Strategi Perjuangan Petani Desa Cisarua

perkebunan, 4 lahan HGU yang diinginkan petani untuk dijadikan lahan garapan dalam keadaan tidak terawat.

5.2 Strategi Perjuangan Petani Desa Cisarua

Desa Cisarua merupakan salah satu desa di Kabupaten Sukabumi yang didalamnya terdapat areal perkebunan milik negara dan berdekatan dengan kawasan hutan lindung. Hal ini membuat lahan-lahan di Desa Cisarua dikuasai oleh pihak perkebunan dan hutan lindung sehingga petani mengalami ketiadaan akses dan penguasaan lahan untuk pertanian. Pada tahun 1990an, pihak perkebunan mengalami permasalahan ekonomi yang menyebabkan beberapa lahan milik perkebunan menjadi tidak terurus dan terlantar. Keadaan lahan yang terlantar inilah yang kemudian mendorong petani berani melakukan upaya untuk mendapatkan akses terhadap lahan tersebut. Petani di Desa Cisarua melakukan upaya mendapatkan lahan perkebunan dengan melakukan perlawanan yang oleh Scott 1981 disebut sebagai bentuk perlawanan “Gaya Asia”. Dalam penelitian ini, Gaya Asia yang diungkapkan Scott hanya digunakan sebagai rujukan dalam pola perjuangan namun tidak merujuk kepada pertimbangan keharmonisan dan moral kebersamaan dalam melakukan perjuangan. Pola perjuangan yang dilakukan petani di Desa Cisarua termasuk dalam pola perjuangan Gaya Asia karena dalam melakukan perjuangan, petani di Desa Cisarua: a tidak memiliki organisasi formal, b melakukan perjuangan kecil secara sembunyi-sembunyi dengan berpura-pura bodoh, dan c perjuangan yang dilakukan petani tidak membutuhkan koordinasi. Petani di Desa Cisarua tidak memiliki organisasi formal. Organisasi yang ada di desa ini dipimpin oleh HO. Seluruh warga desa mengetahui bahwa HO adalah pemimpin mereka. HO merupakan warga asal Lembang, Jawa Barat. Pada awalnya ia hanyalah seorang supir truk pengantar pupuk ke wilayah Desa Cisarua. Karena sering datang ke desa ini, ia melihat banyak lahan kosong yang tidak termanfaatkan serta lahan milik perkebunan yang tidak terawat. Lalu ia menyewa lahan dan mencoba bertani di Desa Cisarua. Ternyata, panen perdana yang dilakukan HO berhasil. Merasa puas dan berhasil akan hasil panennya, HO lalu mengajak keluarganya dari Lembang untuk membantunya bercocok tanam. Sesuai dengan sifat dasar petani yaitu manusia yang rasional, kreatif, dan juga ingin menjadi kaya seperti yang dikatakan oleh Popkin 1979, HO lalu memperluas sedikit demi sedikit lahan pertaniannya hingga saat ini HO menggarap total luas lahan 15 hektar termasuk lahan milik perkebunan seluas 10 hektar dan tanah milik desa 5 hektar. Melihat keberhasilan HO dan keluarganya, banyak tetangga HO di Lembang tertarik dan ikut merantau ke Desa Cisarua. Mereka lalu menjadi buruh di lahan pertanian HO hingga kini. Ada pula sistem plasma yang dilakukan oleh AA, adik HO kepada 15 orang. Para juragan ini mengembangkan sebuah sistem yang dinamai plasma yang sesungguhnya merupakan ikatan patron klien. Sistem plasma ini dimana juragan meminjamkan berbagai sarana dan produksi tanaman serta lahan yang akan dikerjakan oleh anggota plasma. Jika panen, anggota plasma tersebut membayar kepada juragan sejumlah yang ia gunakan. Jika anggota tidak dapat membayar hutangnya, maka hutang tersebut akan masuk ke tagihan panen yang akan datang. Dengan sistem seperti ini membuat suatu pola yang mengikat anggota plasma kepada juragan. Sistem yang diterapkan oleh juragan ini lambat laun membuat anggota plasma makin terjerat hutang dan membuat anggota plasma menjadikan dirinya buruh gratis secara tidak langsung karena segala hasil panen disetorkan kepada juragan untuk membayar hutang. Hasil panen anggota plasma sering kali dihargai lebih rendah dari pasaran hal ini membuat hutang anggota plasma makin lama makin