wilayah mereka, diantaranya hilangnya beberapa sumber air, berkurangnya biota perairan, air tidak layak dikonsumsi bahkan pernah menyebabkan wabah disentri di lokasi
penelitian. Situasi tersebut menerminkan bahwa DAS masih dianggap sebagai barang bebas yang bersifat open access dimana semua orang bebas memanfaatkan sumber daya
alam yang ada di dalamnya secara cuma-Cuma. Situasi pengelolaan Sub DAS Cisadane Hulu terdiri dari faktor-faktor berikut ini :
a.
Aspek Ruang
Lokasi penelitian berdasarkan RTRW Kab. Bogor termasuk kawasan lindung dengan budidaya terbatas. Terdapat pula kawasan pelestarian alam yaitu TNGGP. Status
hukum kawasan DAS hulu di luar TNGGP belum kuat dan termasuk areal penggunaan lain. Areal penggunaan lain menjadi kawasan yang rentan terhadap penggunaan dan
alih fungsi lahan yang memberikan input negatif bagi kinerja DAS.
b. Aspek Waktu
Peningkatan kualitas tutupan lahan di daerah hulu melalui kegiatan pengelolaan hutan agroforestryMDM berorientasi jangka panjang karena membutuhkan waktu yang
lama untuk menghasilkan keuntungan, sedangkan daur panen usaha pertanian dan ladang lebih singkat meskipun penurunan produktifitas lahan membuat biaya bibit dan
pupuk kian meningkat setiap tahunnya, hal ini menyebabkan usaha pertanian lebih disenangi oleh petani dibanding usaha kehutanan.
c. Jaminan Hak Kepemilikan
Kepastian hak mendorong jaminan dan rasa aman untuk berinvestasi dalam jangka panjang. Jika pemerintah ingin meningkatkan kinerja Sub DAS Cisadane Hulu dengan
meningkatkan tutupan lahannya, maka jaminan hak kepemilikan lahanhutan harus tinggi, baik bagi TN, masyarakat maupun swasta.
d. Aksi Kolektif
Pengelolaan DAS membutuhkan aksi kolektif tinggi karena merupakan sumber daya bersama yang cenderung bersifat non excludable dan rivalry bila tidak ada kesepakatan
bersama untuk pengelolaan yang berkelanjutan.
2. Struktur Pengelolaan Sub DAS Cisadane Hulu
Kondisi eksiting Sub DAS Cisadane Hulu menggambarkan interdependensi antara 3 pihak yang terlibat dalam pemanfaatan sumber daya bersama yaitu: pihak
pemerintah, swasta dan masyarakat. Sub DAS Cisadane Hulu mengikat para stakeholder ke dalam beberapa zona
yang digambarkan dalam ilustrasi pada Gambar 4. Stakeholder I di lingkaran biru adalah kelompok yang memanfaatkan sumber daya DAS dan terpengaruh secara
langsung terhadap perubahan lingkungan dan DAS di sekitarnya. Stakeholder II berada di lingkaran hijau terpengaruh secara tidak langsung terhadap kinerja DAS dan berperan
merancangmengadakan program pengelolaan DAS maupun pemberdayaan masyarakat. Sedangkan stakeholder III berada di lingkaran putih, mereka berkepentingan terhadap
isu pengelolaan DAS, misalnya para pembuat kebijakan, lembaga penelitian, pecinta lingkungan dan LSM. Struktur para aktor dan peranannya digambarkan dalam
hubungan keterkaitan dan posisi relatif dalam isu pengelolaan DAS terpadu dapat dilihat dalam ilustrasi berikut ini.
Gambar 4 Pemetaan stakeholder menurut kepentingan dan perannya Pada ilustrasi Gambar 4, Struktur para pihak di Sub DAS Cisadane Hulu
kemudian dapat dikelompokkan dalam 4 komponen menurut kepentingannya, yaitu : a.
Regulator
Regulator adalah institusi pengambil keputusan atau mereka yang berwenang menetapkan kebijakan, stakeholder yang tergolong regulator adalah : Bappeda dan
Dinas Tata Ruang dan Pertanahan Kab. Bogor.
b. Operator
Operator adalah lembaga yang dibentuk dan berfungsi untuk melaksanakan pengelolaan sehari-hari sumber air, sarana-prasarana, maupun sumber daya lain yang
berada di suatu wilayah sungai, stakeholder yang tergolong operator adalah BPDAS Citarum-Ciliwung dan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango di bawah
Kementerian Kehutanan, Distanhut Kab. Bogor, serta Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan BP4K Kab. Bogor, BBWS Ciliwung-
Cisadane.
c. User
Stakeholder yang tergolong user atau penerima manfaat adalah masyarakat desa Pasir Buncir dan Wates Jaya, gapoktan bersaudara dan barokatunabaat, PT. Fusion
Plus Indonesia, PT. MBK, dan CV Kertajaya.
d. Fasilitator
Fasilitator berfungsi memfasilitasi sampainya kebijakan pemerintah dan informasi serta inovasi pengelolaan DAS kepada masyarakat melalui program penyuluhan dan
pemberdayaan masyarakat serta menyalurkan aspirasi serta keluhan masyarakat kepada pihak regulator. Fasilitator terdiri dari BPDAS, Distanhut, BP4K, sedangkan
dari lembaga non pemerintah terdiri dari lembaga penelitian dan LSM, diantaranya RMI, Telapak, ESP-Usaid, dan Greena.
