Penyisipan Gen Titase Pada Genome Beberapa Kultivar Tebu, Regenerasi, Ekspresi Dan Aklimatisasi

(1)

PENYISIPAN GEN FITASE PADA GENOME BEBERAPA

KULTIVAR TEBU, REGENERASI, EKSPRESI DAN

AKLIMATISASI

Oleh SUSIYANTI

A361030111

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi ‘Penyisipan gen fitase pada genome beberapa kultivar tebu, regenerasi, ekspresi dan aklimatisasi’ belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebut dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2008 Susiyanti NIM A361030111


(3)

SUSIYANTI. Insertion of phytase gene into genome of sugarcane cultivars, regeneration, expression and acclimatization. Under supervision of G.A. WATTIMENA, DWI ANDREAS SANTOSA, MEMEN SURAHMAN, AND AGUS PURWITO.

Sugarcane (Saccharum officinarum L.) is one of the important crops grown in marginal land in Indonesia. Phosphorus (P) is critical to the growth and development of plant in the marginal land. P is stored in plant as phytic acid (myo-inositolhexakisphosphate). Phytic acid is hydrolyzed by the activity of phytases to yield inositol and free phosphate. Genus Sacharum has low phytase activity, so it needs phytase gene insertion from other source. Genetic transformation of sugarcane holds promise to provide enough P during period of rapid cell division and growth of plant. The efficient insertion of phytase gene from other source requires plant transformation process through Agrobacterium tumefaciens. Plant transformation mediated by Agrobacterium tumefaciens, has become the most used method for the introduction foreign genes into plant cells and the sub sequens regeneration of transgenic plant. Successfulness of transformation process depends on regeneration, transformation, gene expression, and methode of acclimatization.

In vitro culture technique is needed to multiply clones of transgenic sugarcane. As the first step in many tissue culture experiment, it is necesssary to induce callus formation from the primary explant before regenerating to be plantlets. In general sugarcane transformed lines show chlorophyll content and leaf colour such as albino, discloration, lack of chlorophyll in the particular spot of leaves. The abnormal leaves showed low chloprophyll content. To increase the chlorophyll content of sugarcane transgenic line can be treated with putrescine. At the moment there is no data about the expression of phytase gene in form of phytase activity and its effect to phosphate and chloprophyll content in sugarcane. The transformed sugarcane plantlets should be able to acclimatize to field condition.

The appropriate callus induction from 3 clones of sugarcane was observed on medium containing 3 mg l-1 2.4 D. Shoot of sugarcane has able to induce by using modified MS medium + kinetin (0.1 mg l-1) + BAP (0.5; 1.0 ; 1.5; 2.0 mg l-1). Shoot started with the appeareance of green dot on callus within a week on regeneration medium. The best shootlet medium of three clones of sugarcane was MS + kinetin (0.1 mg l-1) + BAP (1.5 mg l-1). The best rooting medium of three clones of sugarcane was MS + kinetin (0.1 mg l-1) + IBA (1.0 mg l-1).

The research showed that callus of putative transgenic line can survive under 150 mgl-1 kanamycin medium. The efficiency regeneration of putative transgenic line cv. Triton, cv. PSJT 94-41, and cv. PA 175 were succesively 30 %; 25 %; and 30 %. Efficiency transformation of putative transgenic line were: cv. Triton = 21 %; cv. PSJT 94-41= 15 %; and cv. PA 175= 24 %. The analyzed of integrated phytase gene was proven by the appearance of 900 bp of PCR band.


(4)

Concentration of 3.64 x 10 –4 M putrescine yielded a optimum chlorophyll content of three lines tested, where the total chlorophyll content increased at above 28 % compare to the controll lines.

The result indicated that the increasing of phytate concentration in culture media would increase phytase activity and P total in plantlet. Expression of phytase activity in sugarcane, signifincantly improved phosphorus absorption and chlorophyll content. Phytase activities in plant of the transgenic sugarcane were increased 67.04-75.40 %. Data showed that several transgenic varieties can increase P content in plant (2-29 %) and total chlorophyll.

From three transformed lines tested, two lines (cv. PSJT 94-41 and cv. PA 175) with green leaves grew well in the field condition, in contrary, the yellow leaves (cv. Triton) did not show similar result. The transformed line grew slowly in the first seven day after planting, however it grew normally in the next growing period. Total chlorophyll, chlorophyll a and chlorophyll b were (cv. PS 851) increased as the phytase activity increase.

Key words: Sugarcane, Agrobacterium tumefaciens, expression, phytase gene and, acclimatization.


(5)

SUSIYANTI. Penyisipan gen fitase pada genome beberapa kultivar tebu,

regenerasi, ekspresi dan aklimatisasinya. Dibimbing oleh G.A. WATTIMENA, DWI ANDREAS SANTOSA, MEMEN SURAHMAN,

DAN AGUS PURWITO.

Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan komoditas utama yang banyak ditanaman dilahan marginal di Indonesia. Phosphor (P) merupakan unsur yang menjadi faktor pembatas dalam pertumbuhan tanaman di lahan marginal. P disimpan tanaman dalam bentuk asam fitat (myo-inositolhexakisphosphate). Asam fitat dihidrolisis oleh fitase menjadi inositol dan P yang dapat digunakan tanaman. Genus Sacharum memiliki aktivitas fitase yang rendah, sehingga perlu penyisipan gen fitase dari sumber lain. Guna mendapatkan tanaman yang memiliki kecukupan P selama proses pembelahan sel dan pertumbuhannya dapat dilakukan melalui transformasi genetik. Transformasi melalui Agrobacterium tumefaciens, merupakan metode yang paling sering digunakan untuk mengintroduksi gen asing ke dalam tanaman dan diregenerasikan sehingga menghasilkan tanaman transgenik. Proses transformasi yang berhasil harus melalui tahap regenerasi, transfrormasi, ekspresi gen, dan aklimatisasinya.

Salah satu metode yang banyak digunakan untuk perbanyakan klonal tebu transgenik adalah melalui kultur jaringan. Langkah pertama dalam kultur jaringan adalah menginduksi pembentukan kalus dari eksplan, sebelum diregenerasikan menjadi plantlet. Pada umumnya tebu hasil transformasi menunjukkan variasi kandungan klorofil berupa warna daun albino, kuning, hijau muda, hijau belang putih, dan hijau. Pembentukkan daun yang abnormal mengindikasikan kandungan klorofil yang rendah. Guna meningkatkan klorofil tanaman tebu hasil transformasi dapat dilkukan dengan penambahan putresina. Saat ini belum ada informasi secara lengkap mengenai ekspresi gen fitase berupa aktivitas fitase dan pengaruhnya terhadap kadar P dan klorofil tebu. Selanjutnya, tanaman tebu hasil transformasi perlu diaklimatisasi pada kondisi di lapangan.

Pembentukan kalus yang sesuai terdapat pada media yang mengandung 3 mg l-1 2.4 D. Pembentukan tunas tebu dengan menggunakan media MS + kinetin (0.1 mg l-1) + BAP (0.5; 1.0 ; 1.5; 2.0 mg l-1). Tunas mulai terbentuk dengan munculnya noktah hijau pada kalus setelah seminggu dalam media regenerasi. Media perakaran yang terbaik untuk 3 kultivar tebu terdapat pada media MS + kinetin (0,1 mg l-1) + BAP (1.5 mg l-1). Media perakaran yang terbaik untuk 3 kultivar tebu adalah MS + kinetin (0,1 mg l-1) + IBA (1.0 mg l-1). Hasil penelitian menunjukkan kalus transgenik putatif dapat bertahan hidup pada media 150 mgl-1 kanamisin. Efisiensi regenerasi transgenik putatif: cv. Triton = 30 %; cv. PSJT 94-41= 25 %; dan cv. PA 175= 30 %. Efisiensi transformasi transgenik putatif cv. Triton = 21 %; cv. PSJT 94-41= 15 %; dan cv. PA 175= 24 %. Analisa integrasi gen fitase ditunjukkan dengan pemunculan pita PCR 900 bp.

Putresina 3.64 x 10 –4 M merupakan konsentrasi optimum untuk peningkatan kadar klorofil 3 kultivar tebu yang diuji. Peningkatan total klorofil berkisar 28 % bila dibandingkan dengan tebu kontrol. Peningkatan konsentrasi fitat dalam media akan meningkatkan P total dalam plantlet. Ekspresi berupa


(6)

aktivitas fitase tebu secara signifikan meningkatkan absorbsi fosfor dan kadar klorofil tanaman. Aktivitas fitase tanaman tebu hasil transformasi meningkat 67.04-75.40 %. Data juga menunjukkan beberapa kultivar yang ditransformasi memiliki peningkatan kadar P tanaman (2-29 %) dan total klorofil.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dua dari tiga kultivar (hasil transformasi) yang diuji (cv. PSJT 94-41 and cv. PA 175) dengan daun hijau dapat tumbuh di lapangan, tetapi tidak pada tebu dengan daun kuning (cv. Triton). Tebu hasil transformasi mulanya tumbuh lambat pada 7 hari pertama, kemudian tumbuh normal pada periode berikutnya. Total klorofil a dan klorofil b pada tebu cv. PS 851 ditemukan meningkat sejalan dengan peningkatan aktivitas fitase.


(7)

©Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi

1 Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber:

a Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tujuan suatu masalah

b Pengutipan tidak merugikan kepentingan wajar Institut Pertanian Bogor

2 Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.


(8)

PENYISIPAN GEN FITASE PADA GENOME BEBERAPA

KULTIVAR TEBU, REGENERASI, EKSPRESI DAN

AKLIMATISASI

Oleh SUSIYANTI

A361030111

DISERTASI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(9)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr Ir Darda Efeni, MSc

Penguji pada Ujian Terbuka : Dr Ir Gatot Irianto, MS Dr Ir Desta Wirnas, MSi


(10)

Judul Disertasi : Penyisipan gen fitase pada genome beberapa kultivar tebu, regenerasi, ekspresi dan aklimatisasi

Nama : Susiyanti NIM : A361030111

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir G.A. Wattimena, MSc Dr Ir Dwi Andreas Santosa, MSc Ketua Anggota

Dr Ir Memen Surahman, MSc Dr Ir Agus Purwito, MSc

Anggota Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana

Agronomi

Dr Ir Munif Ghulamahdi, MS Prof Dr Ir Khairil Anwar Notodiputro, MS

Tanggal ujian: 25 Agustus 2008 Tanggal lulus:


(11)

Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara yang lahir pada tanggal 11 Maret 1971 di Manggopoh (Kabupaten Agam, Sumatera Barat) dari pasangan: Ayahanda dr. Martibas Mara dan Ibunda Arnellys Arlina.

Pendidikan Sekolah Dasar Negeri I (Teladan) diselesaikan di Kotabumi (Lampung Utara) pada tahun 1984, Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 pada tahun 1987 dan Sekolah Menengah Atas Negeri 2 pada tahun 1990 di Tanjungkarang. Tahun 1996 penulis mendapatkan gelar Sarjana Pertanian dari Universitas Lampung pada Jurusan Budidaya Pertanian dengan Program Studi Agronomi. Tahun 2000 penulis mendapatkan gelas Magister Pertanian pada program Pascasarjana Universitas Andalas (Program Studi Agronomi dengan Pemusatan: Pemulian Tanaman). Pada tahun 2000 penulis bekerja sebagai dosen Yayasan Universitas Tamansiswa, Padang. Pada tahun 2003 penulis tercatat sebagai mahasiswa S3 Sekolah Pascasarjana IPB pada program Studi Agronomi (Pemusatan: Pemulian Tanaman dan Bioteknologi) dengan dana BPPS. Pada tahun 2005 penulis diterima menjadi dosen PNS pada Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Serang, Banten.

