TINJAUAN PUSTAKA Peningkatan klorofil plantlet tebu hasil transformasi dengan pemberian putresina

8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Tebu Tanaman tebu Saccharum officinarum dibudidayakan sebagai tanaman komersial pada hampir 60 negara di dunia. Negara penghasil tebu utama adalah Brazil, Cuba, Fiji, India, Indonesia, Mauritius dan Amerika. Tanaman tebu diklasifikasikan ke dalam famili Graminae; kelompok Andropogone; genus: Saccharum . Hanya 3 genus dari 5 genus Saccharum yang dibudidayakan yaitu: 1 S. officinarum yang merupakan penghasil gula utama; 2 S. sinensis, 3 S. barberi, dan wild type terdapat 2 genus yaitu: 4 S. spontaneum, dan 5 S. robustum. Tebu dari genus S. sinensis, S. barberi, dan S. spontaneum memiliki kadar gula sedang hingga rendah Naik 2001. Pusat asal dan perkembangan tebu dunia diduga berada di New Guinea dan pulau-pulau di sekitar Indonesia untuk S. officinarum dan S. robustum; di India sampai ke perbatasan Utara-Timur China dan Myanmar untuk S. spontaneum dan kerabat rerumputan lainnya seperti Erianthus sp., Sclerostachya sp., Narenga sp. dan sebagainya Sugiyarta 1993. Naik 2001 mengemukakan bahwa India adalah asal dari tebu-tebu yang dibudidayakan di Indonesia. Kata ‘sakara’ yang berarti gula berasal dari Bahasa Sansekerta telah ada dalam catatan Budha pada 500 tahun SM. Guna memperoleh genotipe baru dalam program pemuliaan tanaman tebu sangat tergantung pada rekombinasi dan segregasi progeni dari individu heterosigot. Tanaman tebu merupakan allopoliploid dengan n = 5,6,7,8,9 Hetharie 2003. Berdasarkan penelitian para ahli, di India ditemukan tanaman tebu oktoploid 2n = 80 dengan jumlah dasar x = 10 kromosom yang merupakan hasil persilangan tipe liar Sclerostahya fusca dengan Saccharum officinarum. Kultivar tebu modern adalah aneuploids dan memiliki jumlah kromosom 100- 125 dimana 5-10 merupakan hasil persilangan kerabat liar S. spontaneum dan S. officinarum Alexander 1973. Awalnya, kultivar-kultivar dari spesies S. officinarum merupakan kultivar yang banyak digunakan untuk memproduksi sebagian besar gula di dunia. 9 Stevenson pada tahun 1965 menyatakan bahwa sel somatik akar tebu S. officinarum ditemukan sekitar 80 kromosom. Kromosom pada S. robustum terdiri dari 2 tipe yaitu berkromosom 60 dan 80. Sementara tebu-tebu komersial umumnya memiliki jumlah kromosom 80 – 120. Diduga kromosom dasar genus Saccharum adalah 10 Alexander 1973. Total produktivitas gula Indonesia yang berasal dari tebu pada tahun 2002 yaitu 5.01 gula ton ha -1 Pakpahan dan Supriono 2005, dan menurut BPS 2004 produktivitas tebu di Indonesia rata-rata 5.5 gula ton ha -1 . Produktivitas tersebut masih memiliki potensi untuk dapat ditingkatkan menjadi 14.1 ton ha -1 Pakpahan dan Supriono 2005. Penelitian dan pemanfaatan plasma nutfah tebu di Indonesia mulai dilakukan sejak tahun 1888 ketika ledakan serangan penyakit sereh. Kultivar Kasoer yang merupakan hasil persilangan alami S. officinarum dan S. spontaneum yang memiliki keunggulan toleran terhadap penyakit sereh tersebut. Nobilasi tebu-tebu komersial berasal dari S. officinarum dengan S. spontaneum dan atau S. robustum. Sejak tahun 1888 sampai tahun 1960, Indonesia sangat terkenal di dunia dalam pemuliaan tanaman tebu dengan Balai Penelitian Tebu di Pasuruan, Jawa Timur POJ = Proefstation Oost Java. Tahun 1940-1960, klon tebu POJ terkenal di dunia dan dari turunan POJ 2878 tersebut dihasilkan klon tebu Hawai yang terkenal seperti: H32-8650, H32-1063 dan H37-1933. POJ 2878 berupa turunan dari asal silangan S. officinarum dengan S. spontaneum, sedangkan klon- klon tebu Hawai berasal dari silangan POJ 2878 dengan S. robustum Ochse et.al. 1961. Sesudah tahun 1960, keunggulan Indonesia dalam penelitian tebu maupun produksi gula mengalami penurunan. Teknik pemuliaan konvensional telah dikembangkan untuk meningkatkan hasil tanaman dengan menyeleksi kultivar- kultivar yang lebih produktif dan tahan terhadap beberapa penyakit. Pemuliaan konvensional memiliki beberapa kelemahan, diantaranya di dalam populasi tanaman yang dinyatakan unggul ternyata tidak semuanya seperti yang diharapkan. Tebu cv. PS 851 merupakan salah satu varietas yang menonjol dari beberapa varietas yang telah dilepas tahun 1998 dan menunjukkan rendemen yang tertinggi di Jawa pada 3 musim tanam terakhir. Kelemahan dari cv. PS 851 di 10 lapangan mulai terlihat dan produktivitasnya mulai menurun. Hal ini tampak dari keragaan pada