KARAKTERISTIK PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMILUKADA DI KABUPATEN LAMPUNG UTARA

(1)

THE LAW ENFORCEMENT CHARACTERISTICS TO REGIONAL ELECTION CRIME IN NORTH LAMPUNG DISTRICT

By Dedi Fernando

The conduct of Regional Head and Vice Head Election is based on Act Number 32 in 2004 jo Act Number 12 in 2008 about Regional Government, regional election crime occurred in stages of regional election in North Lampung district. The stage of proposing candidate, campaign, silence period, and determination of candidate, there were many violations reported by public. The problem statement in this research were how did the characteristics of law enforcement to regional election crime in North Lampung district, and how did the law enforcement to the actor of regional election crime in North Lampung district.

This research used normative and empirical jurisdiction approaches. Data were collected from primary data coming from research result and interview secondary data coming from literary study and documentation.

The results showed that the characteristics of regional election crime law enforcement in North Lampung were typical characteristics in law enforcement occurring in some levels such as election monitoring committee, Gakkumdu and court. The inhibiting factors of regional election crime law enforcement were factors of law, legislation, institution of election monitoring, insufficient facility in handling the election violation and limited personnel.

The researcher recommends law enforcers such as election monitoring committee, police, attorney, and court to improve cooperation, coordination, and socialization amongst related parties, and legislators should reconsider again the provision of election crime procedures so that sanctions can be applied for those parties violating the election.


(2)

ABSTRAK

KARAKTERISTIK PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMILUKADA DI KABUPATEN LAMPUNG UTARA

Oleh Dedi Fernando

Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintah Daerah, pelanggaran tindak pidana Pemilukada terjadi pada tahapan-tahapan Pemilukada di Kabupaten Lampung Utara yakni. Tahapan Pencalonan, Kampanye, Masa Tenang dan Penetapan Calon Terpilih adapun mengenai pelanggaran tersebut banyak dilaporkan oleh masyarakat. Masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah Karakteristik Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pemilukada di Kabupaten Lampung Utara ? dan Bagaimanakah Penegakan Hukum terhadap pelaku pelanggaran tindak pidana Pemilukada di Kabupaten Lampung Utara ?.

Metode penelitian yang dilakukan dalam penulisan tesis ini adalah menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data terdiri dari data primer yang diperoleh dari hasil penelitian dan wawancara serta data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan dan dokomentasi.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Karakteristik Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pemilukada di Kabupaten Lampung Utara adalah ciri khas dalam Penegakan Hukum yang terjadi dibeberapa tingkatan yakni tingkatan Panwaslu, Gakkumdu dan Pengadilan. Sedangkan faktor yang mengahambat proses penegakan hukum terhadap tindak pidana Pemilukada yakni, faktor hukum dan faktor Undang-undang, faktor lembaga Pengawasan Pemilihan Umum. Fasilitas (sarana) yang tidak memadai dalam penanganan pelanggaran tindak pidana Pemilukada dan terbatasnya personil penegak hukum.

Saran dalam penelitian ini adalah hendaknya para penegak hukum dalam hal ini Panwaslu, Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan untuk menigkatkan kerjasama dan koordinasi serta sosialisasi antara semua pihak dalam menyamakan persepsi tentang tindak pidana Pemilu dan hendaknya kepada pembuat undang-undang perlu mengkaji ulang khususnya masalah mengenai ketentuan pelanggaran tindak pidana Pemilu yang semakin berkembang di masyarakat agar sanksi pidana dapat diterapkan kepada semua pihak yang melakukan pelanggaran terhadap tindak pidana Pemilu.


(3)

TINDAK PIDANA PEMILUKADA DI KABUPATEN

LAMPUNG UTARA

Oleh Dedi Fernando

TESIS

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar MAGISTER HUKUM

Pada

Program Studi Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM MAGISTER

HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2014


(4)

KARAKTERISTIK PENEGAKAN HUKUM TERHADAP

TINDAK PIDANA PEMILUKADA DI KABUPATEN

LAMPUNG UTARA

(Tesis)

Oleh Dedi Fernando

PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM MAGISTER HUKUM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2014


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

HALAMAN JUDUL ... iii

PERSETUJUAN ... iv

PENGESAHAN ... v

PERNYATAAN ... vi

RIWAYAT HIDUP ... vii

MOTO ... viii

PERSEMBAHAN ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR BAGAN ... xv

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 12

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 13

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 14

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana ... 19

B. Tindak Pidana Pemilu ... 26

C. Ketentuan Pidana dalam Undang-undang Pemilu ... 30

D. Penegakan Hukum dan Unsur-unsur Penegakan Hukum ... 40

E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum ... 46

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 48

B. Sumber dan Jenis Data ... 48

C. Penentuan Narasumber ... 50


(6)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pemilukada di Kabupaten Lampung Utara ... 53 B. Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Pelanggaran Tindak Pidana

Pemilukada di Kabupaten Lampung Utara ... 89

V. PENUTUP

A. Simpulan ... 107 B. Saran ... 108


(7)

karunia dan ridho-NYA, sehingga tesis dengan judul "Karakteristik Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pemilukada di Kabupaten Lampung lJtara" ini dapat diselesaikan.

Tesis

ini

disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Magister Hukum

(M.H.)

pada program studi Magister Hukum Universitas Lampung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat

dan ucapan terima kasih yang sebesar b6sarnya, kepada:

l.

Bapak Prof.

Dr.

k.

Sugeng

P. Harianto,

M.S. selaku Rektor Universitas Lampung.

2.

Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Unila.

3.

Bapak Dr. Khaidir Anwar, S.H., M.Hum. selaku Ketua Program dan Bapak

Dr.

Eddy

Rifai,

S.H.,

M.H.,

selaku Sekretaris Program pada Program

Pascasarjana Program Magister Hukum Universitas Lampung.

4.

Ibu Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H. selaku Pembimbing Utama dan Bapak Rudy, S.H., LL.M., LL.D. selaku Pembimbing Pendamping.

5.

Bapak Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H., Bapak Dr. Maroni, S'H., M.H. dan Bapak Dr. Khaidir Anwar, S.H., M.Hum. selaku Penguji.

6.

Ubak dan Umak ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya atas semua do'a,

usaha dan pengorbaruulmu untuk keberhasilan anakmu.

7.

Isteriku tercinta Hyreda, S.Pd., dan anak-anakku Faiha Annaila yang selalu setia

mendampingi dalam kondisi apapun dan selalu memberikan semangat, do'a dan dukungan kepada penulis dalam meniti karier.

8.

Bapak, Ibu Dosen dan Staf Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas

Hukum Universitas Lampung.

g.

Semua teman-temanku angkatatt 2012-2013 Program Pascasarjana Program


(8)

10. Ketua Bawaslu Provinsi Lampung Fatikhatul Khoiriyah, S.HI,

M.H.

dan

Pimpinan Bawaslu Provinsi Lampung.

1 1. Kepala Sekretariat Bawaslu Provinsi Lampung beserta segenap sahabat-sahabat dan kawan-kawan Bawaslu Provinsi Lampung.

Dengan keterbatasan pengalaman, pengetahuan maupun pustaka yang ditinjau, penulis menyadari bahwa tesis

ini

masih banyak kekurangan dan perlu

pengembangan lebih lanjut agar benar benar bermanfaat. Oleh sebab itu, penulis

sangat mengharapkan kritik dan saran agar tesis ini lebih sempuma serta sebagai

masukan bagi penulis untuk penelitian {an penulisan karya ilmiah di masa yang

akan datang.

Akhir kata, penulis berharap tesis ini memberikan mar$aatbagi kita semua.

Bandar Lampung, 30 Oktober 2014


(9)

1. Tim Penguji

KetuaTimPengrdi

:Dr.

Nikmah Rosidah, S.H., M.H.

Selaetaris/Penguji

Penguji

Penguji

Penguji

: Rudy, S.H., LL.M., LL.D. t

: Dr. Eddy Rifai, S.8., M.H.

: Dr. Maroni, S.H., M.H.

: Dr. Khaidir Anwar, S.H., M.Hum.

eryandi, S.H., M.S. 21109 t98703

I

003

Pr{.

