـــﻧﻛو (wakunna ba ’ad wa’isyna wa’isyna ‘alal amal

hinna) ‘Akan tetapi kami jauh dan hidup dengan pengharapan’ بــﯾﺎﻏ حرــــﻔﻟا نﺎﻛو (wakanil farah gaib) ‘Kesenangan menjadi raib’

بذﺎﻛ ﻞﻣﻷا ﺮــﺛأو (waatsril amal kazib) ‘Perasaan harapan hanyalah ilusi’ نوــﮭﺗ ﺔـــﺑﺣﻣﻟا فـــﯾﻛ ىوﮭﻟا لــھأﺎﯾ (yahlil hawa keifa mahabba tihun) ‘Wahai orang yang mempunyai cinta bagaimana caranya agar cinta bisa menjadi mudah ’ نوــــﯾﻌﻟا ﻲــــــﺳﻧﯾ ردــــﻘﯾ ىوـــﻧﻟا فـــﯾﻛ (Keifan nawa yiqdar yinassi ‘uyun) ‘ Bagaimana kejauhan mampu membuat mata menjadi lupa ’. نﯾﻧـــــﺳ ﻰــﻠﺣأ و نــــﯾﻧﺣ ةرــظﻧ (Nadhrit hanin wahla sinin) ‘Sekali pandangan kerinduan mendapat manis bertahun-tahun ’

ﺮﯾدﺎـــﻘﻣ ... نﯾزــــﺣﻟا ﻲﺑـــــﻠﻗ ﺎــﯾ ﺎھﺎﻧــﺷﻋ ﺎھﺎﻧــﺷﻋ ( ‘isynaha ‘isynaha ya galbil hazin... magadir) ‘Berikan aku sedikit pandangan kerinduan wahai hatiku yang sedih’. (Versi Warda, versi Mas ’ud Shidiq, dll)

Keesokan harinya, kemudian aku mendapat sms dari dosen pempimbingku yang kedua yang berbunyi begini: ’’Santos-san silakan diambil bungkusan Anda di Jimusho sekarang. Pak Haryo tidak mau menerimanya!. ’’ Kemudian aku membalas sms dari Lina Sensei begini: ’’Buat Sensei saja lah bungkusannya’’. Lina Sensei kemudian menjawabnya lagi: ’’Saya juga tidak mau untuk menerimanya!’’ Akhirnya bungkusan oleh-oleh yang susah Keesokan harinya, kemudian aku mendapat sms dari dosen pempimbingku yang kedua yang berbunyi begini: ’’Santos-san silakan diambil bungkusan Anda di Jimusho sekarang. Pak Haryo tidak mau menerimanya!. ’’ Kemudian aku membalas sms dari Lina Sensei begini: ’’Buat Sensei saja lah bungkusannya’’. Lina Sensei kemudian menjawabnya lagi: ’’Saya juga tidak mau untuk menerimanya!’’ Akhirnya bungkusan oleh-oleh yang susah

Setelah kejadian itu akhirnya aku meminta ibu mertuaku untuk pulang saja kerumahnya dengan naik bus. Kemudian, sore harinya aku ambil bungkusanku yang sudah dikembalikan di jimusho jurusanku itu dengan ditemani oleh Tofik Kurniawan menuju kampus FIB UNDIP Tembalang saat itu. Saat aku mengambil bungkusan oleh-oleh dari kampung itu ternyata diletakkan diatas tempat sampah. Sedih, malu, dan sakit hati ini rasanya kalau mengingat akan semua hal tersebut. Aku kemudian langsung mengambil bungkusanku itu dan membawanya ke rumah Ali Mukhlison di daerah Meteseh Semarang teman sekelasku saat duduk dibangku 2.3 saat masih di MAN 1 Semarang dulu agar dihangatkan lagi dan aku serahkan kepada keluarganya saja.

