2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pencemaran Logam Berat Tembaga
Lingkungan perairan dikatakan tercemar apabila telah terjadi perubahan- perubahan dalam tatanan lingkungan perairan sehingga tidak sama lagi dengan
bentuk asalnya, sebagai akibat masuknya suatu zat ke dalam tatanan lingkungan tersebut. Salah satu zat yang dapat mencemari lingkungan perairan adalah
logam berat dan apabila terlarut dalam konsentrasi tinggi, dapat berdampak buruk pada satu atau lebih jenis organisme yang tadinya hidup normal dalam
tatanan lingkungan tersebut. Tembaga Cu masuk ke dalam tatanan lingkungan perairan melalui jalur
alamiah dan non alamiah. Pada jalur alamiah, logam tembaga mengalami siklus perputaran yang stabil, namun kandungan alamiah logam akan berubah-ubah
akibat jalur non alamiah. Jalur non alamiah berupa aktifitas manusia seperti buangan limbah kegiatan industri, pertambangan Cu, maupun industri galangan
kapal beserta outfall dan pengecatan anti fouling pada kapal adalah jalur yang mempercepat terjadinya peningkatan kelarutan Cu dalam perairan Mukhtasor,
2007. Kadar ambien total Cu
+2
yang terlarut dalam perairan laut lepas berkisar antara 1-10 nM dan akan meningkat kadarnya mencapai 10-100 nM pada daerah
pesisir dan muara sungai Brown dan Newman, 2003. Penelitian mengenai status pencemaran tembaga di Indonesia telah banyak dilakukan dan
diperkirakan sudah berindikasi pencemaran. Evaluasi kondisi lingkungan perairan Kepulauan Seribu bagian utara, tengah, dan selatan tahun 2004
menunjukkan bahwa konsentrasi Cu telah melebihi ambang batas toleransi bagi makroalga yaitu berkisar antara 0,076-0,209 mgl Sachoemar, 2008.
2.2 Peran Tembaga Bagi Makroalga
Tembaga merupakan mineral essensial mikro yaitu mineral yang diperlukan dalam jumlah sangat sedikit dan umumnya terdapat dalam tubuh
dengan konsentrasi sangat kecil. Walaupun dibutuhkan tubuh dalam jumlah sedikit, bila kelebihan dapat mengganggu kesehatan atau mengakibatkan
keracunan Yruela, 2005. Tembaga sebagai logam transisi, aktif dalam kegiatan redoks pada berbagai proses fisiologi tumbuhan karena dibutuhkan untuk sistem
enzim oksidatif. Tembaga berperan sebagai elemen penting dalam mengatur
protein, berpartisipasi dalam transportasi elektron pada proses fotosintesis, membantu proses respirasi pada mitokondria, merespons stress oksidatif pada
tubuh, membantu proses metabolisme dinding sel, dan membantu kerja hormon Yruela, 2005.
Tembaga dalam bentuk ion berperan sebagai kofaktor sistem enzim seperti superoksida dismutase SOD, katalase, askorbat peroksida APX, sitokrom c
oksidase, amino oksidase, laccase, plastosianin, dan polifenol oksidase serta bagian dari antioksidan enzim seperti askorbat, glutathione, flavonoid,
tokopherol, dan karotenoid Collen et al., 2003; Yruela, 2005. Oleh karena itu, tembaga sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan
khususnya makroalga.
