115
di Provinsi Papua Barat pada khususnya, yang cenderung mengkonsumsi ikan-ikan ekonomis penting  dan  kurang  menyenangi  ikan-ikan  non  ekonomis.  Oleh  karena  itu,  peluang
ketersediaan  bahan  baku  semakin  tinggi  dan  adanya  kompetitor  pengguna  bahan  baku semakin  kecil  yang  berdampak  positif  pada  upaya  pengembangan  industri  surimi  dalam
rangka pemanfaatan by-catch  di Provinsi Papua Barat.
Gambar 23 Analisis prioritas subfaktor terhadap faktor peluang.
7.4.3  Analisis dan rekomendasi prioritas strategikebijakan
Sesuai  dengan  struktur  hirarki  pengembangan  industri  surimi  dalam  rangka pemanfaatan by-catch di Provinsi Papua Barat, maka tahapan analisis yang berikutnya adalah
analisis  terhadap  prioritas  strategi  atau  kebijakan  yang  akan  direkomendasikan  dalam pengembangan  industri  tersebut.  Adapun  urutan  prioritas  strategikebijakan  yang  dapat
direkomedasikan  yakni  prioritas  pertama  adalah  diversifikasi  surimi  dengan  bobot  0,312, prioritas kedua adalah pemberdayaan masyarakat, efisiensi dan efektifitas usaha dengan bobot
0,281  serta  prioritas  ketiga  dan  keempat  yakni  peningkatan  infrastruktur  dan  keterampilan SDM dengan bobot 0,279 dan clean technology dengan bobot 0,128 seperti yang terlihat pada
Gambar 24.
Diversifikasi Surimi 0,312
Peningkatan Infrastruktur dan Ketrampilan SDM 0,279
Clean Technology 0,128
Pemberdayaan Masyarakat, Efisiensi dan Efektivitas Usaha 0,281
Gambar 24 Analisis prioritas strategikebijakan.
Potensi Pasar Luas .671
Peningkatan Devisa Ekspor .230
Kebiasaan Konsumsi Masyarakat .098
Inconsistency =  0.06 with 0  missing judgments.
116
Diversifikasi  surimi  sebagai  strategi    utama  yang  diprioritaskan  dalam mengembangkan  industri  surimi  melalui  pemanfaatan  hasil  tangkap  sampingan  by-catch
pukat  udang  di  Provinsi  Papua  Barat,  mengindikasikan  bahwa  ketersediaan  bahan  baku berupa ikan by-catch pukat udang tersebut perlu diolah agar tidak lagi dibuang ke laut dengan
percuma tetapi dapat dijadikan suatu produk yang lebih bermanfaat. Diversifikasi surimi yang paling  tepat  dilakukan  adalah  secara  horizontal  yakni  memanfaatkan  berbagai  jenis  ikan  by-
catch pukat udang tersebut menjadi surimi melalui teknologi pencampuran ikan-ikan tersebut dengan  komposisi  tertentu  sehingga  diperoleh  surimi  dengan  kualitas  yang  sesuai  standar
yang  diinginkan  pasar.  Selanjutnya  apabila  telah  diperoleh  surimi    ikan  campuran  tersebut, maka  dilakukan  diversifikasi  secara  vertikal  yakni  pemanfaatan  surimi  tersebut  menjadi
produk  olahan  lanjutan  seperti  baso,  sosis,  siomay,  fish  cake,  mie  ikan,  burger  dan sebagainya.
