Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Etanol Bunga Pepaya Jantan (Carica papaya L.) Pada Mencit Jantan

(1)

UJI TOKSISITAS SUBKRONIK EKSTRAK ETANOL

BUNGA PEPAYA JANTAN (

Carica papaya

L

.)

PADA MENCIT JANTAN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

AGUNG SETIAWAN

NIM 091501051

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

UJI TOKSISITAS SUBKRONIK EKSTRAK ETANOL

BUNGA PEPAYA JANTAN (

Carica papaya

L

.)

PADA MENCIT JANTAN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

AGUNG SETIAWAN

NIM 091501051

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

UJI TOKSISITAS SUBKRONIK EKSTRAK ETANOL

BUNGA PEPAYA JANTAN (

Carica papaya

L

.)

PADA MENCIT JANTAN

OLEH:

AGUNG SETIAWAN NIM 091501051

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal: 15 Juli 2014

Pembimbing I, Panitia Penguji,

Dr. Edy Suwarso, S.U., Apt. Prof. Dr. Urip Harahap, Apt.

NIP 130953857 NIP 195301011983031004

Pembimbing II, Dr. Edy Suwarso, S.U., Apt. NIP 130953857

Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt. Dr. Poppy Anjelisa Z. Hsb, S.Si., M.Si., Apt. NIP 195709091985112001 NIP 197506102005012003

Dra. Herawaty Ginting, M.Si., Apt. NIP 195112231980032002

Medan, Juli 2014 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Dekan,

Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP 195311281983031002


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Etanol Bunga Pepaya Jantan (Carica papaya L.) Pada Mencit Jantan. Skripsi ini diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi yang telah menyediakan fasilitas kepada penulis selama perkuliahan di Fakultas Farmasi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Edy Suwarso, S.U., Apt., dan Ibu Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt., yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran, memberikan petunjuk dan saran-saran selama penelitian hingga selesainya skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Urip Harahap, Apt., selaku ketua penguji juga kepada Ibu Dr telah memberikan saran untuk menyempurnakan skripsi ini, dan I membimbing penulis selama masa perkuliahan hingga selesai.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada keluarga tercinta, Ayahanda Alm. Muhammad Rusli dan Ibunda Tukarni, serta kakanda dan abangda tercinta Teti Irawati, Dewi Utari, Dedi Ahmad Fauzi, Sri Ayu Rizky dan Windi Winarti, yang senantiasa memberikan doa, dukungan, semangat dan


(5)

kasih sayang yang tak ternilai dengan apapun. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Geje, Sulek, Makmor, Halem, Nurol, Iwen, Panjang, Sus, Ceripel, dan semua teman-teman masinis 2009 yang telah mendoakan, membantu dan memberi semangat.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga Allah membalas segala budi baik dan penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang farmasi.

Medan, 15 Juli 2014 Penulis,

Agung Setiawan NIM 091501051


(6)

Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Etanol Bunga Pepaya Jantan (Carica papaya L.) Pada Mencit Jantan

Abstrak

Uji toksisitas subkronik merupakan suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang diberikan secara oral pada hewan uji selama 28 atau 90 hari. Bunga pepaya jantan (Carica papaya L.) termasuk famili Caricaceae, ekstrak etanolnya berkhasiat sebagai antimutagenik, antioksidan, antibakteri dan antikanker payudara. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui efek toksik dan mengetahui batas keamanan dosis ekstrak etanol bunga pepaya jantan (EEBPJ).

Serbuk simplisia dimaserasi dengan pelarut etanol 80% kemudian diuapkan dengan rotary evaporator ± 40oC dandi freeze dryer ± -40oC selanjutnya ekstrak yang diperoleh diuji toksisitas subkroniknya menggunakan mencit sebanyak 25 ekor dibagi dalam 5 kelompok yaitu kontrol diberi akuades, perlakuan diberi EEBPJ dosis 1000, 2000, 4000 dan 8000 mg/kg bb yang diberi secara oral setiap hari selama 28 hari. Pengamatan dilakukan setiap hari meliputi gejala toksik, berat badan, kematian, pengukuran kadar ALT, makropatologi dan histopatologi organ hati, kemudian dianalisis statistik dengan ANOVA menggunakan Statistical Program Service Solution (SPSS) versi 19.

Hasil pengamatan tidak ditemukan gejala toksik pada kelompok kontrol, EEBPJ dosis 1000 dan 2000 mg/kg bb sedang dosis 4000 dan 8000 mg/kg bb ditemukan gejala toksik. Hasil uji statistik tidak ada perbedaan yang signifikan antara kenaikan berat badan dengan pemberian EEBPJ (p > 0,05). Mencit yang mati pada kelompok kontrol, dosis 1000 dan 2000 mg/kg bb tidak ada dijumpai sedang dosis 4000 dan 8000 mg/kg bb dijumpai. Hasil rata-rata kadar ALT terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan (p < 0,05) yaitu kontrol (35,20 IU/L), EEBPJ dosis 1000 mg/kg bb (56,40 IU/L), dosis 2000 mg/kg bb (70,80 IU/L), rata-rata kadar ALT ketiga kelompok tersebut masih dalam batas normal, sedang dosis 4000 mg/kg bb (88,50 IU/L), dosis 8000 mg/kg bb (97,00 IU/L) sudah di atas batas normal. Hasil makropatologi dan histopatologi organ hati pada kelompok kontrol, EEBPJ dosis 1000 dan 2000 mg/kg bb tidak dijumpai perubahan sedang dosis 4000 dan 8000 mg/kg bb dijumpai perubahan organ, yang berarti EEBPJ toksik pada dosis 4000 dan 8000 mg/kg bb.

Kata kunci: uji toksisitas subkronik, ekstrak etanol bunga pepaya jantan, mencit jantan


(7)

Subchronic Toxicity Test Ethanol Extract Of Male Papaya Flowers (Carica papaya L.) On Male Mice

Abstract

Subchronic toxicity test is a test to detect the toxic effects that appear after administration of the test preparation with repeated doses which are given orally to test animals for 28 or 90 days. Male papaya flowers (Carica papaya L.) is included in Caricaceae family which its ethanol extract can be used as antimutagenic, antioxidant, antibacterial and breast anticancer. The purpose of this study is to determine the toxic effects and safety range dose ethanol extract of male papaya flowers (EEBPJ).

Simplex powder was macerated by ethanol 80% and evaporated by using rotary evaporator ± 40oC and freeze dried ± -40oC then obtained extract was tested for its subchronic toxicity using 25 mice which were divided into 5 groups: control group was given distilled water, the treatment groups which were given with EEBPJ dose 1000, 2000, 4000 and 8000 mg/kg bw which were administered orally everyday for 28 days. Observations were conducted everyday including toxic symptoms, weight loss, death, measurement of ALT level, macropathology and histopathology of liver then data were analyzed by ANOVA using the Statistical Program Service Solution (SPSS) version 19.

The results showed that there were no toxic symptoms in the control group, EEBPJ dose 1000 and 2000 mg/kg bw, while EEBPJ dose 4000 and 8000 mg/kg bw showed toxic symptoms. Result of statistic showed no significant difference in weight gain within treatment groups given with EEBPJ (p > 0.05). Death mice in the control group, EEBPJ dose 1000 and 2000 mg/kg bw didnt show, while EEBPJ dose 4000 and 8000 mg/kg bw showed. Result of ALT level showed significant differences within all groups (p < 0.05), which were control group (35.20 IU/L), EEBPJ dose 1000 mg/kg bw (56.40 IU/L), EEBPJ dose 2000 mg/kg bw (70.80 IU/L), ALT level of these three groups were still in the normal state, whereas ALT level in treatment groups given EEBPJ dose 4000 mg/kg bw (88.50 IU/L) and EEBPJ dose 8000 mg/kg bw (97.00 IU/L) exceeds the upper limit of normal state. Macropathology and histopathology of liver result in the control group and treatment groups given with EEBPJ dose 1000 and 2000 mg/kg bw showed no changed while EEBPJ dose 4000 and 8000 mg/kg bw showed changed organ, which mean EEBPJ were toxic at dose 4000 and 8000 mg/kg bw.

Keywords: subchronic toxicity test, ethanol extract of male papaya flowers, male mice


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesis ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 3

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

1.6 Kerangka Pikir Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Uraian Tumbuhan ... 5

2.1.1 Sistematika tumbuhan ... 5

2.1.2 Morfologi tumbuhan ... 5

2.1.3 Nama daerah ... 6

2.1.4 Kandungan kimia ... 7


(9)

2.2 Ekstraksi ... 7

2.3 Toksisitas ... 9

2.3.1 Toksisitas umum ... 10

2.3.1.1 Toksisitas akut ... 10

2.3.1.2 Toksisitas subkronik ... 10

2.3.1.3 Toksisitas kronik ... 11

2.3.2 Toksisitas khusus ... 11

2.3.2.1 Uji teratogenik ... 11

2.3.2.2 Uji mutagenik ... 12

2.3.2.3 Uji karsinogenik ... 12

2.4 Hati ... 12

2.4.1 Anatomi hati ... 13

2.4.2 Fisiologi hati ... 13

2.4.3 Histologi hati ... 14

2.4.4 Intoksikasi hati ... 15

2.5 ALT (Alanin Aminotransferase) ... 16

BAB III METODE PENELITIAN ... 18

3.1 Alat dan Bahan ... 18

3.1.1 Alat ... 18

3.1.2 Bahan ... 18

3.2 Hewan Percobaan ... 18

3.3 Penyiapan Sampel ... 19

3.3.1 Pengumpulan tumbuhan ... 19

3.3.2 Identifikasi tumbuhan ... 19


(10)

3.4 Pembuatan Ekstrak Etanol Bunga Pepaya Jantan ... 19

3.5 Pengujian Efek Toksistas ... 20

3.5.1 Pembuatan sediaan uji ekstrak etanol bunga pepaya jantan ... 20

3.5.2 Uji pendahuluan ... 20

3.5.3 Pengujian toksisitas subkronik ... 20

3.5.4 Pengamatan ... 21

3.5.4.1 Gejala toksik ... 21

3.5.4.2 Berat badan ... 21

3.5.4.3 Kematian hewan ... 21

3.5.4.4 Pengukuran kadar ALT ... 22

3.5.4.5 Makropatologi ... 22

3.5.4.6 Histopatologi organ hati ... 22

3.5.5 Analisis statistik ... 22

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan ... 23

4.2 Hasil Ekstraksi Serbuk Bunga Pepaya Jantan ... 23

4.3 Hasil Uji Pendahuluan ... 23

4.4 Hasil Pengujian Toksisitas Subkronik ... 23

4.4.1 Hasil pengamatan gejala toksik ... 24

4.4.2 Hasil pengamatan berat badan ... 25

4.4.3 Hasil pengamatan kematian ... 26

4.4.4 Hasil pengukuran kadar ALT ... 27

4.4.5 Hasil pengamatan makropatologi ... 28


(11)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 37

5.1 Kesimpulan ... 37

5.2 Saran ... 37

DAFTAR PUSTAKA ... 38


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

4.1 Hasil pengamatan gejala toksik ... 24

4.2 Hasil rata-rata berat badan ... 25

4.3 Hasil pengamatan kematian ... 26

4.4 Hasil pengamatan makropatologi ... 28


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Kerangka pikir penelitian ... 4

2.1 Anatomi hati ... 13

2.2 Histologi hati ... 14

4.1 Grafik rata-rata hasil pengukuran kadar ALT ... 27


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 Hasil identifikasi tumbuhan ... 43

2 Gambar tumbuhan bunga pepaya jantan ... 44

3 Simplisia dan serbuk bunga pepaya jantan ... 45

4 Bagan pembuatan ekstrak ….. ... 46

5 Bagan alur penelitian uji toksisitas subkronik ... 47

6 Contoh perhitungan dosis ... 48

7 Hasil uji pendahuluan ... 49

8 Hasil pengukuran kadar ALT ... 50

9 Hasil rata-rata kadar ALT ... 51

10 Hasil gambar makropatologi organ hati ... 52

11 Gambar alat, bahan dan objek yang digunakan ... 54

12 Gambar hewan percobaan yang digunakan ... 56

13 Hasil analisis spss berat badan ... 57


(15)

Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Etanol Bunga Pepaya Jantan (Carica papaya L.) Pada Mencit Jantan

Abstrak

Uji toksisitas subkronik merupakan suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang diberikan secara oral pada hewan uji selama 28 atau 90 hari. Bunga pepaya jantan (Carica papaya L.) termasuk famili Caricaceae, ekstrak etanolnya berkhasiat sebagai antimutagenik, antioksidan, antibakteri dan antikanker payudara. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui efek toksik dan mengetahui batas keamanan dosis ekstrak etanol bunga pepaya jantan (EEBPJ).