pertanaman keprasan kurang baik dan peka terhadap penyakit luka api sehingga hasil tebunya menurun tajam. Keragaan tanaman tampak nyata menurun apabila mengalami kekurangan air. Oleh karena itu perlu dicarikan suatu kultivar pengganti mempunyai potensi rendemen yang setara namun dapat mengatasi kelemahan cv. PS 851 Budhisantosa et al. 2007. Tebu cv. Triton memiliki sifat ketahanan yang intermediet terhadap penyakit daun hangus yang disebabkan oleh cendawan Stagnospora saccari Irawan 1990. Hasil tebu cv. Triton pada tahun pertama adalah 117 ton ha -1 ; dengan rendemen 7.04 ; dan merupakan kultivar yang diintroduksi dari Australia Subarkat et al. 1988. Kultivar tebu yang ditanam di Indonesia rata- rata memiliki rendemen 6.4 Basuki 2000. Tebu cv. PSJT 94-41 merupakan klon tebu harapan koleksi dari P3GI hasil persilangan pada tahun 1994, klon nomor 41 dan belum dirilis. Klon ini adalah turunan dari BT 1323 yang merupakan hasil perilangan dari PS 56 dengan BT 809 Hermono, komunikasi pribadi 3 Desember 2007. Tebu cv. PA 175 merupakan klon tebu koleksi dari Puslit Agro P.T. Rajawali II, Cirebon. Deskripsi dan morfologi varietas tebu yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 4. Kultur Jaringan Tebu dan Poliamina Kultur jaringan tebu Teknik perbanyakan in vitro untuk pengadaan bahan tanaman perkebunan mempunyai beberapa keunggulan yaitu adanya perbaikan mutu genetis, fisiologis, dan kemurnian yang cukup tinggi. Budidaya tebu menghendaki pengadaan benih yang bebas hama dan penyakit untuk menghindari degradasi klonal yang disebabkan oleh sistem keprasan berulang. Benih yang bermutu serta bebas hama dan penyakit tersebut dapat diperoleh melalui teknik kultur jaringan. Keuntungan lain dari kultur jaringan yaitu dapat dilakukan seleksi terhadap sifat-sifat tanaman yang dikehendaki secara dini. Selain itu, kondisi lingkungan tempat tumbuh individu mini tersebut dapat dikontrol sesuai dengan keperluan Haris dan Mathius 1995. 11 Zat Pengatur Tumbuh ZPT seperti auksin dan sitokinin memegang peranan yang sangat menonjol dalam perbanyakan tanaman secara in vitro. Auksin berperan dalam mendorong perpanjangan sel, pembelahan sel, diferensiasi jaringan xilem dan floem, pembentukan akar adventif, dan dominansi apikal. Peran fisiologis sitokinin adalah mendorong pembelahan sel, morfogenesis, pertunasan, pembentukan kloroplas, pematahan dormansi, pembentukan stomata, menghambat senesence dan absisi Tim Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman 1991; Gunawan 1987; dan Pierik 1987. Perimbangan auksin dan sitokinin pada eksplan akan menentukan jenis organ yang terbentuk. Bila nisbah auksin dan sitokinin tinggi, maka organ akar yang terbentuk; sedangkan bila sebaliknya maka tunas yang akan terbentuk. Peranan penting auksin dan sitokinin adalah untuk memprogram kembali sel somatik yang akan menentukan tahap dediferensiasi selanjutnya. Pemprograman ulang menyebabkan dediferensiasi dan rediferensiasi menuju perkembangan lintasan baru. Rediferensiasi menghasilkan sel-sel meristem yang akan berkembang menjadi sel embriogenik dan embrio somatik Gaba 2005. Regenerasi melalui embrio somatik memberikan keuntungan: 1 waktu perbanyakan cepat; 2 pencapaian hasil dalam mendukung program perbaikan tanaman lebih cepat; dan 3 jumlah bibit yang dihasilkan tidak terbatas jumlahnya Mariska 1996. Pembentukan embriogenesis somatik dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: formulasi media yang berbeda pada setiap perkembangan embrio somatik serta jenis eksplan yang digunakan. Penginduksi kalus tanaman tebu dapat dilakukan dengan menambahkan 3 mg l -1 2,4 D ke dalam media MS, dan kalus yang dihasilkan secara morfologi menghasilkan 2 tipe kalus. Tipe kalus yang pertama adalah tipe A yang memiliki ciri warna putih kekuningan, kompak, kering dan nodular; dan tipe kalus kedua yaitu tipe B yang memiliki penampakan ‘globular’ yang agak putih, tidak kompak dan basah Khatri et al. 2002. Kalus-kalus tersebut bisa diinduksi dari eksplan pucuk, jaringan daun dan bunga tebu yang akan terbentuk 1 bulan setelah pemberian auksin 2.4 D Alexander 1973. Inisiasi tunas dan akar pada kultur tebu dapat dilakukan dengan secara berurutan biasanya inisiasi tunas dulu, kemudian dipindahkan pada media inisiasi 12 akar atau secara bersamaan menambahkan auksin dan sitokinin pada media yang sama untuk merangsang inisiasi tunas dan akar secara bersamaan. Kelemahan penginduksian tunas dan akar pada