Analisis dan rekomendasi prioritas strategikebijakan

115 di Provinsi Papua Barat pada khususnya, yang cenderung mengkonsumsi ikan-ikan ekonomis penting dan kurang menyenangi ikan-ikan non ekonomis. Oleh karena itu, peluang ketersediaan bahan baku semakin tinggi dan adanya kompetitor pengguna bahan baku semakin kecil yang berdampak positif pada upaya pengembangan industri surimi dalam rangka pemanfaatan by-catch di Provinsi Papua Barat. Gambar 23 Analisis prioritas subfaktor terhadap faktor peluang.

7.4.3 Analisis dan rekomendasi prioritas strategikebijakan

Sesuai dengan struktur hirarki pengembangan industri surimi dalam rangka pemanfaatan by-catch di Provinsi Papua Barat, maka tahapan analisis yang berikutnya adalah analisis terhadap prioritas strategi atau kebijakan yang akan direkomendasikan dalam pengembangan industri tersebut. Adapun urutan prioritas strategikebijakan yang dapat direkomedasikan yakni prioritas pertama adalah diversifikasi surimi dengan bobot 0,312, prioritas kedua adalah pemberdayaan masyarakat, efisiensi dan efektifitas usaha dengan bobot 0,281 serta prioritas ketiga dan keempat yakni peningkatan infrastruktur dan keterampilan SDM dengan bobot 0,279 dan clean technology dengan bobot 0,128 seperti yang terlihat pada Gambar 24. Diversifikasi Surimi 0,312 Peningkatan Infrastruktur dan Ketrampilan SDM 0,279 Clean Technology 0,128 Pemberdayaan Masyarakat, Efisiensi dan Efektivitas Usaha 0,281 Gambar 24 Analisis prioritas strategikebijakan. Potensi Pasar Luas .671 Peningkatan Devisa Ekspor .230 Kebiasaan Konsumsi Masyarakat .098 Inconsistency = 0.06 with 0 missing judgments. 116 Diversifikasi surimi sebagai strategi utama yang diprioritaskan dalam mengembangkan industri surimi melalui pemanfaatan hasil tangkap sampingan by-catch pukat udang di Provinsi Papua Barat, mengindikasikan bahwa ketersediaan bahan baku berupa ikan by-catch pukat udang tersebut perlu diolah agar tidak lagi dibuang ke laut dengan percuma tetapi dapat dijadikan suatu produk yang lebih bermanfaat. Diversifikasi surimi yang paling tepat dilakukan adalah secara horizontal yakni memanfaatkan berbagai jenis ikan by- catch pukat udang tersebut menjadi surimi melalui teknologi pencampuran ikan-ikan tersebut dengan komposisi tertentu sehingga diperoleh surimi dengan kualitas yang sesuai standar yang diinginkan pasar. Selanjutnya apabila telah diperoleh surimi ikan campuran tersebut, maka dilakukan diversifikasi secara vertikal yakni pemanfaatan surimi tersebut menjadi produk olahan lanjutan seperti baso, sosis, siomay, fish cake, mie ikan, burger dan sebagainya. Mengingat inftrastruktur yang masih kurang dalam mendukung pencapaian diversifikasi surimi maka perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat, efisiensi dan efektivitas usaha sebagai strategi prioritas kedua dalam pengembangan industri surimi tersebut. Pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat lokal dalam proses pengolahan surimi dengan tujuan agar dapat mengurangi tingkat pengangguran yang ada di Provinsi Papua Barat. Selain itu, pemberdayaan masyarakat juga akan berdampak pada efisiensi dan efektivitas usaha yakni meminimalkan biaya tenaga kerja apabila dibandingkan dengan perekrutan tenaga kerja non lokal. Efisiensi dan efektivitas usaha sangat diperlukan dalam pengembangan industri surimi mengingat bahwa surimi merupakan komoditas ekspor, sehingga dapat menekan biaya produksi surimi yang pada akhirnya akan menurunkan harga jual surimi tersebut. Hal ini berarti salah satu komponen daya jual yaitu harga, dapat lebih bersaing dengan kompetitor lainnya. Namun demikian, terdapat banyak faktor pendukung lainnya yang perlu diperhatikan untuk mencapai hal tersebut. Pemberdayaan masyarakat utamanya masyarakat lokal yang pada umumnya masih minim pengetahuan akan pengolahan ikan menjadi surimi, sehingga perlu dilakukan pelatihan pengolahan surimi dimaksud. Pelatihan tersebut dapat berupa pemberian keterampilan dan pengetahuan akan teknologi pengolahan surimi, cara penggunaan