Dr. Sudjarwo, M.S. Nip [9530528 198103 1 002


(10)

Nama

Mahasiswa

: Dedi Fernando

Nomor Pokok Mahasiswa

: 1222AfiA53

Program Kekhususan : Hukum Pidana Program Studi

Fakultas

. Program Pascasarjana Magister Hukum

: Hukum

I

MENYETUJUI

Dosen Pembimbing

Pembimbing Utama;

Nip 19550106 198003 2 001

MENGETAHUI

Ketua Progra Pascasarjana

Program Studi Magiste ukum Fakultas Hukum Lampung,

ar, S.H., M.Hum.

Rudy, S. i LL.M., LL.D.

rc4200312

t

001

ffi


(11)

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa:

l.

Tesis dengan judul "Karakteristik Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana

Pemilukada di Kabupaten Lampung Utara" adalah karya saya sendiri dan saya

tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan atas karya penulis lain dengan

cara yang tidak sesuai dengan tata etika ilmiah yang berlaku dalam masyarakat

akademik atau yangdisebut PlagiatiSme.

2.

Hak

intelektual atas karya

ilmiah

ini

diserahkan sepenuhnya kepada

Universitas Lampung.

Atas pernyataan ini, apabila di kemudian hari ternyata ditemukan adarrya ketidak benaran, saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang diberikan kepada

saya, saya bersedia dan sanggup dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.

Bandar Lampung, 22 Ol<tober 2Al4

m- E"

" ""Dedi Femando


(12)

Dengan Mengucap Syukur Kehadirat Allah SWT, Penulis persembahkan Tesis ini kepada:

Ayah dan Ibu tercinta yang telah membesarkan, mendidik, membimbing dengan

penuh kasih sayang serta selalu berdo’a dan memberikan dukungan dan ridhonya dalam setiap langkah demi keberhasilan penulis dalam menggapai cita-cita.

Isteriku tercinta Hyreda, S.Pd., dan Anakku Faiha Annaila yang selalu setia mendampingi dalam kondisi apapun dan selalu memberikan semangat, do’a dan dukungan kepada penulis dalam meniti karier.

Dosenku yang menjadi bagian penting dalam perjalanan menuntut Ilmu.


(13)

MOTO

Pahlawan bukanlah orang yang berani menetakkan pedangnya ke pundak lawan, tetapi pahlawan sebenarnya ialah orang yang sanggup menguasai dirinya

dikala ia marah. (Nabi Muhammad Saw)

Jangan lihat masa lampau dengan penyesalan, jangan pula lihat masa depan dengan ketakutan, tapi lihatlah sekitar anda dengan penuh kesadaran.

(James Thurber)


(14)

R I W A Y A T H I D U P

Penulis dilahirkan di Desa Sinar Semendo Kecamatan Talang Padang Kabupaten Tanggamus pada tanggal 14 April 1985 yang merupakan anak ke-7 dari 8 bersaudara, dari pasangan Bapak Sukran dan Ibu Lasmini.

Penulis menempuh pendidikan Sekolah Dasar Negeri 2 Sinar Semendo Kecamatan Talang Padang Kabupaten Tanggmus lulus tahun 1998. Sekolah Lanjut Tingkat Pertama di MTS Al-Khairiyah Pabuaran Cilegon Serang Banten lulus 2001. Sekolah Menengah Atas di Madrasah Aliyah Sinar Harapan, lulus tahun 2004. Pada tahun 2009 penulis mendapat gelar Sarjana Hukum Islam di Institut Agama Islam Negeri Raden Intan Lampung. Pada tahun 2012 melanjutkan Pendidikan Tinggi pada Program Pascasarjana Magister Hukum Universitas Lampung.


(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Demokrasi telah menjadi pilihan sejak bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Walaupun demokrasi telah menjadi pilihan para pendiri bangsa, namun nilai dan prinsip demokrasi pernah dipinggirkan, sebelum kembali menjadi salah satu arus utama di era reformasi. Reformasi telah berhasil mengembalikan kedaulatan rakyat sebagai dasar melalui mekanisme demokrasi, baik di tingkat nasional maupun di daerah. Dalam konteks ini, Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) merupakan wujud nyata mekanisme pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Pemilihan Umum diartikan sebagai:

“Pemilihan Umum, selanjutnya disingkat Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langusng, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945”.

Secara umum, Pemilu yang demokratis adalah Pemilu yang dilakukan secara berkala, dan diselenggarakan berdasarkan prinsip bebas, secara jujur dan adil (fre and fair election). Seperti yang dikatakan oleh Robert Dahl bahwa “dua dari enam


(16)

berkaitan dengan pemilihan umum, yaitu para pejabat yang dipilih dan pemilihan umum yang bebas, adil dan berkala.1

Pemilu merupakan wahana untuk menentukan arah perjalanan bangsa sekaligus menentukan siapa yang paling layak untuk menjalankan kekuasaan pemerintahan Negara tersebut.2 Pemilu dapat diartikan sebagai proses pemilihan pemimpin bangsa dan merupakan wujud dari kedaulatan rakyat. Pemilu dilakukan dalam kurun waktu lima tahun sekali dengan asas Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, jujur dan adil. Pemilu diselenggarakan tidak hanya untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden sebagai pemimpin Lembaga Eksekutif, tetapi juga untuk memilih anggota DPR, DPRD, dan DPD dan juga pemilihan terhadap Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pemilu tersebut dilaksanakan dengan menjunjung tinggi semangat demokrasi untuk menghasilkan pemimpin yang lebih baik, berkualitas dan mendapatkan legitimasi dari Rakyat Indonesia.

Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah yang selanjutnya disebut Pemilukada adalah pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Pemilukada meliputi :

1. Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur; 2. Pemilu Bupati dan Wakil Bupati; 3. Pemilu Walikota dan Wakil Walikota.

1

Gaffar Jenedjri M, Demokrasi dan Pemilu di Indonesia, Konpres, Jakarta, 2013, Hlm, 5.

2

Nur Hidayat Sardini, Restorasi Penyelenggara Pemilu di Indonesia. Fajar Media Press,


(17)

Pengertian lain Pemilukada ialah pemilihan kepala daerah secara langsung oleh masyarakat daerah tersebut untuk memilih kepala daerahnya yang baru atau pemilihan kepala daerah baik untuk tingkatan Gubernur, Bupati, Walikota serta para wakilnya ditentukan oleh adanya pemilihan secara langsung oleh rakyat yang berasaskan pada langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.3

Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Pasal 59 ayat (1) dan menyatakan bahwa, Calon kepala daerah hanya dapat diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Lebih jauh Pasal 59 ayat (3) juga mengamanatkan bahwa, Parpol atau gabungan Parpol wajib membuka kesempatan yang seluas- luasnya bagi calon perseorangan untuk mengikuti proses internal parpol melalui mekanisme yang demokratis dan transparan.

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkutan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah juga menegaskan bahwa, Parpol atau gabungan parpol sebelum menetapkan calon wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi calon perseorangan yang memenuhi syarat untuk dilakukan penyaringan sebagai bakal calon. kemudian juga dijelaskan bahwa proses penyaringan calon kepala daerah dilakukan secara demokratis dan transparan sesuai dengan mekanisme internal Parpol. Bahkan, dalam proses penetapan calon partai politik wajib memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat.

3

http://twidyana71.blogspot.com/2010/02/pemilukada.html. Diakses pada tanggal 19 Februari 2014.


(18)

Beberapa kebijakan tersebut dimaksudkan dalam kerangka pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah agar dapat berlangsung secara demokratis dan transparan, sehinggga akan dapat memilih Kepala Daerah yang benar-benar memperoleh dukungan riil dari rakyat sebagai wujud kontrak sosial antara pemilih dengan tokoh yang dipilih dan kemauan orang-orang yang memilih akan menjadi pegangan bagi pemimpin dalam melaksanakan kekuasaannya.