Serbuk simplisia dimaserasi dengan pelarut etanol 80% kemudian diuapkan dengan rotary evaporator ± 40oC dandi freeze dryer ± -40oC selanjutnya ekstrak yang diperoleh diuji toksisitas subkroniknya menggunakan mencit sebanyak 25 ekor dibagi dalam 5 kelompok yaitu kontrol diberi akuades, perlakuan diberi EEBPJ dosis 1000, 2000, 4000 dan 8000 mg/kg bb yang diberi secara oral setiap hari selama 28 hari. Pengamatan dilakukan setiap hari meliputi gejala toksik, berat badan, kematian, pengukuran kadar ALT, makropatologi dan histopatologi organ hati, kemudian dianalisis statistik dengan ANOVA menggunakan Statistical Program Service Solution (SPSS) versi 19.

Hasil pengamatan tidak ditemukan gejala toksik pada kelompok kontrol, EEBPJ dosis 1000 dan 2000 mg/kg bb sedang dosis 4000 dan 8000 mg/kg bb ditemukan gejala toksik. Hasil uji statistik tidak ada perbedaan yang signifikan antara kenaikan berat badan dengan pemberian EEBPJ (p > 0,05). Mencit yang mati pada kelompok kontrol, dosis 1000 dan 2000 mg/kg bb tidak ada dijumpai sedang dosis 4000 dan 8000 mg/kg bb dijumpai. Hasil rata-rata kadar ALT terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan (p < 0,05) yaitu kontrol (35,20 IU/L), EEBPJ dosis 1000 mg/kg bb (56,40 IU/L), dosis 2000 mg/kg bb (70,80 IU/L), rata-rata kadar ALT ketiga kelompok tersebut masih dalam batas normal, sedang dosis 4000 mg/kg bb (88,50 IU/L), dosis 8000 mg/kg bb (97,00 IU/L) sudah di atas batas normal. Hasil makropatologi dan histopatologi organ hati pada kelompok kontrol, EEBPJ dosis 1000 dan 2000 mg/kg bb tidak dijumpai perubahan sedang dosis 4000 dan 8000 mg/kg bb dijumpai perubahan organ, yang berarti EEBPJ toksik pada dosis 4000 dan 8000 mg/kg bb.

Kata kunci: uji toksisitas subkronik, ekstrak etanol bunga pepaya jantan, mencit jantan


(16)

Subchronic Toxicity Test Ethanol Extract Of Male Papaya Flowers (Carica papaya L.) On Male Mice

Abstract

Subchronic toxicity test is a test to detect the toxic effects that appear after administration of the test preparation with repeated doses which are given orally to test animals for 28 or 90 days. Male papaya flowers (Carica papaya L.) is included in Caricaceae family which its ethanol extract can be used as antimutagenic, antioxidant, antibacterial and breast anticancer. The purpose of this study is to determine the toxic effects and safety range dose ethanol extract of male papaya flowers (EEBPJ).

Simplex powder was macerated by ethanol 80% and evaporated by using rotary evaporator ± 40oC and freeze dried ± -40oC then obtained extract was tested for its subchronic toxicity using 25 mice which were divided into 5 groups: control group was given distilled water, the treatment groups which were given with EEBPJ dose 1000, 2000, 4000 and 8000 mg/kg bw which were administered orally everyday for 28 days. Observations were conducted everyday including toxic symptoms, weight loss, death, measurement of ALT level, macropathology and histopathology of liver then data were analyzed by ANOVA using the Statistical Program Service Solution (SPSS) version 19.

The results showed that there were no toxic symptoms in the control group, EEBPJ dose 1000 and 2000 mg/kg bw, while EEBPJ dose 4000 and 8000 mg/kg bw showed toxic symptoms. Result of statistic showed no significant difference in weight gain within treatment groups given with EEBPJ (p > 0.05). Death mice in the control group, EEBPJ dose 1000 and 2000 mg/kg bw didnt show, while EEBPJ dose 4000 and 8000 mg/kg bw showed. Result of ALT level showed significant differences within all groups (p < 0.05), which were control group (35.20 IU/L), EEBPJ dose 1000 mg/kg bw (56.40 IU/L), EEBPJ dose 2000 mg/kg bw (70.80 IU/L), ALT level of these three groups were still in the normal state, whereas ALT level in treatment groups given EEBPJ dose 4000 mg/kg bw (88.50 IU/L) and EEBPJ dose 8000 mg/kg bw (97.00 IU/L) exceeds the upper limit of normal state. Macropathology and histopathology of liver result in the control group and treatment groups given with EEBPJ dose 1000 and 2000 mg/kg bw showed no changed while EEBPJ dose 4000 and 8000 mg/kg bw showed changed organ, which mean EEBPJ were toxic at dose 4000 and 8000 mg/kg bw.

Keywords: subchronic toxicity test, ethanol extract of male papaya flowers, male mice


(17)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Toksisitas adalah kemampuan suatu zat kimia dalam menimbulkan kerusakan pada organisme baik saat digunakan atau saat berada dalam lingkungan. Secara umum toksisitas dibedakan menjadi toksisitas akut, sub kronik dan kronik (Priyanto, 2009). Uji toksisitas subkronik merupakan suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang diberikan secara oral pada hewan uji selama 28 atau 90 hari (OECD, 2008).

Hati merupakan organ dalam tubuh yang terlibat dalam metabolisme suatu zat (Lu, 1995). Hati sering menjadi organ sasaran karena zat makanan, sebagian besar obat-obatan serta toksikan memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal dan setelah diserap toksikan dibawa oleh vena porta ke hati. Oleh sebab itu, hati menjadi organ yang sangat potensial menderita keracunan lebih dahulu sebelum organ lain (Santoso dan Nurlaini, 2006). Pemeriksaan enzim seringkali menjadi satu-satunya petunjuk adanya kerusakan pada sel hati. Gangguan hati ditandai dengan peningkatan aktivitas serum aminotransferase berupa ALT (Alanin Aminotransferase) (Widmann, 1995).

Masyarakat selama ini beranggapan bahwa obat tradisional tidak bisa menyebabkan keracunan tetapi karena mengandung zat kimia dan digunakan dalam waktu yang panjang maka efek toksik bisa saja terjadi. Oleh karena itu perlu terlebih dahulu dilakukan uji keamanan sebagai dasar untuk menjadikan tanaman sebagai obat fitofarmaka (Arifin, dkk., 2006).


(18)

Obat tradisional agar dapat diterima di masyarakat maupun pelayanan kesehatan, maka harus didukung secara ilmiah adanya khasiat dan keamanan penggunaannya pada manusia (Dewoto, 2007).

Salah satu tumbuhan berkhasiat yang dapat dimanfaatkan sebagai obat dan makanan adalah bunga pepaya jantan (Carica papaya L.), famili Caricaceae daunnya hal ini disebabkan oleh kandungan alkaloid carpein (C14H25NO2) (Kalie, 1996; Anonim, 2013). Alkaloid banyak digunakan dalam pengobatan (Sumardjo, 2008). Golongan alkaloid dikenal dengan toksisitasnya, namun tidak semua senyawa alkaloid bersifat toksik (Simbala, 2009).

Hasil skrining bunga pepaya jantan ditemukan adanya alkaloid, flavonoida, tannin dan steroida-triterpenoida (Henova, 2012). Hasil karakterisasi simplisia bunga pepaya jantan diperoleh kadar air 7,32%, kadar sari larut dalam air 19,25%, kadar sari larut dalam etanol 10,61%, kadar abu total 2,25% dan kadar abu tidak larut asam 0,22% (Sitorus, 2012). Hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap khasiat bunga pepaya jantan antara lain, ekstrak etanol sebagai antimutagenik (Sitorus, 2012), fraksi etil asetat sebagai antimutagenik (Fransisca, 2012), ekstrak etanol sebagai antioksidan (Henova, 2012), ekstrak metanol sebagai antibakteri (Iman, 2009) dan ekstrak etanol, fraksi n-heksan, fraksi etilasetat sebagai antioksidan dan antikanker payudara (Suwarso, dkk., 2013).

Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan pengujian toksisitas subkronik ekstrak etanol bunga pepaya jantan (EEBPJ) pada mencit jantan, mengingat pemanfaatannya yang beragam dan belum ditemukan informasi mengenai batas keamanannya.


(19)

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah:

a. apakah EEBPJ berpengaruh terhadap gejala toksik mencit jantan? b. apakah EEBPJ berpengaruh terhadap berat badan mencit jantan? c. apakah EEBPJ memberikan efek toksik pada organ hati mencit jantan? d. berapakah batas keamanan dosis EEBPJ terhadap mencit jantan?

1.3Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis pada penelitian ini diduga:

a. EEBPJ berpengaruh terhadap gejala toksik mencit jantan. b. EEBPJ tidak berpengaruh terhadap berat badan mencit jantan. c. EEBPJ memberikan efek toksik pada organ hati mencit jantan. d. EEBPJ aman digunakan pada dosis 1000 dan 2000 mg/kg bb.

1.4Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui: a. pengaruh EEBPJ terhadap gejala toksik mencit jantan. b. pengaruh EEBPJ terhadap berat badan mencit jantan. c. pengaruh EEBPJ terhadap organ hati mencit jantan. d. batas keamanan dosis EEBPJ pada mencit jantan.


(20)

1.5Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah dapat memberikan informasi mengenai efek toksik yang ditimbulkan dari EEBPJ dan memberikan informasi mengenai batas keamanan dosis dari EEBPJ serta sebagai acuan uji klinik untuk dijadikan sebagai obat.

1.6Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian dilakukan terhadap mencit jantan yang diberikan EEBPJ selama 28 hari. Tardapat 5 variabel bebas yaitu kelompok kontrol (akuades), perlakuan EEBPJ dosis 1000, 2000, 4000 dan 8000 mg/kg bb. Variabel terikat potensi ketoksikan seperti yang ditunjukan pada Gambar 1.1.

Variabel bebas Variabel Terikat Parameter

Gambar 1.1 Diagram kerangka pikir penelitian EEBPJ dosis

1000 mg/kg bb 2000 mg/kg

bb

4000 /k

Akuades 1% bb (k t l)

Potensi ketoksikan

Kematian Berat badan Gejala toksik

Kadar ALT

Histopatologi Men

cit j t


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1Uraian Tumbuhan

Pepaya (Carica papaya L.) termasuk famili Caricaceae yang merupakan tanaman berasal dari Amerika tropis dimana pusat penyebarannya berada di daerah Meksiko bagian selatan dan Nikaragua (Kalie, 1996). Di Indonesia pepaya tersebar hampir di seluruh kepulauan yang dapat tumbuh di daerah basah hingga kering, dataran maupun pegunungan dan pada ketinggian 1-1000 meter dari permukaan air laut (BPOM, 2010).

