BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah)

Perencanaan merupakan suatu proses aktivitas yang berorientasi ke depan dengan memperkirakan berbagai hal agar aktivitas di masa depan dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Karena orientasinya ke masa depan, perencanaan bersifat memperkirakan dan memprediksikan (meramalkan) berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional, logis dan dapat dilaksanakan. Pemerintah (Daerah) sebagai penyelenggara pembangunan dan sekaligus abdi masyarakat, harus dapat merencanakan pembangunan, kini dan di masa yang akan datang. Sehingga untuk mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan, mengoptimalkan partisipasi masyarakat, menjamin tercapainya sumber daya secara efisien dan berkeadilan serta menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi dan sinergis diperlukan suatu dokumen perencanaan, yaitu Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang sesuai dengan amanah Pasal 3 dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) ini disusun dengan maksud menyediakan sebuah dokumen perencanaan komprehensif lima tahunan (2006-2010), yang akan digunakan sebagai acuan dalam penyusunan Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD) sesuai dengan UU


(2)

No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam menyusun RPJM ini, acuan utama yang digunakan adalah rumusan visi, misi, arah kebijakan dan rencana program indikatif Bupati dan Wakil Bupati yang telah disampaikan kepada masyarakat pemilih melalui Sidang Paripurna DPRD dalam tahapan kampanye pemilihan pasangan Calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah secara langsung. Di samping itu penyusunan RPJM Daerah ini juga mengacu kepada dokumen perencanaan nasional dan Provinsi Sumatera Utara dan berbagai kebijakan dan prioritas program Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin terciptanya sinergi kebijakan dan sinkronisasi program secara vertikal antartingkat pemerintahan yang berbeda.

Selain itu, RPJM ini juga disusun dengan memperhatikan statistik regional dan lokal seperti (1) statistik berbagai fungsi pemerintahan di bidang ekonomi, seperti lapangan pekerjaan utama dan tingkat pendapatan rata-rata masyarakat, keberadaan potensi sektor unggulan daerah yang dapat dikembangkan dalam rangka memacu laju produksi lokal dan penciptaan lapangan kerja baru, keberadaan sektor informal dan kandungan potensi sumber daya daerah; (2) statistik fungsi-fungsi pemerintahan di bidang sosial budaya, seperti kondisi tingkat kesehatan rata-rata masyarakat, angka kemiskinan, tingkat pengangguran, angka partisipasi kasar dan angka partisipasi murni pendidikan dasar dan menengah; (3) statistik bidang fisik prasarana, seperti pola-pola penataan ruang dan kawasan andalan, kantong-kantong kemiskinan dan


(3)

kawasan tertinggal serta kondisi ekologi dan lingkungan hidup daerah dan (4) kapasitas fiskal dan keuangan daerah.

Selanjutnya, karena berfungsi sebagai dokumen publik yang merangkum daftar rencana kegiatan lima tahunan di bidang pelayanan umum pemerintahan, maka proses penyusunan RPJM Daerah ini juga dilakukan melalui serangkaian forum musyawarah perencanaan partisipatif, dengan melibatkan seluruh unsur pelaku pembangunan setempat seperti Musrenbang. Karena pertimbangan itu, walaupun RPJM ini bermula dari rumusan visi, misi, arah kebijakan dan rencana indikatif program kerja Bupati, maka matriks rencana program dan kegiatan lima tahunan yang diuraikan di dalam dokumen ini adalah hasil kesepakatan seluruh unsur pelaku pembangunan daerah ini, dengan tetap memperhatikan kebijakan dan program strategis nasional dan provinsi.

Kabupaten/Kota Sumatera Utara dengan tingkat kemiskinan yang relatif masih tinggi dan bidang pertanian sebagai penyokong utama perekonomian merupakan isu yang utama dalam pembangunan lima tahun kedepan. Program-program pembangunan yang dibahas lebih mengarah kepada peningkatan pendapatan petani melalui bidang pertanian karena lebih dari 80% penduduk Kabupaten/Kota Sumatera Utara bermata pencaharian dari pertanian dalam arti luas.

RPJM Daerah Kabupaten/Kota Sumatera Utara periode 2006-2010 disusun dengan maksud menyediakan acuan resmi bagi Pemerintah Daerah (berupa RKPD) dan DPRD dalam menyusun Renstra SKPD, Renja SKPD sekaligus merupakan acuan pilihan-pilihan program kegiatan tahunan daerah yang akan dibahas dalam rangkaian


(4)

forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Daerah secara berjenjang, yaitu mulai dari desa, kecamatan sampai tingkat kabupaten. Oleh karena itu isi dan substansinya mencakup indikasi rencana program dan kegiatan secara lintas sumber pembiayaan dari APBN, APBD Provinsi dan APBD Kabupaten. Berdasarkan pertimbangan ini, maka RPJM Daerah ini disusun dengan maksud sebagai berikut:

1) menjadi pedoman dalam penyusunan rencana pembangunan tahunan Daerah Kabupaten/Kota Sumatera Utara, yaitu RKPD;

2) menyediakan satu acuan resmi bagi seluruh jajaran Pemerintah Kabupaten/Kota Sumatera Utara dan DPRD Kabupaten/Kota Sumatera Utara dalam menentukan prioritas program dan kegiatan tahunan yang akan dibiayai APBD Kabupaten/ Kota Sumatera Utara, APBN dan sumber pembiayaan lainnya;

3) menyediakan satu tolok ukur untuk melakukan evaluasi kinerja tahunan setiap SKPD;

4) menjabarkan gambaran tentang kondisi umum daerah sekarang dalam konstelasi regional dan nasional sekaligus memahami arah dan tujuan yang ingin dicapai dalam rangka mewujudkan visi dan misi Kabupaten/Kota Sumatera Utara;

5) memudahkan seluruh jajaran aparatur Pemerintah Kabupaten/Kota Sumatera Utara dan DPRD Kabupaten/Kota Sumatera Utara dalam mencapai tujuan dengan cara menyusun program dan kegiatan sercara terpadu, terarah dan terukur;

6) memudahkan seluruh jajaran aparatur Pemerintah Kabupaten/Kota Sumatera Utara dan DPRD Kabupaten/Kota Sumatera Utara untuk memahami dan menilai


(5)

arah kebijakan dan program serta kegiatan operasional tahunan dalam rentang waktu lima tahunan.

RPJM Daerah disusun mengacu kepada RPJM Nasional dan RPJM Sumatera Utara. Selanjutnya RPJM Daerah digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD) dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Renstra SKPD adalah berfungsi sebagai dokumen perencanaan teknis operasional yang merupakan penjabaran teknis RPJM Daerah untuk setiap unit kerja daerah yang memuat visi, misi, arah kebijakan teknis pemerintahan untuk jangka waktu lima tahunan dan disusun oleh setiap satuan kerja perangkat daerah. Dokumen Renstra SKPD selanjutnya dijadikan sebagai acuan langsung dalam menyusun Rencana Kerja (Renja) SKPD, yaitu dokumen perencanaan tahunan setiap unit kerja daerah dan disusun sebagai turunan Renstra SKPD yang juga memuat rencana kegiatan pembangunan tahun berikutnya. Dokumen perencanaan RKPD seperti disebut di atas disusun sebagai dokumen perencanaan tahunan dan merupakan kompilasi kritis atas Renja SKPD setiap tahun anggaran dan merupakan bahan utama dalam pelaksanaan Musrenbang Daerah.

