Strategi perjuangan petani dalam mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan

(1)

(KASUS DESA CISARUA, KECAMATAN SUKARAJA, KABUPATEN SUKABUMI)

Oleh

GEIDY TIARA ARIENDI I34070014

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(2)

Farmers in Cisarua Village have limited access and land tenure because the land is own by government through plantation concertion (HGU). Those facts lead the farmers for setting strategy to get the access of land cultivate. Generally, this research used qualitative analysis methode which is done since July 2010 to January 2011. Depth interview, direct observation, and questionaire are used to get primary data and literature study is used to get secondary data in this research. Sample taken as many as thirty four respondents with the population is Cisarua Society and the frame sample is Cisarua Society who work as farmer. The result of this research shows that Cisarua’s farmer struggle individually by doing compromy with foreman of tea plantation so that they can get access of land tenure. Strategy choosing that’s used by farmers is influenced by some external and internal factors.


(3)

GEIDY TIARA ARIENDI, Strategi Perjuangan Petani dalam Mendapatkan Akses dan Penguasaan Atas Lahan. Studi Kasus Desa Cisarua, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi (Dibawah Bimbingan RILUS A. KINSENG)

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauhmana tingkat keberhasilan petani dalam mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan sesuai dengan strategi yang digunakan serta menggambarkan bagaimana proses yang dilalui petani untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan. Adapun secara tujuan khusus penelitian ini ialah untuk (1) mengetahui bagaimana strategi perjuangan yang digunakan petani dalam mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan, (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi strategi yang digunakan petani dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan, (3) mengetahui permasalahan petani dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan, dan (4) mengetahui sejauhmana tingkat keberhasilan strategi yang digunakan petani dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Strategi pendekatan kualitatif yang digunakan ialah studi kasus. Metode kualitatif dilakukan melalui wawancara mendalam yang dilakukan kepada informan dan responden. Pendekatan kuantitatif dilakukan menggunakan metode survei yang mana pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner. Jumlah responden dalam penelitian ini ialah 34 orang yang diambil menggunakan accidental sample methode dengan populasi penelitian yaitu petani Desa Cisarua. Pengumpulan data sekunder penelitian dilaksanakan pada bulan Juli hingga Agustus 2010. Data primer penelitian dikumpulkan mulai dari bulan Oktober 2010 hingga Januari 2011. Data sekunder dikumpulkan melalui studi literatur, dari data di Kantor Kepala Desa. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung di lokasi penelitian dimana dilakukan wawancara kepada responden dan informan yang mengacu kepada kuesioner dan panduan pertanyaan. Data kualitatif yang diperoleh disajikan dalam bentuk deskriptif sedangkan data kuantitatif dianalisis dengan uji Korelasi Rank Spearman menggunakan program komputer Ms. Excel 2007 dan SPSS 17 for windows.

Petani di Desa Cisarua melakukan perjuangan secara individual untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan dengan melakukan kompromi dengan pihak perkebunan. Setelah melakukan kompromi dengan pihak perkebunan, masyarakat kemudian mendapat izin untuk menggarap lahan perkebunan dengan membayar uang sewa yang dihitung berdasarkan banyaknya patok lahan yang digarap dan memperluas lahan garapannya sedikit demi sedikit secara diam-diam.


(4)

Hasil uji Rank Spearman yang dilakukan menunjukkan bahwa faktor internal yang terdiri dari pengalaman berorganisasi, jumlah beban tanggungan, lama pendidikan yang ditempuh oleh petani, serta pendapatan petani tidak memiliki hubungan dengan tingkat keterlibatan petani dalam upaya untuk mendapatkan lahan garapan. Faktor internal yang memiliki hubungan dengan tingkat keterlibatan petani hanyalah jumlah dan luas relasi dengan tingkat kepercayaan sebesar 95 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketika jumlah dan luas relasi meningkat maka tingkat keterlibatan petani juga semakin meningkat.

Tidak adanya organisasi pendukung membuat petani Desa Cisarua tidak solid dan melakukan upaya secara individual. Respon pemerintah yang terlihat pilih kasih menimbulkan kecemburuan sosial didalam masyarakat. Kecemburuan sosial ini kemudian berdampak pada solidaritas masyarakat Desa Cisarua. Petani besar di Desa Cisarua menggunakan pemilihan kepala desa sebagai kesempatan politik untuk mendukung keinginannya ketika kepala desa tersebut menjabat. Faktor eksternal lain yang mendukung masyarakat untuk melakukan upaya secara individual ialah respon pihak perkebunan. Pihak perkebunan tidak menghalangi masyarakat untuk menggarap lahan non-produktifnya karena pihak perkebunan yang sedang mengalami masalah ekonomi juga mendapatkan keuntungan.

Dalam upaya mendapatkan lahan garapan, masyarakat Desa Cisarua mengalami beberapa hambatan seperti administrasi yang panjang serta memakan waktu cukup lama, lahan strategis yang terbatas, keberpihakan pemerintah pada petani besar, solidaritas masyarakat yang rendah, kecemburuan sosial, serta ketidakmampuan masyarakat untuk melawan penguasa.

Status lahan garapan yang diperoleh oleh petani ialah sewa yang besarnya dihitung berdasarkan luasan patok lahan yang digarap. Sistem sewa dibagi kembali menjadi sistem sewa dengan perjanjian dan sistem sewa tidak dengan perjanjian. Petani yang menanam pohon albasia mendapat sistem sewa dengan perjanjian karena merupakan salah satu program perkebunan untuk menambah pohon tegakan di areal perkebunan. Sistem sewa tidak dengan perjanjian berlaku bagi petani ayng menanam tanaman holtikultura. Meski demikian, petani merasa cukup senang karena tujuan petani untuk dapat mengolah lahan HGU milik perkebunan tercapai. Saat ini luas total lahan perkebunan yang digarap oleh petani di Desa Cisarua ialah 93 hektar. Selain itu, ada pula sistem bagi hasil dengan porposi 30:70 untuk mandor karena mandor memodali segala keperluan dalam produksi dan juga membayar uang sewa lahan.

Adapun saran yang diajukan oleh penulis bagi petani ialah menguatkan ikatan petani dengan cara membentuk suatu wadah yang dapat menjadi tempat bagi para petani untuk saling berinteraksi serta berkomunikasi. Selain itu, pemerintah desa diharapkan dapat bertindak adil baik kepada petani kecil dan petani besar. Adapun saran untuk pihak perkebunan ialah menyediakan alternatif usaha lain bagi petani sebelum menarik kembali lahan garapan dari petani.


(5)

(KASUS DESA CISARUA, KECAMATAN SUKARAJA, KABUPATEN SUKABUMI)

Oleh

GEIDY TIARA ARIENDI I34070014

Skripsi

Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Pada

Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PETANIAN BOGOR


(6)

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh: Nama : Geidy Tiara Ariendi

NRP : I34070014

Departemen : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Judul : Strategi Perjuangan Petani dalam Mendapatkan

Akses dan Penguasaan Atas Lahan (Kasus Desa Cisarua, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi)

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA NIP. 19590506 198703 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS. NIP. 19550630 198103 1 003


(7)

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “STRATEGI PERJUANGAN PETANI DALAM MENDAPATKAN AKSES DAN PENGUASAAN ATAS LAHAN (KASUS DESA CISARUA, KECAMATAN SUKARAJA, KABUPATEN SUKABUMI)” BELUM PERNAH DIAJUKAN DAN DITULIS PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI MERUPAKAN HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK/LEMBAGA LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH

Bogor, Februari 2011

Geidy Tiara Ariendi NRP. I34070014


(8)

Geidy Tiara Ariendi (penulis) merupakan anak pertama dari tiga bersaudara hasil pernikahan pasangan Bapak Muhammad Syifried dan Mama Niken Penta Dewi. Penulis dilahirkan di Kendari pada tanggal 12 Mei 1989. Penulis memiliki dua orang adik yang bernama Geini Agni Swastiagri dan Ghafie Addina Ghani. Penulis menetap di berbagai daerah yaitu Kendari, Palu, Napu, Malang, Bengkulu, dan Pekanbaru.

Riwayat pendidikan penulis cukup panjang karena penulis hidup berpindah-pindah. Penulis menikmati masa Taman Kanak-kanaknya di TK Tadika Puri Kencana PT Hasfarm Ladongi, Kendari, Sulawesi Tenggara lalu melanjutkan Sekolah Dasar Negeri 01 Gunung Jaya, Ladongi, Kendari selama satu tahun (1995-1996). Setelah itu penulis melanjutkan studinya di Madrasah Ibtidaiyah Negeri Malang I Jawa Timur tinggal bersama Eyang Putri dan Eyang Kakung hingga lulus (1996-2001).

Setelah lulus, penulis pindah dan tinggal bersama orang tua ke Bengkulu. Penulis melanjutkan studi di bangku Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Bengkulu selama satu tahun (2001-2002) dan menyelesaikan SMP pada tahun 2004 di SMP Negeri 13 Pekanbaru. Penulis lalu melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas terbaik di Pekanbaru, yaitu di SMA Negeri 8 Pekanbaru (2004-2007). Pada tahun 2007, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor yang telah lama diimpikan oleh penulis melalui jalur USMI (Ujian Seleksi Masuk IPB) dan memilih masuk Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat dengan Minor Arsitektur Lanskap.

Sejak sekolah hingga masuk bangku sekolah, penulis aktif mengikuti berbagai kegiatan ekstrakulikuler dan organisasi, antara lain: ekstrakulikuler paduan suara 2001), musik tradisional (1997-2000), musik modern (1996-2007), pasukan pengibar bendera SMPN 1 Bengkulu (2001), anggota Komisi A Majelis Permusyawarahan Kelas (MPK) SMAN 8 Pekanbaru, Punggawi II Pasukan Khusus 8 Jaya (2005-2006), anggota divisi Public Relation HIMASIERA (Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan Pengembangan


(9)

Masyarakat) pada tahun 2009, anggota divisi Olahraga IKPMR (Ikatan Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Riau Bogor) Bogor (2008), Sekretaris HIMASIERA (2010-2011), dan lain-lain.

Selama di kampus IPB, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Komunikasi Bisnis selama 1 semester. Penulis juga pernah mengikuti beberapa seminar tingkat nasional serta aktif menjadi panitia di beberapa kegiatan di tingkat nasional. Pada tahun 2010, penulis juga lolos dalam seleksi Program Kreativitas Mahasiswa dan mendapatkan pendanaan dari DIKTI untuk merintis usaha Cup Cake yang terbuat dari tape singkong sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan nilai ekonomis dari tape.


(10)

Segala Puji dan Syukur diucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, kasih sayang, karunia, ridho, dan kenikmatan kepada penulis dalam penyelesaian penulisan skripsi yang berjudul “Strategi Perjuangan Petani dalam Mendapatkan Akses dan Penguasaan Atas Lahan (Studi Kasus Desa Cisarua, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi)” di bawah Bimbingan Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA.

Tulisan ini menjadi salah satu syarat kelulusan mata kuliah KPM 499 dan syarat untuk memperoleh gelar sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Dalam skripsi ini, penulis mencoba menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi strategi yang digunakan petani dalam memperjuangankan akses dan penguasaan atas lahan, mengetahui permasalahan petani dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan, mengetahui bagaimana strategi perjuangan yang digunakan petani dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan, serta mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan strategi yang digunakan petani dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan.

Skripsi ini terbagi menjadi enam bab, terdiri dari Bab I yang berisi latar belakang penulis melakukan penelitian mengenai strategi perjuangan petani dalam mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan. Bab II yang memaparkan teori-teori yang menjadi landasan penulis dalam melakukan penelitian. Bab III penulis menguraikan mengenai metodologi penelitian yang digunakan untuk menyusun skripsi. Lalu penulis menguraikan situasi serta kondisi lokasi penelitian yang dituangkan dalam Bab IV. Hasil penelitian serta pembahasan dituliskan pada Bab V. Skripsi ini diakhiri pada Bab VI yang berisi kesimpulan serta saran dari penulis. Semoga tulisan ini bermanfaat dalam meningkatkan khasanah ilmu pengetahuan dan menjadi sumber rujukan dalam bidang gerakan sosial agraria.