2.1.1Sistematika tumbuhan

Tumbuhan pepaya memilki sistematika sebagai berikut (BPOM, 2008): Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Class : Dicotyledoneae Ordo : Cistales

Famili : Caricaceae Genus : Carica

Spesies : Carica papaya L. 2.1.2Morfologi tumbuhan

Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman herba dengan batang berongga, biasanya tidak bercabang dan tingginya dapat mencapai 10 meter. Daunnya termasuk daun tunggal, berukuran besar dan bercangap menjari dengan tangkai daun panjang (BPOM, 2008). Bunga pepaya terdiri dari bunga jantan, betina dan sempurna (Kalie, 1996).


(22)

Secara morfologis, bunga pepaya jantan termasuk bunga majemuk yang memiliki bentuk serupa terompet kecil warnanya kuning pucat cenderung putih dan dilengkapi dengan tangkai yang memanjang (Anonim, 2013). Bunga pepaya jantan adalah bunga yang hanya memiliki benang sari saja dengan panjang kira-kira 2,5 cm. Mahkota terdiri dari lima helai dan berukuran kecil-kecil. Benang sari berjumlah 10 yang tersusun menjadi dua lapis (Kalie, 1996).

2.1.3Nama daerah

Tanaman pepaya (Carica papaya L.) di Indonesia memiliki berbagai macam nama daerah, seperti di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua (BPOM, 2010).

Sumatera : kabaelo, peute, pastelo, embetik, botik, bala, sikailo, kates, kepaya, kustela, papaya, pepaya, singsile, batiek, kalikih, pancene, pisang, katuka, pisang patuka, pisang pelo, gedang, punti kayu.

Jawa : gedang, ketela gantung, kates, gedhang.

Kalimantan : bua medung, pisang malaka, buah dong, majan, pisang mentela, gadang, bandas.

Nusa Tenggara : gedang, kates, kampaja, kalu jawa, padu, kaut panja, kalailu, paja, kapala, hango, muu jawa, muku jawa, kasi.

Sulawesi : kapalay, papaya, pepaya, keliki, sumoyori, unti jawa, tangan-tangan nikare, kaliki, rianre.

Maluku : tele, palaki, papae, papaino, papau, papaen, papai, papaya, sempain, tapaya, kapaya.


(23)

2.1.4 Kandungan kimia

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, hasil skrining bunga pepaya jantan menunjukkan adanya golongan senyawa alkaloid, flavonoid, tanin, steroid-triterpenoid (Henova, 2012).

2.1.5 Khasiat tumbuhan

Tumbuhan pepaya hampir seluruh bagiannya memiliki khasiat (Kalie, 1996). Daunnya berkhasiat sebagai antibakteri (Kalie, 1996; Setyowati, dkk., 2011), antimalaria (Kalie, 1996; Rehena, 2010), antijerawat (Budiman, dkk., 2010), analgesik (Lasarus, dkk., 2013), antikanker (Sukardiman, dkk., 2006), penambah nafsu makan (Heyne, 1987; Kalie 1996).

Bunganya berkasiat sebagai antimutagenik (Sitorus, 2012; Fransisca, 2012), antioksidan (Henova, 2012; Suwarso, dkk., 2013), antibakteri (Iman, 2009), antikanker payudara (Suwarso, dkk., 2013). Bijinya berkhasiat sebagai antibakteri (Martiasih, dkk., 2011), mengobati cacing kremi (Kalie, 1996). Akarnya juga berkhasiat sebagai antiinflamasi (Adjirni dan saruni, 2006), gangguan saluran kencing (Kalie, 1996), antidiuretik (BPOM, 2010).

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan suatu pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan kedalam golongan minyak atsiri, alkaloida, flavonoida dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dengan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM, 2000).


(24)

Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung (Depkes, 1979). Metode ekstraksi yang umum digunakan dalam berbagai penelitian antara lain (Ditjen POM, 2000) yaitu:

1. Maserasi

Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan, sedangkan remaserasi merupakan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya.

2. Perkolasi

Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Serbuk simplisia yang akan diperkolasi tidak langsung dimasukkan kedalam bejana perkolator, tetapi dibasahi atau dimaserasi terlebih dahulu dengan cairan penyari sekurang-kurangnya selama 3 jam.

3. Refluks

Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat pada temperatur titik didihnya dalam waktu tertentu dimana pelarut akan terkondensasi menuju pendingin dan kembali ke labu.

4. Sokletasi

Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut yang selalu baru, dilakukan dengan menggunakan alat soklet dimana pelarut akan terkondensasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi sampel.


(25)

5. Digesti

Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada temperatur lebih tinggi dari temperatur kamar, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50°C.

6. Infundasi

Infundasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 15 menit.

7. Dekoktasi

Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 30 menit.

2.3 Toksisitas

Toksisitas adalah kemampuan suatu zat kimia dalam menimbulkan kerusakan pada organisme baik saat digunakan atau saat berada dalam lingkungan (Priyanto, 2009). Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari sediaan uji. Data yang diperoleh dapat digunakan untuk memberi informasi mengenai derajat bahaya sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada manusia, sehingga dapat ditentukan dosis penggunaannya demi keamanan manusia (OECD, 2008).

Obat sebelum dipasarkan atau digunakan harus menjalani serangkaian uji untuk memastikan efektivitas dan keamanannya (Priyanto, 2009). Umumnya uji toksisitas terdiri atas dua jenis, yaitu toksisitas umum (akut, subkronik dan kronik) dan toksisitas khusus (teratogenik, mutagenik dan karsinogenik) (Dewoto, 2007; Priyanto, 2009; Lu, 1995).


(26)

2.3.1Toksisitas umum 2.3.1.1Toksisitas akut

Uji toksisitas akut adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul dalam waktu singkat setelah pemberian sediaan uji secara oral dalam dosis tunggal yang diberikan dalam waktu 24 jam (Lu, 1995). Tujuan dilakukannya uji toksisitas akut adalah untuk menentukan LD50 (potensi ketoksikan) akut dari suatu senyawa (Priyanto, 2009). Semakin kecil harga LD50 maka semakin besar potensi ketoksikannya (OECD, 2001).

Prinsip uji toksisitas akut oral yaitu, sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis yang diberikan pada beberapa kelompok hewan uji dengan satu dosis per kelompok, kemudian dilakukan pengamatan terhadap adanya efek toksik dan kematian (OECD, 2001).

2.3.1.2Toksisitas subkronik

Uji toksisitas subkronik merupakan suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang diberikan secara oral pada hewan uji (OECD, 2008).

Tujuan toksisitas subkronik oral adalah untuk memperoleh informasi adanya efek toksik zat yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas akut, informasi kemungkinan adanya efek toksik setelah pemaparan sediaan uji secara berulang dalam jangka waktu tertentu, informasi dosis yang tidak menimbulkan efek toksik dan mempelajari adanya efek kumulatif dan efek reversibilitas zat tersebut (OECD, 2008). Serta bertujuan untuk menentukan organ sasaran (organ yang rentan) (Priyanto, 2009).

Prinsip uji toksisitas subkronik oral adalah sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan setiap hari pada beberapa kelompok hewan uji dengan satu


(27)

dosis per kelompok selama 28 atau 90 hari. Selama pemberian sediaan uji, hewan harus diamati setiap hari untuk menentukan adanya toksisitas. Selama waktu dan pada akhir periode pemberian sediaan uji, hewan yang mati dan masih hidup diotopsi selanjutnya dilakukan pengamatan secara makropatologi pada setiap organ dan jaringan. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan hematologi, biokimia klinis dan histopatologi (OECD, 2008).

2.3.1.3Toksisitas kronik

Uji toksisitas kronis dilakukan dengan memberikan senyawa uji berulang-ulang selama masa hidup hewan uji atau sebagian besar masa hidupnya (Priyanto, 2009). Prinsip toksisitas kronik oral pada umumnya sama dengan uji toksisitas subkronik, hanya sediaan uji yang diberikan lebih lama tidak kurang dari 12 bulan. Pengamatan juga dilakukan secara lengkap seperti gejala toksik, monitoring berat badan dan konsumsi makanan, pemeriksaan hematologi, biokimia klinis, makropatologi, penimbangan organ dan histopatologi (OECD, 2008).

2.3.2Toksisitas khusus 2.3.2.1Uji teratogenik

Uji teratogenik adalah suatu pengujian untuk memperoleh informasi adanya abnormalitas fetus yang terjadi karena pemberian suatu zat dalam masa perkembangan embrio (Priyanto, 2009).

Prinsip pengujian ini senyawa uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan kepada beberapa kelompok hewan hamil selama paling sedikit masa organogenesis dari kehamilan, satu dosis untuk satu kelompok. Sesaat sebelum waktu melahirkan, uterus diambil dan dilakukan evaluasi terhadap fetus (OECD, 2008).


(28)

2.3.2.2Uji mutagenik

Uji mutagenik adalah uji yang dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai kemungkinan terjadinya efek mutagenik suatu senyawa. Efek mutagenik merupakan efek yang menyebabkan terjadinya perubahan pada sifat genetika sel tubuh makhluk hidup (Loomis, 1978).

2.3.2.3Uji karsinogenik

Uji karsinogenik adalah uji yang dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai efek korsinogenik suatu senyawa pada hewan percobaan (Lu, 1995) dan untuk mengetahui apakah zat jika dipakai dalam jangka panjang akan dapat menimbulkan kanker . Uji ini dilakukan jika nantinya obat akan digunakan dalam jangka panjang selama 2 tahun (Priyanto, 2009).

2.4Hati

Salah satu organ yang sering menderita karena adanya zat-zat toksik adalah hati. Bahan kimia kebanyakan mengalami metabolisme dalam hati oleh karenanya berpotensi merusak sel-sel hati. Bahan kimia yang dapat mempengaruhi hati disebut hepatotoksik (Wisaksono, 2002).

2.4.1Anatomi hati

Hati merupakan organ tubuh terbesar kedua di dalam tubuh, dengan berat rata-rata sekitar 1,5 kg. Organ ini terletak dalam rongga perut sebelah kanan di bawah diafragma (Junqueira and Carneiro, 2007). Hati terbagi dalam dua belahan utama kanan dan kiri yang dipisahkan oleh fisura longitudinal (Irianto, 2004).

Warnanya dalam keadaan segar merah kecoklatan, warna tersebut terutama disebabkan oleh adanya darah yang amat banyak (Lee, et al., 1997). Gambar anatomi hati dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut (Tenggara, 2012).


(29)

Gambar 2.1 Anatomi hati

Secara anatomi hati terdiri dari beberapa lobus tergantung pada spesiesnya, untuk mencit terdapat empat lobus (lobus medial, kaudal, lateral kiri dan lateral kanan) (Harada, et al., 1999). Setiap lobus hati terdiri dari beberapa lobulus yang terdiri dari berbagai komponen, yaitu sel-sel hati (hepatosit), vena sentralis, sinusoid, cabang-cabang vena porta, cabang-cabang arteri hepatika, sel kupffer dan kanalikuli biliaris (Junqueira and Carneiro, 2007).

2.4.2Fisiologi hati

Organ hati terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian besar obat dan toksikan (Lu, 1994). Hati mempunyai fungsi yang sangat banyak dan kompleks yang penting untuk mempertahankan hidup (Husadha, 1996) yaitu : a. Fungsi pembentukan dan ekskresi empedu

Hal ini merupakan fungsi utama hati yaitu mengekskresikan sekitar satu liter empedu setiap hari. Garam empedu penting untuk pencernaan dan absorbsi lemak dalam usus halus.


