Masalah keterbatasan modal dan kebutuhan subsisten petani, mendesak petani untuk berbuat cepat agar kebutuhannya terpenuhi. Jalan yang termudah
ialah menjadi petani kecil. Pilihan lain ialah menjadi buruh perkebunan. Buruh perkebunan merupakan mata pencaharian yang dominan terjadi di Desa Cisarua.
Penduduk yang menjadi buruh perkebunan biasanya merupakan petani asli yang nenek moyangnya didatangkan dari Garut lalu menjadi buruh di perkebunan
secara turun temurun. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, penduduk Desa Cisarua terbagi menjadi dua yaitu petani pendatang yang bermatapencaharian
sebagai petani serta petani asli yang bermatapencaharian sebagai buruh perkebunan.
5.3 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Strategi Perjuangan Petani
Tanah merupakan sumberdaya alam yang penting. Seluruh petani menggantungkan hidupnya pada tanah untuk tempat ia bercocok tanam. Namun
kini luas lahan dapat diolah oleh petani semakin turun tiap tahunnya. Dari data yang diperoleh, rata-rata petani di Indonesia hanya mengolah 0,3 hektar dari luas
ideal sebesar 2 hektar per kepala keluarga. Berdasarkan profil Desa Cisarua, dimana penelitian ini dilakukan, terdata bahwa 1.139 orang menguasai tanah
seluas 0,1-0,3 hektar dari total 1.283 orang yang menguasai tanah. Ketimpangan terlihat jelas dimana terdapat 1.062 orang menguasai lahan seluas 0,1-0,2 hektar
dan terdapat 2 orang yang menguasai lebih dari 10 hektar tanah. Dalam melakukan upaya untuk mendapatkan lahan, strategi yang
dilakukan di setiap daerah tidaklah sama. Strategi yang diterapkan di Desa Cisarua dipengaruhi oleh: 1 status lahan yang diinginkan oleh petani dan 2
tujuan petani tersebut. Petani Desa Cisarua mengetahui bahwa status lahan yang mereka inginkan
merupakan lahan HGU legal milik perkebunan negara, bukanlah lahan sengketa, dan bukanlah lahan milik petani yang kemudian diambil oleh pihak perkebunan.
Oleh karena itu, petani cenderung tidak dapat melakukan tindakan radikal untuk mendapatkan lahan tersebut. Strategi yang dipilih oleh petani juga disesuaikan
dengan tujuan petani, yaitu mendapatkan akses untuk menggarap di lahan
perkebunan. Untuk mencapai tujuan yang diinginkan, petani menggunakan strategi yang lebih aman dan lebih lembut sesuai dengan kondisi di desa.
Tingkat keterlibatan petani di sini dilihat berdasarkan peran dalam organisasi dan partisipasi petani dalam gerakan atau upaya dalam mendapatkan
lahan. Semakin banyak petani yang terlibat, maka kemungkinan terjadinya perlawanan kolektif akan semakin besar karena solidaritas antar petani semakin
kuat. Hal ini disebabkan oleh karena aksi kolektif sangat berhubungan dengan tujuan dan manfaat bagi pihak yang terlibat. Jika petani telah memiliki tujuan
yang sama dan telah miliki rasa solidaritas yang tinggi, maka aksi kolektif semakin mungkin untuk terjadi. Hal tersebut sesuai dengan yang dikatakan Olson
1971 dalam Mustain 2007. Dalam penelitian ini dirumuskan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keterlibatan petani dalam upaya mendapatkan lahan.
Faktor-faktor tersebut dapat dibedakan menjadi faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal merupakan situasi dan kondisi dari luar individu petani
yang dapat mempengaruhi strategi yang digunakan petani dalam mendapatkan lahan perkebunan. Dalam penelitian ini, faktor eksternal dapat berasal dari: 1
organisasi pendukung, 2 kesempatan politik yang digunakan, serta 3 respon pemerintah dan respon dari pihak perkebunan.
