Mitologi Orang Minangkabau. KEPEMIMPINAN DAN PERUBAHAN EKOLOGI; SUATU PEMIKIRAN TENTANG PERUBAHAN EKOLOGI DAN PERAN PEMIMPIN DI MINANGKABAU ipi258191

52 | P a g e bidal dan kata kiasan yang bersayap yang ikut membentuk jati diri orang Minangkabau. Konon menurut orang Minangkabau semua kearifan yang mereka punyai itu didapatkan sebagai hasil dari interaksinya dengan alam alam takambang jadi guru. Interaksi yang terus menerus dengan alam menghasilkan suatu kata bijak yang merupakan dan menjadi dasar dari pembelajaran orang Minangkabau dari dahulu hingga sekarang. Suatu pembe lajaran yang membutuh suatu kemampuan dalam membaca dan menyikapi fenomena – fenomena yang terjadi di alam,pada lingkungan sosial dan budaya. Dengan demikian, penggalan kalimat yang mengatakan “alam takambang jadikan guru” bukanlah sebuah kata kosong belaka, tetapi merupakan sesuatu yang harus dipahami dan diinterpretasikan sebagai suatu perintah yang harus ditaati dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Jika hal ini bisa berjalan dengan baik, masyarakat Minangkabau percaya bahwa kehidupan sosial dan budaya akan berjalan dengan baik, tetapi jika hal yang sebaliknya terjadi, kebanyakan orang Minangkabau percaya kesengsaraan dan permasalahan akan timbul, sehingga kehidupan masyarakat tidak akan berjalan dengan baik. Masyarakat Minangkabau bukanlah masyarakat yang tertutup dan anti terhadap perubahan. Orang Minangkabau mengenal sebuah adegium yang menyatakan “sakali aie gadang sakali tapian barubah,sungguhpun barubah di situ juo”. Perubahan bagi orang Minagkabau merupakan suatu proses yangn dianggap normal dan merupakan suatu proses yang bersifat alamiah. Setiap perubahan cenderung akan membawa suatu pengaruh terhadap setiap elemen sosial, termasuk masalah kepemimpinan di dalam masyarakat.

