12
digunakan  sebagai  ingredient  structural  dalam  formulasi  produk  analog, sedangkan  surimi  yang  dikeringbekukan  berfungsi  sebagai  bahan  pengemulsi
pada produk sosis. Menurut  Suzuki  1981,  terdapat  3  tiga  tipe  surimi  yaitu  :  1  Mu-en
Surimi  yaitu  surimi  yang  dibuat  dengan  cara  menggiling  hancuran  daging  ikan yang telah dicuci dan dicampur dengan gula dan fosfat, tanpa penambahan garam
dan  telah  mengalami  pembekuan;  2  Ka-en  Surimi  yaitu  surimi  yang  dibuat dengan  cara  menggiling  hancuran  daging  ikan,  yang  telah  dicuci  dan  dicampur
dengan  gula  dan  garam  tanpa  penambahan  fosfat  dan  telah  mengalami  proses pembekuan;  3  Na-ma  Surimi  yaitu  surimi  yang  tidak  mengalami  pembekuan.
Surimi  komersial  mempunyai  kadar  air  75  persen,  protein  18  persen,  lemak kurang  dari  0,5  persen  dan  bahan-bahan  lain  6,5  persen  Park  et  al.  1996.
Komposisi proksimat surimi dari beberapa jenis ikan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1  Komposisi proksimat surimi beku dari beberapa jenis ikan
Surimi Beku Air
Abu Protein
Lemak
Bahan dari ikan nila merah Oreochromis nilotica
78 0,42
15,1 0,48
Bahan dari ikan fat sleeper Dormitator maculatus
75 0,35
18,1 0,57
Bahan dari ikan Layang Decopterus sp
82,36 0,58
12,18 3,82
Bahan dari ikan Marlin Makaira sp
81,66 0,53
11,82 3,53
Keterangan: : Ramirez et al., 1999
: BPPMHP 2004
2.1.2 Sifat-sifat surimi
Ramirez  et  al.  2002,  mengatakan  bahwa  salah  satu  sifat  surimi  adalah membentuk gel yang elastis dan kuat dengan perlakuan panas. Gel yang fleksibel
dan  elastis  tersebut  terbentuk  jika  Surimi  dicampur  dengan  garam,  yang  melalui proses  pelumatan  akan  terbentuk  sol,  dan  dengan  pembentukan  dan  pemanasan
akan  terbentuk  gel  Roussel  dan  Cheftel  1988.    Gelasi  dari  protein  larut  garam
13
selama  proses  dengan  panas  terutama  berperan  pada  stablisasi  lemak  dan  air, pengikatan  hancuran  daging  ikan,  kemudian  membentuk  kembali  produk
McCord et al. 1998. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan gel adalah  bahan  baku,  kekuatan  ion,  pH,  suhu  dan  laju  pemanasan,  serta  jenis  ikan
Lan et al. 1995. Penggunaan  garam  pada  proses  pembentukan  gel  yaitu  sebagai  bahan
pelarut  myofibril.  Untuk  kosentrasi  kurang  dari  2  persen  miofobril  tidak  dapat terlarut, sementara pada konsentrasi lebih dari 12 persen myofibril terhidrasi yang
disebabkan efek salting-out dari garam. Untuk konsentrasi 2 - 3 persen merupakan penggunaan  yang  umum  pada  beberapa  spesies  ikan  dan  jenis  produk,  karena
pada  kisaran  yang  lebih  tinggi  akan  memberikan  rasa  asin  Tan  et  al.  1988; Shimizu dan Toyohara 1994.
Gelasi  termal  dari  otot  ikan  terjadi  dalam  tiga  tahapan  proses  yaitu: 1 disosiasi dari struktur myofibril oleh kelarutan protein dengan adanya garam;
2  terbukanya  sabagian  struktur  protein  yang  disebabkan  perlakuan  panas; 3  agregasi  dari  protein  yang  terbuka  melalui  ikatan  kovalen  dan  non  kovalen
untuk  membentuk  jaringan  tiga  dimensi  Stone  and  Stanley  1992  yang  diacu dalam Benjakul et al. 2001.
