Teori Object Relation DASAR TEORI

19 atasan atau sesama yang belum dikenal merupakan perasaan yang hendaknya tidak dicegah. Dalam hubungan dengan saudara-saudaranya, keluarga Jawa mengajarkan akan kerukunan. Kerukunan dalam hal ini mengacu pada menjaga hubungan yang harmonis, yaitu mampu mencegah segala kelakuan yang dapat menimbulkan konflik atau pertikaian dengan sesama sehingga tercipta suatu kedamaian. Adapun ajaran tentang kerukunan tersebut, lantas tidak berarti bahwa seseorang menomor duakan hak-hak dan kepentingan pribadinya. Seseorang masih dapat mengalami pertentangan dalam dirinya mengenai kepentingannya namun harus diselesaikan dengan halus dan tidak agresif serta tidak ada konfrontasi emosional yang terbuka. Dengan kata lain, masyarakat Jawa menuntut seseorang untuk selalu dapat mengontrol diri, membawa diri dengan sopan, tenang dan rukun Handayani Ardhian, 2008.

2. Figur Ayah dalam Keluarga Jawa

Relasi dan pengalaman sosial pertama anak-anak dibentuk atau dimulai dari keluarga inti mereka, yaitu ayah dan ibu. Menurut Geertz1983, ketika anak dalam masa peralihan dari penyapihan ke belajar berjalan anak mulai mempunyai hubungan dengan ayahnya. Dengan kata lain, sampai pada saat itu ayah mempunyai urusan yang relatif sedikit terhadap anaknya. Kadang kala ayah sesekali akan 20 mendapat giliran untuk menggendong anaknya sengaja untuk memberikan kesempatan pada ibu untuk melakukan hal-hal yang lain. Walaupun begitu, ayah belum menjadi bagian yang penting bagi anak. Berkisar dari akhir tahun pertama sampai umur lima tahun, anak-anak dekat dengan ayahnya, namun setelah berumur lebih dari lima tahun dimungkinkan anak tidak lagi dekat dengan ayahnya. Dari masa itu, anak akan mulai hormat dengan mengambil jarak dari ayahnya, berbicara dengan seksama serta merendah terhadap ayahnya. Selain itu, tradisi di Yogyakarta yang masih kejawen memiliki aturan- aturan atau tata kramanya sendiri dalam hubungan antara anak dan ayah. Diantaranya, orang tua akan tampak semakin mengharapkan anaknya untuk menjadi seorang yang penurut, pandai dalam mengendalikan diri dan sopan. Anak-anak juga segera mengetahui bahwa orang yang lebih tua harus dihormati, terutama ayah mereka. Adanya aturan atau tata krama seperti ini membuat hubungan antara anak-anak dengan ayahnya tampak ada jarak, basa-basi dan hampir seperti hendak menjauhi. Pola pengasuhan yang diterapkan di keluarga jawa juga termasuk pola asuh yang otoriter. Dapat dikatakan demikian sebab dalam nilai-nilai kejawen anak diharapkan mematuhi harapan-harapan atau keinginan-keinginan orang tuanya. Ketika anak tidak melakukannya atau tidak memenuhi harapan orang tuanya maka orang tua akan menghukumnya. Bahkan hukuman yang diterima anak 21 tersebut berkisar dari tatapan ancaman atau peringatan tajam untuk dipermalukan di depan orang lain, serta dari cubitan hingga pukulan walaupun jarang terjadi.

F. Persepsi Anak terhadap Figur Ayah di Yogyakarta

Anak dengan usia enam hingga sebelas tahun sudah mulai berhubungan secara formal dengan lingkungan dan kebudayaannya. Hal itu mempengaruhi banyak hal dalam kehidupan anak, salah satunya adalah interaksi dengan lingkungan yaitu relasi anak dengan orang tua dan orang lain. Dalam hal ini relasi antara anak dan orang tua atau orang lain di sekitarnya menjadi penting karena anak sudah mulai mampu menyerap inforrmasi-informasi yang diberikan oleh lingkungannya. Dalam hubungannya dengan orang lain, anak sudah mulai mampu melakukan persepsi sosial dengan mengenali tanda-tanda atau tingkah laku nonverbal dan verbal yang ditampilkan orang lain. Informasi-informasi tersebut kemudian digunakan untuk membentuk persepsi terhadap orang lain. Dalam melakukan persepsi sosial, anak dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu sifat sensoris objek, pengalaman masa lampau anak itu sendiri yang mempengaruhi ekspektasi atau harapan dan sikap diri anak tersebut. Selain itu, budaya juga mempengaruhi anak dalam melakukan persepsi. Budaya atau situasi sosial tersebut akan mempengaruhi orang yang