(30)

b. Fungsi metabolik

Hati berperaan penting dalam metabolisme karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan juga memproduksi energi. Hati mengubah ammonia menjadi urea, untuk dikeluarkan melalui ginjal dan usus.

c. Fungsi pertahanan tubuh

Hati mempunyai fungsi detoksifikasi dan perlindungan yang dilakukan oleh enzim-enzim hati untuk melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisis, atau konjugasi zat yang kemungkinan membahayakan dan mengubahnya menjadi zat yang secara fisiologis tidak aktif. Fungsi perlindungan dilakukan oleh sel kupffer yang terdapat di dinding sinusoid hati.

2.4.3Histologi hati

Hati terdiri atas unit-unit heksagonal yaitu lobulus hati. Di bagian tengah setiap lobulus hati terdapat sebuah vena sentralis yang dikelilingi secara radial oleh sel-sel hati (hepatosit) (Junqueira dan Corneiro, 2007). Gambar histologi hati dapat dilihat pada Gambar 2.2 berikut (Eroschenko, 2010).


(31)

Sel hati bebentuk polihedral dengan inti bulat yang terletak di tengah dan kadang tampak lebih dari satu inti akibat pembelahan sitoplasma yang tidak sempurna (Dellman and Brown 1992). Sel tersebut terletak di antara sinusoid yang berisi darah dan saluran empedu (Lu, 1995). Darah yang mengandung toksin dibawa dari usus kemudian masuk ke hati melalui vena porta kemudian melewati sinusoid menuju vena sentralis (Macfarlane, et al., 2000).

Hati menerima darah dari dua sumber yaitu darah arteri dari arteri hepatika kiri dan kanan, dan darah vena dari vena porta hepatika yang mengalir dari saluran pencernaan dan limpa (Underwood, 1994). Sebanyak 80% dari aliran darahnya berasal dari vena porta yang mengangkut darah rendah oksigen. Sisanya (20%) berasal dari arteri hepatika yang memasok darah kaya oksigen. Darah meninggalkan hati melalui vena hepatika yang mengalir menuju vena kava inferior (Underwood, 1994).

2.4.4Intoksikasi hati

Metabolisme umumnya berlangsung di hati karena di hati banyak terdapat enzim pemetabolisme. Tujuannya adalah membuat senyawa menjadi lebih polar sehingga mudah dieksresikan dan menjadi kurang toksik, namun ada senyawa tertentu yang setelah mengalami metabolisme menjadi lebih toksik (Priyanto, 2009).

Kerusakan pada hati dapat terjadi oleh beberapa faktor yaitu onset pemaparan yang terlalu lama, durasi pemaparan, dosis dan sel inang yang rentan (Jubb, 1993). Kerusakan yang terjadi pada sel hati dapat bersifat sementara (reversible) dan tetap (irreversible) (Wisaksono, 2002). Sel akan mengalami perubahan untuk beradaptasi mempertahankan hidupnya, perubahan ini biasa disebut degenerasi. Degenerasi terjadi karena adanya gangguan biokimiawi yang


(32)

disebabkan oleh iskemia, anemia, metabolisme abnormal dan zat kimia yang bersifat toksik (Cheville, 1999).

Degenerasi hidropik merupakan peristiwa meningkatnya kadar air di intraseluler yang menyebabkan sitoplasma dan organel-organel membengkak dan membentuk vakuola-vakuola. Rusaknya permeabilitas membran sel menyebabkan terhambatnya aliran Na+ keluar dari sel sehingga menyebabkan ion-ion dan air masuk secara berlebihan kedalam sel. Degenerasi hidropik merupakan respon awal sel terhadap bahan-bahan yang bersifat toksik, serta merupakan proses awal dari kematian sel (Jones, et al., 1997; Cheville, 1999). Kadar Na+ intrasel diatur oleh pompa Na+ yang memerlukan ATP, jika ATP berkurang maka akan mengakibatkan masuknya Na+ ke intrasel melebihi jumlah normalnya (Priyanto, 2009).

Kerusakan sel secara terus-menerus akan mencapai suatu titik sehingga terjadi kematian sel (Lu, 1995). Paparan zat toksik pada sel apabila cukup hebat atau berlangsung cukup lama, maka sel tidak dapat lagi mengkompensasi dan tidak dapat melanjutkan metabolisme (Priyanto, 2009). Inti sel yang mati dapat terlihat lebih kecil dan menjadi lebih padat (kariopiknosis), hancur bersegmen-segmen (karioreksis) dan kemudian inti sel menghilang (kariolisis) (Underwood, 1994). Nekrosis hati adalah kematian hepatosit yang umumnya merupakan kerusakan akut (Lu, 1995).

2.5ALT (Alanine Aminotransferase)

Tes fungsi hati yang umum untuk mengetahui adanya gangguan dalam organ hati adalah dengan mengukur serum aminotransferase yaitu ALT (Alanine Aminotransferase) atau SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase) (Wibowo,


(33)

dkk., 2005). ALT memindahkan satu gugus amino antara alanin dan asam alfa keto-glutamat, fungsi ini penting untuk pembentukan asam-asam amino yang dibutuhkan untuk menyusun protein di hati (Sacher dan Richard, 2004).

ALT merupakan enzim aminotransferase yang dibuat dalam sel hati (hepatosit), jadi lebih spesifik untuk penyakit hati dibandingkan dengan enzim lain. ALT sering dijumpai dalam hati, sedangkan AST terdapat lebih banyak di jantung, otot rangka, otak dan ginjal dibandingkan di hati (Sagita, dkk., 2012). ALT memberikan hasil yang lebih spesifik dari pada AST (Sherlock, 1981; Bauer, 1982; Murray, et al., 1995). Kadarnya dalam serum meningkat terutama pada kerusakan dalam hati dibandingkan dengan AST (Hadi, 1995).

Hepatosit apabila mengalami cedera enzim yang secara normal tersebut berada di dalam sel yaitu sitoplasma akan masuk ke dalam aliran darah (Sacher dan Richard, 2004). Kerusakan pada sel hati yang sedang berlangsung dapat diketahui dengan mengukur parameter fungsi hati berupa zat dalam peredaran darah yang dibentuk oleh sel hati yang rusak atau mengalami nekrosis. Pemeriksaan enzim seringkali menjadi satu-satunya petunjuk adanya penyakit hati yang dini atau setempat (Widman, 1995). ALT darah mencit normal adalah 1777 IU/L (Anonymous, 2009).


(34)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan tahapan penelitian yaitu pengumpulan tumbuhan, identifikasi tumbuhan, pembuatan simplisia, pembuatan ekstrak, pengamatan meliputi gejala toksik, berat badan, kematian, pengukuran kadar ALT, makropatologi dan histopatologi organ hati kemudian dilakukan analisis statistik.

3.1Alat dan Bahan 3.1.1Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas laboratorium, alat bedah (Wells spencer), alat destilasi, blender (Miyako), freeze dryer (Edward), kamera digital, lemari pengering, neraca digital (Vibra), neraca hewan (Presica Geniweigher GW-1500), neraca kasar (ohaus), oral sonde, rotary evaporator (heidolph VV-300) dan spuit 1 ml (Terumo).

3.1.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan tumbuhan dan bahan kimia. Bahan tumbuhan yang digunakan yaitu bunga pepaya jantan (Carica papaya L.). Bahan kimia yang digunakan yaitu akuades, etanol 80%, formalin 10%, kloroform dan natrium klorida 0,9%.

3.2 Hewan Percobaan

Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit jantan dengan berat badan 25-35 gram, berumur 2-3 bulan. Sebelum pengujian, mencit diaklimatisasi terlebih dahulu selama 7-14 hari. Sebanyak 25 ekor mencit dibagi dalam 5 kelompok.


(35)

3.3 Penyiapan Sampel

3.3.1 Pengumpulan tumbuhan

Pengumpulan tumbuhan dilakukan secara purposif yaitu tanpa membandingkan dengan tumbuhan yang sama dari daerah lain. Tumbuhan yang digunakan adalah bunga pepaya jantan (Carica papaya L.) yang diperoleh dari desa Gunung Berkat, Kecamatan Bandar Pulau, Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara.

3.3.2 Identifikasi tumbuhan

Identifikasi bunga pepaya jantan (Carica papaya L.) dilakukan di Herbarium Medanense (MEDA), Universitas Sumatera Utara.

3.3.3 Pembuatan simplisia

Bunga pepaya jantan (Carica papaya L.) yang masih segar dipisahkan dari tangkainya, dicuci kemudian ditiriskan dan ditimbang beratnya sebagai berat basah (6200 g). Selanjutnya dikeringkan dalam lemari pengering hingga kering yang ditandai dengan sampel mudah dipatahkan, kemudian ditimbang kembali sebagai berat kering selanjutnya diblender dan ditimbang sebagai berat serbuk simplisia (1200 g). Serbuk simplisia dimasukkan ke dalam kantong plastik, diberi etiket dan disimpan di tempat yang sesuai.

3.4 Pembuatan Ekstrak Etanol Bunga Pepaya Jantan

Pembuatan EEBPJ dilakukan secara maserasi menggunakan etanol 80%. Cara kerja:

Sebanyak 1200 g serbuk simplisia bunga pepaya jantan dimasukkan ke dalam bejana, kemudian dituangi dengan 9 liter etanol 80%. Ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya sambil sering diaduk, diserkai dan


(36)

diperas. Ampas dicuci kembali dengan 3 liter etanol 80%, dipindahkan ke dalam bejana tertutup, dibiarkan di tempat sejuk, terlindung dari cahaya selama 2 hari, selanjutnya disaring (Depkes RI, 1979). Maserat etanol yang diperoleh diuapkan dengan menggunakan rotary evaporator ± 40oC sampai diperoleh ekstrak kental kemudian dipekatkan dengan freeze dryer ± -40oC.

3.5 Pengujian Efek Toksisitas

Pengujian efek toksisitas meliputi pembuatan sediaan uji EEBPJ, uji pendahuluan, pengujian toksisitas subkronik meliputi gejala toksik, perubahan berat badan, kematian hewan, pengukuran kadar ALT, makropatologi dan histopatologi organ hati.

3.5.1 Pembuatan sediaan uji ekstrak etanol bunga pepaya jantan

Sediaan uji dibuat dengan konsentrasi 25%, ditimbang ekstrak kemudian dimasukkan ke dalam lumpang, dan ditambahkan akuades digerus hingga merata. Sediaan uji EEBPJ dimasukkan ke dalam labu ukur, cukupkan dengan akuades hingga dicapai batas volume.

3.5.2 Uji pendahuluan

Sebanyak 10 ekor mencit dibagi dalam 5 kelompok, setiap kelompok terdiri dari 2 ekor. Kelompok kontrol diberi akuades 1% bb, kelompok perlakuan diberi EEBPJ dosis 100, 200, 400 dan 800 mg/kg bb secara oral selama 28 hari dan dilakukan pengamatan (Hasti, dkk., 2012).

3.5.3Pengujian toksisitas subkronik

Berdasarkan hasil uji pendahuluan maka didapatkan dosis untuk dilakukan pengujian toksisitas subkronik. Mencit dikelompokkan menjadi 5 kelompok,


(37)

masing-masing terdiri dari 5 ekor mencit yaitu: kelompok kontrol (1) dan kelompok perlakuan (2-5).

- Kelompok 1: kontrol, diberi akuades 1% bb - Kelompok 2: diberi EEBPJ dosis 1000 mg/kg bb - Kelompok 3: diberi EEBPJ dosis 2000 mg/kg bb - Kelompok 4: diberi EEBPJ dosis 4000 mg/kg bb - Kelompok 5: diberi EEBPJ dosis 8000 mg/kg bb 3.5.4Pengamatan

Penimbangan mencit dilakukan pada hari ke-0 kemudian pada hari ke-1 diberi sediaan uji secara oral setiap hari selama 28 hari dan dilakukan pengamatan (OECD, 2008; Krysanti dan Widjanarko, 2014; Murtini, dkk., 2010; Prasetyawati, dkk., 2004).