alat pengolah, cara pengolahan yang higienis dan lain sebagainya. Selain itu, pemerintah sebagai aktor pendukung, perlu melakukan upaya peningkatan infrastruktur yang dianggap masih kurang baik melalui perbaikan infrastruktur yang sudah ada ataupun pengadaan infrastruktur yang sebelumnya belum ada, dan dianggap sangat penting bagi pengembangan industri surimi tersebut. Salah satu infrastruktur yang dianggap perlu yakni perbaikan atau pengadaan 117 jalan sebagai sarana transportasi yang akan dimanfaatkan dalam rangka supply ataupun distribusi dan pemasaran surimi. Infrastruktur lainnya adalah penyediaan listrik dalam kapasitas besar mengingat mesin-mesin yang digunakan dalam proses pengolahan adalah mesin dengan kebutuhan listrik dalam jumlah besar. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah penyediaan air bersih guna diperolehnya surimi dengan kualitas terbaik yakni surimi yang bebas di kontaminasi bakteri patogen dan sumber pembusukan lainnya. Strategi sebagai prioritas terakhir adalah clean technology yakni upaya memanfaatkan seluruh bagian dari ikan termasuk daging dan tulang ikan untuk diolah lebih lanjut. Strategi ini sangat diperlukan dalam pengembangan industri surimi melalui pemanfaatan by-catch pukat udang, mengingat by-catch yang diperoleh tidak semuanya dalam keadaan ikan utuh sehingga tidak dapat diolah menjadi surimi. Selain itu, tidak semua jenis ikan memiliki nilai ekonomis bila diolah menjadi surimi, seperti halnya jenis-jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi yaitu kakap merah, tuna, tenggiri, bawal, cakalang lebih menguntungkan diolah dalam bentuk fillet atau utuh beku sedangkan jenis ikan yang mempunyai rendemen yield yang kecil seperti peperek tidak menguntungkan bila diolah menjadi surimi. Dalam pengolahan surimi, tidak semua bagian ikan akan dimanfaatkan namun hanya dimanfaatkan diambil pada bagian daging, sehingga akan menyisakan bagian tulang, duri dan kulit ikan. Oleh karena itu, melalui clean technology, ikan-ikan tidak utuh hancur dan bagian tulang ikan yang tidak dapat diolah menjadi surimi dapat diolah lebih lanjut, salah satunya yakni dijadikan bahan baku pembuatan tepung ikan. Dengan demikian, upaya pengembangan industri surimi dalam rangka pemanfaatan by-catch pukat udang di Provinsi Papua Barat melalui keempat strategi tersebut diharapkan dapat memberikan hasil yang maksimal. 118 8 PEMBAHASAN UMUM PENGEMBANGAN INDUSTRI SURIMI Hambatan utama dalam upaya pengelolaan HTS agar dapat didaratkan dan dimanfaatkan adalah keuntungan yang tidak menjanjikan bagi pengusaha penangkapan termasuk ABK dan pengusaha pengolahan. Bagi pengusaha penangkapan, volume HTS, variasi spesies dan ikan-ikan berekonomis rendah merupakan kombinasi yang menyebabkan pengumpulan dan pendaratan HTS menjadi tidak menguntungkan. Permasalahan pemanfaatan hasil tangkap sampingan by-catch pukat udang di Laut Arafura sebagai bahan baku industri pengolahan surimi telah dianalisis dengan menggunakan beberapa faktor analisis, yaitu analisa ketersediaan bahan baku, analisis teknologi pengolahan surimi, analisis kelayakan usaha dan analisis kebijakan pengembangan industri surimi. Keterkaitan antara faktor-faktor analisis di atas dapat dijadikan pedoman untuk pengembangan industri pengolahan surimi di Papua Barat. Ketersediaan bahan baku, baik kualitas, kuantitas dan kontinuitas merupakan faktor yang sangat menentukan dalam pengembangan industri pengolahan. Ketersediaan bahan baku yang bersumber dari hasil tangkap sampingan by-catch pukat udang sangat mendukung dikembangkannya industri surimi di Papua Barat. Berdasarkan dari beberapa pendekatan analisis menunjukkan bahwa 502 unit armada pukat udang yang beroperasi di Laut Arafura Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap 2006 dapat menghasilkan hasil tangkap sampingan sebanyak 318 tonhari atau 399.082 tontahun. Jumlah HTS ini ekuivalen dengan pendekatan data statistik dimana hasil tangkapan udang dari Arafura pada tahun 2002 sampai dengan 2006 menunjukkan bahwa