Mengingat  inftrastruktur  yang  masih  kurang  dalam  mendukung  pencapaian diversifikasi surimi maka perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat, efisiensi dan efektivitas
usaha  sebagai  strategi  prioritas  kedua  dalam  pengembangan  industri  surimi  tersebut. Pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat lokal dalam proses
pengolahan  surimi  dengan  tujuan  agar  dapat  mengurangi  tingkat  pengangguran  yang  ada  di Provinsi  Papua  Barat.  Selain  itu,  pemberdayaan  masyarakat  juga  akan  berdampak  pada
efisiensi dan efektivitas usaha yakni meminimalkan biaya  tenaga kerja apabila dibandingkan dengan perekrutan tenaga kerja non lokal.  Efisiensi dan efektivitas usaha sangat diperlukan
dalam pengembangan industri surimi mengingat bahwa surimi merupakan komoditas ekspor, sehingga  dapat  menekan  biaya  produksi  surimi  yang  pada  akhirnya  akan  menurunkan  harga
jual  surimi  tersebut.  Hal  ini  berarti  salah  satu  komponen  daya  jual  yaitu  harga,  dapat  lebih bersaing  dengan  kompetitor  lainnya.  Namun  demikian,  terdapat  banyak  faktor  pendukung
lainnya yang perlu diperhatikan untuk mencapai hal tersebut. Pemberdayaan  masyarakat  utamanya  masyarakat  lokal  yang  pada  umumnya  masih
minim pengetahuan akan pengolahan ikan menjadi surimi, sehingga perlu dilakukan pelatihan pengolahan  surimi  dimaksud.  Pelatihan  tersebut  dapat  berupa  pemberian  keterampilan  dan
pengetahuan  akan  teknologi  pengolahan  surimi,  cara  penggunaan  alat  pengolah,  cara pengolahan  yang  higienis  dan  lain  sebagainya.  Selain  itu,  pemerintah  sebagai  aktor
pendukung,    perlu  melakukan  upaya  peningkatan  infrastruktur  yang  dianggap  masih  kurang baik  melalui  perbaikan  infrastruktur  yang  sudah  ada  ataupun  pengadaan  infrastruktur  yang
sebelumnya  belum  ada,  dan  dianggap  sangat  penting  bagi  pengembangan  industri  surimi tersebut.  Salah  satu  infrastruktur  yang  dianggap  perlu  yakni  perbaikan  atau  pengadaan
117
jalan  sebagai  sarana  transportasi  yang  akan  dimanfaatkan  dalam  rangka  supply  ataupun distribusi  dan  pemasaran  surimi.  Infrastruktur  lainnya  adalah  penyediaan  listrik  dalam
kapasitas  besar  mengingat  mesin-mesin  yang  digunakan  dalam  proses  pengolahan  adalah mesin dengan kebutuhan listrik dalam jumlah besar. Selain itu,  yang tidak kalah pentingnya
adalah  penyediaan  air  bersih  guna  diperolehnya  surimi  dengan  kualitas  terbaik  yakni  surimi yang bebas di kontaminasi bakteri patogen dan sumber pembusukan lainnya.
Strategi sebagai prioritas terakhir adalah clean technology yakni upaya memanfaatkan seluruh bagian dari ikan termasuk daging dan tulang ikan untuk diolah lebih lanjut. Strategi
ini  sangat  diperlukan  dalam  pengembangan  industri  surimi  melalui  pemanfaatan  by-catch pukat  udang,  mengingat  by-catch  yang  diperoleh  tidak  semuanya  dalam  keadaan  ikan  utuh
sehingga tidak dapat diolah menjadi surimi. Selain itu, tidak semua jenis ikan memiliki nilai ekonomis  bila  diolah  menjadi  surimi,  seperti  halnya  jenis-jenis  ikan  yang  bernilai  ekonomis
tinggi yaitu kakap merah, tuna, tenggiri, bawal, cakalang lebih menguntungkan diolah dalam bentuk  fillet  atau  utuh  beku  sedangkan  jenis  ikan  yang  mempunyai  rendemen  yield  yang
kecil seperti peperek tidak menguntungkan bila diolah menjadi surimi. Dalam pengolahan surimi, tidak semua bagian ikan akan dimanfaatkan namun hanya
dimanfaatkan  diambil  pada  bagian  daging,  sehingga  akan  menyisakan  bagian  tulang,  duri dan kulit ikan. Oleh karena itu, melalui  clean technology, ikan-ikan tidak utuh hancur dan
bagian  tulang  ikan  yang  tidak  dapat  diolah  menjadi  surimi  dapat  diolah  lebih  lanjut,  salah satunya yakni dijadikan bahan baku pembuatan tepung ikan.