2.2. Alokasi Anggaran Pembangunan 2.2.1. Pengertian Anggaran

Suparmoko (2000) memberikan pengertian anggaran (Budget) yakni, suatu daftar atau pernyataan yang terperinci tentang penerimaan dan pengeluaran negara yang diharapkan dalam jangka waktu tertentu (yang biasanya adalah satu tahun).


(6)

Dalam Budget atau anggaran dari pengertian tersebut di atas, dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi penerimaan dan sisi pengeluaran. Pada sisi penerimaan terdapat sumber penerimaan rutin atau penerimaan dalam negeri dan sumber penerimaan pembangunan, penerimaan rutin terdiri dari penerimaan pajak langsung, pajak tidak langsung dan penerimaan bukan dari pajak (non tax revenues).

Menurut Suparmoko (2000), menjelaskan bahwa penerimaan pembangunan terdiri dari bantuan program dan bantuan proyek. Bantuan program adalah bantuan yang tidak berkaitan pada proyek-proyek tertentu, yang berperan sebagai sumber tambahan bagi pembiayaan import, barang modal, bahan baku, bahan pangan guna memantapkan pembangunan. Sedangkan dari sisi pengeluaran atau belanja negara dibedakan menjadi pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan, pengeluaran rutin terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, subsidi daerah otonom serta pembayaran bungan cicilan utang, sedangkan pengeluaran pembangunan diperinci menjadi pengeluaran untuk program pengembangan untuk program pembangunan dan pengeluaran bantuan proyek.

Pada konteks lain Suparmoko (2000) memberi pemahaman bahwa, pada pokoknya budget harus mencerminkan politik pengeluaran pemerintah yang rasional baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif sehingga akan terlihat bahwa:

1. Ada pertanggungjawaban atas pemungutan pajak dan pungutan lainnya oleh pemerintah, misalnya untuk memperlancar proses pembangunan.

2. Adanya hubungan yang erat antara fasilitas penggunaan dana dan penarikannya.


(7)

3. Adanya pola pengeluaran pemerintah yang dapat dipakai sebagai pertimbangan di dalam menentukan pola penerimaan pemerintah yang pada akhirnya menentukan pula tingkat distribusi penghasilan dalam perekonomian.

Melalui anggaran (budget) umumnya dapat dipakai sebagai untuk mempengaruhi kecepatan peningkatan penghasilan nasional. Adapun mengenai

budget yang dipakai tergantung pada keadaan perekonomian yang dihadapi. Dalam

keadaan deflasi biasanya dipergunakan budget yang defisit, dalam keadaan inflasi yang dipergunakan budget yang surplus dan dalam keadaan normal dipergunakan

budget yang seimbang, jadi jelasnya budget di sini dapat dipergunakan sebagai alat

politik fiskal (Suparmoko, 2000).

2.2.2. Perencanaan Keuangan

Alokasi anggaran untuk pembangunan sektoral yang tersusun dalam Anggaran Belanja Daerah merupakan perencanaan keuangan yang berlaku untuk masa satu tahun anggaran. Perencanaan keuangan ini dimaksudkan untuk membiayai proyek-proyek Pemerintahan Daerah yang telah direncanakan sebelumnya.

Menurut Arsyad (1999), dalam perencanaan keuangan, pembiayaan ditetapkan bentuk dan perkiraan dimuat di atas dasar berbagai hipotesis yang mencakup pertumbuhan pendapatan nasional, konsumsi, impor, dan sebagainya. Untuk menutupi pembiayaan tersebut melalui perpajakan, tabungan dan peningkatan penguasaan uang kontan. Hal ini dapat dicapai dengan menciptakan keseimbangan antara pendapatan masyarakat-upah, pendapatan petani dan lain-lainnya dengan


(8)

jumlah barang konsumsi yang akan tersedia bagi masyarakat. Selanjutnya perencanaan ini juga harus menciptakan keseimbangan antara bagian dari pendapatan masyarakat yang akan dipakai untuk investasi swasta dengan jumlah barang investasi barang yang disediakan bagi sektor swasta.

Untuk mewujudkan keseimbangan yang dimaksud, pemerintah perlu melakukan berbagai upaya dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan barang-barang yang bersifat sosial yang dapat menjadi faktor pendukung bagi kelancaran aktivitas perekonomian masyarakat.

Dalam konteks itu, menurut Arsyad (1999), pada sektor pemerintah keseimbangan harus diciptakan antara dan keuangan yang disediakan bagi tujuan investasi dengan jumlah barang investasi yang akan diproduksi atau diimpor. Di samping keseimbangan yang demikian itu, perlu juga diciptakan keseimbangan antara pengeluaran dan penerimaan pemerintah. Perencanaan keuangan dengan demikian dianggap menjamin keseimbangan antara permintaan dengan penawaran, menghindari inflasi menghasilkan stabilitas ekonomi.

Namun demikian, menurut Arsyad (1999) pendangan di atas nampaknya berlebihan bagi NSB, karena di NSB perencanaan keuangan ini mempunyai beberapa keterbatasan yaitu:

1. Kebijakan mobilitas sumber keuangan melalui perpajakan dapat berpengaruh pada kecenderungan menabung.

2. Di NSB terdapat banyak sekali sektor non-keuangan di bidang pangan (subsisten) dan sedikit sekali sektor keuangan yang terorganisasi jadi, ada ketidakseimbangan antara kedua sektor tersebut. Ini akan mengakibatkan kelangkaan dalam penawaran dan kondisi inflasioner. Akibatnya, secara fisik bisa terganggu.


(9)

3. Ada kemungkinan penawaran dapat ditingkatkan melalui impor, tetapi hal demikian akan mempersulit neraca pembayaran NSB.

4. Agar berhasil perencanaan keuangan harus bebas dari segala kemacetan, khususnya kondisi yang inflasioner. Perencanaan seperti ini lebih tepat dipergunakan pada perencanaan sektoral daripada perencanaan menyeluruh. 5. Perencanaan keuangan tidak sesuai untuk NSB, yang berarti tidak saja

kehilangan pendapatan potensial tetapi juga merupakan ancaman bagi sifat pembangunan sosial yang berimbang. Perencanaan ini tidak dapat menyediakan lapangan kerja yang memadai pada tingkat upah rata-rata dengan kenaikan penduduk dan dengan demikian dapat meningkatkan ketimpangan antara mereka yang beruntung memperoleh pekerjaan dengan mereka yang belum mendapatkan pekerjaan.

Memperhatikan pendapat di atas, mestinya alokasi anggaran untuk pembangunan sektoral yang direncanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota Sumatera Utara, terutama untuk memperluas lapangan kerja, telah memperhitungkan berbagai sektor yang dapat mempengaruhi nila-nilai output dan outcomes alokasi anggaran tersebut.

Dengan demikian, perencanaan alokasi anggaran untuk pembangunan sektoral dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah tidak hanya berfungsi menumbuhkan pendapatan masyarakat melalui berbagai usaha dan perluasan lapangan kerja, tetapi dapat meningkatkan penerimaan Pendapatan Asli Daerah.

2.2.3. Perencanaan Fisik

Diterimanya suatu pengajuan anggaran pembangunan sektoral menjadi kebijakan keuangan Daerah tentu telah didasarkan pada suatu konsep perencanaan program yang mencakup berbagai aspek perencanaan fisik.