Pada keesokan harinya, kemudian aku dipanggil oleh Utami Sensei ke jimusho. Sampai di jimusho aku gantian dimarah-marahi oleh Utami Sensei waktu itu. Saat itu beliau berdalih begini:.... ’’Mulai sekarang Anda jangan datang-datang ke rumah dosen, jangan lagi telpon dosen, jangan lagi sms ke dosen. Pokoknya mulai sekarang intinya Anda diam tidak boleh melakukan apapun! Kalau tidak menurut dengan saya terserah pokoknya saya akan melepas Anda nanti! Saya tidak mau untuk mengurusi Anda lagi!...Anda tahu? Dengan memberikan bungkusan kerumah Pak Haryo Anda secara tidak langsung malah dianggap itu sebagai sogokan ? Dewasa sedikit dong Mas..!!! ’’.

Kemudian aku pun berkata: ’’ Iya Sensei’’ kepada beliau. Waktu itu sebenarnya aku sudah pasrah intinya mau dikeluarkan dari kampus atau tidak diluluskan skripsiku aku tidak mau tau dan tidak mau ngurusi lagi. Soal memberi oleh-oleh itu sebenarnya sudah menjadi tradisi dalam keluargaku. Kalau kita merasa berjasa kepada seseorang, ingin menyampaikan ungkapan terima kasih kepada orang yang telah berjasa kepada kita, mengeratkan hubungan tali silaturahmi, atau sebagai ungkapan permohonan maaf paling tidak dengan memberikan oleh-oleh atau buah tangan sebagai ungkapan tersebut. Kebiasaan itu sudah diterapkan dalam keluargaku sejak kecil oleh ayahku. Kalau pun memang aku berniat untuk menyogok dosen Kemudian aku pun berkata: ’’ Iya Sensei’’ kepada beliau. Waktu itu sebenarnya aku sudah pasrah intinya mau dikeluarkan dari kampus atau tidak diluluskan skripsiku aku tidak mau tau dan tidak mau ngurusi lagi. Soal memberi oleh-oleh itu sebenarnya sudah menjadi tradisi dalam keluargaku. Kalau kita merasa berjasa kepada seseorang, ingin menyampaikan ungkapan terima kasih kepada orang yang telah berjasa kepada kita, mengeratkan hubungan tali silaturahmi, atau sebagai ungkapan permohonan maaf paling tidak dengan memberikan oleh-oleh atau buah tangan sebagai ungkapan tersebut. Kebiasaan itu sudah diterapkan dalam keluargaku sejak kecil oleh ayahku. Kalau pun memang aku berniat untuk menyogok dosen

Kemudian seminggu setelah itu, aku pun mendapat sms lagi dari dosen pembimbing kedua yang isinya begini: ’’Santos san, silakan anda menemui Pak Haryo untuk merevisi skripsi Anda!. Aku pun membalas sms tersebut begini: ’’Iya, Sensei...Terima kasih...’’. Setelah mendapat sms dari dosen pembimbing kedua aku langsung menuju ke kampus jurusan S1 Sastra Indonesia di UNDIP. Disana aku sudah ditunggu-tunggu oleh dosen pembimbing pertamaku. Setelah itu aku disuruh untuk masuk ke ruangan beliau. Beliau lalu berdalih begini: ’’Silakan ya direvisi dari mulai BAB I dan BAB III-nya setelah itu datang lagi ke saya. Sudah saya tandai bagian-bagian mananya yang harus direvisi! ’’.

Setelah itu aku mohon diri dari ruangan beliau, aku pun kembali ke rumah Pak Dokter untuk merevisi skripsiku disana. Baru kali itu aku melihat beliau memberikan senyuman untukku semenjak beliau mengklaim kalau skripsiku salah semua saat ujian sidang dulu. Setelah aku merevisi skripsiku akhirnya pada minggu pertama aku mulai melakukan bimbingan revisi kepada dosen pembimbing pertama lagi.

Kemudian minggu keduanya karena masih ada kesalahan lagi di BAB I sampai BAB III, lalu aku merevisi skripsiku lagi. Setelah itu aku melakukan bimbingan revisi skripsi untuk minggu yang ketiga. Ternyata masih saja ada kesalahan di bagian BAB I pada skripsiku. Sedangkan BAB II, BAB III dan BAB IV sudah dianggap fixed. Selanjutnya setelah aku selesai merevisi skripsiku lagi ternyata masih ada kesalahan lagi pada skripsiku yang masih ada pada BAB I tentang Metode Penelitiannya. OMG...Ya, Allah berikan kemudahan atas jalanku ini untuk menuju kesuksesan ini... ’’Aku pun berdoa kepada-Nya seperti itu’’.