Desa Cisarua tidak memiliki organisasi yang mendukung petani dalam hal mendapatkan lahan perkebunan. Petani melakukan usaha secara individu dengan
dasar sifat manusia yang rasional, kreatif, dan ingin menjadi kaya, sesuai dengan yang dikatakan Popkin 1979 dalam Mustain 2007 bahwa gerakan perlawanan
petani lebih karena faktor determinan individu, bukan kelompok. Perjuangan secara individual dan tanpa melakukan konfrontasi dipengaruhi oleh tidak adanya
organisasi lokal, nasional, dan kultural yang mendorong petani untuk melakukan perjuangan kolektif seperti yang dikatakan oleh Ecstein 1989 dalam Mustain
2007. Hal ini yang menjadi dasar bahwa di Desa Cisarua tidak terjadi kesatuan dan kesolidan petani karena tidak adanya organisasi yang menjadi wadah bagi
para petani di Desa Cisarua. Organisasi pendukung di sini dianalogikan sebagai katalis yang dapat
menyadarkan serta mengarahkan petani. Organisasi pendukung juga bisa menjadi suatu wadah dimana petani dapat bertukar pikiran dan kemudian menyamakan
tujuan sehingga pada akhirnya membuat petani bergerak secara kolektif. Desa Cisarua tidak memiliki organisasi dan tidak ada organisasi yang berusaha
menyadarkan dan mempersatukan petani. Hal ini kemudian dapat mempengaruhi kesolidan antar petani dan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi strategi
perjuangan petani untuk memenuhi kebutuhan hidupnya masing-masing dalam hal ini untuk mendapatkan lahan garapan.
Kesempatan politik merupakan situasi politik yang dapat digunakan sebagai momentum untuk memperlancar usaha petani dalam mendapatkan lahan.
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Eisinger 1973 dalam McAdam dan Snow 1997 dimana kesempatan politik merupakan derajat dimana suatu
kelompok dapat meningkatkan akses terhadap kekuasaan dan dapat memanipulasi sistem politik. Seiring dengan Era Reformasi dimana kaum terpinggirkan bebas
untuk berpolitik, masyarakat secara tegas memutuskan untuk bertindak mengatasi kemelut pertanahan yang mereka hadapi Moniaga, 2010. Demikian pula yang
terjadi di Desa Cisarua, dimana petani berani memanfaatkan era reformasi untuk mencapai tujuannya untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan. Petani
di Desa Cisarua berani melakukan berbagai upaya karena merasa bebas untuk melakukan berbagai tindakan di era reformasi. Salah satu upaya yang dilakukan
oleh petani ialah memanfaatkan pemilihan kepala desa sebagai titik balik perubahan kebijakan-kebijakan yang menghambat perjuangan petani untuk
mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan milik perkebunan. Pada tahun 2005 yang telah masuk dalam era reformasi, di Desa Cisarua
dilakukan pemilihan kepala desa untuk yang keempat kalinya dan dilakukan secara demokratis. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk kesempatan politik
yang ada di daerah. Kesempatan ini dapat dimanfaatkan oleh aktor-aktor untuk membuka komunikasi, koordinasi, dan komitmen sehingga menghasilkan
kesamaan pengertian dan memunculkan kesadaran bersama karena pada masa seperti ini, petani sedang mengalami perubahan sesuai dengan McAdam dkk
2001 dalam Mustain 2007. Pada masa pemilihan kepala desa, masyarakat sedang mengalami masa transisi. Perubahan-perubahan dapat terjadi ketika kepala
desa yang baru terpilih. Pergantian kepala desa kemudian dapat mengubah aturan- aturan, program serta kebijakan desa. Kesempatan inilah yang dimanfaatkan para