2.3 Toksisitas Tembaga bagi Makroalga
Menurut Soemirat 2005 toksisitas adalah kemampuan racun molekul untuk menimbulkan kerusakan apabila masuk ke dalam tubuh dan lokasi organ
yang rentan terhadapnya. Bentuk aksi penyerangan dari suatu toksikan ditentukan oleh bentuk toksisitas yang dimiliki toksikan. Persenyawaan kimia dari
logam tembaga dapat merusak proses fisiologis makroalga seperti menghalangi kerja enzim. Kemampuan siklus redoks Cu antara Cu
+2
dan Cu
+
dapat memproduksi ROS dalam jumlah besar sehingga merusak DNA, lemak, protein,
dan biomolekul lainnya Yruela, 2005. Literatur telah melaporkan berbagai interaksi logam berat terhadap
biomolekul dalam tingkat sellular, diantaranya adalah : 1 berikatan pada gugus sulfida protein sehingga menghambat sistem kerja enzim dan fungsi protein; 2
menggantikan posisi ion-ion logam essensial yang terdapat dalam molekul terkait seperti logam Mg; 3 menghalangi proses transportasi antar sel; dan 4
kerusakan oksidatif pada tubuh Yruela, 2005. Tingkatan toksisitas Cu sangat sulit untuk diprediksi tergantung pada kondisi habitat dan jenis masing-masing
dari organisme tersebut. Karena bersifat essensial dan toksik konsentrasi Cu dibutuhkan dalam jumlah yang kecil seperti, makroalga dapat mentoleransi 10
μg L
-1
Cu dalam selnya Lobban dan Harrison, 1997. Beberapa toksisitas yang disebabkan Cu bila konsentrasi dalam sel
melebihi kemampuan toleransi makroalga seperti, menghambat proses pertumbuhan, menghambat proses biosintesis klorofil-a, dan merusak elastisitas
struktur talus makroalga.
2.3.1 Pertumbuhan
Pola pertumbuhan makroalga Gracilaria membentuk kurva sigmoidal pertumbuhannya meningkat dari nilai lambat, cepat dan akhirnya mendekati nilai
tetap konstan yang bergantung hanya pada waktu, sehingga model pertumbuhan biomassa Gracilaria merupakan model pertumbuhan logistik
dengan carrying capacity konstan Kartono et al., 2008. Model pertumbuhan logistik ini menunjukkan pertumbuhan maksimum ketika biomassa Gracilaria
sama dengan carrying capacity, dan pada saat itu pertumbuhan tidak lagi terjadi. Kematian pada makroalga disebabkan antara lain menipisnya nutrien,
kekurangan oksigen, media lingkungan yang terlalu panas, pH media yang selalu berubah-ubah,
atau kontaminasi
yang berasal
dari media
kultivasi Coutteau,1996.
Pertumbuhan adalah proses perubahan ukuran meliputi panjang, berat atau volume pada periode waktu tertentu. Pertumbuhan yang optimal
dikarenakan proses metabolisme berjalan dengan baik. Proses metabolisme akan berjalan dengan baik bila didukung oleh kondisi lingkungan yang optimal
termasuk konsentrasi mikronutrien yang cukup bagi kelangsungan proses pertumbuhan makroalga. Enzim memegang peranan yang sangat penting dalam
mempercepat dan memperlancar proses metabolisme. Enzim-enzim tertentu yang terdapat pada makroalga merah memiliki gugus fungsi sulfhidril -SH
sebagai pusat aktifnya Lobban dan Harrison, 1997. Enzim yang memiliki gugus sulfhidril merupakan kelompok enzim yang mudah terhalang daya kerjanya
disebabkan gugus sulfhidril yang dikandungnya dengan mudah dapat berikatan dengan ion-ion logam berat yang masuk ke dalam tubuh Palar, 2008. Akibat
dari ikatan yang terbentuk, daya kerja yang dimiliki enzim menjadi sangat berkurang atau sama sekali tidak dapat bekerja. Keadaan ini secara keseluruhan
akan merusak sistem metabolisme tubuh. Selain mempengaruhi kerja enzim, tembaga juga mempengaruhi pasokan energi untuk proses pertumbuhan.
Pertumbuhan yang optimal, secara fisiologis hanya dapat terjadi apabila terdapat kelebihan energi, setelah energi melalui pakan yang dikonsumsi
dikurangi dengan kebutuhan energi untuk berbagai aktivitas. Adanya perubahan kondisi lingkungan terutama kelarutan logam berat yang tinggi akan berpengaruh
pada besaran energi yang dikonsumsi dapat lebih besar atau lebih kecil daripada energi yang dibelanjakan terutama untuk keperluan pertumbuhan.
Menurut Collen et al. 2003, makroalga yang terpapar Cu Cu bersifat redoks
dalam tubuh organisme akan menginduksi produksi ROS reactive oxygen species
seperti superoxide radicals O
2
•¯ , hydrogen peroxide H
2
O
2
, singlet molecular oxygen
1
O
2 1
Δ
g
, dan hydroxyl radicals OH
.