Dengan  demikian,  upaya  pengembangan  industri  surimi  dalam  rangka  pemanfaatan by-catch  pukat  udang  di  Provinsi  Papua  Barat  melalui  keempat  strategi  tersebut  diharapkan
dapat memberikan hasil yang maksimal.
118
8   PEMBAHASAN UMUM PENGEMBANGAN INDUSTRI SURIMI
Hambatan utama dalam upaya pengelolaan HTS agar dapat didaratkan dan dimanfaatkan  adalah  keuntungan  yang  tidak  menjanjikan  bagi  pengusaha
penangkapan  termasuk  ABK  dan  pengusaha  pengolahan.  Bagi  pengusaha penangkapan,  volume  HTS,  variasi  spesies  dan  ikan-ikan  berekonomis  rendah
merupakan  kombinasi  yang  menyebabkan  pengumpulan  dan  pendaratan  HTS menjadi tidak menguntungkan.
Permasalahan  pemanfaatan  hasil  tangkap  sampingan  by-catch  pukat udang  di  Laut  Arafura  sebagai  bahan  baku  industri  pengolahan  surimi  telah
dianalisis  dengan  menggunakan  beberapa  faktor  analisis,  yaitu  analisa ketersediaan bahan baku, analisis teknologi pengolahan surimi, analisis kelayakan
usaha  dan  analisis  kebijakan  pengembangan  industri  surimi.  Keterkaitan  antara faktor-faktor  analisis  di  atas  dapat  dijadikan  pedoman  untuk  pengembangan
industri pengolahan surimi di Papua Barat. Ketersediaan  bahan  baku,  baik  kualitas,  kuantitas  dan  kontinuitas
merupakan  faktor  yang  sangat  menentukan  dalam  pengembangan  industri pengolahan.  Ketersediaan  bahan  baku  yang  bersumber  dari  hasil  tangkap
sampingan by-catch pukat udang sangat mendukung dikembangkannya industri surimi  di  Papua  Barat.  Berdasarkan  dari  beberapa  pendekatan  analisis
menunjukkan  bahwa  502  unit  armada  pukat  udang  yang  beroperasi  di  Laut Arafura  Direktorat  Jenderal  Perikanan  Tangkap  2006  dapat  menghasilkan  hasil
tangkap  sampingan  sebanyak  318  tonhari  atau  399.082  tontahun.  Jumlah  HTS ini ekuivalen dengan pendekatan data statistik dimana hasil tangkapan udang dari
Arafura  pada  tahun  2002  sampai  dengan  2006  menunjukkan  bahwa  rata-rata produksi udang Arafura sebesar 26.837 ton dan bila dikonvensikan dengan  rasio
udang dan HTS 1 : 12 maka HTS dari pukat udang Laut Arafura rata-rata sebesar 322.048  ton  Badrudin  2004.  Jumlah  tersebut  juga  didukung  hasil  penelitian
Purbayanto  et  al.  2004  yang  menyatakan  bahwa  jumlah  HTS  Arafura diperkirakan sebesar  332.186,40 ton per tahun.