Setelah berkali-kali disalahkan terus dalam bimbingan revisi skripsiku, aku menjadi geram dan jengkel sendiri. Kemudian aku mempunyai inisiatif bertanya-tanya kepada teman Setelah berkali-kali disalahkan terus dalam bimbingan revisi skripsiku, aku menjadi geram dan jengkel sendiri. Kemudian aku mempunyai inisiatif bertanya-tanya kepada teman

Setelah mendapatkan informasi tentang nama, alamat dosen yang dimaksud aku pun langsung datang ke rumah dosen linguistik yang dianggap paling senior saat itu. Sesampainya dirumahnya beliau aku awalnya ditolak karena beliau lagi sedang sibuk karena waktu itu beliau memang lagi ada sekitar 20 lebih mahasiswa yang dibimbingnya mulai dari mahasiswa S1 sampai mahasiswa pascasarjana di FIB UNDIP Semarang. Tetapi, setelah aku menceritakan masalahku semuanya kepada Profesor tersebut kemudian beliau merasa iba dan kasihan kepadaku atas semua yang aku alami saat itu. Malam itu juga skripsiku dibantu oleh beliau. Kemudian beliau menyuruhku untuk mengeluarkan alat tulis dan buku. Aku pun nurut saja apa yang diperintahkan oleh beliau. Beliau kemudian menyuruhku mencatat semua apa yang disampaikan oleh beliau kepadaku saat itu. Setelah selesai aku mencatat semua apa yang dikatakan oleh beliau, kemudian beliau berdalih begini: ’’Ya sudah, karena saya merasakan kasihan kepada Anda dan demi kemanusiaan saya bantu skripsi Anda yang masih dianggap salah terus oleh dosen pembimbing Anda. Habis dari sini silakan pulang dan diketik dari semua yang Anda tulis dari saya ya Dik, esok harinya silakan diajukan ke dosen pembimbing Adik. ’’ Kemudian, aku pun pamit untuk pulang ke rumah Pak Dokter sambil mengucapkan banyak terima kasih kepada beliau karena sudah diberi bantuan untuk merevisi skripsiku. Sesampainya di rumah Pak Dokter aku pun langsung membuka notebook-ku dan memperbaiki skripsiku malam itu juga.

Keesokan harinya, aku langsung menghadap lagi ke dosen pembimbingku tersebut untuk menyerahkan revisian skripsiku lagi. Setelah melihat hasil revisianku akhirnya skripsiku dianggap selesai dan diminta dosen pembimbingku untuk menjilidnya. Alahmdulillah, Barakallah... ’’Begitulah ungkapan terima kasihku kepada-Nya atas segala nikmat-Nya’’. Kemudian beliau menyuruhku lagi untuk mengambil lembar berkas berita acara nilai skripsiku yang ada di jimusho. Setelah memberikan nilai padaku aku juga disuruh untuk Keesokan harinya, aku langsung menghadap lagi ke dosen pembimbingku tersebut untuk menyerahkan revisian skripsiku lagi. Setelah melihat hasil revisianku akhirnya skripsiku dianggap selesai dan diminta dosen pembimbingku untuk menjilidnya. Alahmdulillah, Barakallah... ’’Begitulah ungkapan terima kasihku kepada-Nya atas segala nikmat-Nya’’. Kemudian beliau menyuruhku lagi untuk mengambil lembar berkas berita acara nilai skripsiku yang ada di jimusho. Setelah memberikan nilai padaku aku juga disuruh untuk