Perencanaan fisik adalah suatu usaha untuk menjabarkan usaha pembangunan melalui pengalokasian faktor-faktor produksi dan hasil produksi sehingga


(10)

memaksimalkan pandapatan dan pekerjaan. Keseimbangan fisik hanya dapat dicapai perkiraan yang tepat terhadap hubungan antara investasi dengan output (Arsyad, 1999).

Oleh karena itu, koefisien investasi dapat dihitung. Koefisien ini menunjukkan jumlah investasi dan juga komposisi investasi tersebut dapat artian berbagai barang yang dibutuhkan dalam rangka memperoleh kenaikan output suatu produk dengan jumlah tertentu. Sebagai contoh, berapa banyak besi, berapa banyak batu bara, berapa tenaga listrik yang diperlukan untuk memproduksi satu ton tambahan baja. Atas dasar ini, kenaikan output yang direncanakan untuk berbagai produk tersebut disesuaikan dengan jumlah dan jenis investasi. Output dari berbagai produk tersebut disesuaikan dengan jumlah dan jenis investasi. Output dari berbagai sektor perekonomian juga perlu diseimbangkan, karena output dari suatu cabang perekonomian merupakan

input untuk memproduksi output cabang lainnya. Perencanaan keuangan hanyalah

alat untuk mencapai tujuan ini. Kurangnya dan untuk melaksanakan proyek investasi di NSB biasanya tidak menggambarkan kurangnya sumber daya fisik, tetapi karena kegagalan menggunakan sumber daya riil dengan cara yang benar (Arsyad, 1999).

Di dalam perencanaan fisik, taksiran menyeluruh dibuat berdasarkan sumber daya nyata yang tersedia seperti bahan mentah tenaga kerja, dan sebagainya, dan bagaimana sumber daya tersebut diperoleh sehingga tidak muncul kemacetan selama pelaksanaan rencana tersebut. Perencanaan fisik memerlukan penetapan fisik yang menyangkut produksi pertanian dan industri, jasa angkutan, investasi perekonomian. Di antara berbagai masalah yang ditetapkan tersebut harus ada keseimbangan yang


(11)

tepat. Lebih dari itu, perencanaan fisik harus dilihat sebagai perencana jangka panjang yang menyeluruh dan bukan perencanaan jangka pendek secara pasial.

Namun demikian, menurut Arsyad (1999), di NSB perencanaan fisik mempunyai beberapa kelemahan yaitu:

1. Sebagian besar masalah ekonomi terletak pada lengkapnya data statistik dan informasi sumber tentang sumber daya fisik yang tersedia, jika sasaran fisik yang ditetapkan melebihi tersedianya sumber daya karena data yang tidak akurat, perencanaan akan berakhir dengan kegagalan.

2. Masalah lain adalah bagaimana membuat keseimbangan antara berbagai bagian perekonomian. Mencapai konsistensi internal bertaraf tinggi di NSB adalah tidak mungkin karena adanya kesulitan strukrual yang inheren. Negara mungkin belum mencapai tingkat teknologi yang diperlukan guna mencapai sasaran yang telah ditentukan. Mungkin saja panen tiba-tiba gagal sehingga persediaan barang-barang pertanian menjadi terbatas. Atau, produksi industri mungkin jatuh karena langkanya cadangan tenaga listrik. Untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan seperti itu. Lange menyarankan konsumsi dilengkapi dengan persediaan cadangan tertentu.

3. Kelangkaan sasaran fisik seperti itu, pasti mengakibatkan tekanan inflasioner. Bagi perekonomian yang masih terbelakang dengan tingkat pendapatan dan hubungan yang sangat rendah tekanan inflasioner sangat berbahaya. Dalam situasi seperti itu, dianjurkan diadakannya pengawasan dan alokasi fisik. Menyadari beratnya beban dan kesukaran yang terkandung di dalam pengawasan dan pendistribusian tersebut, perlu pula ditekankan bahwa pengawasan ini jangan dianggap dengan sendiri memadai dan karena itu harus serentak dibarengi dengan langkah-langkah untuk meningkatkan penawaran. 4. Bagi NSB perencanaan fisik tanpa perencanaan keuangan selalu merupakan

negasi bagi perencanaan jika rencana disusun atas dasar sumber daya fisik tanpa memperhatikan tersedianya sumber daya keuangan, sasaran rencana tak pernah dapat terpenuhi.

Beranjak dari uraian pendapat di atas, maka keberhasilan pembangunan ekonomi Daerah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara tidak hanya ditentukan kekayaan sumber daya alam, tetapi lebih banyak ditentukan oleh kemampuan Pemerintah. Daerah dalam merumuskan kebijakan-kebijakan strategis pembangunan ekonomi.


(12)

2.3. Dana Alokasi Umum

Menurut Saragih (2003), kebijakan DAU merupakan instrumen penyeimbang fiskal antardaerah. Sebab tidak semua daerah mempunyai struktur dan kemampuan fiskal yang sama (horizontal fiscal imbalance). DAU sebagai bagian dari kebijakan transfer fiskal dari pusat ke daerah (intergovernmental transfer) berfungsi sebagai faktor pemerataan fiskal antara daerah-daerah serta memperkecil kesenjangan kemampuan fiskal atau keuangan antardaerah.

Menurut Halim (2004), “Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar- daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi”. Dari penjelasan di atas, terlihat Dana Alokasi Umum (DAU) memiliki jumlah yang sangat signifikan sehingga semua pemerintah daerah menjadikannya sebagai sumber penerimaan terpenting dalam anggaran penerimaannya dalam APBN. Oleh karena itu, Dana Alokasi Umum (DAU) dapat dilihat sebagai respons pemerintah terhadap aspirasi daerah untuk mendapatkan sebahagian kontrol yang lebih besar terhadap keuangan negara.

“Bagi daerah yang relatif minim Sumber Daya Alam (SDA), DAU merupakan sumber pendapatan penting guna mendukung operasional pemerintah sehari-hari serta sebagai sumber pembiayaan pembangunan” (Saragih, 2003). “Distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan relatif besar akan lebih kecil dan sebaliknya daerah-daerah yang mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang relatif besar” (Sidik, 2004). Dapat disimpulkan bahwa Dana


(13)

Alokasi Umum merupakan block grant yang diberikan kepada semua kabupaten dan kota untuk tujuan mengisi kesenjangan antara kapasitas dan kebutuhan fiskalnya, dan didistribusikan dengan formula berdasarkan prinsip-prinsip tertentu yang secara umum mengindikasikan bahwa daerah miskin dan terbelakang harus menerima lebih banyak daripada daerah kaya. Dengan kata lain, tujuan penting alokasi Dana Alokasi Umum adalah dalam kerangka pemerataan kemampuan penyediaan pelayanan publik antara Pemerintah Daerah di Indonesia.

2.4. Dana Alokasi Khusus

Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.