petani besar. Petani besar memanfaatkan kesempatan politik ini agar ketika terpilih nanti, kepala desa baru mendukung upaya yang dilakukan petani besar
untuk mendapatkan lahan perkebunan. Upaya yang dilakukan petani besar dalam memanfaatkan kesempatan
politik yang ada ialah dengan memberi dukungan baik berupa moral dan finansial kepada salah satu calon kepala desa yang ikut dalam pemilihan kepala Desa
Cisarua. Agar mendapat banyak dukungan, calon kepala desa yang didukung oleh petani besar ini mengangkat tema mengenai pembagian lahan kepada petani kecil
sebagai salah satu visi dan misi yang akan dilaksanakan ketika ia terpilih nanti. Benar saja, dukungan kepada calon kepala desa ini mengalir dan akhirnya
memenangkan pemilihan kepala Desa Cisarua dan menjabat hingga saat ini. Para petani besar dan calon kepala desa berkampanye seolah-olah berpihak
kepada petani dan akan membantu petani-petani kecil ketika terpilih nanti salah satunya ialah dengan memberikan lahan garapan kepada petani kecil. Namun
ketika kepala desa tersebut menjabat, janji-janji yang diungkapkan pada kampanye tidak terlaksana karena pada akhirnya yang diuntungkan hanyalah para
petani besar saja. Hal ini sesuai dengan dinyatakan Popkin 1979 bahwa elite desa petani kaya yang selama ini mengklaim komunitas tradisional, padahal
lebih untuk mempertahankan tatanan demi keuntungan mereka. Ketika kepala desa yang dicalonkan petani besar menjabat, segala bentuk
administrasi dan keperluan petani besar dalam mendapatkan lahan perkebunan menjadi lebih mudah. Ketika terjadi perbedaan keinginan dengan perkebunan,
pemerintah desa kemudian membela petani besar dengan mengatasnamakan petani desa. Pemerintah dalam hal ini ialah pemerintah desa telah mendukung
sepenuhnya upaya yang dilakukan petani besar untuk mendapatkan lahan perkebunan. Petani besar ini juga telah menggarap lahan milik bengkok desa
seluas 11 hektar. Respon positif dari pihak pemerintah ternyata hanya dirasakan oleh petani besar. Hal ini membuat pera petani kecil kecewa terhadap pemerintah
dan membuat petani enggan untuk bersatu. Adanya sikap saling curiga antar petani dan kesolidan petani yang rendah
membuat petani tidak dapat bersatu. Selain itu petani kecil merasa tidak ada gunanya melawan mereka karena pada akhirnya petani kecil yang akan dirugikan.
Ketika petani kecil melawan dan ketika petani kecil membutuhan bantuan, petani besar dan pemerintah desa tidak akan membantu. Hal inilah yang menjadi
pertimbangan para petani kecil untuk melawan petani besar dan pemerintah desa karena pada dasarnya petani kecil masih tergantung kepada petani besar dan
pemerintah desa. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh E, salah seorang responden dalam penelitian ini:
“Kita yang jadi susah neng. Kan kita juga sebenernya butuh mereka juga. Kalo kita udah diciriin, mau kemana lagi ntar kalo
minta bantuan.”
Petani merasa pemerintah desa pilih kasih kepada petani-petani besar. Pemerintah desa terus menerus membantu para juragan untuk memperluas lahan
bahkan tanah desa pun digarap oleh para petani besar. Hal ini disayangkan karena tanah tersebut dapat dijadikan tanah garapan bagi petani-petani atau buruh yang
ada di Desa Cisarua. Pemerintah desa yang pilih kasih diungkapkan oleh AM, salah satu responden dalam penelitian ini sambil berbisik: “Yah, yang dibantu
juga mereka-mereka petani besar lagi neng. Kita petani kecil mah ga dapet apa-apa.”