Bogor, Februari 2011 Penulis


(11)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi tepat pada waktunya dengan judul “Strategi Petani dalam Memperjuangkan Akses dan Penguasaan Atas Lahan (Kasus Desa Cisarua, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi)”. Penulis menyadari bahwa Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik karena adanya dari dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dosen pembimbing Dr. Ir. Rilus A. Kinseng yang telah membimbing, memberi saran dan kritik yang membangun, serta memotivasi dan meluangkan waktu untuk penulis meski pun sedang berada di Kanada.

2. Prof. Dr. Endriatmo, MA dan Ir. Dwi Sadono, MSi sebagai penguji dalam sidang skripsi penulis pada tanggal 4 Februari 2011.

3. Keluarga tercinta, khususnya Ayahanda Muhammad Syifried dan Ibunda Niken Penta Dewi yang di sela-sela kesibukannya selalu mendengarkan curahan hati penulis, selalu mendukung penulis dalam berbagai hal, memberi motivasi, dan terus mengingatkan agar tidak putus asa karena hidup ini begitu indah.

4. Adik kandung penulis, Geini Agni Swastiagri dan Ghafie Addina Ghani yang selalu penulis rindu dan sayang.

5. Sahabat penulis, JOJOTIK yang terdiri dari Hardiyanti Dharma Pertiwi, Marika Veraria Sianipar, Isma Rosyida, dan Mery Purnamasarie yang selalu mengingatkan penulis dalam menyelesaikan Skripsi, menemani penulis mencari literatur, serta menyemangati penulis dalam mengumpulkan data penelitian. Selalu memberi keceriaan dalam menghadapi hari-hari, selalu ada dikala penulis membutuhkan dukungan dan motivasi, selalu menghibur penulis, dan selalu membuat hari-hari penulis menjadi lebih berwarna. Terlalu banyak cerita, kenangan, dan kebahagiaan yang telah kalian berikan.

6. Om Edos yang membantu penulis dalam mengumpulkan data-data penelitian dengan sabar.


(12)

7. Eric Ekaputra yang hadir mengisi, menghibur, dan membantu penulis dalam menata hati kembali serta menemukan keindahan rasa memiliki. Selalu mendengarkan dengan setia cerita dan curahan hati penulis serta membantu dan menuntun penulis menjadi manusia yang lebih baik lagi.

8. Om Joyo Winoto, Bu Yusi, dan pihak Brighten Institut yang mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi. Selalu terbuka dan ramah ketika penulis datang untuk menyelesaikan skripsi. Menjadi salah satu tempat penulis mencari literatur dan tempat mengerjakan skripsi yang nyaman.

9. Pak Endriatmo, Pak Shohibuddin, dan Pak Satyawan yang telah ikut memudahkan penulis dalam mencari literatur mengenai kajian agraria.

10.Mas Muhammad Yusuf dan SAINS yang membantu penulis dalam mencari literatur, menjadi pembimbing kedua dalam mengarahkan penulis melakukan penelitian dan mengerjakan skripsi.

11.Teman-teman satu Departemen SKPM khususnya angkatan 44 yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

12.Semua pihak yang telah ikut membantu secara tidak langsung selama menyelesaikan Skripsi ini.

Semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan dapat dijadikan sumber referensi untuk penelitian berikutnya. Akhir kata, penulis mengharapkan kritik dan saran membangun dari pembaca.

Bogor, Februari 2011


(13)

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Pertanyaan Penelitian ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Kegunaan Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Latar Belakang Terjadinya Gerakan Perjuangan Petani ... 7

2.2 Model Gerakan Strategi Perjuangan Petani ... 11

2.3 Faktor yang Mempengaruhi Strategi Perjuangan Petani ... 15

2.3.1 Faktor Internal ... 15

2.3.2 Faktor Eksternal ... 18

2.4 Tingkat Keberhasilan Perjuangan Petani... 20

2.5 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 21

2.5 Hipotesis Penelitian ... 23

2.5.1 Hipotesis Uji ... 23

2.5.2 Hipotesis Pengarah ... 24

2.6 Definisi Operasional ... 24

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 28

3.1 Pendekatan Penelitian ... 28

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 29

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 30

3.4 Teknik Analisis Data ... 31

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI ... 32

4.1 Letak Geografis dan Keadaan Lingkungan ... 32

4.2 Demografi Desa ... 33

4.3 Mata Pencaharian Penduduk ... 34

4.4 Sarana dan Prasarana ... 36


(14)

BAB V STRATEGI PERJUANGAN PETANI DI DESA CISARUA DAN

KEBERHASILANNYA ... 38

5.1 Petani dan Permasalahannya ... 38

5.2 Strategi Perjuangan Petani Desa Cisarua ... 48

5.3 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Strategi Perjuangan Petani ... 56

5.4 Tingkat Keberhasilan Petani... 68

BAB VI PENUTUP ... 73

6.1 Kesimpulan ... 73

6.2 Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 76


(15)

Nomor Teks Halaman Tabel 1. Luas Tanah Berdasarkan Kegunaan di Desa Cisarua Tahun

2008...

  32

Tabel 2. Persentasi Penduduk di Desa Cisarua Berdasarkan Etnis Tahun 2008...  

33 Tabel 3. Jumlah dan Jenis Mata Pencaharian Pokok Penduduk Desa

Cisarua Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2008...

  34

Tabel 4. Jumlah dan Persentasi Petani Berdasarkan Aset Tanah Desa Cisarua Tahun 2008...  

35 Tabel 5. Hasil Uji SPSS Rank Spearman Hubungan Faktor Internal

dengan Tingkat Keterlibatan Petani dalam Upaya Mendapatkan Lahan Garapan... 65


(16)

Nomor Teks Halaman

Gambar 1. Model mobilisasi Tilly, From Mobilization to Revolution.... 13

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 23

Lampiran I Gambar 1. Kawasan Pertanian Naimin…... 89

Gambar 2. Tanaman Cabe... 89

Gambar 3. Jenis Tanaman Hortikultura... 89

Gambar 4. Tanaman Bunga Kol... 89

Gambar 5. Sketsa Peta Desa Cisarua... 89

Gambar 6. Penanda Kawasan Lindung... 89

Gambar 7. Budidaya Cabe... 89


(17)

1.1 Latar Belakang

Indonesia sebagai negara agraris tentu menggantungkan masa depannya pada pertanian. Hal ini dibuktikan oleh banyaknya penduduk Indonesia yang tinggal di perdesaan dengan matapencaharian sebagai petani. Namun sangat disayangkan kondisi petani di Indonesia sangat memprihatinkan. Hal ini dipengaruhi oleh besarnya luas lahan yang dapat digarap oleh petani. Berdasarkan data tahun 1983 dan 1993 menunjukkan, luas lahan garapan per keluarga petani di Jawa telah mengalami penurunan dari 0,58 hektar menjadi 0,48 hektar1. Luasan ini semakin hari semakin menurun. Hal ini juga dibuktikan pada pemaparan program kerja 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu II, Suswono sebagai Menteri Pertanian RI juga menyatakan bahwa rata-rata luas lahan pertanian yang dimiliki oleh petani hanyalah 0,3 hektar dengan luas ideal tanah garapan seluas 2 hektar per kepala keluarga2. Dengan luasan sebesar itu, petani tidaklah mungkin dapat hidup sejahtera. Perlu dilaksanakan kebijakan yang tepat untuk menyelesaikan masalah salah satunya ialah reforma agraria.

Kecilnya ukuran luas lahan yang dimiliki oleh petani tak lepas dari sejarah yang melatarbelakanginya. Pada jaman penjajahan dahulu, ribuan hektar tanah petani diambil paksa oleh penjajah. Hal ini membuat rakyat Indonesia menderita kelaparan dan ketidakberdayaan. Hingga masa kemerdekaan pun, keadaan petani dan permasalahan tanah tidak membaik. Petani tetap dijadikan buruh di perkebunan-perkebunan besar dengan kehidupan yang jauh dari ambang sejahtera. Hanya segelintir orang saja yang merasa diuntungkan atas perkebunan tersebut.

Menurut Hafid (2001), persoalan tanah makin krusial akibat keluarnya UU Pokok Kehutanan (No.5/1967) dan UU Pokok Pertambangan (No. 7/1967) karena UU ini dianggap tidak sejalan dengan UUPA No.5/1960. Dengan adanya UU tersebut, hak dan kepentingan rakyat kecil menjadi semakin tergeser karena segala bentuk pembangunan yang dilakukan hanya untuk mengejar keuntungan pemodal besar. Protes petani untuk mendapatkan hak-haknya tidak didengar oleh       

1

Diambil dari www.amline.edu/apakabar/basisdata/1997/09/17/0038.html

2


(18)

pemerintah dan malah dianggap sebagai tindakan pidana dengan menentang kebijakan pembangunan nasional.

Masih sedikit sekali upaya yang dilakukan pemerintah dalam mengakomodasi kepentingan petani. Hal yang dilakukan pemerintah hanyalah menyelesaikan masalah-masalah kecil tanpa membongkar masalah utama, hal ini dilakukan semata-mata hanya untuk menentramkan keadaan. Awalnya petani hanya bisa pasrah dan tunduk atas perjanjian yang dilakukan akibat kekuatan senjata yang dimiliki.

Mengacu pada pasal 33 yang berbunyi “bumi, air, tanah, dan sumberdaya yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara” seharusnya segala objek agraria digunakan untuk mensejahterakan hidup rakyat Indonesia. Masyarakat dalam hal ini ialah petani sangat berharap agar hidup mereka menjadi lebih baik dan mendapatkan hak-hak atas tanahnya kembali. Namun pada kenyataannya, kehidupan petani tidak berubah sama sekali. Mereka tetap menjadi buruh dan kuli angkut meski perkebunan-perkebunan telah dimiliki oleh Negara. Hal ini membuat masyarakat semakin menelan kekecewaan.

Menurut Mustain (2007), konflik pertanahan di perdesaan umumnya bersumber dari perebutan tanah antara perkebunan (baik negara maupun swasta) dengan rakyat petani. Perusahaan perkebunan milik negara tersebar diberbagai penjuru Nusantara, salah satunya terletak di Jawa Barat. Perusahaan ini berstatus sebagai sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Perkebunan milik negara ini memiliki berbagai komoditi seperti kelapa sawit, teh, kakao, karet, kina, dan gutta percha. Namun komoditi terbesar yang dihasilkan perkebunan yang terletak di Jawa Barat, khususnya Kabupaten Sukabumi ini ialah teh dengan total produksi sekitar 61.072 ton per tahun. Jawa Barat menyumbang 60 persen dari produksi teh nasional3. Untuk kebun teh, perkebunan milik negara ini tersebar di beberapa unit kebun dengan total luas 25.981 hektar. Salah satunya ialah yang ada di Desa Cisarua, Kabupaten Sukabumi.

Masyarakat di sekitar perkebunan teh ini hidup bergantung kepada kegiatan perkebunan. Sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai buruh di perkebunan tersebut sebagai pemetik teh dan buruh tani. Masyarakat di       

3


(19)

daerah ini sangat sedikit yang bermatapencaharian sebagai petani yang bercocok tanam sendiri. Hal ini dipengaruhi oleh lahan karena lahan di wilayah desa ini merupakan HGU untuk perkebunan milik negara. Selain itu, latar belakang masyarakat yang ada di daerah tersebut berasal dari daerah lain yang didatangkan khusus untuk menjadi buruh. Bekerja di perkebunan merupakan suatu tradisi turun temurun yang dilakukan masyarakat sekitar. Meski masyarakat telah bekerja secara turun temurun sejak puluhan tahun yang lalu, nasib masyarakat di daerah tersebut tidak banyak berubah. Mereka tetap hidup dalam batas kecukupan untuk keperluan sehari-hari ditambah dengan biaya hidup yang tinggi.