Hasil  tangkap  sampingan  sebesar  399.000  ton  per  tahun  tersebut  terdiri dari  berbagai  spesies  ikan  yang  pemanfaatannya  dapat  dikatagorikan  menjadi  3
119
katagori  kelaikan  pemanfaatan,  yaitu  jenis  ikan  ekonomis  penting  10,96 seperti kakap merah, kerapu, bawal, kembung, layur dan tenggiri secara ekonomis
dimanfaatkan  dalam  bentuk  utuh  atau  fillet  beku;  jenis  ikan  non  ekonomis  yang tidak  laik  untuk  surimi  seperti  ikan  peperek,  cucut,  lemuru,  bulu  ayam  dan  lain-
lain sejumlah 54,79 untuk dijadikan ikan asin dan tepung ikan, sedangkan ikan yang laik untuk dimanfaatkan sebagai surimi, antara lain ikan beloso, gulama, biji
nangka,  kurisi,  dll  berjumlah  34,25  atau  136.685  ton.  Dari  jumlah  HTS  untuk surimi tersebut dapat menghasilkan surimi sejumlah 43.739 ton dengan rendemen
32.  Sementara  itu,  ketersediaan  bahan  baku  di  Sorong  sangat  memungkinkan dilakukannya  pengembangan  industri  surimi.  Jumlah  kapal  pukat  udang  yang
berpangkalan  di  Sorong  sebanyak  102  unit.  Masing-masing  kapal  rata-rata menghasilkan HTS sebesar 159 ton per trip dengan waktu operasi rata-rata 5 trip
dalam 1 tahun, sehingga diperkirakan HTS yang dihasilkan sebesar 81.000 ton per tahun.  Jenis  yang  dapat  digunakan  sebagai  bahan  baku  surimi  adalah  sebesar
27.540 ton per tahun 34 dari total bahan baku. Ketersediaan bahan baku HTS tersebut  akan  berkurang  sebesar  42,5  bila  pengawasan  penerapan  penggunaan
TED pada pukat udang di Laut Arafura berjalan efektif. Untuk  dapat  mengelola  HTS  secara  ekonomis,  pengusaha  penangkapan
dan  industri  pengolahan  harus  dapat  bekerja  sama  dalam  mendaratkan  dan mengolah  HTS  menjadi  produk  yang  laku  di  pasar  dengan  harga  kompetitif  dan
untuk  menjaga  kelangsungan  pasokan  bahan  baku,  maka  harga  ikan  harus menguntungkan bagi pengusaha penangkapan Marpaung 2006.
Kecukupan  ketersediaan  bahan  baku  dari  HTS  pukat  udang  di  Laut Arafuru  masih  dihadapkan  pada  kendala  dalam  pengelolaannya  mengingat
tersebarnya  operasi  kapal  pukat  udang  di  Laut  Arafura  dan  terbatasnya  volume palka  yang  diprioritaskan  untuk  tangkapan  utama  udang,  disamping  itu  HTS
terdiri  dari  campuran  berbagai  jenisspesies  ikan  dan  keterbatasan  awak  kapal untuk menangani HTS tersebut. Untuk memecahkan permasalahan tersebut telah
dilakukan  analisis  teknologi  pengolahan  surimi  cara  terputus,  yaitu  melakukan pengolahan  pendahuluan  di  kapal  dalam  bentuk  lumatan  daging  minced  fish
yang dibekukan dan lanjutan pengolahan surimi dilakukan di darat.
120
Tahapan  pengolahan  minced  fish  di  atas  kapal  terdiri  dari  :  sortasi  yang bertujuan untuk memisahkan udang dengan HTS dan HTS yang laik untuk surimi,
pencucian, meatbone separating, penyusunan minced dalam pan, pembekuan dan penyimpanan beku.
Metode distribusi yang dapat digunakan untuk membawa minced fish dari kapal  pukat  udang  ke  darat  terdiri  dari  2  cara,  yaitu  dengan  mengangkut  minced
fish langsung ke darat menggunakan kapal pukat udang atau transportasi ke darat menggunakan  kapal carrier.