Karya ilmiah dengan judul: ’Transformasi gen fitase pada beberapa klon tebu melalui Agrobacterium tumefaciens GV 2260 dengan plasmid pBin dan pMA’, telah disajikan pada Seminar Nasional Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman tanggal 1-2 Agustus 2006. Sebuah artikel dengan judul: ’Transformasi tanaman tebu (cv. PSJT 94-41) dengan gen fitase menggunakan Agrobacterium tumefaciens GV 2260 (pBinPI-IIEC)’, diterbitkan pada Jurnal Buletin Agronomi, Vol. XXXV, No. Desember 2007. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari S3 penulis.


(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis persembahkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karunia-Nya sehingga penulis dapat menulis disertasi ini. Disertasi ini adalah sebagai salah satu syarat untuk untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian dilakukan pada bulan September 2004 sampai dengan Desember 2007 di Laboratorium Bioteknologi-Kultur Jaringan-Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB; Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi PPLH, IPB; Laboratorium Saraswanti Indo-Genetech (SIG), Bogor; serta Laboratorium Indonesia Center for Biodiversity and Biotecnology (ICBB), Situgede-Bogor.

Penulis ingin mengungkapkan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada: Bapak Prof Ir G.A. Wattimena, MSc sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Dr. Ir. Dwi Andreas Santosa, MSc selaku pembimbing dan telah memberi kesempatan berpartisipasi dalam penelitian yang didanai RAPID; Bapak Dr Ir Memen Surahman, MSc dan Dr Ir Agus Purwito, MSc selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bantuan dan pengarahan. Juga penulis tak lupa mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr Ir Nurul Khumaida, MSc selaku penguji di luar komisi pada ujian prakualifikasi program Doktor. Ucapan terimakasih juga diucapkan untuk Dr Ir Darda Efendi, MSc selaku penguji di luar komisi pada ujian tertutup, juga untuk Dr Ir Gatot Irianto, MS dan Dr Ir Desta Wirnas, MSi selaku penguji di luar komisi pembimbing pada Ujian Terbuka. Ucapan terimakasih dihaturkan juga Dr Ir Munif Ghulamahdi, MS selaku Ketua Program Studi Agronomi, serta Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan ilmu dan bimbingan selama menuntut ilmu yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih untuk bapak Adhi yang telah membantu dalam pengolahan statistik. Terima kasih juga dihaturkan kepada pihak Dikti yang telah memberikan beasiswa BPPS serta Rektor Unitas dan Untirta beserta staf dan karyawannya. Ucapan terima kasih juga untuk Reni, Ade, Uli, Neni, Nana, Dian, teteh Tati, Salma, Mbak Lastri, Mbak Ayi, Mas Iwan, Mas Putra dan Adek-adek kost untuk bantuan dan persahabatannya selama ini, serta Gandi Kungkung, Bang


(13)

atas kasih sayang beliau yang tak akan terbalas, serta Uni Meri, Evi, Nela, Rini, Slamet, dan Kintan, Ega, Alika, Aza, Ica, Kevin dan Uda Al (Alm.) atas segala bentuk perhatian dan kasih sayang yang diberikan.

Semoga ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan dan menjadi amal saleh bagi semua pihak yang terkait dengannya. Amin.

Bogor, Agustus 2008

Penulis


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

I PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 6

Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

Tanaman tebu ... 8

Kultur jaringan tebu dan poliamin ... 10

Peranan phosphor pada pertumbuhan Tanaman ... 15

Fitat dan fitase ... 16

Plasmid dan gene cassette ... 20

Transformasi gen ... 22

Analisis PCR ... 24

BAB III REGENERASI TEBU SECARA IN VITRO ... 27

Abstrak ... 27

Pendahuluan ... 29

Bahan dan Metode ... 31

Hasil dan Pembahasan ... 34

Simpulan ... 52

BAB IV PENYISIPAN GEN FITASE PADA TANAMAN TEBU MELALUI Agrobacterium tumefaciens GV 2260 ... 53

. Abstrak ... 53

Pendahuluan ... 55

Bahan dan Metode ... 57

Hasil dan Pembahasan ... 61


(15)

BAB V PENINGKATAN KLOROFIL PLANTLET TEBU HASIL TRANSFORMASI DENGAN

PEMBERIAN PUTRESINA ... 78

Abstrak ... 77

Pendahuluan ... 79

Bahan dan Metode ... 81

Hasil dan Pembahasan ... 82

Simpulan ... 90

BAB VI .EKSPRESI GEN FITASE PADA BEBERAPA KULTIVAR TEBU HASIL TRANSFORMASI ... 89

Abstrak ... 90

Pendahuluan ... 93

Bahan dan Metode ... 94

Hasil dan Pembahasan ... 97

Simpulan ... 113

BAB VII AKLIMATISASI PLANTLET TEBU HASIL TRANSFORMASI ... 115

Abstrak ... 115

Pendahuluan ... 116

Bahan dan Metode ... 118

Hasil dan Pembahasan ... 119

Simpulan ... 129

BAB VIII PEMBAHASAN UMUM ... 130

BAB IX SIMPULAN DAN SARAN ... 135

DAFTAR PUSTAKA ... 138


(16)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Pengaruh pemberian 2.4 D terhadap pdiameter kalus beberapa

kultivar tebu secara in vitro usia 6 minggu setelah tanam. ... 34 2 Pengaruh pemberian 2.4 D terhadap persentase membentuk

kalus ..beberapa kultivar ...tebu secara in vitro usia 6 minggu

setelah tanam. ... 35 3 Pengaruh pemberian 2.4 D terhadap struktur dan warna kalus..

beberapa kultivar ...tebu secara in vitro usia 6 minggu setelah

tanam ... 37 4 Rata-rata pengaruh pemberian BAP terhadap jumlah tunas .

kultivar .tebu secara in vitro usia 4minggu setelah tanam. ... 40 5 Pengaruh pemberian BAP terhadap tinggi tunas .kultivar tebu

secara in . vitro usia 4minggu setelah tanam ... 43

6 Pengaruh pemberian BAP terhadap persentase pembentukan tunas ..beberapa....kultivar tebu secara in vitro usia 4minggu

setelah tanam . ... 44 7 Pengaruh pemberian IBA terhadap jumlah akar..beberapa kultivar

tebu secara in vitro usia 4 minggu setelah tanam . ... 47 8 Pengaruh pemberian IBA terhadap panjang akar ..beberapa

kultivar tebu secara in vitro usia 4 minggu setelah tanam . ... 48 9 Pengaruh pemberian IBA terhadap persentase membentuk

akar beberapa..kultivar tebu secara in vitro usia 4 minggu

setelah tanam ... 50 10 Data rata-rata lamanya kalus bertahan hidup dalam media

kanamisin (mg ml-1). ... 63 11 Data rata-rata persentase kalus hidup, lamanya kalus bertahan

hidup serta struktur dan bentuk kalus dalam media kanamisin... 65 12 Struktur dan warna kalus dalam media seleksi kanamisin

usia 4 minggu setelah tanam. ... 67 13 Jumlah dan persentase kalus resisten, jumlah kalus bergenerasi,

Efisiensi regenerasi, efisiensi transformasi, pada tanaman tebu. ... 69 14 Aktivitas fitase dan PCR plantlet non transgenik dan transgenik

putatif. ... 74 15 Rata-rata pengaruh putresina terhadap pembentukan klorofil


(17)

Halaman 16 Rata-rata pengaruh putresina terhadap klorofil b plantlet

tebu .transgenik usia 4 minggu setelah tanam. ... 84 17 Rata-rata pengaruh putresina terhadap total klorofil

plantlet tebu transgenik usia 4 minggu setelah tanam. ... 85 18 Data pengaruh pemberian fitat terhadap aktivitas fitase,

P total plantlet tebu. ... 97 19 Rata-rata pengaruh pemberian fitat terhadap P total plantlet

tebu. ... 99 20 Peningkatan P total dan aktivitas fitase tebu transgenik ...

dibanding non transgenik yang dikulturkan selama 1 minggu... pada media yang diberi fitat ... 108 21 Data pengaruh pemberian fitat terhadap kadar klorofil plantlet ...

tebu yang dikulturkan dalam media fitat . ... 110 22 Data pengamatan pada tebu transgenik yang diaklimatisasi


(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Skema alur penelitian ’transformasi regenerasi, ekspresi

aklimatisasi beberapa kultivar tebu yang disisipi gen fitase bakteri .... 7

2 Biosintesis poliamina, metabolisme, fungsi dan interaksi dengan etilen ... 13

3 Struktur fitat ... 17

4 Lintasan biosintesis fitat ... 17

5 Skema sintesis dan penyimpanan fitin ... 18

6 Sekuen reaksi fitase dengan substrat myo-inositol heksakisphosphate ... 18

7 Konstruksi gene cassettepBinPI-IIEC. ... 22

8 Pengaruh pemberian 2.4 D terhadap diameter kalus beberapa kultivar tebu secara in vitro usia 6 minggu setelah tanam. .. 35

9 Pengaruh pemberian 2.4 D terhadap persentase membentuk kalus beberapa kultivar ...tebu secara in vitro usia 6 minggu setelah tanam. ... 36

10 Pengaruh pemberian 2.4 D terhadap pertumbuhan kalus beberapa kultivar tebu secara in vitro usia 6 minggu setelah tanam ... 38

11 Struktur dan bentuk kalus tebu. ... 39

12 Rata-rata pengaruh konsentrasi BAP terhadap jumlah tunas kultivar .tebu secara in vitro usia 4minggu setelah tanam... 41

13 Perkembangan eksplan tebu menjadi tunas... 42

14 Pengaruh pemberian BAP terhadap tinggi tunas .kultivar tebu secara in vitro usia 4minggu setelah tanam tanam. ... 43

15 Pengaruh pemberian BAP terhadap persentase pembentukan tunas beberapa....kultivar tebu secara in vitro usia 4minggu setelah. ... 45

16 Pengaruh pemberian BAP terhadap pertumbuhan tunas beberapa kultivar tebu secara in vitro usia 4 minggu setelah tanam ... 46

17 Pengaruh pemberian IBA terhadap pertumbuhan akar beberapa kultivar tebu secara in vitro usia 4 minggu setelah tanam ... 48

18 Pengaruh pemberian IBA terhadap panjang akar ..beberapa kultivar tebu secara in vitro usia 4 minggu setelah tanam. ... 49

19 Pengaruh pemberian IBA terhadap pertumbuhan akar beberapa kultivar tebu secara in vitro usia 4 minggu setelah tanam. ... 51

20 Kalus beberapa kultivar tebu yang dikulturkan dalam media Kanamisin usia 4 minggu ... 62

21 Rata-rata lamanya kalus bertahan hidup pada media kanamisin (mg ml-1) ... 64

22 Rata-rata persentase kalus hidup dalam media kanamisin. ... 66

23 Kalus hasil transformasi (usia 4 minggu) yang dikulturkan dalam media kanamisin 150 mgl-1 ... 68


(19)

24 Penampilan tunas tebu transgenik putatif . ... 71 25 Hasil elektroforesis PCR tebu (cv. PSJT 944-41)

dengan primer spesifik EC1 dan EC3 . ... 73 26 Grafik pengaruh putresina terhadap klorofil a plantlet

tebu.transgenik usia 4 minggu setelah tanam. ... 83 27 Penampilan plantlet tebu transgenik dalam media MS yang diberi

.konsentrasi putresina berbeda usia 4 minggu setelah tanam ... 86 28 Hubungan antara total klorofil dengan klorofil a pada ...

.tebu

transgenik yang ditanam pada media yang diberi putresina usia

4 minggu ..setelah tanam ... 87 29 Hubungan antara total klorofil dengan klorofil b pada .