Sejak jatuhnya rezim Soeharto, petani di Indonesia mulai berani melakukan aksi perlawanan. Petani melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan akses dan hak atas tanah mereka karena lawan meraka tidak tanggung-tanggung yaitu pemodal besar yang didukung oleh Pemerintah bahkan perusahaan milik negara yang seharusnya memperhatikan nasib rakyatnya. Perjuangan untuk mendapatkan tanah untuk petani bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan strategi yang tepat dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas tanah. Strategi yang diterapkan tidaklah sama di tiap lokasi. Strategi yang diterapkan haruslah disesuaikan dengan karakteristik sosial dan masalah yang dihadapi.

Hingga kini, banyak terdapat permasalahan sengketa tanah yang telah terjadi di wilayah perkebunan milik negara di Goalpara baik yang telah selesai maupun yang belum terselesaikan. Seperti yang terjadi pada tahun 2009 dimana warga mematoki 76 hektar lahan perkebunan karena petani merasa tanah tersebut sah secara hukum milik petani4. Kasus ini telah berlangsung sejak tahun 1970 dan hingga kini belum jelas keberadaannya. Adapula masyarakat yang dapat mengolah lahan perkebunan dengan luas total 25 hektar. Petani sebagai pihak yang merasakan langsung dampak ketiadaan akses dan penguasaan tanah menjadi pihak yang paling dirugikan. Hal tersebut menjadi urgensi dari penelitian mengenai strategi petani dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas tanah.

       4


(20)

1.2 Pertanyaan Penelitian

Penyelesaian masalah agraria hingga saat ini hanya sampai pada taraf menenangkan keadaan dan menyelesaikan masalah-masalah kecil tanpa menyelesaikan permasalahan utama. Berdasarkan paparan di atas penting bahwasanya mengetahui strategi petani dalam upaya mendapatkan akses dan penguasaan lahan di Desa Cisarua dikaji secara lebih mendalam dengan berbagai perspektif sehingga hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bentuk solusi dan rekomendasi bagi permasalahan agraria yang ada di Indonesia dan pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, khususnya petani. Hal ini disebabkan karena petani sebagai pihak yang merasakan dampak langsung ketiadaan akses dan penguasaan lahan. Untuk mencapai tujuan tersebut maka diperlukan strategi yang tepat untuk dilakukan. Berdasarkan uraian di atas maka dirumuskanlah beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Permasalahan apa sajakah yang dihadapi petani di wilayah Desa Cisarua, Kabupaten Sukabumi yang berhubungan dengan akses dan penguasaan atas lahan?

2. Bagaimanakah strategi yang digunakan petani dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan di wilayah Desa Cisarua, Kabupaten Sukabumi?

3. Apa sajakah faktor-faktor yang berhubungan dengan strategi petani dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan di wilayah Desa Cisarua, Kabupaten Sukabumi?

4. Sejauh mana tingkat keberhasilan strategi yang digunakan petani dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan di wilayah Desa Cisarua, Kabupaten Sukabumi?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini ialah untuk:

1. Mengetahui permasalahan petani di Desa Cisarua yang berhubungan dengan akses dan penguasaan atas lahan.

2. Mengetahui bagaimana strategi perjuangan yang digunakan petani dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan.


(21)

3. Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan strategi yang digunakan petani dalam memperjuangankan akses dan penguasaan atas lahan.

4. Mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan strategi yang digunakan petani dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa manfaat untuk mahasiswa selaku pengamat dan akademisi, masyarakat dan pemerintah. Adapun manfaat yang dapat diperoleh yaitu:

1. Bagi Mahasiswa

Penelitian ini memberikan contoh kongkret pada mahasiswa tentang tingkat keberhasilan petani petani dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan. Selain itu, membuka wawasan mahasiswa mengenai masalah yang dihadapi petani dalam hal akses dan penguasaan atas lahan.

2. Bagi Masyarakat

Melalui penelitian ini, masyarakat khususnya petani yang akan melakukan perjuangan agar lebih dapat memilih dan mengetahui jenis-jenis strategi yang dapat digunakan untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan demi mensejahterakan hidup. Masyarakat agar dapat lebih mengetahui permasalah yang dihadapi petani karena ketiadaan akses dan penguasaan atas lahan serta strategi yang digunakan petani dalam memperjuangkan hak dan penguasaan atas lahan tersebut.

3. Bagi Perguruan Tinggi

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber rujukan dalam bidang gerakan sosial agraria khususnya mengenai strategi yang digunakan petani dalam menyelesasikan masalahnya dalam memperjuangkan hak dan penguasaan atas lahan. Hal ini juga dapat memacu intelektualitas di kalangan mahasiswa serta dapat meningkatkan khasanah ilmu pengetahuan. 4. Bagi Pemerintah

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan strategi petani dalam


(22)

memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan serta menambah informasi pemerintah mengenai strategi perjuangan petani dalam mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan.


(23)

2.1 Latar Belakang Terjadinya Gerakan Perjuangan Petani

Peran negara yang semakin meluas dalam proses transformasi perdesaan menurut Scott (1993) mengakibatkan: (1) perubahan hubungan antara petani lapisan kaya dan lapisan miskin, (2) munculnya realitas kaum miskin untuk membentuk kesadaran melakukan perlawanan dalam berbagai bentuk yang merupakan pembelotan kultural, dan (3) terbangunnya senjata gerakan perlawanan menghadapi kaum kaya maupun negara seperti menghambat, pura-pura menurut, pura-pura tidak tahu, perusakan, berlaku tidak jujur, mencopet, membuat skandal, membakar, memfitnah, sabotase, dan mengakhiri pertentangan secara kolektif. Terdapat dua aspek pokok yang menjadi pemicu gerakan perlawanan petani model Scottian, yaitu: (1) gerakan ini merupakan aksi defensif terhadap perubahan yang dianggap akan mengancam kelangsungan hidup para petani yang berada dalam kondisi subsisten dan (2) dalam gerakan perlawanan petani, faktor pemimpin gerakan merupakan faktor kunci dan pemimpin gerakan ini biasanya dari kalangan elite desa dan patron.

McAdam dkk (2001) dalam Mustain (2007) menyatakan bahwa gerakan sosial terjadi pada masyarakat yang sedang mengalami perubahan, transisional menuju perubahan sosial karena terbukanya kesempatan aktor untuk merespon, memobilisasi struktur-struktur sosial dan budaya yang ada sehingga memungkinkan dilakukannya komunikasi, koordinasi, dan komitmen di antara para aktor sehingga menghasilkan kesamaan pengertian dan memunculkan kesadaran bersama tentang apa yang sedang terjadi.

Scott (1981) menjelaskan mengenai alasan petani marah yang dikemukakan Barrington Moore disebabkan oleh pembebanan atau tuntutan baru yang secara tiba-tiba merugikan banyak orang sekaligus dan melanggar aturan serta adat istiadat yang diterima. Hal ini dapat membangkitkan solidaritas pemberontakan atau revolusi di setiap jenis masyarakat petani karena tidak ada satu pun tipe masyarakat petani yang kebal terhadap pemberontakan atau revolusi.


(24)

Meskipun demikian, ada variasi dalam potensi eksplosif yang dapat dihubungkan dengan tipe-tipe masyarakat petani.

Para petani biasanya bersedia mengambil resiko dengan mengadakan konfrontasi langsung bila mereka menganggap ketidakadilan tidak lagi dapat ditoleransi, bila tuntutan akan kebutuhan mereka melonjak secara tiba-tiba, serta bila institusi lokal dan nasional dan kondisi kultural cenderung meminta mereka untuk menggunakan jubah kolektif (Ecstein, 1989 dalam Mustain, 2007). Gerakan menurut Landsberger (1973) dalam Mustain (2007) lebih banyak terjadi di desa karena sering mendapatkan dukungan dari petani dan petani merupakan korban modernisasi sehingga setiap gerakan selalu didukung petani. Di Meksiko, Eckstein (1989) dalam Mustain (2007) menunjukkan bahwa revolusi agraris ditentukan oleh ikatan-ikatan desa dan otonomi institusi-institusi lokal dan tak terlampau menonjolkan dasar mobilitas perdesaan.

Popkin (1979) menyatakan bahwa gerakan perlawanan petani lebih karena faktor determinan individu, bukan kelompok. Setiap manusia ingin menjadi kaya. Biang keladi atas terjadinya perlawanan para petani tradisional datang dari penetrasi kapitalisme ke kawasan perdesaan yang dalam banyak kasus melahirkan eksploitasi terhadap para petani oleh para tuan tanah, oleh Negara dan kaum kapitalis. Gurr (1970) dalam Mustain (2007) juga meman dang faktor frustasi dan pengurangan hak relatif yang terjadi dalam masyarakat petani dengan pihak lain menjadi pendorong bagi petani melakukan perlawanan. Kornhouser (1959) dalam Mustain (2007) memandang faktor keterasingan dan anomi yang dialami warga petani oleh karena mereka justru semakin miskin dan terpinggirkan.

Mustain (2007) mengutip Wolf (1969) menyatakan bahwa petani kelas menengah menjadi pelopor pendukung gerakan petani karena petani kelas menengah paling mudah terkena dampak penyitaan tanah, fluktuasi pasar, tingginya tingkat bunga, dan perubahan-perubahan lain yang diakibatkan pasar dunia. Hal ini tidak seperti petani miskin dan buruh perkebunan karena mereka tidak memiliki basis ekonomi yang independen dan sumber daya politik taktis (Siahaan, 1996 dalam Mustain, 2007).

Pernyataan tersebut dibantah oleh Jeffery Paige (1975) dalam Mustain (2007) karena Wolf dianggap tidak melihat adanya tanda-tanda konflik. Konflik


(25)

di daerah pertanian merupakan konflik yang terjadi antara dua kelompok, yaitu kelompok kelas atas atau yang disebut kelompok petani bukan penggarap dan kelompok kelas bawah atau kelompok petani penggarap tanah. Konflik tersebut muncul karena kedua kelompok mempunyai kecenderungan perilaku ekonomi politik yang berbeda. Perilaku ekonomi politik tersebut dipengaruhi oleh sumber penghasilan. Kelompok pertama mempunyai sumber penghasilan yang berasal dari tanah dan kelompok kedua memiliki sumber penghasilan dari tanah dan upah. Popkin (1979) menyebutkan bahwa semua perlawanan petani tidaklah dimaksudkan untuk menentang program Negara tapi lebih dimaksudkan untuk menentang kekuasaan elite desa (petani kaya) yang selama ini mengklaim komunitas tradisional, padahal lebih untuk mempertahankan tatanan demi keuntungan mereka. Penelitian Popkin di Vietnam menemukan bahwa: (1) gerakan yang dilakukan petani adalah gerakan antifeodal, bukan untuk mengembalikan tradisi lama tapi untuk membangun tradisi baru, (2) tidak ada kaitan yang signifikan antara ancaman terhadap subsisten dan tindakan kolektif, dan (3) kalkulasi keterlibatan dalam gerakan lebih penting daripada isu ancaman kelas.

Asumsi pendekatan ekonomi-politik menyatakan bahwa gerakan perlawanan petani sebenarnya didasari oleh pertimbangan rasional individual para petani terhadap perubahan yang dikalkulasikan akan merugikan dan bahkan mengancam mereka atau, sekurang-kurangnya, perubahan ini dinilai menghalang-halangi usaha yang telah mereka lakukan untuk meningkatkan taraf hidup dengan kata lain dapat dikatakan bahwa petani juga berorientasi ke masa depan (Mustain, 2007).