Adanya kecemburuan sosial yang ditimbulkan oleh sikap dan respon pemerintah desa terhadap petani menimbulkan kecurigaan terhadap sesama petani
sehingga membuat kepercayaan antar petani menjadi rendah. Rasa solidaritas serta rasa kesamaan nasib petani di Desa Cisarua juga sangat rendah. Terlihat
ketika seorang petani mengalami masalah mengenai hama dan penyakit, petani yang lain enggan membantu meski mereka tahu bagaimana cara mengatasi hama
dan penyakit tersebut. Kecurigaan petani ditujukan kepada petani lain dengan tudingan bahwa petani lain memiliki obat yang dapat menyembuhkan penyakit
tanaman namun enggan untuk berbagi. Seluruh petani berlomba-lomba untuk membuat kaya diri sendiri dengan
kata lain, tidak memiliki semangat komunal. Hal ini menunjukkan bahwa respon pemerintah juga memiliki dampak yang sangat luas terhadap petaninya dan dapat
mempengaruhi tingkat keterlibatan petani serta strategi perjuangan yang dilakukan petani untuk mendapatkan lahan karena bagi petani, lahan merupakan
sumberdaya yang sangat penting yang dapat mempertahankan kelangsungan hidup petani. Bentuk strategi ini sesuai dengan yang dinyatakan Mustain 2007,
bahwa sikap saling curiga antar sesama petani, munculnya kesenjangan sosial serta golongan kaum borjuis dapat mempengaruhi solidaritas gerakan petani.
Pihak perkebunan pada dasarnya telah memiliki program memberikan lahan perkebunan yang letaknya jauh dan kurang produktif. Program ini hanya
berlaku untuk pegawai perkebunan saja. Alasan kesibukan dan letak lahan yang jauh, membuat pegawai yang mendapat lahan garapan enggan untuk menggarap
lahan tersebut. Pegawai lalu menyewakan tanah tersebut kepada petani yang mau menggarap tanah tersebut. Sebagai gantinya, petani menyetorkan iuran kepada
pegawai tersebut setahun sekali. Namun pada kenyataannya, pegawai meminta uang iuran hampir setiap 3-4 bulan sekali ketika musim panen tiba. Petani tidak
bisa menolak karena pegawai mengancam akan mengambil lahan tersebut dan akan menyewakannya pada orang lain. Pada tahun 1993, harga sewa per patok
ialah Rp. 15.000,00 per tahun. Pihak perkebunan juga pernah mendapat permintaan langsung dari warga
agar dapat menggarap lahan perkebunan. Pada saat itu juga, pihak perkebunan sedang mengalami masalah biaya dalam pencabutan akar tanaman yang tidak
produktif. Pihak perkebunan lalu mengizinkan warga tersebut untuk menggarap di lahan perkebunan dengan tujuan untuk mengurangi beban perkebunan. Sebagai
gantinya, perkebunan meminta warga yang mengolah di lahan tersebut untuk membayar iuran yang akan digunakan untuk membantu pihak perkebunan dalam
membayar pajak tahunan. Iuran ini biasa disebut uang sewa oleh warga Desa Cisarua. Warga pun setuju terhadap syarat yang diberikan oleh pihak perkebunan
karena iuran tersebut dirasa tidak memberatkan petani. Pembayaran iuran dilakukan langsung kepada mandor yang kemudian
uangnya disetorkan kepada pihak perkebunan. Selain memungut iuran, mandor memiliki tugas untuk mengawasi lahan-lahan perkebunan yang tidak produktif
agar tidak ditempati oleh warga. Mandor yang menjaga suatu area diperbolehkan melakukan apa saja terhadap lahan tidak produktif tersebut selama lahan tersebut
dalam pengawasan. Mandor menyatakan bahwa untuk mempermudah pengawasan, lahan-lahan tersebut diberikan kepada petani untuk digarap. Uang
sewa yang masuk dapat dijadikan pemasukan tambahan bagi dirinya dan perkebunan. Harga sewa lahan per patok saat ini ialah Rp. 60.000,00 per tahun.