3.5.4.1Gejala toksik

Pengamatan dilakukan 3 jam pertama setelah pemberian sediaan uji (Prasetyawati, dkk., 2004). Pengamatan untuk gejala toksik diamati adanya kejang, salivasi, diare, lemas, perubahan bulu, gerak-gerik mencit seperti berjalan mundur dan berjalan dengan perut (OECD, 2008).

3.5.4.2Berat badan

Mencit ditimbang setiap hari selama 28 hari untuk menentukan volume sediaan uji yang akan diberikan. Perubahan berat badan dianalisis seminggu sekali. Pada akhir penelitian, hewan yang masih hidup ditimbang dan diotopsi (OECD, 2008).

3.5.4.3Kematian hewan

Kematian mencit diamati dari hari pertama sampai hari terakhir dan mencit yang mati selama waktu pemberian sediaan uji segera diotopsi (Hendriani, 2007; Klasseen, 2001; OECD, 2008).


(38)

3.5.4.4Pengukuran kadar ALT

Pada akhir periode pemberian sediaan uji semua mencit yang masih hidup diotopsi. Hewan dianestesi dengan kloroform kemudian darah diambil melalui jantung (intra cardiac) secara perlahan-lahan menggunakan alat suntik steril sebanyak 1-3 ml. Sebanyak 1 ml darah dimasukkan ke dalam tabung mikrosentrifuge dan didiamkan pada suhu kamar selama 10 menit, kemudian dipindahkan ke dalam tangas es dan segera disentrifuge selama 10 menit dengan kecepatan 3000 rpm. Serum dipisahkan dan disimpan dalam lemari beku (OECD, 2008; Sagita, dkk., 2012). Kadar ALT selanjutnya diperiksa di Balai Laboratorium Kesehatan, Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara.

3.5.4.5Makropatologi

Mencit yang mati segera diotopsi dan dilakukan pengamatan (OECD, 2008). Pengamatan meliputi warna, permukaan dan konsistensi organ hati secara visual (Anggraini, 2008).

3.5.4.6Histopatologi organ hati

Pada akhir periode pemberian sediaan uji semua mencit yang masih hidup dianestesi dengan kloroform kemudian diotopsi, selanjutnya diambil organ hati dan dicuci dengan larutan fisiologis 0,9% kemudian dimasukkan dalam larutan dapar formaldehida 10% dan hasilnya dilihat di bawah mikroskop (OECD, 2008; Hendriani, 2007). Pembuatan preparat histopatologi dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU.

3.5.5Analisis statistik

Pengamatan berat badan, pengukuran ALT dianalisis dengan menggunakan one-way analysis of variance (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Tukey pada program Statistic Product and Service Solutions (SPSS) versi 19.


(39)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan

Identifikasi tumbuhan dilakukan di Herbarium Medanense (MEDA), Universitas Sumatera Utara Medan, disebutkan sampel yang digunakan adalah tumbuhan bunga pepaya jantan (Carica papaya L.) suku Caricaceae. Hasil identifikasi dapat dilihat pada Lampiran 1 dan gambar tumbuhan pada Lampiran 2.

4.2 Hasil Ekstraksi Serbuk Bunga Pepaya Jantan

Pembuatan ekstrak dilakukan dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 80%. Hasil maserasi dari 1200 g serbuk simplisia diperoleh ekstrak kental 97,38 g (randemen 8,115%).

4.3 Hasil Uji Pendahuluan

Hasil uji pendahuluan selama 28 hari tidak ditemukan adanya gejala toksik dan kematian serta tidak ada perbedaan yang signifikan antara kenaikan berat badan dengan pemberian EEBPJ (p > 0,05) pada kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan dosis 100, 200, 400 dan 800 mg/kg bb. Hasil uji pendahuluan dapat dilihat pada Lampiran 7.

4.4 Hasil Pengujian Toksisitas Subkronik

Berdasarkan hasil uji pendahuluan dari EEBPJ maka didapatkan dosis untuk pengujian toksisitas subkronik yaitu dosis 1000, 2000, 4000 dan 8000 mg/kg bb. Pengamatan dilakukan selama 28 hari meliputi gejala toksik, berat badan, kematian hewan, kadar ALT, makropatologi dan histopatologi organ hati.


(40)

4.4.1 Hasil pengamatan gejala toksik

Hasil pengamatan yang dilakukan setiap hari selama 28 hari terhadap adanya kejang, salivasi, diare, lemas, perubahan bulu, gerak-gerik hewan seperti berjalan mundur dan berjalan dengan perut dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Hasil pengamatan gejala toksik

Kelompok Kejang Salivasi Diare Lemas

Perubahan

bulu Gerak gerik

Rontok Warna

Jalan mundur

Jalan dengan

perut

P1 - - - -

P2 - - - -

P3 - - - -

P4 + - - + + + - -

P5 + - - + + + - -

Keterangan: P = perlakuan; 1 = kontrol; 2, 3, 4 dan 5 = dosis 1000, 2000, 4000 dan 8000 mg/kg bb; bb = berat badan; (-) = tidak menunjukkan gejala; (+) = menunjukkan adanya gejala

Pada Tabel 4.1 terlihat bahwa pemberian EEBPJ tidak ditemukan adanya gejala toksik pada kelompok kontrol dan perlakuan pada dosis 1000 dan 2000 mg/kg bb. Pada dosis 4000 dan 8000 mg/kg bb ditemukan gejala toksik yaitu terjadi kejang, lemas dan perubahan bulu pada mencit. Hal tersebut menunjukkan adanya hubungan antara dosis dan efek toksik, dimana makin besar dosis yang diberikan makin besar efek toksik yang timbul (Lu, 1995). Zat dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan berkaitan dengan dosis yang diberikan yaitu efek samping, efek merugikan dan efek toksik (Priyanto, 2009).

Setiap zat bila diberikan dengan dosis yang cukup besar akan menimbulkan gejala-gejala toksik (Ganiswara, 1995). Hewan percobaan yang bereaksi terhadap toksisitas suatu senyawa tertentu, akan disertai tanda-tanda seperti bulu berdiri, diare, serta pembengkakan atau pembentukan warna merah pada badan hewan (Anderson, et al., 2005).


(41)

4.4.2 Hasil pengamatan berat badan

Penimbangan berat badan dilakukan setiap hari dari hari 0 sampai hari ke 28 untuk menentukan volume sediaan yang diberikan, sedangkan yang dianalisis secara statistik dilakukan seminggu sekali. Rata-rata berat badan dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Hasil rata-rata berat badan

Hari Rata-rata berat badan (g) ± SD

P1 P2 P3 P4 P5

0 25,80±0,64 25,72±0,51 25,76±0,63 25,80±0,44 25,94±0,47 7 32,58±4,31 34,22±1,69 32,92±1,88 33,92±2,34 36,92±4,74 14 34,40±4,05 35,04±5,49 34,50±4,56 34,56±1,95 40,10±7,91 21 34,04±3,46 35,34±6,68 35,96±3,98 35,06±2,45 44,50±- 28 35,76±2,03 36,18±6,95 36,42±4,14 36,05±0,49 44,70±- 29 35,28±1,80 35,84±7,19 35,58±3,97 34,70±0,56 43,10±- Keterangan: P = perlakuan; 1 = kontrol; 2, 3, 4 dan 5 = dosis 1000, 2000, 4000

dan 8000 mg/kg bb; bb = berat badan

Pada Tabel 4.2 hasil uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara kenaikan berat badan dengan pemberian EEBPJ (p > 0,05). Hal ini dapat dinyatakan bahwa pemberian EEBPJ selama 28 hari tidak berpengaruh terhadap perkembangan berat badan mencit.

Parameter yang merupakan indikator sensitif untuk mengetahui toksisitas yaitu gejala toksik dan berat badan. Hewan uji diamati setiap hari untuk gejala toksik dan berat badan diukur secara berkala (Gupta dan Bhardwaj, 2012).

Berkurangnya pertambahan berat badan merupakan indeks efek toksik yang sederhana namun sensitif (Lu, 1995). Kekurangan protein dalam ransum dapat mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan. Secara umum penambahan berat badan akan dipengaruhi oleh jumlah konsumsi pakan yang dimakan dan kandungan nutrisi yang terdapat dalam pakan tersebut (Ichwan, 2003).


(42)

4.4.3 Hasil pengamatan kematian

Mencit yang mati selama waktu pemberian sediaan uji dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Hasil pengamatan kematian

Keterangan: P = perlakuan; 1 = kontrol; 2, 3, 4 dan 5 = dosis 1000, 2000, 4000 dan 8000 mg/kg bb; bb = berat badan

Pada Tabel 4.3 terlihat pada kelompok kontrol, dosis 1000 dan 2000 mg/kg bb tidak ada mencit yang mati selama waktu pemberian sediaan uji, sedang pada dosis 4000 mg/kg bb jumlah mencit yang mati 3 ekor dan dosis 8000 mg/kg bb 4 ekor. Hal tersebut dikarenakan pemberian EEBPJ setiap hari selama 28 hari sehingga terjadi kerusakan organ yang dapat menyebabkan kematian pada mencit. Kandungan senyawa metabolit sekunder dalam EEBPJ juga merupakan penyebab kematian mencit. Alkaloid cukup toksik sehingga pemberian dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan kematian (Elya, dkk., 2010).

Suatu zat pada dasarnya bersifat racun dan terjadinya keracunan ditentukan oleh dosis dan cara pemberian, namun dosis merupakan faktor utama yang terpenting (Ganiswara, 1995).

Efek toksik merupakan efek yang sangat berbahaya dan dapat menyebabkan kematian. Efek toksik suatu zat dipengaruhi oleh zatnya, target organ, besar dosis dan kondisi fisiologi membran biologi yang terpapar (Priyanto, 2009).

Kelompok Jumlah mencit Jumlah

kematian Hari

P1 5 0 -

P2 5 0 -

P3 5 0 -

P4 5 3 12, 14, 25


(43)

35,2 56,4 70,8 88,5 97 0 20 40 60 80 100 120

P1 P2 P3 P4 P5

r at a-r at a k ad ar A L T ( IU /L ) kelompok perlakuan 4.4.4 Hasil pengukuran kadar ALT

Pengukuran kadar ALT dilakukan pada hari ke 29, hasil rata-rata kadar ALT dapat dilihat pada Lampiran 9. Grafik rata-rata dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Grafik rata-rata hasil pengukuran kadar ALT

Keterangan: P = perlakuan; 1 = kontrol; 2, 3, 4 dan 5 = dosis 1000, 2000, 4000 dan 8000 mg/kg bb; bb = berat badan

Pada Gambar 4.1 terlihat bahwa terdapat adanya perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan (p < 0,05). Pada kelompok kontrol rata-rata kadar ALT (35,20 IU/L), dosis 1000 mg/kg bb (56,40 IU/L) dan 2000 mg/kg bb (70,80 IU/L), terlihat hasil rata-rata kadar ALT dari ketiga kelompok tersebut masih dalam batas normal. Pada dosis 4000 mg/kg bb (88,50 IU/L) dan dosis 8000 mg/kg bb (97,00 IU/L), rata-rata kadar ALT kelompok tersebut di atas batas normal. Kadar ALT darah mencit normal adalah 1777 IU/L (Anonymous, 2009).

Indikator yang spesifik untuk kerusakan hati adalah besarnya kandungan ALT dan AST tetapi ALT memberikan hasil yang lebih spesifik dari pada AST


(44)

(Sherlock, 1981; Bauer, 1982; Murray, et al., 1995). Enzim ALT adalah enzim yang dibuat dalam sel hati (hepatosit), jadi lebih spesifik untuk penyakit hati dibandingkan dengan enzim lain. ALT sering dijumpai dalam hati, sedangkan dalam jantung, ginjal, otak dan otot rangka kurang jika dibandingkan dengan SGOT (Hadi, 1995).

