15
dirasa tidak diterima oleh lingkungan, misalnya kecemasan mendapat hukuman, kehilangan kasih sayang, menjadi
kekurangan, dll. 8.
Mekanisme pertahanan diri Dalam menghadapi konflik yang muncul subjek akan
memberikan reaksi-reaksi tertentu. Reaksi-reaksi tertentu atau usaha subjek dalam menghadapi konflik tersebut merupakan
mekanisme pertahanan diri yang dilakukan oleh subjek. 9.
Kuatnya superego Adekuasi ego ditunjukkan oleh bagaimana tokoh mendapatkan
akibat dari tindakannya. 10.
Integrasi ego Menunjukkan seberapa baik fungsi seseorang, seberapa
seseorang dapat mengkompromikan kebutuhan atau dorongan dengan tuntutan realita atau superego di sisi lain.
D. Teori Object Relation
Teori object relation menjadi dasar pikiran dari variabel Bellak nomor lima, yaitu pandangan dan reaksi terhadap figur-figur penting.Teori
object relation merupakan perkembangan dari teori psikoanalisis yang
lebih berfokus pada hubungan atau relasi dengan objek-objek misalnya ibu, daripada dorongan-dorongan insting Schultz, Duane Schultz,
Sydney Ellen, 1998. Dalam asesmen proyektif, teori object relation ini
16
penting sebab menurut Melanie Klein, W.R.D. Fairbairn, inner image seorang anak terhadap keluarganya akan menciptakan suatu persepsi pada
anak terhadap figur-figur di keluarganya. Persepsi anak terhadap keluarganya tersebut kemudian mempengaruhi hubungan atau relasinya
terhadap orang lain di luar keluarganya. Hubungan atau relasi dengan orang lain tersebut kemudian akan menjadi pola yang terus diulang
sehingga menetap pada diri seorang anak. Dengan kata lain, hubungan dengan individu atau orang lain merupakan hal yang penting dalam
mendefinisikan kepribadian dan self dibentuk secara sosial melalui interaksi interpersonal Friedman, Howard. S Schustack, Miriam. W,
2008. Teori object relation mengatakan bahwa faktor sosial dan lingkungan mempengaruhi kepribadian. Dalam hubungannya dengan
figur-figur anggota keluarganya, anak akan melakukan internalisasi objek, yaitu anak melakukan introyeksi yang berarti anak memasukkan aspek
eksternal kemudian mengolahnya menjadi rangka kerja yang bermakna secara psikologis Feist, Jess Feist, Gregory. J, 2009.
Dalam variabel Bellak, object relation mengungkap bagaimana tokoh utama atau hero dalam cerita berelasi dengan karakter figur ayah,
ibu, sebaya atau saudara kandung dan orang yang lebih kecil. Selain itu, mengungkapkan juga tentang macam atau tipe kepribadian dari masing-
masing karakter yang diceritakan dan kualitas interaksi dengan hero. Menurut Westen dalam Bellak Abrams, 1997, terdapat empat
pendekatan skoring Westen tentang object relation, yaitu complexity of
17
representations of people, affect tone of relationship paradigms, capacity of emotional investment in relationship and moral standards
dan understanding of social causalty
. Berkaitan dengan penelitian ini, maka pendekatan skoring Westen
yang sesuai adalah pendekatan complexity of representations of people. Dalam pendekatan ini, internalisasi diri dan representasi objek semakin
berkembang menjadi lebih terpisah dan terdiferensiasi dari satu sama lain sejalan dengan perkembangan anak menuju dewasa. Kapasitas anak untuk
merepresentasikan secara mental suatu self image dan suatu image orang lain juga berkembang menjadi lebih kompleks. Perasaan-perasaan ekstrim
mengenai diri dan representasi objek yang “semua baik” dan “semua buruk” serta perasaan yang ekstrim tentang cinta dan benci menjadi lebih
terdiferensiasi dari karakter-karakter cerita dan meningkat menjadi individu yang dapat melihat dirinya dan orang lain sebagai individu yang
seimbang, memiliki kualitas yang beraneka segi dan pengalaman- pengalaman subjektif.
E. Figur Ayah Bagi Anak-anak di Yogyakarta
1. Keluarga Jawa
Di masyarakat Jawa, dimana kota Yogyakarta termasuk didalamnya, mempunyai pola pengasuhan yang berbeda antara laki-
laki dan perempuan. Dalam mengasuh anak laki-laki, mereka memberi kesempatan anak laki-laki untuk mempunyai cita-cita yang tinggi dan
18
mampu untuk mencari nafkah. Hal ini membuat anak laki-laki dibebaskan dari pekerjaan atau tugas-tugas rumah tangga. Pengasuhan
semacam ini mengakibatkan anak laki-laki tidak memiliki ketrampilan praktis untuk mengelola rumah. Berbeda dengan anak perempuan,
orang tua mendidik mereka untuk dipersiapkan menjadi seorang ibu dan istri yang berbakti bagi suaminya nanti Handayani Ardhian,
2008. Dipendidikan keluarga dalam kultur Jawa, didikan tersebut
selalu menuntut anak untuk mampu menahan dorongan hati serta menunda pemuasan dorongan hati. Sedari kecil para orang tua akan
mengajarkan pada anak-anaknya dalam mempergunakan sikap-sikap hormat. Anak akan diajarkan untuk memiliki rasa wedi pada orang
yang harus dihormati. Setelah anak memiliki rasa wedi, maka anak diajarkan untuk memiliki rasa isin yang artinya malu dan merasa
bersalah. Menurut pendidikan keluarga dalam kultur Jawa, setelah anak diajarkan untuk tahu malu dan kemudian mempunyai malu
merupakan langkah awal untuk mendidik anak menuju ke kepribadian Jawa yang matang.
Ketika anak sudah memasuki usia lima tahun maka ia sudah mengerti konteks-konteks mana yang harus membuat ia merasa isin.
Selanjutnya, menurut Hildred Geerzt dalam Handayani Ardhian, 2008, perasaan sungkan yang berarti rasa hormat yang sopan pada
19
atasan atau sesama yang belum dikenal merupakan perasaan yang hendaknya tidak dicegah.
Dalam hubungan dengan saudara-saudaranya, keluarga Jawa mengajarkan akan kerukunan. Kerukunan dalam hal ini mengacu pada
menjaga hubungan yang harmonis, yaitu mampu mencegah segala kelakuan yang dapat menimbulkan konflik atau pertikaian dengan
sesama sehingga tercipta suatu kedamaian. Adapun ajaran tentang kerukunan tersebut, lantas tidak berarti bahwa seseorang menomor
duakan hak-hak dan kepentingan pribadinya. Seseorang masih dapat mengalami pertentangan dalam dirinya mengenai kepentingannya
namun harus diselesaikan dengan halus dan tidak agresif serta tidak ada konfrontasi emosional yang terbuka. Dengan kata lain, masyarakat
Jawa menuntut seseorang untuk selalu dapat mengontrol diri, membawa diri dengan sopan, tenang dan rukun Handayani
Ardhian, 2008.
2. Figur Ayah dalam Keluarga Jawa
Relasi dan pengalaman sosial pertama anak-anak dibentuk atau dimulai dari keluarga inti mereka, yaitu ayah dan ibu. Menurut
Geertz1983, ketika anak dalam masa peralihan dari penyapihan ke belajar berjalan anak mulai mempunyai hubungan dengan ayahnya.
Dengan kata lain, sampai pada saat itu ayah mempunyai urusan yang relatif sedikit terhadap anaknya. Kadang kala ayah sesekali akan