.tebu

transgenik .yang ditanam pada media yang diberi putresina usia

4 minggu setelah tanam ... 88 30 Grafik pengaruh pemberian fitat terhadap aktivitas fitase ...

plantlet tebu ... 98 31 Grafik hubungan antara pengaruh pemberian fitat terhadap P...

total plantlet tebu.transgenik dan nn transgenik ... 100 32 Pengaruh fitat yang diberikan dalam media terhadap pertumbuhan

plantlet tebu ... 101 33 Korelasi antara pengaruh fitat yang diberikan dalam media terhadap

aktivitas fitase plantlet tebu cv. Triton non transgenik dan

transgenik ... 103 34 Korelasi antara pengaruh fitat yang diberikan dalam media terhadap

aktivitas fitase transgenik dan non transgenik ... 103 35 Korelasi antara pengaruh fitat yang diberikan dalam media

terhadap.aktivitas fitase plantlet tebu cv. PA 175 transgenik

dan non transgenik ... 104 36 Korelasi antara aktivitas fitase terhadap P total dalam jaringan ...

dan non transgenik ... 105 37 Korelasiantara aktivitas fitase terhadap P total dalam jaringan ...

plantlet tebu cv. PSJT 94-41 non transgenik dan non transgenik ... 105 38 Korelasi antara aktivitas fitase terhadap P total dalam jaringan ...

plantlet tebu cv. PA 175 non transgenik dan non transgenik. ... 106 39 P yang diserap oleh plantlet tebu putatif transgenik dan non ...

trangenik usia 1 minggu setelah tanaman pada media fitat. ... 107 40 Korelasi antara aktivitas fitase terhadap total klorofil dalam ...

jaringan plantlet tebu cv. Triton non transgenik dan..transgenik ...

yang ditanam pada media fitat ... 111 41 Korelasi antara aktivitas fitase terhadap total klorofil dalam ...

jaringan ..plantlet tebu cv. PSJT 94-41 non transgenik dan. ...

transgenik ..putatif ..yang ditanam pada media fitat. ... 111 42 Korelasi antara aktivitas fitase terhadap total klorofil dalam...

jaringan plantlet tebu cv. PA 175 non transgenik dan..transgenik. ... yang ditanam pada media fitat. ... 112 43 Aklimatisasi tebu transgenik cv. PSJT 94-41 ... 122 Halaman


(20)

44 Aklimatisasi tebu transgenik cv. PA 175 ... 123 45 Aklimatisasi tebu transgenik cv. PS 851 ... 125 46 Korelasi antara aktivitas fitase dan klorofil a tebu transgenik ...

(cv. PS ....851) di lapangan ... 126 47 Korelasi antara aktivitas fitase dan klorofil b tebu transgenik

(cv. PS 851) di lapangan ... 126 48 Korelasi antara aktivitas fitase dan total klorofil tebu transgenik...


(21)

Halaman 1 Komposisi bahan kimia dan media yang digunakan

dalam penelitian ... 145

2 Pembuatan media kultur... 147

3 Analisis kandungan klorofil ... 148

4 Deskripsi dan morfologi kultivar tebu ... 149

5 Analisis sidik ragam ... 152


(22)

I PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman tebu Saccharum officinarum L. merupakan tanaman industri

yang memiliki peran penting, karena 65% produksi gula dunia berasal dari tebu. Tebu banyak digunakan sebagai bahan industri farmasi, sumber bahan bakar dan produksi beberapa bahan kimia seperti furfural, dekstran, pakan ternak, industri selulosa dan alkohol. Banyaknya produk yang memerlukan tebu sebagai bahan baku, mengakibatkan permintaan akan komoditas tebu juga terus meningkat. Gambaran kebutuhan gula nasional adalah sebesar 3 juta ton pada tahun 2002, dan yang dapat dipenuhi hanya 1.7 juta ton gula dari produksi dalam negeri, sehingga sisanya harus diimpor (Pakpahan dan Supriono, 2005).

Luas areal penanaman tebu pada tahun 1930 adalah 196.529 ha dengan

hablur 14.80 ton ha-1, yang bisa menghasilkan total gula 2.907.078 ton. Tahun

2002 dengan luas areal tanam 360.767.9 ha dan hablur 4.8 ton ha-1 hanya

menghasilkan 1.735.131.02 ton gula (Pakpahan dan Supriono 2005). Tahun 1999

dengan luas lahan tebu: 342.211 ha, produksi tebu Indonesia hanya 62.5 ton ha-1,

dengan hablur 4.36 ton ha-1 dan rendemen 6.97 % (Basuki, 2000). Tebu

sebenarnya memiliki potensi untuk ditingkatkan rendemennya menjadi 8-10%.

Rendahnya rendemen tebu tersebut disebabkan penggunaan kultivar tebu yang

telah mengalami degenerasi klonal atau peluruhan genetik. Kultivar Triton

(yang digunakan dalam penelitian ini) merupakan kultivar yang diintroduksi dari

Australia (Subarkat et al. 1988). Penanaman tebu cv. Triton di Indonesia

mencapai 1438 ha, dengan produksi tebu 39.8 ton ha-1, dengan rendemen 6.31

serta hablur 2.51 ton ha-1 (Tjokrodirjo 2000). Tebu cv. PSJT 94-41 merupakan

klon tebu harapan koleksi P3GI dan belum dilepaskan (Hermono, komunikasi pribadi 3 Desember 2007). Demikian pula halnya dengan tebu cv. PA 175 yang merupakan klon koleksi Puslitagro PT Rajawali II, Cirebon.

Konversi lahan tebu dari lahan basah ke lahan kering turut memberikan andil dalam rendahnya produksi tebu di Indonesia. Pada lahan kering umumnya ketersediaan P rendah (P terikat). Penggunaan lahan kering ini membawa konsekuensi membutuhkan pupuk P yang lebih banyak. Kebutuhan P untuk


(23)

tanaman tebu tergantung jenis tanah dan kultivar yang digunakan. Berdasarkan

hasil penelitian Glaz et al. (1997) dan Chen et al. (2002) rata-rata kultivar tebu

dapat menyerap rata-rata 8.5 kg P ha-1 di tanah pertanian di Florida dan sekitar

30-85 % P tebu diambil dari tanah dalam bentuk P organik. Bentuk P organik dalam

tanah (Buckman dan Brady 1982; Anas et al. 1992) maupun dalam tanaman

terfiksasi dalam bentuk fitat yang sukar digunakan oleh tanaman (Greiner 2005a). Defisiensi P pada tanaman tebu akan menurunkan produksi tebu dan gula, hal ini sejalan dengan penelitian Pawirosemadi (1980) yang membuktikan adanya

korelasi yang positif antara kandungan hara P2O5 dalam daun terhadap hasil dan

hablur gula tebu. Fungsi P adalah sebagai komponen penyusun struktur molekul asam nukleat (DNA, RNA), gula fosfat (metabolisme intermediet tanaman), nukleotida (ATP, CTP, UTP, GTP,TTP), koenzim, fosfolipid (membran sel). Umumnya, Pi dalam banyak reaksi merupakan substrat dan atau produk yang dihasilkan. Pi mengontrol beberapa reaksi enzim, serta penting dalam lintasan metabolik di sitoplasma dan kloroplas (Marschner 1995).

Fitat (inositolhexakisphosphate, IP6) merupakan sumber fosfat dalam tanaman yang mencapai lebih dari 80 % dari total fosfor pada tanaman sereal dan

legum (Keruvuo et al. 2000). Fitat diduga terkait dengan penyimpanan energi dan

inisiasi dormansi pada benih. Sintesis fitat berlangsung saat pengisian biji dan berhenti saat fase awal perkecambahan, namun peranannya pada jaringan tanaman non reproduksi belum jelas.

P yang terdapat dalam fitat sukar untuk digunakan tanaman (Greiner 2005a) dan baru dapat dilepaskan bila ada aktivitas enzim fitase. Namun tidak semua tanaman dapat menghasilkan fitase. Beberapa jenis tanaman yang diketahui dapat menghasilkan fitase adalah kacang hijau, kedelai, gandum, dan

padi (Kyriakidis et al. 1998). Aktivitas fitase pada tanaman tebu (cv. PSJT

94-33, cv. PA 183, dan cv. Triton) secara alami sangat rendah yaitu kurang lebih 0.01 U/ml (Wulandari 2005). Guna menghasilkan tebu dengan aktivitas fitase yang tinggi, maka perlu dilakukan rekayasa secara genetika melalui donor lain

selain genus dan spesies dari Saccharum. Transfer gen dari donor yang tidak satu

spesies telah umum dilakukan secara non konvensional seperti fusi protoplas, fusi


(24)

3 dan tanpa vektor (misalnya: elektroforasi, biolistik, serat silikon, makro dan mikro injeksi, dan sonifikasi).

Upaya perbaikan genetik pada tanaman tebu secara konvensional sulit

dilakukan karena tingginya tingkat poliploid tanaman tebu (Gilbert et al. 2005).

Dengan pertimbangan tersebut, maka lebih menjanjikan bila upaya perbaikan genetik dilakukan melalui rekayasa genetika, misalnya dengan transformasi.

Proses transformasi dengan mediasi Agrobacterium tumefaciens paling sering

digunakan untuk memasukan gen asing ke dalam sel tanaman dengan tingkat

keberhasilan dan kestabilan gen yang tinggi (Riva et al. 1999). Teknik

transformasi Agrobacterium memiliki keunggulan, antara lain (1) efisiensi

transformasi dengan salinan gen tunggal lebih tinggi dan (2) dapat dilakukan dengan peralatan laboratorium yang sederhana. Gen dengan salinan tunggal lebih mudah dianalisa dan biasanya bersegregasi mengikuti pola pewarisan Mendel

(Rahmawati 2006). Keberhasilan transformasi Agrobacterium masih terbatas

pada genotipe tanaman tertentu. Saat ini transformasi pada tanaman monokotil (seperti tebu) sangat mungkin untuk dilakukan. Keberhasilan transformasi pada jaringan meristem tebu terkait dengan laju kemampuan bertahan hidup dari sel

target (Riva et al 1999). Santosa et al. (2004a), telah berhasil mengembangkan

suatu metode yang tepat untuk transformasi gen fitase pada tanaman tebu dengan

menggunakan Agrobacterium tumefaciens GV 2260.

Beberapa peneliti dari IPB telah berhasil menyisipkan gen fitase asal bakteri

dengan menggunakan metode Santosa (2004a) melalui Agrobacterium

tumefaciens GV 2260 (pBin1-ECS) pada kultivar tebu cv.PSJT 9443, cv. PA 183 cv. Triton (Wulandari 2005), cv. CB 6979, dan cv. PA 183 (Hayatyzul 2007).

Penyisipan gen fitase melalui Agrobacterium tumefaciens GV2260 dengan

konstruksi gene cassette berbeda yaitu pBinPI-IIEC juga telah dilakukan pada

tebu cv. PSJT 94-33, cv. BR 194 (Ananda 2004), cv. PSJT 94-33, cv.PSJT 94-41, cv. PA117 (Pesik 2005), dan cv. PS 851 (Nurhasanah 2007).

Penyisipan gen fitase ini diharapkan mampu menghasilkan enzim yang dapat mengubah fitat dalam jaringan maupun di sekitar perakaran menjadi fosfat

yang dapat digunakan tumbuhan. Coello et al. (2001) telah berhasil


(25)

kadar fitat dalam tanaman menjadi rendah. P tersedia yang meningkat dalam tanaman diharapkan dapat meningkatkan laju fotosintesis, serta berpengaruh positif dalam proses pembentukan klorofil.

Keberhasilan penyisipan gen fitase ini dapat dideteksi secara dini dengan menggunakan PCR. Ananda (2004) dan Nurhasanah (2007) telah melaporkan

pada tebu cv. PSJT 94-33, cv. BR 194; dan cv. PS 851 yang ditransformasi

Agrobacterium tumefaciens GV2260 dengan konstruksi gene cassettep

BinPI-IIECdapat dideteksi dengan PCR yang menghasilkan pita ukuran 900 bp dengan

primer EC1 dan EC3.