Hepatosit apabila mengalami cedera enzim yang secara normal tersebut berada di dalam sel yaitu sitoplasma akan masuk ke dalam aliran darah (Sacher dan Richard, 2004).

4.4.5 Hasil pengamatan makropatologi

Hasil gambar makropatologi organ hati dapat dilihat pada Lampiran 10. Hasil pengamatan makropatologi meliputi pengamatan warna, permukaan dan konsistensi organ hati dapat dilihat pada tabel 4.4.

Tabel 4.4 Hasil pengamatan makropatologi

Kelompok Pengamatan

Warna Permukaan Konsistensi

P1 Merah kecoklatan Licin Kenyal

P2 Merah kecoklatan Licin Kenyal

P3 Merah kecoklatan Licin Kenyal

P4 Merah kehitaman Licin Kenyal

P5 Pucat Tidak licin Tidak kenyal

Keterangan: P = perlakuan; 1 = kontrol; 2, 3, 4 dan 5 = dosis 1000, 2000, 4000 dan 8000 mg/kg bb; bb = berat badan

Pada Tabel 4.4 terlihat pada kelompok kontrol, dosis 1000 dan 2000 mg/kg bb organ hati masih dalam keadaan normal yang berwarna merah kecoklatan, permukaannya licin dan konsistensinya kenyal. Kriteria normal pada organ hati bila tidak ditemukan perubahan warna, perubahan struktur permukaan dan perubahan konsistensi (Anggraini, 2008). Pada dosis 4000 dan 8000 mg/kg bb sudah terjadi perubahan warna menjadi merah kehitaman dan pucat. Perubahan warna menjadi salah satu parameter terjadinya efek toksik yang bertujuan


(45)

mendapatkan informasi mengenai toksisitas zat uji yang berkaitan dengan organ sasaran dan efek terhadap organ tersebut (Lu, 1995).

4.4.6 Hasil histopatologi organ hati

Organ hati pada mencit yang mati segera diambil dan pada akhir periode pemberian sediaan uji, semua mencit yang masih hidup diotopsi. Organ hati diambil kemudian dibuat menjadi preparat histopatologi selanjutnya dilihat kerusakan jaringan di bawah mikroskop, hasil kerusakan dapat dilihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5 Hasil histopatologi berdasarkan kerusakan hepatosit

Keterangan: P = perlakuan; 1 = kontrol; 2, 3, 4 dan 5 = dosis 1000, 2000, 4000 dan 8000 mg/kg bb; bb = berat badan; (-) = normal; (+) = ringan; (++) = sedang; (+++) = parah

Pada Tabel 4.5 terlihat pada kelompok kontrol, dosis 1000 dan 2000 mg/kg bb tidak terjadi kerusakan hepatosit, sedang pada dosis 4000 dan 8000 mg/kg bb terjadi kerusakan hepatosit yaitu degenerasi hidropik dan nekrosis dengan tingkat keparahan ringan sampai parah.

Penggunaan bahan obat yang sama dalam jangka waktu panjang dapat menyebabkan penumpukan metabolit dalam hati yang bersifat toksik terhadap hepatosit (Donatus, 2001). Organ-organ tubuh akan bekerja keras untuk menyaring dan membuang senyawa-senyawa yang tidak dibutuhkan oleh tubuh (Nisa, dkk., 2012). Hasil gambar histopatologi dari organ hati dapat dilihat pada Gambar 4.2.

Kelompok Jenis kerusakan hepatosit

Degenerasi hidropik Nekrosis

P1 - -

P2 - -

P3 - -

P4 ++ +


(46)

Gambar 4.2 Gambar histopatologi organ hati dengan perbesaran (10x40)

Keterangan: kelompok kontrol

1 = hepatosit; 2 = vena sentral; 3 = sinusoid

3 2

1 3

2


(47)

Keterangan: perlakuan dosis 1000 mg/kg bb

1 = hepatosit; 2 = vena sentral; 3 = sinusoid

3 2

1 3

2


(48)

Keterangan: perlakuan dosis 2000 mg/kg bb

1 = hepatosit; 2 = vena sentral; 3 = sinusoid

3 2

1 1

3 2


(49)

Keterangan: perlakuan dosis 4000 mg/kg bb

1 = degenerasi hidropik; 2 = kariopiknosis; 3 = karioreksis; 4 = kariolisis; 5 = vena sentral; 6 = sinusoid

6 5

4 3 2 1 6

5

4 3 2 1


(50)

Keterangan: perlakuan dosis 8000 mg/kg bb

1 = degenerasi hidropik; 2 = kariopiknosis; 3 = karioreksis; 4 = kariolisis; 5 = vena sentral; 6 = sinusoid

6 5

4 3 2 1 6

5

4 3 2 1


(51)

Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat bahwa kelompok kontrol, dosis 1000 dan 2000 mg/kg bb menunjukkan gambaran histopatologi masih dalam keadaan normal yaitu dengan menunjukkan hepatosit tersusun secara radial dalam lobulus hati. Celah antara lempeng-lempeng ini mengandung sinusoid-sinusoid kapiler yang dinamakan sinusoid hati. Sinusoid merupakan pembuluh yang melebar tidak teratur dan hanya terdiri atas satu lapisan endotel yang tidak kontinyu (Junqueira dan Corneiro, 2007). Pada dosis 4000 dosis 8000 mg/kg bb hepatosit sudah mengalami kerusakan yaitu sebagian dari hepatosit sudah mengalami degenerasi hidropik hal ini terjadi karena adanya gangguan membran sel sehingga cairan masuk ke dalam sitoplasma dan sebagian juga terjadi nekrosis. Kerusakan pada hati dapat terjadi oleh beberapa faktor yaitu onset pemaparan yang terlalu lama, durasi pemaparan, dosis dan sel inang yang rentan (Jubb, dkk., 1993).

Hasil histopatologi tersebut sesuai dengan pengukuran kadar ALT dimana pada kelompok kontrol, dosis 1000 dan 2000 mg/kg bb rata-rata kadar ALT masih dalam batas normal, sedangkan pada kelompok dosis 4000 dan 8000 mg/kg bb rata-rata kadar ALT sudah di atas batas normal. Jika sel hati mengalami nekrosis dapat segera dideteksi melalui peningkatan aktivitas enzim. Salah satu enzim yang dihasilkan oleh hati dan peka terhadap kelainan fungsi hati adalah enzim ALT (Elisma, dkk., 2009).

Hepatosit merupakan sebagian besar dari organ hati yang bertanggung jawab terhadap metabolisme. Sel-sel ini terletak di antara sinusoid yang berisi darah dan saluran empedu (Lu, 1995). Darah yang mengandung toksin dibawa dari usus, masuk ke hati melalui vena porta kemudian melewati sinusoid menuju vena sentralis (Macfarlane, et al., 2000).


(52)

Degenerasi hidropik merupakan peristiwa meningkatnya kadar air di intraseluler yang menyebabkan sitoplasma dan organel-organel membengkak dan membentuk vakuola-vakuola. Rusaknya permeabilitas membran sel menyebabkan terhambatnya aliran Na+ keluar dari sel sehingga menyebabkan ion-ion dan air masuk secara berlebihan kedalam sel. Degenerasi hidropik merupakan respon awal sel terhadap bahan-bahan yang bersifat toksik, serta merupakan proses awal dari kematian sel (Jones, et al., 1997; Cheville, 1999). Kadar Na+ intrasel diatur oleh pompa Na+ yang memerlukan ATP, jika ATP berkurang maka akan mengakibatkan masuknya Na+ ke intrasel melebihi jumlah normalnya (Priyanto, 2009).

Kerusakan sel secara terus-menerus akan mencapai suatu titik sehingga terjadi kematian sel (Lu, 1995). Paparan zat toksik pada sel apabila cukup hebat atau berlangsung cukup lama, maka sel tidak dapat lagi mengkompensasi dan tidak dapat melanjutkan metabolisme (Priyanto, 2009). Inti sel yang mati dapat terlihat lebih kecil dan menjadi lebih padat (kariopiknosis), hancur bersegmen-segmen (karioreksis) dan kemudian inti sel menghilang (kariolisis) (Underwood, 1994). Nekrosis hati adalah kematian hepatosit yang umumnya merupakan kerusakan akut (Lu, 1995).


(53)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah:

a. EEBPJ pada kelompok kontrol, dosis 1000 dan 2000 mg/kg bb tidak berpengaruh terhadap gejala toksik sedang dosis 4000 dan 8000 mg/kg bb berpengaruh pada mencit jantan.

b. EEBPJ sampai dengan dosis 8000 mg/kg bb tidak berpengaruh terhadap berat badan mencit jantan.

c. EEBPJ pada kelompok kontrol, dosis 1000 dan 2000 mg/kg bb tidak memberikan efek toksik sedang dosis 4000 dan 8000 mg/kg bb memberikan efek toksik pada organ hati mencit.

d. EEBPJ pada dosis 4000 mg/kg bb mulai toksik terhadap mencit jantan.

5.2Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk menguji toksisitas kronik EEBPJ pada organ hati, ginjal, jantung dan lain sebagainya dan menguji toksisitas khusus EEBPJ seperti teratogenik dan karsinogenik.


(54)

DAFTAR PUSTAKA

Adjirni dan saruni (2006). Penelitian Antiinflamasi dan Toksisitas Akut Ekstrak Akar Pepaya (Carica papaya L.) Pada Tikus Putih. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran. 129(3): 42-44.

Anderson, J.W., Nicolosi R.J., and Borzelleca J.F. (2005). Glucosamine Effects In Humans: A Review Of Effects On Glucose Metabolism, Side Effects, Safety Considerations And Efficacy. Food and Chem Toxicol. 43(18): 675-687.

Anggraini, D.R. (2008). Gambaran Makroskopik dan Mikroskopik Hati dan Ginjal Mencit Akibat Pemberian Plumbum Asetat. Tesis. Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Halaman 52.

Anonim. (2013). Pepaya. Diakses tanggal 20 September 2013.

Anonymous. (2009). Reference Values for Laboratory Animals, Normal Hematology Values. ReseachAnimal Resources. University of Minnesota. Page 275.

Arifin, H., Leny, S., dan Netty, M. (2006). Kajian Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Daun Capo (Blumea Balsamifera L.) Dan Pengaruhnya Terhadap Gambaran Histologi Ginjal Mencit Putih Jantan. Jurnal Media farmasi. 14(2): 120-124.

Bauer, J.D. (1982). Clinical Laboratory Methods. 9th edition. The C.V. Mosby Company, London. page 578.

Budiman, A., Wulandari, R.S., dan Darma, E. (2010). Uji Aktivitas Antijerawat Sediaan Krim Ekstrak Daun Pepaya (Carica papaya L.) dan Madu Terhadap Bakteri Propionibacterium acne. Jurnal Farmaka. 8(2): 211-217. BPOM. (2010). Acuan Sediaan Herbal. Volume Kelima Edisi Pertama. Jakarta:

Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Deputi Bidang Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen. Halaman 74.

BPOM. (2008). Taksonomi Koleksi Tanaman Obat Kebun Tanaman Obat Citeureup. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Deputi Bidang Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen. Halaman 20.

Cheville, N.F. (1999). Introduction to Veterinary Pathology. Ed ke-2. Iowa: Iowa State University Press. Page 214.

Dellmann, H.D., dan Brown, E. (1992). Buku Teks Histologi Veteriner I dan II. Penerjemah: Hartono. Jakarta: Universitas Indonesia. Halaman 376.

Depkes RI. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 7, 33, 744, 748.