Analisis  mutu  surimi  dalam  waktu  5  minggu  dengan  interval  1  minggu dengan menggunakan campuran beberapa jenis ikan dengan rasio tertentu. Surimi
ikan  campuran  8  jenis  HTS  dengan  perlakuan  pencampuran  berdasarkan persentase hasil tangkapan menghasilkan mutu yang terbaik. Surimi tetap bermutu
baik  hingga  penyimpanan  minggu  ke  5  35  hari,  yaitu  :  gelstrength  rata-rata sebesar  722,76  grcm
2
,  nilai  uji  lipat  AA  dan  nilai  uji  gigit  8.  Oleh  karena  itu penempatan  meatbone  separator  di  kapal  sangat  diperlukan  untuk  memisahkan
antara  daging  dan  kulit  serta  tulang  ikan  hingga  dihasilkan  lumatan  daging  yang dilanjutkan  dengan  proses  pembekuan  dan  penyimpanan  beku.  Mengingat
keterbatasan  palka  kapal  dan  lamanya  operasi  penangkapan  51  hari,  maka alternatif  pengumpulan  minced  fish  beku  untuk  dibawa  ke  darat  memerlukan
kapal  pengumpul  dan  pengangkut  serta  memanfaatkan  palka  yang  tersisa  selain tangkapan utama pada saat kapal kembali ke pangkalan.
Dilihat dari ketersediaan bahan baku serta analisa mutu surimi, maka perlu perhitungan atau analisa finansial untuk mengetahui apakah industri surimi layak
untuk  dikembangkan  serta  mendapatkan  gambaran  besarnya  investasi  dan  biaya yang  harus  dikeluarkan  dalam  membangun  usaha  pengolahan  serta  besarnya
manfaat  yang  dapat  diperoleh  oleh  stakeholder  dari  usaha  pengolahan  surimi tersebut.  Analisis  kelayakan  finansial  terhadap  usaha  pengolahan  surimi  yang
sudah ada saat ini yakni PT. A dengan skala usaha semi modern dan PT. B dengan skala  usaha  modern  memberikan  gambaran  bahwa  usaha  pengolahan  surimi
merupakan  usaha  yang  sangat  layak  untuk  dikembangkan.  Hal  ini  terlihat  dari kriteria-kriteria  kelayakan  finansial  yakni  Net  Present  Value  NPV  yang  positif
menggambarkan bahwa
besarnya pendapatan
yang diperoleh
apabila
121
menanamkan  investasi  pada  usaha  pengolahan  surimi,  Internal  Rate  of  Return IRR  yang  lebih  tinggi  daripada  suku  bunga  bank  apabila  dibandingkan
berinvestasi di bank, Payback Period PP yang tergolong cepat sehingga tingkat pengembalian  investasi  dapat  dengan  cepat,  Profitability  Index  PI  yang  lebih
besar  dari  satu  menggambarkan  bahwa  nilai  investasi  yang  ditanamkan menguntungkan apabila dibandingkan dengan nilai saat ini, demikian pula dengan
Net  Benefit  Cost  BC  Ratio.  Kriteria-kriteria  kelayakan  tersebut  harus  dapat didukung oleh daya jual yang tinggi yakni kemampuan minimal mencapai angka
Break Even Point BEP. Kelayakan finansial dari perusahaan surimi terhadap PT. A dan B tersebut,
selanjutnya  dijadikan  acuan  bagi  analisis  kelayakan  usaha  pengolahan  surimi  di Sorong, Papua Barat. Dalam analisis tersebut, terdapat beberapa asumsi tambahan
terutama  mengenai  besarnya  biaya  yang  memiliki  tingkat  kemahalan  yang  lebih tinggi  apabila  dibandingkan  dengan  perusahaan  pengolahan  surimi  yang  sudah
ada  saat  ini.  Hasil  analisis  yang  diperoleh  adalah  bahwa  pembangunan  usaha pengolahan  surimi  di  Sorong  berdasarkan  analisis  finansial  adalah  layak  untuk
dilakukan.  Hal  ini  mengindikasikan  bahwa  berinvestasi  dalam  pembangunan usaha pengolahan surimi adalah sangat menguntungkan.