media yang sama yaitu tunas dan akar yang terbentuk bisa saja tidak merupakan satu kesatuan plantlet. Penginduksian tunas dan akar tidak pada media yang sama akan menghasilkan tunas dan akar yang lengkap sebagai suatu kesatuan plantlet. Gallo-Meagher 2000 meregenerasikan tunas tanaman tebu dari kalus dengan menggunakan thidiazuron TDZ dalam media MS dengan kombinasi 2.3 μM 2,4-D, atau 9.3 μM kinetin dan 22.3 μM NAA dan dibandingkan dengan perlakuan pada media MS lainnya tetapi diberi tambahan 0.5, 1.0, 2.5, 5.0 atau 10.0 μM TDZ. Pemberian TDZ ternyata lebih cepat dalam merangsang pembentukan tunas dibandingkan dengan kinetin atau NAA. Penelitian lain yang dilakukan oleh Khatri et al. 2002, yaitu dengan menginduksi tunas tanaman tebu melalui pemberian 2 mg l -1 IBA + 2 mg l -1 IAA dan 2 mg l -1 kinetin pada media MS. Regenerasi dimulai dengan tampaknya titik hijau dari kalus setelah seminggu dalam media regenerasi dan umumnya menghasilkan batang dan daun yang normal. Guna menginduksi pembentukan akar, Gallo-Meagher 2000 menambahkan 19.7 μM indole-3-butyric acid IBA ke dalam media. Sementara, Khatri et al. 2002 melakukan penelitian dengan menggunakan media MS yang ditambahkan IBA 1 mg l -1 dan sukrosa 6 untuk menginduksi perakaran pada tebu. Baksha et al. 2002 menginduksi pembentukan akar pada tanaman tebu dengan menggunakan ½ MS yang ditambahkan 5.0 mg l -1 NAA, IBA and IAA. Regenerasi eksplan tanaman yang ditransformasi gen fitase selama ini menghasilkan plantlet yang albino putih atau hijau muda. Regenerasi kalus transforman tebu yang dilakukan oleh Pesik 2005 pada kultivar PSJT 9443 dengan menggunakan media R4 yang diberi IAA 1 mg l -1 dan Dalapon 61 mg l -1 dapat menginduksi pertumbuhan tunas dan daun transforman, namun pertumbuhan albino masih terjadi. 13 Poliamina Poliamina yang biasanya terdapat dalam tumbuhan adalah diamin- putresina, triamin-spermidina dan tetramin-spermina merupakan zat pengatur tumbuh yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman; misalnya pada kultur jaringan wortel dan antera jagung, poliamina berperan dalam menginduksi embrio somatik Dewi 2003. Terdapat 2 lintasan dalam biosintesis putresina yaitu melalui ODC ornithine dekarboksilase dan ADC arginin dekarboksilase. Adapun bagan biosintesis poliamina, metabolisme, fungsi dan interaksi dengan etilen dapat dilihat pada Gambar 2. Citruline Gramnithine Agmatine ADC Arginin ODC Putrescine Spermidine Spermine Fungsi Perkembangan tunas Menghambat produksi etilen Pertumbuhan dan Glutamat N-Carbonyl-putresci ne Pyrroli ne Succi nate dSAM Di nopropane ami Amino propyl propane SAM MTA Methionin ACC diferensiasi sel N malonyl ACC Etilen MACC Fungsi Menghambat produksi poliamin Absisi Si ntesis Pemasakan buah Perkecambahan Pembungaan Menghambat senesens Menghambat degradasi klorofil dan albinosisasi In vitro tuberization In vitro flowering Memacu degradasi klorofil dan albinosisasi Gambar 2 . Biosintesis poliamina, metabolisme, fungsi dan interaksi dengan etilen. Disusun dari Smith 1990 dan Appelboun 1990 hasil modifikasi oleh Wattimena. 14 Sepertinya, lintasan ADC lebih sering berperan dalam pembentukan putresina dalam kondisi cekaman. Sebagai contoh: pada kalus jagung turunan putresina dari arginin ditemukan dalam fraksi konjugasi larutan asam, sedangkan ODC tampak aktif dalam biosintesis hydroxycinnamoyl amida pada kalus tembakau. Tahap awal perkembangan putresina bebas umumnya diturunkan melalui ADC, kemudian ODC terlibat pada tahap berikutnya Smith 1990. Menurut Setijorini et al. 2001, poliamina mampu mencegah degradasi klorofil dan sebagai senyawa kompetitor dalam biosintesis etilen. Sintesis poliamina akan mampu menekan sintesis etilen karena adanya persaingan dalam pemakaian substrat yang sama yaitu: S-adenosilmetionin SAM. Poliamina juga menghambat aktivitas enzim 1-aminosiklopropana-1-asam karboksilat ACC sintase yang mengkatalisis perubahan SAM ke ACC dan enzim ACC oksidase yang mengkatalisis konversi ACC ke etilen Smith 1990. Sumber kelompok propylamino untuk biosiontesis poliamin yaitu SAM merupakan prekusor dari ACC yang merupakan sumber penting pembentukan etilen. Kedua komponen tersebut poliamin dan etilen bersifat antagonis. Poliamin akan memacu pertumbuhan dan menghambat senesens, sedangkan etilen merupakan horman yang memicu senesens Altman 1989, Galston dan Kaur- Sawhney 1987; Wattimena 1988. Dewi 2003 menyatakan bahwa putresina mampu meningkatkan kalus dan