Dari serentetan peristiwa demi peristiwa yang aku alami mulai awal sampai akhir menjadi status mahasiswa S1 Sastra Jepang UNDIP, Aku pun dapat berpikir bahwa walaupun aku masih berstatus mahasiswa saat itu memang tidak selayaknya untuk dipermalukan, dimarahi ditempat umum walaupun pernah melakukan salah kepada dosen entah disengaja ataupun tidak disengaja. Dosen juga tidak selamanya benar terus? Apakah dosen tidak mempunyai anak kandung? Apakah dosen tidak mempunyai adik kandung, saudara atau kerabat? Bagaimana perasaannya andai saja ada adiknya, saudaranya, kerabatnya atau bahkan ada anak kandungnya diperlakukan seperti itu? Apakah masih bisa menerima kalau ada adiknya, saudaranya, kerabatnya atau bahkan ada anak kandungnya dipermalukan di tempat umum?Apakah masih bisa menerima kalau ada adiknya, saudaranya, kerabatnya atau bahkan ada anak kandungnya dimarah-marahi di tempat umum? Itu lah salah satu simbol dari sebuah kekuasaan. Mereka belum bisa dikatakan hebat, kuat, atau apa kalau belum menindas orang yang dikuasainya. Semoga menjadi pelajaran yang berharga bagi pembaca semua kalau kita sedang berkuasa janganlah semena-mena. Apalah arti kekuasaan, jabatan, pangkat atau kedudukan di dunia yang tidak abadi ini? Apa tidak mau kita dikenang jasa kita yang baik, ilmu kita yang bermanfaat atau hal baik lainnya saat kita diberi kekuasaan, jabatan, pangkat atau kedudukan kepada kita dan bisa mempergunakan kekuasaan tersebut dengan sebaik- baiknya?. Toh kalau nantinya kita sudah pensiun dari kekuasaan tersebut tentunya kita sudah tidak bisa berkuasa lagi dan tidak ada gunanya lagi arti dari sebuah kekuasaan tersebut, bukan?.

Ajaran Nabi saja memarahi anak kandung sendiri dimuka umum itu tidak diperbolehkan. Imam Syafi ’i seorang ulama besar juga pernah berkata :’’Nasehati aku ketika sendiri, jangan nasehati di kala ramai, karena nasehat di kala ramai itu bagai sebuah hinaan yang melukai hati ’’. Menasehati di tempat ramai aja gak boleh apalagi memarah-marahi anak bahkan orang lain di tempat umum? Harga diri seorang anak harus dijaga oleh orang tua sepenuhnya selama orantuanya masih mempunyai kuwajiban terhadap anaknya karena kalau tidak bisa menjaga harga diri anaknya sendiri misalnya dengan mempermalukan atau memarahi anaknya ditempat umum berarti sama saja orang tua si anak tersebut telah gagal mendidik anaknya dengan baik karena tidak bisa menjaga harga dirinya sendiri atau martabatnya Ajaran Nabi saja memarahi anak kandung sendiri dimuka umum itu tidak diperbolehkan. Imam Syafi ’i seorang ulama besar juga pernah berkata :’’Nasehati aku ketika sendiri, jangan nasehati di kala ramai, karena nasehat di kala ramai itu bagai sebuah hinaan yang melukai hati ’’. Menasehati di tempat ramai aja gak boleh apalagi memarah-marahi anak bahkan orang lain di tempat umum? Harga diri seorang anak harus dijaga oleh orang tua sepenuhnya selama orantuanya masih mempunyai kuwajiban terhadap anaknya karena kalau tidak bisa menjaga harga diri anaknya sendiri misalnya dengan mempermalukan atau memarahi anaknya ditempat umum berarti sama saja orang tua si anak tersebut telah gagal mendidik anaknya dengan baik karena tidak bisa menjaga harga dirinya sendiri atau martabatnya