Tanaman tebu yang berhasil disisipi gen fitase diharapkan dapat mengekpresikan aktivitas fitase yang tinggi. Penelitian mengenai ekspresi gen fitase pada tanaman tebu yang telah disisipi gen fitase belum banyak diketahui. Ini merupakan pijakan penting untuk mengetahui ekspresi gen fitase pada beberapa kultivar tanaman tebu hasil transformasi. Ekspresi berupa aktivitas enzim fitase akan memberikan pengaruh langsung terhadap kadar P total dalam jaringan tanaman plantlet tebu dan juga berpengaruh terhadap pembentukan klorofil.

Selama ini regenerasi kalus tebu transforman yang disisipi gen fitase

umumnya menghasilkan plantlet yang memiliki kandungan klorofil sedikit bahkan albino. Hasil regenerasi yang menghasilkan plantlet yang berwarna hijau hanya sedikit. Dewi (2003) menyatakan pemberian poliamina (seperti: putresina) ke dalam media kultur dapat meningkatkan regenerasi kalus menjadi tanaman hijau pada kultur antera tanaman padi. Hal tersebut menjadi pertimbangan dan diharapkan terjadi peningkatan tanaman hijau pada tebu hasil transformasi dengan penambahan poliamina.

Plantlet tansgenik yang diperoleh pada akhirnya dilakukan aklimatisasi pada lingkungan yang sesuai. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam aklimatisasi ini, seperti kadar klorofil plantlet, vigor plantlet, kelembaban, suhu, dan lain-lain. Setiap individu memiliki kemampuan adaptasi terhadap lingkungan baru yang berbeda. Diharapkan dengan metode aklimatisasi yang tepat, maka tebu-tebu transgenik tersebut dapat tumbuh dan berkembang di lapangan.


(26)

5 Dengan mempertimbangkan latar belakang di atas, maka diperlukan suatu penelitian yang lebih mendalam bagi pengembangan sistem regenerasi tanaman

tebu secara in vitro yang merupakan target transformasi, metode dan teknik yang

tepat dalam melakukan transformasi, serta aklimatisasi yang tepat bagi tebu transgenik di lapangan.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian secara umum adalah untuk memperoleh tanaman tebu

yang memiliki aktivitas fitase yang tinggi dari gen fitase yang disisipkan melalui proses transformasi. Tujuan penelitian secara khusus adalah: (1) mengembangkan

dan mempelajari regenerasi tanaman tebu secara in vitro yang meliputi induksi

dan multiplikasi kalus, inisiasi dan multiplikasi tunas, induksi perakaran dengan pemberian ZPT yang tepat; (2) mempelajari dan mengkaji proses transformasi

beberapa kultivar tebu yang disisipi gen fitase bakteri melalui Agrobacterium

tumefacens GV 2260 (pBinPI-IIEC), serta mendeteksi keberadaan gen yang disisipkan dengan PCR; (3) mengkaji dan mempelajari pengaruh putresina terhadap kadar klorofil plantlet tebu hasil transformasi; (4) mengkaji aktivitas fitase serta pengaruhnya terhadap P total jaringan dan kadar klorofil plantlet tebu hasil transformasi; serta (5) mengembangkan dan mempelajari teknik aklimatisasi plantlet tebu hasil transformasi serta ekspresinya di lapangan.

Manfaat Penelitian

Secara umum manfaat penelitian ini adalah memperoleh tanaman tebu transgenik yang memiliki aktivitas fitase yang tinggi. Manfaat penelitian secara khusus adalah: (1) memberikan informasi berupa respon 3 kultivar tebu terhadap pemberian ZPT yang tepat untuk menginduksi pembentukan kalus, tunas, dan akar tebu, serta interaksi antara kultivar dan konsentrasi yang diberikan; (2) memberikan kontribusi dalam bentuk sumber plasma nutfah yang berharga bagi pemuliaan tanaman bila berhasil mendapatkan tanaman tebu yang mengekspresikan aktivitas fitase tinggi; (3) mengetahui perbedaan variasi antara tebu transgenik dan non transgenik; dan (4) diharapkan tanaman tebu hasil transformasi tersebut dapat menjadi klon unggul.


(27)

Alur pemikiran

Hal yang menjadi alur pemikiran penelitian ini adalah:

(1) Salah satu masalah utama dalam perpindahan penanaman tebu dari lahan

basah ke lahan kering adalah keterikatan P. Keterikatan P bukan saja terdapat pada tanah tetapi juga pada jaringan tanaman.

(2) Enzim fitase dapat melepaskan keterkaitan P baik pada lingkungan rizosfer

maupun pada jaringan tanaman

(3) Tanaman tebu dari genu Saccharum mempunyai aktivitas fitase yang

rendah sehingga perlu peningkatan enzim fitase melalui penyisipan gen fitase yang berasl dari sumber lain

(4) Penyisipan gen fitase yang efisien dari sumber lain memerlukan proses

transformasi tanaman melalui Agrobacterium tumefaciens

(5) Proses transformasi yang berhasil harus melalui tahap regenerasi,

transformasi, ekspresi gen, dan aklimatisasi

(6) Kegagalan aklimatisasi tanaman tebu transgenik disebabkan oleh

albinisme atau kekurangan klorofil.

Strategi Penelitian

Berdasarkan alur penelitian tersebut, maka disusun strategi penelitian sebagai berikut:

(1) Regenerasi tebu secara in vitro.

(2) Penyisipan gen fitase pada tanaman tebu melalui Agrobacterium

tumefaciens GV 2260.

(3) Peningkatan klorofil plantlet tebu hasil transformasi dengan menggunakan

putresina.

(4) Ekspresi gen fitase pada beberapa kultivar tebu hasil transformasi

(5) Aklimatisasi plantlet tebu hasil transformasi.


(28)

7

Gambar 1 .Skema strategi penelitian ’Penyisipan gen fitase pada genome beberapa

kultivar tebu, regenerasi, ekspresi dan aklimatisasinya’.

II. Transformasi tanaman tebu dengan gen fitase bakteri

melalui Agrobacterium tumefaciens GV 2260 (p

BINPI-IIEC)

Tujuan:

1 menguji konsentrasi kanamisin sebagai penanda tebu

transforman

2 mempelajari dan mengkaji proses transformasi 3 mendeteksi integrasi gen fitase dalam genom tebu. Output: kalus transgenik putatif

I. Regenerasi

tebu secara in

vitro Tujuan: Mengkaji

konsentrasi ZPT

1 mengkaji

konsentrasi 2.4 D yang terbaik untuk pembentukan kalus 2 mengkaji konsentrasi BAP yang terbaik untuk pembentukan tunas 3 mengkaji konsentrasi IBA yang terbaik untuk pembentukan akar

Output: kalus dan plantlet tebu untuk materi penelitian dan informasi ZPT yang tepat untuk regenerasi tebu transgenik dan non transgenik

III. Peningkatan klorofil plantlet tebu hasil

transformasi dengan pemberian putresina

Tujuan: meningkatkan klorofil tanaman tebu hasil transformasi dengan menggunakan putresina.

Output :

Plantlet tebu transgenik putatif dengan klorofil yang baik

IV. Ekspresi gen fitase bakteri pada beberapa kultivar

tebu hasil transformasi.

Tujuan: mengkaji aktivitas fitase plantlet tebu hasil transformasi serta pengaruhnya terhadap P total jaringan dan kadar klorofil

Output: Informasi ekspresi gen fitase tebu transgenik putatif Plantlet transgenik putatif

Tujuan:

1 Mengembangkan dan mempelajari regenerasi tanaman tebu secara in vitro (induksi

dan multiplikasi kalus, inisiasi dan multiplikasi tunas, induksi perakaran ) dengan pemberian ZPT yang tepat

2 Mempelajari dan mengkaji proses transformasi beberapa kultivar tebu yang disisipi

gen fitase bakteri melalui Agrobacterium tumefacens GV 2260(pBinPI-IIEC), serta

mendeteksi keberadaan gen yang disisipkan;

3 Mengkaji dan mempelajari pengaruh putresina terhadap kadar klorofil plantlet tebu

hasil transformasi

4 Mengkaji aktivitas fitase serta pengaruhnya terhadap P total jaringan dan kadar

klorofil plantlet tebu hasil transformasi

5 Mengembangkan dan mempelajari teknik aklimatisasi plantlet tebu hasil

transformasi serta ekspresinya di lapangan.

V. Aklimatisasi plantlet tebu hasil transformasi.

Tujuan:

1 mengkaji dan mempelajari aklimatisasi tebu hasil

transformasi gen fitase bakteri

2 mengevaluasi ekspresi gen dan kadar klorofil tebu

transgenik putatif di lapangan

Output: Tanaman tebu transgenik putatif dan informasi ekspresi gen fitase bakteri di lapangan


(29)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Tebu

Tanaman tebu (Saccharum officinarum) dibudidayakan sebagai tanaman

komersial pada hampir 60 negara di dunia. Negara penghasil tebu utama adalah Brazil, Cuba, Fiji, India, Indonesia, Mauritius dan Amerika. Tanaman tebu diklasifikasikan ke dalam famili Graminae; kelompok Andropogone; genus:

Saccharum. Hanya 3 genus dari 5 genus Saccharum yang dibudidayakan yaitu: (1) S. officinarum (yang merupakan penghasil gula utama); (2) S. sinensis, (3) S. barberi, dan wild type terdapat 2 genus yaitu: (4) S. spontaneum, dan (5) S. robustum. Tebu dari genus S. sinensis, S. barberi, dan S. spontaneum memiliki

kadar gula sedang hingga rendah (Naik 2001).

Pusat asal dan perkembangan tebu dunia diduga berada di New Guinea

dan pulau-pulau di sekitar Indonesia untuk S. officinarum dan S. robustum; di

India sampai ke perbatasan Utara-Timur China dan Myanmar untuk S.

spontaneum dan kerabat rerumputan lainnya seperti Erianthus sp., Sclerostachya sp., Narenga sp. dan sebagainya (Sugiyarta 1993). Naik (2001) mengemukakan bahwa India adalah asal dari tebu-tebu yang dibudidayakan di Indonesia. Kata ‘sakara’ yang berarti gula berasal dari Bahasa Sansekerta telah ada dalam catatan Budha pada 500 tahun SM.

Guna memperoleh genotipe baru dalam program pemuliaan tanaman tebu sangat tergantung pada rekombinasi dan segregasi progeni dari individu heterosigot. Tanaman tebu merupakan allopoliploid dengan n = 5,6,7,8,9 (Hetharie 2003). Berdasarkan penelitian para ahli, di India ditemukan tanaman tebu oktoploid (2n = 80) dengan jumlah dasar x = 10 kromosom yang merupakan

hasil persilangan tipe liar Sclerostahya fusca dengan Saccharum officinarum.

Kultivar tebu modern adalah aneuploids dan memiliki jumlah kromosom

100-125 dimana 5-10% merupakan hasil persilangan kerabat liar S. spontaneum dan

S. officinarum (Alexander 1973).

Awalnya, kultivar-kultivar dari spesies S. officinarum merupakan kultivar


(30)

9

Stevenson pada tahun 1965 menyatakan bahwa sel somatik akar tebu S.

officinarum ditemukan sekitar 80 kromosom. Kromosom pada S. robustum

terdiri dari 2 tipe yaitu berkromosom 60 dan 80. Sementara tebu-tebu komersial umumnya memiliki jumlah kromosom 80 – 120. Diduga kromosom dasar genus

Saccharum adalah 10 (Alexander 1973).

Total produktivitas gula Indonesia yang berasal dari tebu pada tahun 2002

yaitu 5.01 gula ton ha-1 (Pakpahan dan Supriono 2005), dan menurut BPS (2004)

produktivitas tebu di Indonesia rata-rata 5.5 gula ton ha-1. Produktivitas tersebut

masih memiliki potensi untuk dapat ditingkatkan menjadi 14.1 ton ha-1 (Pakpahan

dan Supriono 2005).