(55)

Dewoto, H.R. (2007). Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi Fitofarmaka. Jurnal Maj Kedokt Indon. 57(7): 205-211.

Ditjen POM. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Cetakan Pertama. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 3-5, 10-11.

Donatus, A.I. (2001). Toksikologi Dasar. Yogyakarta: Fakultas Biofarmasi Universitas Gajahmada. Halaman 67-79.

Elisma, Arifin, H., dan Handayani, D. (2009) Pengaruh Fraksi Daun Sidaguri (Sida Rhombifolia L.) Terhadap Kadar Asam Urat Dan Uji Toksisitas Sub Akutnya pada Mencit Putih Jantan. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran. 32(1): 15-19.

Elya, B., Amin, J., dan Emiyanah. (2010). Toksisitas Akut Daun Justicia gendarussa Burm. Jurnal Makara Sains. 14(2): 129-134.

Eroschenko, V.P. (2010). Atlas Histologi diFiro: dengan Korelasi Fungsional Edisi 11. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Halaman 325-334. Francisca, N. (2012). Uji Antimutagenik Fraksi Etilasetat Bunga Pepaya Jantan

(Carica papaya L.) Pada Mencit Yang Diinduksi Dengan Siklofosfamid. Skripsi. Medan: Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Ganiswara, S.G. (1995). Farmakologi Dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Halaman 763-764.

Gupta, D., and Bhardwaj, S. (2012). Study of Acute, Subacute and Chronic Toxicity Test. International Journal of Advanced Research in Pharmaceutical and Bio Sciences (IJARPB). 1(2): 103-114.

Hadi, S. (1995). Gastroenterologi. Edisi 6. Bandung: Alumni, pp: 400-12 ; 644-50.

Harada, T., Enotomo, A., Boorman, G., and Maronpot, R.R. (1999). Liver and Gallbladder. In: Maronpot RR. Pathology of The Mouse. Reference and Atlas. 1st ed. Cache River Press. Pages 120-141.

Hasti, S., Novita, G., dan Ramadhani, G.W. (2012). Toksisitas Sub Kronis Ekstrak Etanol Daun Beringin (Ficus benjamina L.) Terhadap Fungsi Ginjal Mencit Putih Betina. Jurnal Scientia. 2(1): 2087-5045.

Hendriani, R. (2007). Uji Toksisitas Subkronis Kombinasi Ekstrak Etanol Buah Mengkudu (Morinda citrifolia Linn.) Dan Rimpang Jahe Gajah (Zingiber officinale rosc.) Pada Tikus Wistar. Karya Ilmiah. 11(4): 312-316.

Henova, F. (2012). Uji aktivitas antioksidan ekstrak etanol bunga jantan tumbuhan papaya (Carica papaya L.) Serta formulasi sediaan gel berbasis hpmc. Skripsi. Medan: Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.


(56)

Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berbunga Indonesia Jilid III. Jakarta: Badan Litbang Departemen Kehutanan. Halaman 1459-1462.

Husadha, Y. (1996). Fisiologi dan Pemeriksaan Hati Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Halaman:224- 226.

Ichwan. (2003). Membuat Pakan Ayam Ras Pedaging. Cetakan I. Agromedia Pustaka Utama. Jakarta. Halaman 56.

Iman, M.N. (2009). Aktivitas Antibakteri Ekstrak Metanol Bunga Pepaya Jantan (Carica papaya L.) Terhadap Escherichia coli dan Staphylococcus aureus Multiresisten Antibiotik. Skripsi. Surakatra: Fakultas Farmasi UMS.

Irianto, K. (2004). Struktur dan Fungsi Tubuh Manusia untuk Paramedis. Bandung: Yrama Widya. Halaman 225.

Jones, T.C., Ronald, D.H., and Norval, W.K. (1997). Veterinary Pathology. Sixth Edition. USA: Wiliam and Wilkins. Baltimore. Page 543.

Jubb, K.V.F., Kennedy, P.C., and Peter, C. (1993). Pathology of Domestic Animal. London: Academic Press. Page 325-327.

Junqueira, L.C., dan Corneiro, J. (2007). Histologi Dasar. Editor Dany, F. Edisi 10. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Halaman 1-4, 318-330.

Klasseen, H. (2001). Casarett and Doull’s Toxicology. The Basic Science of Poison. edisi 6. McGraw-Hill: United States of America. Page 87.

Kalie, M.B. (1996). Bertanam Pepaya. Edisi Revisi. Jakarta: Penebar Swadaya. Halaman 2-24.

Krysanti, A., dan Widjanarko, S.B. (2014). Toksisitas Subakut Tepung Glukomanan (A. Muelleri Blume) Terhadap Sgot Dan Natrium Tikus Wistar Secara In Vivo. Jurnal Pangan dan Agroindustri. 2(1): 1-7.

Lasarus, A., Johanis, A.N., dan Wuisan, J. (2013). Uji Efek Analgesik Ekstrak Daun Pepaya (Carica papaya L.) Pada Mencit (Mus musculus). Jurnal Cermin Dunia Kedokteran. 14(4): 135-138.

Lee, S.S.T., Butter, J.T.M., Pinaeu, T., Fernandez, S.P., and Gonzalez, F.J. (1997). Role of CYP2E1 in the hepatotoxicity of acetaminophen. Journal Biology Chemical. 27(1):12063–12067.

Loomis, T.A., (1978). Toksikologi Dasar. diterjemahkan oleh Imono Argo Donatos. Edisi III. Semarang: IKIP Semarang Press. Halaman 67-113. Lu, F.C. (1995). Toksikologi Dasar: Asas, Organ, Sasaran, dan Penilaian Risiko,

diterjemahkan oleh Nugroho, E., Bustami, Z.S., dan Darmansjah, I. Edisi II. Jakarta: UI Press. Halaman 46, 92, 206-220.


(57)

Macfarlane, P.S., Reid, R., and Callander. (2000). Pathology Illustrated. Toronto: Huerchill Livingstone. Page 342.

Martiasih, M., Sidharta, B.B.R., dan Atmodjo, P.K. (2011). Aktivitas antibakteri ekstrak biji pepaya (Carica pepaya L.) terhadap Escherichia coli dan strepcoccus pyogenes. Jurnal Pangan dan Agroindustri.41(8): 421-431. Murtini, J.T., Triwibowo, R., Indriatri, N., dan Ariyani, F. (2010). Uji Toksisitas

Sub Kronik Spirulina platensis Secara In-Vivo. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. 5(2): 123-134.

Murray, R.K., Granner, D.K., Mayes, P.A., and Rodwell, V.W. (1995). Biokimia Harper. Edisi 22. Diterjemahkan oleh Andry, H. Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta. Halaman 706707.

Nisa, L.C., Wahyuningsih, S.P.A., dan Husen, S.A. (2012). Uji Toksisitas Subkronik Polisakarida Krestin Dari Ekstrak Coriolus versicolor Terhadap Kadar Kreatinin Mus musculus. Jurnal Bioscientiae.31(2): 2-9.

OECD. (2001). Acute Oral Toxicity. OECD Guidelines for the Testing of Chemicals. 432(1): 1-6.

OECD. (2008). Organization for Economic Cooperation and Development Guidelines for the Testing of Chemicals TG 407. Pages 1-13.

Prasetyawati, C., Argo D.I., Hartati W.S.M., dan Wahyuono, S. (2004). Uji toksisitas sub kronis infusa daun Nerium indicum Mill. pada tikus putih jantan (Rattus norvegicus ) galur wistar. Jurnal Majalah Farmasi Indonesia. 15(1): 13–19.

Priyanto. (2009). Toksikologi Mekanisme, Terapi Antidotum, dan Penilaian Resiko. Jakarta: Lembaga Studi dan Konsultasi Farmakologi Indonesia (LESKONFI). Halaman 1-28, 87-132.

Rehena, J.F. (2010). Uji Aktivitas Ekstrak Daun Pepaya (Carica papaya Linn.) Sebagai Antimalaria In Vitro. Jurnal Ilmu Dasar. 11(1). 96-100.

Sacher, R.A., dan Richard, A.M. (2004). Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Edisi 11. Jakarta: Kedokteran EGC. Halaman 369.

Santoso, H.B., dan Nurliani, A. (2006). Efek Doksisiklin Selama Masa Organogenesis pada Struktur Histologi Organ Hati dan Ginjal Fetus Mencit. Jurnal Bioscientiae.3(1): 15-27.

Sagita, A.A., Wahyuningsih, S.P.A., dan Husen, S.A. (2012). Uji Toksisitas Subkronik Polisakarida Krestin Dari Ekstrak Coriolus versicolor Terhadap Kadar ALT Mus musculus L. Artikel Karya Tulis Ilmiah. 87(3): 412-419. Setyowati, A.R., Suryaatnaja, L., dan Kristina, T.N. (2011). Pengaruh Pemberian


(58)

Staphylococcus aureus dari pioderma. Artikel Karya Tulis Ilmiah. 62(15): 15-21.

Sherlock, S. (1981). Diseases of Liver and Billiary System. 7th edition. Blackwell Scientific Publication, London. Page 125126.

Simbala, H. (2009). Analisis Senyawa Alkaloid Beberapa Jenis Tumbuhan Obat sebagai Bahan Aktif Fitofarmaka. Pacific Journal. 1(4): 489-494.

Sitorus, W. (2012). Uji Antimutagenik Ekstrak Etanol Bunga Pepaya jantan (Carica papaya L.) Pada Mencit Jantan Yang Diinduksi Dengan Siklofosfamid. Skripsi. Medan: Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Sumardjo, D. (2008). Pengantar Kimia. Jakarta: Kedokteran EGC. Halaman 438. Sukardiman., Ekasari, W., dan Hapsari, W.W. (2006). Aktivitas Antikanker dan

Induksi Apoptosis Fraksi Kloroform Daun Pepaya (Carica papaya L.) Terhadap Kultur Sel Kanker Meiloma. Jurnal Media Kedokteran Hewan. 22(2): 104-111.

Suwarso, E., Sinaga, K.R., dan Nainggolan, M. (2013). Kajian ekstrak etanol bunga papaya jantan (Carica papaya. L) sebagai komopreventif karsinogenesis kanker payudara pada tikus betina yang mendapat paparan 7, 12-dimetilbenz (α) antrasena (DMBA). Medan: Laporan Hasil Penelitian Hibah Bersaing Tahun I.

Tenggara, J.B. (2012). Liver: Struktur, Anatomi dan Fungsi. Diakses tanggal 21 Mei 2014.

Underwood, J.C.E. (1994). Cedera Hepar Akibat Obat. Editor: Sarjadi. Edisi Patologi Umum dan Sistemik Volume 2. Edisi II. Jakarta: EGC. Halaman 483.

Wibowo, W.A., Maslachah, L., dan Bijanti, R. (2005). Pengaruh Pemberian Perasan

Buah Mengkudu (Morinda citrifolia) Terhadap Kadar SGOT Dan ALT Tikus Putih (Rattus norvegicus) Diet Tinggi Lemak. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran. 162(2): 13-19.

Wicaksono, S. (2002). Efek Toksik dan Cara Menentukan Toksisitas Bahan Kimia.

Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Jurnal Cermin Dunia Kesehatan 135(3):

32-36.

Widmann, F.K. (1995). Tinjauan Klinis atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Edisi 9. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Halaman: 331.


