52 | P a g e
bidal dan kata kiasan yang bersayap yang ikut membentuk jati diri orang Minangkabau.
Konon menurut orang Minangkabau semua kearifan yang mereka punyai itu didapatkan
sebagai hasil dari interaksinya dengan alam alam takambang jadi guru.
Interaksi yang
terus menerus
dengan alam menghasilkan suatu kata bijak yang merupakan dan menjadi dasar dari
pembelajaran orang Minangkabau dari dahulu hingga sekarang. Suatu pembe
lajaran yang membutuh suatu kemampuan dalam membaca dan menyikapi fenomena
– fenomena
yang terjadi
di alam,pada
lingkungan sosial dan budaya. Dengan demikian,
penggalan kalimat
yang mengatakan “alam takambang jadikan guru”
bukanlah sebuah kata kosong belaka, tetapi merupakan sesuatu yang harus dipahami
dan diinterpretasikan sebagai suatu perintah yang harus ditaati dalam menjalankan
kehidupan sehari-hari. Jika hal ini bisa berjalan
dengan baik,
masyarakat Minangkabau percaya bahwa kehidupan
sosial dan budaya akan berjalan dengan baik, tetapi jika hal yang sebaliknya terjadi,
kebanyakan orang Minangkabau percaya kesengsaraan dan permasalahan akan
timbul, sehingga kehidupan masyarakat tidak akan berjalan dengan baik.
Masyarakat Minangkabau bukanlah masyarakat yang tertutup dan anti terhadap
perubahan. Orang Minangkabau mengenal sebuah adegium yang menyatakan
“sakali aie
gadang sakali
tapian barubah,sungguhpun barubah di situ juo”.
Perubahan bagi
orang Minagkabau
merupakan suatu proses yangn dianggap normal dan merupakan suatu proses yang
bersifat alamiah.
Setiap perubahan
cenderung akan membawa suatu pengaruh terhadap setiap elemen sosial, termasuk
masalah kepemimpinan
di dalam
masyarakat.
II. Mitologi Orang Minangkabau.
erbeda dengan masyarakat lain, orang
Minangkabau tidak
menghubungkan asal
usulnya dengan dewa alam.Cerita ini erat kaitannya
dengan sebuah gunung yang memiliki posisi yang sangat strategis di dalam proses asal
mula terjadinya negeri. Gunung yang dimaksud dalam konteks ini adalah Gunung
Marapi.
Dalam kosmologi orang Minang kabau Gunung Marapi menempati posisi
yang sangat
strategis. Gunung
ini merupakan daerah yang diyakini sebagai
tempat dimana untuk pertama kali nenek moyang
orang Minangkabau
berasal. Menurut cerita orang Minangkabau, nenek
moyang mereka berasal dari Banua ruhum RomawiRoem atau dari Byzantium. Konon
pada zaman dahulu, ketika Gunung Marapi masih sebesar telur itik,berlayar tiga orang
putra dari kerajaan Roem ke arah Timur. Karena masa itu air laut masih belum
susut,kandaslah kapal mereka di puncak Gunung
Marapi dan
kapal mereka
mengalami kerusakan. Pada masa itu mereka
memutuskan untuk
tinggal sementara di Puncak Gunung Marapi yang
pada masa itu masih berupa pulau kecil. Sambil
menunggu memperbaiki
kapal mereka pun bermukim sementara di pulau
itu. Dalam masa penantian itu ternyata kemudian air menyusut dan pulau kemudian
muncul lebih luas. Dalam cerita orang Minangkabau hal ini dikenal dengan sebutan
“ air menyentak turun dan bumi menyentak naik.
Ketika gunung itu muncul lebih besar dan pada itu pula kapal yang tadinya
rusak sudah
selesai diperbaiki.
Berundinglah ketiga putra raja untuk kembali melanjutkan perjalanan mereka. Dalam
perundingan itu, salah seorang putra raja itu memutuskan untuk tinggal menetap di pulau
itu. Dia adalah Sri Maharaja Diraja. Sedangkan dua saudaranya yang lain
B
53 | P a g e
memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mereka. Salah satu diantaranya melanjutkan
perjalan ke arah Utara, yaitu Sri Maharaja Depang, yang kemudian menjadi nenek
moyang orang Cina dan orang Jepang. Sedangkan yang satu lagi yaitu Sri
Maharaja Alif memutuskan untuk kembali ke Romawi dan kemudian ternyata jadi raja di
Romawi
Byzantium menggantikan
bapaknya yaitu Alexander Yang Agung atau dalam cerita orang Minangkabau dikenal
dengan sebutan Iskandar Zulkarnain. Lama kelamaan air pun semakin
surut dan keturunan Sri Mahadiraja pun semakin banyak, akhirnya mereka turun dari
puncak gunung yang dulunya hanya sebuah pulau kecil dan bermukim di kaki Gunung
Marapi. Daerah tempat pertama mereka bermukim ini kemudian diberi nama Padang
Panjariangan. Dari Padang Panjariangan kemudian mereka menyebar ke daerah
Pariangan. Di daerah baru ini mereka kemudian mengadakan pesta dan upacara
sambil manari-nari di dekat rumpum bambu. Dalam
bahasa Minangkabau
upacara gembira itu dikenal dengan nama bariang-
riang sehingga nama itu melekat menjadi nama daerah dan nama sejenis pohon
bambu, yaitu Pariangan. Dari daerah Pariangan nenek moyang Minangkabau
menyebar ke daerah lain di sekitar Pariangan;yaitu kedaerah Tanah Datar.