Pemilukada sebagai mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat di daerah dan telah dijalankan sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008. Dalam perjalanannya, Pemilukada telah banyak mengalami perkembangan, baik dari sisi peserta, penyelenggara, maupun mekanisme dan aturan. Pelaksanaan Pemilukada perlu dievaluasi guna meningkatkan kualitas di masa yang akan datang. Hal ini perlu dilakukan karena sesungguhnya demokrasi yang hendak dikembangkan bukanlah demokrasi prosedural semata, melainkan demokrasi substansial yang selain itu harus benar-benar berjalan dengan kehendak rakyat juga harus berpegang pada nilai-nilai luhur sebagaimana tercermin dalam “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan” dalam sila keempat pancasila. Pemilukada dinilai dapat mengakomodasi sistem seleksi terpadu yang saling melengkapi untuk melahirkan calon kepala daerah terpilih yang berkualitas, mulai dari sistem kenegaraan, partai politik, administratif, hukum administratif sampai politis.4

4


(19)

Setiap warga negara dalam melaksanakan haknya dijamin kehendaknya oleh negara. Sehingga dapat memilih sesuai kehendak hati nurani dalam memberikan suaranya. Dan pemilih dijamin bahwa kerahasian pilihanya tidak akan diketahui oleh siapapun dan pihak manapun, sehingga pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain. Serta para pihak yang terkait harus bersikap terbuka dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Setiap pasangan calon kepala daerah mendapatkan perlakuan yang adil dan sama dengan tidak membeda-bedakan pasangan calon antara yang satu dan yang lain, serta bebas dari kecurangan pihak manapun. Hal ini juga dipertegas dalam Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa, Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.

Pemilukada merupakan salah satu momentum politik penting yang mengawali proses pembentukan dan penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Berdasarkan UUD 1945 Pasal 18 ayat:

(1) Pemerintah Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara Demokratis.

Bagir Manan mendefinisikan Pasal 18 UUD 1945 yang telah diamandemen lebih sesuai dengan gagasan daerah membentuk pemerintahan daerah sebagai satuan


(20)

pemerintahan mandiri di daerah yang demokratis. Labih lanjut Bagir Manan mengatakan bahwa asas dekosentrasi adalah instrumen sentralisasi, karena itu sangat keliru kalau ditempatkan dalam sistematik pemerintahan daerah yang merupakan antitesis dari sentralisasi.5

Daerah memiliki kekuasaan mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan untuk menjalankan otonomi yang seluas-luasnya. Dengan kata lain, kualitas pelaksanaan Pemilukada memiliki pengaruh yang besar terhadap keberhasilan pelaksanaan pemerintahan daerah, yang dengan sendirinya juga berpengaruh terhadap penyelenggaraan negara dan keberhasilan mewujudkan tujuan nasional.

Pelaksanaan Pemilukada diselenggarakan oleh dua lembaga yang menyelenggarakan Pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilihan Umum sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Komisi Pemilihan Umum Daerah yang selanjutnya disebut KPUD adalah KPU Provinsi, Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah di setiap Provinsi dan/atau Kabupaten/kota.

Termaktub dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tugas dan wewenang pengawas Pemilu adalah mengawasi pelaksanaan tahapan-tahapan Pemilukada. Berikutnya adalah menerima laporan-laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik langsung

5

Suharizal, Pemilukada (Regulasi, Dinamika, dan Konsep Mendatang) , Raja Grafindo Persada,


(21)

maupun tidak langsung yang berkaitan dengan Pemilukada. Selanjutnya, pengawas Pemilu diberi tugas dan memiliki kewenangan guna menindaklanjuti temuan dan laporan kepada instansi yang berwenang.6

Berdasarkan Undang-undang diatas instansi yang berwenang dalam persoalan ini adalah kepada KPU bila dugaan pelanggaran yang diterima dan ditangani Panwaslu bersifat administratif Pemilu atau kode etik penyelenggara Pemilu, sementara kepada penegak hukum (Polri dan Kejaksaan) bila adalah dugaan pelanggaran tindak pidana Pemilu Kada. Selain itu, Panwaslu juga bertugas dan berwenang untuk menyelesaikan setiap sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan Pemilu. Terakhir, Panwaslu juga menangani pelanggaran yang kewenanganya disebut di dalam ketentuan peraturan perundang-udangan lainya.7

Pelanggaran yang terdapat didalam Pemilihan Umum Kepala Daerah danWakil Kepala Daerah meliputi:

Money Politik yang selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan Pemilukada. Dengan memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah, maka dengan mudah mereka dapat diperalat dengan mudah. Mengikutsertakan atau Melibatkan PNS, Anggota TNI/Polri, Pejabat BUMN/BUMD dan Kepala Desa dalam kegiatan kampanye, dalam hal ini masih terdapat PNS maupun Anggota TNI/Polri serta pejabat Negara yang terlibat dalam kegiatan kampanye sehingga menimbulkan dampak ketidak netralitasan dan berujung kepada sanksi pidana.

6

Nur Hidayat Sardini, Menuju Pengawasan Pemilu Efektif, Diadit Media, Jakarta, 2013, hlm. 5.

7 Ibid.


(22)

Intimidasi yang biasa dilakuakan para tim sukses pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah atau dari kalangan birokrasi. Contoh, oknum pegawai pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga agar mencoblos salah satu calon. Pendahuluan start kampanye, tindakan ini paling sering terjadi. Padahal sudah sangat jelas sekali aturan aturan yang berlaku dalam pemilu tersebut. Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan baliho, spanduk, selebaran. Sering juga untuk bakal calon yang merupakan Kepala daerah saat itu melakukan kunjungan keberbagai daerah. Kunjungan ini intensitasnya sangat tinggi ketika mendekati Pemilu. Ini sangat berlawanan yaitu ketika sedang memimpin dulu. Selain itu media masa cetak maupun elektronil lokal sering digunakan sebagi media kampanye. Bakal calon menyam paikan visi misinya dalam acara tersbut padahal jadwal pelaksanaan kampanye belum dimulai.

Manipulasi perhitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara dapat terjadi di setiap tingkatan, yaitu di KPPS, PPK, KPU Kabupaten, dan KPU Provinsi. Permasalahan penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara akan manipulasi, disebabkan oleh banyaknya TPS yang tersebar dalam wilayah yang luas. Dengan banyaknya TPS yang tersebar luas membuat para pasangan calon sulit mengontrolnya karena memerlukan saksi yang banyak dan biaya besar.

Pelanggaran-pelanggaran tersebut diatas dapat di klasifikasikan kedalam bentuk-bentuk pelanggaran yang terdapat dalam Pemilihan Umum dan diklasifikasikan kedalam pelanggaran yaitu:

1. Pelanggaran Kode Etik penyelenggara Pemilu adalah pelanggaran terhadap etika penyelenggara Pemilu yang berpedomankan sumpah dan/atau janji


(23)

sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara Pemilu. Pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu diselesaikan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dengan tata cara penyelesaian yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang tentang penyelenggara Pemilu.

2. Pelanggaran Administrasi Pemilu adalah pelanggaran yang meliputi tata cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksana Pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu di luar tindak pidana Pemilu dan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu. Atas pelanggaran ini Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota mengkaji dan membuat rekomendasi yang kemudian diteruskan kepada KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota untuk ditindak lanjuti.

3. Tindak Pidana Pemilu adalah tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan terhadap ketentuan tindak pidana Pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004. Laporan tindak pidana Pemilu diteruskan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia sejak diputuskan oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, dan/atau Panwaslu Kecamatan. Proses penyelesaian tindak pidana Pemilu diawali dengan penyampaian berkas perkara oleh penyidik kepolisian kepada Penuntut Umum, kemudian dilanjutkan dengan pelimpahan berkas perkara ke Pengadilan Negeri untuk diperiksa, diadili dan diputus paling lama 7 hari sejak pelimpahan berkas dan terhadap putusan Pengadilan Negeri ini dapat diajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi sebagai upaya terakhir dan tidak dapat dilakukan upaya hukum.

4. Sengketa Pemilu merupakan sengketa yang terjadi antara peserta Pemilu dan sengketa peserta Pemilu dengan penyelenggara Pemilu sebagai akibat dikeluarkanya keputusan KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota. Penyelesaian terhadap sengketa Pemilu ini ada pada Bawaslu yang dapat didelegasikan kepada Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, Panitia Pengawas Lapangan (PPL) dan Panitia Pengawas Pemilu Luar Negeri (PPLN). Bawaslu menyelesaikan sengketa Pemilu ini dengan terlebih dahulu menerima dan mengkaji laporan atau temuan kemudian mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan melalui musyawarah dan mufakat.8

Pemilukada di Kabupaten Lampung Utara Provinsi Lampung diselenggarakan pada tanggal 19 September 2013 dan dikuti oleh calon kepala daerah dan wakil kepala daerah terdiri dari 4 (empat) pasangan calon kepala daerah yang kemudian pada pelaksanaanya dimenangkan oleh pasangan nomor 1 (satu) yaitu, H. Agung Ilmu Mangku Negara, S.STP, M.H. dan Drs. H. Paryadi, M.M.