Adapun fungsi DAK meliputi: (Depkeu, 2009)

1. Diprioritaskan untuk membantu daerah-daerah dengan kemampuan keuangan di bawah rata-rata nasional, dalam rangka mendanai kegiatan penyediaan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat yang telah merupakan urusan daerah;

2. Menunjang percepatan pembangunan sarana dan prasarana di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah tertinggal/ terpencil, daerah rawan banjir/longsor, serta termasuk kategori daerah ketahanan pangan dan daerah pariwisata;


(14)

3. Mendorong peningkatan produktivitas perluasan kesempatan kerja dan diversifikasi ekonomi terutama di pedesaan, melalui kegiatan khusus di bidang pertanian, kelautan dan perikanan, serta infrastruktur;

4. Meningkatkan akses penduduk miskin terhadap pelayanan dasar dan prasarana dasar melalui kegiatan khusus di bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur; 5. Menjaga dan meningkatkan kualitas hidup, serta mencegah kerusakan lingkungan

hidup, dan mengurangi risiko bencana melalui kegiatan khusus di bidang lingkungan hidup, mempercepat penyediaan serta meningkatkan cakupan dan kehandalan pelayanan prasarana dan sarana dasar dalam satu kesatuan sistem yang terpadu melalui kegiatan khusus di bidang infrastruktur;

6. Mendukung penyediaan prasarana di daerah yang terkena dampak pemekaran pemerintah kabupaten, kota, dan provinsi melalui kegiatan khusus di bidang prasarana pemerintahan;

7. Meningkatkan keterpaduan dan sinkronisasi kegiatan yang didanai dari DAK dengan kegiatan yang didanai dari anggaran Kementerian/Lembaga dan kegiatan yang didanai dari APBD;

8. Mengalihkan secara bertahap dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang digunakan untuk mendanai kegiatan-kegiatan yang telah menjadi urusan daerah ke DAK.

Penghitungan alokasi DAK dialkukan melalui 2 tahapan, yaitu: 1. Penentuan daerah tertentu yang menerima DAK, dan


(15)

Adapun penentuan daerah tertentu tersebut harus memenuhi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Selanjutnya besaran alokasi untuk masing-masing daerah ditentukan dengan perhitungan indeks berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis.

2.5. Pertumbuhan Ekonomi

Pengertian pertumbuhan ekonomi seringkali dibedakan dengan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi bersangkut-paut dengan proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat, sementara pembangunan mengandung arti yang lebih luas. Proses pembangunan mencakup perubahan pada komposisi produksi, perubahan pada pola penggunaan (alokasi) sumber daya produksi diantara sektor-sektor kegiatan ekonomi, perubahan pada pola distribusi kekayaan dan pendapatan diantara berbagai golongan pelaku ekonomi, perubahan pada kerangka kelembagaan dalam kehidupan masyarakat secara menyeluruh.

Namun demikian pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu ciri pokok dalam proses pembangunan, hal ini diperlukan berhubungan dengan kenyataan adanya pertambahan penduduk. Bertambahnya penduduk dengan sendirinya menambah kebutuhannya akan pangan, sandang, pemukiman, pendidikan dan pelayanan kesehatan.


(16)

Adanya keterkaitan yang erat antara pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, ditunjukkan pula dalam sejarah munculnya teori-teori pembangunan ekonomi. Menurut Todaro (1998) dalam kepustakaan pembangunan ekonomi pasca Perang Dunia II terdapat lima pendekatan utama dalam aliran pemikiran tentang teori-teori pembangunan, yaitu model pertumbuhan bertahap linier, model pembangunan struktural, model ketergantungan internasional, kontrarevolusi pasar bebas neoklasik dan model pertumbuhan endogen.

Model pertumbuhan bertahap linier menekankan pada pemahaman bahwa proses pembangunan merupakan serangkaian tahapan pertumbuhan ekonomi yang berurutan, dan juga menyoroti pembangunan sebagai perpaduan dari tabungan, penanaman modal dan bantuan asing. Salah satu tahapan yang harus dilalui adalah tahapan tinggal landas, yang ditandai dengan adanya pengerahan atau mobilisasi tabungan yang dijelaskan oleh model pertumbuhan Harrod-Domar. Model yang berkembang selanjutnya adalah perubahan struktural dan ketergantungan internasional yang perbedaan diantara keduanya lebih pada perbedaan secara ideologis.

Model pertumbuhan yang berkembang pada tahapan berikutnya adalah model pertumbuhan neoklasik, di mana model pertumbuhan Solow menjadi pilarnya. Solow berpendapat bahwa pertumbuhan output bersumber dari tiga faktor: kenaikan kuantitas dan kualitas tenaga kerja (melalui pertumbuhan jumlah penduduk dan perbaikan pendidikan), penambahan modal (melalui tabungan dan investasi) serta penyempurnaan teknologi. Sebagian besar pertumbuhan ekonomi bersumber dari


(17)

hal-hal yang bersifat eksogen atau proses-proses kemajuan teknologi yang bersifat independen (Todaro, 1998).

Kelemahan yang terdapat pada teori neo klasik adalah bahwa pengaruh teknologi tidak sepenuhnya dapat dikendalikan oleh faktor-faktor ekonomi, mengakibatkan munculnya model pertumbuhan yang baru yaitu pertumbuhan endogen. Model ini tetap berdasarkan pada model yang dikembangkan oleh kaum neoklasik, namun berkebalikan dengan pendapat kaum neo klasik, model pertumbuhan endogen mengakui dan menganjurkan keikutsertaan pemerintah secara aktif dalam pengelolaan perekonomian. Pertumbuhan ekonomi daerah diproksikan dengan PDRB harga berlaku.

2.6. Produk Domestik Regional Bruto

Tujuan dan kegunaan Produk Domestik Regional Bruto adalah untuk memperoleh gambaran secara umum maupun rinci (sektoral) tentang keadaan perekonomian suatu daerah. Penyajian yang berkesinambungan dari tahun ke tahun akan memberikan gambaran tentang tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat kemakmuran, tingkat inflasi, maupun deflasi gambaran struktur perekonomian suatu daerah.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), PDRB dapat diartikan ke dalam tiga pengertian yaitu:


(18)

a. Menurut pengertian produksi, PDRB adalah sejumlah nilai produk barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di dalam suatu wilayah (region) dalam jangka waktu tertentu (satu tahun).

b. Menurut pengertian pendapatan, PDRB adalah sejumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu wilayah atau daerah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Balas jasa faktor produksi meliputi upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan, semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak tidak langsung lainnya. Domestik Regional Bruto, kecuali faktor pendapatan di atas, termasuk pula komponen penyusutan barang modal tetap dan pajak tak langsung netto. Semua komponen pendapatan ini secara sektoral disebut Nilai Tambah Bruto, sehingga Produk Domestik Regional Bruto adalah nilai penjumlahan pada nilai tambah dari seluruh sektor (lapangan usaha).

c. Menurut pengertian pengeluaran, PDRB adalah jumlah pengeluaran yang dilakukan untuk konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari untung, konsumsi Pemerintah, pembentukan modal tetap bruto, perubahan stock dan ekspor netto (ekspor dikurangi impor).

Dari uraian di atas dapat ditarik suatu hubungan bahwa jumlah barang dan jasa akhirnya yang dihasilkan dan harus sama juga dengan jumlah pendapatan untuk faktor-faktor produksinya. Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga pasar, karena tercakup di dalamnya dokumen pajak tak langsung netto. Pajak tak langsung netto merupakan jumlah pajak tak langsung dikurangi subsidi.


(19)

PDRB menurut harga berlaku artinya nilai barang dan jasa dihitung berdasarkan harga pada tahun yang bersangkutan yang berarti termasuk kenaikan harga, sedangkan PDRB menurut harga konstan, nilai barang dan jasa yang dihasilkan dihitung berdasarkan tahun dasar. Cara penghitungan PDRB atas dasar harga konstan telah menghitungkan pengaruh harga atau inflasi, dapat menunjukkan nilai yang sebenarnya (Widodo, 1990).