Disamping itu, kalau orang tua sedang bertengkar sebisa mungkin anak tidak boleh sampai tau dengan pertengkaran orangtuanya. Seringkali dalam berumah tangga ada saja masalah yang mengakibatkan pertengkaran bagi kedua orang tua. Karena terbawa emosi, orang tua terkadang melakukan pertengkaran itu di depan anak. Padahal, hal semacam itu dapat memberikan dampak yang buruk bagi anak. Oleh sebab itu, sebagai orang tua, ketika sedang dilanda emosi lebih baik bersegera pergi ke tempat (ruang khusus atau kamar pribadi) yang jauh dari jangkauan anak. Dampak buruk bagi anak apabila bertengkar di depan anak. Diantaranya: pertama, teladan yang buruk. Bagaimanapun anak adalah plagiator ulung. Apa yang mereka lihat akan sangat mudah untuk mereka tiru. Jika anak melihat orang tua bertengkar dalam menyelesaikan masalah maka dia akan bertengkar dengan temannya jika tidak setuju atau mempunyai masalah dengan temannya. Begitulah adanya anak, mereka suka meniru apa yang mereka saksikan. Kedua, anak mudah menjadi stress. Orang tua adalah tempat anak berlindung dari rasa khawatir dan cemas. Ketika anak takut dengan sesuatu atau apapun dia akan mencari dan berlari kepada orang tua karena orang tua adalah tempat berlindung. Apa yang dipikirkan anak jika tempat dia berlindung sedang bertengkar di depannya. Orang yang menjadi tempatnya berlindung sedang marah di depannya. Anak akan stres karena tidak tahu kemana harus berlindung ketika dia mengalami rasa takut atau khawatir.

Ketiga, si anak malah cenderung memiliki bahasa buruk. Bertengkar biasanya identik dengan teriakan dan makian yang dilontarkan satu sama lain. Jika orangtua melakukan hal tersebut di hadapan anak, maka bisa membuatnya jadi mengerti bahasa yang dilontarkan. Mendengar kata-kata itu bisa membuat si anak jadi mengikuti dan terbawa dalam pergaulannya. Keempat, hilang rasa percaya anak kepada orang tua. Yang diharapkan ketika anak mendapatkan masalah adalah anak mendapat solusi dari orang yang paling dekat dengan si anak, yaitu orang tua. Orang tua adalah tempat bergantung sepanjang hidupnya jika anak mendapat masalah. Cara ini adalah pilihan yang paling tepat jika anak minta solusi kepada orang tua.

Namun, hal ini tidak terjadi jika orang tua sering bertengkar di depan anak. Mungkin tidak bertengkar di depan anak tapi anak mendengar orang tuanya bertengkar, ini sama saja.

Anak tahu bahwa orang yang menjadi tumpuan masalahnya bertengkar di depannya. Maka akan terkikis rasa percaya anak kepada orang tuanya. Dan yang kelima adalah biasanya si anak akan mencari ketenangan di luar rumah. Ketika mendengar keributan atau pertengkaran di dalam rumah, bukan tidak mungkin si anak akan mencari ketenangan di luar rumah. Misalnya, anak remaja yang mendengar pertengkaran itu mungkin dirinya akan mencari ketenangan di luar rumah dengan melakukan hal-hal negatif. Hal negatif yang dilakukan, seperti merokok, minum minuman beralkohol, keluar malam bersama temannya, dan hal lainnya.

Disamping itu, suatu perlakuan yang tidak baik atau tidak pada tempatnya pada diri seseorang itu akan selalu membekas dimanapun berada, terus terkenang seumur hidup pada diri seseorang tersebut. Bagaimana dengan posisi dosen yang dikatakan bahwa dia disebut sebagai pelayannya mahasiswa dalam hal ilmu? Pantaskah orang yang berilmu mempraktekkan hal-hal seperti itu? Sepertinya cerita para senpai waktu aku kuliah D3 dulu itu memang benar adanya kalau ada beberapa senpai ada yang pernah dimarah-marahi di tempat umum, dipermalukan ditempat umum oleh dosen, dll. Akhirnya terjadi juga deh denganku. Malahan bisa jadi yang terjadi padaku ini lebih heboh lagi daripada yang sudah- sudah. Kejadianku ini bisa jadi memang dianggap biasa untuk kalangan tertentu, dianggap biasa karena menunjukkan siapa yang berkuasa dan yang dikuasai. Seseorang itu akan terbuka semua jati dirinya saat dia diberi kekuasaan, jabatan, pangkat atau kedudukan tertentu seperti apa yang telah dikatakan oleh Presiden Amerika Serikat ke 16 bernama Abraham Lincoln sebagai berikut: ’’Hampir semua orang dapat menanggung kemalangan, tapi jika Anda ingin menguji watak manusia, cobalah mereka diberi kekuasaan ’’.