8

http://www.slideshare.net/lunandisyaiful/bab-v-pelanggaran-pemilu-dan-penangannya#. Diakses pada tanggal 19 Februari 2014.


(24)

Tabel 1 : Hasil Keputusan Pemilihan Umum Kabupaten Lampung Utara Nomor: 49/Kpts/KPU-LU.008435560/Pilkada/IX/2013.

Pasangan Calon Perolehan Suara Sah

Persentase Suara Sah

No Nama

1 H. Agung Ilmu Mangku Negara, S.STP, M.H.

Drs. Hi. Paryadi, M.M.

162. 427 49,19 %

2 M. Yusrizal, S.T

Kapt. Inf. (Purn) Yoyot Sukarno

34. 778 10,53 %

3 Ir. H. Kesuma Dewangsa, M.M Hi. Sopeno, S.H.I

5.812 1,76 %

4 Drs. H. Zainal Abidin, M.M IR. H. Anshori Djausal, M.T

127.163 38,51 %

Sumber Data: Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Lampung Utara

Tabel tersebut diatas menerangkan bahwa hasil rekapitulasi dari penghitungan suara calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lampung Utara yang masing-masing memperoleh suara sebagai berikut, pasangan H. Agung Ilmu Mangku Negara, S.STP, M.H. dan Drs. Hi. Paryadi, M.M. memperoleh suara sah 162. 427, pasangan M. Yusrizal, S.T dan Kapt. Inf. (Purn) Yoyot Sukarno memperoleh suara sah 34. 778, pasangan Ir. H. Kesuma Dewangsa, M.M dan Hi. Sopeno, S.H.I memperoleh suara sah 5. 812, pasangan Drs. H. Zainal Abidin, M.M dan IR. H. Anshori Djausal, M.T memperoleh suara sah 127. 163. Dari hasil penghitungan rekapitulasi suara tersebut maka pasangan nomor urut 1. H. Agung Ilmu Mangku Negara, S.STP, M.H. dan Drs. Hi. Paryadi, M.M. memenangkan hasil pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Kabupaten Lampung Utara Tahun 2013.

Pelaksanaan Pemilukada di lapangan banyak sekali ditemukan penyelewengan-penyelewengan kecurangan yang dilakukan oleh para bakal calon umumnya di


(25)

Indonesia, sedangkan Pemilukada di Kabupaten Lampung utara sendiri terdapat beberapa macam pelanggaran yang terjadi yakni:

Tabel 2 : Rekapitulasi Pelanggaran Pemilukada Kabupaten Lampung Utara Tahun 2013

No Jenis Pelanggaran Jumlah Laporan

1 Pelanggaran Pidana 16 Laporan

2 Pelanggaran Kode Etik 1 Laporan

3 Pelanggaran Administrasi 1 Laporan

Sumber Data: Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Kabupaten Lampung Utara.

Berdasarkan tabel rekapitulasi pelanggaran tindak Pemilukada Kabupaten Lampung Utara Tahun 2013 masih banyak pelanggaran yang terjadi pada tahapan-tahapan yaitu, Tahapan Pencalonan, tahapan Kampanye, masa tenang, pemungutan dan penghitungan suara, untuk jenis pelanggaran Pidana terdiri dari 16 laporan, pelanggaran kode etik 1 laporan dan pelanggaran administrasi 1 laporan, untuk pelanggaran pidana merupakan pelanggaran yang terbanyak dilakukan oleh tim kampanye pasangan calon, PNS dan masyarakat. Pelanggaran-pelanggaran tersebut banyak yang dilaporkan oleh masyarakat maupun dari Temuan Panwaslu Kabupaten Lampung Utara.

Beranjak atas latar bekalang diatas dan tipologi tindak pidana Pemilukada yang hampir sama terjadi diberbagai tempat di wilayah Indonesia dan banyaknya pelanggaran pidana sebagaimana diatas dalam hal ini cukup menarik untuk melihat tipologi pelanggaran tindak pidana Pemilukada yang terjadi di Kabupaten Lampung Utara, selanjutya penulis sangat tertarik untuk melakukan penelitian


(26)

dengan judul “Karakteristik Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pemilukada di Kabupaten Lampung Utara.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka masalah yang menjadi objek penelitian ini penulis mencoba mengangkat permasalahan sebagai berikut :

a. Bagaimanakah Karakteristik Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pemilukada di Kabupaten Lampung Utara ?

b. Bagaimanakah Penegakan Hukum terhadap pelaku pelanggaran tindak pidana Pemilukada di Kabupaten Lampung Utara ?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini mencakup tentang Karakteristik Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pemilukada, penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana dan faktor penghambat dalam penegakan hukum tindak pidana Pemilukada di Kabupaten Lampung Utara. Sedangkan ruang lingkup daerah penelitian adalah Panwaslu Kabupaten Lampung Utara, Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan Negeri Kota Bumi.


(27)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukanya penelitian ini adalah :

a. Untuk menganalisis Karakteistik Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pemilukada di Kabupaten Lampung Utara

b. Untuk menganalisis penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana Pemilukada di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kabupaten Lampung Utara. c. Untuk menganalisis faktor penghambat dalam penegakan hukum tindak

pidana Pemilukada di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kabupaten Lampung Utara.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian yang disajikan dalam tesis ini adalah :

a. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai upaya pengembangan ilmu pengetahuan pada ilmu hukum pidana khususnya tentang penegakan tindak pidana Pemilukada serta dalam rangka mengatasi dan mencegah tindakan pelanggaran hukum tindak pidana Pemilukada.

b. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi sebagai masukan bagi pihak-pihak terkait dan hasil penelitian ini dapat dijadikan pedoman bagi penyelenggara Pemilu dalam menjalankan tugas dan kewajibanya.


(28)

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis yang menjadi landasan suatu acuan dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penulisan. 9

Menurut Boeree Karakteristik adalah ciri khas seseorang dalam menyakini, bertindak ataupun merasakan.10 Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia mempunyai arti yaitu sifat khas sesuai dengan perwatakan tertentu.11 Selanjutnya Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris merumuskan empat hal pokok dalam perbuatan pidana. Seperti yang terlihat dalam definisinya sendiri. Perbuatan pidana adalah perbuatan manusia yang termasuk dalam ruang lingkup rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dapat dicela. Sehingga perbuatan pidana mengandung unsur Handeling (perbuatan manusia), termasuk dalam rumusan delik, Wederrechtjek (melanggar hukum), dan dapat dicela.12

Moelyatno menyebutkan bahwa perbuatan pidana terdiri dari lima elemen. Yaitu kelakuan dan akibat (perbuatan), Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan, keadaan tambahan yang memberatkan pidana, unsur melawan hukum yang subjektif, dan unsur melawan hukum yang objektif.13

9

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 73.

10

http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/4s1keperawatan/207312033/BAB%20II.pdf. Diakses pada tanggal 21 Juli 2014.

11

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm. 389.

12

Chaffmeister, Keijzer, dan Sutoris, Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1995, hlm, 27.

13


(29)

Berdasarkan teori Karakteristik, maka Karakteristik Penegakan Hukum Tindak Pidana Pemilu merupakan ciri khas dalam penegakan hukum yang dilakukan oleh lembaga penyelenggara Pemilu dalam hal ini Panwaslu Kabupaten Lampung Utara, untuk menegakan hukum sebagai usaha atau proses yang rasioanal dan direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu yang bersumber dari nilai-nilai bermuara pada pidana dan pemidanaan.

Berikutnya adalah penegakan hukum, dimana menurut Joseph Goldstein bahwa upaya penegakan hukum pidana dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu:14

1) Total enforcement (penegakan hukum sepenuhnya)

Yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana substantive (substantive law of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan, sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan pendahuluan. Di samping itu mungkin terjadi hukum pidana substantive sendiri memberikan batasan-batasan, misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan pada delik aduan. Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut Area of no Enforcement (area di mana penegakan hukum pidana tidak dapat dilakukan sepenuhnya). Setelah ruang lingkup penegakan hukum yang bersifat total tersebut dikurangi Area of no Enforcement, muncul bentuk penegakan hukum pidana yang kedua, yakni Full Enforcement.

2) Full Enforcement (Penegakan hukum secara penuh)

Penegak hukum diharapkan menegakan hukum secara maksimal, akan tetapi oleh Goldstein harapan itu dianggap not a realistic expectation, sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat investigasi, dana yang kesemuanya mengakibatkan keharusan dilakukan discretions.