Dengan mempedomani dan menghitung PDRB tersebut baik berdasarkan harga berlaku mampu berdasarkan harga konstan, dapat dilihat pertumbuhan ekonomi serta tingkat kemakmuran penduduk di suatu daerah, di mana tinggi rendahnya tingkat kemakmuran di suatu daerah biasanya diukur dengan besar kecilnya angka pendapatan per kapita yang diperoleh dari pembagian antara pendapatan regional dengan jumlah penduduk pertengahan tahunnya diukur dengan besar kecilnya angka pendapatan per kapita yang diperoleh dari pembagian antara pendapatan regional dengan jumlah penduduk pertengahan tahun.

Badan Pusat Statistik membagi PDRB menurut sektor/lapangan usaha terdiri dari:

1. Sektor Pertanian;

2. Sektor Pertambangan dan Penggalian; 3. Sektor Industri Pengolahan;

4. Sektor Listrik, Gas dan Air Minum; 5. Sektor Bangunan;


(20)

7. Sektor Transportasi dan Komunikasi;

8. Sektor Keuangan, Persewaan Bangunan dan Jasa Perusahaan; 9. Sektor Jasa-Jasa.

2.7. Definisi Pembangunan Manusia

Menurut UNDP (1990), pembangunan manusia adalah suatu proses untuk memperbesar pilihan-pilihan bagi manusia (“a process of enlarging peopless

choices”). Dari definisi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa fokus pembangunan suatu

negara adalah manusia sebagai aset negara yang sangat berharga. Definisi pembangunan manusia tersebut pada dasarnya mencakup dimensi pembangunan yang sangat luas. Definisi ini lebih luas dari definisi pembangunan yang hanya menekankan pada pertumbuhan ekonomi. Dalam konsep pembangunan manusia, pembangunan seharusnya dianalisis serta dipahami dari sisi manusianya, bukan hanya dari sisi pertumbuhan ekonominya. Sebagaimana laporan UNDP (1995), dasar pemikiran konsep pembangunan manusia meliputi aspek-aspek sebagai berikut:

a. Pembangunan harus mengutamakan penduduk sebagai pusat perhatian;

b. Pembangunan dimaksudkan untuk memperbesar pilihan-pilihan bagi penduduk, bukan hanya untuk meningkatkan pendapatan mereka. Oleh karena itu, konsep pembangunan manusia harus berpusat pada penduduk secara komprehensif dan bukan hanya pada aspek ekonomi semata;


(21)

c. Pembangunan manusia memperhatikan bukan hanya pada upaya meningkatkan kemampuan/kapasitas manusia, tetapi juga pada upaya-upaya memanfaatkan kemampuan/kapasitas manusia tersebut secara optimal;

d. Pembangunan manusia didukung empat pilar pokok, yaitu: produktivitas, pemerataan, kesinambungan dan pemberdayaan;

e. Pembangunan manusia menjadi dasar dalam penentuan tujuan pembangunan dan dalam menganalisis pilihan-pilihan untuk mencapainya.

Konsep pembangunan manusia yang diprakarsai dan ditunjang oleh UNDP ini mengembangkan suatu indikator yang dapat menggambarkan perkembangan pembangunan manusia secara terukur dan representatif, yang dinamakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM diperkenalkan pertama sekali pada tahun 1990. IPM mencakup tiga komponen yang dianggap mendasar bagi manusia dan secara operasional mudah dihitung untuk menghasilkan suatu ukuran yang merefleksikan upaya pembangunan manusia. Ketiga komponen tersebut adalah peluang hidup

(longevity), pengetahuan (knowledge) dan hidup layak (living standards). Peluang

hidup dihitung berdasarkan angka harapan hidup ketika lahir; pengetahuan diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf penduduk berusia 15 tahun ke atas; dan hidup layak diukur dengan pengeluaran per kapita yang didasarkan pada paritas daya beli(purchasing power parity).


(22)

2.8. Indeks Pembangunan Manusia

IPM merupakan indeks komposit yang dihitung sebagai rata-rata sederhana dari 3 (tiga) indeks yang menggambarkan kemampuan dasar manusia dalam memperluas pilihan-pilihan, yaitu:

1. Indeks Harapan Hidup. 2. Indeks Pendidikan.

3. Indeks Standar Hidup Layak.

Rumus umum yang dipakai adalah sebagai berikut:

IPM =1/3 (X1 + X2 + X3)

di mana:

X1 = Indeks Harapan Hidup

X2 = Indeks Pendidikan

X3 = Indeks Standar Hidup Layak

Masing-masing komponen tersebut terlebih dahulu dihitung indeksnya sehingga bernilai antara 0 (terburuk) dan 1 (terbaik). Untuk memudahkan dalam analisa biasanya indeks ini dikalikan 100. Teknik penyusunan indeks tersebut pada dasarnya mengikuti rumus sebagai berikut:

IPM =

3

1

I

Ii ; Ii =

i i i i X Min X Max X Min X   Di mana:

Ii = Indeks komponen IPM ke i di mana i = 1,2,3 Xi = Nilai indikator komponen IPM ke i


(23)

MaxXi = Nilai maksimum Xi Min Xi = Nilai minimum Xi

2.8.1. Indeks Harapan Hidup

Indeks Harapan Hidup menunjukkan jumlah tahun hidup yang diharapkan dapat dinikmati penduduk suatu wilayah. Dengan memasukkan informasi mengenai angka kelahiran dan kematian per tahun variabel e0 diharapkan akan mencerminkan

rata-rata lama hidup sekaligus hidup sehat masyarakat. Sehubungan dengan sulitnya mendapatkan informasi orang yang meninggal pada kurun waktu tertentu, maka untuk menghitung angka harapan hidup digunakan metode tidak langsung (metode Brass, varian Trussel). Data dasar yang dibutuhkan dalam metode ini adalah rata-rata anak lahir hidup dan rata-rata anak masih hidup dari wanita pernah kawin. Secara singkat, proses penghitungan angka harapan hidup ini disediakan oleh program Mortpak. Untuk mendapatkan Indeks Harapan Hidup dengan cara menstandarkan angka harapan hidup terhadap nilai maksimum dan minimumnya.

2.8.2. Indeks Pendidikan

Penghitungan Indeks Pendidikan (IP) mencakup dua indikator yaitu angka melek huruf (Lit) dan rata-rata lama sekolah (MYS). Populasi yang digunakan adalah penduduk berumur 15 tahun ke atas karena pada kenyataannya penduduk usia tersebut sudah ada yang berhenti sekolah. Batasan ini diperlukan agar angkanya lebih mencerminkan kondisi sebenarnya mengingat penduduk yang berusia kurang dari 15 tahun masih dalam proses sekolah atau akan sekolah sehingga belum pantas untuk rata-rata lama sekolahnya. Kedua indikator pendidikan ini dimunculkan dengan


(24)

harapan dapat mencerminkan tingkat pengetahuan (cerminan angka Lit), di mana Lit merupakan proporsi penduduk yang memiliki kemampuan baca tulis dalam suatu kelompok penduduk secara keseluruhan. Sedangkan cerminan angka MYS merupakan gambaran terhadap keterampilan yang dimiliki penduduk. MYS dihitung secara tidak langsung, pertama-tama dengan memberikan Faktor Konversi pada variabel “Pendidikan yang Ditamatkan”. Langkah selanjutnya adalah dengan menghitung rata-rata tertimbang dari variabel tersebut sesuai dengan bobotnya.

