Remunerasi Pejabat dan Pegawai Badan Layanan Umum

IV.3 Remunerasi Pejabat dan Pegawai Badan Layanan Umum

Peraturan Menteri Keuangan No. 73/PMK.05/2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan No. 10/PMK.02/2006 tentang Pedoman Penetapan Remunerasi bagi Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, dan Pegawai Badan Layanan Umum berisi penegasan pemberian tunjangan, selain gaji dan honorarium.

Kepada Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, dan Pegawai Badan Layanan Umum (BLU) diberikan remunerasi berdasarkan tingkat tanggung jawab dan tuntutan profesionalisme yang diperlukan. Remunerasi dapat juga diberikan kepada Sekretaris Dewan Pengawas.

Besaran gaji Pemimpin BLU ditetapkan dengan mempertimbangkan faktor- faktor sebagai berikut :

1. Proporsionalitas, yaitu pertimbangan atas ukuran (size) dan jumlah aset yang dikelola BLU serta tingkat pelayanan;

2. Kesetaraan, yaitu dengan memperhatikan industri pelayanan sejenis;

3. Kepatutan, yaitu menyesuaikan kemampuan pendapatan BLU yang bersangkutan;

4. Kinerja operasional BLU yang ditetapkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga sekurang-kurangnya mempertimbangkan indikator keuangan, pelayanan, mutu dan manfaat bagi masyarakat. Gaji Pejabat Keuangan dan Pejabat Teknis ditetapkan sebesar 90% (sembilan

puluh persen) dari gaji Pemimpin BLU.

Honorarium Dewan Pengawas ditetapkan sebagai berikut :

1. Honorarium Ketua Dewan Pengawas sebesar 40% (empat puluh persen) dari gaji Pemimpin BLU.

2. Honorarium anggota Dewan Pengawas sebesar 36% (tiga puluh enam persen) dari gaji Pemimpin BLU.

3. Honorarium Sekretaris Dewan Pengawas sebesar 15% (lima belas persen) dari gaji Pemimpin BLU. Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas dan Sekretaris Dewan Pengawas yang

diberhentikan sementara dari jabatannya memperoleh penghasilan sebesar 50% (lima puluh persen) dari gaji/honorarium bulan terakhir yang berlaku sejak tanggal diberhentikan sampai dengan ditetapkannya keputusan difinitif tentang jabatan yang bersangkutan.

BLU dapat memberikan tunjangan tetap, insentif, bonus atas prestasi, pesangon dan/atau pensiun kepada Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, dan Pegawai BLU, dengan memperhatikan kemampuan pendapatan BLU yang bersangkutan.

Pada setiap akhir masa jabatannya, Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, dan Sekretaris Dewan Pengawas dapat diberikan pesangon berupa santunan purna jabatan dengan pengikutsertaan dalam program asuransi atau tabungan pensiun yang beban premi/iuran tahunannya ditanggung oleh BLU yang besarannya ditetapkan paling banyak sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari gaji/honorarium dalam satu tahun.

Besaran remunerasi untuk Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, dan Pegawai BLU pada masing-masing BLU diusulkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga kepada Menteri Keuangan untuk ditetapkan dalam Peraturan

Keuangan. Tunjangan dimaknakan sebagai tambahan pendapatan di luar gaji yang diterima Pejabat Pengelola BLU dan Pegawai BLU, yang diberikan berdasarkan prestasi kerja, lokasi kerja, tingkat kesulitan pekerjaan, kelangkaan profesi, dan unsur pertimbangan lainnya ( file:///C:/Users/ACER/Documents/Tentang%20BLU/Remunerasi_Pegawai_Badan_ Layanan_Umum.htm .)