rata-rata produksi udang Arafura sebesar 26.837 ton dan bila dikonvensikan dengan rasio udang dan HTS 1 : 12 maka HTS dari pukat udang Laut Arafura rata-rata sebesar 322.048 ton Badrudin 2004. Jumlah tersebut juga didukung hasil penelitian Purbayanto et al. 2004 yang menyatakan bahwa jumlah HTS Arafura diperkirakan sebesar 332.186,40 ton per tahun. Hasil tangkap sampingan sebesar 399.000 ton per tahun tersebut terdiri dari berbagai spesies ikan yang pemanfaatannya dapat dikatagorikan menjadi 3 119 katagori kelaikan pemanfaatan, yaitu jenis ikan ekonomis penting 10,96 seperti kakap merah, kerapu, bawal, kembung, layur dan tenggiri secara ekonomis dimanfaatkan dalam bentuk utuh atau fillet beku; jenis ikan non ekonomis yang tidak laik untuk surimi seperti ikan peperek, cucut, lemuru, bulu ayam dan lain- lain sejumlah 54,79 untuk dijadikan ikan asin dan tepung ikan, sedangkan ikan yang laik untuk dimanfaatkan sebagai surimi, antara lain ikan beloso, gulama, biji nangka, kurisi, dll berjumlah 34,25 atau 136.685 ton. Dari jumlah HTS untuk surimi tersebut dapat menghasilkan surimi sejumlah 43.739 ton dengan rendemen 32. Sementara itu, ketersediaan bahan baku di Sorong sangat memungkinkan dilakukannya pengembangan industri surimi. Jumlah kapal pukat udang yang berpangkalan di Sorong sebanyak 102 unit. Masing-masing kapal rata-rata menghasilkan HTS sebesar 159 ton per trip dengan waktu operasi rata-rata 5 trip dalam 1 tahun, sehingga diperkirakan HTS yang dihasilkan sebesar 81.000 ton per tahun. Jenis yang dapat digunakan sebagai bahan baku surimi adalah sebesar 27.540 ton per tahun 34 dari total bahan baku. Ketersediaan bahan baku HTS tersebut akan berkurang sebesar 42,5 bila pengawasan penerapan penggunaan TED pada pukat udang di Laut Arafura berjalan efektif. Untuk dapat mengelola HTS secara ekonomis, pengusaha penangkapan dan industri pengolahan harus dapat bekerja sama dalam mendaratkan dan mengolah HTS menjadi produk yang laku di pasar dengan harga kompetitif dan untuk menjaga kelangsungan pasokan bahan baku, maka harga ikan harus menguntungkan bagi pengusaha penangkapan Marpaung 2006. Kecukupan ketersediaan bahan baku dari HTS pukat udang di Laut Arafuru masih dihadapkan pada kendala dalam pengelolaannya mengingat tersebarnya operasi kapal pukat udang di Laut Arafura dan terbatasnya volume palka yang diprioritaskan untuk tangkapan utama udang, disamping itu HTS terdiri dari campuran berbagai jenisspesies ikan dan keterbatasan awak kapal untuk menangani HTS tersebut. Untuk memecahkan permasalahan tersebut telah dilakukan analisis teknologi pengolahan surimi cara terputus, yaitu melakukan pengolahan pendahuluan di kapal dalam bentuk lumatan daging minced fish yang dibekukan dan lanjutan pengolahan surimi dilakukan di darat. 120 Tahapan pengolahan minced fish di atas kapal terdiri dari : sortasi yang bertujuan untuk memisahkan udang dengan HTS dan HTS yang laik untuk surimi, pencucian, meatbone separating, penyusunan minced dalam pan, pembekuan dan penyimpanan beku. Metode distribusi yang dapat digunakan untuk membawa minced fish dari kapal pukat udang ke darat terdiri dari 2 cara, yaitu dengan mengangkut minced fish langsung ke darat menggunakan kapal pukat udang atau transportasi ke darat menggunakan kapal carrier. Analisis mutu surimi dalam waktu 5 minggu dengan interval 1 minggu dengan menggunakan campuran beberapa jenis ikan dengan rasio tertentu. Surimi ikan campuran 8 jenis HTS dengan perlakuan pencampuran berdasarkan persentase hasil tangkapan menghasilkan mutu yang terbaik. Surimi tetap bermutu baik hingga penyimpanan minggu ke 5 35 hari, yaitu : gelstrength rata-rata sebesar 722,76 grcm 2 , nilai uji lipat AA dan nilai uji gigit 8. Oleh karena itu penempatan meatbone separator di kapal sangat diperlukan untuk memisahkan antara daging dan kulit serta tulang ikan hingga dihasilkan lumatan daging yang dilanjutkan dengan proses pembekuan dan penyimpanan beku. Mengingat keterbatasan palka kapal dan lamanya operasi penangkapan 51 hari, maka