Penelitian dan pemanfaatan plasma nutfah tebu di Indonesia mulai dilakukan sejak tahun 1888 ketika ledakan serangan penyakit sereh. Kultivar

Kasoer yang merupakan hasil persilangan alami S. officinarum dan S. spontaneum

yang memiliki keunggulan toleran terhadap penyakit sereh tersebut. Nobilasi

tebu-tebu komersial berasal dari S. officinarum dengan S. spontaneum dan atau S.

robustum. Sejak tahun 1888 sampai tahun 1960, Indonesia sangat terkenal di dunia dalam pemuliaan tanaman tebu dengan Balai Penelitian Tebu di Pasuruan, Jawa Timur (POJ = Proefstation Oost Java). Tahun 1940-1960, klon tebu POJ terkenal di dunia dan dari turunan POJ 2878 tersebut dihasilkan klon tebu Hawai yang terkenal seperti: H32-8650, H32-1063 dan H37-1933. POJ 2878 berupa

turunan dari asal silangan S. officinarum dengan S. spontaneum, sedangkan

klon-klon tebu Hawai berasal dari silangan POJ 2878 dengan S. robustum ( Ochse et.al.

1961). Sesudah tahun 1960, keunggulan Indonesia dalam penelitian tebu maupun produksi gula mengalami penurunan. Teknik pemuliaan konvensional telah dikembangkan untuk meningkatkan hasil tanaman dengan menyeleksi kultivar-kultivar yang lebih produktif dan tahan terhadap beberapa penyakit. Pemuliaan konvensional memiliki beberapa kelemahan, diantaranya di dalam populasi tanaman yang dinyatakan unggul ternyata tidak semuanya seperti yang diharapkan.

Tebu cv. PS 851 merupakan salah satu varietas yang menonjol dari beberapa varietas yang telah dilepas tahun 1998 dan menunjukkan rendemen yang tertinggi di Jawa pada 3 musim tanam terakhir. Kelemahan dari cv. PS 851 di


(31)

lapangan mulai terlihat dan produktivitasnya mulai menurun. Hal ini tampak dari keragaan pada pertanaman keprasan kurang baik dan peka terhadap penyakit luka api sehingga hasil tebunya menurun tajam. Keragaan tanaman tampak nyata menurun apabila mengalami kekurangan air. Oleh karena itu perlu dicarikan suatu kultivar pengganti mempunyai potensi rendemen yang setara namun dapat

mengatasi kelemahan cv. PS 851 (Budhisantosa et al. 2007).

Tebu cv. Triton memiliki sifat ketahanan yang intermediet terhadap

penyakit daun hangus yang disebabkan oleh cendawan Stagnospora saccari

(Irawan 1990). Hasil tebu cv. Triton pada tahun pertama adalah 117 ton ha-1;

dengan rendemen 7.04 %; dan merupakan kultivar yang diintroduksi dari

Australia (Subarkat et al. 1988). Kultivar tebu yang ditanam di Indonesia

rata-rata memiliki rendemen 6.4 % (Basuki 2000). Tebu cv. PSJT 94-41 merupakan klon tebu harapan koleksi dari P3GI hasil persilangan pada tahun 1994, klon nomor 41 dan belum dirilis. Klon ini adalah turunan dari BT 1323 yang merupakan hasil perilangan dari PS 56 dengan BT 809 (Hermono, komunikasi pribadi 3 Desember 2007).

Tebu cv. PA 175 merupakan klon tebu koleksi dari Puslit Agro P.T. Rajawali II, Cirebon. Deskripsi dan morfologi varietas tebu yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 4.

Kultur Jaringan Tebu dan Poliamina Kultur jaringan tebu

Teknik perbanyakan in vitro untuk pengadaan bahan tanaman perkebunan

mempunyai beberapa keunggulan yaitu adanya perbaikan mutu genetis, fisiologis, dan kemurnian yang cukup tinggi. Budidaya tebu menghendaki pengadaan benih yang bebas hama dan penyakit untuk menghindari degradasi klonal yang disebabkan oleh sistem keprasan berulang. Benih yang bermutu serta bebas hama dan penyakit tersebut dapat diperoleh melalui teknik kultur jaringan. Keuntungan lain dari kultur jaringan yaitu dapat dilakukan seleksi terhadap sifat-sifat tanaman yang dikehendaki secara dini. Selain itu, kondisi lingkungan tempat tumbuh individu mini tersebut dapat dikontrol sesuai dengan keperluan (Haris dan Mathius 1995).


(32)

11 Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) seperti auksin dan sitokinin memegang

peranan yang sangat menonjol dalam perbanyakan tanaman secara in vitro.

Auksin berperan dalam mendorong perpanjangan sel, pembelahan sel, diferensiasi jaringan xilem dan floem, pembentukan akar adventif, dan dominansi apikal. Peran fisiologis sitokinin adalah mendorong pembelahan sel, morfogenesis, pertunasan, pembentukan kloroplas, pematahan dormansi, pembentukan stomata,

menghambat senesence dan absisi (Tim Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman

1991; Gunawan 1987; dan Pierik 1987).

Perimbangan auksin dan sitokinin pada eksplan akan menentukan jenis organ yang terbentuk. Bila nisbah auksin dan sitokinin tinggi, maka organ akar yang terbentuk; sedangkan bila sebaliknya maka tunas yang akan terbentuk. Peranan penting auksin dan sitokinin adalah untuk memprogram kembali sel somatik yang akan menentukan tahap dediferensiasi selanjutnya. Pemprograman ulang menyebabkan dediferensiasi dan rediferensiasi menuju perkembangan lintasan baru. Rediferensiasi menghasilkan sel-sel meristem yang akan berkembang menjadi sel embriogenik dan embrio somatik (Gaba 2005). Regenerasi melalui embrio somatik memberikan keuntungan: (1) waktu perbanyakan cepat; (2) pencapaian hasil dalam mendukung program perbaikan tanaman lebih cepat; dan (3) jumlah bibit yang dihasilkan tidak terbatas jumlahnya (Mariska 1996). Pembentukan embriogenesis somatik dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: formulasi media yang berbeda pada setiap perkembangan embrio somatik serta jenis eksplan yang digunakan.

Penginduksi kalus tanaman tebu dapat dilakukan dengan menambahkan 3

mg l-1 2,4 D ke dalam media MS, dan kalus yang dihasilkan secara morfologi

menghasilkan 2 tipe kalus. Tipe kalus yang pertama adalah tipe A yang memiliki ciri warna putih kekuningan, kompak, kering dan nodular; dan tipe kalus kedua

yaitu tipe B yang memiliki penampakan ‘globular’ yang agak putih, tidak

kompak dan basah (Khatri et al. 2002). Kalus-kalus tersebut bisa diinduksi dari

eksplan pucuk, jaringan daun dan bunga tebu yang akan terbentuk 1 bulan setelah pemberian auksin 2.4 D (Alexander 1973).

Inisiasi tunas dan akar pada kultur tebu dapat dilakukan dengan secara berurutan (biasanya inisiasi tunas dulu, kemudian dipindahkan pada media inisiasi


(33)

akar) atau secara bersamaan (menambahkan auksin dan sitokinin pada media yang sama untuk merangsang inisiasi tunas dan akar secara bersamaan). Kelemahan penginduksian tunas dan akar pada media yang sama yaitu tunas dan akar yang terbentuk bisa saja tidak merupakan satu kesatuan plantlet. Penginduksian tunas dan akar tidak pada media yang sama akan menghasilkan tunas dan akar yang lengkap sebagai suatu kesatuan plantlet.

Gallo-Meagher (2000) meregenerasikan tunas tanaman tebu dari kalus dengan menggunakan thidiazuron (TDZ) dalam media MS dengan kombinasi 2.3 μM 2,4-D, atau 9.3 μM kinetin dan 22.3 μM NAA dan dibandingkan dengan perlakuan pada media MS lainnya tetapi diberi tambahan 0.5, 1.0, 2.5, 5.0 atau

10.0 μM TDZ. Pemberian TDZ ternyata lebih cepat dalam merangsang

pembentukan tunas dibandingkan dengan kinetin atau NAA. Penelitian lain yang

dilakukan oleh Khatri et al. (2002), yaitu dengan menginduksi tunas tanaman

tebu melalui pemberian 2 mg l-1 IBA + 2 mg l-1 IAA dan 2 mg l-1 kinetin pada

media MS. Regenerasi dimulai dengan tampaknya titik hijau dari kalus setelah seminggu dalam media regenerasi dan umumnya menghasilkan batang dan daun yang normal.

Guna menginduksi pembentukan akar, Gallo-Meagher (2000) menambahkan 19.7 μM indole-3-butyric acid (IBA) ke dalam media. Sementara,

Khatri et al. (2002) melakukan penelitian dengan menggunakan media MS

yang ditambahkan IBA 1 mg l-1 dan sukrosa 6 % untuk menginduksi perakaran

pada tebu. Baksha et al. (2002) menginduksi pembentukan akar pada tanaman

tebu dengan menggunakan ½ MS yang ditambahkan 5.0 mg l-1 NAA, IBA and

IAA.

Regenerasi eksplan tanaman yang ditransformasi gen fitase selama ini menghasilkan plantlet yang albino (putih) atau hijau muda. Regenerasi kalus transforman tebu yang dilakukan oleh Pesik (2005) pada kultivar PSJT 9443

dengan menggunakan media R4 yang diberi IAA 1 mg l-1 dan Dalapon 61 mg l-1

dapat menginduksi pertumbuhan tunas dan daun transforman, namun pertumbuhan albino masih terjadi.


(34)

13

Poliamina

Poliamina yang biasanya terdapat dalam tumbuhan adalah diamin-putresina, triamin-spermidina dan tetramin-spermina merupakan zat pengatur tumbuh yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman; misalnya pada kultur jaringan wortel dan antera jagung, poliamina berperan dalam menginduksi embrio somatik (Dewi 2003). Terdapat 2 lintasan dalam biosintesis putresina yaitu melalui ODC (ornithine dekarboksilase) dan ADC (arginin dekarboksilase). Adapun bagan biosintesis poliamina, metabolisme, fungsi dan interaksi dengan etilen dapat dilihat pada Gambar 2.

Citruline Gramnithine Agmatine ADC Arginin ODC Putrescine Spermidine Spermine Fungsi Perkembangan tunas Menghambat produksi etilen Pertumbuhan dan

Glutamat N-Carbonyl-putresci ne

Pyrroli ne Succi nate dSAM

Diaminopropane Amino propyl propane

SAM MTA

Methionin

ACC diferensiasi sel N malonyl

ACC

Etilen

MACC

Fungsi Menghambatproduksi poliamin Absisi Si ntesis Pemasakan buah Perkecambahan Pembungaan Menghambat senesens Menghambat degradasi klorofil dan albinosisasi In vitro tuberization

In vitro flowering

Memacu degradasi klorofil dan albinosisasi

Gambar 2

.

Biosintesis poliamina, metabolisme, fungsi dan interaksi dengan

etilen. Disusun dari Smith 1990 dan Appelboun 1990 (hasil modifikasi oleh Wattimena).


(35)

Sepertinya, lintasan ADC lebih sering berperan dalam pembentukan putresina dalam kondisi cekaman. Sebagai contoh: pada kalus jagung turunan putresina dari arginin ditemukan dalam fraksi konjugasi larutan asam, sedangkan ODC tampak aktif dalam biosintesis hydroxycinnamoyl amida pada kalus tembakau. Tahap awal perkembangan putresina bebas umumnya diturunkan melalui ADC, kemudian ODC terlibat pada tahap berikutnya (Smith 1990).

Menurut Setijorini et al. (2001), poliamina mampu mencegah degradasi klorofil

dan sebagai senyawa kompetitor dalam biosintesis etilen. Sintesis poliamina akan mampu menekan sintesis etilen karena adanya persaingan dalam pemakaian substrat yang sama yaitu: S-adenosilmetionin (SAM). Poliamina juga menghambat aktivitas enzim 1-aminosiklopropana-1-asam karboksilat (ACC) sintase yang mengkatalisis perubahan SAM ke ACC dan enzim ACC oksidase yang mengkatalisis konversi ACC ke etilen (Smith 1990).