II. Mitologi Orang Minangkabau.

erbeda dengan masyarakat lain, orang Minangkabau tidak menghubungkan asal usulnya dengan dewa alam.Cerita ini erat kaitannya dengan sebuah gunung yang memiliki posisi yang sangat strategis di dalam proses asal mula terjadinya negeri. Gunung yang dimaksud dalam konteks ini adalah Gunung Marapi. Dalam kosmologi orang Minang kabau Gunung Marapi menempati posisi yang sangat strategis. Gunung ini merupakan daerah yang diyakini sebagai tempat dimana untuk pertama kali nenek moyang orang Minangkabau berasal. Menurut cerita orang Minangkabau, nenek moyang mereka berasal dari Banua ruhum RomawiRoem atau dari Byzantium. Konon pada zaman dahulu, ketika Gunung Marapi masih sebesar telur itik,berlayar tiga orang putra dari kerajaan Roem ke arah Timur. Karena masa itu air laut masih belum susut,kandaslah kapal mereka di puncak Gunung Marapi dan kapal mereka mengalami kerusakan. Pada masa itu mereka memutuskan untuk tinggal sementara di Puncak Gunung Marapi yang pada masa itu masih berupa pulau kecil. Sambil menunggu memperbaiki kapal mereka pun bermukim sementara di pulau itu. Dalam masa penantian itu ternyata kemudian air menyusut dan pulau kemudian muncul lebih luas. Dalam cerita orang Minangkabau hal ini dikenal dengan sebutan “ air menyentak turun dan bumi menyentak naik. Ketika gunung itu muncul lebih besar dan pada itu pula kapal yang tadinya rusak sudah selesai diperbaiki. Berundinglah ketiga putra raja untuk kembali melanjutkan perjalanan mereka. Dalam perundingan itu, salah seorang putra raja itu memutuskan untuk tinggal menetap di pulau itu. Dia adalah Sri Maharaja Diraja. Sedangkan dua saudaranya yang lain B 53 | P a g e memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mereka. Salah satu diantaranya melanjutkan perjalan ke arah Utara, yaitu Sri Maharaja Depang, yang kemudian menjadi nenek moyang orang Cina dan orang Jepang. Sedangkan yang satu lagi yaitu Sri Maharaja Alif memutuskan untuk kembali ke Romawi dan kemudian ternyata jadi raja di Romawi Byzantium menggantikan bapaknya yaitu Alexander Yang Agung atau dalam cerita orang Minangkabau dikenal dengan sebutan Iskandar Zulkarnain. Lama kelamaan air pun semakin surut dan keturunan Sri Mahadiraja pun semakin banyak, akhirnya mereka turun dari puncak gunung yang dulunya hanya sebuah pulau kecil dan bermukim di kaki Gunung Marapi. Daerah tempat pertama mereka bermukim ini kemudian diberi nama Padang Panjariangan. Dari Padang Panjariangan kemudian mereka menyebar ke daerah Pariangan. Di daerah baru ini mereka kemudian mengadakan pesta dan upacara sambil manari-nari di dekat rumpum bambu. Dalam bahasa Minangkabau upacara gembira itu dikenal dengan nama bariang- riang sehingga nama itu melekat menjadi nama daerah dan nama sejenis pohon bambu, yaitu Pariangan. Dari daerah Pariangan nenek moyang Minangkabau menyebar ke daerah lain di sekitar Pariangan;yaitu kedaerah Tanah Datar. Daerah ini dikenal dengan sebutan Luhak Nan Tuo [ Luhak yang Tua]. Kenapa disebut dengan Luhak Tanah Datar? Hal ini disebabkan daerah ini terdiri dari daerah perbukitan dan pegunungan. Kata Luhak dalam bahasa Minangkabau berarti kurang. Oleh karena itu Luhak Tanah Datar artinya kurang tanah yang datar. Daerah penyebaran berikutnya dari nenek moyang orang Minangkabau adalah Luhak Agam. Karena daerah ini merupakan daerah penyebaran yang ke dua dari tiga Luhak, maka daerah ini disebut juga dengan luhak nan tangah [tengah]. Mengapa daerah ini disebut Luhak Agam sampai sekarang belum ada data yang pasti, tetapi kebanyakan masyarakat mengartikan kata agam sebagai agama.Dengan demikian kata Luhak Agam berarti kurang agama. Tetapi kalau dilihat dalam bahasa Aceh, karena Minangkabau pernah berhubungan pada masa lalu dengan Aceh , Agam artinya laki-laki. Jadi Luhak Agam dapat berarti kurang nya laki- laki. Mana yang benar dari kedua istilah ini sampai sekarang belum ada bukti yang kongkrit, yang jelas daerah Agam termasuk daerah yang agak terlambat mendapat pengaruh agama Islam. Hal ini disebabkan karena penyebaran agama Islam di Minangkabau dimulai dari daerah pesisir di Pantai Barat yang kemudian baru menyebar ke daerah darat [darek] di daerah dataran tinggi Minangkabau. Penyebaran selanjutnya adalah Luhak Lima Puluh Koto. Luhak ini disebut juga dengan nama Luhak Nan Bungsu, Artinya daerah Limo Puluh Koto merupakam daerah penyebaran terakhir dari daerah yang dianggap sebagai daerah asal orang Minangkabau. Luhak Lima puluh Koto berarti juga kurang dari lima puluh koto. Konon menurut perhitungan yang ada sampai sekarang hanya tinggal empat puluh sembilan koto [kampung] dan yang satu lagi ternyata telah bermingrasi ke daerah Malaysia, yaitu di Negeri Sembilan. Penyebaran penduduk dari Luhak Lima Puluh Koto ini termasuk peneyebaran yang cukup luas karena mencakup daerah dari propinsi dan Negara lain, seperti; Malaysia dan daerah Kampar di Propinsi Riau. Semakin lama penduduk semakin berkembang dan dinamika masyarakat semakin hidup,penyebaran penduduk terus berlanjut. Pertambahan penduduk yang terus belanjut membutuhkan tersedianya bahan makan yang cukup agar kehidupan dapat dipertahankan. Seiring dengan hasrat untuk memenuhi kebutuhan akan pangan, ada diantara penduduk yang kemudian terus menyebar ke daerah lain sehingga 54 | P a g e membentuk semacam lingkaran penyebaran yang berbentuk lingkaran konsentris. Daerah penyebaran di luar Luhak Nan Tigo ini kemudian dikenal sebagai daerah rantau yang berada di sekeliling daerah luhak. Daerah rantau merupakan daerah pengembangan dari daerah luhak. Daerah ini merupakan daerah periperi yang secara adat dan kekuasaan harus tundud pada kekuasaan pusat yang berada di Pagaruyung. Dengan demikian daerah rantau dan daerah luhak yang dikenal dengan daerah darek merupakan suatu kesatuan. Hal ini dikenal dalam adegium orang Minangkabau sebagai “barantau- badarek”.Artinya rantau adalah daearah penyebaran dan darek adalah daerah asal. Daerah rantau ini terus berkembang dan membentuk pusat-pusat kekuasan baru yang perintahi oleh raja-raja kecil. Raja kecil ini harus tunduk pada kekuasaan raja di Pagaruyung. Raja ini biasanya menguasai nagari-nagari yang ada. Satu raja akan mengusai satu atau lebih nagari. Dengan demikian muncullah ist ilah “rantau beraja darek bapanghulu”.Raja adalah penguasa daerah rantau dan penghulu mengasai daerah darek. Raja adalah penguasa daerah, sedangkan penghulu adalah penguasa adat.

III. Mata Pencaharian.