alternatif pengumpulan minced fish beku untuk dibawa ke darat memerlukan kapal pengumpul dan pengangkut serta memanfaatkan palka yang tersisa selain tangkapan utama pada saat kapal kembali ke pangkalan. Dilihat dari ketersediaan bahan baku serta analisa mutu surimi, maka perlu perhitungan atau analisa finansial untuk mengetahui apakah industri surimi layak untuk dikembangkan serta mendapatkan gambaran besarnya investasi dan biaya yang harus dikeluarkan dalam membangun usaha pengolahan serta besarnya manfaat yang dapat diperoleh oleh stakeholder dari usaha pengolahan surimi tersebut. Analisis kelayakan finansial terhadap usaha pengolahan surimi yang sudah ada saat ini yakni PT. A dengan skala usaha semi modern dan PT. B dengan skala usaha modern memberikan gambaran bahwa usaha pengolahan surimi merupakan usaha yang sangat layak untuk dikembangkan. Hal ini terlihat dari kriteria-kriteria kelayakan finansial yakni Net Present Value NPV yang positif menggambarkan bahwa besarnya pendapatan yang diperoleh apabila 121 menanamkan investasi pada usaha pengolahan surimi, Internal Rate of Return IRR yang lebih tinggi daripada suku bunga bank apabila dibandingkan berinvestasi di bank, Payback Period PP yang tergolong cepat sehingga tingkat pengembalian investasi dapat dengan cepat, Profitability Index PI yang lebih besar dari satu menggambarkan bahwa nilai investasi yang ditanamkan menguntungkan apabila dibandingkan dengan nilai saat ini, demikian pula dengan Net Benefit Cost BC Ratio. Kriteria-kriteria kelayakan tersebut harus dapat didukung oleh daya jual yang tinggi yakni kemampuan minimal mencapai angka Break Even Point BEP. Kelayakan finansial dari perusahaan surimi terhadap PT. A dan B tersebut, selanjutnya dijadikan acuan bagi analisis kelayakan usaha pengolahan surimi di Sorong, Papua Barat. Dalam analisis tersebut, terdapat beberapa asumsi tambahan terutama mengenai besarnya biaya yang memiliki tingkat kemahalan yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan perusahaan pengolahan surimi yang sudah ada saat ini. Hasil analisis yang diperoleh adalah bahwa pembangunan usaha pengolahan surimi di Sorong berdasarkan analisis finansial adalah layak untuk dilakukan. Hal ini mengindikasikan bahwa berinvestasi dalam pembangunan usaha pengolahan surimi adalah sangat menguntungkan. Mengingat kondisi sarana dan prasarana di Sorong, perlu dilakukan analisa kebijakan pengembangan industri surimi dengan cara menggali informasi dan pendapat dari para stakeholder terkait, untuk mengetahui sejauh mana kemungkinan pengembangan industri surimi. Hasil analisa kebijakan dengan menggunakan SWOT dan AHP menunjukkan bahwa pengolahan by-catch menjadi surimi sangat potensial untuk dilaksanakan, yang terlihat dari alternatif strategi yakni diversifikasi surimi yang diiringi dengan adanya pemberdayaan masyarakat, efisiensi dan efektifitas usaha, peningkatan infrastruktur dan keterampilan sumberdaya manusia serta adanya clean technology. Lokasi pembangunan industri surimi adalah di Pelabuhan Perikanan Pantai Sorong yang telah dilengkapi dengan berbagai fasilitas yakni fasilitas pokok, fungsional dan penunjang. Fasilitas pokok terdiri atas dermaga bongkar, dermaga tambat, breakwater, rambu suar, jalan kompleks, irigasidrainase, fender, bolder dan dolphin. Fasilitas fungsional antara lain kantor, BPN, bengkel, instalasi air 122 bersih, tangki BBM, instalasi telekomunikasi, instalasi listrik, gedung pelayanan umum, administrasi dan gedung serbaguna, rumah genset dan pompa serta sumur artesis. Pemanfaatan HTS menjadi Surimi mendapatkan dukungan dari pemerintah yang tertuang dalam UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan pasal 24, menyebutkan bahwa pemerintah mendorong peningkatan nilai tambah produksi hasil perikanan dan sekaligus akan membatasi ekspor bahan baku industri pengolahan ikan untuk menjamin ketersediaan bahan baku di dalam negeri. Hasil riset yang dilakukan kerjasama antara Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Papua