Sumber kelompok propylamino untuk biosiontesis poliamin yaitu SAM merupakan prekusor dari ACC yang merupakan sumber penting pembentukan etilen. Kedua komponen tersebut (poliamin dan etilen) bersifat antagonis. Poliamin akan memacu pertumbuhan dan menghambat senesens, sedangkan etilen merupakan horman yang memicu senesens (Altman 1989, Galston dan Kaur-Sawhney 1987; Wattimena 1988).

Dewi (2003) menyatakan bahwa putresina mampu meningkatkan kalus dan regenerasi kultur anther padi secara efisien dibanding pemberian spermidina

atau spermina. Pemberian 10-3 M putresina pada media induksi kalus dan

regenersi akan meningkatkan androgenesis pada antera padi sub spesies indica.

Purwoko et al. (2000) melaporkan bahwa penambahan putresina 10-3 M pada

media induksi kalus dan regenerasi yang digunakan dalam kultur antera padi memberikan hasil induksi kalus dan regenerasi yang lebih baik. Hal sejalan juga

dilakukan oleh Hanarida et al. (2002) yang menginduksi pembentukan kalus dan

melakukan regenerasi kultur antera pada silangan padi tipe baru. Santos et al.

(1996) menyatakan pula bahwa poliamina berperan dalam morfogenesis polen

jagung pada teknik in-vitro, sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan dan


(36)

15 Poliamina mempengaruhi diferensiasi sel dan morfologi pada tumbuhan. Poliamina fungsinya berlawanan dengan etilen, yaitu menghambat senesens pada jaringan tanaman tetapi tidak mempengaruhi respirasi. Poliamina berperan dalam

pembelahan sel, embriogenesis pada kultur in vitro, inisiasi akar, pembentukan

tunas, inisiasi bunga, pembentukan dan pemasakan buah, respon terhadap stres dan meningkatkan kompleks poliribosome. Selain itu, poliamina juga berperan dalam sintesis protein pada beberapa organisme dan mendorong pembentukan klorofil serta bersinergi dengan auksin (Wattimena 2002).

Peranan P pada pertumbuhan tanaman

Unsur P merupakan unsur esensial untuk setiap sel hidup, karena secara langsung terlibat dalam sebagian besar proses-proses metabolisma. Fungsi P adalah sebagai komponen penyusun struktur molekul asam nukleat (DNA, RNA), gula fosfat (metabolisme intermediet tanaman), nukleotida (ATP, CTP, UTP, GTP,TTP), koenzim, fosfolipid (membran sel). Umumnya, Pi dalam banyak reaksi merupakan substrat dan atau produk yang dihasilkan. Pi mengontrol beberapa reaksi enzim, serta penting dalam lintasan metabolik di sitoplasma dan kloroplas (Marschner 1995).

Peranan P dalam tanaman adalah: (1) dalam pembentukan bunga, buah dan biji, (2) pembelahan sel, pembentukan lemak dan albumin, (3) kematangan tanaman dan mengimbangi pengaruh N, (4) perkembangan akar halus dan akar rambut, (5) memperkuat tanaman sehingga tidak mudah rebah, (6) meningkatkan kualitas tanaman terutama pada rumputan dan sayuran, (7) meningkatkan ketahanan terhadap penyakit (Soepardi 1979).

Fosfor (P) bersama N, K digolongkan sebagai unsur-unsur utama walau P diadsorbsi lebih kecil dari N dan K. Fosfor berperan dalam pemecahan karbohidrat, protein dan lemak. Pembelahan sel serta pembentukan ATP dan ADP yang berenergi tinggi sehingga dapat merangsang pertumbuhan tanaman. P berperan dalam pembelahan sel melalui nukleoprotein yang ada dalam inti sel, meneruskan sifat-sifat kebakaan dari generasi ke generasi melalui peranan DNA dan mempengaruhi perkembangan akar khususnya akar lateral dan akar berserabut. Tanpa P proses-proses ini tidak dapat berlangsung (Leiwakabessy dan


(37)

Sutandi, 1999). Ketersediaan suatu unsur hara dengan unsur hara lainnya akan saling mempengaruhi, sebagai contoh: di dalam tanah hara P dapat difiksasi oleh Al di dalam larutan tanah sehingga menjadi bentuk tidak tersedia di dalam jaringan sehingga tanaman mengalami defisiensi P.

Fosfor terdapat dalam sebagian besar tubuh tanaman dalam konsentrasi 0.1 –

0.4 %. Tanaman mengabsorbsi P dalam bentuk ion ortofosfat primer (H2PO4-);

H2PO42-; PO43-. Bentuk ion H2PO4- diserap paling banyak oleh tanaman karena

memiliki kelarutan yang paling tinggi sehingga menyebabkan fosfor menjadi tersedia bagi tanaman. Kekurangan P akan menghasilkan tanaman yang berukuran kecil-kecil, tulang daun menjadi ungu dan tepi daun menjadi hijau kelabu (Hidayat 2005).

Tanaman jenis rumput-rumputan yang mengalami defisiensi P akan memiliki pertumbuhan anakan yang terhambat, daun pendek dan kecil dengan warna daun hijau tua, klorosis pada tulang daun, daun muda akan nampak sehat dibanding daun tua yang akan berwarna coklat pada bagian bawah atau ujung daun; daun berwarna kemerahan atau ungu pada varietas yang mengandung antosianin (Leiwakbessy dan Sutandi, 1999).

Fitat dan Fitase

Mineral nutrisi dalam biji umumnya disimpan dalam bentuk fitat. Kandungan fitat dari total berat kering pada biji tanaman mencapai 1-8 %, dan

dari 1-8 % fitat tersebut 90 % merupakan bentuk fosfor. Selain itu, Mg2+, K+,

Ca2+, Mn2+, Ba2+, dan Fe2+ juga berasosiasi dengan kelompok fosfat membentuk

fitat. Adapun struktur dari fitat dapat dilihat pada Gambar 3. Lintasan biosintetik

fitat belum sepenuhnya diketahui (Gambar 4). Buchanan et al. (2006) menyatakan

bahwa terdapat dugaan fitat disintesis pada retikulum endoplasma kasar (rough

ER) dan diakumulasi dalam lumen tilakoid. Kemudian fitat ditransportasi oleh badan golgi menuju vakuola (Gambar 5).


(38)

17

O

O PP

O O OH OH O O P O OH O O P P O OH O O OH O O P O O O OH P O H H H H H H

Gambar 3 Struktur fitat (Glick dan Pasternak 2003).

myo-inositol (mI)

myo-inositol phosphatase -1--inositol myo phosphatse synthase Glukosa 6-P -1-P -inositol myo Pi ATP myo-inositol kinase ADP

mI 1,3,4,5,6-P5 (IP5) mI P3

1 2 3

ATP ADP 2 ATP

ADP 'X' ? ? ? Phosphoinositol kinase mI-P-X mI P6-X ATP ADP ? 5 5 2

myo-inositol hexaphosphoric acid (phytic acid) ATP

ADP

? IP5 kinase

Chelation with cation Phytate 3 3 ? 'X' ATP ADP


(39)

Gambar 5 Skema sintesis dan penyimpanan fitin dalam protein bodies pada

endosperm kacang castor. Fitin dilepaskan dalam vesicles (1,2) dari

ER menuju vacuola/protein body, kemudian bergabung dengan

membran (3,4). Fitin dilepaskan menuju vacuola/protein body (5)

dimana akan bergabung membentuk globoid (Buchanan 2006).

P O3H2O

P O3H2O OP O3H2

OP O3H 2 OP O3H2

OP O3H2 OH OP O3H2 OH OP O3H2 P O3H2O P O3H2O Fitase HO P O3H2O OP O3H2 OH OH OH P O3H2O OP O3H2

OH OP O3H2 OH OH

P O3H2O

P O3H2O OP O3H2

OP O3H2 OP O3H2 OH

OH

OH OH

OP O3H2

HO HO HO HO OH OH OH OH Fitase Fitase Fitase Fitase Fitase


(40)

19

Asam fitat atau myo-inositol 1,2,3,4,5,6 hexakisphosphate (dihidrogen fosfat)

mempunyai kemampuan untuk mengikat kation-kation multivalen seperti kalsium, besi, seng dan sebagainya dalam suatu kompleks yang tidak larut membentuk

garam-garam fitat seperti Na2Mg5-fitat, K2Mg5-fitat atau CaMg5-fitat (fitin). Fitin

dalam tanah bertabiat fosfat an organik membentuk besi, aluminium dan kalsium fitat. Dalam tanah asam, fitat berubah menjadi tidak larut, dan tidak tersedia karena bereaksi dengan besi P Al. Dalam keadaan alkalin kalsium fitat diendapkan dan fofor yang dikandung berubah menjadi tidak teredia (Buckman

dan Brady 1982). Adapun skema sintesis dan penyimpanan fitin dalam protein

bodies pada endosperm kacang castor dapat dilihat pada Gambar 5.

Fitat sangat berperan dalam penurunan jumlah kation multivalen seperti

Ca2+, Mg 2+, Zn2+, dan Fe3+. Asam fitat juga terikat dengan beberapa mineral dan

protein sehingga membentuk suatu kompleks suatu fitat-protein-mineral yang sukar larut yang mengakibatkan ketersediaan biologis mineral-mineral tersebut rendah (Graf 1983; Indarwati 2000).

Fitat (inositolhexakisphosphate, IP6) merupakan sumber fosfat dalam tanaman yang mencapai lebih dari 80 % dari total fosfor pada tanaman sereal dan

legum (Keruvuo et al. 2000). Fitat diduga terkait dengan penyimpanan energi dan

inisiasi dorman pada benih (Hulke et al. 2004). Sintesis fitat berlangsung saat

pengisian biji dan berhenti saat fase awal perkecambahan, namun peranannya pada jaringan tanaman non reproduksi belum jelas.

Hidrolisis phosphomonoester berkaitan dengan metabolisme energi dan regulasi metabolik serta lintasan sinyal transduksi pada tingkat sel. Hidrolisis phosphomonoester dikatalisis oleh grup enzim yang beragam yang termasuk dalam kelompok enzim phosphatase. Enzim tersebut dapat diklasifikasikan

antara lain: alkaline phosphatase, purple acid phosphatases, high molecular acid

phosphatases, low molecular acid phosphatases, dan protein phosphatase. Tetapi

kelompok enzim ini tidak dapat menghidrolisis phosphomonodiester pada asam fitat. Kelas enzim spesifik yang dapat menghidrolisa asam fitat adalah fitase

(Keruvuo, et al. 2000; Greiner 2005).

Fitase (myo-inositol hexakisphosphate phosphohydrolase) merupakan


(41)

hexakisphosphate/InsP6) menghasilkan ortofotat dan myo-inositol

pentakisphosphate (Konietzny dan Greiner 2002), bahkan pada kondisi-kondisi

tertentu menjadi fosfat dan myo-inositol bebas dan dapat menghilangkan sifat

pengkhelat dari asam fitat dan melepaskan Pi (Keruvuo et al. 2000). Gambar 6

menunjukkan sekuen reaksi fitase dengan substrat myo-inositol hexakisphosphate

menurut Courtis dan Josef (Cosgrove 1980).

Menurut IUPAC-IUB terdapat 2 jenis enzim fitase:

a yang mengkatalis reaksi myo-inositol hexakisphosphate + H2O adalah 3 fitase

(EC.3.1.3.8) →myo-inositol-1,2,4,5,6-pentakisphosphate+ Pi

b yang mengkatalis reaksi myo-inositol hexakisphosphate + H2O adalah 6-fitase

(EC 3.1.3.26) →myo-inositol-1,2,3,5,- pentakisphosphate + Pi

Jenis 3-fitase umumnya terdapat pada mikrob, sedangkan 6-fitase umum terdapat

pada biji-bijian, meskipun demikian dilaporkan bahwa E. coli mampu

memproduksi 6-fitase (Grainer et al. 1993)

Fitase pada akar berperan dalam pemanfaatan fitat dalam tanah yang baru terbentuk. Lokasi fitase pada akar terdapat pada endodermis akar utama (Hubel dan Beck, 1996). Beberapa jenis tanaman yang diketahui dapat menghasilkan fitase adalah kacang hijau, kedelai, gandum, padi, dan lain-lain. Fitase juga dapat ditemukan pada bagian benih atau biji tanaman serealia dan leguminosa,

(Kyriakidis et al. 1998).