Menteri

Kebijakan remunerasi ini dalam konteks Administrasi Negara dapat dipahami sebagai kebijakan yang berpangkal pada perspektif Manajemen Publik Baru ( New Public Management ). Mengacu pada Denhardt and Denhardt dalam New Public Service (2003), perspektif Manajemen Publik Baru adalah anti tesis dari perspektif

Administrasi Publik Lama ( Old Public Administration ). Dalam perspektif Administrasi Publik Lama, rasionalitas dan perilaku aktor di dalam organisasi publik

dapat dipahami sebagai “ administratif man ”; orang yang bekerja di bawah suatu peraturan yang memerintahkannya untuk mengerjakan sesuatu. Di samping itu, dalam perspektif ini, dasar motivasi kerja para pejabat dan pegawai di lingkungan organisasi publik adalah upah dan kemanfaatan ( pay and benefit ) serta proteksi bagi kehidupannya. Individu bekerja dalam organisasi publik hanya bersifat mencari keselamatan saja. Maka individu tersebut bersifat pasif. Ia hanya menunggu perintah atasan untuk melakukan pekerjaan.

Sebaliknya dalam perspektif Manajemen Publik Baru yang berkembang terutama pada akhir abad ke-20 dan secara luas diimplementasikan di berbagai negara, termasuk di Indonesia, rasionalitas dan perilaku aktor di dalam organisasi publik dapat dipahami sebagai “ economic man ” or the self-interested decision maker ; orang yang memiliki rasionalitas ekonomi atau pembuat keputusan bermotif kepentingan diri. Di samping itu, dalam perspektif ini, dasar motivasi kerja para pejabat dan pegawai di lingkungan organisasi publik adalah semangat kewirausahaan ( entrepreneurial spirit). Individu bekerja dalam organisasi publik termotivasi untuk mengejar keuntungan sebesar-besarnya. Semakin ia bekerja keras, semakin ia mendapatkan kompensasi yang besar. Maka individu tersebut berusaha mengembangkan kreatifitas dan inovasinya.

Remunerasi bagi para pejabat dan pegawai BLU dapat dipahami dalam konteks perspektif Manajemen Publik Baru itu. Pemerintah memberi lampu hijau kepada para pengelola BLU itu untuk meraih tunjangan yang semakin besar dari organisasi publik itu. Semakin mereka mampu meningkatkan keuangan BLU, semakin mereka meningkatkan pendapatan pribadi mereka. Kemampuan dan kinerja mereka diukur dari prestasi kerja dan pertimbangan lain sebagaimana telah ditentukan. Secara teknis problem yang muncul di sini adalah perumusan indikator-indikator dari prestasi kerja dan pertimbangan lain tersebut. Di samping itu, secara teknis problem yang muncul pula terutama adalah penghitungan besaran kompensasi atas prestasi kerja tersebut.

Secara lebih substansial, masalah-masalah yang muncul dari kebijakan baru itu berkaitan dengan persoalan efektivitas, kecukupan, pemerataan, responsivitas, dan ketepatan. Persoalan efektivitas Menyangkut apakah hasil yang diinginkan dapat tercapai?

Apakah dengan memberikan tunjangan yang semakin besar kepada para pengelola BLU tersebut benar-benar mampu meningkatkan kinerja mereka? Apakah pelayanan mereka benar-benar kemudian bisa meningkat? Ataukah jangan-jangan hal itu hanyalah akal-akalan pejabat publik untuk meraup uang publik atas nama pelayanan publik belaka?

Beberapa kasus menunjukkan jauh panggang dari api. Menurut pengakuan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sugiri Syarief mengungkapkan rendahnya pelayanan KB melalui program Jampersal di rumah sakit. Sebagian besar rumah sakit dan tenaga kesehatan belum paham benar soal lima paket Jampersal, yang di antaranya mencakup pemasangan alat KB kepada ibu bersalin ( http://www.suarapembaruan.com/home/hanya-36-rumah-sakit-melayani-paket- jampersal/12732 diakses tanggal 13 Desember 2011 ). Hal ini berarti bahwa sumberdaya manusia di dalam organisasi pelayanan itu tidak cekatan dalam mencari informasi baru.