MYS =

i i i

f s x f

Di mana:

MYS = Rata-rata lama sekolah

fi = Frekuensi penduduk berumur 10 tahun ke atas pada jenjang pendidikan i, i = 1,2,…,11

si = Skor masing-masing jenjang pendidikan

Angka melek huruf pengertiannya tidak berbeda dengan definisi yang telah secara luas dikenal masyarakat, yaitu kemampuan membaca dan menulis. Pengertian rata-rata lama sekolah, secara sederhana dapat diilustrasikan sebagai berikut: misalkan di Provinsi Sumatera Utara ada 5 orang tamatan SD, 5 orang tamatan SMP, 5 orang tamatan SMA, 5 orang tidak sekolah sama sekali, maka rata-rata lama sekolah di Provinsi Sumatera Utara adalah {5 (6) + 5 (9) +5 (12) +5 (0)} : 20 = 6,25 tahun.


(25)

Setelah diperoleh nilai Lit dan MYS, dilakukan penyesuaian agar kedua nilai ini berada pada skala yang sama yaitu antara 0 dan 1. Selanjutnya kedua nilai yang telah disesuaikan ini disatukan untuk mendapatkan indeks pendidikan dengan perbandingan bobot 2 untuk Lit dan 1 untuk MYS, sesuai ketentuan UNDP. Dengan demikian untuk menghitung indeks pendidikan digunakan rumus:

IP = 2/3 Indeks Lit + 1/3 Indeks MYS 2.8.3. Purchasing Power Parity/Paritas Daya Beli (PPP)

Untuk mengukur dimensi standar hidup layak (daya beli), UNDP menggunakan indikator yang dikenal dengan real per kapita GDP adjusted. Untuk perhitungan IPM sub nasional (provinsi atau kabupaten/kota) tidak memakai PDRB per kapita karena PDRB per kapita hanya mengukur produksi suatu wilayah dan tidak mencerminkan daya beli riil masyarakat yang merupakan concern IPM. Untuk mengukur daya beli penduduk antarprovinsi di Indonesia, BPS menggunakan data rata-rata konsumsi 27 komoditi terpilih dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dianggap paling dominan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dan telah distandarkan agar bisa dibandingkan antardaerah dan antarwaktu yang disesuaikan dengan indeks PPP dengan tahapan sebagai berikut (berdasarkan ketentuan UNDP):

a. Menghitung rata-rata pengeluaran konsumsi perkapita per tahun untuk 27 komoditi dari SUSENAS Kor yang telah disesuaikan (=A).

b. Menghitung nilai pengeluaran riil (=B) yaitu dengan membagi rata-rata pengeluaran (A) dengan IHK tahun yang bersangkutan.


(26)

c. Agar indikator yang diperoleh nantinya dapat menjamin keterbandingan antar daerah, diperlukan indeks “Kemahalan wilayah” yang biasa disebut dengan daya beli per unit (= PPP/Unit). Metode penghitungannya disesuaikan dengan metode yang dipakai International Comparsion Project (ICP) dalam menstandarkan GNP per kapita suatu negara. Data yang digunakan adalah data kuantum per kapita per tahun dari suatu basket komoditi yang terdiri dari 27 komoditi yang diperoleh dari Susenas Modul sesuai ketetapan UNDP (Tabel 6). Penghitungan PPP/unit dilaksanakan dengan rumus:

PPP/unit = Ri =

) , ( ) , ( ) , ( 27 1 27 1 j i Q j i P j i E j j

  Di mana:

E (i,j) = Pengeluaran untuk komoditi j di Provinsi i P (i,j) = Harga komoditi j di Provinsi i

Q (i,j) = Jumlah komoditi j (unit) yang dikonsumsi di Provinsi i

Untuk kuantitas sewa rumah ditentukan berdasarkan Indeks Kualitas Rumah yang dihitung berdasarkan kualitas dan fasilitas rumah tinggal 7 (tujuh) yang diperoleh dari daftar isian Susenas.

1. Lantai : keramik, marmer, atau granit = 1, lainnya = 0 2. Luas lantai perkapita : > 10 m2 = 1, lainnya = 0 3. Dinding : tembok = 1, lainnya = 0


(27)

4. Atap : kayu/sirap, beton = 1, lainnya = 0 5. Fasilitas penerangan : Listrik = 1, lainnya = 0 6. Fasilitas air minum : Ledeng = 1, lainnya = 0 7. Jamban : Milik sendiri = 1, lainnya = 0 8. Skor awal untuk setiap rumah = 1

Indeks Kualitas Rumah merupakan penjumlahan dari skor yang dimiliki oleh suatu rumah tangga tinggal dan bernilai antara 1 s/d 8. Kualitas dari rumah yang di konsumsi oleh suatu rumah tangga adalah Indeks Kualitas Rumah dibagi 8. Sebagai contoh, jika suatu rumah tangga menempati suatu rumah tinggal yang mempunyai Indeks Kualitas Rumah = 6, maka kualitas rumah yang dikonsumsi oleh rumah tangga tersebut adalah 6/8 atau 0,75 unit (=C).

d. Untuk mendapatkan nilai pengeluaran riil yang dapat dibandingkan antar waktu dan antar daerah maka nilai B dibagi dengan PPP/unit (=C).

e. Menyesuaikan nilai C dengan Formula Aktinson sebagai upaya untuk mengestimasi nilai marginal utility dari C (=D). Rumus Atkinson yang digunakan untuk penyesuaian rata-rata konsumsi riil, dinyatakan sebagai berikut (berdasarkan ketentuan UNDP):

D = C Jika C ≤ Z

= Z + 2(C– Z)(1/2) Jika Z < C ≤ 2Z

= Z + 2(Z)(1/2) + 3(C-2Z)(1/3) Jika 2Z < C ≤ 3Z


(28)

Di mana:

C = konsumsi per kapita riil yang telah disesuaikan dengan PPP/unit

Z = threshold atau tingkat pendapatan tertentu yang digunakan sebagai batas kecukupan yang ditetapkan Rp 1.040.250,- per kapita setahun atau Rp 2.850,- per hari (BPPS, 2005).

2.9. Penelitian Terdahulu

Noorbakhsh (1999), dalam penelitiannya tentang, “Analisis Pengaruh Restrukturisasi Hutang yang Diselenggarakan Bank Dunia (World Bank) terhadap Indeks Pembangunan Manusia (human development index = HDI) negara-negara sedang berkembang. Penelitian dilakukan terhadap 86 negara sedang berkembang pada tahun 1992. Noorbakhsh menyusun model menurut klasifikasi negara-negara yang dikeluarkan World Bank, yakni: (a) restrukturisasi intensif (early-intensive

adjustment lending = EAL), (b) restrukturisasi (other adjustment lending = OAL) dan

(c) non restrukturisasi (non-adjustment lending = NAL). Dengan menggunakan analisis regressi maka metode penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut: HDI = á0 + á1d1 + á2d2 + á3dLI + 1GDP + 2(d1GDP) + 3(d2GDP) + 4(dLIGDP) + u

Hasil penelitianmemberikan kesimpulan bahwa negara-negara yang termasuk kategori EAL tidak signifikan mempengaruhi HDI. Ini menjadi pukulan bagi World Bank, di mana semestinya negara-negara EAL menerima pengaruh lebih besar


(29)

terhadap pembangunan manusianya. Dalam penelitian ini, Indonesia termasuk dalam kategori negara OAL – middle income.