Komponen ROS tersebut akan menginduksi kerusakan oksidatif pada lapisan lemak, protein, dan
asam nukleat disertai menganggu fungsi kerja sel. ROS dalam konsentrasi kecil merupakan hal yang normal pada organisme
fotosintetik, namun dalam kondisi stress produksi ROS akan meningkat sehingga akan menjadi permasalahan dalam tubuh. Strategi untuk mencegah kerusakan
yang disebabkan oleh ROS, makroalga memproduksi enzim dan antioksidan enzim seperti SOD superoxide dismutase, katalase, APX ascorbate
peroxidase , glutathione, malondialdehyde MDA, flavonoids, tocopherols, dan
karotenoids Bouzon et al., 2011; Manimaran et al., 2011. Pengaktifan enzim dan antioksidan ini membutuhkan energi yang besar sehingga energi yang ada
digunakan untuk memproduksi antioksidan tersebut agar kerusakan sel tidak terjadi dan sisa energi yang ada tidak dapat mencukupi dalam kegiatan proses
pertumbuhan. Beberapa penelitian toksisitas Cu yang menunjukkan hubungan antara
proses pertumbuhan dengan enzim antioksidan dan cadangan energi yang ada pada makroalga. Penelitian yang dilakukan oleh Collen et al. 2003 konsentrasi
0,2 ppm Cu
+2
selama 4 hari paparan menunjukkan penurunan laju pertumbuhan Gracilaria tenuistipitata
sebesar 60 per hari disertai peningkatan produksi enzim dan antioksidan enzim berupa SOD, APX, katalase, MDA, dan karotenoid.
Hal yang sama dilakukan oleh Huang et al pada tahun 2010, selama 14 hari paparan dengan jenis yang sama laju pertumbuhan mengalami penurunan 60
per hari pada konsentrasi 200 μg L
-1
Cu disertai cadangan total energi untuk pertumbuhan yang semakin menurun akibat toksisitas Cu. Penelitian lain yang
dilakukan Han et al. 2008 selama 3 hari paparan konsentrasi 100 μg L
-1
Cu telah menurunkan 41 laju pertumbuhan Ulva armoricana per hari disertai
peningkatan antioksidan pada konsentrasi tersebut, namun pada konsentrasi 250 μg L
-1
Cu terjadi laju pertumbuhan negatif -1,4 per hari disertai kecenderungan menurunnya produksi antioksidan.
2.3.2 Klorofil-a
Komponen molekular penting pada organisme fotosintetik khususnya makroalga adalah klorofil. Makroalga merah hanya memiliki dua klorofil yaitu
klorofil-a dan d Meeks, 1974. Klorofil-a dalam bentuk kimia mengandung satu inti porfirin dengan satu atom magnesium terikat kelat ditengah dan satu rantai
samping hidrokarbon panjang fitil tergabung melalui gugus asam karboksilat Meeks, 1974. Faktor-faktor yang langsung mempengaruhi konsentrasi klorofil-a
adalah nutrien, intensitas cahaya, suhu, dan umur sel Meeks, 1974. Oleh sebab itu keberadaan Cu dalam sel makroalga tidak secara langsung berdampak
negatif terhadap konsentrasi klorofil-a. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan Cu tidak berdampak
langsung terhadap konsentrasi klorofil-a seperti, Cu 0 μgL
-1
– 500 μgL
-1
tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap jumlah konsentrasi klorofil-a
Gracilaria longissima selama 7 hari Brown dan Newman, 2003, selama 4 jam
dengan konsentrasi Cu 0,2 ppm Cu
+2
klorofil-a Gracilaria tenuistipitata tidak mengalami perubahan dibandingkan kontrol Collen et al., 2003, Xia et al.