Dalam kasus lain, berdasarkan hasil penelitian tentang Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja kepala ruang rawat inap di rumah sakit dokter Kariadi semarang tahun 2006 oleh Asri Sumiyati, Program Pasca Sarjana UNDIP, ditemukan bahwa efektivitas pelayanan dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan, pendidikan, motivasi, umur dan kinerja kolektif. Masih perlu peningkatan efektivitas melalui peningkatan pembinaan dan pendidikan ( Sumber :http://eprints.undip.ac.id/15393/1/Asri_Sumiyati.pdf, diakses tanggal 18 Desember 2011 ). Hal ini berarti bahwa efektivitas pelayanan lebih ditentukan oleh variabel-variabel tersebut daripada variabel pemberian remunerasi (tambahan penghasilan). Oleh karena itu, agar efektivitas pelayanan bertambah baik, maka seharusnya dana untuk remunerasi dialihkan saja untuk meningkatkan pelatihan dan pendidikan tenaga pemberi pelayanan publik.

Persoalan kecukupan menyangkut seberapa jauh hasil yang telah tercapai dapat memecahkan persoalan? Apakah mereka benar-benar mampu menyelesaikan masalah- masalah yang dihadapi oleh para pengguna barang dan jasa yang mereka tawarkan?

Ataukah jangan-jangan mereka memiliki kepentingan sendiri dengan barang dan jasa yang mereka tawarkan dalam pelayanan publik itu? Kasus menunjukkan bahwa kecukupan pelayanan terhadap penderita HIV, dengan terapi ARV guna meningkatkan akses care terkendala

yang rendah ( http://journal.unnes.ac.id/index.php/kemas/article/download/548/502, diakses tanggal 18 Desember 2011 ). Hal ini berarti bahwa persoalan kecukupan lebih dipengaruhi oleh faktor referensi yang rendah. Oleh karena itu, agar organisasi pemberi pelayanan publik dapat membantu memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh pihak yang menerima pelayanan publik, maka dana remunerasi seharusnya ditambahkan saja untuk memperbanyak kecukupan referensial di badan layanan publik itu.

Persoalan pemerataan menyangkut apakah dana didistribusikan merata kepada kelompok yang berbeda? Apakah pemberian tunjangan itu benar-benar bersifat adil? Ataukah jangan- jangan terjadi “ rent- seeking”, sehingga yang kuat akan “memakan” yang lemah? Bukti dari kasus yang ada dapat dilihat dari pernyataan Prof. dr. Hasbullah Thabrany, Dr.PH, guru besar dengan spesialisasi asuransi dan jaminan sosial di FKM UI, yang memaparkan tentang biaya rumah sakit yang semakin menggila karena hambatan pembiayaan.

pembiayaan/anggaran ( http://www.ui.ac.id/id/news/archive/4678, diakses tanggal 13 Desember 2011 ). Bagaimana dengan remunerasi bagi pejabat dan pegawai? Bukankah masalahnya adalah pada biaya pelayanan? Bagaimana jika dana remunerasi itu diperuntukkan saja pada kegiatan-kegiatan pelayanan? Jika pemikiran yang terakhir ini diikuti, maka pejabat dan pegawai tetap memperoleh tambahan karena melakukan kegiatan pelayanan dan masyarakat akan semakin banyak pula yang akan terlayani karena ada dana tambahan pada kegiatan pelayanan sehingga masyarakat merasa lebih murah dalam membayar biaya pelayanan. Contoh lainnya adalah penerapan pola badan layanan umum di Universitas Negeri Surakarta. Penerapan kebijakan PK BLU UNS sampai saat ini belum optimal dilakukan karena adanya kesulitan yang bersumber pada pelaksana (implementor) yang tidak siap menghadapi perubahan. Adanya mispersepsi akan menimbulkan konflik ( http://pasca.uns.ac.id/?p= 965 ).