Ranis dan Stewart (2004) dalam penelitiannya tentang “Pengaruh Timbal-Balik antara Pertumbuhan Ekonomi (Economic Growth) dan Pembangunan Manusia

(Human Development) di Negara-negara Amerika Latin”. Mereka menggunakan

model regressi dengan persamaan simultan, masing-masing untuk persamaan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia. Pembangunan manusia dengan proksi tingkat kematian bayi (HD) dipengaruhi oleh variabel-variabel tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita (GDP growth rate = GDP), persentase belanja pemerintah untuk pendidikan terhadap PDB (public expenditure on education as a

percentage of GDP = PEE) dan tingkat partisipasi kasar sekolah tingkat dasar

perempuan (gross female primary schoolenrollment rate = FPS). Metode penelitian yang digunakan adalah regressi berganda. Beliau menyimpulkan pembangunan manusia tidak signifikan dipengaruhi pertumbuhan ekonomi, sehingga penelitian ini memiliki kelemahan dalam menjelaskan pengaruh timbal-balik antara pembangunan manusia dan pertumbuhan ekonomi. Hanya variabel FPS di luar dummy yang signifikan menjelaskan pembangunan manusia di negara-negara Amerika Latin. Penggunaan tingkat kematian bayi sebagai proksi pembangunan manusia diperkirakan sebagai penyebab tidak baiknya hasil estimasi. Terutama dikaitkan dengan PEE yang relatif tidak berhubungan dengan tingkat kematian bayi. Akan lebih baik jika menggunakan variabel pengeluaran pemerintah di bidang kesehatan.


(30)

Brata (2004), dalam penelitiannya tentang “Hubungan Timbal-Balik Antara Pembangunan Manusia dan Kinerja Ekonomi Kabupaten/Kota di Indonesia. Brata dalam model penelitiannya menggunakan variabel-variabel output regional (Y) proksi kinerja ekonomi, angka harapan hidup (LER) proksi pembangunan manusia, persentase rumah tangga yang memiliki air bersih (WATER) proksi distribusi pendapatan, dummy untuk daerah penghasil migas (dOIL) dan dummy untuk daerah perkotaan (dCITY). Dengan menggunakan metode regressi berganda, ditemukan dua variabel penjelas yang berpengaruh signifikan di luar dummy, yaitu WATER dan Y.

WATER berpengaruh negatif terhadap LER. Secara teoritis antara distribusi

pendapatan dan pembangunan manusia berlaku hubungan positif, sehingga ada kemungkinan bahwa WATER masih kurang tepat sebagai proksi variabel distribusi pendapatan. Sementara koefisien positif dari variabel Y menunjukkan bahwa kinerja ekonomi yang baik memungkinkan pembangunan manusia yang baik pula. Aloysius Gunadi Brata (2005), dalam penelitiannya tentang “Pengaruh pengeluaran Pemerintah Daerah Khususnya bidang Pendidikan dan Kesehatan (IPP), Investasi Swasta (IS) dan Distribusi Pendapatan Proksi Indeks Gini (IG) terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dalam Konteks Regional (Antarprovinsi) di Indonesia. Dengan menggunakan metode regressi berganda, beliau menemukan variabel pengeluaran pemerintah bidang pendidikan dan kesehatan memberikan pengaruh positif terhadap pembangunan manusia. Semakin besar alokasi pengeluaran bidang pendidikan dan kesehatan semakin baik pula IPM dicapai. Variabel investasi swasta berpengaruh negatif terhadap IPM. Hal ini dimungkinkan karena karakteristik investasi swasta


(31)

tidak dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pembangunan manusia. Variabel IG berpengaruh positif terhadap IPM, artinya semakin merata distribusi pendapatan semakin baik pula pembangunan manusia. Variabel lagIG menunjukkan pengaruh negatif yang berarti pada jangka panjang akan semakin sulit meningkatkan kualitas SDM melalui distribusi pendapatan.

Charisma (2008) dalam penelitiannya tentang, “Analisis Pembangunan Manusia di Indonesia”, dengan menggunakan metode regressi berganda mengatakan bahwa secara parsial (T-Statistik) menunjukkan variabel pengeluaran konsumsi rumah tangga untuk makanan (PRM) berpengaruh negatif terhadap pembangunan manusia di Indonesia, variabel pengeluaran konsumsi rumah tangga untuk bukan makanan (PRB) berpengaruh positif terhadap pembangunan manusia di Indonesia, variabel Pemerintah untuk Pendidikan (PPD) berpengaruh positif terhadap perkembangan pembangunan manusia, variabel Rasio Penduduk Miskin (RPM) negatif terhadap pembangunan nasional di Indonesia, variabel krisis ekonomi (D) berpengaruh negatif terhadap pembangunan manusia di Indonesia. Hasil uji stimultan (F-statistik) menunjukkan secara bersama-sama (serempak), variabel-variabel bebas (PRM, PRB, RPM, PPD dan D) berpengaruh terhadap variabel terikat (IPM). Hasil estimasi telah memenuhi uji kesesuaian model untuk uji serempak, sehingga hasil estimasi dapat digunakan untuk analisis.


(32)

2.10. Kerangka Pemikiran

Pengorganisasian (manajemen) pembangunan di wilayah masing-masing akan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan masyarakatnya secara sendiri-sendiri. Sebagai konsekuensi, mengakibatkan luas wilayah, jumlah penduduk dan sumber keuangan daerah (Pendapatan Asli Daerah) pada masing-masing wilayah hasil menjadi lebih kecil. Dalam kenyataannya, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan daerah sangat ditentukan oleh potensi daerah yang bersangkutan baik dari segi sumber daya alam maupun sumber daya manusia.

Dalam penelitian ini, Pemerintah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara membuat suatu perencanaan pembangunan yang berorientasi di masa mendatang dalam rangka menciptakan perencanaan bersifat memperkirakan dan memprediksikan (meramalkan) berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional, logis dan dapat dilaksanakan melalui RPJM. Adapun sumber pendanaan indikasi rencana program dan kegiatan yang tertuang dalam RPJM ini bersumber pembiayaan dari APBN, APBD Provinsi dan APBD Kabupaten. Alokasi sumber pembiayaan dari APBN, APBD Provinsi dan APBD Kabupaten yang tertuang dalam RPJM tersebut diperkirakan belum menunjukkan kontribusi pengaruh yang bermanfaat dalam upaya menanggulangi tingkat kemiskinan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, karena itu diharapkan alokasi sumber pembiayaan tersebut mampu memberikan kontribusi pengaruh yang berarti dalam mewujudkan pembangunan manusia agar dapat diperoleh gambaran yang integralistik tentang hasil pembangunan manusia yang membahas tentang kesehatan manusia, pendidikan dan kemampuan daya beli


(33)

yang merupakan komponen-kompenen yang dijadikan indikator dalam penghitungan IPM. Secara skematis, kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 2.1 sebagai berikut:

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran

2.11. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, maka yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini antara lain:

1. Terdapat pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/Kota di Sumatera Utara, cateris paribus.

2. Terdapat pengaruh Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/Kota di Sumatera Utara, cateris paribus.

RPJM

ALOKASI ANGGARAN PEMBANGUNAN

PENGARUH INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA


(34)

3. Terdapat pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/Kota di Sumatera Utara, cateris paribus.


(1)

terhadap pembangunan manusianya. Dalam penelitian ini, Indonesia termasuk dalam kategori negara OAL –middle income.