2004 juga membuktikan bahwa pada perlakuan Cu 0 μM–10 μM selama 96 jam
tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap jumlah klorofil-a Gracilaria lemaneiformis
, hal serupa terjadi pada mikroalga Pavlova viridis yakni tidak terjadi perubahan konsentrasi klorofil-a akibat terpapar 0,05–0,5 mgl
-
Cu
+2
selama 16 hari Li et al., 2006, dan diatom laut Odontella mobiliensis tidak mengalami perubahan konsentrasi klorofil-a dibandingkan kontrol pada selang
konsentrasi Cu 52- 213 μg L
-1
selama 72 jam Manimaran et al., 2011. Beberapa toksisitas Cu terhadap klorofil-a apabila konsentrasinya sudah
sangat tinggi diantaranya adalah, menghambat pembentukan pigmen fotosintetik dan memperlambat penggabungan klorofil ke tilakoid membran fotosintetik
kloroplas Manimaran et al., 2011, mengakibatkan pembesaran kompleks antena light-harvesting antenna dalam fotosistem Bertrand dan Poirier, 2005
sehingga mengakibatkan fotoinhibisi, berkurangnya konsentrasi klorofil dengan mengganti posisi logam Fe sebagai biosintesis klorofil-a Patsikka et al., 2002,
menghambat beberapa enzim dalam sintesa klorofil yaitu δ-aminolevulinic acid
dan protochlorophyllide Perales-Vela et al., 2007; Manimaran et al., 2011, ALA- dehydratase enzim yang membantu membentuk struktur porphyrin klorofil-a
Fernandes dan Henriques, 1991, dan merangsang produksi ROS yaitu peroxidation yang merusak sintesa pigmen dan membran lemak Fernandes dan
Henriques, 1991; Perales-Vela et al., 2007; Li et al., 2010, rusaknya struktur molekul klorofil dikarenakan posisi atom Mg yang berada di tengah cincin
molekul tergantikan oleh logam Cu dan peran klorofil sebagai perangkat
penangkap cahaya akan terhambat dan akhirnya proses fotosintesis akan terganggu Kupper et al., 1996; Bertrand dan Poirier, 2005.
Dampak yang terlihat pada klorofil-a akibat toksisitas Cu adalah terjadinya chorosis
yaitu pemutihan sebagian talus makroalga. Chorosis adalah tanda dimana tumbuhan mengalami stres akibat kondisi lingkungan yang tidak kondusif
sehingga dapat dijadikan indikator terhadap kondisi lingkungan tersebut Bertrand dan Poirier, 2005; Ayeni et al., 2010.
2.3.3 Struktur Talus
Struktur anatomi talus Gracilaria edulis dengan menggunakan mikroskop cahaya, tampak tersusun oleh 3 bentuk sel. Susunan sel dari luar ke dalam yaitu:
epidermis, kortek cortical, sub kortek sub cortical, dan tengah medula Yamamoto, 1978. Terlihat bahwa susunan sel dari tepi berbentuk kecil
epidermis dan kortek, mulai membesar pada lapisan sel sub kortek dan semakin ke dalam bentuk selnya semakin besar, poligonal sampai agak bulat
disebut sel medula Gambar 2.
. Gambar 2 Penampang melintang 4 dan potongan membujur 5 Gracilaria
edulis ; a Lapisan sel kortek, b lapisan sel sub kortek, c lapisan
sel medula Yamamoto, 1978. Tidak banyak penelitian yang membahas toksisitas logam berat khususnya
tembaga terhadap struktur sel makroalga bila di dilihat menggunakan mikroskop cahaya, namun beberapa penelitian telah membahas permasalahan tersebut.
Tahun 1972 penelitian sitologi yang dilakukan Nuzzi dalam Massalski et al. 1981 menggunakan mikroskop cahaya pada diatom laut Phaeodactylum
tricormutum , terjadi perubahan-perubahan struktur sel akibat terpapar logam
berat merkuri seperti bentuk sel yang berubah menjadi lebih lonjong dan
a
c c
b b
terbentuknya banyak
vakuola. Pada
kondisi yang
sama terjadi
ketidakseimbangan pertumbuhan sel-sel Chlorella sp yaitu berubah menjadi sel raksasa Hal serupa terjadi pada konsentrasi 50 µgL Cu, vakuola besar dan
beberapa vakuola kecil yang berada pada sitoplasma Enteromorpha flexuosa makroalga hijau dipenuhi oleh logam Cu dan terakumulasi di dalamnya
Gambar 3 Andrade et al., 2004. Menurut Andrade et al. 2004 pembentukan vakuola merupakan salah satu proses atau mekanisme dalam meminimalisasi
daya toksik Cu terhadap sel. Salah satu peran vakuola dalam sel adalah sebagai tempat pembuangan produk samping metabolisme yang akan membahayakan
sel itu sendiri jika produk samping ini terakumulasi dalam sitosol Campbell et al., 2002.