3) Actual Enforcement

Merupakan area yang dapat ditegakan oleh hukum pidana, melihat pada kenyataan bahwa peristiwa tersebut melibatkan banyak orang dalam hal ini para pengusaha maupun masyarakat.

Tujuan dalam penegakan hukum untuk mendapatkan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan atau kesejahteraan hukum dari penegakan hukum tersebut. Dalam perjalananya penegakan hukum dapat berjalan sesuai dengan efektif

14

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hlm. 1-3.


(30)

apabila terbentuk mata rantai yang menjadi satu kesatuan dan tidak bisa dipisahkan antara lain: penyidikan, tuntutan jaksa, vonis hakim, dan pembuatan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pengertian dari penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan.15 Penegakan hukum bukanlah merupakan suatu kegiatan yang berdiri sendiri, melainkan mempunyai hubungan timbal balik yang erat dengan masyarakat.16

Penegakan hukum dilakukan oleh institusi yang diberi wewenang untuk itu, seperti polisi, jaksa dan pejabat pemerintahan. Sejak hukum itu mengandung perintah dan paksaan (coercion), maka sejak semula hukum membutuhkan bantuan untuk mewujudkan perintah tersebut. Hukum menjadi tidak ada artinya bila perintahnya tidak (dapat) dilaksanakn. Diperlukan usaha dan tindakan manusia agar perintah dan paksaan yang secara potensial ada di dalam peraturan itu menjadi manifest. Oleh Donald Back dimensi keterlibatan manusia dalam hukum tersebut dinamakan mobilisasi hukum.17

Keterlibatan anggota masyarakat dalam penegakan hukum terjadi baik dalam bidang pidana atau publik maupun perdata. Dalam hukum pidana, mobilisasi hukum dapat dimulai dari inisiatif polisi maupun anggota masyarakat, anggota masyarakat dapat melaporkan terjadinya kejahatan, sehingga menggerakan roda

15

Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. 24.

16 Ibid,

hlm. 31.

17

Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2002, hlm.


(31)

hukum pidana. Maka dalam hal yang disebut belakangan ini, apabila anggota masyarakat itu tidak bertindak, tidak akan ada kasus.18

Menurut Soerjono Soekanto ada beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yaitu:

1) Faktor hukumnya sendiri 2) Faktor penegak hukum

3) Faktor sarana atau fasilitasi yang mendukung penegakan hukum 4) Faktor masyarakat

5) Faktor kebudayaan.19

Kelima faktor tersebut merupakan faktor-faktor yang terkait antara satu dan yang lain serta merupakan esensi dari penegak hukum dan bekerjanya hukum dalam masyarakat. Kaitannya terhadap penegakan hukum tindak pidana Pemilukada yang juga tergantung kepada lima faktor tersebut.

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan dari beberapa konsep sebagai satu kebulatan yang utuh, sehingga terbentuk suatu wawasan untuk dijadikan landasan, acuan, dan pedoman dalam penelitian atau penulisan.20 Dalam kerangka konseptual ini akan dijelaskan tentang pengertian pokok-pokok yang dipakai dalam rangka penelitian dengan maksud untuk menghindari kesalah pahaman dalam melaksanakan penelitian. Istilah yang digunakan dalam tesis ini adalah :

18

Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum,Op.Cit. hlm. 178.

19

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegekan Hukum, Rajawali Pers,

Jakarta, 2012, hlm. 8.

20


(32)

a. Karakteristik dalam kamus besar bahasa indonesia mempunyai arti yaitu: mempunyai sifat khas sesuai dengan perwatakan tertentu. Adapun hubungan karaktersitik tersebut dengan tindak pidana Pemilukada adalah tindak pidana yang yang membedakan dengan tindak pidana yang lain.

b. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan.

c. Tindak pidana adalah perbuatan yang melanggar larangan yang diatur oleh aturan hukum yang diancam dengan sanksi pidana.21

d. Pemilihan Umum, selanjutnya disingkat Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu).

e. Tindak pidana Pemilu dalam Nota Kesepakatan Bersama Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia dan kejaksaan Republik Indonesia dalam Pasal 1 ayat (3) yaitu Tindak pidana Pemilu adalah tindak pidana yang terjadi dalam penyelenggaraan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

21


(33)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “strafbaar feit”, di dalam kitab

Undang-undang Hukum Pidana tidak terdapat penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaar feit itu sendiri. Biasanya tindak pidana disinonimkam dengan delik, yang berasal dari bahasa latin yakni kata

delictum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tercantum sebagai berikut: “Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukum karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana”.22

Menurut Hans Kelsen, Delik adalah suatu kondisi dimana sanksi diberikan berdasarkan norma hukum yang ada.23

Moeljatno, menerjemahkan istilah strafbaar feit dengan perbuatan pidana. Menurut pendapat beliau istilah “perbuatan pidana” menunjuk kepada makna adanya suatu kelakuan manusia yang menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum di mana pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Dapat diartikan

22

Teguh Prastyo, Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, jakarta, 2012, hlm. 47.

23

Asshiddiqie Jimly, Ali Safa’at M, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konpres, Jakarta, 2012, Hlm, 46.


(34)

demikian karena kata “perbuatan” tidak mungkin berupa kelakuan alam, karena yang dapat berbuat dan hasilnya disebut perbuatan itu adalah hanya manusia.24

Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, di mana pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).25

Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan strafbaar feit, untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai tindak pidana di dalam kitab Undang-undang hukum pidana tanpa memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan strafbaar feit tersebut. Pada dasarnya semua istilah itu merupakan terjemahan dari bahasa Belanda: “Strafbaar Feit”, sebagai berikut:

1. Delik (delict).

2. Peristiwa pidana (E.Utrecht). 3. Perbuatan pidana (Moeljanto).

4. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum. 5. Hal yang diancam dengan hukum.

6. Perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukum.

7. Tindak pidana (Sudarto dan diikuti oleh pembentuk undang-undang sampai sekarang).26

Pompe memberikan pengertian tindak pidana menjadi dua, yaitu:

1. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

24 Ibid,

hlm. 48.

25

Teguh Prastyo, Op Cit, hlm. 50.

26


(35)

2. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian/feit yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.27

Keterangan Simons yang dikutip oleh Moeljanto adalah bahwa strafbaar feit

adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.28 Van Hamel juga merumuskan bahwa strafbaar feit

adalah kelakuan orang (menselijk gedraging) yang dirumuskan dalam wet yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.29

Menurut Barda Nawawi Arief, tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.30 Adapun jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar tertentu, antara lain sebagai berikut :

a. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan pelanggaran yang dimuat dalam Bukum III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran” itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP menjadi Buku II dan Buku III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan secara keseluruhan. b. Cara merumuskanya, dibedakan dalam tindak pidana formil (Formeel

Delicten) dan tindak pidana meteril (materil delicten). Tindak pidana formil

27

Tri Andrisman, Ibid, hlm. 70.

28

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm. 56.

29 Ibid

.

30

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm.


(36)

adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362 KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak pidana materil inti laranganya adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana.

c. Dilihat dari bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten). Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP antara lain Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengaja menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 yang dengan sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkan matinya seseorang, contoh lainya seperti yang diatur dalam Pasal 188 dan Pasal 360 KUHP. d. Berdasarkan macam perbuatanya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan aktif

juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk mewujudkanya diisnyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378 KUHP).

Tindak pidana pasif dibedakan menjadi dua macam:

a. Tindak pidana murni adalah tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatanya berupa pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224, Pasal 304, dan Pasal 552 KUHP.

b. Tindak pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan dengan tidak


(37)

berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal.

Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak pidana terdiri dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana formil dan tindak pidana materil, tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak disengaja serta tindak pidana aktif dan tindak pidana pasif.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Setiap tindak pidana yang terdapat dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana itu menurut Lamintang pada umunya dapat kita jabarkan kedalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yakni: unsur-unsur

Subyektif dan unsur-unsur Obyektif.31 Yang dimaksud dengan unsur-unsur

Subyektif itu adalah unsur-unsur yang melakat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedang yang dimaksud dengan unsur-unsur Obyektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubunganya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Menurut Lamintang unsur-unsur Subyektif, dari suatu tindak pidana itu adalah:

a. Kesengajaan atau tidak kesengajaan (dolus atau culpa);

b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;

31

P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditya Bakti,


(38)

c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;

d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachteread seperti yang misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP; e. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan

tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Unsur-unsur Subyektif dari suatu tindak pidana itu adalah: 1. Sifat melanggar atau wederrechtelijkheid;

2. Kualitas dari se pelaku, misalnya “keadaan sebagai seseorang pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;

3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.32

Menurut Moeljanto, unsur tindak pidana adalah: a. Perbuatan;

b. Yang dilarang (oleh aturan hukum);

c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar hukum).33

Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, oleh aturan hukum. Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada pada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataanya benar-benar

32

P.A.F. Lamintang, Ibid, hlm. 194.

33

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1, PT. Raja Grapindo Persada. Jakarta,


(39)

dipidana. Pengertian diancam pidana merupakan pengetian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana.

Menurut bunyi batasan yang dimuat Vos, dapat ditarik unsur-unsur tindak pidana adalah.

a. Kelakuan manusia; b. Diancam dengan pidana;

c. Dalam peraturan perundang-undangan.34

Batasan yang dimuat Jonkers (penganut paham monisme) dapat dirinci unsur-unsur tindak pidana adalah:

a. Perbuatan (yang);

b. Melawan hukum (yang berhubungan dengan); c. Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat); d. Dipertanggungjawabkan.

Sementara itu, Schravendijk dalam batasan yang dimuatnya secara panjang lebar itu, jika dirinci terdapat unsur-unsur sebagai berikut:

a. Kelakuan (orang yang);

b. Bertentangan dengan keinsyafan hukum; c. Dincam dengan hukuman;

d. Dilakukan oleh orang (yang dapat); e. Dipersalahkan/kesalahan.35

34

Adami Chazawi, Ibid, hlm. 80.

35


(40)

Walaupun rincian dari tiga rumusan di atas tampak berbeda-beda, namun pada hakekatnya pada persamaanya, yaitu: tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatanya dengan unsur yang mengenai diri orangnya.

B. Tindak Pidana Pemilu

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum tidak dijelaskan secara jelas pengertian tindak pidana Pemilihan Umum. Secara denifinit pengertian tindak pidana pemilu sulitditentukan, Sebagaimana yang

berlaku bagi terminologi hukum, untuk tindak pidana pemilu juga tidak ada satu rumusan pun yang dapat memberikan secara utuh definisi atau pengertian tindak pidana Pemilu, yang sekaligus dapat dijadikan pegangan baku atau standar bagi semua orang. Namun demikian salah satu rumusan menjelaskan

bahwa "setiap orang, badan hukum, ataupun organisasi yang dengan sengaja melanggar hukum, mengacaukan, rnenghalang-halangi, atau rnengganggu jalannya pemilihan umum yang diselenggarakan menurut undang- undang",

merupakan perbuatan pidana Pemilu.36 Menurut Joko Prakoso, tindak pidana Pemilu adalah setiap orang, badan hukum ataupun organisasi yang dengan sengaja melanggar hukum, mengacaukan, menghalang-halangi atau menggangu jalanya pemilihan umum yang diselenggarakan menurut undang-undang.37

Pengertian dan cakupan dari tindak pidana Pemilu secara sederhana dapat dikatakan bahwa ada tiga kemungkinan, yaitu: pertama, semua tindak pidana

yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu yang diatur di dalam undang

-undang Pemilu. kedua, semua tindak pidana yang berkaitan dengan

36

Djoko Prakoso, Tindak Pidana Pemilihan Umum, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 17.

37 Ibid


(41)

penyelenggaraan Pemilu yang diatur baik di dalam, maupun di luar undang

-undang Pernilu, (misalnya di dalam undang-undang partai politik taupun di dalam KUHP), dan ketiga, semua tindak pidana yang terjadi pada saat Pemilu ( t e r m a s u k pelanggaran lalu lintas, penganiayaan (kekerasan), perusakan dan sebagainya).38

Topo Santoso mendefinsikan kembali pengertian tindak pidana pemilihan umum adalah semua tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaran Pemilu yang diatur dalam undang-undang Pemilu maupun di dalam undang-undang tindak pidana Pemilu.39 Lebih khusus lagi tindak pidana Pemilu yakni tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu (termasuk juga didalam undang-udang tindak pidana Pemilu).40 Karena fokusnya adalah tindak pidana, dengan begitu berbagai kecurangan yang terkait dengan penyelenggaraan Pemilu, tetapi bukan termasuk tindak pidana tidak menjadi objek yang dikaji. Seperti diketahui bahwa tidak semua kurangan atau praktik curang dalam pemilu oleh pembuat Undang-undang dikualifikasi sebagai tindak pidana Pemilu.

Topo Santoso tidak memberikan redefenisi pada saat tindak pidana pemilu pada saat tahapan pemilu sudah selesai, misalnya pada saat tahapan kasus itu di tingkat penyelidikan belum selesai, atau pada tahap penuntutan kasus tersebut masih berada di tangan Kejaksaan namun tidak di tangani lagi hingga ke Pengadilan karena penyelenggaraan pemilu sudah berakhir.

38

Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 4.

39 Ibid

, hlm. 5.

40 Ibid,


(42)

Berkenaan dengan masalah tersebut maka Dedi Mulyadi melakukan redefenisi

tindak pidana pemilu, terhadap pengertian tindak pidan pemilu menjadi dua kategori:

1. Tindak pidana pemilu khusus adalah semua tindak pidana yang berkaitan dengan pemilu dan dilaksanakan pada tahapan penyelenggaraan pemilu baik yang diatur dalam UU pemilu maupun dalam undang-undang tindak pidana pemilu.

2. Tindak pidana pemilu umum adalah semua tindak pidana yang berkaitan dengan pemilu dan dilaksanakan pada tahap penyelenggaraan pemilu baik yang diatur dalam UU Pemilu maupun dalam UU Tindak Pidana Pemilu dan penyelesaiannya di luar tahapan pemilu melalui Peradilan Umum.41

Dengan demikian pengertian yang dikemukakan oleh Dedi Mulyadi tersebut, pengertian pertama dikhususkan bagi penyelesaian perkara pidana pemilu yang disesuaikan dengan tahapan pemilu, sedangkan defenisi yang kedua untuk perkara pada saat tahapan pemilu selesai, perkara tersebut masih dalam proses baik penyidikan, prapenuntutan, dan penuntutan.

Pada konteks pengaturan tindak pidana, sesungguhnya UU Pemilu merupakan undang-undang khusus (lex specialis) karena mengatur tindak pidana yang diatur dalam UU Pemilu. Secara umum KUHP (lex generalis) juga telah mengaturnya dalam Pasal 148 sampai dengan Pasal 153 KUHP. Hal ini terlihat dari terjadinya kriminalisasi terhadap hampir seluruh perbuatan/tindakan dalam setiap tahapan pelaksanan Pemilu yang menghambat terlaksananya Pemilu. Meskipun penyelenggaraan penuntutan atas perkara pidana pemilu pada dasarnya menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP (lex generalis) namun dalam UU Pemilu juga menentukan mekanisme/hukum

41

Dedi Mulyadi, Kebijakan Legislasi tentang Sanksi Pidana Pemilu Legislatif Di Indonesia dalam Perspektif Indonesia, Gramata Publishing, Jakarta, 2012, hlm. 418.


(43)

acaranya sendiri (lex specialis) mengingat segala penyelesaian yang berkaitan dengan pemilu temasuk penegakan hukumnya dituntut harus diselesaikan dengan cepat, sehingga penyelenggaraan pemilu sebagai wujud pelaksanaan demokrasi dapat dilaksanakan secara demokratis dan bersih. Tindak pidana Pemilu didalam KUHP yang mengatur mengenai tindak pidana Pemilu terdapat dalam Bab IV buku kedua KUHP mengenai tindak pidana kejahatan terhadap melakukan kewajiban dan hak kewarganegaraan adalah :

Pasal 148 KUHP menyatakan :

Barang siapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan umum, dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, dengan sengaja merintangi seseorang mamakai hak pilihnya dengan bebas dan tidak terganggu, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.

Pasal 149 KUHP menyatakan :

(1) Barang siapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, menyuap seseorang supaya tidak memakai hak pilihnya atau supaya memakai hak itu menurut cara yang tertentu, diancam pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(2) Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih, dengan menerima pemberian atau janji, mau disuap.