Pernyataan ahli lain seperti Race (1972) dalam Mustain (2007) menyatakan bahwa aksi perlawanan petani biasanya untuk memenuhi kepentingan materi dan untuk mendapatkan keuntungan tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa petani akan melakukan aksi atau perlawanan berpatokan dengan adanya insentif selektif dan petani akan menghitung waktu partisipasi mereka menurut insentif yang tersedia. Didukung oleh Migdal (1974) dalam Mustain (2007), jika ada sejumlah insentif selektif, para petani akan membandingkan antara perolehan


(26)

meteri dan resiko yang ditawarkan oleh organisasi swasta yang berbeda atau oleh negara.

Olson (1971) dalam Mustain (2007) menjelaskan bahwa ia mengkritik argumen bahwa organisasi petani dikatakan berhasil apabila organisasi tersebut dapat menyeimbangkan antara pertimbangan insentif selektif dengan barang kebutuhan umum karena pergolakan petani menentang kekuasaan pasar tidaklah selalu mendorong pemberontakan petani. Perilaku menentang juga dapat terjadi pada tingkat individual dan berdasarkan untung rugi yang akan ditanggungnya dari ketidakpuasan atas keadaan status quo. Olson mengatakan bahwa aksi kolektif sangat berhubungan dengan tujuan dan manfaat aksi bagi aktor. Orang melakukan gerakan lebih banyak didasari oleh pilihan rasionalnya. Hal ini diperdalam oleh Salert (1976) dalam Mustain (2007) dengan menjelaskan alasan pilihan rasional itu relevan terhadap aksi revolusioner karena teori ini melibatkan sifat efek faktor psikologis yang diperlukan untuk menjelaskan partisipasi orang dalam aksi kolektif dan teori ini dapat difokuskan pada proses pembentukan putusan sebelum melakukan aksi kolektif yang kemudian akan membentuk pengalaman sosial yang akan mengakibatkan perubahan perilaku sebagian masyarakat.

Menurut Mustain (2007), latar belakang terjadinya konflik pertanahan di perdesaan umumnya bersumber dari perebutan tanah antara perkebunan dan petani. Seperti yang melatarbelakangi perjuangan petani di PTPN VII Kalibakar, yaitu: (a) kemarahan petani akan janji dikembalikannya tanah nenek moyangnya, (b) ketidakjelasan dan ketidaksesuaian penjelasan pihak PTPN XII dan BPN tentang luas lahan, (c) muncul dan meluasnya kesadaran “bersalah” karena tidak mampu mempertahankan tanah hasil perjuangan leluhurnya, (d) manajemen PTPN XII tidak akomodatif dan sensitif dengan tekanan tenaga kerja lokal, (e) kejanggalan data HGU PTPN XII, dan (f) perilaku arogan dan over acting dari para sinder dan mandor perkebunan.

Menurut Hafid (2001), perjuangan petani di Jenggawah terjadi akibat akumulasi kekecewaan, ketertindasan, serta keterpurukan tenaga dan harga diri petani. Petani juga masih dicap sebagai PKI sehingga mereka mengalami penyiksaan dan diskriminasi dari pemerintah dan perkebunan.


(27)

Sitorus (2006) menyatakan bahwa perjuangan petani yang berada di daerah hutan dipicu oleh keluarnya klaim negara atas hutan tersebut. Seperti yang terjadi di Sulawesi Tengah dimana hutan-hutan tersebut diklaim menjadi Taman Nasional. Dengan berubahnya status tanah hutan tersebut dari rezim terbuka menjadi akses tertutup, masyarakat yang bermukim di wilayah ini menjadi kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena mereka dilarang untuk melakukan berbagai macam kegiatan di dalam area Taman Nasional. Hal ini membuat masyarakat adat menjadi pihak yang terpinggirkan dan tidak diperhitungkan kepentingannya. Hal ini mendukung pendapat Wignjosoebroto (2002) dalam Mustain (2007) bahwa terjadi benturan antara dua hukum, yaitu hukum negara dan hukum rakyat sehingga memunculkan cultural conflict.

Bachriadi dan Lucas (2001) menyatakan bahwa penderitaan yang dirasakan petani juga bisa berasal dari ambisi pejabat Negara. Aksi sepihak yang dilakukan pejabat dapat dilihat pada kasus yang terjadi di Tapos, dimana Presiden ingin memiliki area untuk tempat bertani dan beristirahat. Untuk mewujudkan keinginannya tersebut, presiden melakukan penggusuran terhadap ratusan keluarga petani penggarap pada tahun 1971. Di Cimacan, penggusuran terhadap ratusan keluarga petani karena akan dibangunnya lapangan Golf dan sarana pariwisata.

2.2 Model Gerakan Strategi Perjuangan Petani

Teori Moral Ekonomi Scottian dipelopori oleh James C. Scott (1981) memandang model gerakan perlawanan kaum petani sebagai model perlawanan “Gaya Asia” dimana gerakan petani miskin yang lemah dengan organisasi yang anonim, bersifat nonformal melalui koordinasi asal sama tahu saja, dengan bentuk perlawanan kecil dan sembunyi-sembunyi yang dilakukan setiap hari dengan penuh kesabaran dan kehati-hatian, mencuri, memperlambat kerja, berpura-pura sakit dan bodoh, mengumpat dan sejenisnya. Hal ini sangat sesuai dengan karakteristik petani yang lemah karena tidak membutuhkan koordinasi atau perencanaan. Dalam penelitian ini teori Scott hanya digunakan sebagai rujukan pola perjuangan petani, bukanlah sebagai rujukan mengenai latar belakang


(28)

perjuangan petani yang mempertimbangkan keharmonisan serta moral kebersamaan.

Scott (1993) menjelaskan perbedaan antara perlawanan “sungguh-sungguh” dengan perlawanan yang bersifat “insidental”. Perlawanan “insidental” ditandai oleh: (a) tidak terorganisasi, tidak sistematis, dan individual, (b) bersifat untung-untungan dan pamrih, (c) tidak mempunyai akibat-akibat revolusioner, dan (d) dalam maksud dan logika mengandung arti penyesuaian dengan sistem dominan yang ada. Sebaliknya perlawanan “sungguh-sunguh” ditandai dengan: (a) lebih teroganisasi, sistematis, dan kooperatif, (b) berprinsip atau tanpa pamrih, (c) mempunyai akibat-akibat revolusioner, dan (d) mengandung gagasan atau tujuan yang meniadakan dasar dari dominasi. Scott juga mengatakan bahwa apapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh petani dapat dilihat sebagai perlawanan seperti aksi mencuri hasil panen jika hal tersebut sesuai dengan tujuan definisi perlawanan. Perlawanan petani juga tidak harus dalam bentuk aksi bersama.

Gurr (1970) dalam Mustain (2007) membagi gerakan petani terhadap rezim politik merupakan kekerasan politik yang dibagi lagi menjadi tiga, yaitu: (1) kekacauan (turmoil), (2) persengkongkolan (conspiracy), dan (3) perang saudara (internal war). Kekerasan politik terjadi ketika banyak anggota masyarakat marah karena kondisi praktis dan kondisi budaya yang ada seperti terjadinya jurang pemisah antara barang dan kesempatan yang mereka anggap sebagai hak sebenarnya atau biasa dikenal dengan deprivasi relative sehingga merangsang terjadinya agresi terhadap sasaran politik.

Ecstein (1989) dalam Mustain (2007) menyatakan, meskipun petani tampaknya pasif, sungkan, dan diam, mereka dapat saja menolak kondisi yang tidak mereka sukai melalui cara mengurangi produksi, atau tidak mengindahkan informasi-informasi penting dari para penindasannya. Bentuk perlawanan secara diam-diam atau terselubung lebih umum dilakukan daripada melawan secara terang-terangan.

Tilly mendefinisian aksi kolektif sebagai aksi sekelompok orang secara bersama dalam mencapai kepentingan bersama. Tilly menggunakan dua model: “Model Masyarakat Politik” dan “model mobilisasi”. Model masyarakat politik


(29)

adalah pemerintah dan kelompok-kelompok yang memperebutkan kekuasaan. Model kedua, yaitu model mobilisasi dirancang untuk menjelaskan pola aksi kolektif yang dilakukan oleh aktor yang mengacu pada kepentingan kelompok, tingkat pengorganisasian, besarnya sumberdaya yang ada di bawah kendali kolektif dan kesempatan dan ancaman yang dipakai oleh pesaing-pesaing tertentu dalam hubungannya dengan pemerintah dan kelompok pesaing lainnya (Skocpol, 1991 dalam Mustain 2007). Model mobilisasi menurut Tilly terdiri dari beberapa unsur, yaitu organization, interest, repression, power, opportunity, dan collective action, yang dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Model mobilisasi Tilly, From Mobilization to Revolution.

Sumber: Mustain (2007)

Untuk mencapai tujuan, petani perlu menyusun strategi gerakan yang tepat. Terdapat dua bentuk strategi umum yang dapat dilakukan oleh petani, yaitu: (1) melalui jalur hukum dan (2) aksi massa secara langsung oleh petani. Aksi massa menurut Aji (2005), dapat dibedakan menjadi empat, yaitu: (1) reklaiming; (2) ekspansi anggota baru; (3) dukungan terhadap organisasi tani lokal; dan (4) aksi demonstrasi.

Dalam Mustain (2007) dipaparkan bahwa bentuk strategi yang dilakukan petani melalui aksi massa dan spontan dapat dilihat pada kasus yang terjadi di Desa Simojayan, dimana petani melakukan pembabatan terhadap tanaman kakao yang berada di dalam wilayah PTPN VII. Petani melakukan aksi pembabatan

organization

Collective action

mobilization

Opportunity/ threat

power Repression/

facilitation interest


(30)

selama tiga hari dengan hasil pembabatan seluas 250 hektar tanah perkebunan. Kasus gerakan petani di Desa Tirtoyudo bersifat terencana dengan bentuk strategi yang dilakukan ialah melalui jalur hukum dan aksi massa. Gerakan petani bersifat terencana karena petani melakukan berbagai persiapan seperti pertemuan dan rapat yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Bentuk aksi klaim secara langsung dilakukan oleh petani disebabkan oleh bentuk stategi pertama yaitu melalui jalur hukum tidak ditanggapi oleh instansi terkait.

Kasus yang terjadi di Jenggawah menurut Hafid (2001), juga masuk dalam kategori bentuk strategi yang bersifat terencana dengan menggunakan strategi hukum dan aksi langsung. Hal ini dibuktikan dengan adanya pertemuan yang dilakukan para tokoh untuk menyatukan visi, misi, dan persepsi. Para tokoh juga melakukan diskusi tentang kelemahan dari HGU PTPN X. Strategi melalui jalur hukum dilakukan dengan mengirim surat dan melakukan berbagai pertemuan dengan pejabat dan instansi terkait.

Strategi petani yang dilakukan di Desa Tirtoyudo dimana terdapat tanah rakyat yang kemudian diambilalih dan dijadikan HGU oleh pemerintah, menurut Mustain (2007) dibagi menjadi dua tahap: (1) tahapan pra-reklaiming, berkaitan dengan upaya mobilisasi dan pendayagunaan potensi struktural, institusi sosial, budaya, serta agama yang ada, dan (2) tahapan pasca reklaiming yang dibagi lagi menjadi empat bentuk strategi yang dilakukan petani. Adapun keempat bentuk strategi tersebut adalah: (a) menguasai tanah terlebih dahulu melalui aksi reklaiming, (b) memperjuangkan pengakuan secara hukum sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, (c) strategi pengorganisasian gerakan dengan membentuk Forkotmas, dan (d) strategi mendapatkan dan mempertahankan pengakuan sosial.