(59)

(60)

Lampiran 2. Gambar tumbuhan bunga pepaya jantan (Carica papaya. L)

Tumbuhan bunga pepaya jantan


(61)

Lampiran 3. Simplisia dan serbuk bunga pepaya jantan (Carica papaya. L)

Simplisiabunga pepaya jantan


(62)

Lampiran 4. Bagan pembuatan ekstrak

Dimasukkan ke dalam bejana

Ditambah pelarut 9 liter etanol 80% (75 bagian)

Dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya sambil sesekali di aduk

Diserkai, diperas

Dicuci dengan pelarut etanol 80% hingga diperoleh (100 bagian) Dipindahkan ke dalam bejana tertutup

Dibiarkan di tempat sejuk, terlindung dari cahaya selama 2 hari Dienap tuangkan dan di saring

Digabung

Dipekatkan dengan alat rotary evaporator 40oC Dikeringkan dengan alat freeze dryer -40oC Serbuk simplisia

Ampas Maserat I

Ampas Maserat II

Ekstrak kental (97,38 g)


(63)

Lampiran 5. Bagan alur penelitian uji toksisitas subkronik

EEBPJ

Pengamatan 28 hari P1: Kontrol, diberi akuades P2: Perlakuan, diberi EEBPJ dosis 1000 mg/kg bb P3: Perlakuan, diberi EEBPJ dosis 2000 mg/kg bb P4: Perlakuan, diberi EEBPJ dosis 4000 mg/kg bb P5: Perlakuan, diberi EEBPJ dosis 8000 mg/kg bb Gejala toksik Berat

badan Kematian ALT Histopatologi

Analisis data Hewan uji (mencit)


(64)

Lampiran 6. Contoh perhitungan dosis

Berat badan mencit 25 g dengan dosis EEBPJ 1000 mg/kg bb Dosis = 1000 mg/kg bb

= 1000mg

1000g x 25 g

= 25 mg

Konsentrasi ekstrak yang dibuat 25% = 25 g/100 ml = 25000 mg/100 ml = 250 mg/ml

Jumlah obat yang disuntikkan = 25mg

250mg/ml


(65)

Lampiran 7. Hasil uji pendahuluan

1. Hasil pengamatan kematian

Keterangan: P1 = kontrol; P2 = dosis 100 mg/kg bb; P3 = dosis 200 mg/kg bb; P4 = dosis 400 mg/kg bb; P5 = dosis 800 mg/kg bb

2. Hasil pengamatan gejala toksik

Kelompok Kejang Salivasi Diare Lemas

Perubahan bulu Gerak gerik

Rontok Warna

Jalan mundur

Jalan dengan

perut

P1 - - - -

P2 - - - -

P3 - - - -

P4 - - - -

P5 - - - -

Keterangan: P1 = kontrol; P2 = dosis 100 mg/kg bb; P3 = dosis 200 mg/kg bb; P4 = dosis 400 mg/kg bb; P5 = dosis 800 mg/kg bb

3. Hasil rata-rata berat badan

Hari Rata-rata berat badan (g) ± SD

P1 P2 P3 P4 P5

0 26,10±0,28 26,55±0,35 25,50±0,42 26,30±0,28 25,95±0,35 7 30,00±0.28 28,85±0,21 27,90±0,98 28,95±0,21 28,30±1,41 14 32,10±0,98 31,85±0,91 29,60±0,70 31,00±0,84 29,35±1,20 21 33,40±0,42 31,60±1,27 33,20±0,84 30,70±2,26 30,05±0,91 28 30,10±0,98 31,50±0,56 32,20±2,54 31,10±2,26 31,90±0,56 29 27,85±0,49 31,50±1,27 32,40±1,69 31,05±1,20 31,75±1,34 Keterangan: P1 = kontrol; P2 = dosis 100 mg/kg bb; P3 = dosis 200 mg/kg bb;

P4 = dosis 400 mg/kg bb; P5 = dosis 800 mg/kg bb

Kelompok Jumlah mencit Jumlah kematian

P1 2 0

P2 2 0

P3 2 0

P4 2 0


(66)

(67)

Lampiran 9. Hasil rata-rata kadar ALT

Kelompok Rata-rata ± SD P

P1 35,20 ± 6,05 -

P2 56,40 ± 8,79 0,002*

P3 70,80 ± 6,34 0,000*

P4 88,50 ± 3,53 0,000*

P5 97,00 ± - -

Keterangan: P = perlakuan; 1 = kontrol; 2, 3, 4 dan 5 = dosis 1000, 2000, 4000 dan 8000 mg/kg bb; bb = berat badan; * = terdapat perbedaan yang signifikan


(68)

Lampiran 10. Hasil gambar makropatologi organ hati

Kelompok kontrol

Perlakuan dosis 1000 mg/kg bb


(69)

Lampiran 10. (lanjutan)

Perlakuan dosis 4000 mg/kg bb


(70)

Lampiran 11. Gambar alat, bahan, dan objek yang digunakan

Oral sonde


(71)

Lampiran 11. (lanjutan)

Mikroskop


(72)

Lampiran 12. Gambar hewan percobaan yang digunakan

Mencit


(1)

Lampiran 13.

(lanjutan)

Descriptives

N Mean

Std. Deviation

Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound BB hari ke 0

Kontrol 5 25.800 .6403 .2864 25.005 26.595 25.1 26.6 Dosis

1000

5 25.720 .5167 .2311 25.078 26.362 25.2 26.4

Dosis 2000

5 25.760 .6387 .2857 24.967 26.553 25.0 26.5

Dosis 4000

5 25.800 .4472 .2000 25.245 26.355 25.3 26.4

Dosis 8000

5 25.940 .4722 .2112 25.354 26.526 25.3 26.6

Total 25 25.804 .5070 .1014 25.595 26.013 25.0 26.6 BB hari

ke 7

Kontrol 5 32.580 4.3142 1.9294 27.223 37.937 28.3 37.3 Dosis

1000

5 34.220 1.6991 .7599 32.110 36.330 31.3 35.6

Dosis 2000

5 32.920 1.8887 .8446 30.575 35.265 30.4 35.6

Dosis 4000

5 33.920 2.3424 1.0476 31.011 36.829 30.0 35.9

Dosis 8000

5 36.920 4.7426 2.1209 31.031 42.809 31.6 44.1

Total 25 34.112 3.3584 .6717 32.726 35.498 28.3 44.1 BB hari

ke 14

Kontrol 5 34.400 4.0503 1.8114 29.371 39.429 30.4 39.9 Dosis

1000

5 35.040 5.4935 2.4567 28.219 41.861 25.6 39.5

Dosis 2000

5 34.500 4.5673 2.0425 28.829 40.171 29.8 40.7

Dosis 4000

3 34.567 1.9502 1.1260 29.722 39.411 33.2 36.8

Dosis 8000

2 40.100 7.9196 5.6000 -31.055 111.255 34.5 45.7

Total 20 35.180 4.5601 1.0197 33.046 37.314 25.6 45.7 BB hari

ke 21

Kontrol 5 34.040 3.4624 1.5484 29.741 38.339 30.4 38.5 Dosis

1000

5 35.340 6.6830 2.9887 27.042 43.638 24.2 41.9


(2)

Dosis 2000

5 35.960 3.9803 1.7801 31.018 40.902 30.8 40.3

Dosis 4000

3 35.067 2.4542 1.4170 28.970 41.163 32.7 37.6

Dosis 8000

1 44.500 . . . . 44.5 44.5

Total 19 35.600 4.6859 1.0750 33.341 37.859 24.2 44.5 BB hari

ke 28

Kontrol 5 35.760 2.0379 .9114 33.230 38.290 33.4 38.0 Dosis

1000

5 36.180 6.9575 3.1115 27.541 44.819 24.7 41.9

Dosis 2000

5 36.420 4.1493 1.8556 31.268 41.572 29.9 40.5

Dosis 4000

2 36.050 .4950 .3500 31.603 40.497 35.7 36.4

Dosis 8000

1 44.700 . . . . 44.7 44.7

Total 18 36.589 4.5383 1.0697 34.332 38.846 24.7 44.7 BB hari

ke 29

Kontrol 5 35.280 1.8061 .8077 33.037 37.523 33.1 37.2 Dosis

1000

5 35.840 7.1992 3.2196 26.901 44.779 24.3 41.7

Dosis 2000

5 35.580 3.9745 1.7775 30.645 40.515 29.1 39.4

Dosis 4000

2 34.700 .5657 .4000 29.618 39.782 34.3 35.1

Dosis 8000

1 43.100 . . . . 43.1 43.1

Total 18 35.889 4.4790 1.0557 33.662 38.116 24.3 43.1


(3)

Lampiran 13.

(lanjutan)

ANOVA

Sum of

Squares df Mean Square F Sig. BB hari ke 0 Between Groups .138 4 .034 .114 .976

Within Groups 6.032 20 .302

Total 6.170 24

BB hari ke 7 Between Groups 58.506 4 14.627 1.379 .277 Within Groups 212.180 20 10.609

Total 270.686 24

BB hari ke 14 Between Groups 54.993 4 13.748 .606 .664 Within Groups 340.099 15 22.673

Total 395.092 19

BB hari ke 21 Between Groups 93.217 4 23.304 1.080 .403 Within Groups 302.023 14 21.573

Total 395.240 18

BB hari ke 28 Between Groups 70.785 4 17.696 .824 .533 Within Groups 279.353 13 21.489

Total 350.138 17

BB hari ke 29 Between Groups 57.170 4 14.292 .655 .634 Within Groups 283.868 13 21.836

Total 341.038 17


(4)

Lampiran 14.

Hasil analisis

spss

rata-rata kadar ALT

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

nilai ALT 18 60.33 20.785 27 97

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

nilai ALT

N 18

Normal Parametersa,b Mean 60.33

Std. Deviation 20.785

Most Extreme Differences Absolute .131

Positive .131

Negative -.107

Kolmogorov-Smirnov Z .557

Asymp. Sig. (2-tailed) .916

a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.


(5)

Lampiran 14.

(lanjutan)

Descriptives

nilai ALT

N

Me an

Std. Deviation

Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Mini mum

Maxi mum Lower

Bound

Upper Bound

kontrol 5 35.20 6.058 2.709 27.68 42.72 27 43 dosis

1000

5 56.40 8.792 3.932 45.48 67.32 42 64

dosis 2000

5 70.80 6.340 2.835 62.93 78.67 63 79

dosis 4000

2 88.50 3.536 2.500 56.73 120.27 86 91

dosis 8000

1 97.00 . . . . 97 97

Total 18 60.33 20.785 4.899 50.00 70.67 27 97

ANOVA

nilai ALT

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Between Groups 6714.700 4 1678.675 34.678 .000

Within Groups 629.300 13 48.408

Total 7344.000 17


(6)

Lampiran 14.

(lanjutan)

Multiple Comparisons

nilai ALT Tukey HSD

(I) perlakuan

(J) perlakuan

Mean Difference

(I-J)

Std.

Error Sig.

95% Confidence Interval Lower

Bound

Upper Bound kontrol dosis 1000 -21.200* 4.400 .002 -34.12 -8.28

dosis 2000 -35.600* 4.400 .000 -48.52 -22.68 dosis 4000 -53.300* 5.821 .000 -70.39 -36.21 dosis 1000 kontrol 21.200* 4.400 .002 8.28 34.12 dosis 2000 -14.400* 4.400 .027 -27.32 -1.48 dosis 4000 -32.100* 5.821 .001 -49.19 -15.01 dosis 2000 kontrol 35.600* 4.400 .000 22.68 48.52 dosis 1000 14.400* 4.400 .027 1.48 27.32 dosis 4000 -17.700* 5.821 .041 -34.79 -.61 dosis 4000 kontrol 53.300* 5.821 .000 36.21 70.39 dosis 1000 32.100* 5.821 .001 15.01 49.19

dosis 2000 17.700* 5.821 .041 .61 34.79

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Homogeneous Subsets

nilai ALT

Tukey HSDa,b

perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3

kontrol 5 35.20

dosis 1000 5 56.40

dosis 2000 5 70.80

dosis 4000 2 88.50

Sig. 1.000 .065 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.636.

b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.