Pada masa itu, pihak perkebunan memberikan respon yang cukup positif karena perkebunan juga sedang mengalami masalah ekonomi dalam perawatan lahan-
lahan miliknya. Respon positif yang diberikan perkebunan bukanlah tanpa tujuan. Jalan ini
ditempuh dengan harapan memberikan keuntungan bagi perkebunan, yaitu: 1 mengurangi biaya perawatan lahan yang kurang produktif, 2 lahan tetap dapat
terawasi dengan baik, 3 sumber pendapatan baru bagi pihak perkebunan dalam membayar pajak dan biaya operasional lainnya.
Respon pihak perkebunan membuat petani tidak perlu melakukan perlawanan secara radikal. Karena itu pula maka petani tidak melakukan demo,
reclaiming , dan sebagainya. Petani hanya perlu mendatangi mandor-mandor yang
bertugas untuk menjaga area tertentu dan melakukan negosiasi agar mereka diperbolehkan untuk menggarap di lahan tersebut karena petani bersaing untuk
mendapatkan lahan yang strategis dan baik. Dari gambaran di atas dapat dilihat bahwa strategi yang dilakukan petani untuk mendapatkan lahan juga dipengaruhi
oleh respon yang diberikan oleh pihak perkebunan. Kondisi pada masa itu tidak mendukung petani untuk melakukan gerakan yang frontal serta jelas terlihat
bahwa petani tidak akan melakukan perlawanan jika memang tidak sangat diperlukan seperti yang dikatakan Tilly 1978 dan Wolf 1969 dalam Mustain
2007 bahwa pemberontakan tidak akan terjadi jika situasinya benar-benar tidak mendukung.
Segala bentuk upaya yang dilakukan oleh petani kecil di Desa Cisarua bukanlah untuk menentang kebijakan negara. Namun petani lebih cenderung
untuk menentang kekuasaan petani besar dan elite desa. Hal ini dapat dilihat ketika kampanye pemilihan kepala desa yang dirancang sedemikian rupa oleh
petani besar, mereka melakukan kampanye dengan mengusung janji-janji yang akan mendukung petani kecil. Namun pada kenyataannya hal tersebut lebih untuk
mempertahankan tatanan demi keuntungan mereka. Hal ini sesuai dengan dinyatakan Popkin 1979. Petani yang kecewa tidak mengumpulkan kekuatan
yang kemudian melakukan tindakan-tindakan radikal.
Bentuk perlawanan gaya Scottian dimana petani mengumpat, menggerutu, dan berpura-pura bodoh dilakukan oleh petani Desa Cisarua. Gaya Scottian
dilakukan bukan dalam upaya untuk perlawanan namun sebagai bentuk perjuangan petani untuk mendapatkan akses lahan perkebunan. Dalam hal ini,
petani berpura-pura tidak mengetahui bahwa lahan yang mereka garap merupakan tanah HGU perkebunan yang tidak boleh digarap oleh masyarakat. Petani juga
melakukan perluasan secara diam-diam hingga suatu ketika mandor memergoki. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh AY, salah seorang petani yang menjadi
responden dalam penelitian ini:
“Awalnya saya menggarap lahan 10x10 meter neng. terus saya nambah-nambah terus sampe sekitar 3 patokan. Karena udah luas,
jadi ketauan ama mandor. Terus mandor negur. Saya pura-pura ga tau aja neng. Terus kompromi ama mandornya karena kan
tanemannya udah mau panen. Sayang kan kalo ditinggal, rugi saya nya atuh. Yaudah akhirnya saya bayar uang sewa ke
mandornya.”