Menurut Sitorus (2006), berdasarkan moda gerakan reklaim tanah, tipologi reforma agraria dibagi menjadi tiga yaitu: (1) aneksasi, (2) integrasi, dan (3) kultivasi. Pembagian tipologi reforma agraria dari bawah ini merujuk pada cara mendapatkan akses terhadap tanah. Tipe aneksasi dimana masyarakat secara langsung menempati kawasan hutan negara secara paksa dan illegal untuk kegiatan pertanian. Tipe aneksasi dapat dilihat dalam kasus di Dongi-dongi dimana masyarakat secara langsung menempati kawasan hutan negara secara


(31)

paksa dan illegal untuk kegiatan pertanian. Tipe kedua ialah tipe integrasi dimana gerakan yang dilakukan masyarakat mengkolaborasikan negara dan komunitas lokal dalam manajemen sumberdaya hutan seperti yang terjadi di Toro. Tipe yang ketiga ialah tipe kultivasi, menggabungkan kedua tipe aneksasi dan integrasi. Pada satu sisi, tanah direklaim dan secara faktual ditanami atau diusahakan oleh penduduk tapi di sisi lain tanah juga masih diklaim dan juga secara faktual dikelola sebagai bagian dari taman nasional seperti di Sintuwu dimana penduduk merambah kawasan hutan negara dan melakukan aksi unjuk rasa untuk memperjuangkan hak mereka.

Shohibuddin (2007) menjelaskan bahwa masyarakat Toro melakukan empat agenda strategis, yaitu: (1) tahap pembentukan landasan; (2) tahap perjuangan untuk memperoleh pengakuan; (3) tahap konsolidasi lebih lanjut; (4) tahap diseminasi keluar.

2.3 Faktor yang Mempengaruhi Strategi Perjuangan Petani 2.3.1 Faktor Internal

Untuk mencapai tujuan petani biasanya menggunakan penggalangan massa karena semakin besarnya jumlah massa yang ikut maka akan semakin didengar suara mereka. Namun menurut Wolf (1966) dalam Mustain (2007) terdapat beberapa faktor yang membuat gerakan petani sulit untuk mendapatkan massa yaitu: (1) kurang adanya kerjasama antar sesama petani dalam mengelola tanah, (2) terjebak dalam rutinitas irama pekerjaan sektor pertanian, (3) lebih berorientasi ke jenis tanaman lokal dari pada komersial, (4) terbuai dengan sifat komunalitas kekerabatan sehingga rentan terhadap perubahan, (5) tidak mempunyai orientasi kepentingan yang jelas, (6) orientasi ke “in-group” lebih kuat sehinggga kurang tertarik terhadap pengetahuan dari luar yang mestinya dibutuhkan untuk mengungkapkan kepentingannya. Sikap petani seperti itu dikarenakan para petani lebih mengedepankan semangat komunalisme dengan mengedepankan nilai-nilai pemerataan terhadap sumber-sumber yang kian terbatas (Scott, 1981). Scott (1993) juga mengungkapkan rintangan petani untuk melakukan perlawanan kolektif yaitu: (1) rumitnya struktur kelas setempat sehingga menghalangi pendapat kolektif, (2) rasa takut terhadap pembalasan atau


(32)

penahanan sehingga petani lebih memilih bersikap rendah hati, dan (3) “tekanan setiap hari” dimana tidak ada kemungkinan yang realistis untuk secara langsung atau kolektif menata kembali keadaannya sehingga si miskin tidak ada pilihan lain kecuali menyesuaikan diri.

Petani tidak mau ikut gerakan perlawanan meski sedang berada dalam krisis subsistensi jangka pendek yang diakibatkan oleh perubahan yang dihasilkan oleh penetrasi kapitalis karena tidak tercapainya kesepakatan antar petani dalam melakukan aksi bersama, juga adanya penilaian bahwa cara-cara perlawanan dianggap tidak akan bisa menyelesaikan masalah, masih ada cara lain yang dinilai labih baik seperti kompromi yang diperhitungkan lebih menguntungkan (Popkin, 1979).

Mustain (2007) mengutip Wolf (1969) menyatakan bahwa petani kelas menengah menjadi pelopor pendukung gerakan petani karena petani kelas menengah paling mudah terkena dampak penyitaan tanah, fluktuasi pasar, tingginya tingkat bunga, dan perubahan-perubahan lain yang diakibatkan pasar dunia. Hal ini tidak seperti petani miskin dan buruh perkebunan karena mereka tidak memiliki basis ekonomi yang independen dan sumberdaya politik taktis (Siahaan, 1996 dalam Mustain, 2007).

Untuk melakukan perlawanan atau tindakan kolektif yang terorganisasi, petani harus memiliki pengaruh internal yang menurut Skocpol (1991) dalam Mustain (2007) pengaruh internal dipengaruhi oleh: (1) jenis solidaritas petani, (2) kemampuan membebaskan diri dari kontrol sehari-hari tuan tanah dan kaki tangannya, (3) pengendoran sanksi-sanksi kerja paksa dari Negara terhadap pemberontakan petani. Pengaruh internal yaitu kemampuan untuk melakukan tindakan kolektif yang terorganisasi terhadap orang-orang yang memeras mereka.

Ada dua tipe organisasi petani dalam melakukan perlawan, yaitu: (1) organisasi yang muncul dari dalam kelompok petani sendiri untuk mengatur dirinya sendiri, dan (2) organisasi yang muncul dari luar. Keberhasilan organisasi yang mengorganisasi dirinya sendiri berdasarkan ketidaksepakatan bersama dan organisasi yang muncul dari luar keberhasilannya memerlukan mekanisme dengan melaksanakan peraturan tertentu seperti kemampuan dalam mengundang para


(33)

pengikutnya untuk berpartisipasi secara aktif (Lichbach, 1994 dalam Mustain, 2007).

Strategi perekrutan anggota adalah aspek yang dipengaruhi oleh insentif selektif. Strategi perekrutan ini ditemukan dalam pemberontakan petani yang terorganisasi. Insentif selektif digunakan untuk mengundang para pengikut untuk berpartisipasi aktif. Menurut Mustain (2007), untuk memperjuangkan tanah petani mengalami berbagai problematika internal seperti timbulnya sikap saling curiga antar sesama petani yang kemudian mempengaruhi soliditas gerakan petani, munculnya kesenjangan sosial, golongan kaum borjuis, hingga problematika masa depan pertanian yang makin tergeser akibat adanya pergeseran beberapa sektor pembangunan yang menjadi tumpuan penggerak utama ekonomi nasional. Pada awalnya pembangunan bertumpu pada sektor pertanian, kemudian kini bertumpu pada sektor industri dan jasa karena dianggap mempunyai nilai tambah untuk memacu pertumbuhan ekonomi.

Pangestu (1995) dalam Febriana (2008) menjelaskan bahwa faktor-faktor internal yang mempengaruhi keterlibatan masyarakat dalam suatu program ialah hal yang mencakup karakteristik individu yang dapat mempengaruhi individu tersebut untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan. Karakteristik individu tersebut mencakup umur, tingkat pendidikan, jumlah beban keluarga, jumlah dan pengalaman berkelompok.

Silaen (1998) dalam Wicaksono (2010) menyatakan bahwa semakin tua umur seseorang maka penerimaannya terhadap hal-hal baru semakin rendah. Hal ini karena orang yang masuk dalam golongan tua cenderung selalu bertahan dengan nilai-nilai lama sehingga diperkirakan sulit menerima hal-hal yang sifatnya baru. Tamarli (1994) dalam Febriana (2008) juga menyatakan bahwa umur merupakan faktor yang mempengaruhi partisipasi. Semakin tua seseorang, relatif berkurang kemampuan fisiknya dan keadaan tersebut mempengaruhi partisipasi sosialnya. Oleh karena itu, semakin muda umur seseorang, semakin tinggi tingkat partisipasinya dalam suatu kegiatan atau program tertentu.

Ajiswarman (1996) dalam Wicaksono (2010) menyatakan tingkat pendidikan mempengaruhi penerimaan seseorang terhadap sesuatu hal yang baru. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin mudah baginya untuk


(34)

menerima hal-hal baru yang ada di sekitarnya. Jumlah beban tanggungan juga dinyatakan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi partisipasi. Seperti yang diungkapkan Ajiswarman (1996) dalam Febriana (2008), semakin besar jumlah beban keluarga menyebabkan waktu untuk berpatisipasi dalam kegiatan akan berkurang karena sebagian besar waktunya digunakan untuk mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan keluarga. Nurlela (2004) dalam Wicaksono (2010) mengungkapkan bahwa tingkat pendapatan seseorang tidak mempengaruhi partisipasi orang dalam suatu kegiatan.

2.3.2 Faktor Eksternal

Dalam Mustain (2007) dijelaskan mengenai proses memobilisasi suatu gerakan perlawanan dipengaruhi oleh seorang aktor yang berpeluang mendayagunakan sejumlah potensi nilai-nilai lokal. McAdam juga mengemukakan bahwa terdapat hambatan dalam memobilisasi struktural dalam mobilisasi gerakan harus memperhatikan kesempatan dan ancaman yang disebut

the repertoire of contention dimana suatu jalan yang secara budaya menandakan saat orang-orang berinteraksi dalam pertikaian politik. Hal ini juga didukung oleh Ecskein (1989) dalam Mustain (2007) bahwa penting untuk memerhatikan faktor kekuatan dan tekanan Negara. Tilly (1978) dan Wolf (1969) dalam Mustain (2007) juga mengatakan bahwa pemberontakan tidak akan terjadi jika situasinya benar-benar tidak mendukung. Hal ini didukung dengan pernyataan Arif, 2002; Anshori, 2003; Wignjosoebroto, 2002 dalam Mustain, 2007 bahwa yang mempengaruhi strategi perjuangan petani ialah persoalan hukum dalam penataan tanah yang hingga era reformasi masih problematik.

Pemerintah, swasta, dan kelompok lain yang memberontak dapat memberikan insentif selektif dan berhak bergabung dengan gerakan wilayah tertentu daripada organisasi lain berdasarkan tersedianya intensif selektif. Negara mempengaruhi tingkat insentif selektif dalam perbedaan kolektif dengan cara tertentu. Cara yang optimal untuk menawarkan insentif selektif adalah dengan menjadi supplier tunggal atau monopoli. Organisasi petani yang mempunyai akses khusus untuk mendapatkan insentif selektif terbukti lebih berhasil memobilisasi pengikutnya dibandingkan dengan kelompok yang tidak mempunyai akses.


(35)

Organisasi yang memberontak jika tidak mampu memasuki perang tawar-menawar perlu menjauhi rezim. Hal ini disebabkan rezim dapat mengalahkan dengan mudah organisasi tersebut (Mustain, 2007). Ditambahkan bahwa pemberian insentif selektif tanpa faktor lain tidak akan pernah cukup untuk mendukung suatu pemberontakan petani dan barang kebutuhan umum tanpa didukung oleh hal lain juga tidak akan pernah cukup untuk memulai suatu pemberontakan petani. Untuk itu insentif selektif harus didasarkan pada pertimbangan ideologi agar tidak menjadi counterproductive.

Adapun cara entrepreneur menemukan sumber daya yang dibutuhkan untuk menyediakan insentif selektif bagi para pengikutnya dijelaskan dalam Mustain (2007) diambil dari berbagai ahli ialah: (1) mendorong pengikutnya untuk melakukan penjarahan (Avrich, 1972), (2) mendistribusikan ulang sumber daya (Popkin, 1979), (3) pemimpin yang memberontak merahasiakan kebaikan, persolaan, ataupun keluhan yang dapat menarik kelompoknya, (4) pemimpin yang memberontak dapat mematahkan monopoli kaum elite pada institusi politik dan mungkin saja menciptakan organisasi desa petani baru, (5) pemberontak mencari penyokong yang dapat menyediakan insentif selektif, dan (6) intensif selektif selalu tersedia dalam jumlah sedikit dan selalu diharapkan oleh petani yang lebih miskin.