Gambar 3 Transmisi elektron mikrograph sel Enteromorpha flexuosa. 1 sel Enteromorpha flexuosa
pada media kontrol, tidak terjadi akumulasi Cu di dalam vakuola tanda panah. 2 sel Enteromorpha flexuosa
pada media 50 µgL Cu, terjadi akumulasi Cu di dalam vakuola besar dan vakuola kecil tanda panah Andrade et al., 2004.
Penelitian yang dilakukan Bouzon et al. 2011 pada Hypnea musciformis makroalga merah bahwa kisaran 50-
100 μM Cd selama 7 hari paparan, percabangan talus dichotomy mulai terhambat pertumbuhannya dan tampak
hanya talus utama yang masih utuh Gambar 4. Pemutihan talus terjadi ketika H. musciformis
terpapar 200- 300 μM Cd Gambar 4. Hal serupa terjadi pada
Lessonia nigrescens makroalga coklat yang terpapar 100 μg L
-1
Cu selama 96 jam, ujung talus makroalga mengalami pemutihan Contreras et al., 2009
Gambar 5. 1
2
2 μm 0,5
μm
Gambar 4 Respon morfologi Hypnea musciformis setelah terpapar Cd selama 7 hari skala 1 cm. A kontol, B 50 μM Cd, C 100 μM Cd, D 200
μM Cd, E 300 μM Cd. Tanda panah menunjukkan degradasi warna pada percabangan talus pada media kontrol hingga terjadi pemutihan
pada media 200- 300 μM Cd Bouzon et al., 2011.
Gambar 5 Pemutihan pada L. nigrescens setelah terpapar Cu selama 96 jam skala 2 cm. Tanda panah dua sebelah kiri menunjukkan L.
nigrescens pada media kontrol dan tanda panah satu sebelah
kanan menunjukkan L. nigrescens pada media 100 μg L
-1
Contreras et al
., 2009. Perubahan lain yang tampak pada Hypnea musciformis setelah terpapar 50
μM Cd secara anatomi tampak kehadiran bakteri endofit pada lapisan epidermis hingga lapisan sel kortek hingga spora endofit pada lapisan mucilage ruang
antar sel kortek. Pada konsentrasi 100 μM Cd, lapisan mucilage H. musciformis mulai tertutupi oleh noda-noda hitam disertai penebalan pada dinding sel kortek
dan sub kortek, memasuki konsentrasi 200 μM Cd, dinding sel kortek mulai terjadi kerusakan, volume sel sub kortek terlihat mengecil keriput disertai ruang
antar sel sub kortek yang menebal dan dipenuhi noda-noda hitam. Jumlah bakteri endofit yang semakin meningkat dan pada konsentrasi 300 μM Cd,
terdapat penggumpalan noda-noda hitam di dalam sitoplasma sel kortek
menandakan Cd sudah masuk ke dalam sel dan terakumulasi pada cairan sitoplasma sel Gambar 6.
Gambar 6 Penampang melintang talus H. Musciformis
setelah terpapar Cd selama 7 hari. A, B, C sel H. Musciformis pada media kontrol.
Tanda panah menunjukkan kehadiran alga endofit diantara sel kortikal CC dan spora endofit pada lapisan mucilage. D sel H.
Musciformis pada media
50 μM Cd. Tanda panah menunjukkan alga endofit. E sel H. Musciformis pada media 100
μM Cd menunjukkan penipisan lapisan mucilage dan penebalan dinding
sel. F sel H. Musciformis pada media 200 μM Cd, dinding sel
rusak dan semakin menipisnya lapisan mucilage disertai meningkatnya jumlah spora endofit. G, H sel H. Musciformis pada
media 300 μM Cd, tanda panah menunjukkan keberadaan logam
Cd terjadi akumulasi pada daerah tersebut. Bouzon et al., 2011.
Munculnya noda-noda hitam pada dinding sel dikarenakan interaksi yang
terjadi antara ion logam berat dengan senyawa-senyawa organik yang ada di dinding sel. Alga merah akan meningkatkan produksi senyawa-senyawa organik
berupa polisakarida sulfonat agar adalah senyawa organik pada jenis Gracilaria ketika logam berat memasuki sel dan mengikatnya serta mengakumulasinya
pada dinding sel Diannelidis dan Delivopoulos, 1997.
2.4 Mekanisme Toksisitas dan Detoksifikasi Tembaga pada Makroalga