Perubahan dari sol menjadi gel tersebut melewati tiga tahap proses,  yaitu suwari,  modori,  dan  ashi.    Suwari  setting  terjadi  pada  suhu  kurang  dari  50
°C, merupakan  gejala  dimana  sol  yang  terbentuk  secara  perlahan-lahan  berubah
menjadi gel yang elastis Tan et al. 1988; Roussel dan Cheftel 1988.   Fenomena ini  menurut  Ramirez  et  al.  2002,  berkaitan  dengan  endogenous  calcium-
dependent  transglutaminase.  Mexican  flounder  tidak  menunjukan  fenomena setting  ini;  yang  kemungkinan  disebabkan  rendahnya  level  kalsium  akibat  tahap
pencucian pada saat proses pembuatan surimi Ramirez et al. 2002. Modori merupakan  gejala degradasi  gel, dimana  gel menjadi tidak elastis
dan fragile.  Modori berarti  ”kembali” yaitu kembali ke tekstur awal daging ikan. Gejala  modori  biasanya  terjadi  pada  suhu  60-65
°C  Roussel  dan  Cheftel  1990; Ramirez  et  al.  2002.    Gejala  modori  bervariasi  tergantung  kondisi  biologi  yaitu
kesegaran,  umur,  lokasi  penangkapan  dan  musim.  Ou  et  al.  2000,  menemukan bahwa  pada  suhu  40
°C  terjadi  gejala  modori  pada  surimi  dari  paddle  fish
14
Polydon  spathula,  dimana  degradasi  miosin  tersebut  dapat  dikurangi  dengan menambahkan  plasma  sapi.  Pada  pembentukan  gel  surimi  dari  sardin,  gejala
modori terjadi pada pemanasan pada suhu 50- 60 °C Alvarez et al. 1999.  Gejala
modori tersebut berkaitan dengan adanya  aktivasi dengan panas terhadap protein otot, terutama cathepsin Ramirez et al. 2002, cathepsin-cysteine proteinase An
et  al.  1996;  dan  serine-proteinase  Cao  et  al.  2000.    Ramirez  et  al.  2002, menemukan  bahwa  ekstrak  biji  legume  mengandung    protease  inhibitir  yang
spesifik  terhadap  serine-proteinase,  yang  dapat  menghambat  aktivitas  proteolitik pada  gel  surimi  dari  Mexican  flounder  dan  Atlantic  croacker,  sehingga
mengurangi  hidrolisis  miosin  dan  aktin.  Oleh  karena  itu,  kisaran  suhu  tersebut harus dilewati agar gel  yang mulai terbentuk pada tahap setting tidak mengalami
kerusakan atau degradasi. Gel ashi  terbentuk setelah melewati dua zone suhu tersebut. Oleh karena
itu  jika  sol  dipertahankan  dalam  waktu  yang  cukup  lama  pada  zona  suhu terjadinya  gel  suwari  atau  dengan  cepat  melewati  zona  suhu  terjadinya  gel
modori,  akan  terbentuk  gel  yang  kuat  dan  elastis.  Tan  et  al.  1988,  melakukan prinsip  pemanasan  dua  tahap  yaitu  setting  pada  suhu  40
°C  selama  20  menit dilanjutkan  dengan  pemanasan  pada  90
°C  selama  20  menit;  dimana  pada pemanasan  90
°C  bertujuan  untuk  pemasakan  dan  sterilisasi.  Ou  et  al.  2000, menemukan  bahwa  maksimum  kekuatan  gel  dapat  dicapai  dengan  pre-inkubasi
pada 70 °C diikuti dengan pemasakan pada 90°C.
Gel  surimi  yang  terbentuk  dapat  diuji  kekuatan  gelnya  dengan  tekstur analyzer,  atau  diuji  dengan  Texture  Profile  Analysis  atau  secara  subyektif  dapat
dilakukan dengan melakukan uji lipat dan uji gigit.  Selain itu juga ditentukan dari warna  yang menunjukan derajat putih, yang secara obyektif dapat diukur dengan
Whitenessmeter atau Chromameter.   Menurut Tan et al.  1988, surimi komersial yang  bermutu  baik  mempunyai  nilai  uji  lipat  AA  dan  masih  dapat  diterima  jika
mempunyai nilai uji gigit 5-6.
15
2.1.3 Bahan utama surimi