Daerah ini dikenal dengan sebutan Luhak Nan Tuo [ Luhak yang Tua]. Kenapa disebut
dengan Luhak Tanah Datar? Hal ini disebabkan daerah ini terdiri dari daerah
perbukitan dan pegunungan. Kata Luhak dalam bahasa Minangkabau berarti kurang.
Oleh karena itu Luhak Tanah Datar artinya kurang tanah yang datar.
Daerah penyebaran berikutnya dari nenek moyang orang Minangkabau adalah
Luhak Agam. Karena daerah ini merupakan daerah penyebaran yang ke dua dari tiga
Luhak, maka daerah ini disebut juga dengan
luhak nan
tangah [tengah].
Mengapa daerah ini disebut Luhak Agam sampai sekarang belum ada data yang
pasti, tetapi
kebanyakan masyarakat
mengartikan kata
agam sebagai
agama.Dengan demikian kata Luhak Agam berarti kurang agama. Tetapi kalau dilihat
dalam bahasa Aceh, karena Minangkabau pernah berhubungan pada masa lalu
dengan Aceh , Agam artinya laki-laki. Jadi Luhak Agam dapat berarti kurang nya laki-
laki. Mana yang benar dari kedua istilah ini sampai sekarang belum ada bukti yang
kongkrit, yang jelas daerah Agam termasuk daerah yang agak terlambat mendapat
pengaruh agama Islam. Hal ini disebabkan karena
penyebaran agama
Islam di
Minangkabau dimulai dari daerah pesisir di Pantai Barat yang kemudian baru menyebar
ke daerah darat [darek] di daerah dataran tinggi Minangkabau.
Penyebaran selanjutnya
adalah Luhak Lima Puluh Koto. Luhak ini disebut
juga dengan nama Luhak Nan Bungsu, Artinya daerah Limo Puluh Koto merupakam
daerah penyebaran terakhir dari daerah yang dianggap sebagai daerah asal orang
Minangkabau. Luhak Lima puluh Koto berarti juga kurang dari lima puluh koto.
Konon menurut perhitungan yang ada sampai sekarang hanya tinggal empat puluh
sembilan koto [kampung] dan yang satu lagi ternyata telah bermingrasi ke daerah
Malaysia,
yaitu di
Negeri Sembilan.
Penyebaran penduduk dari Luhak Lima Puluh Koto ini termasuk peneyebaran yang
cukup luas karena mencakup daerah dari propinsi dan Negara lain, seperti; Malaysia
dan daerah Kampar di Propinsi Riau.
Semakin lama penduduk semakin berkembang dan dinamika masyarakat
semakin hidup,penyebaran penduduk terus berlanjut. Pertambahan penduduk yang
terus belanjut membutuhkan tersedianya bahan makan yang cukup agar kehidupan
dapat dipertahankan. Seiring dengan hasrat untuk memenuhi kebutuhan akan pangan,
ada diantara penduduk yang kemudian terus menyebar
ke daerah
lain sehingga
54 | P a g e
membentuk semacam lingkaran penyebaran yang
berbentuk lingkaran
konsentris. Daerah penyebaran di luar Luhak Nan Tigo
ini kemudian dikenal sebagai daerah rantau yang berada di sekeliling daerah luhak.
Daerah rantau merupakan daerah pengembangan dari daerah luhak. Daerah
ini merupakan daerah periperi yang secara adat dan kekuasaan harus tundud pada
kekuasaan pusat
yang berada
di Pagaruyung. Dengan demikian daerah
rantau dan daerah luhak yang dikenal dengan daerah darek merupakan suatu
kesatuan. Hal ini dikenal dalam adegium orang Minangkabau sebagai
“barantau- badarek”.Artinya rantau adalah daearah
penyebaran dan darek adalah daerah asal. Daerah rantau ini terus berkembang
dan membentuk pusat-pusat kekuasan baru yang perintahi oleh raja-raja kecil. Raja kecil
ini harus tunduk pada kekuasaan raja di Pagaruyung. Raja ini biasanya menguasai
nagari-nagari yang ada. Satu raja akan mengusai satu atau lebih nagari. Dengan
demikian muncullah ist
ilah “rantau beraja darek bapanghulu”.Raja adalah penguasa
daerah rantau dan penghulu mengasai daerah darek. Raja adalah penguasa
daerah,
sedangkan penghulu
adalah penguasa adat.
III. Mata Pencaharian.