Pasal 150 KUHP menyatakan :

Barang siapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, melakukan tipu muslihat sehingga suara seorang pemilih menjadi tidak berharga atau menyebabkan orang lain daripada yang dimaksud oleh pemilih yang ditunjuk, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.

Pasal 151 KUHP menyatakan :

(2) Dalam hal pemidanaan berdasarkan putusan kejahatan dalam Pasal 147-152, dapat dipidana pencabutan hak berdasarkan Pasal 35 ke-3.


(44)

C. Ketentuan Pidana dalam Undang-undang Pemilu

Tindak pidana Pemilu sudah diatur dalam KUHP tetapi didalam Undang-undang Pemilu diatur lagi. Ketentuan pidana dalam Undang-undang Pemilu (Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang- (Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah) terdapat dalam Bab IV yang terdiri dari 5 Pasal yaitu:

a. Pasal 115

(1) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dan orang yang kehilangan hak pilihnya tersebut mengadukan, diancam dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

(3) Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan surat yang menurut suatu aturan dalarn Undang-Undang ini diperlukan untuk menjalankan suatu perbuatan dengan maksud untuk digunakan sendiri atau orang lain sebagai seolah-olah surat sah atau tidak dipalsukan, diancam dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). (4) Setiap orang yang dengan sengaja dan mengetahui bahwa suatu surat

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tidak sah atau dipalsukan, menggunakannya, atau menyuruh orang lain menggunakannya sebagai surat sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

(5) Setiap orang yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekuasaan yang ada padanya saat pendaftaran pemilih menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dalam pemilihan kepala daerah menurut Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).


(45)

(6) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar atau menggunakan surat palsu seolah-olah sebagai surat yang sah tentang suatu hal yang diperlukan bagi persyaratan untuk menjadi pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). (7) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar

atau menggunakan identitas diri palsu untuk mendukung bekal pasangan calon perseorangen kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 diancam dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

(8) Anggota PPS, anggota PPK, anggota KPU kabupaten/kota, dan anggota KPU Provinsi yang dengan sengaja memalsukan daftar dukungan terhadap calon perseorangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

(9) Anggota PPS, anggota PPK, anggota KPU kabupaten/kota, dan anggota KPU provinsi yang dengan sengaja tidak melakukan verifikasi dan rekapitulasi terhadap calon perseorangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

b. Pasal 116

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kampanye di luar jadwal waktu yang telah ditetapkan oleh KPUD untuk masing-masing pasangan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari atau paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf a; huruf b, huruf c, huruf d, huruf e dan huruf f diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).

(3) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan pelaksanaan kampanye pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf g, huruf h, huruf i dan huruf j dan Pasa179 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan


(46)

dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).

(4) Setiap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri dan kepala desa yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).

(5) Setiap orang yang dengan sengaja mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu jalannya kampanye, diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).

(6) Setiap orang yang memberi atau menerima dana kampanye melebihi batas yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3), diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(7) Setiap orang yang dengan sengaja menerima atau memberi dana kampanye dari atau kepada pihak-pihak yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1), dan/atau tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(8) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar dalam laporan dana kampanye sebagaimana diwajibkan oleh Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dari/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

c. Pasal 117

(1) Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dan menghalang-halangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih Pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua


(47)

belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(3) Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja mengaku dirinya sebagai orang lain untuk menggunakan hak pilih, diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari dan paling lama 60 (enam puluh) hari dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah).

(4) Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja, memberikan suaranya lebih dari satu kali di satu atau lebih TPS, diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah).

(5) Setiap orang yang dengan sengaja menggagalkan pemungutan suara diancam dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(6) Seorang majikan atau atasan yang tidak memberikan kesempatan kepada seorang pekerja untuk memberikan suaranya, kecuali dengan alasan bahwa pekerjaan tersebut tidak bisa ditinggalkan diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(7) Setiap orang yang dengan sengaja pada waktu pemungutan suara mendampingi seorang pemilih selain yang diatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1), diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(8) Setiap orang yang bertugas membantu pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) dengan sengaja memberitahukan pilihan si pemilih kepada orang lain, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

d. Pasal 118

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan suara seorang pemilih menjadi tidak berharga atau menyebabkan Pasangan calon tertentu mendapat tambahan suara atau perolehan suaranya berkurang, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). (2) Setiap orang yang dengan sengaja merusak atau menghilangkan hasil

pemungutan Suara yang sudah disegel, diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah) dan paling tianyak Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).


(48)

(3) Setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan rusak atau hilangnya hasil pemungutan suara yang sudah disegel, diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari dan paling lama 2 (dua) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).

(4) Setiap orang yang dengan sengaja mengubah hasil penghitungan suara dan/atau berita acara daa sertifikat hasil penghitungan suara, diancam dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

e. Pasal 119

Jika tindak pidana dilakukan dengan sengaja oleh penyelenggara atau pasangan calon, ancaman pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga) dari pidana yang diatur dalam Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, dan Pasal 118.

Dari uraian Pasal di atas dapat diklasifikasikan bahwa unsur-unsur tindak pidana Pemilu dan peristiwa pidana Pemilu melalui tabel berikut ini:

Tabel 3 : Unsur Tindak Pidana Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Pasal Subyek Unsur Peristiwa pidana Sanksi

1 2 3 4 5

Pasal. 115 Ayat (1) Setiap orang

Sengaja Memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang di perlukan untuk pengisian daftar Pemilih

Penjara: Min: 3 Bulan Max: 12 Bulan Denda:

Min: 3 juta Max: 12 juta Ayat

(2) Setiap orang Sengaja Menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya Penjara: Min: 12 Bulan Max: 24 Bulan Denda:

Min: 12 juta Max: 24 juta Ayat

(3)

Setiap orang

Sengaja Memalsukan surat yang menurut UU ini diperlukan untuk menjalankan suatu perbuatan untuk digunakan sendiri atau orang lain seolah-olah surat sah atau tidak

Penjara: Min: 36 Bulan Max: 72 Bulan Denda:

Min: 36 juta Max: 72 juta


(49)

dipalsukan Ayat

(4) Setiap orang Sengaja dan mengetahui Suatu surat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Tidak sah atau dipalsukan,

menggunakanya, atau menyuruh orang lain menggunakanya Sebagai surat sah

Penjara: Min: 36 Bulan Max: 72 Bulan Denda:

Min: 36 juta Max: 72 juta Ayat (5) Setiap orang Dengan kekerasan atau dengan ancaman kekuasaan yang ada padanya

Saat pendaftaran pemilih Menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilukada menurut UU ini

Penjara: Min: 12 Bulan Max: 36 Bulan Denda:

Min: 12 juta Max: 36 juta Ayat

(6) Setiap orang Sengaja Memberikan keterangan yang tidak benar atau menggunakan surat palsu seolah-olah sebagai surat yang sah tentang suatu hal yang diperlukan bagi persyaratan untuk menjadi pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah

Penjara: Min: 36 Bulan Max: 72 Bulan Denda:

Min: 36 juta Max: 72 juta

Ayat (7)

Setiap orang

Sengaja Memberikan keterangan

tidak benar

menggunakan identitas palsu, untuk mendukung

pasangan calon

perorangan kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagimana dimaksud dalam Psal 59

Penjara: Min: 12 bulan Max: 36 bulan Denda: Min: 12 Juta Max: 36 juta

Ayat

(8) Anggota PPS, Anggota PPK, Anggota KPU Kab/Kot a, Anggota KPU Provinsi

Sengaja Calon perseorangan sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.

Penjara: Min: 36 bulan Max: 72 bulan Denda: Min: 36 Juta Max: 72 juta

Ayat

(9) Anggota PPS, Anggota PPK, Anggota KPU Kab/Kot a, Anggota KPU Provinsi

Sengaja Tidak melakukan

verifikasi dan

rekapitulasi, Calon perseorangan

Penjara: Min: 36 bulan Max: 72 bulan Denda: Min: 36 Juta Max: 72 juta

Pasal.