Pangestu (1995) dalam Febriana (2008) memaparkan faktor-faktor eksternal yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat meliputi hubungan yang terjalin antara pihak pengelola proyek dengan sasaran dapat mempengaruhi partisipasi karena sasaran akan dengan sukarela terlibat dalam suatu proyek jika sambutan pihak pengelola positif dan menguntungkan mereka. Selain itu, bila didukung dengan pelayanan pengelolaan kegiatan yang positif dan tepat dibutuhkan oleh sasaran, maka sasaran tidak akan ragu-ragu untuk berpartisipasi.

Eisinger (1973) dalam McAdam dan Snow(1997) mengungkapkan bahwa kesempatan politik menjadi salah satu pokok terjadinya gerakan sosial dan terjadinya protes berhubungan dengan lingkungan dari kesempatan politik yang ada disuatu kota. Eisinger juga mendefinisikan bahwa kesempatan politik merupakan derajat dimana suatu kelompok dapat meningkatkan akses terhadap kekuasaan dan dapat memanipulasi sistem politik. Hal ini didukung dengan


(36)

pernyataan Moniaga (2010) bahwa pada era reformasi, kaum terpinggirkan bebas untuk berpolitik seperti masyarakat kasepuhan yang secara tegas memutuskan untuk bertindak mengatasi kemelut pertanahan yang mereka hadapi.

2.4 Tingkat Keberhasilan Perjuangan Petani

Banyak kasus mengenai masalah pertanahan di Indonesia yang masih terus berlanjut hingga kini meski pun lahan tersebut telah diduduki oleh masyarakat namun lahan tersebut belum ada pengakuan secara hukum. Menurut Mustain (2007), hal ini disebabkan karena belum habisnya HGU seperti yang terjadi di Kalibakar, Malang. Meski pun petani berhasil membabat dan menduduki lahan tersebut, namun petani belum mendapatkan kepastian hukum. Hal ini karena masih terbentur masalah HGU yang berlaku hingga tahun 2014 dan belum adanya kepastian bahwa tanah tersebut akan dikembalikan kepada rakyat ketika HGU tersebut habis. Karena lelah, petani bersikap defensif dan reaktif. Defensif dalam artian menunggu sampai habisnya masa HGU PTPTN XII.

Hal ini didukung oleh hasil penelitian Bachriadi dan Lucas (2001), dimana kasus di Tapos juga belum menemukan titik terang. Meski Kepala Kantor BPN Bogor telah menyatakan sekitar 450 hektar lahan peternakan Tri-S Tapos akan dikembalikan kepada petani penggarap, sisanya diserahkan kepada Pemda Kabupaten Bogor.

Di Bengkulu juga terjadi kasus yang sama menurut Serikat Tani Bengkulu (2006), dimana meskipun masyarakat telah dapat mengakses lahan dan telah melakukan mobilisasi terhadap penduduk miskin dari desa lain namun belum mendapatkan pengakuan secara hukum. Hal ini membuat lahan tersebut dapat di klaim sewaktu-waktu oleh pihak perkebunan yang memegang HGU. Untuk mengantisipasi diambilnya kembali lahan tersebut, petani membayar pajak dan menabung untuk persiapan sertifikasi tanah.

Keberhasilan yang dicapai oleh masyarakat dataran tinggi yang tinggal di wilayah hutan lindung juga berbeda-beda. Di Dongi-dongi, Sulawesi Tengah telah terjadi konversi lahan besar-besaran yang diakibatkan adanya gerakan petani atau tindakan kolektif penduduk yang paksa dan illegal membuka, bercocok tanam, dan sekaligus bermukim di sebidang tanah hutan negara. Di Toro, hasil yang


(37)

dicapai cukup unik, dimana hak adat kembali diakui oleh negara. Hal ini terjadi akibat terjadinya perambahan hutan oleh masyarakat karena kekurangan tenaga dalam mengontrol dan menegakkan hukum pada masyarakat lokal, sehingga terciptanya resolusi konflik dimana masalah-masalah hutan di Toro secara eksklusif ditangani oleh lembaga adat (Sitorus, 2006).

Masyarakat sebagian besar menginginkan tanah yang mereka peroleh mendapatkan sertifikat yang sah secara hukum untuk individu. Namun yang terjadi di Pasir Randu agak berbeda dimana petani menginginkan sertifikasi yang ditujukan pada organisasi atau Organisasi Tani Lokal agar perempuan yang secara aktif dalam proses reclaiming memiliki hak yang sama dalam penguasaan tanah (Bahari dan Krishnayanti, 2005).

Kasus tanah adat masyarakat kasepuhan Citorek, Cibedug, dan Cisiih juga belum memiliki kejelasan hukum, berbeda dengan masyarakat adat Baduy yang telah memiliki legal hukum yang tertuang dalam Perda No. 32 tentang Perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Masyarakat kasepuhan Citorek, Cibedug, dan Cisiih belum mendapatkan pengakuan formal secara hukum disebabkan oleh rumitnya kasus dan mengakui keabsahan klaim-klaim mereka atas tanah adat di Citorek dan Cibedug. Karena belum dapat dipastikan jenis hak atas tanah yang sesuai dengan konsep wewengkon dan diperlukan informasi rinci mengenai status tanah terkini. Lagi pula tanah itu secara legal berada dalam kawasan hutan negara dan tidak berwewenang membatalkan secara sepihak (Moniaga, 2010). Contoh kasus tanah adat lain yang berhasil diselesaikan ialah di Kabupaten Nunukan, dimana telah keluar sebuah Perda No. 3 dan 4 tahun 2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Sebaliknya di Paser, status tanah ulayat telah dihapus karena masyarakat di daerah tersebut tidak lagi menggunakan sistem hak ulayat (Bakker, 2010).

2.5 Kerangka Pemikiran Penelitian

Keterbatasan akses dan penguasaan lahan menjadi masalah yang dihadapi oleh hampir seluruh petani di indonesia khususnya di wilayah perkebunan di Desa Cisarua, Kabupaten Sukabumi dimana penelitian ini dilakukan. Keadaan petani


(38)

tersebut memicu terciptanya strategi petani. Strategi yang tepat diperlukan untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan.

Strategi perjuangan yang digunakan diduga memiliki hubungan dengan tingkat keterlibatan petani yang dilihat dari peran petani dalam oraganisasi dan partisipasi yang diberikan petani terhadap gerakan yang dilakukan untuk mendapatkan tanah. Tingkat keterlibatan petani di sini diduga dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal merupakan faktor yang datangnya dari dalam pribadi petani yang dibagi menjadi pengalaman berorganisasi, luas dan jumlah relasi, lama pendidikan yang telah dilalui, pendapatan, serta jumlah tanggungan. Faktor eksternal ialah hal-hal yang ikut berpengaruh namun berasal dari luar pribadi petani tersebut.

Faktor eksternal dibedakan menjadi organisasi pendukung, kesempatan politik, serta respon pemerintah dan pihak lawan. Adapun sifat strategi perjuangan petani dibedakan menjadi “insidental” dan “sungguh-sungguh” dengan bentuk berupa aksi massa dan jalur hukum.

Bentuk aksi massa petani dibedakan menjadi demo, reklaiming, ekspansi anggota, dukungan terhadap organisasi tani lokal, serta perlawanan kecil dan sembunyi-sembunyi yang dilakukan setiap hari dengan penuh kesabaran dan kehati-hatian, seperti mencuri, memperlambat kerja, berpura-pura sakit dan bodoh, mengumpat dan sejenisnya. Strategi perjuangan yang digunakan petani kemudian akan berhubungan dengan tingkat keberhasilan dalam mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan.

Tingkat keberhasilan yang dapat dicapai petani dalam mendapatkan akses dan penguasaan atas tanah ialah hak miliki, sewa, pinjam pakai, serta tidak berhasil mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan. Untuk lebih jelas, kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.


(39)

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian

Keterangan: Berhubungan Komponen

Memicu

2.5 Hipotesis Penelitian 2.5.1 Hipotesis Uji

Penyusunan hipotesis bertujuan untuk memudahkan peneliti menjawab permasalahan dan dalam rangka untuk mencapai tujuan dari penelitian yang telah dirumuskan. Dari kerangka pemikiran di atas dapat disusun hipotesis uji berupa: 1. Tingkat pendidikan berkorelasi positif dengan tingkat keterlibatan petani

dalam perjuangan untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan. Faktor internal: - Pengalamam organisasi - Luas dan jumlah relasi - Tingkat pendidikan - Tingkat pendapatan - jumlah tanggungan Faktor ekternal:

- Organisasi pendukung - Kesempatan politik - Respon pemerintah dan

pihak lawan

Tingkat keterlibatan: - Peran dalam organisasi - Partisipasi dalam gerakan

Petani: Keterbatasan akses dan penguasaan lahan

Strategi perjuangan

Sifat:

‐ Insidental

‐ Sungguh-sungguh

Bentuk:

‐ Aksi massa

‐ Jalur hukum

Tingkat keberhasilan: - Hak milik

- Sewa

- Pinjam pakai - Tidak berhasil


(40)

2. Luas dan banyaknya jumlah relasi berkorelasi positif dengan tingkat keterlibatan petani dalam perjuangan untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan.

3. Tingkat pendapatan berkorelasi positif dengan tingkat keterlibatkan petani dalam perjuangan untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan. 4. Pengalaman dan peran dalam organisasi berkorelasi positif dengan tingkat

keterlibatan petani dalam perjuangan untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan.

5. Jumlah tanggungan keluarga berkorelasi negatif dengan tingkat keterlibatan petani dalam perjuangan untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan.

2.5.2 Hipotesis Pengarah

Dari kerangka pemikiran di atas maka dapat disusun hipotesis pengarah dimana terdapat hubungan antara faktor eksternal petani yang berupa keterlibatan organisasi pendukung, kesempatan politik yang tersedia, serta respon pemerintah desa dan respon pihak perkebunan dengan tingkat keterlibatan petani dalam strategi memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan yang kemudian juga akan berhubungan dengan bentuk strategi yang digunakan petani dan tingkat keberhasilan petani dalam mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan.

2.6 Definisi Operasional

1. Mata pencaharian adalah pola aktivitas yang dilakukan oleh anggota masyarakat, guna menghasilkan pendapatan pada tingkat yang aman untuk dapat bertahan hidup, yang dilakukan secara teratur dan berulang. Mata pencaharian di sini dikategorikan dalam 2 hal, yaitu:

1) Mata pencaharian dalam bidang pertanian, adalah aktifitas mata pencaharian di sektor pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan.

2) Mata pencaharian dalam bidang non-pertanian, adalah aktivitas mata pencaharian di sektor remunerative, pendidikan, pemerintahan, jasa dan perdagangan.