Ranis dan Stewart (2004) dalam penelitiannya tentang “Pengaruh Timbal-Balik antara Pertumbuhan Ekonomi (Economic Growth) dan Pembangunan Manusia (Human Development) di Negara-negara Amerika Latin”. Mereka menggunakan model regressi dengan persamaan simultan, masing-masing untuk persamaan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia. Pembangunan manusia dengan proksi tingkat kematian bayi (HD) dipengaruhi oleh variabel-variabel tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita (GDP growth rate = GDP), persentase belanja pemerintah untuk pendidikan terhadap PDB (public expenditure on education as a percentage of GDP = PEE) dan tingkat partisipasi kasar sekolah tingkat dasar perempuan (gross female primary schoolenrollment rate = FPS). Metode penelitian yang digunakan adalah regressi berganda. Beliau menyimpulkan pembangunan manusia tidak signifikan dipengaruhi pertumbuhan ekonomi, sehingga penelitian ini memiliki kelemahan dalam menjelaskan pengaruh timbal-balik antara pembangunan manusia dan pertumbuhan ekonomi. Hanya variabel FPS di luar dummy yang signifikan menjelaskan pembangunan manusia di negara-negara Amerika Latin. Penggunaan tingkat kematian bayi sebagai proksi pembangunan manusia diperkirakan sebagai penyebab tidak baiknya hasil estimasi. Terutama dikaitkan dengan PEE yang relatif tidak berhubungan dengan tingkat kematian bayi. Akan lebih baik jika menggunakan variabel pengeluaran pemerintah di bidang kesehatan.


(2)

Brata (2004), dalam penelitiannya tentang “Hubungan Timbal-Balik Antara Pembangunan Manusia dan Kinerja Ekonomi Kabupaten/Kota di Indonesia. Brata dalam model penelitiannya menggunakan variabel-variabel output regional (Y) proksi kinerja ekonomi, angka harapan hidup (LER) proksi pembangunan manusia, persentase rumah tangga yang memiliki air bersih (WATER) proksi distribusi pendapatan, dummy untuk daerah penghasil migas (dOIL) dan dummy untuk daerah perkotaan (dCITY). Dengan menggunakan metode regressi berganda, ditemukan dua variabel penjelas yang berpengaruh signifikan di luar dummy, yaitu WATER dan Y.

WATER berpengaruh negatif terhadap LER. Secara teoritis antara distribusi pendapatan dan pembangunan manusia berlaku hubungan positif, sehingga ada kemungkinan bahwa WATER masih kurang tepat sebagai proksi variabel distribusi pendapatan. Sementara koefisien positif dari variabel Y menunjukkan bahwa kinerja ekonomi yang baik memungkinkan pembangunan manusia yang baik pula. Aloysius Gunadi Brata (2005), dalam penelitiannya tentang “Pengaruh pengeluaran Pemerintah Daerah Khususnya bidang Pendidikan dan Kesehatan (IPP), Investasi Swasta (IS) dan Distribusi Pendapatan Proksi Indeks Gini (IG) terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dalam Konteks Regional (Antarprovinsi) di Indonesia. Dengan menggunakan metode regressi berganda, beliau menemukan variabel pengeluaran pemerintah bidang pendidikan dan kesehatan memberikan pengaruh positif terhadap pembangunan manusia. Semakin besar alokasi pengeluaran bidang pendidikan dan kesehatan semakin baik pula IPM dicapai. Variabel investasi swasta berpengaruh negatif terhadap IPM. Hal ini dimungkinkan karena karakteristik investasi swasta


(3)

tidak dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pembangunan manusia. Variabel IG berpengaruh positif terhadap IPM, artinya semakin merata distribusi pendapatan semakin baik pula pembangunan manusia. Variabel lagIG menunjukkan pengaruh negatif yang berarti pada jangka panjang akan semakin sulit meningkatkan kualitas SDM melalui distribusi pendapatan.

Charisma (2008) dalam penelitiannya tentang, “Analisis Pembangunan Manusia di Indonesia”, dengan menggunakan metode regressi berganda mengatakan bahwa secara parsial (T-Statistik) menunjukkan variabel pengeluaran konsumsi rumah tangga untuk makanan (PRM) berpengaruh negatif terhadap pembangunan manusia di Indonesia, variabel pengeluaran konsumsi rumah tangga untuk bukan makanan (PRB) berpengaruh positif terhadap pembangunan manusia di Indonesia, variabel Pemerintah untuk Pendidikan (PPD) berpengaruh positif terhadap perkembangan pembangunan manusia, variabel Rasio Penduduk Miskin (RPM) negatif terhadap pembangunan nasional di Indonesia, variabel krisis ekonomi (D) berpengaruh negatif terhadap pembangunan manusia di Indonesia. Hasil uji stimultan (F-statistik) menunjukkan secara bersama-sama (serempak), variabel-variabel bebas (PRM, PRB, RPM, PPD dan D) berpengaruh terhadap variabel terikat (IPM). Hasil estimasi telah memenuhi uji kesesuaian model untuk uji serempak, sehingga hasil estimasi dapat digunakan untuk analisis.


(4)

2.10. Kerangka Pemikiran

Pengorganisasian (manajemen) pembangunan di wilayah masing-masing akan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan masyarakatnya secara sendiri-sendiri. Sebagai konsekuensi, mengakibatkan luas wilayah, jumlah penduduk dan sumber keuangan daerah (Pendapatan Asli Daerah) pada masing-masing wilayah hasil menjadi lebih kecil. Dalam kenyataannya, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan daerah sangat ditentukan oleh potensi daerah yang bersangkutan baik dari segi sumber daya alam maupun sumber daya manusia.

Dalam penelitian ini, Pemerintah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara membuat suatu perencanaan pembangunan yang berorientasi di masa mendatang dalam rangka menciptakan perencanaan bersifat memperkirakan dan memprediksikan (meramalkan) berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional, logis dan dapat dilaksanakan melalui RPJM. Adapun sumber pendanaan indikasi rencana program dan kegiatan yang tertuang dalam RPJM ini bersumber pembiayaan dari APBN, APBD Provinsi dan APBD Kabupaten. Alokasi sumber pembiayaan dari APBN, APBD Provinsi dan APBD Kabupaten yang tertuang dalam RPJM tersebut diperkirakan belum menunjukkan kontribusi pengaruh yang bermanfaat dalam upaya menanggulangi tingkat kemiskinan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, karena itu diharapkan alokasi sumber pembiayaan tersebut mampu memberikan kontribusi pengaruh yang berarti dalam mewujudkan pembangunan manusia agar dapat diperoleh gambaran yang integralistik tentang hasil pembangunan manusia yang membahas tentang kesehatan manusia, pendidikan dan kemampuan daya beli


(5)

yang merupakan komponen-kompenen yang dijadikan indikator dalam penghitungan IPM. Secara skematis, kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 2.1 sebagai berikut:

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran

2.11. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, maka yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini antara lain:

1. Terdapat pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/Kota di Sumatera Utara, cateris paribus.

2. Terdapat pengaruh Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/Kota di Sumatera Utara, cateris paribus.

RPJM

ALOKASI ANGGARAN PEMBANGUNAN

PENGARUH INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA


(6)

3. Terdapat pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/Kota di Sumatera Utara, cateris paribus.