dan Sucofindo yang dituangkan dalam pedoman umum “Perencanaan Pengelolaan dan Pemanfaatan Hasil tangkap sampingan Pukat Udang di Laut Arafura” menggambarkan bahwa urutan prioritas pengembangan jenis pengolahan yang dikaji secara menyeluruh adalah surimi, tepung ikan, fillet beku, ikan segar dan tradisional. Analisis tersebut mengindikasikan bahwa pengolahan ikan HTS menjadi surimi merupakan alternatif terbaik ditinjau dari segi teknologi, pemasaran, bahan baku, investasi dan sumberdaya manusia. Departemen Kelautan dan Perikanan sebagai institusi nasional yang bertanggung jawab dalam bidang kelautan dan perikanan telah mengeluarkan Peraturan Menteri nomor PER.05MEN 2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Salah satu pasal pada peraturan tersebut dinyatakan bahwa ijin penangkapan ikan diberikan kepada perusahaan penangkapan ikan yang memiliki unit pengolahan ikan di dalam negeri. Hasil tangkapan yang dihasilkan wajib didaratkan seluruhnya di pelabuhan pangkalan kecuali ikan hidup, tuna untuk sashimi atau ikan lain yang menurut sifatnya tidak memerlukan pengolahan. Peraturan tersebut ditindak lanjuti dengan Keputusan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan nomor KEP 033DJ-P2HP2008 tentang Jenis Ikan Laut Hasil Tangkapan Yang Menurut Sifatnya Tidak Memerlukan Pengolahan. Pada peraturan tersebut dijelaskan kembali bahwa seluruh ikan hasil tangkapan wajib didaratkan di pelabuhan pangkalan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku unit pengolahan ikan atau konsumsi dalam negeri serta wajib mengalami penanganan dan atau pengolahan. 123 Kedua peraturan tersebut menjadi stimulus bagi pengusaha untuk berinvestasi membangun industri pengolahan ikan, dan secara tidak langsung membuka peluang bagi perkembangan industri surimi yang memanfaatkan hasil tangkap sampingan. Dukungan kebijakan pemerintah dalam pemanfaatan HTS di Laut Arafura perlu diatur dalam regulasi yang lebih spesifik, sehingga HTS pukat udang yang terbuang dapat segera dimanfaatkan. Hal ini mengingat kondisi di lapangan dimana kapal pukat udang yang membawa ikan dipermasalahkan oleh pihak keamanan di laut dan kapal hanya diperkenankan membawa tangkapan utama udang. Pemanfaatan HTS pukat udang harus melibatkan semua unsur pemangku kepentingan, baik pemerintah pusat dan daerah, industri penangkapan, industri pengolahan, transportasi serta pemasaran, sehingga diperlukan regulasi pemerintah untuk mendukung pemanfaatan HTS. Regulasi yang spesifik mengatur setidaknya setingkat Peraturan Pemerintah PP yang diikuti kebijakan atau aturan pelaksanaan di bawahnya. Pasal 24 UU No. 31 tahun 2004 tentang perikanan sudah mengamanatkan bahwa pemerintah mendorong peningkatan nilai tambah produk hasil perikanan, dan ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambah produk hasil perikanan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Amanat pasal 11 Code of Conduct for Responsible Fisheries CCRF–FAO, bahwa negara harus mendorong pihak yang terlibat dalam pengolahan, distribusi dan pemasaran agar meningkatkan pemanfaatan HTS hasil tangkap sampingan dan mendorong pemanfaatan ikan untuk konsumsi manusia serta konsisten dengan praktek pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab. Peraturan Pemerintah PP yang mengatur tentang pemanfaatan HTS harus ditindak lanjuti Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan, Peraturan Gubernur dan Peraturan Daerah yang secara lebih spesifik mengatur dan menjadi pedoman pelaksanaan dalam pemanfaatan HTS pukat udang di Laut Arafura. Ruang lingkup regulasi harus mencakup pengaturan semua aspek yang terkait pemanfaatan HTS pukat udang di Laut Arafura, yang meliputi : 1 Penanganan dan pengelolaan HTS di atas kapal. 2 Transportasi ke pangkalan pendaratan. 3 Wilayah pengembangan industri pengolahan. 124 4 Pengembangan sarana, prasarana dan infrastruktur pendukung industri pengolahan, pengangkutan dan transportasipemasaran. 5 Fasilitas pajak dan kemudahan investasi. 125 9 KESIMPULAN DAN SARAN

9.1 Kesimpulan