Pemerataan

pelayanan

terkendala

oleh

Contoh positif telah dilakukan di tempat lain. Rumah Sakit Dr Karyadi, Semarang menerima Sertifikat Akreditasi 16 Pelayanan. Dalam bidang pengembangan pelayanan telah dilakukan kegiatan sosial baik kepada pasien rutin juga kepada masyarakat lingkungan RS Dr. Karyadi. Pemerataan pelayanan yang dilakukan membawa citra baik bagi RS Dr. Karyadi ( http://www.rskariadi.com/index.php?limitstart=5 , diakses tanggal 18 Desember 2011). Hal ini berarti bahwa Rumah Sakit Karyadi ini telah memberikan porsi dana yang lebih besar untuk kegiatan-kegiatan sosial pelayanan kesehatan, bukan langsung memberikan tambahan penghasilan bagi para pejabat dan pegawai rumah sakit itu. Dengan memberikan porsi dana yang lebih besar untuk kegiatan-kegiatan sosial, maka rumah sakit ini dapat mendorong aspek pemerataan pelayanan publik kepada lapisan masyarakat yang lebih luas.

Persoalan responsivitas menyangkut apakah hasil kebijakan memuat preferensi/nilai kelompok dan dapat memuaskan mereka? Apakah dengan tunjangan yang semakin besar itu para pejabat dan pegawai BLU mampu meningkatkan respon yang baik kepada masyarakat pengguna barang dan jasa dalam pelayanan publik? Ataukah jangan-jangan budaya cuek yang selama ini menghinggapi para pemberi palayanan publik masih tetap melekat? Kasus-kasus tenaga medis yang tidak merespon pasien dengan baik terjadi di banyak tempat. Misalnya, di RSCM Jakarta. Pelayanan yang didapatkan tak manusiawi dan tak profesional karena sikap dokter dan perawat yang ogah-ogahan. Pasien dilecehkan, padahal yang bersangkutan teman sejawat sesama dokter tamatan UI dan pernah bertugas di RSCM, Jakarta. Rekam jejak pasien sama sekali tak diperhatikan.

Kalau teman sejawat yang seharusnya diperlakukan sebagai saudara saja diperlakukan tak layak, bagaimana perlakuan terhadap pasien umum? Diharapkan perlakuan dokter yang merawat almarhum tak terulang terhadap kolega dokter lain maupun pasien

Jakarta ( http://groups.yahoo.com/group/DOKTER/message/1644, diakses 18 Desember 2011 ). Dalam kasus lain, penelitian ini dilaksanakan di Unit Pelayanan Gawat Darurat ( UPGD) Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa organisasi / SDM di Unit Pelayanan Gawat Darurat baik dokter,

umum

yang

dirawat

di

RSCM, RSCM,

Kasus lain ada di Universitas Andalas. Respon yang ada untuk BLU yang dijadikan sebagai badan layanan umum kepada masyarakat belum maksimal karena masih adanya kontra terhadap BLU itu sendiri yang dianggap masyarakat belum merata memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. ( http://lp.unand.ac.id/?pModule=news&pSub=news&pAct=detail&detail=178).

Oleh karena itu, alangkah baiknya apabila dana remunerasi itu dialihkan saja untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Dana tersebut bisa dialihkan untuk meningkatkan penyusunan, pelaksanaan, dan evalusai standar pelayanan minimal di badan layanan publik. Oleh karena itu, sebagaimana telah diterapkan oleh sebuah rumahsakit, sebagai rumah sakit pemerintah daerah yang telah menjadi BLU/BLUD menggunakan SPM yang telah ditetapkan oleh pimpinan lembaga sesuai dengan kewenangannya, harus memperhatikan kualitas pelayanannya, pemerataan, dan kesetaraan layanan, biaya serta kemudahan untuk mendapatkan layanan Respect and caring: pelayanan yang diberikan dilakukan dengan hormat, sopan dan penuh perhatian, Timelines: pelayanan diberikan tepat waktu ( http://tinarbuka-aw.students-blog.undip.ac.id/page/3/, diakses tanggal 18 Desember 2011).