Mengingat kondisi sarana dan prasarana di Sorong, perlu dilakukan analisa kebijakan  pengembangan  industri  surimi  dengan  cara  menggali  informasi  dan
pendapat  dari  para  stakeholder  terkait,  untuk  mengetahui  sejauh  mana kemungkinan  pengembangan  industri  surimi.  Hasil  analisa  kebijakan  dengan
menggunakan  SWOT  dan  AHP  menunjukkan  bahwa  pengolahan  by-catch menjadi  surimi  sangat  potensial  untuk  dilaksanakan,  yang  terlihat  dari  alternatif
strategi  yakni  diversifikasi  surimi    yang  diiringi  dengan  adanya  pemberdayaan masyarakat,  efisiensi  dan  efektifitas  usaha,  peningkatan  infrastruktur  dan
keterampilan sumberdaya manusia serta adanya clean technology. Lokasi pembangunan industri surimi adalah di Pelabuhan Perikanan Pantai
Sorong  yang  telah  dilengkapi  dengan  berbagai  fasilitas  yakni  fasilitas  pokok, fungsional dan penunjang. Fasilitas pokok terdiri atas dermaga bongkar, dermaga
tambat,  breakwater,  rambu  suar,  jalan  kompleks,  irigasidrainase,  fender,  bolder dan  dolphin.  Fasilitas  fungsional  antara  lain  kantor,  BPN,  bengkel,  instalasi  air
122
bersih,  tangki  BBM,  instalasi  telekomunikasi,  instalasi  listrik,  gedung  pelayanan umum, administrasi dan gedung serbaguna, rumah genset dan pompa serta sumur
artesis. Pemanfaatan HTS menjadi Surimi mendapatkan dukungan dari pemerintah
yang  tertuang  dalam  UU  No.31  Tahun  2004  tentang  Perikanan  pasal  24, menyebutkan  bahwa  pemerintah  mendorong  peningkatan  nilai  tambah  produksi
hasil  perikanan  dan  sekaligus  akan  membatasi  ekspor  bahan  baku  industri pengolahan ikan untuk menjamin ketersediaan bahan baku di dalam negeri.  Hasil
riset  yang  dilakukan  kerjasama  antara  Dinas  Perikanan  dan  Kelautan  Provinsi Papua  dan  Sucofindo  yang  dituangkan  dalam  pedoman  umum  “Perencanaan
Pengelolaan  dan  Pemanfaatan  Hasil  tangkap  sampingan  Pukat  Udang  di  Laut Arafura” menggambarkan bahwa urutan prioritas pengembangan jenis pengolahan
yang dikaji secara menyeluruh adalah surimi, tepung ikan, fillet beku, ikan segar dan  tradisional.  Analisis  tersebut  mengindikasikan  bahwa  pengolahan  ikan  HTS
menjadi  surimi  merupakan  alternatif  terbaik  ditinjau  dari  segi  teknologi, pemasaran, bahan baku, investasi dan sumberdaya manusia.
Departemen  Kelautan  dan  Perikanan  sebagai  institusi  nasional  yang bertanggung  jawab  dalam  bidang  kelautan  dan  perikanan  telah  mengeluarkan
Peraturan Menteri  nomor PER.05MEN 2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Salah satu pasal pada peraturan tersebut dinyatakan bahwa ijin penangkapan ikan
diberikan  kepada  perusahaan  penangkapan  ikan  yang  memiliki  unit  pengolahan ikan  di  dalam  negeri.  Hasil  tangkapan  yang  dihasilkan  wajib  didaratkan
seluruhnya  di  pelabuhan  pangkalan  kecuali  ikan  hidup,  tuna  untuk  sashimi  atau ikan lain yang menurut sifatnya tidak memerlukan pengolahan. Peraturan tersebut
ditindak  lanjuti  dengan  Keputusan  Direktur  Jenderal  Pengolahan  dan  Pemasaran Hasil  Perikanan  nomor  KEP  033DJ-P2HP2008  tentang  Jenis  Ikan  Laut  Hasil
Tangkapan  Yang  Menurut  Sifatnya  Tidak  Memerlukan  Pengolahan.  Pada peraturan  tersebut  dijelaskan  kembali  bahwa  seluruh  ikan  hasil  tangkapan  wajib
didaratkan  di  pelabuhan  pangkalan  untuk  memenuhi  kebutuhan  bahan  baku  unit pengolahan ikan atau konsumsi dalam negeri serta wajib mengalami penanganan
dan atau pengolahan.