Untuk mencapai tujuan, petani biasanya menggunakan penggalangan massa karena semakin besarnya jumlah massa yang ikut maka akan semakin
didengar suara mereka. Di Desa Cisarua, merujuk pada pernyataan Wolf 1966 dalam Mustain 2007, tidak dilakukan penggalangan massa karena kurang
adanya kerjasama dalam petani dan petani terjebak dalam irama pekerjaan sektor pertanian. Kurang adanya kerjasama antar petani di Desa Cisarua dapat dilihat
dari sikap petani ketika petani lain sedang mengalami masalah dalam bidang pertanian. Ketika petani lain sedang mengalami masalah seperti hama dan
penyakit yang menyerang tanaman mereka, petani lain enggan untuk membantu dan memberi solusi untuk menyembuhkan penyakit tanaman tersebut meskipun ia
tahu bagaimana cara menyelesaikan masalah tersebut. Padahal jika penyakit tersebut tidak disembuhkan maka akan merugikan bagi petani yang lain karena
penyakit tanaman tersebut akan menular ke tanaman-tanaman yang sehat. Selain itu, jika ada bibit unggul baru yang cocok dan sesuai digunakan di Desa Cisarua,
petani enggan untuk berbagi informasi kepada petani lainnya. Petani Desa Cisarua menghabiskan banyak waktunya untuk mengerjakan
kegiatan pertanian. Petani telah berangkat ke ladang sekitar pukul 5 pagi dan
pulang diwaktu dhuhur atau sekitar pukul 12. Setelah beristirahat sebentar, sore harinya petani melakukan kegiatan lain seperti mencari kayu untuk keperluan
rumah tangga serta mencari rumput gajah untuk dijadikan pakan ternak yang mereka miliki atau hanya untuk dijual kembali sebagai tambahan penghasilan.
Kegiatan seperti ini menjadi rutinitas sehari-hari para petani sehingga mereka tidak punya waktu lagi untuk mengerjakan hal lain. Selain itu, faktor yang paling
mempengaruhi ialah petani merasa tidak perlu dilakukan penggalangan massa karena status lahan yang diinginkan dan tujuan yang ingin dicapai petani tidak
mengharuskan penggunaan penggalangan massa. Adapun komoditas yang ditanam oleh petani Desa Cisarua ialah tanaman
holtikultura meskipun ada 3 orang petani yang menanam pohon kayu albasia. Petani yang memiliki modal besar menanam tanaman holtikultura seperti cabe dan
tomat karena untuk menanam 1 hektar tanaman cabe dan tomat membutuhkan modal sebesar masing-masing sekitar Rp. 70.000.000,00 dan Rp. 80.000.000,00.
Sedangkan petani kecil yang mengolah sekitar 3-4 patok atau setara dengan 0,12- 0,16 hektar menanam komoditas holtikultura seperti kubis, kacang panjang,
jagung, labu siam, dan wortel karena hanya dibutuhkan modal sebesar Rp. 8.000.000,00 per hektarnya.