regenerasi kultur anther padi secara efisien dibanding pemberian spermidina atau spermina. Pemberian 10 -3 M putresina pada media induksi kalus dan regenersi akan meningkatkan androgenesis pada antera padi sub spesies indica. Purwoko et al. 2000 melaporkan bahwa penambahan putresina 10 -3 M pada media induksi kalus dan regenerasi yang digunakan dalam kultur antera padi memberikan hasil induksi kalus dan regenerasi yang lebih baik. Hal sejalan juga dilakukan oleh Hanarida et al. 2002 yang menginduksi pembentukan kalus dan melakukan regenerasi kultur antera pada silangan padi tipe baru. Santos et al. 1996 menyatakan pula bahwa poliamina berperan dalam morfogenesis polen jagung pada teknik in-vitro, sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan mikrospora serta regenerasi tanaman. 15 Poliamina mempengaruhi diferensiasi sel dan morfologi pada tumbuhan. Poliamina fungsinya berlawanan dengan etilen, yaitu menghambat senesens pada jaringan tanaman tetapi tidak mempengaruhi respirasi. Poliamina berperan dalam pembelahan sel, embriogenesis pada kultur in vitro, inisiasi akar, pembentukan tunas, inisiasi bunga, pembentukan dan pemasakan buah, respon terhadap stres dan meningkatkan kompleks poliribosome. Selain itu, poliamina juga berperan dalam sintesis protein pada beberapa organisme dan mendorong pembentukan klorofil serta bersinergi dengan auksin Wattimena 2002. Peranan P pada pertumbuhan tanaman Unsur P merupakan unsur esensial untuk setiap sel hidup, karena secara langsung terlibat dalam sebagian besar proses-proses metabolisma. Fungsi P adalah sebagai komponen penyusun struktur molekul asam nukleat DNA, RNA, gula fosfat metabolisme intermediet tanaman, nukleotida ATP, CTP, UTP, GTP,TTP, koenzim, fosfolipid membran sel. Umumnya, Pi dalam banyak reaksi merupakan substrat dan atau produk yang dihasilkan. Pi mengontrol beberapa reaksi enzim, serta penting dalam lintasan metabolik di sitoplasma dan kloroplas Marschner 1995. Peranan P dalam tanaman adalah: 1 dalam pembentukan bunga, buah dan biji, 2 pembelahan sel, pembentukan lemak dan albumin, 3 kematangan tanaman dan mengimbangi pengaruh N, 4 perkembangan akar halus dan akar rambut, 5 memperkuat tanaman sehingga tidak mudah rebah, 6 meningkatkan kualitas tanaman terutama pada rumputan dan sayuran, 7 meningkatkan ketahanan terhadap penyakit Soepardi 1979. Fosfor P bersama N, K digolongkan sebagai unsur-unsur utama walau P diadsorbsi lebih kecil dari N dan K. Fosfor berperan dalam pemecahan karbohidrat, protein dan lemak. Pembelahan sel serta pembentukan ATP dan ADP yang berenergi tinggi sehingga dapat merangsang pertumbuhan tanaman. P berperan dalam pembelahan sel melalui nukleoprotein yang ada dalam inti sel, meneruskan sifat-sifat kebakaan dari generasi ke generasi melalui peranan DNA dan mempengaruhi perkembangan akar khususnya akar lateral dan akar berserabut. Tanpa P proses-proses ini tidak dapat berlangsung Leiwakabessy dan 16 Sutandi, 1999. Ketersediaan suatu unsur hara dengan unsur hara lainnya akan saling mempengaruhi, sebagai contoh: di dalam tanah hara P dapat difiksasi oleh Al di dalam larutan tanah sehingga menjadi bentuk tidak tersedia di dalam jaringan sehingga tanaman mengalami defisiensi P. Fosfor terdapat dalam sebagian besar tubuh tanaman dalam konsentrasi 0.1 – 0.4 . Tanaman mengabsorbsi P dalam bentuk ion ortofosfat primer H 2 PO 4 - ; H 2 PO 4 2- ; PO 4 3- . Bentuk ion H 2 PO 4 - diserap paling banyak oleh tanaman karena memiliki kelarutan yang paling tinggi sehingga menyebabkan fosfor menjadi tersedia bagi tanaman. Kekurangan P akan menghasilkan tanaman yang berukuran kecil-kecil, tulang daun menjadi ungu dan tepi daun menjadi hijau kelabu Hidayat 2005. Tanaman jenis rumput-rumputan yang mengalami defisiensi P akan memiliki pertumbuhan anakan yang terhambat, daun pendek dan kecil dengan warna daun hijau tua, klorosis pada tulang daun, daun muda akan nampak sehat dibanding daun tua yang akan berwarna coklat pada bagian bawah atau ujung daun; daun berwarna kemerahan atau ungu pada varietas yang mengandung antosianin Leiwakbessy dan Sutandi, 1999. Fitat dan Fitase Mineral nutrisi dalam biji umumnya disimpan dalam bentuk fitat. Kandungan fitat dari total berat kering pada biji tanaman mencapai 1-8 , dan dari 1-8 fitat tersebut 90 merupakan bentuk fosfor. Selain itu, Mg 2+ , K + , Ca 2+ , Mn 2+ , Ba 2+ , dan Fe 2+ juga berasosiasi dengan kelompok fosfat membentuk fitat. Adapun struktur dari fitat dapat dilihat pada Gambar 3. Lintasan biosintetik fitat belum sepenuhnya diketahui Gambar 4. Buchanan et al. 2006 menyatakan bahwa terdapat dugaan fitat disintesis pada retikulum endoplasma kasar rough ER dan diakumulasi dalam lumen tilakoid. Kemudian fitat ditransportasi oleh badan golgi menuju vakuola Gambar 5. 