Saat itu, saat temanku mau bimbingan, ada juga temanku dari sastra yang juga dimarah- marahi oleh salah satu dosen yang berada di jimusho karena saat mau bimbingan kepada beliau dia dianggap salah dalam menggunakan diksi atau pilihan kata dalam ber-sms dengan beliau. Bahasa sms-nya tersebut dianggap kurang menunjukkan makna kesantunan dalam berbahasa. Kemudian temanku itu akhirnya dimarah-marahi di depan dosen-dosen yang lain. Aku jadi merasa kasihan saat temanku bercerita sambil menangis kepada aku dan Siska. Apalagi saat oknum dosen tersebut marahnya sambil membawa-bawa namaku dan Nunung temanku. Aku pun langsung cerita juga ke temanku si Nunung. Kontan saja si Nunung marah setelah mendengar ceritaku itu. Bedanya marahnya si Nunung hanya bisa diam saja sedangkan aku orangnya terbiasa untuk kritis dan selalu ada aksi kalau ada seseorang yang sudah menyinggung diriku.

Kemudian saat itu pas posisi kebetulan sedang on line facebook aku pun mengungkapkan semua kemarahanku di dunia maya. Karena aku tidak terima karena marah kepada orang lain namaku dibawa-bawa juga. Saat itu aku tidak terima dari kalimat berikut ini: ’’Anda mau nasib Anda seperti Santos dan Nunung? ’’. Karena aku belajar linguistik aku pun marah dengan makna kata nasib yang digunakan pada kalimat tersebut. Menurut KBBI kata nasib disebutkan maknanya adalah sesuatu yang ditentukan oleh Tuhan terhadap diri seseorang. Secara pragmatik, psikolinguistik dan sosiolinguistik makna kata tersebut tidak layak dipakai oleh seorang dosen saat memarahi mahasiswanya apalagi ditempat umum. Karena yang berhak menentukan nasib itu bukan manusia biasa seperti kita, tetapi Tuhanlah, Allah SWT yang Maha Segala-galanya. Dosen juga manusia biasa, tidak bisa menggantikan posisi Tuhan, Allah SWT Sang Pencipta makhluk-Nya yang menentukan nasib, jodoh, rejeki dan lain-lain. Sebaik-baik manusia adalah yang memberikan manfaat kepada yang lainnya. Tugas manusia biasa hanyalah berusaha dan berdoa saja atau bahasa prokemnya biasa dikenal dengan DUIT (Doa, Usaha, Iman, dan Tawakal). Orang lain boleh menganggapku heboh, durhaka kepada orang tua/dosen atau apalah aku pun tidak memperdulikannya setelah itu. Karena dalam aku bertindak karena ada hadits yang berbunyi: ’’Katakanlah yang benar itu benar adanya walaupun itu terasa pahit ’’.

Itulah aku. Aku memang sudah terbiasa seperti itu kalau sedang mengkritisi sikap seseorang yang kurang bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya (dzalim) aku selalu ikut andil untuk mengkritisi orang tersebut, siapa pun orangnya. Karena tidak ada mahasiswa yang salah, yang ada adalah dosen yang salah mendidik sebagaimana halnya tidak ada prajurit yang salah, yang ada adalah Jendral yang salah memberi arahan, perintah, atau instruksi...sebagaimana orang tua yang menyalahkan anak atau anak muda, tidak ada anak muda yang salah karena orang tualah yang salah mengasuh, orang tua pernah muda tetapi anak atau anak muda belum pernah tua jadi bijaklah dalam mendidik ...

Sebagai pendidik yang menjadi panutan bagi anak didiknya semua, seorang guru, dosen atau pendidik apapun bidang ilmunya, apabila ingin dikatakan sebagai pendidik yang baik, paling tidak hendaklah seperti yang diungkapkan pada lirik lagu Hymne Guru berikut ini:

Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku Sebagai prasasti terima kasihku

Tuk pengadianmu Engkau sebagai pelita dalam kegelapan Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan Engkau patriot pahlawan bangsa Insan Cendekia (Hymne Guru, Karya: Sartono).