menumpuk. Anggota plasma tidak memiliki hak untuk menentukan jenis tanaman yang akan ditanam, merek benih yang akan dipakai, pupuk yang akan dipakai, dan berbagai sarana dan prasarana yang akan digunakan selama proses produksi. Segala hal yang akan digunakan ditentukan dan disediakan oleh juragan. Saat ini, juragan telah menguasai 25 hektar lahan milik perkebunan. Lahan ini dijadikan lahan pertanian tanaman holtikultura dengan komoditi berupa tomat, sawi, dan cabe. Tidak mudah bagi juragan untuk mendapatkan lahan garapan seluas ini. Lahan yang pertama kali diolah oleh juragan merupakan area bekas penebangan tanaman teh yang sudah tidak produktif. Juragan diperbolehkan menggarap di lahan tersebut karena pihak perkebunan tidak mempunyai cukup dana untuk membongkar akar teh sehingga pihak perkebunan mencari cara agar lahan tersebut bersih dari akar teh namun tidak mengeluarkan uang. Lalu pihak perkebunan mengijinkan petani untuk bertani di lahan tersebut dengan harapan 5 tahun lagi lahan tersebut akan diambil kembali oleh perkebunan untuk ditanami teh lagi. Ketika tahun 1998 dan pihak perkebunan ingin menarik lembali lahan tersebut, masalah ekonomi kembali melanda, yaitu krisis moneter. Pihak perkebunan pun mengurungkan niatnya untuk mengambil kembali tanah tersebut dan menanamnya kembali sehingga petani masih bisa menggunakan lahan tersebut untuk bercocok tanam. Hasil panen yang diperoleh juragan meningkat tiap musim panen. Hal ini membuat pendapatan juragan semakin banyak. Dengan uang itu, juragan terus memperluas daerah garapannya dengan mengambil lahan garapan petani yang kehabisan modal. Sesuai dengan sifat manusia yang ingin menjadi kaya menurut Popkin, keinginan juragan untuk memperluas area pertaniannya pun semakin kuat. Keinginannya untuk memperluas lahan garapan terhalangi oleh kebijakan pemerintah desa pada saat itu. Kepala desa tidak menyetujui upaya juragan untuk menambah lahan garapan. Saat itu, prinsip pemerintahan desa ialah “program desa mengikuti program perkebunan”. Hal ini terjadi karena berdasarkan sejarah, Desa Cisarua berdiri karena adanya perkebunan terlebih dahulu. Pada tahun 1995, terjadi pemilihan kepala desa untuk yang keempat kalinya. Juragan ingin memanfaatkan kesempatan politik ini agar niatnya untuk mempertahankan dan memperluas lahan pertanian bisa terwujud. Ia lalu mencalonkan A sebagai kepala desa untuk menyaingi kepala desa yang lama dalam pencalonan menjadi kepala desa periode 2005-2011. Juragan mendukung secara penuh kebutuhan dalam pencalonan menjadi kepala desa terutama dalam hal kebutuhan materi. Ketika kepala desa A terpilih menjadi kepala desa yang baru, prinsip pemerintahan desa pun berubah. Program- program desa tidak lagi mengikuti program perkebunan. Saat ini desa berusaha menjadi pihak yang otonom. Malah terkesan, hubungan antara pemerintahan desa dengan pihak perkebunan kurang akur. Hal ini terlihat dari penjelasan Kepala Desa: “Pimpinan perkebunan suka ngerasa dirinya bupati. Padahalkan perkebunan ada di dalam desa. Bukan desa yang ada didalam perkebunan. Tapi mereka suka bikin aturan sendiri yang tidak mengikuti aturan desa.” Dukungan pemerintahan desa kepada juragan semakin terlihat pada saat pihak perkebunan mengumpulkan petani yang menggarap di lahan perkebunan. Perkebunan berniat mengganti komoditas yang ditanam oleh petani menjadi rumput untuk pakan ternak. Perkebunan menawarkan pembangunan kandang sapi dan uang sebesar Rp. 25.000.000,00 per ekor sapi bagi petani yang bersedia menyerahkan tanahnya kembali kepada perkebunan. Pemerintah desa menolak program yang ditawarkan oleh perkebunan dengan alasan jika komoditi yang ditanam diganti dengan rumput, maka PAD Pendapatan Asli Daerah