Persoalan ketepatan menyangkut apakah hasil yang dicapai bermanfaat? Apakah dengan tunjangan yang semakin besar itu mampu mendongkrak semangat para pejabat dan pegawai BLU untuk membantu masyarakat pengguna barang dan jasa dalam pelayanan publik? Ataukah jangan-jangan budaya minta dilayani masih tetap eksis? Kasus di sebuah Persoalan ketepatan menyangkut apakah hasil yang dicapai bermanfaat? Apakah dengan tunjangan yang semakin besar itu mampu mendongkrak semangat para pejabat dan pegawai BLU untuk membantu masyarakat pengguna barang dan jasa dalam pelayanan publik? Ataukah jangan-jangan budaya minta dilayani masih tetap eksis? Kasus di sebuah

Sesungguhnya pemberian remunerasi bagi pejabat dan pegawai BLU sangat tergantung pada perspektif yang diterapkan oleh pemerintah dalam organisasi publik itu. Perspektif terakhir yang dianggap lebih sesuai di era demokrasi sekarang ini adalah perspektif ketiga, yakni perspektif Pelayanan Publik baru. Dalam perspektif ini, rasionalitas perilaku para pejaba t dan pegawai organisasi pemerintahan bersifat “ multiple tests of rationality (political, economic, and organizational)”; perilaku aparatur negara didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan politik, ekonomi, dan organisasi.

Tindakan pejabat dan pegawai negeri didasarkan pada tanggungjawab terhadap kehidupan negara dan warga masyarakat. Di samping itu, dalam perspektif ini dipahami bahwa dasar motivasi kerja mereka adalah “desire to contribute to society;” keinginan untuk memberi kontribusi positif kepada warga masyarakat. Dengan begitu, dalam perspektif ini, maka remunerasi bagi para pejabat dan pegawai harus dilihat dalam konteks penghargaan bagi mereka berdasar indikator-indikator yang dirumuskan secara kolaboratif oleh stakeholders secara terbuka dan rasional. Jika hal yang terakhir ini dapat dilakukan, maka penghargaan semacam itu dapat mendorong semangat kerja pejabat dan pegawai BLU – bukan untuk melakukan “ rent- seeking” – dalam memberikan pelayanan publik yang sebaik-baiknya kepada warga masyarakat.

Data tentang remunerasi beberapa pejabat di lingkungan Perguruan Tinggi yang telah menjadi BLU dan diambil sebagai sampel dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Tabel 4.10

Remunerasi Pejabat di Lingkungan Perguruan Tinggi BLU

No. Jabatan Jumlah Tunjangan/Remunerasi (dlm jutaan)

Ints Tekn UN Andalas Brawijaya Sriwijaya Surabaya

4,2 (diluar 5 gaji PNS)

2. Wakil Rektor

4. Wakil Dekan

0,5 Sumber diolah dari Joko Luknanto file:///C:/Users/ACER?Documents/Tentang%20BLU/data%20remunerasi.htm diakses tanggal 27 Februari 2012.

Dilihat dari data di atas maka dapat kita ketahui bahwa remunerasi untuk masing- masing Perguruan Tinggi yang telah menjadi BLU pun tidak sama besarannya meskipun sudah diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 73/PMK.05/2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan No. 10/PMK.02/2006 tentang Pedoman Penetapan Remunerasi bagi Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, dan Pegawai Badan Layanan Umum berisi penegasan pemberian tunjangan, selain gaji dan honorarium.

Perbedaan ini seharusnya juga diikuti dengan tingkat pelayanan yang berbeda dalam arti untuk pejabat yang lebih tinggi tunjangannya harus lebih baik kinerjanya dibanding yang memiliki tunjangan lebih kecil. Kajian ini menjadi suatu masalah yang menarik untuk diteliti.