17 O O P P O O OH OH O O P O OH O O P P O OH O O OH O O P O O O OH P O H H H H H H Gambar 3 Struktur fitat Glick dan Pasternak 2003. myo -inositol mI myo -inositol phosphatase -1- -1- -inositol myo phosphatse synthase Glukosa 6-P -1-P -inositol myo Pi ATP myo -inositol kinase ADP mI 1,3,4,5,6-P5 IP5 mI P3 1 2 3 ATP ADP 2 ATP ADP X ? ? ? Phosphoinositol kinase mI-P-X mI P6-X ATP ADP ? 5 5 2 myo -inositol hexaphosphoric acid phytic acid ATP ADP ? IP5 kinase Chelation with cation Phytate 3 3 ? X ATP ADP Gambar 4 Lintasan biosintesis fitat Buchanan et al. 2006 18 Gambar 5 Skema sintesis dan penyimpanan fitin dalam protein bodies pada endosperm kacang castor. Fitin dilepaskan dalam vesicles 1,2 dari ER menuju vacuolaprotein body, kemudian bergabung dengan membran 3,4. Fitin dilepaskan menuju vacuolaprotein body 5 dimana akan bergabung membentuk globoid Buchanan 2006. P O3H2O P O3H2O OP O3H2 OP O 3 H 2 OP O3H2 OP O3H2 OH OP O3H2 OH OP O3H2 P O3H2O P O3H2O Fitase HO P O3H2O OP O3H2 OH OH OH P O3H2O OP O3H2 OH OP O3H2 OH OH P O3H2O P O3H2O OP O3H2 OP O3H2 OP O 3 H 2 OH OH OH OH OP O 3 H 2 HO HO HO HO OH OH OH OH Fitase Fitase Fitase Fitase Fitase Gambar 6. Urutan reaksi fitase dengan substrat myo-inositol hexakisphosphate. 19 Asam fitat atau myo-inositol 1,2,3,4,5,6 hexakisphosphate dihidrogen fosfat mempunyai kemampuan untuk mengikat kation-kation multivalen seperti kalsium, besi, seng dan sebagainya dalam suatu kompleks yang tidak larut membentuk garam-garam fitat seperti Na 2 Mg 5 -fitat, K 2 Mg 5 -fitat atau CaMg 5 -fitat fitin. Fitin dalam tanah bertabiat fosfat an organik membentuk besi, aluminium dan kalsium fitat. Dalam tanah asam, fitat berubah menjadi tidak larut, dan tidak tersedia karena bereaksi dengan besi P Al. Dalam keadaan alkalin kalsium fitat diendapkan dan fofor yang dikandung berubah menjadi tidak teredia Buckman dan Brady 1982. Adapun skema sintesis dan penyimpanan fitin dalam protein bodies pada endosperm kacang castor dapat dilihat pada Gambar 5. Fitat sangat berperan dalam penurunan jumlah kation multivalen seperti Ca 2+ , Mg 2+ , Zn 2+ , dan Fe 3+ . Asam fitat juga terikat dengan beberapa mineral dan protein sehingga membentuk suatu kompleks suatu fitat-protein-mineral yang sukar larut yang mengakibatkan ketersediaan biologis mineral-mineral tersebut rendah Graf 1983; Indarwati 2000. Fitat inositolhexakisphosphate, IP6 merupakan sumber fosfat dalam tanaman yang mencapai lebih dari 80 dari total fosfor pada tanaman sereal dan legum Keruvuo et al. 2000. Fitat diduga terkait dengan penyimpanan energi dan inisiasi dorman pada benih Hulke et al. 2004. Sintesis fitat berlangsung saat pengisian biji dan berhenti saat fase awal perkecambahan, namun peranannya pada jaringan tanaman non reproduksi belum jelas. Hidrolisis phosphomonoester berkaitan dengan metabolisme energi dan regulasi metabolik serta lintasan sinyal transduksi pada tingkat sel. Hidrolisis phosphomonoester dikatalisis oleh grup enzim yang beragam yang termasuk dalam kelompok enzim phosphatase. Enzim tersebut dapat diklasifikasikan antara lain: alkaline phosphatase, purple acid phosphatases, high molecular acid phosphatases, low molecular acid phosphatases, dan protein phosphatase. Tetapi kelompok enzim ini tidak dapat menghidrolisis phosphomonodiester pada asam fitat. Kelas enzim spesifik yang dapat menghidrolisa asam fitat adalah fitase Keruvuo, et al. 2000; Greiner 2005. Fitase myo-inositol hexakisphosphate phosphohydrolase merupakan enzim yang berfungsi menghidrolisis asam fitat myo-inositol 20 hexakisphosphateInsP 6 menghasilkan ortofotat dan myo-inositol pentakisphosphate Konietzny dan Greiner 2002, bahkan pada kondisi-kondisi tertentu menjadi fosfat dan myo-inositol bebas dan dapat menghilangkan sifat pengkhelat dari asam fitat dan melepaskan P i Keruvuo et al. 2000. Gambar 6 menunjukkan sekuen reaksi fitase dengan substrat myo-inositol hexakisphosphate menurut Courtis dan Josef Cosgrove 1980. Menurut IUPAC-IUB terdapat 2 jenis enzim fitase: a yang mengkatalis reaksi myo-inositol hexakisphosphate + H 2 O adalah 3 fitase EC.3.1.3.8 → myo-inositol-1,2,4,5,6-pentakisphosphate+ Pi b yang mengkatalis reaksi myo-inositol hexakisphosphate + H 2 O adalah 6-fitase EC 3.1.3.26 → myo-inositol-1,2,3,5,- pentakisphosphate + Pi Jenis 3-fitase umumnya terdapat pada mikrob, sedangkan 6-fitase umum terdapat pada biji-bijian, meskipun demikian dilaporkan bahwa E. coli mampu memproduksi 6-fitase Grainer et al. 1993 Fitase pada akar berperan dalam pemanfaatan fitat dalam tanah yang baru terbentuk. Lokasi fitase pada akar terdapat pada endodermis akar utama Hubel dan Beck, 1996. Beberapa jenis tanaman yang diketahui dapat menghasilkan fitase adalah kacang hijau, kedelai, gandum, padi, dan lain-lain. Fitase juga dapat ditemukan pada bagian benih atau biji tanaman serealia dan leguminosa, Kyriakidis et al. 1998. Wilcox et al. 2000 berhasil mengembangkan galur mutan kedelai low phytate yang mengandung fitat 1.9 gkg dan P inorganik 3.1 gkg dibandingkan dengan kedelai wild type yang mengandung fitat ± 4,3 gkg dan P inorganik 0.7 gkg. Olthmans et al. 2004 mengemukakan bahwa pada persilangan kedelai antara galur yang memiliki fitat rendah dengan normal fitat wild type menunjukkan pewarisan alel wild type yang dominan penuh dan tidak ada efek maternal. Selanjutnya, sifat fitat yang rendah dikontrol oleh alel resesif ’pha1 dan pha2’ pada dua lokus independent yang menunjukkan duplikat dominan epistasis, dimana untuk mengekspresikan fitat yang rendah alelnya harus resesif homozigot. Menurut Santosa et al. 2002b apabila gen fitase dapat ditransformasikan dan terekspresi dalam tanaman tebu, maka gen ini akan menghasilkan enzim yang dapat mengubah senyawa fitat yang akan dihidrolisis menjadi ester yang berfosfat 21 rendah dan melepaskan P organik sehingga dapat meningkatkan fotosintesis dan metabolisme tanaman tebu. Hasil fotosintesis ini diharapkan akan disimpan menjadi gula tebu. Berdasarkan hasil penelitian Richardson et al. 2001, tanaman Arabidopsis wild type yang ditumbuhkan dalam media fitat memiliki kemampuan yang rendah dalam menggunakan fitat sebagai sumber nutrisi. Lain halnya dengan tanaman transgenik Arabidopsis yang telah disisipi gen fitase dari cendawan dibawah kendali konstitutif promotor 35 S CaMV yang dapat melepaskan P dari fitat pada media agar steril. Ekspresi fitase tergantung pada pH media dan sumber C alami yang digunakan Konietz dan Greiner 2004. Fitat diperlukan untuk menginduksi aktivitas fitase. Seperti yang telah dilaporkan Greiner 2005 pada E. coli, induksi fitase secara signifikan dipengaruhi oleh kehadiran myo-inositol sebagai sumber C. Selain itu, kehadiran gula sederhana dapat menjadi strong repression dalam sintesis enzim fitase. Plasmid dan Konstruksi gene cassette Konstruksi gene cassette pBinPI-IIEC dan pBinI-ECS yang diintroduksikan ke dalam Agrobacterium tumefaciens GV 2260 telah berhasil dikerjakan pada penelitian sebelumnya Santosa et al. 2005. Konstruksi gene cassette pBinPI-IIEC dapat dilihat pada Gambar 7. Plasmid p BinPI-IIEC ini memiliki beberapa kelebihan diantaranya jumlah salinan dalam E. coli besar, mempunyai ORI sehingga plasmid dapat bereplikasi pada E. coli dan Agrobacterium serta membawa nptII yang menyandikan enzim neomycin phosfotransferase pembawa resistensi terhadap antibiotik golong aminoglikosida. Gen nptII berintegrasi dan mengendalikan sintesis enzim neomysin phosphotransferase yang menyebabkan sel resisten terhadap antibiotik kanamisin Brown 1996; Ananda 2004; Santosa et al. 2004a. 22 Gene cassette pBinPI-IIEC pBinPI-IIEC Keterangan: CaMV 35 S = Caulimozaic virus derived SP = Proteinase inhibitor II signal peptide OCS = Enhancer Gambar 7 Konstruksi plasmid dan gene cassette pBinPI-IIEC Santosa et al. 2005 Terdapat 2 jenis vektor plasmid tempat T-DNA dan gen yang dipakai dalam rekayasa genetika tanaman dengan bantuan Agrobacterium, yaitu: 1 Vektor kointegrasi: T-DNA pembawa gen yang akan ditransfer dan faktor virulensi berada pada satu plasmid yang sama. 2 Vektor biner: gen yang akan ditransfer ada pada plasmid biner, dan faktor virulensi berada pada plasmid lain, yaitu Ti atau Ri plasmid non disharmed dengan oncogene atau Ti atau Ri plasmid disharmed tanpa oncogene. Vektor kointegrasi biasanya sulit untuk direkayasa namun memiliki kelebihan, yaitu: plasmidnya lebih stabil dalam Agrobacterium. Vektor binner mudah untuk direkayasa dan diintroduksi namun plasmidnya kurang stabil dalam Promoter Phy gene appA of E. coli ECL03375 OCS npt II SP EcoR1 Asp718 BamH1BglII SalI HindIII 