menurun. Pemerintah desa juga tidak percaya bahwa pihak perkebunan dapat memenuhi PAD awal desa seperti ketika ditanami oleh tanaman holtikultura. Selain PAD menurun, penduduk desa nanti semakin banyak yang menganggur karena pemeliharaan rumput tidak membutuhkan tenaga kerja yang banyak seperti jika menanam tanaman holtikultura. Rapat yang melibatkan pihak pemerintah, petani, dan perkebunan ini berlangsung sebanyak 3 kali hingga dicapai keputusan bahwa lahan tersebut tetap diolah oleh petani. Keputusan seperti ini tidak akan terjadi ketika masa pemerintahan desa yang lalu. Dengan dukungan modal yang cukup, juragan memiliki kekuatan untuk mengambil alih tanah-tanah garapan petani yang lain hingga saat ini juragan telah menguasai 25 hektar lahan perkebunan dan 10 hektar tanah bengkok desa dengan pendapatan perbulan mencapai Rp. 40.000.000,00. Pengambilalihan lahan juga dapat terlaksana karena juragan memiliki relasi yang dapat menghubungkan dengan pimpinan perkebunan. Petani-petani yang menggarap lahan perkebunan merupakan pendatang dari Lembang. Namun, karena tidak memiliki modal dan relasi, mereka hanya dapat menjadi buruh dan petani kecil yang terikat dengan juragan. Pada awalnya petani pendatang datang dengan tujuan agar bisa mengikuti jejak para juragan yang berjumlah 3 orang agar dapat bertani secara mandiri. Namun karena kurangnya modal dan relasi, mereka tidak bisa bertani secara mandiri. Modal pas- pasan yang dimiliki oleh pendatang membuat mereka mudah sekali terjerat hutang ketika mengalami sedikit kesalahan selama proses produksi. Bentuk perlawanan kecil yang dilakukan di Desa Cisarua ialah memperluas lahan garapan secara diam-diam dengan koordinasi yang dilakukan hanya berdasarkan azas asal sama tahu saja. Organisasi yang anonim, bersifat nonformal melalui koordinasi asal sama tahu saja, dengan bentuk perlawanan kecil dan sembunyi-sembunyi yang dilakukan setiap hari oleh petani Desa Cisarua dengan penuh kesabaran dan kehati-hatian serta berpura-pura bodoh dengan berpura-pura tidak mengetahui bahwa lahan yang mereka garap merupakan tanah HGU yang tidak boleh digarap oleh petani. Seperti yang dinyatakan AM, pada jaman dulu, mandor merupakan orang yang ditakuti karena ia mempunyai kuasa untuk menarik kembali tanah yang digarap oleh petani. Bentuk perlawanan kecil dapat tergambar dari hal yang dilakukan oleh AM untuk mendapatkan lahan. Dari pernyataan di bawah dapat dilihat bahwa petani melakukan upaya secara diam-diam dan hati-hati dalam memperluas lahan garapannya. Pada awalnya, lahan yang digarap hanyalah 3 patok, lalu meluas hingga 2 hektar atau setara dengan 50 patok. Perluasan lahan yang dilakukan petani secara sembunyi- sembunyi agar tidak diketahui oleh mandor. Namun jika mandor mengetahui perluasan lahan yang dilakukan oleh petani, petani kemudian berpura-pura bodoh dan mencari alasan agar tetap diperbolehkan menggarap di lahan tersebut. Petani melakukan kompromi dengan mandor yang kemudian berujung pada pembayaran sewa seluas lahan yang digarap. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan AM, sebagai salah satu responden dalam penelitian ini: “Saya mah dateng kesini umur 13 tahun. Niatnya mah mau bantu-bantu di kebun juragan. Tapi karena saya masi kecil, kata juragan saya ga mungkin kuat ngangkat drum yang gede-gede. Jadi saya ga bisa kerja disitu neng. Tapi karena saya pengen kerja, saya ga mau pulang ke lembang. Terus saya temenan ama mandor. Si mandor nawarin saya ngegarap 3 patok, tapi bayar. Ya saya mau aja, dari pada mubazir. Orang niat saya kesinikan mau kerja. Namanya juga manusia ya neng, petani, ya saya perluas sendiri, dikit-dikit. Awalnya 3 patok, jadi 2 hektar.” Selain itu, ada pula petani yang mengaku pada