Wilcox et al. (2000) berhasil mengembangkan galur mutan kedelai low

phytate yang mengandung fitat 1.9 g/kg dan P inorganik 3.1 g/kg dibandingkan

dengan kedelai (wild type) yang mengandung fitat ± 4,3 g/kg dan P inorganik 0.7

g/kg. Olthmans et al. (2004) mengemukakan bahwa pada persilangan kedelai

antara galur yang memiliki fitat rendah dengan normal fitat (wild type)

menunjukkan pewarisan alel wild type yang dominan penuh dan tidak ada efek

maternal. Selanjutnya, sifat fitat yang rendah dikontrol oleh alel resesif ’pha1 dan

pha2’ pada dua lokus independent yang menunjukkan duplikat dominan epistasis, dimana untuk mengekspresikan fitat yang rendah alelnya harus resesif homozigot.

Menurut Santosa et al. (2002b) apabila gen fitase dapat ditransformasikan

dan terekspresi dalam tanaman tebu, maka gen ini akan menghasilkan enzim yang dapat mengubah senyawa fitat yang akan dihidrolisis menjadi ester yang berfosfat


(42)

21 rendah dan melepaskan P organik sehingga dapat meningkatkan fotosintesis dan metabolisme tanaman tebu. Hasil fotosintesis ini diharapkan akan disimpan

menjadi gula tebu. Berdasarkan hasil penelitian Richardson et al. (2001),

tanaman Arabidopsis (wild type) yang ditumbuhkan dalam media fitat memiliki

kemampuan yang rendah dalam menggunakan fitat sebagai sumber nutrisi. Lain

halnya dengan tanaman transgenik Arabidopsis yang telah disisipi gen fitase dari

cendawan (dibawah kendali konstitutif promotor 35 S CaMV) yang dapat melepaskan P dari fitat pada media agar steril. Ekspresi fitase tergantung pada pH media dan sumber C alami yang digunakan (Konietz dan Greiner 2004). Fitat diperlukan untuk menginduksi aktivitas fitase. Seperti yang telah dilaporkan

Greiner (2005) pada E. coli, induksi fitase secara signifikan dipengaruhi oleh

kehadiran myo-inositol sebagai sumber C. Selain itu, kehadiran gula sederhana

dapat menjadi strong repression dalam sintesis enzim fitase.

Plasmid dan Konstruksi gene cassette

Konstruksi gene cassette pBinPI-IIEC dan pBinI-ECS yang diintroduksikan

ke dalam Agrobacterium tumefaciens GV 2260 telah berhasil dikerjakan pada

penelitian sebelumnya (Santosa et al. 2005).

Konstruksi gene cassettepBinPI-IIEC dapat dilihat pada Gambar 7. Plasmid

pBinPI-IIEC ini memiliki beberapa kelebihan diantaranya jumlah salinan dalam

E. coli besar, mempunyai ORI sehingga plasmid dapat bereplikasi pada E. coli

dan Agrobacterium serta membawa nptII yang menyandikan enzim neomycin phosfotransferase (pembawa resistensi terhadap antibiotik golong

aminoglikosida). Gen nptII berintegrasi dan mengendalikan sintesis enzim

neomysin phosphotransferase yang menyebabkan sel resisten terhadap antibiotik


(43)

Gene cassette p

BinPI-IIEC

pBinPI-IIEC

Keterangan:

CaMV 35 S = Caulimozaic virusderived

SP = Proteinase inhibitor II signal peptide

OCS = Enhancer

Gambar 7 Konstruksi plasmid dan gene cassette pBinPI-IIEC (Santosa et al.

2005)

Terdapat 2 jenis vektor (plasmid tempat T-DNA dan gen) yang dipakai

dalam rekayasa genetika tanaman dengan bantuan Agrobacterium, yaitu:

1 Vektor kointegrasi: T-DNA pembawa gen yang akan ditransfer dan faktor

virulensi berada pada satu plasmid yang sama.

2 Vektor biner: gen yang akan ditransfer ada pada plasmid biner, dan faktor

virulensi berada pada plasmid lain, yaitu Ti atau Ri plasmid non disharmed

(dengan oncogene) atau Ti atau Ri plasmid disharmed (tanpa oncogene).

Vektor kointegrasi biasanya sulit untuk direkayasa namun memiliki

kelebihan, yaitu: plasmidnya lebih stabil dalam Agrobacterium. Vektor binner

mudah untuk direkayasa dan diintroduksi namun plasmidnya kurang stabil dalam Promoter

Phy gene appA of E. coli ECL03375

OCS nptII

SP


(44)

23

Agrobacterium, bila tanpa ada penanda selektif pada plasmidnya. Plasmid binner

mempunyai ORI yang kompatibel dengan Agrobacterium sehingga

memungkinkan plasmid ini mengganda dalam Agrobacterium (Klee et al. 1986).

Transformasi gen

Beberapa teknik yang sering digunakan untuk menyisipkan DNA ke dalam

sel adalah transformasi dengan Agrobacterium tumefaciens, elektroforasi,

biolistik, serat silikon, makro dan mikro injeksi, dan sonifikasi. Terdapat hambatan dalam melakukan transformasi secara fisik karena adanya dinding sel dan membran plasma. Hambatan tersebut dapat diatasi dengan penggunaan bahan kimia atau fisik. Efisiensi dari masing-masing teknik transformasi adalah berbeda. Namun dalam semua teknik transformasi akan menempatkan transgen di bawah kendali promoter yang sifatnya konstitutif atau yang bisa terekspresi pada

organ-organ spesifik (Skinner et al. 2004).

Kelebihan sistem transformasi melalui A. tumefaciens dibandingkan

dengan cara lain secara langsung (misal: gene gun) yaitu, single bacterium dapat

memindahkan banyak T-strand, baik dari plasmid binner maupun kointegrasi

(Ebinuma et al. 2001). Selain itu, transformasi melalui A. tumefaciens hanya

mengintroduksi sejumlah kecil kopi dari gen asing dengan efisiensi kestabilan

transformasi yang lebih baik bila dibandingkan dengan particle bombartment

ataupun secara elektroforasi. Metode transformasi dengan mediasi A. tumefaciens

lebih sederhana, murah dan mudah diterapkan dalam rekayasa genetika tanaman

(Skinner et al. 2004).

A. tumefaciens adalah bakteri aerob obligat yang merupakan jenis gram

negatif yang hidup alami di tanah dan menyebabkan timbulnya penyakit crown

gall pada tanaman dikotil. Kemampuan untuk menyebabkan penyakit ini ada

hubungannya dengan gen penginduksi tumor (tumor inducing/Ti) dalam sel

bakteri tersebut (Sheng dan Citovsky 1996; Hiei et al. 1997). Bila menggunakan

metoda transformasi melalui A. tumefaciens, gen-gen baru secara normal akan

bergabung dalam genom inti (Skinner et al. 2004). Di inti, DNA tersisipi secara

acak dengan potensi penyisipan yang berbeda yang dapat saja terjadi pada inti yang sama. Penyisipan ini terjadi dalam urutan berpasangan dan dapat mengganggu DNA inti (Nasir 2001).


(45)

Terdapat tiga komponen utama pada Agrobacterium yang berperan dalam transfer DNA ke dalam sel tanaman yaitu: (1) T-DNA; (2) gen virulensi; dan (3)

gen-gen penghasil protein yang terdapat pada kromosom Agrobacterium (Sheng

dan Citovsky 1996). T-DNA, yaitu fragmen yang ditransfer ke sel tanaman.

Ukuran T-DNA berkisar 10-20 bp atau sekitar 5 – 10 % dari ukuran Ti plasmid

(Zambrysky et al. 1989). T-DNA berisi dua tipe gen yaitu oncogene (menyandi

enzim yang terlibat dalam aktivitas sintesis auksin dan sitokinin, serta menyebabkan pembentukan tumor) dan gen yang menyandi sintesis opin. Asam amino dan gula disintesis dan diekresikan melalui sel tumor dan dikonsumsi oleh

A. tumefaciens sebagai sumber karbon dan nitrogen (Riva 1999).

Daerah virulence (vir) pada Agrobacterium berukuran 30 kb yang berada

pada plasmid Ti dan Ri dengan posisi bersebelahan dengan batas kiri (left border)

T-DNA. Daerah virulence terdiri dari 6 lokus yaitu: virA, virB, virD, virG, virC,

dan virE. Gen virA, virB, virD, virG mutlak diperlukan dalam proses

transformasi. Jika ada inducer (seperti monosiklik fenolik acetosyringone, dan

monosakarida seperti glukosa dan galaktosa), maka virA dan virG akan

terekspresi, sehingga mampu mengaktifkan operon vir lain. Kondisi pH optimum

untuk gen vir berkisar antara 5-5,8 (Hiei et al, 1997). Gen virC, dan virE

diperlukan untuk meningkatkan efisiensi transformasi walau tidak mutlak

diperlukan. Produk dari berbagai gen vir berfungsi sebagai trans dalam proses

transfer DNA (Stachel dan Zambrysky, 1986). Kontrol ekspresi gen dimediasi

oleh protein virA dan virG yang merupakan komponen regulatory system (Zupan

dan Zambrasky 1995).

Senyawa fenolik saat kokultivasi mampu mengaktifkan gen vir pada Ti

plasmid. Permasalahannya, senyawa fenolik jarang terjadi pada tanaman monokotil, sehingga perlu penambahan acetosyringone. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Mulyaningsih (2001), dengan menambahkan acetosyringone 0,1 M saat kokultivasi tanaman padi. Selain dengan penambahan acetosyringone, optimasi kokultivasi dilakukan dengan penambahan monosakarida, pengaturan

suhu (22-28oC), serta pengaturan pH.

Gen chromosomal virulence (chv) terdiri dari chvA, chvB, pscA (atau


(46)

25 berfungsi untuk pelekatan bakteri ke dalam sel tanaman dengan membentuk

senyawa protein β-1,2-glukan. Berdasarkan sifat alamiah Agrobacterium

tersebut, telah diupayakan pemindahan gen komersial ke tanaman monokotil dengan cara menyisipkan gen tersebut ke daerah T-DNA. Kemajuan penting dalam efisiensi transformasi juga telah diperoleh melalui penggunaan acetosyringone, pelukaan jaringan target yang sesuai, dan perbaikan sistem seleksi kanamisin (Pardal 2002).

Transformasi gen fitase pada jaringan embriogenik melalui Agrobacterium

tumafaciens akan memudahkan integrasi gen yang dikehendaki ke dalam

tanaman. Santosa et al. (2004b) melakukan transformasi dengan Agrobacterium

GV 2260 terhadap jaringan meristem dan kalus tebu yang diberikan antioksidan untuk menghindari proses nekrotik. Setelah melalui penelitian lebih lanjut,

akhirnya Santosa et al. (2004) dapat mengembangkan teknik transformasi melalui

kalus yang memiliki persentase keberhasilan pembentukan chimeric phytase gene

yang tinggi pada kultivar PSJT 94-33 (mencapai 100 %). Kemudian penelitian tersebut dilanjutkan oleh Wulandari (2005) yang melakukan pengujian beberapa metode transformasi pada tebu. Pengujian tersebut menggunakan metode

Santosa et al. (2004) dan metode modifikasi yang dapat menghasilkan persentase

keberhasilan transforman (80%) yang lebih baik dibandingkan metode transformasi Enriquez Obregon (0 % karena jaringan rusak) dan metode Minarsih (50 %).