(50)

Ayat (1)

ditetapkan KPUD untuk masing-masing pasangan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal. 75 ayat (2)

Max: 3 bulan Denda:

Min: 100 Ribu Max: 1 juta Ayat

(2)

Setiap orang

Sengaja Melanggar ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal. 78 huruf a, b, c, d, e, dan f

Penjara: Min: 3 bulan Max:18 bulan Denda:

Mn: 600 Ribu Max: 6 juta Ayat

(3) Setiap orang Sengaja Melanggar larangan ketentuan laranagan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal. 78 huruf a, b, c, d, e, dan f. Pasal. 79 ayat (1), (3), dan (4)

Penjara: Min: 1 bulan Max: 6 bulan Denda:

Min: 100 Ribu Max: 1 juta Ayat (4) Setiap pejabat negara, pejabat struktura l, dan fungsion al dalam jabatan negeri dan kepala desa

Sengaja Melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83

Penjara: Min: 1 bulan Max: 6 bulan Denda:

Min: 600 Ribu Max: 6 juta

Ayat (5)

Setiap orang

Sengaja Mengacaukan kampanye Penjara: Min: 1 bulan Max: 6 bulan bulan

Denda: Min: 600 ribu Max: 6 juta Ayat (6) Setiap orang Memberi atau menerima

Dana kampanye melebihi batas yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2)

Penjara: Min: 4 bulan Max: 24 bulan Denda:

Min: 200 juta Max: 1 miliar Ayat

(7)

Setiap orang

Sengaja Menerima atau memberi dana kampanye dari atau kepada pihak-pihak yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) dan atau tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (2)

Penjara: Min: 4 bulan Max: 24 bualn Denda:

Min: 200 juta Max: 1 miliar

Ayat (8)

Setiap orang

Sengaja Memberikan keterangan yang tidak benar dalam laporan dana kampanye sebagimana diwajibkan oleh UU ini

Penjara: Min: 2 bulan Max: 12 bulan Denda:


(1)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa: 1. Karakteristik penegakan hukum terhadap tindak pidana Pemilukada di

Kabupaten Lampung Utara yakni ciri khas atau ciri khusus dalam penegakan hukum tindak pidana Pemilu yang terjadi pada proses di beberapa tingkatan yaitu pada tingkatan Panwaslu, Gakkumdu dan Pengadilan. Pada tingkatan Panwaslu merupakan proses awal dalam melakukan penanganan pelanggaran Pemilu segala bentuk tindak pidana Pemilu harus melalui proses Panwaslu terlebih dahulu dan tidak bisa langsung pada tingkatan Gakkumdu atau Pengadilan. Kemudian setelah dilakukan pengumpulan bukti baik pemanggilan atau klarifikasi baik terhadap pelapor, terlapor dan saksi serta pihak yang terkait maka Panwaslu melakukan kajian, kemudian pada tingkatan kajian jika sudah memenuhi unsur tindak pidana Pemilu maka akan di bahas di Gakkumdu, Gakkumdu yang terdiri dari Panwaslu, Kepolisian dan Kejaksaan. Setelah pada tingkatan Gakkumdu dinyatakan memenuhi unsur tindak pidana Pemilu maka akan diteruskan pada tingkatan Pengadilan.

2. Lembaga yang terkait dalam penegakan hukum pelanggaran tindak pidana Pemilukada yakni Panitia Pengawas Pemilihan Umum yang mempunyai tugas dan fungsi dalam hal melakukan pengawasan terhadap seluruh


(2)

108

rangkaian tahapan penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, menerima Laporan pelanggaran yang bertentang dengan peraturan perundang-undangan Pemilihan Umum serta meneruskan Temuan dan Laporan yang tidak bisa diselesaikan pada instansi yang berwenang dan lembaga yang terkait dalam hal ini adalah Polisi, Jaksa, Pengadilan Negeri. Penegakan hukum terhadap pelanggaran tindak pidana Pemilukada di Kabupaten Lampung Utara ada pada level Actual Enforcement, hal ini dikarenakan melihat pada kenyataan bahwa peristiwa tersebut melibatkan banyak orang dalam hal ini Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, KPUD, Jaksa, Pengadilan maupun masyarakat. Dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap pelanggaran tindak pidana pemilukada di Kabupaten Lampung Utara dapat disimpulkan belum optimal dikarenakan dari 16 laporan kasus yang masuk hanya 1 kasus yang dilanjutkan ke pengadilan.

B. Saran

1. Hendaknya Panwaslu Kepolisian, Kejaksaan, Hakim, serta semua pihak dan instansi yang berkepentingan di dalam Pemilu perlu meningkatkan kerjasama, koordinasi serta sosialisasi antara semua pihak dalam penyamaan persepsi tentang tindak pidana pemilu sehingga semua pihak ada suatu sinkronisasi dalam menerapkan ketentuan sanksi pidana terhadap Tindak Pidana Pemilu.


(3)

109

2. Hendaknya kepada Pembuat undang-undang perlu mengkaji ulang khususnya masalah ketentuan pelanggaran tindak pidana Pemilu berdasarkan kasus-kasus Pemilu yang semakin berkembang di masyarakat. Hal yang perlu dikaji adalah sistematika dan kategorisasi yang cukup jelas dan lengkap baik terkait dengan unsur-unsur perbuatan pidana Pemilu, pembagian subyek pidana, jenis tindak pidana, jenis sanksi ancaman pidana sehingga akan menghasilkan suatu formulasi tentang tindak pidana Pemilu yang jelas dan lengkap yang dapat mengikuti dan menjangkau pelanggaran pidana pemilu yang berkembang di masyarakat.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Amirudin, Ibramsyah, 2008, Kedudukan KPU Dalam Struktur Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen, Jakarta.

Andrisman, Tri, 2011, Hukum Pidana, Universitas Lampung, Bandar Lampung. Arikunto, Suharsimi, 1983, Prosedur Penelitian dan Pendekatan Praktek, Rineka

Cipta, Jakarta.

Asshiddiqie, Jimly dan Ali Safa’at, M, 2012, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konpres, Jakarta.

Chazawi, Adami, 2007, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1, PT. Raja Grapindo Persada. Jakarta.

Gaffar Jenedjri M, 2013, Demokrasi dan Pemilu di Indonesia, Konpres, Jakarta. ---, 2012, Demokrasi Lokal Pemilukada di Indonesia, Konpres, Jakarta. Hamzah, Andi, 2001, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta. Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990, Balai Pustaka, Jakarta.

Lamintang, P.A.F, 1997, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Moeljatno, 2000, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.

Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Mulyadi, Dedi, 2012, Kebijakan Legislasi tentang Sanksi Pidana Pemilu Legislatif Di Indonesia dalam Perspektif Indonesia, Gramata Publishing, Jakarta.

Nawawi Arief, Barda, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

---, 2005, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya, Bandung.


(5)

---, 2002, Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Prakoso, Djoko, 1987, Tindak Pidana Pemilihan Umum, Bina Aksara, Jakarta. Prastyo, Teguh, 2012, Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, jakarta. Rahardjo, Satjipto, 2009, Penegakan Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta. ---, 2002, Sosiologi Hukum, Muhammadiyah University Press, Surakarta. RM, Suharto, 2002, Hukum Pidana Materil, Sinar Grafika, Jakarta.

Sardini, Nur Hidayat, 2013, Menuju Pengawasan Pemilu Efektif, Diadit Media, Jakarta.

---, 2011, Restorasi Penyelenggara Pemilu di Indonesia, Fajar Media Press, Yogyakarta.

Soekanto, Soerjono, 2012, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegekan Hukum, Jakarta, Rajawali Pers.

---, 1983, Penegakan Hukum, BPHN & Binacipta, Jakarta. Santoso, Topo, 2006, Tindak Pidana Pemilu, Sinar Grafika, Jakarta.

Sudarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung.

Suharizal, 2012, Pemilukada (Regulasi, Dinamika, dan Konsep Mendatang) , Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Wibawanto, Agung, 2005, Memenangkan Hati dan Fikiran Rakyat, Pembaruan, Yogyakarta.

B. Perundang-undangan

Undang-undang Dasar 1945 dan Amandemen Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-udang Nomor 32 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintah Daerah.


(6)

C. Bahan Internet

http://www.library.upnvj.ac.id/ pdf/ 4s1keperawatan/ 207312033/BAB% 20II.pdf. http://kpu.go.id/dmdocuments/Panduan%20KPPS.pdf.

http://twidyana71.blogspot.com/2010/02/pemilukada.html.

http://www.slideshare.net/lunandisyaiful/bab-v-pelanggaran-pemilu-dan-penangannya#.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/12185/1/09E01683.pdf. http://hukum.ums.ac.id/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=51. http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/5994/ADI%20SKRIPSI.