(41)

2. Status penguasaan lahan adalah keadaan lahan yang dapat diakses dan dikuasai oleh seorang petani. Status penguasaan lahan di sini dikategorikan menajdi 3 tingkatan, yaitu:

1) Pinjam pakai diberi skor 1 2) Sewa diberi skor 2

3) Hak milik diberi skor 3

3. Tingkat kepemilikan lahan adalah jumlah lahan yang dimiliki oleh seorang petani, mengacu pada luas lahan ideal yang dimiliki oleh satu rumahtangga. Dalam penelitian ini tingkat kepemilikan lahan dikategorikan menjadi 3 tingkatan, yaitu:

1) Rendah : jika tidak memiliki lahan diberi skor 1

2) Sedang : memiliki lahan kurang dari 0,3 hektar diberi skor 2 3) Tinggi : memiliki lebih dari 0,3 hektar diberi skor 3

4. Aksesibilitas menunjukkan kemampuan seorang petani dalam menguasai dan menggunakan lahan, dalam penelitian ini tingkat kepemilikan lahan dikategorikan menjadi 3 tingkatan, yaitu:

1) Rendah : jika tidak punya akses terhadap lahan diberi skor 1 2) Sedang : akses terhadap lahan kurang dari 0,3 hektar diberi skor 2 3) Tinggi : akses terhadap lahan lebih dari 0,3 hektar diberi skor 3 5. Tingkat pendapatan adalah sejumlah sumberdaya berupa uang yang didapat

setelah bekerja dan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya berdasarkan UMR (Upah Minimum Rata-rata) Kabupaten Sukabumi tahun 2010. Pendapatan di sini dibedakan dalam 2 tingkatan, yaitu:

1) Rendah : jika di bawah Rp 671.500 diberi skor 1 2) Tinggi : jika di atas Rp 671.500 diberi skor 2

6. Tingkat pendidikan ialah lama pendidikan formal yang dilalui oleh petani. Tingkat pendidikan dibedakan menjadi 3 tingkatan, yaitu:

1) Rendah : jika petani mengeyam pendidikan selama 0-4 tahun diberi skor 1

2) Sedang : jika petani mengeyam pendidikan selama 5-9 tahun diberi skor 2


(42)

3) Tinggi : jika petani mengenyam pendidikan lebih dari 9 tahun diberi skor 3

7. Pengalaman organisasi ialah status petani dalam sebuah organisasi. Dibedakan menjadi 3 tingkatan, yaitu:

1) Rendah : jika petani tidak mengikuti organisasi diberi skor 1

2) Sedang : jika petani menjadi anggota dalam sebuah organisasi diberi skor 2

3) Tinggi : jika petani menjadi pengurus dalam sebuah organisasi diberi skor 3

8. Jumlah tanggungan ialah banyaknya individu yang ditanggung oleh seorang petani. Jumlah tanggungan dibedakan menjadi 3 tingkatan, yaitu:

1) Rendah : jika petani menanggung lebih dari 5 orang diberi skor 1 2) Sedang : jika petani menanggung sebanyak 3-4 orang diberi skor 2 3) Tinggi : jika petani menanggung sebanyak 0-2 orang diberi skor 3 9. Tingkat keterlibatan petani adalah persentase keikutsertaan petani dalam

berbagai kegiatan dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan: a. Peran dalam organisasi

1) Rendah : jika petani tidak ikut dalam organisasi gerakan petani maka akan diberi skor 1

2) Sedang : jika petani menjadi anggota dalam organisasi gerakan petani maka akan diberi skor 2

3) Tinggi : jika petani menjadi pengurus dalam organisasi gerakan petani maka akan diberi skor 3

b. Peran dalam aksi yang dilakukan

1) Rendah : jika petani hanya ikut serta dalam pelaksanaan gerakan maka akan diberi skor 1

2) Sedang : jika petani ikut serta dalam perencanaan dan atau merekrut anggota baru maka akan diberi skor 2

3) Tinggi : jika petani menjadi penggagas gerakan maka akan diberi skor 3


(43)

10.Aksi massa ialah tindakan kolektif yang dilakukan petani sebagai upaya untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan. Aksi massa dibedakan menjadi demo, reklaiming, ekspansi anggota baru, dan dukungan terhadap organisasi tani lokal. Aksi massa dibedakan menjadi 3 tingkatan, yaitu:

1) Rendah : jika petani melakukan 1 bentuk aksi massa maka akan diberi skor 1

2) Sedang : jika petani melakukan 2 bentuk aksi massa maka akan diberi skor 2.

3) Tinggi : jika petani melakukan 3 atau lebih aksi massa maka akan diberi skor 3.

11. Rapat ialah pertemuan yang dilakukan oleh petani sebagai salah satu upaya petani untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan. Rapat dibedakan menjadi 3 tingkatan, yaitu:

1) Rendah : kurang dari 30 persen dari jumlah pertemuan yang dilakukan diberi skor 1.

2) Sedang : 30 persen - 60 persen dari jumlah pertemuan yang dilakukan diberi skor 2.

3) Tinggi : lebih dari 60 persen dari jumlah pertemuan yang dilakukan diberi skor 3.

12. Demo ialah salah satu bentuk aksi massa yang dilakukan oleh petani sebagai salah satu upaya untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan. Demo dibedakan menjadi 3 tingkatan, yaitu:

1) Rendah : kurang dari 30 persen dari jumlah demo yang dilakukan diberi skor 1.

2) Sedang : 30 persen - 60 persen dari jumlah demo yang dilakukan diberi skor 2.

3) Tinggi : lebih dari 60 persen dari jumlah demo yang dilakukan diberi skor 3.


(44)

3.1 Pendekatan Penelitian

Penelitian mengenai strategi perjuangan petani dalam mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan dilakukan menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Penelitian ini merupakan penelitian dekriptif dan explanatif dimana dilakukan untuk mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan petani dalam mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan sesuai dengan strategi yang digunakan serta menggambarkan bagaimana proses yang dilalui petani untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan.

Metode pendekatan kualitatif digunakan peneliti untuk memahami secara mendalam dan rinci mengenai suatu peristiwa, serta dapat menggali berbagai realitas, proses sosial, dan makna yang berkembang dari orang-orang yang menjadi subjek penelitian. Strategi penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini ialah studi kasus, dimana peneliti memilih suatu kejadian atau gejala untuk diteliti (Sitorus,1998).

Peneliti menggali informasi mengenai proses yang dilakukan petani sehingga mereka dapat mengolah lahan milik perkebunan negara. Pembahasan kemudian dilanjutkan untuk mengetahui dan memahami faktor-faktor eksternal yang dapat mempengaruhi strategi yang dilakukan petani untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan perkebunan. Metode kualitatif dilakukan melalui wawancara mendalam yang dilakukan kepada informan dan responden. Responden di sini dibedakan menjadi petani besar dan petani kecil yang mengolah lahan perkebunan, sedangkan terdiri dari aparatur desa, pegawai perkebunan, petani besar, dan juga petani kecil yang berjuang untuk mendapatkan akses dan penguasaan lahan.

Pendekatan kuantitatif dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara faktor internal petani dengan tingkat keterlibatan petani dalam upaya untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan. Metode kuantitatif dilakukan menggunakan metode survei yang mana pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner.


(45)

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian mengenai strategi perjuangan petani dalam mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan dilaksanakan di Desa Cisarua, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi. Desa ini merupakan salah satu desa yang berada di dalam wilayah salah satu perkebunan milik negara. Wilayah ini dipilih atas dasar pertimbangan:

1. Desa Cisarua merupakan desa yang berada di dalam wilayah salah satu perkebunan negara yang secara langsung memperoleh dampak dari kegiatan di perkebunan.

2. Sebagian besar penduduk di Desa Cisarua bekerja sebagai buruh di perkebunan. Hal ini menunjukkan semakin terbatasnya akses dan panguasaan atas lahan bagi penduduk.

3. Wilayah strategis di Desa Cisarua yang dapat dijadikan wilayah pertanian dikuasai oleh perkebunan sehingga membuat semakin terbatasnya akses dan penguasaan atas lahan bagi penduduk.

4. Desa ini merupakan desa terdekat dengan kantor salah satu perkebunan milik negara dan sudah dilalui jalan arteri dan angkutan umum sehingga tidak menyulitkan peneliti dalam melakukan penelitian.

5. Lahan kosong banyak yang berubah fungsi menjadi bentuk lain seperti pemukiman.

6. Di wilayah ini pernah terjadi gerakan petani dan hingga kini pun belum terselesaikan perkaranya.

7. Penduduk di desa ini dapat berbahasa Indonesia sehingga memudahkan peneliti dalam melakukan wawancara untuk menggali informasi dan mengumpulkan data.

8. Di desa ini terlihat jelas adanya sikap saling curiga antara penduduk dengan pihak perkebunan.

Pengumpulan data sekunder penelitian dilaksanakan pada bulan Juli hingga Agustus 2010. Data primer penelitian telah dilakukan dalam kurun waktu 3 bulan, dimulai dari bulan Oktober 2010 hingga Januari 2011.


(46)

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti dalam meneliti strategi perjuangan petani untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan ialah metode triangulasi. Metode ini digunakan untuk mendapatkan kombinasi data yang akurat. Dalam metode ini, data didapatkan melalui wawancara mendalam, studi literatur, dan observasi lapang. Observasi lapang dilakukan peneliti dengan melakukan pengamatan secara menyeluruh terkait kondisi faktual yang terjadi di Desa Cisarua. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data sekunder dan data primer.

Data sekunder yang dikumpulkan melalui studi literatur dari data di Kantor Desa Cisarua ialah data mengenai kondisi wilayah desa dilihat dari segi geografis, demografis, profil desa, serta infrastruktur desa. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung di lokasi penelitian dimana dilakukan wawancara kepada responden dan informan yang mengacu kepada kuesioner dan panduan pertanyaan. Informan terdiri dari aparatur desa, pegawai perkebunan, dan aktor dalam perjuangan petani dalam mendapatkan akses atas lahan. Hal ini dilakukan agar data dan informasi yang didapat akurat. Data sudah mengalami kejenuhan setelah dilakukan wawancara mendalam terhadap 5 informan. Hasil wawancara mendalam kemudian direkam peneliti dalam catatan harian lapangan.

Pemilihan responden dalam penelitian ini menggunakan metode

accidental sample (convinience sampling) dengan populasi penelitian yaitu petani Desa Cisarua yang menggarap di lahan milik perkebunan blok 14, blok 15, dan blok 16 serta bertempat tinggal di RW 2, RW 3, dan RW 4. Responden dalam penelitian ini adalah petani kecil dan petani besar yang menggarap di lahan HGU milik perkebunan dengan jumlah responden sebanyak 34 orang. Kerangka sampling dalam penelitian ini berjumlah 760 KK yang bertempat tinggal di RW 2, RW 3, dan RW 4 Desa Cisarua, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi. Seluruh kepala keluarga (KK) di ketiga RW tersebut bekerja sebagai petani, baik petani kecil maupun petani besar. Petani besar hanya berjumlah 3 orang saja dan sisanya merupakan petani kecil. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil petani yang ditemui baik ketika berada di lahan perkebunan yang digarap oleh petani dan wilayah RW 2, RW 3, dan RW 4 untuk dijadikan responden.


(47)

3.4 Teknik Analisis Data

Data mengenai strategi yang digunakan dalam perjuangan untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan, kondisi geografis desa, demografis, profil desa serta infrastruktur dipaparkan secara deskriptif. Data kualitatif yang diperoleh melalui wawancara mendalam dengan elite desa, tokoh masyarakat, responden, informan, dan observasi langsung disajikan dalam bentuk deskriptif.

Analisis uji Korelasi Rank Spearman dilakukan untuk melihat hubungan antara tingkat pendidikan, pendapatan, pengalaman dan peran dalam organisasi, jumlah dan luas relasi dengan tingkat keterlibatan petani dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan. Pengolahan data ini dilakukan menggunakan program komputer Ms. Excel 2007 dan SPSS 17 for windows.


(48)

4.1 Letak Geografis dan Keadaan Lingkungan

Desa Cisarua adalah desa yang terletak di wilayah Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi. Desa ini memiliki luas wilayah sebesar ± 767,448 hektar dan terletak di lereng gunung Gede Pangrango. Secara geografis, Desa Cisarua dibatasi oleh Taman Nasional Gunung Pangrango di sebelah utara, Desa Limbangan di sebelah selatan, Desa Sukamekar di sebelah barat, dan Desa Langensari di sebelah timurnya.

Bentangan wilayah Desa Cisarua terbagi menjadi wilayah berbukit, dataran tinggi, dan lereng gunung. Tingkat erosi di wilayah desa ini juga masih rendah. Berdasarkan data profil Desa Cisarua hanya 0,65 persen dari total luas wilayah yang berstatus erosi berat. Desa Cisarua terletak 900-1.200 m di atas permukaan laut sehingga menyebabkan iklim di Desa Cisarua termasuk basah dengan jumlah bulan hujan 9 bulan dan curah hujan sebesar 2.200 mm.