awalnya hanya menggarap lahan sebesar 10x10 m dan tidak membayar uang sewa. Lalu ia menambah sedikit demi sedikit hingga mencapai luas 0,12 hektar. Dengan semakin bertambahnya luas lahan garapannya, mandor menjadi sadar dan menegur petani tersebut. Petani ini juga berpura-pura bodoh jika ada mandor yang memergoki mereka menggarap lahan perkebunan. Petani berpura-pura tidak mengetahui bahwa lahan yang ia garap ialah lahan HGU perkebunan. Jika telah ketahuan seperti ini, maka petani melakukan negosiasi dengan mandor agar ia tidak diusir dari lahan tersebut. Setelah negosiasi didapatlah kesepakatan bahwa petani akan membayar uang sewa kepada mandor. Berhubung tanah tersebut belum digunakan oleh pihak perkebunan, maka mandor pun setuju. Berdasarkan perjuangan yang dilakukan oleh petani di Desa Cisarua, jika dilihat berdasarkan pemikiran Scott, sifat strategi perjuangan yang dilakukan oleh petani di Desa Cisarua ialah Perlawanan “insidental” karena ditandai oleh: a tidak terorganisasi, tidak sistematis, dan individual, b bersifat untung-untungan dan pamrih, c tidak mempunyai akibat-akibat revolusioner, dan d dalam maksud dan logika mengandung arti penyesuaian dengan sistem dominan yang ada. Jelas terlihat di sini bahwa perjuangan yang dilakukan oleh petani ialah bersifat individual. Petani tidak melakukan perjuangan secara kolektif. Petani yang ingin menggarap lahan perkebunan melakukan upaya seorang diri agar keinginannya tersebut berhasil. Perjuangan yang dilakukan petani juga tidaklah sistematis dan tidak terorganisasi secara formal, hanya bergantung pada kesempatan yang terbuka. Segala bentuk perjuangan yang dilakukan oleh petani juga tidak memiliki dampak revolusioner karena tidak ada bentuk-bentuk aktivitas yang dilakukan petani dapat mengubah sistem secara cepat dan berdampak luas. Tidak ada perubahan-perubahan besar yang terjadi setelah perjuangan petani dilakukan, baik bagi pihak pemerintah, perkebunan, maupun petani itu sendiri. Perjuangan yang dilakukan oleh petani di Desa Cisarua juga bersifat untung-untungan dan pamrih dimana petani melakukan perjuangan dengan tujuan untuk mendapat keuntungan pribadi. Namun jika setelah melakukan perjuangan ia tetap tidak mendapatkan lahan, mereka tidak melakukan tindak lanjut lagi. Dalam kata lain, jika setelah melakukan perjuangan ia mendapatkan lahan maka syukur. Namun jika tidak mendapatkan lahan, ya mau bagaimana lagi. Petani menyadari bahwa kapasitasnya tidak memungkinkan jika dibandingkan dengan petani-petani besar baik dari segi modal maupun relasi. Petani hanya bisa memaklumi dan pasrah terhadap apa yang terjadi. Jalan lain jika ia tidak mendapatkan lahan, maka ia akan menjadi buruh tani saja dan berbesar hati bahwa inilah jalan hidup mereka dan tidak berfikir untuk mendapatkan yang lebih. Dari hal ini juga dapat dilihat bahwa petani, baik petani besar dan petani kecil melakukan perjuangan tanpa maksud untuk menentang sistem dominan yang ada. Petani besar melakukan perjuangan dengan meminta langsung kepada pihak perkebunan, tanpa maksud untuk menentang kebijakan dari perkebunan. Karena pada dasarnya perkebunan telah memiliki program menggarapkan lahannya yang belum produktif namun hanya untuk pegawai perkebunan saja. Petani besar kemudian melakukan negosiasi dengan pihak perkebunan yang kemudian mengizinkan petani besar mengolah lahan tersebut dengan perjanjian-perjanjian tertentu. Petani kecil juga tidak melakukan penentangan terhadap kekuasaan petani besar. Dalam hal ini, baik pihak perkebunan maupun pihak petani sama- sama melakukan penyesuaian demi tercapainya tujuan bersama. Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Ecstein 1989 dalam Mustain 2007 bahwa petani lebih menyukai bentuk perlawanan secara diam-diam atau terselubung dibanding dengan secara terang-terangan terjadi di Desa Cisarua. Petani Desa Cisarua mengatakan bahwa kekerasan tidak diperlukan dalam perjuangan untuk mendapatkan lahan karena kekerasan tidak akan memecahkan masalah yang ada, namun akan membuat keadaan semakin kacau. Petani juga mengalami kekhawatiran akan dipenjara jika melawan pihak perkebunan seperti yang terjadi di desa tetangga karena petani tahu betul tanah tersebut merupakan tanah HGU milik perkebunan. Dengan adanya pandangan seperti itu, maka petani di Desa Cisarua tidak melakukan penggalangan massa untuk mendapatkan lahan garapan dari pihak perkebunan. Bentuk perjuangan petani di Desa Cisarua, jika dilihat dari Sitorus 2006 maka termasuk dalam tipe perjuangan kultivasi. Satu sisi, tanah secara faktual ditanami atau diusahakan oleh penduduk tapi di sisi lain tanah juga masih diklaim dan juga secara faktual dikelola sebagai bagian dari perkebunan. Secara garis besar, runutan bentuk strategi yang dilakukan petani Desa Cisarua untuk mendapatkan lahan ialah: 1 menyewa lahan garapan kepada mandor, 2 memperluas lahan garapan secara diam-diam dan sedikit demi sedikit, dan 3 petani besar terus memperluas lahan dengan mengambil lahan garapan petani kecil lainnya. Petani yang tidak memiliki cukup modal, lalu menjadi buruh perkebunan. Petani besar dapat mengolah lahan yang lebih luas disebabkan karena petani besar memiliki modal dan relasi yang dapat menghubungkan petani dengan pihak perkebunan. Semakin banyak, kuat, dan strategis jabatan relasi yang dimiliki petani maka semakin besar dan mudah peluang petani mendapatkan lahan perkebunan. Pihak perkebunan mengaku bahwa mereka mempunyai perjanjian dengan petani-petani yang secara resmi terdaftar sebagai penggarap lahan. Surat perjanjian hanya dipegang dan disimpan oleh pihak perkebunan dengan alasan jika diberikan kepada petani, pihak perkebunan khawatir surat tersebut diperjualbelikan atau disalahgunakan. Salah satu isi dalam perjanjian yang dilakukan antara pihak perkebunan dengan petani ialah pihak perkebunan berhak jika sewaktu-waktu mengambil kembali lahan yang diolah oleh petani. Petani tidak mempunyai hak untuk menghalang-halangi usaha pihak perkebunan untuk mengambil lahan yang diolah oleh petani tersebut. Usaha yang dilakukan petani di Desa Cisarua dalam mendapatkan lahan garapan dari perkebunan ialah perluasan lahan secara diam-diam serta cara lobi dan negosiasi yang dilakukan secara individual. Tingkat keterlibatan petani di sini juga dipengaruhi oleh respon pemerintah serta pihak perkebunan, organisasi petani, dan kesempatan politik yang ada di desa tersebut. Desa Cisarua merupakan desa yang tidak memiliki organisasi petani baik dari internal petani maupun dari pihak eksternal. Hal ini yang kemudian membuat ikatan antar petani menjadi lemah dan membuat petani bergerak secara individu untuk mendapatkan lahan garapan. Masalah keterbatasan modal dan kebutuhan subsisten petani, mendesak petani untuk berbuat cepat agar kebutuhannya terpenuhi. Jalan yang termudah ialah menjadi petani kecil. Pilihan lain ialah menjadi buruh perkebunan. Buruh perkebunan merupakan mata pencaharian yang dominan terjadi di Desa Cisarua. Penduduk yang menjadi buruh perkebunan biasanya merupakan petani asli yang nenek moyangnya didatangkan dari Garut lalu menjadi buruh di perkebunan secara turun temurun. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, penduduk Desa Cisarua terbagi menjadi dua yaitu petani pendatang yang bermatapencaharian sebagai petani serta petani asli yang bermatapencaharian sebagai buruh perkebunan.

5.3 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Strategi Perjuangan Petani