23 Agrobacterium, bila tanpa ada penanda selektif pada plasmidnya. Plasmid binner mempunyai ORI yang kompatibel dengan Agrobacterium sehingga memungkinkan plasmid ini mengganda dalam Agrobacterium Klee et al. 1986. Transformasi gen Beberapa teknik yang sering digunakan untuk menyisipkan DNA ke dalam sel adalah transformasi dengan Agrobacterium tumefaciens, elektroforasi, biolistik, serat silikon, makro dan mikro injeksi, dan sonifikasi. Terdapat hambatan dalam melakukan transformasi secara fisik karena adanya dinding sel dan membran plasma. Hambatan tersebut dapat diatasi dengan penggunaan bahan kimia atau fisik. Efisiensi dari masing-masing teknik transformasi adalah berbeda. Namun dalam semua teknik transformasi akan menempatkan transgen di bawah kendali promoter yang sifatnya konstitutif atau yang bisa terekspresi pada organ- organ spesifik Skinner et al. 2004. Kelebihan sistem transformasi melalui A. tumefaciens dibandingkan dengan cara lain secara langsung misal: gene gun yaitu, single bacterium dapat memindahkan banyak T-strand, baik dari plasmid binner maupun kointegrasi Ebinuma et al. 2001. Selain itu, transformasi melalui A. tumefaciens hanya mengintroduksi sejumlah kecil kopi dari gen asing dengan efisiensi kestabilan transformasi yang lebih baik bila dibandingkan dengan particle bombartment ataupun secara elektroforasi. Metode transformasi dengan mediasi A. tumefaciens lebih sederhana, murah dan mudah diterapkan dalam rekayasa genetika tanaman Skinner et al. 2004. A. tumefaciens adalah bakteri aerob obligat yang merupakan jenis gram negatif yang hidup alami di tanah dan menyebabkan timbulnya penyakit crown gall pada tanaman dikotil. Kemampuan untuk menyebabkan penyakit ini ada hubungannya dengan gen penginduksi tumor tumor inducingTi dalam sel bakteri tersebut Sheng dan Citovsky 1996; Hiei et al. 1997. Bila menggunakan metoda transformasi melalui A. tumefaciens, gen-gen baru secara normal akan bergabung dalam genom inti Skinner et al. 2004. Di inti, DNA tersisipi secara acak dengan potensi penyisipan yang berbeda yang dapat saja terjadi pada inti yang sama. Penyisipan ini terjadi dalam urutan berpasangan dan dapat mengganggu DNA inti Nasir 2001. 24 Terdapat tiga komponen utama pada Agrobacterium yang berperan dalam transfer DNA ke dalam sel tanaman yaitu: 1 T-DNA; 2 gen virulensi; dan 3 gen-gen penghasil protein yang terdapat pada kromosom Agrobacterium Sheng dan Citovsky 1996. T-DNA, yaitu fragmen yang ditransfer ke sel tanaman. Ukuran T-DNA berkisar 10-20 bp atau sekitar 5 – 10 dari ukuran Ti plasmid Zambrysky et al. 1989. T-DNA berisi dua tipe gen yaitu oncogene menyandi enzim yang terlibat dalam aktivitas sintesis auksin dan sitokinin, serta menyebabkan pembentukan tumor dan gen yang menyandi sintesis opin. Asam amino dan gula disintesis dan diekresikan melalui sel tumor dan dikonsumsi oleh A. tumefaciens sebagai sumber karbon dan nitrogen Riva 1999. Daerah virulence vir pada Agrobacterium berukuran 30 kb yang berada pada plasmid Ti dan Ri dengan posisi bersebelahan dengan batas kiri left border T-DNA. Daerah virulence terdiri dari 6 lokus yaitu: virA, virB, virD, virG, virC, dan virE. Gen virA, virB, virD, virG mutlak diperlukan dalam proses transformasi. Jika ada inducer seperti monosiklik fenolik acetosyringone, dan monosakarida seperti glukosa dan galaktosa, maka virA dan virG akan terekspresi, sehingga mampu mengaktifkan operon vir lain. Kondisi pH optimum untuk gen vir berkisar antara 5-5,8 Hiei et al, 1997. Gen virC, dan virE diperlukan untuk meningkatkan efisiensi transformasi walau tidak mutlak diperlukan. Produk dari berbagai gen vir berfungsi sebagai trans dalam proses transfer DNA Stachel dan Zambrysky, 1986. Kontrol ekspresi gen dimediasi oleh protein virA dan virG yang merupakan komponen regulatory system Zupan dan Zambrasky 1995. Senyawa fenolik saat kokultivasi mampu mengaktifkan gen vir pada Ti plasmid. Permasalahannya, senyawa fenolik jarang terjadi pada tanaman monokotil, sehingga perlu penambahan acetosyringone. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Mulyaningsih 2001, dengan menambahkan acetosyringone 0,1 M saat kokultivasi tanaman padi. Selain dengan penambahan acetosyringone, optimasi kokultivasi dilakukan dengan penambahan monosakarida, pengaturan suhu 22-28 o C, serta pengaturan pH. Gen chromosomal virulence chv terdiri dari chvA, chvB, pscA atau exoC dan att. Gen-gen tersebut terletak di kromosom Agrobacterium dan 25 berfungsi untuk pelekatan bakteri ke dalam sel tanaman dengan membentuk senyawa protein β-1,2-glukan. Berdasarkan sifat alamiah Agrobacterium tersebut, telah diupayakan pemindahan gen komersial ke tanaman monokotil dengan cara menyisipkan gen tersebut ke daerah T-DNA. Kemajuan penting dalam efisiensi transformasi juga telah diperoleh melalui penggunaan acetosyringone, pelukaan jaringan target yang sesuai, dan perbaikan sistem seleksi kanamisin Pardal 2002. Transformasi gen fitase pada jaringan embriogenik melalui Agrobacterium tumafaciens akan memudahkan integrasi gen yang dikehendaki ke dalam tanaman. Santosa et al. 2004b melakukan transformasi dengan Agrobacterium GV 2260 terhadap jaringan meristem dan kalus tebu yang diberikan antioksidan untuk menghindari proses nekrotik. Setelah melalui penelitian lebih lanjut, akhirnya Santosa et al. 2004 dapat mengembangkan teknik transformasi melalui kalus yang memiliki persentase keberhasilan pembentukan chimeric phytase gene yang tinggi pada kultivar PSJT 94-33 mencapai 100 . Kemudian penelitian tersebut dilanjutkan oleh Wulandari 2005 yang melakukan pengujian beberapa metode transformasi pada tebu. Pengujian tersebut menggunakan metode Santosa et al. 2004 dan metode modifikasi yang dapat menghasilkan persentase keberhasilan transforman 80 yang lebih baik dibandingkan metode transformasi Enriquez Obregon 0 karena jaringan rusak dan metode Minarsih 50 . Penyisipan gen fitase dengan menggunakan Agrobacterium tumefaciens GV2260 pBinPI-IIEC ke dalam genom tanaman tebu telah berhasil dilakukan oleh Ananda 2004 pada cv. PSJT 94-33 dan cv. BR 194; serta oleh Nurhasanah 2007 pada cv. PS 851 yang dapat dideteksi dengan PCR pita ukuran 900 bp. Selanjutnya penyisipan gen fitase dengan pBin1-ECS melalui A.tumefaciens GV 2260 dapat berhasil dilakukan pada tebu cv. PSJT 9443, cv. PA 183 dan cv. Triton oleh Wulandari 2005 yang berdasarkan analisis PCR berukuran 900 bp; serta Hayatyzul 2007 pada kultivar cv. PA 183 dan cv. CB 6979. Analisis PCR Keberadaan suatu gen dapat dideteksi melalui metode molekuler seperti: PCR = Polymerase Chain Reaction. PCR memungkinkan analisis sampel dalam 26 jumlah banyak dalam waktu singkat. Setelah integrasi gen dikonfirmasi, tahap berikutnya adalah analisis ekspresi gen yang telah dapat dimulai selama proses kultur jaringan Poerwanto 1993. Karry Mullis mengemukakan konsep PCR pada tahun 1983 dan mempublikasi tentang PCR pada tahun 1985, dan mendapatkan Nobel dalam bidang kimia pada tahun 1993 Viljoen et al. 2005. PCR yang dapat mengontrol dan menggandakan jumlah DNA secara logaritma. Keberhasilan PCR tergantung kecocokan komplemen dari basa nukleotida pada double stranded DNA helix . Ketika molekul DNA dipanaskan, ikatan hidrogen terlepas dan molekul DNA terpisah menjadi single strand. Jika pada larutan DNA suhu diturunkan, maka komplemen basa dapat kembali membentuk original double helix . Dalam hal penggunaan PCR, maka perlu diketahui sekuen yang mengapit area target yang diinginkan untuk digandakan, sehingga PCR dapat mengamplifikasi sekuen yang diinginkan. PCR didasarkan pada amplifikasi enzimatik fragmen DNA dengan menggunakan dua oligonukleotida primer yang komplementer ujung 5’ dari dua untaian sekuen target. Oligonukleotida ini digunakan sebagai primer primer PCR untuk memungkinkan DNA template dikopi oleh DNA polimerase. Untuk mendukung terjadinya annealing primer pada template pertama kali diperlukan untuk memisahkan untaian DNA substrat melalui pemanasan. Suhu reaksi selanjutnya diturunkan untuk membiarkan terjadinya perpasangan sekuen dan akhirnya reaksi polimerasi dilakukan oleh DNA polimerase untuk membentuk untaian komplementer. Proses ini dikenal dengan siklus PCR Nasir 2001. Keuntungan penggunaan PCR, antara lain: lebih cepat, DNA yang dibutuhkan dalam jumlah yang sangat sedikit, dapat dilakukan pada tahap awal dan teknik isolasi DNA yang sederhana. PCR sangat sensitif, karena satu single molekul DNA dapat digandakan dan dilihat sebagai pita yang jelas pada elektroforesis gel agarose. PCR cepat dalam menggandakan atau memperbanyak urutan DNA spesifik secara in vitro dengan memanfaatkan cara replikasi DNA dengan bantuan enzim polimerase dan perubahan sifat fisik DNA terhadap suhu. Teknik PCR digunakan untuk menghasilkan sejumlah besar gen kopi tunggal dari DNA genomik. Glick dan Pasternak 2003; Poerwanto 1993.

BAB III REGENERASI TEBU SECARA IN VITRO ABSTRAK