Selain faktor eksternal, faktor internal juga mempengaruhi keterlibatan petani dalam upaya mendapatkan lahan garapan. Adapun faktor-faktor internal
yang dikaji dalam penelitian ini ialah: 1 pengalaman berorganisasi petani, 2 lama pendidikan yang ditempuh, 3 jumlah pendapatan, 4 jumlah tanggungan,
serta 5 luas dan jumlah relasi yang dimiliki oleh petani Desa Cisarua. Faktor internal tersebut diuji secara kuantitatif menggunakan SPSS untuk
mengetahui apakah ada hubungannya dengan tingkat keterlibatan petani dalam upaya mendapatkan lahan garapan. Hasil uji SPSS yang dilakukan antara variabel
pengalaman berorganisasi dengan variabel tingkat keterlibatan petani dalam upaya untuk mendapatkan lahan garapan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Uji SPSS Rank Spearman Hubungan Faktor Internal dengan Tingkat Keterlibatan Petani dalam Upaya Mendapatkan Lahan Garapan
Variabel Sig 2-tailed
Corelation Coefficient Pengalaman Berorganisasi
0,940 0,013
Luas dan Jumlah Relasi 0,021
0,395 Lama Pendidikan
0,232 -0,210
Tingkat Pendapatan 0,957
-0,010 Jumlah Tanggungan
0,773 -0,051
Keterangan: Uji pada α=0,05
Pengalaman berorganisasi pada awalnya dihipotesiskan memiliki hubungan positif dengan tingkat keterlibatan petani dalam upaya untuk
mendapatkan lahan. Pada kasus ini ternyata pengalaman organisasi tidak ada hubungannya dengan tingkat keterlibatan petani dalam upaya untuk mendapatkan
lahan yang diukur dengan peran petani dalam organisasi perjuangan dan partisipasi dalam aksi massa. Hal ini disebabkan karena pada awal penelitian
diasumsikan bahwa petani di Desa Cisarua menggunakan aksi massa untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan. Namun yang ditemukan ialah
petani bergerak secara individual untuk mendapatkan lahan garapan. Selain itu, di Desa Cisarua tidak ada organisasi yang dibentuk untuk mendukung perjuangan
petani untuk mendapatkan akses lahan. Dari tabel hasil pengolahan data menggunakan SPSS di atas, didapatkan
hasil bahwa luas dan jumlah relasi petani Desa Cisarua memiliki hubungan dengan tingkat keterlibatan petani dalam upaya untuk mendapatkan lahan
garapan. Hubungan antara dua variabel ini merupakan hubungan korelasi positif yang ditunjukan oleh Correlation Coefficient sebesar 0,395. Semakin tinggi luas
dan jumlah relasi yang dimiliki petani maka keterlibatan petani dalam mendapatkan lahan garapan semakin tinggi pula. Tingkat kepercayaan yang
didapat dari penghitungan antara hubungan luas dan jumlah relasi dengan keterlibatan petani dalam gerakan menggunakan SPSS yaitu sebesar 95 persen.
Hasil penghitungan menggunakan SPSS ini sesuai dengan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu jumlah dan luas relasi memiliki hubungan positif
dengan tingkat keterlibatan petani dalam upaya mendapatkan akses lahan.
Hasil penghitungan SPSS juga sesuai dengan kondisi yang terjadi di Desa Cisarua. Jika petani memiliki relasi baik dengan pihak perkebunan maupun
pemerintah maka semakin tinggi pula keterlibatannya dalam upaya yang dilakukan. Semakin banyak dan kuat ikatan yang dimiliki petani dengan pihak-
pihak terkait maka akan semakin mudah petani mendapatkan lahan garapan dari pihak perkebunan. Pihak-pihak terkait dalam hal ini ialah pemerintah desa dan
pihak perkebunan. Dalam penelitian ini, kuatnya ikatan ditandai dengan adanya hubungan
keluarga dan pertemanan baik dengan mandor maupun dengan pihak pemerintah desa. Memiliki relasi dalam jumlah banyak dengan hubungan yang kuat juga akan
semakin memudahkan petani untuk mendapatkan lahan garapan yang luas serta memperluas lahan garapannya. Ikatan relasi petani dengan mandor relatif kuat
karena pada umumnya mereka memiliki ikatan saudara. Jika petani tidaklah memiliki ikatan keluarga, namun ia merupakan mantan mandor perkebunan atau
mantan pejabat pemerintahan. Pendidikan juga merupakan salah satu variabel yang diuji menggunakan
SPSS untuk mengetahui hubungannya dengan tingkat keterlibatan petani dalam upaya mendapatkan lahan garapan. Tabel di atas merupakan hasil penghitungan
menggunakan SPSS dimana Sig. sebesar 0,232 menunjukkan bahwa pendidikan tidak memiliki hubungan dengan keterlibatan petani dalam upaya untuk
mendapatkan lahan garapan. Hal ini disebabkan karena tingkat keterlibatan petani dalam kasus ini dilihat dari peran dalam organisasi perjuangan dan aksi massa
yang dilakukan. Desa Cisarua tidak memiliki organisasi perjuangan dan tidak melakukan aksi massa untuk mendapatkan lahan garapan. Lama pendidikan yang
ditempuh oleh petani di Desa Cisarua juga mayoritas berada didalam selang yang sama, yaitu rendah.