Berdasarkan kegunaannya, tanah yang ada di desa ini terbagi menjadi tanah kering, tanah sawah, tanah perkebunan, tanah hutan dan untuk fasilitas umum. Luas penggunaan lahan di desa ini disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Luas Tanah Berdasarkan Kegunaan di Desa Cisarua Tahun 2008

No Kegunaan Luas (Ha)

1. Tanah sawah irigasi perdesaan 25,00 2. Tanah kering

• Tegal/ladang

• Pemukiman

• Pekarangan

310,89 15,75 22,25 3. Tanah perkebunan

• tanah perkebunan rakyat

• tanah perkebunan negara

20,00 82,03

4. Tanah hutan lindung 247,32

5. Tanah fasilitas umum 44,21

Jumlah 685,42


(49)

Desa Cisarua merupakan salah satu desa di Kabupaten Sukabumi, namun letaknya dekat dengan Ibukota Kota Sukabumi. Akses untuk menuju ke kota Sukabumi juga sangat mudah. Terdapat 80 angkutan umum yang tersedia selama 24 jam.

4.2 Demografi Desa

Penduduk Desa Cisarua sebagain besar merupakan etnis Sunda. Hal ini dipengaruhi oleh latar belakang datangnya penduduk di desa tersebut. Penduduk Desa Cisarua pada mulanya merupakan pekerja perkebunan yang khusus didatangkan dari Garut pada tahun 1928. Mereka didatangkan dari Garut untuk menjadi buruh di perkebunan. Hingga saat ini mereka secara turun menurun terus menetap dan berkembang di Desa Cisarua. Berdasarkan profil Desa Cisarua pada tahun 2008, total jumlah penduduk Desa Cisarua berdasarkan jenis kelamin dapat dibedakan menjadi laki-laki sebanyak 3.563 orang dan perempuan sebanyak 3.431 orang. Desa Cisarua memiliki 8 RW dan 30 RT dengan 1.798 Kepala Keluarga dengan kepadatan penduduk sebesar 911 jiwa per km2.

Desa Cisarua memiliki total jumlah penduduk sebanyak 6994 orang dan 41,8 persen dari total jumlah penduduk hanya mengenyam pendidikan hingga jenjang SD/sederajat, lalu diikuti oleh SMA, SMP, D3, D1, S1, dan D2. Penduduk di Desa Cisarua ini pun mayoritas beragama islam dan hanya 0,1 persen dari total jumlah penduduk yang beragama kristen. Perbandingan persentasi jumlah etnis di Desa Cisarua dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Persentasi Penduduk di Desa Cisarua Berdasarkan Etnis Tahun 2008 No Etnis Jumlah (orang) Persentasi (%)

1. Sunda 5.905 84,42

2. Batak 26 0,37

3. Betawi 6 0,09

4. Jawa 1.035 14,80

5. Ambon 4 0,06

6. Sumba 6 0,09

7. China 3 0,04

8. Arab 9 0,13

Total 6.994 100,00


(50)

4.3 Mata Pencaharian Penduduk

Penduduk laki-laki di Desa Cisarua sebagian besar bermatapencaharian pokok sebagai buruh tani, karyawan perkebunan, petani, dan pedagang keliling. Penduduk perempuan, selain menjadi buruh tani dan karyawan perkebunan, banyak pula yang menjadi pembantu rumahtangga, pedagang keliling, dan petani. Jumlah dan jenis mata pencaharian pokok penduduk di desa ini disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Jumlah dan Jenis Mata Pencaharian Pokok Penduduk Desa Cisarua Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2008

No Jenis pekerjaan Laki-laki (orang) Perempuan (orang)

1. Petani 189 48

2. Buruh tani 702 302

3. Pedagang keliling 151 65

4. Karyawan perkebunan 457 197

5. Pegawai negeri sipil 14 10

6. Pengrajin industri rumah tangga 4 2

7. Pembantu rumah tangga 0 72

8. Guru swasta 6 2

9. Pensiunan PNS/TNI/POLRI 10 2

10. Peternak 42 0

11. TNI 4 0

12. Montir 4 0

13. Dukun kampung terlatih 0 5

14. Pengusaha kecil dan menengah 4 0

Jumlah 1.587 705

Sumber: Profil Desa Cisarua, Kabupaten Sukabumi Tahun 2008

Berdasarkan profil Desa Cisarua juga diketahui komoditi pertanian yang mayoritas dibudidayakan di Desa Cisarua ialah tomat, sawi, kubis, dan cabe. Pada sektor perkebunan diketahui bahwa terdapat 5 keluarga yang memiliki tanah perkebunan dengan luasan kurang dari 10 hektar. Pemasaran hasil pertanian di Desa Cisarua ada yang dijual melalui tengkulak, pengecer, serta langsung dijual


(51)

ke pasar. Pemasaran hasil perkebunan hanya dilakukan oleh tengkulak. Komoditi perkebunan yang dihasilkan di Desa Cisarua ialah teh.

Penguasaan lahan di Desa Cisarua masih sangat minim, berdasarkan daftar isian tingkat perkembangan Desa Cisarua tahun 2008, dari 3.596 orang yang telah berkeluarga, hanya 1.283 orang yang memiliki aset tanah. Agar lebih jelasnya dapat dilihat di Tabel 4.

Tabel 4. Jumlah dan Persentasi Petani Berdasarkan Penguasaan Aset Tanah Desa Cisarua Tahun 2008

No Luasan Aset Tanah (Ha) Jumlah (orang) Persentasi (%) 1. Memiliki tanah antara 0,1-0,2 1.062 82,77 2. Memiliki tanah antara 0,21-0,3 77 6,00 3. Memiliki tanah antara 0,31-0,4 39 3,03 4. Memiliki tanah antara 0,41-0,5 26 2,02 5. Memiliki tanah antara 0,51-0,6 16 1,25 6. Memiliki tanah antara 0,61-0,7 21 1,64 7. Memiliki tanah antara 0,71-0,8 6 0,47 8. Memiliki tanah antara 0,81-0,9 5 0,39 9. Memiliki tanah antara 0,91-1,0 5 0,39 10. Memiliki tanah antara 1,1-5,0 20 1,56 11. Memiliki tanah antara 5,1-10 4 0,32 12. Memiliki tanah lebih dari 10 2 0,16

Total 1.283 100,00

Sumber: Profil Desa Cisarua, Kabupaten Sukabumi Tahun 2008

Petani di Desa Cisarua seluruhnya menggarap di lahan milik perkebunan. Hal ini disebabkan karena letak Desa Cisarua yang berada di sekitar wilayah perkebunan milik negara dan hutan lindung. Memiliki tanah bukan berarti petani mengolah di atas tanah yang dimiliki secara perseorangan dan bersertifikat. Namun kata memiliki pada Tabel 4. bermakna menggarap. Dari data di atas dapat dilihat bahwa 88,77 persen petani di Desa Cisarua hanya menggarap 0,1-0,3 hektar lahan. Petani tersebut masuk dalam kategori petani kecil. Petani sedang merupakan petani yang menggarap lahan dengan luas 0,31-1,00 hektar. Petani


(1)

4. Apa yang anda lakukan untuk merencanakan gerakan yang akan dilakukan?

a. Rapat

b. Mencari informasi ke dinas terkait c. Tidak ada

d. Lainnya,………... 5. Apa yang anda lakukan untuk mendapatkan lahan?

... ... 6. Peran apa yang anda mainkan dalam usaha untuk mendapatkan lahan?

a. Ketua b. Pengurus c. Anggota

d. Lain-lain,... 7. Apakah anda menggunakan jalur hukum untuk mendapatkan lahan?

a. Ya b. Tidak

8. Dalam hal apa jalur hukum digunakan untuk mendapatkan lahan?

... ... 9. Bentuk aksi massa apa yang anda lakukan untuk mendapatkan lahan?

a. Demo

b. Reklaiming/ambil paksa c. Membentuk organisasi d. Merekrut anggota baru

e. Mencuri, mengumpat, berpura-pura tidak tahu, memperluas lahan secara diam-diam.

f. Tidak ada

10.Apakah anda mengikuti demo?

a. Ya ( …….dari ……. demo yang dilakukan) b. Tidak


(2)

11.Apakah menurut anda perlu dibentuknya organisasi petani? Jelaskan! ... ... 12.Apakah menurut anda perlu digunakannya kekerasan dalam upaya untuk

mendapatkan lahan? Jelaskan!

... ...

D. Respon dari pihak lawan dan pemerintah 1. Apakah ada respon dari pemerintah?

a. Ya b. Tidak

2. Apakah sifat respon yang diberikan? a. Membantu petani

b. Membantu pihak lawan c. Tidak memihak manapun

3. Dalam bentuk apa respon yang diberikan pemerintah? a. Bantuan

b. Kemudahan dalam birokrasi dan akses dalam melakukan pengaduan c. Lain-lain,... 4. Apakah ada respon dari pihak perkebunan?

a. Ya b. Tidak

5. Apakah sifat respon yang diberikan pihak perkebunan? a. Mengabaikan

b. Menentang

c. Mengatasi masalah yang ada

d. Lainnya,……...………

6. Dalam bentuk apa respon yang diberikan perkebunan?

……… ……… E. faktor-faktor yang mempengaruhi strategi perjuangan petani


(3)

1. Apakah ada organisasi atau pihak yang mendukung perjuangan yang dilakukan?

a. Ya b. Tidak

2. Dukungan apa yang diberikan kepada petani?

……… ……… 3. Apakah petani membentuk organisasi untuk melakukan perjuangan?

a. Ya b. Tidak

4. Apa nama organisasi itu?

……… ……… 5. Apakah anda pernah bergabung dengan organisasi?

a. Ya b. Tidak

6. Organisasi dan jabatan apa yang pernah anda duduki?

No Nama Organisasi Jabatan Lama menjabat

(Bulan)

7. Apakah menurut anda ada aktor yang berperan aktif dalam melakukan perjuangan?

a. Ya b. Tidak

8. Siapa sajakah aktor-aktor tersebut?

... ...


(4)

9. Apakah anda memiliki relasi yang mendukung untuk melakukan perjuangan?(jika ya, isi tabel dibawah ini)

a. Ya b. Tidak

10.Nama, jumlah dan tingkat kekuatan ikatan dengan relasi

No Nama Relasi Jumlah Ikatan*

Keterangan: * (sangat kuat, kuat, cukup kuat, tidak kuat, sangat tidak kuat)

F. Distribusi Akses dan Penguasaan Atas Lahan

1. Apakah anda memiliki lahan sebelum terjadinya perjuangan? a. Ya

b. Tidak

2. Berapa luas lahan yang anda miliki sebelum terjadinya perjuangan? a. > 0,3 hektar

b. < 0,3 hektar c. Tidak punya

3. Apakah anda memiliki akses terhadap lahan sebelum terjadinya perjuangan?

a. Ya b. Tidak

4. Berapa luas lahan yang dapat anda akses sebelum terjadinya perjuangan? a. > 0,3 hektar

b. < 0,3 hektar c. Tidak punya

5. Apakah setelah terjadinya perjuangan anda memiliki tanah? a. Ya


(5)

6. Berapa luas lahan yang anda miliki? a. > 0,3 hektar

b. < 0,3 hektar c. Tidak punya

7. Apakah status lahan tersebut? a. Hak milik

b. Sewa

c. Pinjam pakai

8. Apakah setelah terjadinya perjuangan anda dapat mengolah tanah? c. Ya

d. Tidak

9. Berapa luas lahan yang anda olah setelah perjuangan? d. > 0,3 hektar

e. < 0,3 hektar f. Tidak punya

10.Apakah status lahan tersebut? d. Hak milik

e. Sewa


(6)

Gambar 3. Jenis Tanaman Hortikultura Gambar 4. Tanaman Bunga Kol 

Gambar 5. Sketsa Peta Desa Cisarua Gambar 6. Penanda Kawasan Lindung 

Gambar 7. Budidaya Cabe  Gambar 8. Kawasan Pertanian