123
Kedua  peraturan  tersebut  menjadi  stimulus  bagi  pengusaha  untuk berinvestasi  membangun  industri  pengolahan  ikan,  dan  secara  tidak  langsung
membuka  peluang  bagi  perkembangan  industri  surimi  yang  memanfaatkan  hasil tangkap sampingan.
Dukungan  kebijakan  pemerintah  dalam  pemanfaatan  HTS  di  Laut  Arafura perlu diatur dalam regulasi  yang lebih spesifik, sehingga HTS pukat udang  yang
terbuang  dapat  segera  dimanfaatkan.  Hal  ini  mengingat  kondisi  di  lapangan dimana  kapal  pukat  udang  yang  membawa  ikan  dipermasalahkan  oleh  pihak
keamanan  di  laut  dan  kapal  hanya  diperkenankan  membawa  tangkapan  utama udang.  Pemanfaatan  HTS  pukat  udang  harus  melibatkan  semua  unsur  pemangku
kepentingan,  baik  pemerintah  pusat  dan  daerah,  industri  penangkapan,  industri pengolahan,  transportasi  serta  pemasaran,  sehingga  diperlukan  regulasi
pemerintah untuk mendukung pemanfaatan HTS. Regulasi yang spesifik mengatur setidaknya setingkat Peraturan Pemerintah PP yang diikuti kebijakan atau aturan
pelaksanaan  di  bawahnya.  Pasal  24  UU  No.  31  tahun  2004  tentang  perikanan sudah  mengamanatkan  bahwa  pemerintah  mendorong  peningkatan  nilai  tambah
produk  hasil  perikanan,  dan  ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  peningkatan  nilai tambah produk hasil perikanan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Amanat pasal 11 Code of Conduct for Responsible Fisheries CCRF–FAO, bahwa negara harus mendorong pihak  yang terlibat dalam pengolahan, distribusi
dan  pemasaran  agar  meningkatkan  pemanfaatan  HTS  hasil  tangkap  sampingan dan mendorong pemanfaatan ikan untuk konsumsi manusia serta konsisten dengan
praktek pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab. Peraturan Pemerintah PP  yang mengatur tentang pemanfaatan HTS harus
ditindak  lanjuti  Keputusan  Menteri  Kelautan  dan  Perikanan,  Peraturan  Gubernur dan Peraturan Daerah yang secara lebih spesifik mengatur dan menjadi pedoman
pelaksanaan dalam pemanfaatan HTS pukat udang di Laut Arafura. Ruang  lingkup  regulasi  harus  mencakup  pengaturan  semua  aspek  yang
terkait pemanfaatan HTS pukat udang di Laut Arafura, yang meliputi : 1  Penanganan dan pengelolaan HTS di atas kapal.
2  Transportasi ke pangkalan pendaratan. 3  Wilayah pengembangan industri pengolahan.
124
4  Pengembangan  sarana,  prasarana  dan  infrastruktur  pendukung  industri pengolahan, pengangkutan dan transportasipemasaran.
5  Fasilitas pajak dan kemudahan investasi.
125
9  KESIMPULAN DAN SARAN
9.1 Kesimpulan