Hasil penghitungan didukung dengan keadaan di Desa Cisarua dimana petani yang memiliki pendidikan tinggi tidak memiliki keterlibatan yang rendah
dalam upaya mendapatkan lahan tidak rendah. Demikian juga sebaliknya, petani yang berpendidikan rendah, tidak memiliki keterlibatan yang tinggi pula dalam
perjuangan yang dilakukan secara individual.
Pendapatan petani Desa Cisarua dalam penelitian ini juga diuji menggunakan SPSS untuk mengetahui hubungannya dengan tingkat keterlibatan
petani dalam upaya mendapatkan lahan garapan. Pendapatan petani dihipotesiskan memiliki hubungan positif dengan tingkat keterlibatan petani dalam upaya untuk
mendapatkan lahan garapan. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penghitungan SPSS dimana nilai Sig. menunjukkan nilai sebesar 0,957. Nilai ini berada diatas nilai
α yang mungkin yaitu 0,05 ataupun 0,01. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan
tidak memiliki hubungan dengan tingkat keterlibatan petani dalam upaya mendapatkan lahan garapan. Meskipun petani memiliki pendapatan yang tinggi,
namun bukan jaminan bahwa keterlibatan petani menjadi rendah. Demikian juga sebaliknya, semakin rendah pendapatan bukan merupakan jaminan bahwa
keterlibatan petani akan semakin tinggi. Dari kuesioner yang disebarkan, didapat data bahwa 23 responden atau sekitar 68 persen petani yang menjadi responden
memiliki pendapatan dibawah UMR rata-rata pemerintah Kabupaten Sukabumi. Dari kuesioner yang disebar kepada 34 responden penelitian di Desa Cisarua
menunjukkan bahwa petani yang memiliki pendapatan yang besar ialah petani yang berkerja di bidang pertanian namun menggarap lahan yang besar ataupun
petani yang tidak terbelit hutang. Hutang di sini diartikan sebagai pinjaman modal baik berupa barang maupun uang kepada para petani besar. Hutang ini
dikembalikan dengan cara menyetorkan hasil panen peminjam kepada pihak pemberi hutang dalam kasus ini ialah petani besar. Hasil panen tersebut lalu dibeli
dan hasilnya dipotongkan langsung untuk membayar hutang yang mereka miliki. Namun sering kali hasil panen para petani kecil dibeli dengan harga yang lebih
rendah dari harga beli di pasar induk. Hal inilah yang membuat petani terus terbelit hutang dan terus terikat kepada petani besar.
Hasil uji SPSS di atas juga dilakukan antara jumlah tanggungan dengan tingkat keterlibatan petani dalam upaya untuk mendapatkan lahan garapan. Tabel
di atas Tabel 5. menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kedua variabel tersebut. Meski semakin banyak atau sedikit jumlah tanggungan petani tidak
mempengaruhi tingkat keterlibatan petani dalam upaya mendapatkan lahan garapan. Hal ini menolak hipotesis awal dimana jumlah tanggungan memiliki
hubungan negatif dengan tingkat keterlibatan petani dalam upaya untuk
mendapatkan lahan garapan. Hal ini disebabkan karena sebaran yang diperoleh dari responden ialah sebagian besar memiliki jumlah tanggungan yang sama, yaitu
sedang. Selain itu, di Desa Cisarua juga tidak ada organisasi pendukung dan aksi massa yang dijadikan ukuran tingkat keterlibatan petani dalam upaya untuk
mendapatkan lahan garapan dari perkebunan.
5.4 Tingkat Keberhasilan Petani