CV. Kertajaya
Sumber daya DAS
Kop. Kumis Kucing
CV
.Kertajaya
Petanigapoktan Masy. desa
PT.MBK PT. Fusion
Bapedda Pecinta
lingkungan
BP4K Rajawali muda
Distanhut BPDAS CC
TNGGP
Senadi Dinas Tata
Ruang KJPP
RMI
Telapak ESP
Usaid
Greena Lembaga
penelitian BBWS CC
3. Perilaku Para Pihak Dalam Pengelolaan Sub DAS Cisadane Hulu
Perilaku para pihak terhadap pemanfaaatan DAS sangat mempengaruhi kondisi eksisting DAS. Masyarakat Desa Pasir Buncir dan Wates Jaya sebagian besar
menggantungkan kehidupannya pada sektor pertanian, namun mereka tidak memiliki akses terhadap sumberdaya lahan karena hampir 70 kawasan dikuasai oleh pemegang
Hak Guna Usaha HGU swasta, yaitu PT. PAP Pengembangan Agro Prima sejak tahun 1985. Masyarakat berladang di lahan HGU dengan sistem sewa sebesar Rp
150.000
– 300.000 per hamusim tanam dan masih berlangsung hingga saat ini. Sejak tahun 2009, HGU PT. PAP telah diambil alih oleh PT. Fusion Plus Indonesia, anak
perusahaan PT. Bakrieland. Konflik pemanfaatan sumberdaya di DAS Cisadane mencapai puncaknya pada
tahun 2003, dimana kegiatan penambangan pasir ilegal marak dilakukan di Desa Pasir Buncir. Pada tahun yang sama, pembalakan liar pun banyak terjadi, yang dipicu oleh
terbitnya SK Menteri Kehutanan No. 174Kpts II2003 tentang perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango TNGGP menjadi 21.975 ha. Pembalakan
liar terjadi karena pihak taman nasional tidak memberikan akses bagi masyarakat terhadap kawasan dan sumberdaya hutan di TNGGP, sementara di bawah pengelolaan
PT. Perhutani masyarakat diberikan keleluasaan untuk menebang pohon dengan mekanisme tanam kembali TPTI, sehingga kebutuhan kayu masyarakat terpenuhi.
Pembalakan liar kini telah berhasil dihentikan dengan sanksi yang tegas, sementara pertambangan ilegal ditutup tahun 2007 setelah terjadi longsor yang menimbulkan 6
korban jiwa. Ketiadaan akses masyarakat terhadap lahan turut memicu penggunaan lahan yang degradatif yaitu pengelolaan lahan yang berlangsung intensif menggunakan
banyak pupuk dan pestisida kimia, tanah miring tidak diberikan terasering dan teknik konservasi tanah tidak diperhatikan.
Kesepakatan penyewaan lahan tetap berjalan di bawah pengelolaan PT. Fusion yang juga tidak memperbolehkan masyarakat menanam tanaman berkayu keras karena
sewaktu-waktu lahan akan dipakai perusahaan. Berdasarkan Pasal 27, Pasal 34, dan Pasal 40 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan
Pasal 2 PP No.11 Tahun 2010, maka lahan HGU PT. Fusion dapat diidentifikasikan sebagai tanah terlantar dan dapat dikenai sanksi bahkan dihapuskan hak usahanya
karena tidak dipergunakan sesuai dengan sifat dan tujuan seperti pada hak yang telah diberikan. Dalam kebijakan tersebut tidak dibenarkan lahan HGU disewakan kepada
masyarakat sekitar, namun harus dipergunakan sesuai tujuan, yaitu dikembangkan sebagai kawasan agrowisata. PT. Fusion beralasan bahwa HGU yang sebelumnya milik
PT.PAP tersebut baru dibeli pada tahun 2009 dan masih menunggu dana untuk pengembangan, saat ini mereka prioritaskan pada pengamanan kawasan HGU. Mereka
menganggap penyewaan lahan sebesar Rp 300.000
– Rp 450.000 ha musim tanam tersebut merupakan kebijakan perusahaan dan kesepakatan dengan warga. Kondisi ini
menyebabkan luasnya areal lahan kritis di hulu DAS Cisadane, sementara kesepakatan belum dapat dicapai antara PT. Fusion dan BPDAS Citarum-Ciliwung dalam upaya
revitalisasi Sub DAS Cisadane Hulu.
Pada tahun 2009, Pemda memberikan izin pada PT. Mega Bumi Karsa MBK untuk mengoperasikan tambang pasir di Desa Pasir Buncir karena ada kejelasan status,
badan hukum, UKLUPL, dan upaya reklamasi ke depannya. Para elit desa beranggapan bahwa tambang pasir menguntungkan bagi masyarakat, ada pemasukan tambahan bagi
kas desa sebesar Rp 40.000 per truk pasir yang keluar, RW, RT, hingga warga masing- masing mendapat sekitar Rp 50.000 per 1-2 bulan.