Penyisipan gen fitase dengan menggunakan Agrobacterium tumefaciens

GV2260 (pBinPI-IIEC) ke dalam genom tanaman tebu telah berhasil dilakukan

oleh Ananda (2004) pada cv.PSJT 94-33 dan cv.BR 194; serta oleh Nurhasanah

(2007) pada cv. PS 851 yang dapat dideteksi dengan PCR pita ukuran 900 bp.

Selanjutnya penyisipan gen fitase dengan pBin1-ECS melalui A.tumefaciens GV

2260 dapat berhasil dilakukan pada tebu cv. PSJT 9443, cv. PA 183 dan cv.

Triton (oleh Wulandari 2005) yang berdasarkan analisis PCR berukuran 900 bp;

serta Hayatyzul (2007) pada kultivar cv.PA 183 dan cv. CB 6979.

Analisis PCR

Keberadaan suatu gen dapat dideteksi melalui metode molekuler (seperti:


(47)

jumlah banyak dalam waktu singkat. Setelah integrasi gen dikonfirmasi, tahap berikutnya adalah analisis ekspresi gen yang telah dapat dimulai selama proses kultur jaringan (Poerwanto 1993).

Karry Mullis mengemukakan konsep PCR pada tahun 1983 dan mempublikasi tentang PCR pada tahun 1985, dan mendapatkan Nobel dalam

bidang kimia pada tahun 1993 (Viljoen et al. 2005). PCR yang dapat mengontrol

dan menggandakan jumlah DNA secara logaritma. Keberhasilan PCR

tergantung kecocokan (komplemen) dari basa nukleotida pada double stranded

DNA helix. Ketika molekul DNA dipanaskan, ikatan hidrogen terlepas dan

molekul DNA terpisah menjadi single strand. Jika pada larutan DNA suhu

diturunkan, maka komplemen basa dapat kembali membentuk original double

helix. Dalam hal penggunaan PCR, maka perlu diketahui sekuen yang mengapit area target yang diinginkan untuk digandakan, sehingga PCR dapat mengamplifikasi sekuen yang diinginkan.

PCR didasarkan pada amplifikasi enzimatik fragmen DNA dengan menggunakan dua oligonukleotida primer yang komplementer ujung 5’ dari dua untaian sekuen target. Oligonukleotida ini digunakan sebagai primer (primer

PCR) untuk memungkinkan 'DNA template dikopi oleh DNA polimerase. Untuk

mendukung terjadinya annealing primer pada template pertama kali diperlukan

untuk memisahkan untaian DNA substrat melalui pemanasan. Suhu reaksi selanjutnya diturunkan untuk membiarkan terjadinya perpasangan sekuen dan akhirnya reaksi polimerasi dilakukan oleh DNA polimerase untuk membentuk untaian komplementer. Proses ini dikenal dengan siklus PCR (Nasir 2001).

Keuntungan penggunaan PCR, antara lain: lebih cepat, DNA yang

dibutuhkan dalam jumlah yang sangat sedikit, dapat dilakukan pada tahap awal

dan teknik isolasi DNA yang sederhana. PCR sangat sensitif, karena satu single

molekul DNA dapat digandakan dan dilihat sebagai pita yang jelas pada elektroforesis gel agarose. PCR cepat dalam menggandakan atau memperbanyak

urutan DNA spesifik secara in vitro dengan memanfaatkan cara replikasi DNA

dengan bantuan enzim polimerase dan perubahan sifat fisik DNA terhadap suhu. Teknik PCR digunakan untuk menghasilkan sejumlah besar gen kopi tunggal dari DNA genomik. (Glick dan Pasternak 2003; Poerwanto 1993).


(48)

27

BAB III REGENERASI TEBU SECARA IN VITRO

ABSTRAK

Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting di

Indonesia. Peningkatan produksi tebu tergantung dari kualitas kultivar. Salah satu metode yang banyak digunakan untuk perbanyakan klonal tebu adalah melalui kultur jaringan. Langkah pertama dalam kultur jaringan adalah menginduksi pembentukan kalus dari eksplan, sebelum diregenerasikan menjadi plantlet. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mendapatkan media pembentukan kalus yang terbaik dengan menggunakan beberapa konsentrasi 2.4

D [kinetin 0.1 mg l-1 + 2.4 D (1; 2; 3 dan 4 mg l-1)]; (2) mendapatkan media

pembentukan tunas yang terbaik menggunakan beberapa variasi konsentrasi BAP

[kinetein 0.1 mg l-1 + BAP (0; 1; 1.5; dan 2 mg l-1]; dan (3) mendapatkan

konsentrasi terbaik untuk pembentukan akar dengan menggunakan beberapa

variasi IBA [kinetin 0.1 mg l-1 + IBA (0; 1; 1.5; dan 2 mg l-1)]. Rancangan

lingkungan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan rancangan perlakuan faktorial dengan 10 ulangan. Faktor pertama adalah beberapa kultivar tebu (cv.Triton, cv. PSJT 94-41. cv. PA 175). Faktor kedua adalah: media kultur dengan ZPT yang berbeda. Data dianalisa dengan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5 %.

Pembentukan kalus yang baik terdapat pada media yang mengandung 3

mg l-1 2.4 D. Konsentrasi 2.4 D yang optimum yang baik untuk pembentukan

kalus masing-masing kultivar Triton, PSJT 94-41 dan PA 175 berturut-turut

adalah 3.38; 3.79 dan 2.85 mg l-1 2.4 D. Pembentukan tunas tebu dengan

menggunakan media MS + kinetin (0.1 mg l-1) + BAP (0.5; 1.0 ; 1.5; 2.0 mg l-1).

Tunas mulai terbentuk dengan munculnya noktah hijau pada kalus setelah seminggu dalam media regenerasi. Media pertunasan yang terbaik untuk 3

kultivar tebu terdapat pada media MS + kinetin (0.1 mg l-1) + BAP (0.5 mg l-1).

Media perakaran yang terbaik untuk 3 kultivar tebu adalah MS + kinetin (0.1 mg l-1) + IBA (1.5 mg l-1)


(49)

IN VITROREGENERATION OF SUGARCANE

ABSTRACT

Sugarcane (Saccharum officinarum L.) is one of the most important crop

in Indonesia. Improvement of sugarcane productivity mainly depend on quality of

cultivar. The alternative method such as in vitro culture technique is needed to be

uses to multiply clones of sugarcane. As the first step in many tissue culture experiment, it is necesssary to induce callus formation from the primary explant

before regeneration to be plantlets. The objectives of the studywere (1) to find the

best callusing medium using several concentration of 2.4 D [kinetein 0.1 mg l-1 +

2.4 D (1; 2; 3 dan 4 mg l-1)]; (2) to find the best perfom of shootlet using several

BAP concentration [kinetin 0.1 mg l-1 + BAP (0; 1; 1.5; dan 2 mg l-1]; (3) to find

the best perform of rootlet using several concentration of IBA [kinetin 0.1 mg l-1

+ IBA (0; 1; 1.5; dan 2 mg l-1)]. The study was conducted using factorial design

with Randomized Completely Design, with10 replicates. The first factor were: several culture media, and the second factor were sugarcane varieties (cv. Triton, cv. PSJT 94-41, and cv. PA 175). Data were analyzed by Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) 5 %.

Best callus induction from 3 clones of sugarcane was observed on medium

containing 3 mg l-1 2.4 D. The optimum callusing medium for Triton cv, PSJT

94-41 cv. and PA 175 cv. respectively: 3,38; 3,79 and 2.85 mg l-1 mg l-1 2.4 D. Shoot

performing of sugarcane using modified MS medium + kinetin (0.1 mg l-1) +

BAP (0.5; 1.0 ; 1.5; 2.0 mg l-1). Shoot started with the appeareance of green dot

on callus within a week on regeneration medium. The best shootlet medium of

three clones of sugarcane was MS + kinetin (0.1 mg l-1) + BAP (0.5 mg l-1). The

best rootlet medium of three clones of sugarcane was MS + kinetin (0.1 mg l-1) +

IBA (1.5 mg l-1).


(1)

Perbedaan pertumbuhan antara tebu cv. PS 851 transgenik warna hijau dengan hijau belang putih dapat dilihat pada Gambar 45.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara aktivitas fitase yang dihasilkan pada tebu transgenik yang ditanam di lapangan dengan total klorofil, klorofil a dan klorofil b, tetapi berkorelasi negatif dengan nisbah antara klorofil a/b. Adapun korelasi aktivitas fitase dalam daun tebu transgenik PS. 851 terhadap total klorofil, klorofil a, klorofil b, dan nisbah klorofil a/b dapat dilihat pada Gambar 46-48. Berdasarkan informasi dari Nurhasanah (2007), tebu transgenik cv. PS 851 yang di telah ditanam di lapangan memiliki ekspresi aktivitas fitase 0.042 - 0.148 U ml-1, sedangkan tebu cv. PA 851 non transgenik memiliki aktivitas fitase 0.47-0.59 U ml-1.


(2)

125

Gambar 45 Aklimatisasi tebu transgenik cv. PS 851; (1) tebu transgenik cv. PS 851 (usia 2 bulan); (2) perbandingan pertumbuhan tebu transgenik cv. PS 851 (usia 2 bulan) yang memiliki warna hijau belang putih(a)

dengan hijau(b); (3) Tebu transgenik cv. PS 851 usia 3 bulan; (4)

tebu transgenik cv. PS 851 usia 4 bulan ; (5) pucuk tebu non transgenik cv. PS 851 usia 4 bulan dan (6) transgenik usia 4 bulan

(5.b); (7) batang tebu cv. PS 851 non transgenik usia 7 bukan; (8)

1

2

3

4

5

6


(3)

Gambar 46 Korelasi antara aktivitas fitase dan klorofil a tebu transgenik (cv. PS ...851) di lapangan

Gambar 47 Korelasi antara aktivitas fitase dan klorofil b tebu transgenik ...(cv. PS 851) di lapangan


(4)

127

Gambar 48 Korelasi antara aktivitas fitase dan total klorofil tebu transgenik (cv. PS 851) di lapangan.

Adanya aktivitas fitase dalam jaringan tebu akan melepaskan P organik dalam jaringan tanaman maupun yang berada di sekitar perakaran dari fitat yang mengikatnya. P organik tersebut akan menghasilkan energi dan digunakan dalam siklus metabolisme tumbuhan. Menurut Parwirosemadi (1980) peningkatan kandungan P dalam tanaman tebu akan memberikan peningkatan hasil tebu dan hablur gula. Selain itu, P juga berperan dalam penyusunan makro molekul asam amino yang merupakan unit dari molekul DNA yang menjadi pembawa informasi genetik, dan sebagai unit dari RNA yang bertanggung jawab dalam melakukan translasi informasi genetik (Marshcner, 1995). Selain itu P akan menghubungkan antara unit ribonukleotida menjadi bentuk makro molekul pada DNA dan RNA. Peningkatan aktivitas fitase meningkatkan kadar klorofil b, tetapi tidak setinggi kadar klorofil a. Hal ini berpengaruh terhadap nisbah klorofil a/b; karena nisbah tersebut diperoleh dengan memperbandingkan antara klorofil a dengan klorofil b. Sehingga bila semakin tinggi klorofil a maka akan menurunkan nisbah


(5)

(6)

129

SIMPULAN

1 Tebu hasil transformasi (cv. PSJT 94-41 dan cv. PA 175) awalnya menunjukkan pertumbuhan yang lambat, tetapi kemudian pertumbuhannya normal dan dapat membentuk daun dan tunas baru. Tebu hasil transformasi cv. Triton yang memiliki daun kekuningan tidak dapat bertahan pada kondisi aklimatisasi, hanya plantlet tebu hasil transformasi cv. PSJT 94-41 dan cv. PA 175 yang memiliki daun berwarna hijau dan berpenampilan vigor yang bertahan hidup.

2 Peningkatan aktivitas fitase tebu transgenik di lapangan (cv. PS 851) berpengaruh positif terhadap total klorofil, klorofil a, klorofil b.